You are on page 1of 19

PRESENTASI KASUS

ANESTESI SPINAL

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti


Ujian Akhir Stase Anestesi di RSUD Tidar Magelang

Diajukan Kepada :
dr. Budi Aviantoro, Sp.An

Disusun Oleh :
ALDHIMAS MARTHSYAL PRATIKNA
(20110310070)

SMF BAGIAN ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR KOTA MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015
IDENTITAS PASIEN
Nama : Muslih
Umur : 32 tahun
Jenis kelamin : Laki Laki
Pekerjaan : Petani

KASUS
Seorang pasien laki-laki berusia 32 tahun dirawat di RSUD Tidar sejak
tanggal 17 Maret 2016 dengan keluhan benjolan di bagian inguinal kiri sejak
kurang lebih 1 tahun yang lalu, pasien mengatakan bahwa benjolan tersebut
dapat keluar masuk dan sering dipijat oleh pasien untuk masuk lagi. Pasien
bekerja sebagai petani dan sering mengangkat beban berat.
Pasien kemudian menjalani operasi pada tanggal 18 Maret 2016, tindakan
operasi yang dilakukan adalah Hernioraphy dengan pemilihan anestesi jenis
spinal. Pada awalan operasi pasien diberikan campuran Decain Spinal 3mg
dan Morphine 0,2mg, setelah pasien merasakan efek anestesi, pasien
diberikan Piralen (metoclopramide), Ketesse (Dexketoprofen), Orasic
(Tamadol Hidroklorida). Sesaat operasi dimulai pasien mengalami
penurunan tekanan darah, tetapi pasien tidak mengeluhkan apapun. Kurang
lebih setelah satu jam berjalan operasi selesai dan pasien masih dalam
kondisi yang baik.
ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Benjolan di bagian atas kiri kemaluan

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan benjolan di bagian atas kiri kemaluan sejak
kurang lebih satu tahun yang lalu, benjolan tidak terasa nyeri dan dapat
dimasukkan kembali dengan sengaja atau tidak sengaja. Pasien mengatakan
bahwa benjolan sering dipijat.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
-
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat asma, penyakit jantung, kejang, Diabetes mellitus, dan riwayat
penyakit yang sama dengan pasien disangkal.

PEMERIKSAAN FISIK
a. KU : Baik
b. GCS : E 4, M 6, V 5
c. Kesadaran : Compos mentis
d. Vital Sign : Suhu : 36,4 celcius
e. Mata : konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), mata cekung (-
)
e. Hidung : discharge (-)
f. Telinga : ottorhea (-)
g. Thorax : - Inspeksi : simetris, retraksi (-), nafas
berbunyi
- Palpasi : ketinggalan gerak
- Auskultasi : vesikuler (+/+), ronki (-/-),
Wheezing (-/-), S1/S2 reguler, bising (-)
h. Abdomen : - Inspeksi : Distensi (-), jejas (-), benjolan uk : 4cm
Kenyal, nyeri (-)
- Auskultasi : peristaltic (+)
- Perkusi :-
- Palpasi :-
i. Ekstremitas : akral hangat, udem (-), capillary refill < 2 detik
j. Kulit : turgor baik, ikterik (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Rutin 17-03-2016

