You are on page 1of 18

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena kekurangan besi yang
digunakan untuk sintesis hemoglobin (Hb)1, sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang dengan gambaran darah yang beralih secara progresif dari normositer normokrom
menjadi mikrositik hipokrom2.
Defisiensi besi merupakan defisiensi nutrisi umum di seluruh dunia dan merupakan
masalah kesehatan yang penting terutama di negara berkembang. Berdasarkan data WHO
2001, 30% anak usia 0-4 tahun dan 48% anak usia 5-14 tahun di negara-negara berkembang
menderita anemia.2
Di Indonesia sendiri, Anemia defisiensi besi (ADB) masih merupakan suatu masalah
kesehatan. Secara nasional, proporsi anemia penduduk 1 tahun adalah 21,7 persen, pada
balita 12-59 bulan adalah 28,1 persen, dan ibu hamil sebesar 37,1 persen.3
Anemia defisiensi besi dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi antara lain berupa
gangguan fungsi kognitif, penurunan daya tahan tubuh, tumbuh kembang yang terlambat,
penurunan aktivitas, dan perubahan tingkah laku.4

1.2 Etiologi

Penyebab paling umum dari ADB pada anak-anak adalah kurangnya asupan bersamaan
dengan pertumbuhan yang cepat, berat badan lahir rendah serta gangguan pencernaan akibat
konsumsi berlebihan susu sapi. Pada periode intrauterine, satu-satunya sumber zat besi adalah
zat besi yang dialirkan melalui plasenta. Pada periode akhir kehamilan, jumlah total zat besi
pada janin adalah 75 mg / kg. Anemia fisiologis terjadi pada periode postnatal dan simpanan
besi yang tersedia cukup untuk melakukan eritropoiesis dalam 6 bulan pertama kehidupan
jika tidak ada kehilangan darah yang signifikan. Pada bayi berat lahir rendah dan pada bayi
dengan kehilangan darah sebelum kelahiran, cadangan besi habis lebih awal, karena
cadangan tersebut lebih kecil. Jumlah zat besi dalam ASI berada pada tingkat tertinggi pada
bulan pertama, tetapi menurun secara bertahap dalam periode berikutnya dan berkurang
hingga 0,3 mg / L kira-kira pada bulan kelima. Namun, jumlah ini bervariasi dari individu ke
individu. Telah terbukti bahwa diet ibu tidak mempengaruhi jumlah zat besi dalam ASI.
Meskipun jumlah zat besi yang diterima dari ASI biasanya rendah, penyerapannya cukup
tinggi (50%). Hal ini diketahui bahwa makanan lain yang diberikan selama 6 bulan pertama
selain ASI mengganggu penyerapan zat besi dalam ASI. Oleh karena itu, makanan ini harus
diberikan pada waktu makan yang terpisah. Dikayini bahwa penyerapannya tinggi, tetapi
lebih rendah dari jumlah yang diperlukan untuk pertumbuhan. Dengan demikian, bayi
menggunakan besi dari cadangan besi yang ada dalam 6 bulan pertama sampai jumlah zat
besi yang diterima dari makanan meningkat.4
Makanan padat yang diberikan setelah bulan ke-6 harus kaya terutama zat besi, zinc,
fosfor, magnesium, kalsium dan vitamin B6. Menurut data WHO, 98% dari kebutuhan zat
besi pada bayi berusia 6-23 bulan harus dipenuhi oleh makanan padat. Makanan padat harus
mencakup produk yang kaya seperti daging, ikan, telur dan vitamin C untuk memenuhi
kebutuhan zat besi ini. Kesalahan lain yang terjadi pada bayi menyusui yaitu memberikan
susu sapi yang berlebihan pada waktu awal. Pada bayi, kehilangan darah kronis dapat diamati
dalam kaitannya dengan protein yang sensitif terhadap pabas yang terdapat dalam susu sapi.
Selain itu, penyerapan zat besi dalam susu sapi jauh lebih rendah dibandingkan dengan ASI.
Susu sapi akan menggantikan makanan kaya besi, oleh sebab itu kalsium dan
caseinophosphopeptides dalam susu sapi dapat mengganggu penyerapan zat besi. Jika bayi
diberi makan dengan makanan dengan kandungan besi yang rendah setelah bulan ke-6 ketika
mereka menguras hampir semua cadangan besi mereka, kekurangan zat besi berkembang
dengan mudah.4
Pada pasien dan terutama pada anak-anak yang lebih tua, kehilangan darah sebagai
penyebab harus dipertimbangkan, jika asupan yang tidak memadai dapat disingkirkan atau
ada respon yang memadai untuk pengobatan besi oral. Anemia defisiensi besi kronis yang
berkembang dengan perdarahan tersembunyi diamati dengan tingkat yang relatif rendah pada
anak-anak dan dapat terjadi sebagai akibat dari masalah pencernaan termasuk ulkus
peptikum, divertikulum Meckel, polip, hemangioma atau penyakit inflamasi usus.
Kehilangan darah yang tidak disadari mungkin jarang berhubungan dengan penyakit celiac,
diare kronis atau hemosiderosis paru; diagnosis banding dapat dibuat dengan melihat riwayat
penyakit. Perlu diingat bahwa parasitosis juga dapat berkontribusi untuk kekurangan zat besi
terutama di negara-negara berkembang. Anemia defisiensi besi diamati pada 2% dari remaja
perempuan dan sebagian besar terkait dengan percepatan pertumbuhan dan kehilangan darah
akibat menstruasi. Riwayat menstruasi yang rinci harus diperoleh pada remaja perempuan
dan mendasari gangguan perdarahan termasuk penyakit von-Willebrand harus diingat pada
anak perempuan yang telah perdarahan lebih dari yang diharapkan. 4
Penyebab anemia defisiensi besi jika dilahat dari umur, yaitu: 4
1. Bayi dibawah umur 1 tahun
Persediaan besi yang kurang karena berat badan lahir rendah dan bayi kembar.
2. Anak umur 1-2 tahun
Masukan (intake) besi yang kurang karena tidak mendapat makanan tambahan
(hanya minum susu)
Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang
Malabsorbsi
Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infeksi parasit
dan divertikulum Meckeli
3. Anak berumur 2-5 tahun
Masukan besi berkurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe-
heme
Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun
Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi
parasit dan divertikulum Meckeli
4. Anak berumur 5 tahun masa remaja
Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi
parasit dan poliposis
5. Usia remaja dewasa.
Pada wanita antara lain karena menstruasi berlebihan.

