You are on page 1of 28

PRESENTASI KASUS

Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Ulkus DM

Disusun oleh :

Agnes Indah Nugraheni G4A015143


Inez Ann Marie G4A015145
Bayu Aji Pamungkas G4A016017

Pembimbing :
dr. Mamun, Sp. PD.

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS KECIL
Diabetes Melitus Tipe 2
Disusun oleh :
Agnes Indah Nugraheni G4A015143
Inez Ann Marie G4A015145
Bayu Aji Pamungkas G4A016017

Diajukan untuk memenuhi syarat


mengikuti Kepaniteraan Klinik
di bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal: Maret 2017

Pembimbing,

dr. Mamun, Sp. PD.

I. PENDAHULUAN

Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar


glukosa dalam darah melebihi batas normal. Hiperglikemia merupakan salah satu
tanda khas penyakit diabetes mellitus (DM).Saat ini penelitian epidemiologi
menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi
DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia.WHO memprediksi adanya peningkatan
jumlah penderita DM yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global. WHO
memprediksi kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya
peningkatan jumlah penderita DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035.
Sedangkan International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan
jumlah penderita DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta
pada tahun 2035 (Perkeni, 2015)
Penyakit DM sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia
dan berdampak pada peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar. Oleh
karenanya semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, seharusnya ikut
serta secara aktif dalam usaha upaya pencegahan DM (Perkeni, 2015)
DM merupakan penyakit menahun yang akan disandang seumur hidup.
Pengelolaan penyakit ini memerlukan peran serta dokter, perawat, ahli gizi, dan
tenaga kesehatan lain. Pasien dan keluarga juga mempunyai peran yang penting,
sehingga perlu mendapatkan edukasi untuk memberikan pemahaman mengenai
perjalanan penyakit, pencegahan, penyulit, dan penatalaksanaan DM. Pemahaman
yang baik akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan keluarga dalam
upaya penatalaksanaan DM guna mencapai hasil yang lebih baik(Perkeni, 2015)

II. STATUS PASIEN

Identitas Pasien
Nama : Tn. E
Umur : 51 Tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Status : Menikah
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Majasari, Bukateja
Tanggal Masuk : 16 Febuari 2017
Autoanamnesis : 17 Febuari 2017

Anamnesis

Keluhan Utama : Nyeri Luka kaki kanan


0 Keluhan Tambahan : banyak kencing, sering lapar, sering merasa
haus.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSMS tanggal 16 Febuari 2017 dengan
mengeluh nyeri luka pada kaki kanan.Nyeri dirasakan terus menerus
dan sedikit mengganggu aktivitas dan mengganggu tidur.Nyeri muncul
setiap pasien melakukan aktifitas fisik dan berkurang dengan istirahat.
Paisen juga sangat senang mengkonsumi minuman manis
seperti teh setiap hari. Keseharian, pasien mengeluhkan banyak buang
air kecil sampai lebih dari 8 kali sehari.Pasien juga merasa nafsu makan
meningkat dan sering harus terutama pada malam hari.Pasien merasa
sering merasa haus. Riwayat Penyakit dahulu :
Riwayat keluhan yang sama : Diakui
Riwayat hipertensi : Diakui
Riwayat DM :Diakui pertama kali terdiagnosis
DM sejak tahun 2010
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
Riwayat HD : Disangkal
Riwayat alergi / asma : Disangkal
Riwayat OAT : Disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat keluhan yang sama : Disangkal
Riwayat hipertensi : Disangkal
Riwayat DM : Diakui. Yaitu dari bapak
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
Riwayat Sosial dan Ekonomi
Keluarga
Pasien tinggal bersama dengan isteri dan satu anaknya. Setiap
anggota keluarga saling menyayangi satu sama lain. Keluarga
pasien merupakan sebuah keluarga yang cukup harmonis.
Rumah
Pasien tinggal di sebuah rumah bersama dengan
keluarganya.Rumah yang dihuni terdiri dari 2 kamar tidur, satu
ruang tamu, dapur dan ruang makan.
Pekerjaan
Pasien merupakan petani dan sehari - hari pergi ke sawah.
Kebiasaan
Pasien memliki kebiasaan mengonsumsi makanan dan minuman
yang manis serta masakan tinggi lemak dan kolesterol

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis dengan GCS 15 (E=4, V=5, M=6)