Parameter Hasil

Hb 15,7 g/dl

Leukosit 9,9 10^3/ul

Hematokrit 45,2 %

Angka Trombosit 324 10^3/ul

Jumlah Netrofil 78 %

Jumlah Limfosit 17 %

b. Fungsi ginjal

Parameter Hasil

Ureum 14 mg/dl

Kreatinin 0,81 mg/dl


c. Koagulasi

Parameter Hasil

CT 5 menit

BT 2, 30 menit
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang
menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau ruang
subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5, untuk menghasilkan onset
anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang tinggi. Walaupun teknik ini sederhana,
dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang
mempengaruhi distribusi anestesi lokal di ruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan
mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal.
Kontra indikasi absolut anastesi spinal meliputi pasien menolak, infeksi di daerah
penusukan, koagulopati, hipovolemi berat, peningkatan tekanan intrakranial, stenosis aorta
berat dan stenosis mitral berat. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi pasien tidak
kooperatif, sepsis, kelainan neuropati seperti penyakit demielinisasi sistem syaraf pusat, lesi
pada katup jantung serta kelainan bentuk anatomi spinal yang berat. Ada juga menyebutkan
kontraindikasi kontroversi yang meliputi operasi tulang belakang pada tempat penusukan,
ketidakmampuan komunikasi dengan pasien serta komplikasi operasi yang meliputi operasi
lama dan kehilangan darah yang banyak.
Anestesi spinal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke dalam ruang
subarakhnoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan ke dalam cairan serebrospinal
lumbal, bekerja pada lapisan superfisial dari korda spinalis, tetapi tempat kerja yang utama
adalah serabut preganglionik karena mereka meninggalkan korda spinal pada rami anterior.
Karena serabut sistem saraf simpatis preganglionik terblokade dengan konsentrasi anestesi
lokal yang tidak memadai untuk mempengaruhi serabut sensoris dan motoris, tingkat denervasi
sistem saraf simpatis selama anestesi spinal meluas kira-kira sekitar dua segmen spinal sefalad
dari tingkat anestesi sensoris. Untuk alasan yang sama, tingkat anestesi motorik rata-rata dua
segmen dibawah anestesi sensorik
Spinal anestesi mempunyai beberapa keuntungan antara lain, perubahan metabolik dan
respon endokrin akibat stress dapat dihambat, komplikasi terhadap jantung, otak, paru dapat
minimal, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah yang terblok sementara pasien dalam
keadaan sadar. Selain keuntungan ada juga kerugian daricara ini yaitu berupa komplikasi yang
meliputi hipotensi, mual dan muntah, PDPH, nyeri pinggang dan lainnya.
Anatomi Kolumna Vertebrata
Vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam spinal anestesi,
karena sebagian besar penusukan pada spinal anestesi dilakukan pada daerah ini. Kolumna
vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5 bagian yaitu 7 servikal, 12
thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis mempunyai empat
lengkungan yaitu daerah servikal dan lumbal melengkung ke depan, daerah thorakal dan sakral
melengkung ke belakang sehingga pada waktu berbaring daerah tertinggi adalah L3, sedang
daerah terendah adalah L5.
Segmen medulla spinalis terdiri dari 31 segmen : 8 segmen servikal, 12 thorakal, 5
lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan melekatnya kelompokkelompok
saraf. Panjang setiap segmen berbeda-beda, seperti segmen tengah thorakal lebih kurang 2 kali
panjang segmen servikal atau lumbal atas. Terdapat dua pelebaran yang berhubungan dengan
saraf servikal atas dan bawah. Pelebaran servikal merupakan asal serabut-serabut saraf dalam
pleksus brakhialis. Pelebaran lumbal sesuai dengan asal serabut saraf dalam pleksus
lumbosakralis. Hubungan antara segmen-segmen medulla spinalis dan korpus vertebralis serta
tulang belakang penting artinya dalam klinik untuk menentukan tinggi lesi pada medulla
spinalis dan juga untuk mencapainya pada pembedahan.
Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar yaitu kulit,
subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater. Arakhnoid terletak
antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai medulla spinalis dan melekat pada
duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arachnoid
Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga
dibawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub arakhnoid merupakan
sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak, jaringan lemak,
pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medulla spinalis. Pada orang dewasa
medulla spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal
Anestesi Lokal
Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik. Pada pemakaian seharihari,
obat ini dapat dibagi menjadi golongan amino ester dan golongan amino amida. Ikatan ester
mempunyai sifat mudah dihidrolisis dalam hepar dan oleh plasma esterase, mula kerja lambat,
lama kerja pendek dan hanya sedikit menembus jaringan. Sedangkan ikatan amida mudah
menjadi tidak aktif oleh hepatic amidase, mula kerja cepat, lama kerja lebih lama dan lebih
banyak menembus jaringan. Kelompok ester antara lain procaine, chloroprocaine dan
tetracaine. Kelompok amida antara lain lidocaine, mepivacaine, bupivacaine dan etidocaine
Anestesi lokal yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain 5% sudah ditinggalkan
karena mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga bupivakain menjadi pilihan utama untuk
anestesi spinal saat ini. Anestesi lokal dapat dibuat isobarik, hiperbarik atau hipobarik terhadap
cairan serebrospinal. Barisitas anestesi lokal mempengaruhi penyebaran obat tergantung dari
posisi pasien. Larutan hiperbarik disebar oleh gravitasi, larutan hipobarik menyebar
berlawanan arah dengan gravitasi dan isobarik menyebar lokal pada tempat injeksi
Setelah disuntikkan ke dalam ruang intratekal, penyebaran zat anestesi lokal akan
dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama yang berhubungan dengan, hukum fisika dinamika
dari zat yang disuntikkan, antara lain Barbotase (tindakan menyuntikkan sebagian zat anestesi
lokal ke dalam cairan serebrospinal, kemudian dilakukan aspirasi bersama cairan serebrospinal
dan penyuntikan kembali zat anestesi lokal yang telah bercampur dengan cairan serebrospinal),
volume, berat jenis, dosis, tempat penyuntikan, posisi penderita saat atau sesudah penyuntikan.

