You are on page 1of 10

Manajemen Pada Syok Septik

Pembimbing : dr. Suparto, Sp.An

Penyusun :

Cenisia

112016111

KEPANITRAAN KLINIK ILMU ANASTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT FAMILY MEDICAL CENTER BOGOR

PERIODE 10 April 2017 29 April 2017

Latar Belakang
Insiden sepsis berat dan septik syok pada dewasa terjadi sekitar 56 hingga 91 per 100.000
populasi pertahun. Pasien yang terkena memiliki resiko tinggi terhadap kematian. Sejak tahun
2002, Surviving Sepsis Campaign (SCC) telah mempromosikan tindakan terbaik, termasuk
penangan awal, control sumber, sesuai dan tepat waktu dalam pemberian antibiotik, dan
resusitasi dengan cairan infus dan pemberian obat vasoaktif. Pedoman resusitasi bedasarkan
penelitian 2001 oleh River et al, menunjukan bahwa protocol terapi 6 jam pertama atau Goal-
Directed Therapy (EGDT) pada pasien yang datang ke gawat darurat dengan syok septik dapat
mengurangi angka kematian di rumah sakit dan tinggal di rumah sakit. Terapi tersebut bertujuan
untuk mengoptimalkan transportasi oksigen ke jaringan.1
Definisi Sepsis

Dalam mengidentifikasi sepsis dengan menggunakan 2 atau lebih kriteria SIRS dianggap
tidak membantu. Perubahan jumlah sel darah putih, suhu, dan denyut jantung mencerminkan
suatu peradangan dan respon tubuh terhadap bahaya terhadap infeksi. Criteria SIRS tidak selalu
mencerminkan adanya disregulasi, dan mengancam nyawa. Kriteria SIRS banyak ditemukan
pada pasien rawat inap termasuk mereka yang tidak pernah mengalami infeksi dan terkena
dampak buruk dari infeksi. 1 dari 8 pasien ICU di Australia dan New Zealand dengan infeksi
dan kegagalan organ baru tidak memiliki kriteria minimal 2 kriteria SIRS untuk memenuhi
definisi sepsis. Hasil rekomendasi untuk definisi sepsis adalah suatu keadaan yang mengancam
nyawa yang ditandai dengan suatu disfungsi organ, disregulasi respon host terhadap infeksi.
Definisi baru ini menekankan keunggulan respon host pada nonhemostatik terhadap infeksi, yang
berpotensi mematikan jauh lebih tinggi dari pada infeksi langsung. Septik Syok Sepsis dengan
hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan vasopressor
untuk mempertahankan tekanan dan perfusi organ.2

Disfungsi Organ atau Kegagalan Organ

Kegagalan organ berat di nilai dengan berbagi pengukuran yang mengukur berdasarkan
temuan klinis, data laboratorium, intervensi terapeutik. Perbedaan dalam sistem penilaian ini
juga menyebabkan ketidakkonsistenan dalam pelaporan. Namun saat ini, penilaian kegagalan
organ berdasarkan SOFA (Sequential Organ Failure Assessment). Karena SOFA lebih dikenal
dan lebih sederhana dari pada Sistem Disfungsi Organ Logistik, perubahan skoring tatal SOFA
dari 2 atau lebih telah dapat mewakili disfungsi organ. Skor dasar SOFA harus diasumsikan nol
kecuali memiliki disfungsi organ yang sudah ada sebelumnya (akut atau kronis) sebelum
timbulnya infeksi. Pasien dengan skoring 2 SOFA atau > 2 mununjukan peningkatan jumlah
kematian sebanyak 10 %. SOFA skoring 2 atau lebih mengidentifikasikan 2-15 kali
meningkatnya resiko kematian dibandingkan skor SOFA yang di dapat <2. Skor SOFA tidak
dimaksud sebagai alat untuk manajemen pasien, tetapi untuk mengenali pasien dengan gelaja
syok septik.3

Gambar 1: SOFA (Sequential Organ Failure Assessment).

