You are on page 1of 9

Buleleng Rekontruksi Tiga Kesenian Yang Hampir Punah

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng berupaya merekonstruksi kesenian


yang hampir punah, salah satunya Legong Tombol dari Desa Banyuatis. |Foto ; Courtesy
Youtube|

Singaraja | Bali Utara dikenal sebagai cikal bakal lahirnya Gong Kebyar di Bali. Seiring
dengan perkembangan Gong Kebyar, juga diiringi dengan lahirnya sejumlah tarian yang juga
diringi oleh Gong Kebyar dengan khas Buleleng yakni kekebyaran.

Banyak kesenian asli dari Kabupaten Buleleng jarang dipentaskan karena hampir punah
bahkan sudah ada yang punah. Ditahun 2016 ini, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
(Disbudpar) Buleleng merekontruksi dua tari dan satu tabuh dari Buleleng. Dua tarian itu
masing masing Taro Legong Tombol, dan Tari Pengeleb. Sementara satu tabuh yang akan
direkontruksi yakni Tabuh Singa Ambara raja.

Legong Tombol merupakan tarian yang berkembang di Desa Banyuatis Kecamatan Banjar.
Legong ini merupakan tari-tarian hiburan yang biasanya ditarikan oleh penari berjumlah
genap. Saat ini, eksistensi Legong Tombol ini memang menurun bahkan hampir punah.
Pasalnya, masih ada satu orang penari yang tersisa dan mengetahui tentang tarian ini. Apalagi
usia sang penari sudah memasuki 80 tahun lebih.

Begitu pula dengan Legong Pengeleb yang berasal dari Desa Jagaraga Kecamatan Sawan
atau Dangin Enjung. Hampir punahnya dua legong ini memang karena tidak pernah
dipentaskan lagi, juga karena tidak ada regenerasi untuk menarikan legong ini.

Disbudpar Buleleng akan bekerjasama dengan Institute Seni Indonesia (ISI) Denpasar
melakukan rekontruksi terhadap dua tarian asli dari Buleleng ini. Rekontruksi dilakukan
karena memang ada sejumlah gerakan yang hilang karena para penari sudah lupa pada
gerakan tari tersebut. Sehingga rekontruksi dilakukan dengan menyambung dan menganalisa
gerakan tari berdasarkan apresiasi gerak tari yang berlaku.
Kasi Kesenian Disbudpar Kabupaten Buleleng Wayan Sujana menjelaskan, Disbudpar saat
ini tengah melakukan penggalian terhadap sejumlah kesenian termasuk tari asli kabupaten
Buleleng yang telah ditinggalkan dan hampir punah, untuk melakukan rekontruksi.

Ini memang sebuah upaya untuk penyelamatan terhadap seni tari dari Buleleng, sehingga
nantinya keberadaan seni tari asli Buleleng ini tidak punah, apalagi memang orang orang
yang mengetahui seni Buleleng pada jaman dahulu sudah semakin minim, Jelas Sujana.

Sementara itu kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Buleleng Nyoman Sutrisna
mengatakan, pihaknya berencana akan mengandeng perguruan tinggi yang mempunyai
jurusan secara khsusu dibidang seni untuk bisa menggali kesenian-kesenian Khas Buleleng,
termasuk melakukan rekontruksi.

Kedepan kita akan menjalin kerjasama baik itu dengan Undiksha ataupun ISI Denpasar,
sehingga seni tabuh ataupun seni tari yang sudah maupun hampir punah bisa kami tahu dan
kami bangkitkan lagi, melalui rekontruksi, Ungkap Sutrisna.

Disisi Lain, Kabupaten Buleleng sendiri sudah sempat melakukan rekontruksi terhadap seni
tari yang diciptakan di Buleleng diantaranya tari Palawakya, serta tari Wiranjaya.

