Professional Documents
Culture Documents
SAAT ini, batas antara dunia nyata dan dunia maya sangatlah tipis.
Keduanya saling terhubung, semakin erat dan satu sama lain saling
memengaruhi. Salah satu fenomena yang lagi ramai dan patut diwaspadai
penyebarannya ialah persekusi atau tindakan memburu akun-akun
tertentu di media sosial yang diduga melecehkan, mencemarkan,
menghina, atau menodai agama ataupun tokoh agama tertentu.
Niatan baik tak selalu dilakukan dengan proses yang baik. Lebih lanjut,
belum tentu berdampak baik pada terciptanya keteraturan sosial (social
order). Bahkan, jika tak diwaspadai, bisa menstimulasi masalah baru
yakni pertentangan bahkan pelanggaran hukum lainnya.
Konteks perburuan
Hal ini seiring dengan makin mudahnya orang terhubung satu sama lain
melalui teknologi komunikasi dan informasi. Komunikasi warga yang
multikanal tumpah ruah di media sosial, weblog interaktif bahkan aplikasi-
aplikasi yang menyediakan perbincangan gratisan.
Banyak orang abai bahwa media sosial adalah arena pertukaran pesan
yang bersifat one-to-many (dari satu ke banyak orang), bahkan many-to-
many (dari banyak orang ke banyak orang).
Misalnya membuka detail data profil pribadi (track down) seseorang yang
menjadi target persekusi, melakukan tekanan mental melalui pilihan kata
atau kalimat yang kasar, tekanan fisik, mendatangi rumah dan kehidupan
nyata si target buruan secara bersama-sama.
Dampak pembiaran
Hal yang tak terhindari dari setiap perhelatan kontestasi elektoral tersebut
ialah preferensi pilihan warga yang kerap kali terpolarisasi sedemikian
rupa. Polarisasi dukungan kerap kali menghadirkan gesekan.
Dari kampanye terutama yang sifatnya negatif dan hitam (negative and
black campaign), propaganda, hingga fitnah dan rumor dalam upaya
memengaruhi opini dan persepsi masyarakat. Sangat mungkin ragam
ucapan dan tindakan di muka umum yang menghina orang atau pihak lain
makin menjadi-jadi. Tak hanya di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah lain.
Pertama, persekusi akan dianggap hal lumrah dan bisa dilakukan siapa
saja kepada mereka yang dianggap melecehkan atau menghina salah
satu pihak. Peran penegakan hukum akan mengalami pergeseran dengan
pelibatan peran semena-mena yang dilakukan satu kelompok warga atas
pribadi atau kelompok warga lainnya. Inilah fenomena law and disorder
karena akan memantik tindakan di luar hukum.
Video yang diviralkan di media sosial dan sangat mudah diakses warga
memudahkan orang lain mengopi persekusi dengan cara yang sama,
misalnya mendatangi target buruan dengan syarat-syarat atau tanda-
tanda kesamaan seperti yang dipertontonkan.
Pola yang sama, atribut yang sama, terutama isu yang sama bisa
dijadikan pola tindakan berulang yang sama pula.
Dalam konteks persekusi yang dibiarkan ini, bisa saja akan memperluas
persekusi-persekusi lain di luar isu penghinaan agama dan ulama.
Bisa isu persaingan usaha, persaingan tokoh di pilkada atau pilpres, tetapi
cara yang digunakan dalam memburu target buruan bisa saja sama
seperti persekusi yang ramai belakangan ini.
Dalam konteks ini sangat mungkin juga muncul perilaku persekusi yang
dilakukan sekelompok orang yang tahu persis dengan melakukan
tindakannya tersebut, mereka mendapatkan imbalan.
Dalam kasus ini, bisa saja bertemu antara pihak yang punya kepentingan
baik politik maupun ekonomi dan para pelaku persekusi. Misalnya,
membuat semacam 'proyek' delegitimasi pihak lawan atau pendukungnya
dalam pilkada, pileg, maupun pilpres.
Perilaku belajar sosial dari persekusi ini akan semakin menjadi-jadi jika
tersedia aspek yang disebut observational learning.
Dengan perhatian (attention), warga yang awalnya tidak tahu atau tidak
mengenal persekusi menjadi tahu, mengenal, dan memperhatikan.
Hal ini menjadi input sekaligus memberi 'ruang' atau 'loker' kognitif pada
khalayak sehingga suatu saat sangat mungkin ada recalling perilaku
meniru.