Diunduh dari : www.google.com

Selain menggunakan skor SOFA, pasien dengan kecurigaan adanya infeksi yang
menjalani perawatan di ICU (Intensive Care Unit) dalam jangka waktu lama atau di perediksi
meninggal di rumah sakit dapat di identifikasi cepat dengan Quick SOFA (qSOFA), yang terdiri
dari:3

1. Penurunan kesadaran
2. Pernafasan yang cepat >22 x/menit
3. Tekanan darah sistolik < 100 mmHg
Gambar 2: qSOFA (Quick Sequential Organ Failure Assessment).
Diunduh dari : www.google.com

Tatalaksana Syok Septik

Syok septik ditandai tekanan darah sistolik <90 mmHg, MAP (Mean Arterial Pressure)
<60 mmHg, dan kadar laktat > 4 mmol/L. Ketiga hal ini menunjukan bahwa terdapat hipotensi
dan perfusi ke jaringan berkurang, Manifestasi hiperperfusi adalah disfungsi organ akut, tekanan
darah menurun, peningkatan serum laktat.

Menejemen Spetik Syok pada 3 Jam Pertama

1. Cairan kristaloid untuk hipotensi atau kadar laktat >4mmol/L


Pada syok septik terjadi gangguan sirkulasi yang disebabkan oleh vasodilatasi
pembuluh darah sehingga mempengaruhi cardiac output. Hipoperfusi jaringan
meyebabkan jaringan menjadi hipoksia dan disertai peningkatan kadar asam laktat.
Serum laktat > 4 mmol/L merupakan suatu gambaran kondisi yang buruk meskipun
belum menunjukan adanya hipotensi. Pasien yang mengalami hipotensi disertai laktat >4
mmol/L harus diberikan cairan secara intravena untuk menambahkan volume sirkulasi
dan mengembalikan perfusi ke jaringan. Penangananan pada syok hipovolemik harus
segera mungkin dengan memberikan cairan kristaloid sebanyak 30 mL/kg. Pada terapi
pemberian resusitasi awal dengan tujuan meningkatkan Central Venous Pressure 8
mmHg, ScvO2 70 %, dan menormalkan serum laktat. Terdapat 4 komponen dalam
pemberian cairan dengan metode fluid challenge yaitu : cairan yang diberikan,
kecepatan cairan infus, terapi target dan batas keamanan. Fuid challenge adalah istilah
yang digunakan untuk mengambarkan periode pemberian cairan awal yang reponnya di
evaluasi dengan hati-hati. Fluid challenge dapat diulang sampai terjadi perbaikan pada
tekanan darah, dan perfusi jaringan.4
2. Pemeriksaan serum laktat
Hiperlaktatnemia umumnya ditemukan pada pasien dengan sepsis yang berat atau
syok septik dan mungkin menjadi sekunder akibat metabolism anerob karena hipoperpusi
atau faktor lainnya. Peningkatan laktat sangat penting untuk mengidentifikasi hipoperfusi
jaringan pada pasien yang belum hipotensi namun berisiko untuk syok sepsis. Kadar
laktat dalam darah yang tinggi (> 4mmol/L) dari nilai normal menunjukan adanya