Sementara itu Disbudpar Buleleng juga tengah menggali satu tarian yang tercipta di Bali
Utara yakni Tari Cendrawasih Khas Buleleng. Tari Cendrawasi khas Buleleng ini berbeda
dengan Tari Cendrawasih yang selama ini dikenal dengan koreografer Swasthi Wijaya
Bandem dengan jumlah penarinya sebanyak dua orang. Karena Tari Cendrawasih khas
Buleleng ini ditarikan oleh penari tunggal, dengan diiringi gamelan khas Buleleng yakni
kekebyaran. |RM|
Tarian Sakral Bali Kian Terlahap Zaman Hampir Punah
Diposkan oleh agus putrawan Tarian Sakral Bali kian Terlahap Zaman Kepala Bagian
Hubungan Masyarakat dan Protokol Kota Denpasar Made Erwin Suryadarma Sena
mengatakan, ada beberapa tarian tradisional Bali yang hampir punah, khususnya tarian sakral.
"Penyebab hampir punahnya tarian sakral adalah kaum muda mudi sebagai generasi penerus
yang ada di Denpasar enggan untuk mempelajari tarian sakral tersebut karena cukup sulit
untuk dipelajari," ujar Made Erwin, di Denpasar, Jumat (1/10), di sela-sela acara pembukaan
Maha Bandana Prasadha. Ia menambahkan, akibat sulit dipelajari, maka minat muda mudi
pun akan tarian ini pun menurun. Penyebab lainnya adalah tarian sakral itu tidak bisa untuk
dikomersilkan atau dipertontonkan di sembarang tempat dan waktu. "Sebab, tarian sakral,
seperti tari baris ketegok jago hanya bisa dibawakan pada saat upacara keagamaan yang
khusus saja," katanya menjelaskan. Karena itu, Pemkot Denpasar berupaya melakukan
revitalisasi kesenian yang bersifat sakral dan langka, supaya tidak mengalami kepunahan,
ujarnya. Ia mengatakan, salah satu caranya, melalui banjar-banjar yang ada, pemkot berupaya
menarik minat muda mudi untuk menyenangi tarian-tarian sakral yang hampir punah. "Maka
pemkot pun menyediakan berbagai fasilitas penunjang dari pakaian sampai alat-alat kesenian
atau gamelan, guna menarik minat para generasi penerus," katanya. Sementara itu, I Nyoman
Suarsa, salah seorang seniman tari Bali mengatakan, memang cukup banyak tarian sakral Bali
yang keberadaannya hampir punah karena tidak ada yang meneruskan untuk mempelajarinya.
"Alasannya, karena tarian sakral tersebut tidak bisa dijual atau dijadikan atraksi budaya,
sehingga banyak kaum muda lebih tertarik dengan tarian yang sifatnya lebih kontemporer
atau bentuk kreasi," katanya. Karena itu, dia berharap dengan adanya pergelaran kesenian
tradisional, bisa menumbuhkan minat kaum muda untuk melestarikan kesenian tradisional
Bali. Dia mencontohkan, tari baris tunggal merupakan tarian sakral yang keberadaannya
hampir punah. Tari baris tunggal juga merupakan salah satu tarian sakral yang digunakan
oleh umat Hindu di Bali sebagai pelengkap di suatu upacara. "Biasanya tari baris tunggal
digunakan pada saat Upacara Pitra Yadnya yaitu karya mamukur, di mana tari baris tunggal
berfungsi sebagai sarana penghatur punia atau persembahan bagi para leluhur yang
dihantarkan dengan mantra-mantra suci Sulinggih dan alunan gamelan pengiring tari baris
tunggal itu sendiri," ujarnya menjelaskan. Dikatakannya, tari baris tunggal merupakan tarian
lepas yang dibawakan oleh seorang laki-laki, yang menggambarkan seorang prajurit gagah
perkasa yang memiliki kematangan jiwa dan kepercayaan. Hal itu diperlihatkan dengan
gerakan tari yang dinamis dan lugas. (Ant/OL-2)
Hampir Punah, Kesenian Berko Dibangkitkan Kembali
Oleh : BaliBerkarya.com | 11 April 2017 | Dibaca : 1710

sumber foto :Baliberkarya.com/ist

Baliberkarya.com - Jembrana. Kesenian asli Kabupaten Jembrana berupa seni Berko merupakan
kesenian langka dan nyaris punah saat ini. Kesenian dengan alat musik dari bambu yang dipadukan
dengan tarian dan nyanyian ini pertama kali muncul di Jembrana sekitar tahun 1920 dan pernah
mengalami masa kejayaannya pada jaman penjajahan Jepang.