Dampak Fisiologis
a. Pengaruh terhadap sistem kardiovaskuler :
Pada anestesi spinal tinggi terjadi penurunan aliran darah jantung dan penghantaran
(supply) oksigen miokardium yang sejalan dengan penurunan tekanan arteri rata-rata.
Penurunan tekanan darah yang terjadi sesuai dengan tinggi blok simpatis, makin banyak
segmen simpatis yang terblok makin besar penurunan tekanan darah. Untuk menghindarkan
terjadinya penurunan tekanan darah yang hebat, sebelum dilakukan anestesi spinal diberikan
cairan elektrolit NaC1 fisiologis atau ringer laktat 10-20 ml/kgbb. Pada Anestesi spinal yang
mencapai T4 dapat terjadi penurunan frekwensi nadi dan penurunan tekanan darah dikarenakan
terjadinya blok saraf simpatis yang bersifat akselerator jantung.
b. Terhadap sistem pernafasan :
Pada anestesi spinal blok motorik yang terjadi 2-3 segmen di bawah blok sensorik,
sehingga umumnya pada keadaan istirahat pernafasan tidak banyak dipengaruhi. Tetapi apabila
blok yang terjadi mencapai saraf frenikus yang mempersarafi diafragma, dapat terjadi apnea.
c. Terhadap sistem pencernaan :
Oleh karena terjadi blok serabut simpatis preganglionik yang kerjanya menghambat
aktifitas saluran pencernaan (T4-5), maka aktifitas serabut saraf parasimpatis menjadi lebih
dominan, tetapi walapun demikian pada umumnya peristaltik usus dan relaksasi spingter masih
normal. Pada anestesi spinal bisa terjadi mual dan muntah yang disebabkan karena hipoksia
serebri akibat dari hipotensi mendadak, atau tarikan pada pleksus terutama yang melalui saraf
vagus.