hipoperfusi jaringan akibat kegagalan metabolism dari sel peningkatan laktat dapat
menurunkan bersihan di hati. Kematian juga meningkat pada syok septik dengan
hipotensi dan laktat 4 mmol/L (46,1 %). Kematian juga meningkat pada pasien septik
dan hipotensi (36,7 %) dan laktat 4 mmol/L (30 %).
3. Kultur Darah
Pemeriksaan kultur bertujuan untuk identifikasi organisme penyebab. 30-50 %
pasien mengalami sindrom klinis sepsis atau syok memiliki kultur positif. Pemeriksaan
kultur dilakukan sebelum pemberian antibiotic. Direkomendasikan dua atau lebih
pemeriksaan kultur yaitu dari perkutan dan darah. Pemeriksaan kultur didapatkan melalui
darah, kulit, serta berbagai tempat lainnya sepeti di cairan serebrospinal, urin, kulit. Pada
pasien dengan infeksi akibat menggunakan kateter > 48 jam ,sampel dari kateter dan sisi
perifernya harus diperoleh. Jika pada sampel kateter positif dibandingkan dengan perifer
menandakan terdapatnya sumber infeksi. Sampel kultur dapat diperoleh dari pemeriksaan
urin, cairan serebrospinal, sekresi lendri dari saluran nafas dan juga beberapa cairan
tubuh lainnya juga harus diperiksa sebelum melakukan terapi. Jika setelah pemeriksaan
kultur darah positif (> 2 jam lebih cepat dari pemeriksaan kultur di perifer) ini
menunjukan bahawa akses pembuluh darah memiliki sumber infeksi.4
4. Pemberian antibiotik
Antibiotik mengurangi angka kematian pada pasien yang mengalami infeksi oleh
bakteri gram positif dan negatif. Prinsip pemberian antibiotik dengan deeskalasi.
Antibiotik sebaiknya diberikan dalam waktu tidak lebih dari satu jam setelah diagnosis
sepsis didapatkan. Pemilihan antibiotik empirik didasarkan pada antibiotik yang aktif
terhadap bakteri penyebab dan yang dapat mencapai sumber infeksi. Pemeriksaan kadar
ptokalsitonin digunakan untuk membantu diagnosis. Untuk infeksi akibat mikroba yang
Multi Drug Resistant seperti Acinebacter dan Pseudomas, sebaiknya menggunakan
antibiotic kombinasi. Untuk pasien sepsis dengan gagal nafas dan syok sepsis, sebaiknya
menggunakan kombinasi antara sprktrum B Lactam dengan Aminoglycoside atau
Flouroquinolone. Untuk pasien syok sepsis akibat infeksi Streptococcus pneumonia,
sebaiknya kombinasi B lactam dengan macrolide. Kombinasi antibiotic empiric
sebaiknya tidak dipakai 3-5 hari. Durasi pemberian antimikroba biasanya 7-10 hari, tetapi
terdapat lebih panjang bila pasien dengan defisiensi imun. Bila disebabkan oleh infeksi
virus makan diberi antivirus. Pemeberian antibiotik sebaiknya tidak diberikan pada sepsis
yang disebabkan bukan infeksi.4