Tanda Vital
Tekanan Darah : 130/100 mmHg
Nadi : 89x/menit
Pernapasan : 22x/menit
Suhu (Peraksiller) : 36.6 C
Status Generalis
Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala : Simetris, mesocephal
Rambut : Distribusi merata
Pemeriksaan mata
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Palpebra : Oedem (-/-)
Pemeriksaan telinga
Simetris
Kelainan bentuk : (-)
Discharge : (-)
Pemeriksaan Hidung
Discharge : (-)
Nafas Cuping Hidung : (-)
Pemeriksaan mulut
Bibir sianosis : (-)
Lidah sianosis : (-)
Lidah kotor : (-)
Pemeriksaan leher
Deviasi trakea : (-)
Perbesaran kelenjar tiroid : (-)
Perbesaran limfonodi : (-)
JVP : 5 + 2 cm H2O
Pemeriksaan Ekstremitas
Superior dekstra/sinistra : Edem (-/-), Sianosis -/-, Luka (-)
Inferior dekstra/sinistra : Eedem (+/-), Sianosis -/-, Luka (+)
pada telapak kaki kanan
Status Lokalis
Pulmo

Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)


Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi :Sonor di seluruh lapangan paru, batas paru hepar di SIC
V LMCD.
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)
Suara tambahan wheezing (-/-), RBH (-/-), RBK(-/-)
Jantung

Inspeksi : Ictus Cordis terlihat di SIC V, 2 jari medial LMCS


Palpasi : Ictus Cordis teraba SIC V, 2 jari medial LMCS,
kuat angkat (-)
Perkusi : Batas kanan atas SIC II LPSD
Batas kanan bawah SIC IV LPSD
Batas kiri atas SIC II LPSS
Batas kiri bawah SIC VI, 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1 > S2 di apeks reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Flat, jejas (-), spider nevi (-).
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Nyeri tekan (-)
hepar tidak teraba
lien tidak teraba
undulasi (-)
Perkusi : Timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium 16 Febuari 2017

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Darah Lengkap
Hemoglobin 10,5 g/dL () 11,7 15,5
Leukosit 9230 U/L 4800 11000
Hematokrit 32 % () 37 47
Eritrosit 4,0 ^6/uL 3,8 5,4
Trombosit 219.000 / uL 150.000 450.000
MCV 80.3 fL 79 99
MCH 26.5 pg 27 31
MCHC 34.4 % 32 37
RDW 13.8 % 11,5 14,5
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0.6 % 0,0 1,0
Eosinofil 3.4 % 2,0 4,0
Batang 2.1 % 2,0 5,0
Segmen 57.1 % 40,0 70,0
Limfosit 33,8 % 25,0 40,0
Monosit 6,3 % 2,0 8,0
Kimia Klinik
Ureum darah 51.9 mg/dL() 14,98 38,52
Kreatinin darah 1.24 mg/dL 0,60 1,00
Glukosa sewaktu 244 mg/dL () 200

Tanggal 17 Febuari 2017

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Glukosa Sewaktu 291 mg/dL () 200 mg/dL
Glukosa Puasa 145 mg/.dl 126 mg/dL
Glukosa 2 jam PP 136 mg/dL 200 mg/dl
HbA1C 10.0 % () 4.7-7.0

Tanggal 18 Febuari 2017

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Glukosa Sewaktu 264 mg/dL () 200 mg/dL

Resume (Kesimpulan Pemeriksaan)


Anamnesis :

Luka kaki
Banyak kencing
Sering merasa haus
Sering merasa lapar
Penurunan berat badan
Diagnosis Kerja
Diabetes Melitus tipe 2 dengan Ulkus pedis dextra
Terapi
Non Farmakologis
Istirahat dan mobilisasi
Diet bergizi seimbang
Menghindari makanan yang terlalu banyak mengandung gula
Meningkatkan aktivitas fisik sehari-hari dan olahraga
Edukasi penyakit kepada pasien dan keluarga meliputi pencetus,
terapi, komplikasi penyakit, prognosis penyakit serta kepatuhan
untuk kontrol dan mengonsumsi obat