Bupivakain Hidroklorida
Bupivakain hidroklorida adalah obat anestesi lokal golongan amida dengan rumus
kimianya 2-piperidine karbonamida, 1 butyl (2,6- dimethilfenil) monoklorida. Oleh karena
lama kerja yang panjang, maka sangat mungkin menggunakan obat anestesi lokal ini dengan
teknik satu kali suntikan. Untuk prosedur pembedahan yang lebih lama dapat dipasang kateter
dan obat diberikan kontinyu sehingga resiko toksisitas menjadi berkurang oleh karena selang
waktu pemberian obat yang cukup lama.
Kerugian dari anestesi lokal ini adalah toksisitasnya sangat hebat, bahkan mungkin
sampai fatal. Bukti-bukti menunjukkan bahwa obat ini dapat menimbulkan toksisitas pada
jantung. Manifestasi utamanya adalah fibrilasi jantung. Oleh karena itu pada pemakaian jenis
obat ini untuk anestesi regional diperlukan pengawasan yang sangat ketat.
Farmakologi
Mekanisme kerjanya sama seperti anestesi lokal lain, yaitu menghambat impuls saraf
dengan cara :
a. Mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium.
Universitas Sumatera Utara Obat ini bekerja pada reseptor spesifik pada saluran sodium
(sodium chanel). Dengan demikian tidak terjadi proses depolarisasi dari membran sel saraf
sehingga tidak terjadi potensial aksi dan hasilnya tidak terjadi konduksi saraf.
b. Meninggikan tegangan permukaan selaput lipid monomolekuler. Obat ini bekerja
dengan meninggikan tegangan permukaan lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf,
sehingga menutup pori-pori membran dengan demikian menghambat gerak ion termasuk Na+
Sifat-sifat fisik yang mempengaruhi obat anestetika lokal adalah :
a. Ikatan protein :
Ikatan protein ini penting untuk persediaan dan pemeliharaan blokade saraf.
b. Konstanta disosiasi (pKa):
pKa adalah dimana 50% dari obat tersebut berada dalam bentuk terionisasi dan 50%
lainnya tidak terionisasi. Obat dengan pKa mendekati pH fisiologis (7,4) akan memiliki
bentuk ion-ion yang lebih banyak dibandingkan dengan obat anestesi yang pKa nya
lebih tinggi sehingga akan lebih mudah berdifusi melalui membran, dengan demikian
onsetnya lebih cepat. Bupivakain mempunyai pKa lebih tinggi (8,1) sehingga mula
kerja obat ini lebih lama (5-10 menit) dan analgesia yang adekuat dicapai antara 15-20
menit
c. Kelarutan dalam lemak
Obat anestesi lokal semakin tinggi kelarutan dalam lemak, maka semakin poten dan
semakin lama kerja obat tersebut. Struktur bupivakain identik dengan mepivakain,
perbedaannya terletak pada rantai yang lebih panjang dengan tambahan tiga grup metil
pada cincin piperidin. Tambahan struktur ini menyebabkan peningkatan kelarutan
bupivakain terhadap lemak serta meningkatnya ikatan obat dengan protein. Potensi
bupivakain 3-4 kali lebih kuat dari mepivakain dan 8 kali dari prokain. Lama kerjanya
2-3 kali lebih lama dibandingkan mepivakain sekitar 90-180 menit.
Bupivakain Hidroklorida Hiperbarik
Larutan bupivakain hidroklorida hiperbarik bupivakain adalah larutan anestesi lokal
bupivakain yang mempunyai berat jenis lebih besar dari berat jenis cairan serebrospinal (1,003-
1,008). Cara pembuatannya adalah dengan menambahkan larutan glukosa kedalam larutan
isobarik bupivakain.
Cara kerja larutan hiperbarik bupivakain adalah melalui mekanisme hukum gravitasi,
yaitu suatu zat/larutan yang mempunyai berat jenis yang lebih besar dari larutan sekitarnya
akan bergerak ke suatu tempat yang lebih rendah. Dengan demikian larutan bupivakain
hiperbarik yang mempunyai barisitas lebih besar akan cepat ke daerah yang lebih rendah
dibandingkan dengan larutan bupivakain yang isobarik, sehingga mempercepat penyebaran
larutan bupivakain hiperbarik tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan bupivakain hiperbarik pada
Anestesi spinal :
1. Gravitasi :
Cairan serebrospinal pada suhu 37C mempunyai BJ 1,003-1,008. Jika larutan
hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal akan bergerak oleh gaya gravitasi ke
tempat yang lebih rendah, sedangkan larutan hipobarik akan bergerak berlawanan arah dengan
gravitasi seperti menggantung dan jika larutan isobarik akan tetap dan sesuai dengan tempat
injeksi.
2. Postur tubuh :
Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medula spinalisnya dan volume dari
cairan serebrospinal di bawah L2 makin banyak sehingga penderita yang lebih tinggi
memerlukan dosis yang lebih banyak dari pada yang pendek.
3. Tekanan intra abdomen :
Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan bendungan saluran pembuluh darah
vena abdomen dan juga pelebaran saluran-saluran vena di ruang epidural bawah, sehingga
ruang epidural akan menyempit dan akhirnya akan menyebabkan penekanan ke ruang
subarakhnoid sehingga cepat terjadi penyebaran obat anestesi lokal ke kranial. Perlu
pengurangan dosis pada keadaan seperti ini
4. Anatomi kolumna vertebralis :
Anatomi kolumna vertebralis akan mempengaruhi lekukan-lekukan saluran
serebrospinal, yang akhirnya akan mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada penggunaan
anestesi lokal jenis hiperbarik
5. Tempat penyuntikan :
Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia yang dihasilkan makin tinggi.
Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih memudahkan penyebaran obat ke kranial dari pada
penyuntikan pada L4-5.
6. Manuver valsava :
Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih besar jika tekanan dalam cairan
serebrospinal meningkat yaitu dengan cara mengedan.
7. Volume obat :
Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu percobaan yang dilakukan oleh
Anellson, 1984, dikatakan bahwa penyebaran maksimal obat kearah sefalad dibutuhkan waktu
kurang lebih 20 menit pada semua jenis volume obat( 1,5 cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Mula kerja
untuk tercapainya blok motorik akan bertambah pendek waktunya dengan bertambahnya
volume. Makin besar volume obat makin tinggi level blok sensoriknya.
8. Konsentrasi obat :
Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain 0,75% hiperbarik akan
menghasilkan penyebaran obat ke arah sefalad lebih tinggi beberapa segmen dibandingkan
dengan bupivakain 0,5% hiperbarik (WA Chamber, 1981). Lama kerja obat akan lebih panjang
secara bermakna pada penambahan volume bupivakain 0,75%. Demikian pula perubahan
kardiovaskuler akan berbeda bermakna pada bupivakain 0,75% hiperbarik
9. Posisi tubuh :
Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith dikatakan tidak ada pengaruh
penyebaran obat jenis obat larutan isobarik pada tubuh, sedangkan pada jenis larutan hiperbarik
akan dipengaruhi posisi tubuh. Pada larutan hiperbarik posisi terlentang bisa mencapai level
blok T pada posisi duduk hanya mencapai T8