Seiring perjalanan waktu, kesenian asli Bumi Makepung ini mulai ditinggalkan. Bahkan saat ini
kesenian ini tidak pernah dipentaskan kembali. Sekaa atau perkumpulan kesenian ini di Jembrana
praktis tidak ada.

Tak ingin kesenian asli Kabupaten Jembrana ini punah, salah seorang anggota DPRD Jembrana asal
Kelurahan Pendem, Jembrana, IB Susrama memprakarsai untuk mengantifkan kembali kesenian ini,
hingga terbentuk Sekaa Berko Pancardawa, Kelurahan Pendem, Jembrana.

Bahkan melalui Dinas Kebudayaan Pemkab Jembrana yang bekerjasama dengan Yayasan Seni
Jembrana (YSJ) yang diketuai oleh Dewa Bracuk, kesenian tersebut dipertunjukan kembali untuk
pertama kalinya di Gedung Kesenian Ir Soekarno, Sabtu (8/4/2017) malam.

Kesenian Berko dibawah koordinator IB Susrama dengan menampilkan dua penari yang rata-rata
berusia senja ternyata mampu mengundang decak kagum ratusan penonton yang memadati areal
Gedung Kesenian IR Soekarno.

Kami akan usahakan kesenian ini rutin dipertunjukan dalam kegiatan pentas seni, termasuk dalam
kegiatan seni lainnya. Kami juga akan ajak pelaku-pelaku seni di Jembrana untuk menghidupkan
kesenian yang hampir punah ini karena kesenian Berko merupakan kesenian asli Jembrana, terang
Kordinator Sekaa Berko IB Susrama.

Selain pementasan kesenian Berko, acara pentas seni kemarin malam tersebut juga diisi dengan
berbagai hiburan lainnya diantaranya, Bondres, Lagu Pop Bali dan Dangdut dari artis-artis Yayasan
Seni Jembrana.

Juga diisi dengan penyerahan sertipikat pelatihan dari Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Pemkab Jembrana I Nengah Alit kepada kepada 7 orang siswi SDN 1 Lelateng yang berlatih tari dan
13 orang remaja Jembrana yang berlatih tabuh selama tiga bulan secara geratis di Yayasan Seni
Jembrana.(BB).
Tari Sanghyang Dedari yang Hampir Punah
02 Feb 2017

Jakarta, 28/1 Kementrian Pariwisata (Kemenpar) mengadakan simposium yang


bertemakan Simposium Seabad Pariwisata Budaya di Bali. Acara yang diadakan di Gedung
Sapta Pesona ini di hadiri oleh berbagai pakar-pakar ahli di bidangnya seperti Dr. L, G.
Saraswati Putri peneliti dari Universitas Indonesia. Saras dan timnya melakukan penelitian
tari Sanghyang Dedari. Sebuah tarian yang pada tahun 2015 telah di masukkan sebagai
warisan budaya dunia. Setelah 2 tahun Saras meneliti, beliau telah berkesimpulan bahwa tari
Sanghyang Dedari telah punah. Tarian sakral ini telah menghilang dari berbagai desa di Bali.
Akan tetapi seorang rekannya memberitahu bahwa ada salah satu desa di Bali yang masih
melaksanakan tari Sanghyang Dedari yaitu desa Geriyana Kauh.

Tari sanghyang dedari melibatkan gadis-gadis kecil yang belum mencapai akil baligh dan
melibatkan kerauhan (kerasukan). Tari tersebut menjadi punah karena tari ini tidak bisa di
pisahkan dari tradisi pertanian.
Sekarang di Bali terjadi ahli fungsi besar-besaran dan pertanian mulai tergerus oleh zaman
sedangkan tari Sanghyang Dedari berkaitan dengan waktu panen. Tari Sanghyang Dedari
adalah tari peralihan dari prahindu menjadi hindusiwa yang di kenal sekarang, ujar Saras.