Farmakologi
IVFD NaCl 0.9% 20t pm
Diet DM 1750 kkal
Novorapid 3x12 IU SC
Inj mecobalamin 500mg/12jam
Inj Rantidin 2x1 amp
Inj ondansentron 2x1 amp
Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad malam
Ad Sanastionam : Dubia ad malam
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia akibat kelainan sekresi insulin,
resistensi insulin atau keduanya (Perkeni, 2015).
Jumlah penderita diabetes di Amerika Serikat yaitu sekitar 29,1 juta
orang dengan jumlah penderita wanita lebih banyak dibandingkan pria.
Diabetes melitus merupakan penyebab kematian terbanyak nomor 7 di
Amerika Serikat (CDC, 2014).Berdasarkan hasil RISKESDAS tahun
2013, penderita yang terdiagnosis DM di Indonesia yang berusia >15
tahun sekitar 12 juta jiwa (Kemenkes, 2014).

B. EPIDEMIOLOGI
Saat ini penelitian epidemiologi menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe-2 di
berbagai penjuru dunia.WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah
penderita DM yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global. WHO
memprediksi kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini
menunjukkan adanya peningkatan jumlah penderita DM sebanyak 2-3 kali
lipat pada tahun 2035. Sedangkan International Diabetes Federation (IDF)
memprediksi adanya kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 9,1
juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035 (Perkeni, 2015)

C. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko diabetes tipe 2 terbagi atas(Perkeni, 2011):
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah, yaitu ras, etnik, riwayat
keluarga dengan diabetes, usia > 45 tahun, riwayat melahirkan bayi
dengan berat badan lahir lebih dari 4 kg, riwayat pernah menderita
DM Gestasional dan riwayat berat badan lahir rendah < 2,5 kg.
2. Faktor risiko yang dapat diubah,yaitu berat badan lebih (indeks
massa tubuh > 23kg/m2, kurang aktivitas fisik, hipertensi (>140/90
mmHg), dislipidemia (HDL <35 mg/dl dan atau trigliserida > 250
mg/dl dan diet tinggi gula rendah serat.
3. Faktor risiko lain yang terkait dengan risiko diabetes seperti
penderita sindrom ovarium poli-kistik, atau keadaan klinis lain
yang terkait dengan resitensi insulin, sindrom metabolik, riwayat
toleransi glukosa terganggu/glukosa darah puasa terganggu dan
riwayat penyakit kardiovascular (stroke, penyempitan pembuluh
darah koroner jantung, pembuluh darah arteri kaki).
D. PATOGENESIS
Terdapat tiga fase dalam patogenesis DM tipe II. Pasien DM tipe II
pada awalnya sudah mengalami resistensi insulin pada sel perifer. Hal ini
multifaktorial, bisa disebabkan karena kurangnya latihan fisik, diet yang
berbahaya, serta kerentanan genetik. Namun dalam fase pertama ini,
resistensi insulin masih dapat dikompensasi dengan produksi insulin yang
meningkat. Kemudian dalam fase kedua, resistensi insulin memburuk
sehingga peningkatan kadar insulin tidak dapat mengkompensasi resistensi
tersebut. Hasilnya, glukosa darah menunjukkan peningkatan dari kadar
normal. Hal ini merupakan fenomena hiperglikemia setelah makan. Pada
fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah namun sel beta menunjukkan
penurunan sekresi insulin sehingga keadaan hiperglikemia menjadi
permanen. Penurunan sekresi ini disebabkan oleh adanya glukosa darah
tinggi yang memberikan efek toksik bagi sel beta pankreas. Selain itu bisa
juga disebabkan oleh defek genetik dan adanya obesitas. Obesitas
menunjukkan kadar lipid yang tinggi dalam tubuh, dan saat oksidasi lipid
dilakukan, beberapa hasil reaksi akan menghambat kerja insulin (yang
sudah sedikit) sehingga efek insulin cenderung menurun terus-menerus
(Powers, 2005).