Hipotensi pada Anestesi Spinal


Komplikasi hemodinamik pada anestesi spinal yang paling sering terjadi adalah
hipotensi. Hal ini merupakan perubahan fisiologis yang sering terjadi pada anestesi spinal.
Insidensi kejadian hipotensi pada anestesi spinal mencapai 8 33 %. Dan dalam penelitiannya,
Scott, 1991., menyebutkan bahwa pada 11.000 kasus yang dilakukan anestesi spinal, 38 %
diantaranya mengalami hipotensi. Penyebab utama dari terjadinya hipotensi pada anestesi
spinal adalah blokade simpatis. Dimana derajat hipotensi berhubungan dengan tingkat
penyebaran obat anestesi lokal. Level blok yang hanya mencapai sacral maupun lumbal
biasanya hanya sedikit ataupun tidak berpengaruh terhadap tekanan darah, dibandingkan
dengan level blok yang lebih tinggi.

Regulasi Fisiologis Tekanan Darah


Tekanan darah ditentukan oleh tahanan vaskuler sistemik dan curah jantung. Curah
jantung ditentukan oleh laju nadi dan stroke volume, sementara stroke volume sendiri
dipengaruhi oleh kontraktilitas otot jantung, after load dan preload, dimana hal ini semua
berhubungan dengan venous retun. Venous return sendiri dipengaruhi oleh gravitasi (gaya
berat), tekanan intratorakal dan derajat tonus venomotor. Tahanan vaskuler sistemik ditentukan
oleh tonus simpatis vasomotor dan dipengaruhi oleh hormon-hormon seperti renin,
angiotensin, aldosteron dan hormon antidiuretik, metabolik lokal (pada jaringan dan darah),
serta konsentrasi 02 dan C02.
Perubahan dalam mikrosirkulasi juga mempengaruhi tekanan arterial, faktor tersebut
bertanggung jawab untuk autoregulasi terhadap aliran darah. Ada dua mekanisme utama yaitu
myogenik dan Chemical. Aksi autoregulasi myogenik melalui reseptor regangan pada dinding
pembuluh darah dimana akan menyebabkan konstriksi ketika tekanan menurun. Autoregulasi
chemical dipengaruhi oleh konsentrasi lokal dari metabolit vasoaktif. Dengan adanya
vasodilatasi akibat blokade simpatis, peningkatan aliran akan mengencerkan metabolit dan
menghasilkan reflek vasokonstriksi.
Jadi hipotensi selama anestesi spinal berhubungan dengan luasnya blokade simpatis,
dimana mempengaruhi tahanan vaskuler perifer dan curah jantung. Besarnya perubahan
kardiovaskuler tergantung atas derajat dari tonus simpatis yang timbul dengan segera setelah
injeksi spinal.
Hipotensi pada Anestesi Spinal
Hipotensi adalah suatu keadaan tekanan darah yang rendah yang abnormal, yang
ditandai dengan tekanan darah sistolik yang mencapai dibawah 80 mmHg atau 90 mmHg,
atau dapat juga ditandai dengan penurunan sistolik atau MAP (Mean Arterial Pressure)
mencapai dibawah 30 % dari baseline.
Penyebab utama terjadinya hipotensi pada anestesi spinal adalah blokade tonus
simpatis. Blok simpatis ini akan menyebabkan terjadinya hipotensi, hal ini disebabkan oleh
menurunnya resistensi vaskuler sistemik dan curah jantung. Pada keadaan ini terjadi
pooling darah dari jantung dan thoraks ke mesenterium, ginjal, dan ekstremitas bawah.
Manifestasi fisiologi yang umum pada anestesi spinal adalah hipotensi dengan
derajat yang bervariasi dan bersifat individual. Terjadinya hipotensi biasanya terlihat pada
menit ke 20 30 pertama setelah injeksi, kadang dapat terjadi setelah menit ke 45 60.
Derajat hipotensi berhubungan dengan kecepatan obat lokal anestesi ke dalam ruang
subarachnoid dan meluasnya blok simpatis. Blok yang terbatas pada dermatom lumbal dan
sakral menyebabkan sedikit atau tidak ada perubahan tekanan darah. Anestesi spinal yang
meluas sampai ke tingkat thorax tengah berakibat dalam turunnya tekanan darah yang
sedang. Anestesi spinal yang tinggi, di atas thorax 4 5, menyebabkan blokade simpatis
dari serabut-serabut yang menginervasi jantung, mengakibatkan penurunan frekwensi
jantung dan karena kotraktilitas jantung dan venous return menyebabkan penurunan curah