Menejemen Spetik Syok pada 6 jam pertama

1. Pemberian vasopressor

Vasopressor diberikan apabila masih terdapat hipotensi setelah dilakukan resusitasi adekuat
atau kadar serum laktat 4 mmol/L. Early Goal-Directed Theraphy merupakan upaya untuk
menentukan titik akhir terapi. Titik akhir/ end point yang di gunakan sangat bervariasi, namun
berusaha untuk menyesuaikan preload, kontraktiliti dan afterload untuk menyeimbangkan
ketersediaan oksigen dan kebutuhan oksigen. Terdapat dua rujukan yang harus diperhatikan pada
tatalaksana dengan metode EGDT yaitu : (1). Tekanan vena sentral (Central Venous Pressure)
untuk penyesuaian hemodinamik ( 8 mmHg), (2). Memaksimalkan saturasi oksigen di vena
central (ScVO2) (70%). Telah diketahui bahwa aliran darah seseorang bergantung pada tekanan
darahnya dan aliran darah ke organ tertentu diatur oleh autoregulasi untuk setiap organ. Selama
cardiac output dipertahankan, jika tekanan darah dipertahankan di atas nilai tertentu, maka aliran
darah ke masing-masing organ akan mencukupi. Bila tekanan darah turun di bawah ambang,
maka kemampuan autoregulasi untuk mempertahankan aliran darah ke organ vital akan hilang.
Akibatnya aliran darah ke organ tersebut akan menurun. Temuan tersebut menjadi dasar untuk
mengembalikan tekanan darah pada kondisi hipotensi seperti syok sepsis untuk mempertahankan
dan melindungi fungsi organ. Untuk itu, pada pasien yang tetap dalam keadaan hipotensi dan
oligouri setelah resusitasi cairan, diperlukan obat vasoaktif untuk mengembalikan tekanan darah.
Norepinefrin, dosis 0,01 -0,4 mEq/kgBB/ menit yang saat ini menjadi standar tatalaksana syok
sepsis, sangat efektif dalam menaikkan tekanan darah arteri dan dapat dititrasi untuk mencapai
mean arterial pressure (MAP) yang diinginkan. Sayangnya norepinefrin dapat menginduksi
vasokonstriksi melalui stimulasi -adrenergik, sehingga dapat mengurangi aliran darah ke organ
vital apabila vaskularisasi regional mengalami konstriksi berlebih. Dalam keadaan syok sepsis
terjadi respons bifasik dari kadar vasopresin dalam tubuh. Pada awal syok, sekresi vasopresin
meningkat sebagai respons hipotensi, sehingga terjadi peningkatan kadar vasopresin plasma.
Seiring dengan progresi syok, kadar vasopresin menurun dan terjadi defisiensi vasopresin relatif.
Diduga defisiensi tersebut terjadi karena peningkatan sekresi vasopressin pada awal syok
sehingga mengurangi simpanan vasopresin neurohipofiseal. Dengan demikian pemberian infus
kontinu vasopresin pada syok dianggap sebagai salah satu alternatif obat vasoaktif.5

Gambar 3: Vassopressor Therapy for Septic Shock


Diunduh dari : www.google.com

Prokalsitonin

Prokalsitonin adalah suatu prohormon kalsitonin yang terdapat dalam tubuh manusia.
Pada sepsis, peningkatan kadar prokalsitonin dalam darah memiliki nilai yang bermakna yang
dapat digunakan sebagai biomarker sepsis. Dibandingkan dengan biomarker sepsis lainnya,
misalnya CRP (C-Reactive Protein), prokalsitonin lebih sensitif dan kadarnya yang paling cepat
naik setelah terjadi paparan infeksi. Pada penelitian yang telah dilakukan pada bayi prematur,
umur dan jenis kelamin tidak memiliki kaitan yang signifikan pada kenaikan kadar prokalsitonin
pada sepsis. PCT dapat digunakan untuk membedakan suatu infeksi yang diakibatkan oleh
bakteri dengan infeksi yang tidak diakibatkan oleh bakteri. PCT terutama diinduksi dengan
jumlah yang banyak saat terjadi infeksi bakterial, akan tetapi konsentrasi PCT di dalam tubuh
rendah pada inflamasi tipe lain, seperti infeksi virus, penyakit autoimun, penolakan tubuh
terhadap transplantasi organ. Pada keadaan normal kadar PCT dalam darah, jika terjadi inflamasi
oleh bakteri kadar PCT selalu >2 ng/ml sedangkan pada infeksi virus kadar PCT < 0,5 ng/ml.6

Central Venous Pressure

Central Venouse Pressure dikenal dengan singkatan CVP sangat diperlukan untuk
mendukung diagnosis, mengetahui kondisi pasien, serta memonitoring resusitasi. CVP adalah
suatu hasil pengukuran tekanan vena sentral dengan jalan memasang suatu alat Central Venous
Catheter (CVC). CVC tersebut dapat dipasang di beberapa lokasi yaitu di vena jugularis interna,
vena subklavia, dan vena femoralis. Kerugian dan keuntungan pemasangan dalam hal tingkat
kesulitan pemasangan, resiko pemasangan, kenyamanan pasien, perawatan CVC juga
ketersediaan CVC yang sesuai dengan lokasi pemasangan CVC tersebut. CVC merupakan suatu
teknik bersifat invasif. Sehingga resikoresiko tindakan invasif secara umum, juga menjadi
pertimbangan kita dalam melakukan pemasangan ataupun insersi CVC. Nilai normal CVP adalah
2-6 mmHg. CVP digunakan untuk memonitor fungsi jantung, mengambarkan banyaknya darah
yang kembali ke jantung, dan kemampuan jantung memompa darah ke dalam arterial,
mengetahui banyaknya jumlah cairan dalam tubuh, tempat pengambilan darah. Peningkatan
CVP terjadi apabila volume di jantung overload, gagal jantung, dan pada kasus cardiac
tamponade, sedangkan menurunnya nilai CVP menandakan menurunnya sirkulasi darah.7
ScVO2 (Central Venous Oxygen Saturation) dan SvO2 (Mixed Venous Oxygen Saturation)