E. PATOFISIOLOGI
1. Neuropati Diabetik
Faktor yang berperan dalam perkembangan neuropati pada
pasien dengan diabetes mellitus masih belum diketahui secara
pasti, dan berbagai macam hipotesis diajukan untuk menjelaskan
hal tersebut. Beberapa peneliti sepakat bahwa proses terjadinya
neuropati pada pasien dengan diabetes mellitus merupakan suatu
hal yang bersifat multifaktorial. Proses berkembangnya
komorbiditas gejala tergantung pada beberapa faktor seperti
keadaan hiperglikemik, kadar lemak yang tinggi, tekanan darah
tinggi, kebiasaan merokok, dan pajanan terhadap senyawa yang
bersifat neurotoksik seperti etanol. Beberapa mekanisme
biokimiawi yang diduga berperan atas terjadinya polineuropati,
meliputi jalur poliol, produk akhir glikasi, dan stres oksidatif
(Tavakkoly-Bazzaz et al., 2010).
a. Jalur Poliol
Hiperglikemia menyebabkan terjadinya peningkatan kadar
glukosa intrasel di saraf, menyebabkan terjadinya aktivasi jalur
glikolisis. Kelebihan glukosa disalurkan ke jalur poliol dan
diubah menjadi sorbitol dan fruktosa oleh enzim aldose
reduktase dan sorbitol dehidrogenase (Carrington et al., 1999).
Akumulasi sorbitol dan fruktosa menyebabkan terjadinya
penurunan mioinositol, penurunan aktivitas membran Na+/K+
ATPase, gangguan transport aksonal, dan penghancuran saraf
struktural, sehingga menyebabkan propagasi potensial aksi
yang tidak normal.
b. Produk Akhir Glikasi
Reaksi non ezimatik pada glukosa bersama dengan protein,
nukleotida, dan lipid berakhir pada sebuah proses pembentukan
produk akhir glikasi yang memiliki peran terhadap gangguan
integritas neuronal dan mekanisme perbaikan melalui gangguan
metabolisme sel saraf dan transport aksonal (Ryle et al., 1999)
c. Stres Oksidatif
Peningkatan produksi radikal bebas pada pasien diabetes
terjadi karena proses yang sepenuhnya belum diketahui. Hal ini
termasuk keterkaitan dengan kerusakan langsung pembuluh
darah yang berakibat pada proses iskemia saraf.
2. Ulkus Diabetikum
Diabetes Mellitus (DM) berdampak pada multisistem organ
tubuh. Hiperglikemia mengakibatkan peningkatan fibrinogen dan
peningkatan reaktivitas trombosit sehingga terjadi peningkatan
agregasi eritrosit atau terjadi peningkatan viskositas
vaskuler.Viskositas darah yang meningkat dapat menyebabkan
trombosis, trombosis memperlambat aliran darah ke tingkat sel,
akibatnya terjadi hipoksia pada sel dan berakhir menjadi
nekrosis.Trombosit dapat juga diakibatkan karena kerusakan makro
(makroangiopati) dan athero-sclerosis (Frykberg, 2002).
Atherosklerosis menyebabkan menyempitkan diameter
pembuluh darah dan pembentukan foam yang bergabung dengan
kolesterol dan plaque atheroma sehingga menyebabkan trombosis
dan menggganggu pemasukan oksigen oleh sel dan berujung pada
nekrosis. Proses mikroangiopati berperan dalam proses terjadinya
ulkus diabetikum. Neuropati merupakan manifestasi klinis dari
gangguan peredaran darah mikro.3 hal yang mendasari neuropati
yaitu neuropati autonomik, neuropati motorik dan neuropati
sensorik. Gangguan dari neuropati autonomik yaitu berkurangnya
aktivitasglandula pseudorifera dan glandula sebasea sehingga kulit
kering, terjadi kolaps sendi. Neuropati sensoris yaitu hilangnya
sensasi kepekaan terhadap rangsang, antara lain trauma, mekanis,
termal dan kimiawi.Neuropati motorik juga terjadi sehinggaa
terjadi atropi otot. Proses diatas merupakan proses terjadinya ulkus
diabetikum pada seorang diabetisi, ulkus diabetikum berpeluang
besar berkembang menjadi infeksi sekunder sehingga memerlukan
perawatan luka secara intensif (Frykberg, 2002).
F. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis DM
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena.Pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glucometer.Diagnosis tidak dapat ditegakkan
atas dasar adanya glukosuria (Perkeni, 2015).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM.
kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti
(Perkeni, 2015):
Keluhan klasik DM : polyuria, polydipsia, polifagia dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya.
Keluhan lain : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada
wanita.