Tarian ini sempat berhenti selama 30 tahun yang mengakibatkan gagal panen, struktur
benang-benang masyarakat retak karena ada peralihan dari tradisi pertanian organik
tradisional ke pertanian industri atau agribisnis. Ini memberi dampak lingkungan dan juga
sosial oleh karena itu banyak desa melakukan revitalisasi agar menjadi desa ekowisata dan
melestarikan taria sanghyang dedari, tutup Saras.
Penulis, Afifah Amirotul Islamiati
Tari Leko Sebagai Tari Tertua di Sibang Gede Terancam Punah
Kamis, 3 September 2015 15:45

Tribun Bali/I Nyoman Mahayasa


Ilustrasi Tari Legong
TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA - Tari Legong Kolok (legong bisu) atau biasa disebut Leko
merupakan tari tertua yang dimiliki Banjar Parekan, Desa Sibang Gede, Abiansemal, Badung, Bali.
Jenis pementasan tarian tersebut menyerupai tarian joged. Namun tahapan ngibing tidak diisi
dengan gerakan erotis.
Seorang warga, I Ketut Wangi (47) saat ditemui di Banjar Parekan, Rabu (19/8) mengatakan, tidak ada
warga yang menemukan kapan tarian tersebut diciptakan. Bahkan, saat dia lahir pada tahun 1967
lalu, tarian ini telah ada dan sering pentas di berbagai tempat di Bali.
"Kami tidak tahu kapan diciptakannya tarian ini. Saya lahir sudah ada dan sudah biasa pentas,"
ujarnya sembari mengenang masa kecilnya saat diajak orangtuanya menonton pementasan tari Leko
ini.
Meskipun tergolong jenis tarian kuno. Namun, tari Leko bukanlah kategori tarian sakral.
Tarian ini sangat jarang dipentaskan dalam ritual keagamaan.
Tetapi lebih sering dipentaskan dalam peringatan ulang tahun sekaa teruna teruni dan setiap tahun
pentas dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) kecuali 2015 lalu.
Wayan Putra (52) merupakan seorang penabuh instrumen pengiring tarian Leko.
Ditemui di rumahnya, Putra menjelaskan alasan tarian tersebut dinamai Leko. Menurutnya, hal ini
disebabkan instrumen yang digunakan mengiringi tarian ini semuanya terbuat dari bahan baku
bambu.
"Gambelan yang dimainkan dari bambu membuat suara gambelan seperti orang bisu yang berusaha
berkata-kata. Karena itu disebut Legong Kolok," ungkapnya.
Janger, Seni Memberi Petuah Yang Hampir Punah
By Redaksi Koran Buleleng -
April 11, 2016

Lomba Janger dalam Pekan Apresiasi Seni sebagai upaya untuk melestarikan seni budaya
Bali |Foto : Nova Putra|

Singaraja | Seni tradisional Janger dilombakan dalam Agenda Pekan Apresiasi Seni (PAS) di
Hiburan Rakyat Serangkaian HUT Kota Singaraja ke-412 di Lapangan Bhuwana Patra,
Singaraja. Janger menjadi salah satu agenda lomba karena seni yang menggabungkan seni
tari tradisional dan seni suara ini kini kurang diminati dalam pergaulan sosial anak-anak
muda.

Bahkan, seni tradisional ini nyaris punah tergerus oleh modernisasi. Kepala Dinas
Pendidikan, I Gede Suyasa mengungkapkan, dahulu Janger dimanfaatkan sebagai media
komunikasi dan interaksi sosial baik oleh generasi tua maupun muda.

Seni Janger ini bisa digunakan untuk menyampaikan pesan berupa petuah-petuah positif
tentang kehidupan sosial sehingga etika dan moral pergaulan bisa terjaga dengan baik.
Dimasa kini, semestinya Janger juga bisa dimanfaatkan dengan tujuan yang sama dengan
cara atau kreatifitas yang lebih maju.