Penghantaran oksigen yang tidak adekuat berakibat pada meningkatnya pengambilan


oksigen oleh jaringan dan berakibat pada rendahnya saturasi campuran oksigen vena (SvO2) pada
arteri pulmonalis. Saturasi oksigen vena sentral yang diukur pada vena cava superior
berhubungan dengan penghantaran oksigen, dan dapat digunakan sebagai standar pengukuran
yang untuk penghantaran oksigen jaringan yang adekuat selama resusitasi. Kadar ScVO2 yang
ditargetkan adalah > 70 %. SvO2 normal 60-80 %. Angka 70% ini berasal dari jumlah oksigen
yang kembali ke paru, karena sejumlah 30% telah diekstraksi oleh jaringan. Meningkatnya
pengambilan oksigen, atau menurunnya saturasi vena sentral (ScVO 2) merupakan salah satu
parameter yang menunjukkan bahwa telah terjadi suatu mekanisme kompensasi untuk mengatasi
ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen dengan kebutuhan oksigen jaringan. ScVO 2
memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding SvO 2 karena tidak bercampur dengan darah vena yang
berasal dari sinus coronarius. Peningkatan ScVO2 kebutuhan oksigen menurun pada hipotermia,
peningkatan cardiac output, peningkatan kadar hb. Sedangkan penurunan ScVO 2 dan kebutuhan
oksigen meningkat pada kardiogenik syok, penurunan cardiac output, penurunan kadar hb,
menurunnya saturasi oksigen, syok septik dan kejang.7

Saturasi Oksigen (SO2)

Presentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam arteri, saturasi oksigen
normal adalah antara 95 100 %. Penilaian SO 2 untuk mengukur persentase oksigen yang diikat
oleh hemoglobin di dalam aliran darah. Pengukuran saturasi oksigen dengan mengunakan
oksimetri. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi saturasi oksigen yaitu : menurunya
cardiac output akibat syok atau gagal jantung, menurunnya kemampuan hb mengikat oksigen
akibat terpapar karbonmonoxida, nitrat, anemia berat (inadekuat hb), sepsis, dan toksisitas
terhadap sianida.7

Daftar Pustaka

1. Mouncey PR, Osborn TM, Power S, et al. Trial of early, goal-directed resuscitation for
septic shock. April 2 N ENG J MED 372;14 2015
2. Singer M, Deutschman CS,Seymour CW, et al. The third international consensus
definition for sepsis and septik syok (Sepsis-3). JAMA Febuari 23 Vol 315 (8) 2016
3. Herwanto V, Amin Z. Sindrom disfungsi organ multiple : patologi dan diagnosis. Maj
Kedokt Indon, Vol 58 (11) November 2009
4. Surviving Sepsis Campaign: 3 hours bundle,2012
5. Gunardi H. Efektivitas vasopressin dan norepinefrin dalam memperbaiki fungsi ginjal
pada pasien syok sepsis yang disertai akut kidney injury. Program Studi Pendidikan
Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Vol 1 (3) Desember 2013
6. Sarawati PFD. Faktor yang berhubungan dengan hasil tes prokalsitonin pada sepsis.
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2012
7. Kluwer W, Wilkins & William L. Hemodinamic monitoring made increadibly visual. 2 nd
edition.2011

You might also like