Tabel 1.Kriteria Diagnosis DM


Tabel 2.Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes
dan Prediabetes
Diagnosis Ulkus Diabetikum
Diagnosis ulkus diabetikum ditentukan secara tepat melalui
anamnesa riwayat dan pemeriksaan fisik yang cermat.
a. Riwayat
Gejala neuropati perifer meliputi hipesthesia, hiperesthesia, paresthesia,
disesthesia,radicular pain dan anhidrosis.sebagian besar orang yang
menderita penyakitatherosklerosis pada ekstremitas bawah tidak
menunjukkan gejala (asimtomatik), Penderitayang menunjukkan gejala
didapatkan claudicatio, nyeri iskemik saat istirahat, luka yang
tidaksembuh dan nyeri kaki yang jelas. Kram, kelemahan dan rasa tidak
nyaman pada kakisering dirasakan oleh penderita diabetes karena
kecenderungannya menderita oklusiaterosklerosis tibioperoneal
(Boulton, Robert, dan Loretta, 2004), (Chadwick, 2013).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada penderita dengan ulkus diabetes dibagi menjadi
3 bagian yaitu3:
1) Pemeriksaan ulkus dan keadaan umum ekstremitas
2) Penilaian kemungkinan isufisiensi vaskuler
3) Penilaian kemungkinan neuropati perifer
c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah : lekositosis mungkin menandakan adanya abses
atau infeksilainnya pada kaki. Penyembuhan luka dihambat oleh
adanya anemia. Adanyainsufisiensi arterial yang telah ada, keadaan
anemia menimbulkan nyeri saatistirahat.
2) Profil metabolik : pengukuran kadar glukosa darah, glikohemoglobin
dan kreatininserum membantu untuk menentukan kecukupan
regulasi glukosa dan fungsi ginjal.
3) Pemeriksaan laboratorium vaskuler noninvasif : Pulse Volume
Recording (PVR),atau plethymosgrafi.
G. KLASIFIKASI
Klasifikasi DM (Perkeni, 2015)

Tabel 3.Klasifikasi Etiologis DM

Klasifikasi Ulkus DM
Penilaian dan klasifikasi ulkus diabetes sangat penting
untuk membantuperencanaan terapi dari berbagai pendekatan dan
membantu memprediksi hasil.Beberapasistem klasifikasi ulkus
telah dibuat yang didasarkan pada beberapa parameter yaituluasnya
infeksi, neuropati, iskemia, kedalaman atau luasnya luka, dan
lokasi(Tjokroprawiro, 2001).
Klasifikasi SAD (Size, Sepsis, Arteriopathy, Depth and
Denervation) mengelompokkan ulkus ke dalam 4 skala
berdasarkan 5 bentukan ulkus (ukuran, kedalaman, sepsis,
arteriopati, dan denervasi). The International Working Group on
theDiabetic Foot telah mengusulkan Klasifikasi PEDIS dimana
membagi luka berdasarkan 5 ciri berdasarkan: Perfusion, Extent,
Depth, Infection dan Sensation.
Berdasarkan Guideline The Infectious Disease of America,
mengelom-pokkan kakidiabetik yang terinfeksi dalam beberapa
kategori, yaitu :
Mild : terbatas hanya pada kulit dan jaringan subkutan
Moderate : lebih luas atau sampai jaringan yang lebih dalam
Severe :disertai gejala infeksi sistemik atau ketidakstabilan
metabolik
Keadaan kaki penyandang diabetes digolongkan
berdasarkan risiko terjadinya dan risiko besarnya masalah yang
mungkin timbul. Penggolongan kaki diabetes menurut risiko
terjadinya masalah (Frykberg, 2002):
Sensasi normal tanpa deformitas
Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi
Insensitivitas tanpa deformitas
Iskemia tanpa deformitas
Kombinasi/complicated.