Potensi seni Janger ini kan sangat bagus. Selain untuk pelestarian seni budaya, Janger
dengan perkembangan jaman masa kini juga harus mampu digunakan sebagai salah satu
upaya pengembangan kreatifitas, penyampaian pesan atau petuah, mendalami seni tari, yang
sebenarnya sangat penting. Namun belakangan ini mulai tergerus dan hampir punah, oleh
sebab itu kita coba bangkitkan lagi denganlomba Janger tingkat SMA/SMK, ujar Gede
Suyasa, Sabtu (9/4) malam.
Suyasa mengharapkan dengan lomba kesenian Janger ini semangat berkesenian ditingkat
generasi muda bisa terus digencarkan. Apalagi saat ini pembinaan di masing-masing desa
sudah mulai bangkit. Banyak sekehaa teruna-teruni di Buleleng yang saat ini telah aktif
berkesenian baik di seni tabuh dan tari.

Lomba Janger ini mengemban misi untuk pelestarian budaya. Lomba ini sudah digelar untuk
ketiga kalinya yang dikemas dalam agenda Pekan Apresiasi Seni Pelajar. Masing-masing
peserta menunjukkan kebolehannya dalam seni tarik suara dan seni tari didepan ratusan
penonton di GOR Bhuwana Patra Singaaja.

Sementara itu Ketua Dewan Juri, I Kadek Widnyana, mengatakan bahwa secara umum
penampilan peserta sudah cukup bagus. Tetapi tetap dalam proses penilaian, harus
memperhatikan estetika dan pesan yang wajib ada dalam pertunjukkan janger dan sebagai
kriteria penilaian.

Kami yang jelas menilai sesuai dengan sistem penilaian yang dipakai oleh ISI, masing-
masing regu janger harus mampu menampilkan yang terbaik, baik dari segi estetika, wujud
dan pesan yang ingin disampaikan, kata dia.

Peserta lomba Janger tahun ini tidak jauh berbeda degan tahun sebelumnya. Dengan
antusiasme yang sangat tinggi, panitia sempat membatasi jumlah peserta.

Pemenang lomba janger ini antara lain, juara pertama diraih oleh SMA Bali Bandara, juara
kedua diraih oleh SMK N 1 Singaraja, juara ketiga direbut oleh SMK N 1 Sukasada, juara
harapan satu di raih oleh SMK N 1 Tejakula, juara harapan dua diraih oleh SMA N 3
Singaraja, dan juara harapan tiga diraih oleh SMK N 2 Seririt. Untuk para pemenang, panitia
menyediakan hadiah berupa uang pembinaan dan tropi. Untuk juara pertama mendapatkan
hadiah sebesar 10 juta rupiah, untuk juara kedua mendapatkan hadiah sebasar 7,5 juta rupiah,
untuk juara ketiga meraih hadiah sebesar 5 juta rupiah, harapan satu meraih hadiah sebesar
2,5 juta rupiah, harapan dua meraih hadiah sebesar 1,5 juta rupiah, dan harapan tiga meraih
hadiah sebesar 1 juta rupiah.

Lomba Janger diikuti oleh 10 regu Janger SMA/SMK se-Kabupaten Buleleng. Kesepuluh
peserta tersebut yakni SMA Bali Mandara, SMA N 1 Banjar, SMK Nusa Dua, SMK N 1
Busungbiu, SMA N 1 Sawan, SMK N 1 Singaraja, SMA N 3 Singaraja, SMK N 2 Seririt,
SMK N 1 Sukasada, dan SMK N 1 Tejakula.

Pegelaran lomba ini dibagi dua sesi hari mengingat jumlah peserta cukup banyak. Hari
pertama yang digelar, Sabtu (9/4) malam menampilakan 5 peserta dari SMA Bali Mandara,
SMA N 1 Banjar, SMK Nusa Dua, SMK N 1 Busungbiu, dan SMA N 1 Sawan. Sedangkan
hari kedua diselenggarakan, Minggu (10/4) malam menampilakan pesrta lomba dari , SMK N
1 Singaraja, SMA N 3 Singaraja, SMK N 2 Seririt, SMK N 1 Sukasada, dan SMK N 1
Tejakula.|NP|

You might also like