jantung. Semuanya itu menyebabkan hipotensi yang dalam.
Faktor-faktor pada anestesi spinal yang mempengaruhi terjadinya hipotensi :
1. Ketinggian blok simpatis
Hipotensi selama anestesi spinal dihubungkan dengan meluasnya blokade simpatis
dimana mempengaruhi tahanan vaskuler perifer dan curah jantung. Blokade simpatis yang
terbatas pada rongga thorax tengah atau lebih rendah menyebabkan vasodilatasi anggota
gerak bawah dengan kompensasi vasokonstriksi pada anggota gerak atas atau dengan kata
lain vasokonstriksi yang terjadi diatas level dari blok, diharapkan dapat mengkompensasi
terjadinya vasodilatasi yang terjadi dibawah level blok.
2. Posisi Pasien
Kontrol simpatis pada sistem vena sangat penting dalam memelihara venous return
dan karenanya kardiovaskuler memelihara homeostasis selama perubahan postural. Vena-
vena mempunyai tekanan darah dan berisi sebagian besar darah sirkulasi (70%). Blokade
simpatis pada anestesi spinal menyebabkan hilangnya fungsi kontrol dan venous return
menjadi tergantung pada gravitasi. Jika anggota gerak bawah lebih rendah dari atrium kanan,
vena-vena dilatasi, terjadi sequestering volume darah yang banyak (pooling vena).
Penurunan venous return dan curah jantung bersama-sama dengan penurunan tahanan perifer
dapat menyebabkan hipotensi yang berat. Hipotensi pada anestesi spinal sangat dipengaruhi
oleh posisi pasien. Pasien dengan posisi head-up akan cenderung terjadi hipotensi
diakibatkan oleh venous pooling. Oleh karena itu pasien sebaiknya pada posisi slight head-
down selama anestesi spinal untuk mempertahankan venous return.
3. Faktor yang berhubungan dengan kondisi pasien
Kondisi fisik pasien yang dihubungkan dengan tonus simpatis basal, juga
mempengaruhi derajat hipotensi. Hipovolemia dapat menyebabkan depresi yang serius pada
sistem kardiovaskuler selama anestesi spinal. Pada hipovolemia, tekanan darah
dipertahankan dengan peningkatan tonus simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi perifer.
Blok simpatis oleh karena anestesi spinal mungkin mencetuskan hipotensi yang dalam.
Karenanya hipovolemia merupakan kontraindikasi relative pada anestesi spinal. Tetapi,
anestesi spinal dapat dilakukan jika normovolemi dapat dicapai dengan penggantian volume
cairan. Pasien hamil, sensitif terhadap blokade sympatis dan hipotensi. Hal ini dikarenakan
obstruksi mekanis venous return oleh uterus gravid. Pasien hamil harus ditempatkan dengan
posisi miring lateral, segera setelah induksi anestesi spinal untuk mencegah kompresi vena
cava. Demikian juga pasien dengan tumor abdomen, atau masa abdomen, mungkin
menyebabkan hipotensi berat pada anestesi spinal. Pasien-pasien tua dengan hipertensi dan
ischemia jantung sering menjadi hipotensi selama anestesi spinal dibanding dengan pasien -
pasien muda sehat
4. Faktor Agent Anestesi Spinal
Derajat hipotensi tergantung juga pada agent anestesi spinal. Pada level anestesi yang
sama, bupivacaine mengakibatkan hipotensi yang lebih kecil dibandingkan tetracaine. Hal
ini mungkin disebabkan karena blokade serabut-serabut simpatis yang lebih besar dengan
tetracain di banding bupivacaine. Barisitas agent anestesi juga dapat berpengaruh terhadap
hipotensi selama anestesi spinal. Agent tetracaine maupun bupivacaine yang hiperbarik dapat
lebih menyebabkan hipotensi dibandingkan dengan agent yang isobarik ataupun hipobarik.
Hal ini dihubungkan dengan perbedaan level blok sensoris dan simpatis. Dimana agent
hiperbarik menyebar lebih jauh daripada agent isobarik maupun hipobarik sehingga
menyebabkan blokade simpatis yang lebih tinggi.
Mekanisme lain yang dapat menjelaskan bagaimana anestesi spinal dapat
menyebabkan hipotensi adalah efek sistemik dari obat anestesi lokal itu sendiri. Obat anestesi