Gambar 1.Derajat Ulkus Kaki Diabetik

H. PENATALAKSANAAN
Pengelolaan Diabetes Melitus dimulai dengan terapi gizi medis dan
latihan jasmani selama beberapa waktu (2 4 minggu). Apabila kadar
glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis
dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada
keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau
langsung kombinasi, sesuai indikasi (Perkeni, 2015).
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus terdiri dari (Perkeni, 2015) :
1. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :
1) Perjalanan penyakit DM
2) Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan
3) Penyulit DM dan risikonya
4) Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target
perawatan
5) Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat
hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain
6) Cara pemantauan glukosa darah
7) Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia
8) Pentingnya latihan jasmani yang teratur
9) Pentingnya perawatan kaki
10) Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
Edukasi khusus perawatan kaki dapat diberikan pada penderita ulkus
DM di antaranya (Perkeni, 2015) :
1) Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air.
2) Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila kulit
terkelupas, kemerahan, atau luka.
3) Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.
4) Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan
mengoleskan krim pelembab pada kulit kaki yang kering.
5) Potong kuku secara teratur.
6) Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur setelah dari
kamar mandi.
7) Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan
lipatan pada ujung-ujung jari kaki.
8) Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.
9) Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat
khusus.
10) Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan
hak tinggi.
11) Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk
menghangatkan kaki.
2. Terapi nutrisi medis (TNM)
Prinsip pengaturan makan pada penderita DM yaitu makanan
yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi
masing-masing individu.Selain itu, perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah
kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat
yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari (Perkeni, 2015) :
1) Karbohidrat
Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi dengan
sukrosa tidak lebih dari 10% total asupan energi.
2) Lemak
Dianjurkan sekitar 20 25% kebutuhan kalori dengan
lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori. Perlu adanya pembatasan
terhadap makanan yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole
milk). Selain itu, dianjurkan juga untuk mengkonsumsi kolesterol <
300 mg/hari.
3) Protein
Dibutuhkan sebesar 15 20% total asupan energi. Sumber
protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam
tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang dan kacang-
kacangan, tahu, tempe. Pada pasien dengan nefropati perlu
penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB/hari atau 10% dari
kebutuhan energi.
4) Garam
Dianjurkan untuk mengkonsumsi garam tidak lebih dari
3000 mg atau sama dengan 6 7 g (1 sendok teh) garam dapur.
Selain itu, natrium dibatasi sampai 2400 mg atau sama dengan
6g/hari terutama pada penderita hipertensi.
5) Serat
Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.
3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur
(3-5 kali seminggu selama kurang lebih 30-45 menit, dengan total 150
menit perminggu), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalankaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran jugadapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmaniyang dianjurkan
berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmanisebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.Untuk mereka
yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisaditingkatkan,
sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapatdikurangi.
Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.
4. Terapi farmakologis
Jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan TNM dan
latihan jasmani, maka terapi selanjutnya dilakukan dengan intervensi
farmakologi yang meliputi (Sudoyo, 2006)
a. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO diklasifikasikan ke dalam 4
golongan (Sudoyo, 2006) :
1) Memicu sekresi insulin (sulfonilurea dan glinid)
2) Meningkatkan sensitivitas terhadap insulin (metformin,
tiazolidindion)
3) Menghambat glukoneogenesis (metformin)
4) Menghambat absorpsi glukosa (penghambat glukosidase )

Tabel 1. Pengelompokan Obat Hipoglikemik Oral

Obat Cara Kerja Efek samping Contoh Obat


Pemicu Sekresi Insulin
Sulfonilurea sekresi insulin Hipoglikemia Glibenclamide
Pilihan utama pasien dgn BB naik Gliclazide
BB N/< Glipizide
Gilmepiride
Glinid sekresi insulin fase BB naik Repaglinid
pertama Nateglinid
Penambah Sensitivitas Insulin
Tiazolidindion Berikatan pada PPAr- adiposity t.u subkutanRosiglitazone
( reseptor di sel otot dan dgn redistribusi Pioglitazone
lemak) lemak,BB, Retensi
cairan

Penghambat Glukoneogenesis
Biguanides Glukoneogenesis Mual, anorexia, diare, Metformin
asidosis laktat

Pemicu Sekresi Insulin


Sulfonilurea sekresi insulin Hipoglikemia Glibenclamide
Pilihan utama pasien dgn BB naik Gliclazide
BB N/< Glipizide
Gilmepiride
Glinid sekresi insulin fase BB naik Repaglinid
pertama Nateglinid
Penambah Sensitivitas Insulin
Tiazolidindion Berikatan pada PPAr- adiposity t.u subkutanRosiglitazone
( reseptor di sel otot dan dgn redistribusi Pioglitazone
lemak) lemak,BB, Rentensi
cairan
Penghambat Glukoneogenesis
Biguanides Glukoneogenesis Mual, anorexia, diare, Metformin
asidosis laktat

Penghambat Glukosidase Alfa


Acarbose absorpsi glukosa di usus Kembung dan flatulens Acarbose
halus

5. Insulin
Indikasi pemberian insulin yaitu sebagai berikut (Perkeni, 2015):
1) HbA1C > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
2) Penurunan berat badan yang cepat
3) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
4) Krisis hiperglikemia
5) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
6) Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
7) Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
8) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
9) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
10) Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Efek samping terapi insulin (Perkeni, 2015) :
1) Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia
2) Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin
Penatalaksanaan kaki diabetik dengan ulkus harus dilakukan
sesegera mungkin. Komponen penting dalam manajemen kaki
diabetik dengan ulkus adalah (Perkeni, 2015):
a. Kendali metabolik (metabolic control): pengendalian keadaan
metabolik sebaik mungkin seperti pengendalian kadar glukosa
darah, lipid, albumin, hemoglobin dan sebagainya.
b. Kendali vaskular (vascular control): perbaikan asupan vascular
(dengan operasi atau angioplasti), biasanya dibutuhkan pada
keadaan ulkus iskemik.
c. Kendali infeksi (infection control): jika terlihat tanda-tanda klinis
infeksi harus diberikan pengobatan infeksi secara agresif (adanya
kolonisasi pertumbuhan organisme pada hasil usap namun tidak
terdapat tanda klinis, bukan merupakan infeksi).
d. Kendali luka (wound control): pembuangan jaringan terinfeksi dan
nekrosis secara teratur. Perawatan lokal pada luka, termasuk
kontrol infeksi, dengan konsep TIME:
1) Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati)
2) Inflammation and Infection Control (kontrol inflamasi dan
infeksi)
3) Moisture Balance (menjaga kelembaban)
4) Epithelial edge advancement (mendekatkan tepi epitel)
e. Kendali tekanan (pressure control): mengurangi tekanan pada kaki,
karena tekanan yang berulang dapat menyebabkan ulkus, sehingga
harus dihindari. Mengurangi tekanan merupakan hal sangat penting
dilakukan pada ulkus neuropatik. Pembuangan kalus dan memakai
sepatu dengan ukuran yang sesuai diperlukan untuk mengurangi
tekanan.
f. Penyuluhan (education control): penyuluhan yang baik. Seluruh
pasien dengan diabetes perlu diberikan edukasi mengenai
perawatan kaki secara mandiri.

I. PENCEGAHAN
a. Pencegahan Primer Terhadap Diabetes Melitus
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok
yang memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi
berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi
glukosa(Perkeni, 2015).
Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransi
glukosa yaitu (Perkeni, 2015):
1) Faktor Risiko yang Tidak Bisa Dimodifikasi
a) Ras dan etnik
b) Riwayat keluarga dengan DM
c) Umur: Risiko untuk menderita intolerasi glukosa meningkat
seiring dengan meningkatnya usia. Usia>45 tahun harus
dilakukan pemeriksaan DM.
d) Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram
atau riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG).
e) Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg.
Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang
lebih tinggi dibanding dengan bayi yang lahir dengan BB
normal.
2) Faktor Risiko yang Bisa Dimodifikasi
a) Berat badan lebih (IMT 23 kg/m2 ).
b) Kurangnya aktivitas fisik
c) Hipertensi (>140/90 mmHg)
d) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan/atau trigliserida >250
mg/dl)
e) Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi glukosa dan
rendah serat akan meningkatkan risiko menderita
prediabetes/intoleransi glukosa dan DMT2
Pencegahan primer dilakukan dengan tindakan penyuluhan dan
pengelolaan pada kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi
dan intoleransi glukosa dengan cara (Perkeni, 2015) :
1) Program penurunan berat badan.
a) Diet sehat.
b) Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan
ideal
c) Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara
terbagi dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak
glukosa darah yang tinggi setelah makan
d) Komposisi diet sehat mengandung sedikit lemak jenuh dan
tinggi serat larut.
2) Latihan jasmani
a) Latihan dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu
dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut
jantung maksimal) atau 90 menit/minggu dengan latihan
aerobik berat (mencapai denyut jantung >70% maksimal).
b) Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 kali aktivitas/minggu
3) Menghentikan kebiasaan merokok
4) Pada kelompok dengan risiko tinggi diperlukan intervensi
farmakologis.
b. Pencegahan Sekunder Terhadap Komplikasi Diabetes Melitus
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit pada pasien yang telah terdiagnosis DM. Tindakan
pencegahan sekunder dilakukan dengan pengendalian kadar glukosa
sesuai target terapi serta pengendalian faktor risiko penyulit yang lain
dengan pemberian pengobatan yang optimal. Melakukan deteksi dini
adanya penyulit merupakan bagian dari pencegahan
sekunder.Tindakan ini dilakukan sejak awal pengelolaan penyakit
DM(Perkeni, 2015).
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penderita diabetes
yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya
kecacatan lebih lanjut serta meningkatkan kualitas hidup.Upaya
rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan
menetap.Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan
pada pasien dan keluarga.Materi penyuluhan termasuk upaya
rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang
optimal.Pencegahan tersier memerlukan pellayanan kesehatan
komprehensif dan terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di
rumah sakit rujukan.Kerjasama yang baik antara para ahli diberbagai
disiplin (jantung, ginjal, mata, saraf, bedah ortopedi, bedah vaskular,
radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatris, dan lain-lain.) sangat
diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier(Perkeni,
2015).