lokal tersebut mempunyai efek langsung terhadap miokardium maupun otot polos vaskuler
perifer. Semua obat anestesi mempunyai efek inotropik negatif terhadap otot jantung. Obat
anestesi lokal tetracaine maupun bupivacaine mempunyai efek depresi miokard yang lebih
besar dibandingkan dengan lidocaine ataupun mepivacaine.
Adapun beberapa faktor resiko lain terjadinya hipotensi pada anestesi spinal,
diantaranya adalah hipertensi preoperatif, usia lebih dari 40 th, obesitas, kombinasi general
anestesi dan regional anestesi, alkoholisme yang kronis, dan tekanan darah baseline kurang
dari 120 mmHg
Penatalaksanaan Hipotensi
1. Tindakan Preventif
Pemberian preloading pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal dengan 1 2
liter cairan intravena (kristaloid atau koloid) sudah secara luas dilakukan untuk mencegah
hipotensi pada anestesi spinal. Pemberian cairan tersebut secara rasional untuk meningkatkan
volume sirkulasi darah dalam rangka mengkompensasi penurunan resistensi perifer.
Kleinman dan Mikhail mengatakan hipotensi akibat efek kardiovaskuler dari anestesi
spinal dapat diantisipasi dengan loading 10 20 ml/kg cairan intravena (kristaloid atau koloid)
pada pasien sehat akan dapat mengkompensasi terjadinya venous pooling.
Salinas mengatakan bahwa penurunan tekanan darah dapat dicegah dengan pemberian
preloading cairan kristaloid. Namun hal ini tergantung dari waktu pemberian cairan tersebut.
Dia mengatakan pemberian 20 ml/kg ringer laktat (RL) sesaat setelah dilakukan anestesi spinal
dapat secara efektif menurunkan frekuensi terjadinya hipotensi, bila dibandingkan dengan
preloading 20 menit atau lebih sebelum dilakukan anestesi spinal.
Vercauteren, et.al., dalam penelitiannya mengatakan pemberian ephedrine sebelum
anestesi spinal juga dapat digunakan sebagai tindakan preventif terjadinya hipotensi. Dalam
penelitiannya dengan pemberian 5 mg ephedrine IV (bolus) dapat mengurangi insidensi
terjadinya hipotensi.
2. Penatalaksanaan hipotensi
Penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal tergantung pada penyebab dasarnya.
Jika terjadi hipotensi secara mendadak yang kemudian diikuti dengan bradikardia dan nausea,
hal ini mungkin disebabkan akibat vasovagal syncope. Atropine dapat diberikan pada keadaan
ini, namun tidak se-efektif bila diberikan vasopresor.
Untuk mengatasi hipotensi secara efektif, penyebab utama dari hipotensi harus
dikoreksi. Penurunan curah jantung dan venous return harus diatasi, pemberian kristaloid
sering kali berguna untuk memperbaiki venous return. Dalam prakteknya pemberian
preloading 500 1500 ml kristaloid dapat menurunkan terjadinya hipotensi, walaupun pada
beberapa penelitian lain tidak efektif.
Penggunaan hanya dengan cairan intra vena tidak cukup efektif dalam penanganan
hipotensi akibat anestesi spinal. Respon tekanan darah terhadap pemberian cairan intra vena
membutuhkan waktu beberapa menit, sedangkan pada beberapa kasus hal itu tidak cukup cepat,
oleh karena itu sebagai obat pilihan utama diberikan vasopresor
Secara fisiologis penatalaksanaan hipotensi adalah dengan mengembalikan preload.
Cara yang efektif adalah dengan memposisikan pasien menjadi trendelenburg atau dengan head
down. Posisi ini tidak boleh lebih dari 20 , karena dengan posisi trendelenburg yang terlalu
ekstrim dapat menyebabkan penurunan prefusi cerebral dan dapat meningkatkan tekanan vena
jugularis, dan bila ketinggian blok pada anestesi spinal belum menetap, posisi trendelenburg
dapat meningkatkan ketinggian level blok pada pasien yang mendapatkan agen hiperbarik,
yang dapat memperburuk keadaan hipotensinya. Hal ini dapat dihindari dengan menaikkan
bagian atas tubuh menggunakan bantal dibawah bahu ketika bagian bawah tubuh sedikit
dinaikkan diatas jantung.