J. KOMPLIKASI
Komplikasi diabetes mellitus terbagi menjadi akut dan kronik yang
dijelaskan sebagai berikut (Depkes RI, 2005):
1. Akut
a. Ketoasidosis diabetikum
b. Hiperosmolar non ketotik
c. Hipoglikemia
2. Kronik
a. Makroangiopati
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah perifer
Pembuluh darah otak
b. Mikroangiopati
Pembuluh darah kapiler retina
Pembuluh darah kapiler ginjal
Neuropati
c. Lain lain :
Kardiomiopati
Rentan infeksi
Kaki diabetikum
Disfungsi ereksi
K. PROGNOSIS
Prognosis pada penderita diabetes tipe 2 bervariasi. Namun pada
pasien diatas prognosisnya dapat baik apabila pasien bisa memodifikasi
(meminimalkan) risiko timbulnya komplikasi dengan baik.
IV. KESIMPULAN

1. Pada kasus ini pasien terdiagnosis mengidapt Diabetes Melitus tipe 2 dengan
komplikasi ulkus diabetikum pada pedis dexraberdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang

2. Pemeriksaan penunjang yang mendukung penegakan diagnosis diabetes


melitus tipe 2 pada kasus ini yaitu mengacu oleh hasil laboratorium yaitu
kadar GDS >200 mg/dl, GDP 126 mg/dl, GD2PP 200 mg/dl, dan HbA1C
>14% dengan usia 51 tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Boulton, Andrew J.M., Robert S. Kirsner dan Loretta Vileikyte. 2004 Clinical
Practice : Neuropathic Diabetic Foot Ulcers. Massachuset :New England
Journal of Medicine; Vol.351; Issue 1:48-55.

Carrington, A. L., Litchfield J. E.. 1999. The aldose reductase pathway and
nonenzymatic glycation in the pathogenesis of diabetic neuropathy: a
critical review for the end of the 20th century. Diabetes Reviews. 1999.
7:275-99.

Chadwick, Paul et al.. 2013. Best Practice Guidelines : Wound Management in


Diabetic Foot Ulcers Management in Diabetic Foot Ulcers. London
:Wounds InternationalA division of SchofieldHealthcare Media
LimitedEnterprise House

Frykberg, Robert G. 2002. Diabetic Foot Ulcers: Pathogenesis and Management.


Iowa : Des Moines University; Vol. 22; No. 9

Kemenkes RI. 2014. Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Infodatin Kemenkes
RI.

PERKENI (Perhimpunan Endokrinologi Indonesia).2015. Konsensus Pengelolaan


dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB
PERKENI.

PERKENI.2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe


2 di Indonesia 2011. Jakarta: PB PERKENI.

Powers, A.C. 2005.Diabetes Mellitus. In D. Kasper et al., eds. Harrison's


Principles of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw and Hill
Company. pp.2152-2179.

Ryle, C., Donaghy M.. 1999. Non-enzymatic glycation of peripheral nerve


proteins in human diabetics. J Neurol Sci. 1999 Mar. 129(1):62-8
Sudoyo, A.W., et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Tavakkoly-Bazzaz, J., Amoli M. M., Pravica V., Chandrasecaran R., Boulton A. J.,
Larijani B.. 2010. VEGF gene polymorphism association with diabetic
neuropathy. Mol Biol Rep. 2010 Mar 30.
Tjokroprawiro, Askandar. 2001. Angiopati Diabetik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi III, Jakarta : Balai Penerbitan FKUI; 601 16.

You might also like