Algoritme penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal


1. Pada pasien sehat
Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih, dilakukan loading cairan
kristaloid 500 1000 ml dengan mempertimbangkan diberikan vasopresor, bila laju nadi
sekitar 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 5 10 mg IV, dan bila laju nadi sekitar 80
kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 50 100 mcg IV, pemberian vasopresor tersebut
dapat diulang setiap 2 3 mnt bila perlu sampai tekanan darah kembali normal. Perlu
dipertimbangkan juga untuk mengubah posisi menjadi trendelenburg.
2. Pada pasien dengan adanya penyakit jantung dan kardiovaskuler serta penyakit di susunan
saraf pusat
Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih dan ditemukan adanya
gejala seperti nausea vomitus, nyeri dada, dsb.
Dengan laju nadi 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 10 20 mg IV, jika tidak ada
respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan epinephrine 8 16 mg IV atau
infus titrasi epinephrine 0.15 0.3 mcg/kg/min.
Dengan laju nadi 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 100 200 mcg IV, jika tidak
ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan infus titrasi phenylephrine
0.15 0.75 mcg/kg/min atau infus titrasi norepinephrine 0.01 0.1 mcg/kg/min.
EPHEDRINE
Ephedrine memiliki efek kardiovaskuler seperti epinephrine, dapat meningkatkan
tekanan darah, laju nadi, kontraktilitas, dan curah jantung. Ephedrine juga memiliki efek
bronkodilator. Perbedaannya, ephedrine memiliki durasi yang lebih panjang, kurang poten,
memiliki efek langsung maupun tidak langsung dan dapat menstimulasi susunan saraf pusat.
Efek tidak langsung dari ephedrine dapat menstimulasi sentral, melepaskan norepinephrine
perifer postsinaps, dan menghambat reuptake norepinephrine.
Efek tidak langsungnya dapat meningkatkan vasokonstriksi dengan jalan meningkatkan
pelepasan dari noradrenaline dan menstimulasi secara langsung kedua reseptor () beta untuk
meningkatkan curah jantung, laju nadi, tekanan darah sistolik dan diastolik.
Ephedrine tidak menyebabkan penurunan uterine blood flow, sehingga dapat digunakan
sebagai vasopresor kasus-kasus obstetri. Ephedrine juga memiliki efek antiemetik
Pada dewasa, dosis yang digunakan adalah 5 10 mg IV dengan durasi 5 10 menit
atau 25 mg IM dengan durasi yang lebih panjang. Dapat pula diberikan dalam infus, dengan
dosis 25 30 mg ephedrine dalam 1 liter ringer laktat. Dosis untuk anak-anak dapat diberikan
dengan dosis 0.1 mg/kg.

You might also like