Pengetahuan mengenai klasifikasi penyebab menurut umur ini penting untuk diketahui, untuk
mencari penyebab berdasarkan skala prioritas dengan tujuan menghemat biaya dan waktu. 4

1.3 Patofisiologi

Metabolisme besi terutama ditujukan untuk pembentukan hemoglobin. Sumber utama


untuk reutilisasi terutama bersumber dari hemoglobin eritrosit tua yang dihancurkan oleh
makrofag sistem retikuloendotelial. Pada kondisi seimbang terdapat 25 ml eritrosit atau
setara dengan 25 mg besi yang difagositosis oleh makrofag setiap hari, tetapi sebanyak itu
pula eritrosit yang akan dibentuk dalam sumsum tulang atau besi yang dilepaskan oleh
makrofag ke dalam sirkulasi darah setiap hari.5
Besi dari sumber makanan yang diserap duodenum berkisar 12 mg, sebanyak itu
pula yang dapat hilang karena deskuamasi kulit, keringat, urin dan tinja. Besi plasma atau
besi yang beredar dalam sirkulasi darah terutama terikat oleh transferin sebagai protein
pengangkut besi. Kadar normal transferin plasma ialah 250 mg/dl, secara laboratorik
sering diukur sebagai protein yang menunjukkan kapasitas maksimal mengikat besi.
Secara normal 2545% transferin terikat dengan besi yang diukur sebagai indeks saturasi
transferin. Total besi yang terikat transferin ialah 4 mg atau hanya 0,1% dari total besi
tubuh.5
Sebanyak 65% besi diangkut transferin ke prekursor eritrosit di sumsum tulang yang
memiliki banyak reseptor untuk transferin. Sebanyak 4% digunakan untuk sintesis
mioglobin di otot, 1% untuk sintesis enzim pernafasan seperti sitokrom C dan katalase.
Sisanya sebanyak 30% disimpan dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Kompleks besi
transferin dan reseptor transferin masuk ke dalam sitoplasma prekursor eritrosit melalui
endositosis. Sebanyak 8090% molekul besi yang masuk ke dalam prekursor eritrosit
akan dibebaskan dari endosom dan reseptor transferin akan dipakai lagi, sedangkan
transferin akan kembali ke dalam sirkulasi. Besi yang telah dibebaskan dari endosom
akan masuk ke dalam mitokondria untuk diproses menjadi hem setelah bergabung dengan
protoporfirin, sisanya tersimpan dalam bentuk feritin. Dalam keadaan normal 3050%
prekursor eritrosit mengandung granula besi dan disebut sideroblast. Sejalan dengan
maturasi eritrosit, baik reseptor transferin maupun feritin akan dilepas ke dalam peredaran
darah. Feritin segera difagositosis makrofag di sumsum tulang dan setelah proses
hemoglobinisasi selesai eritrosit akan memasuki sirkulasi darah. Ketika eritrosit berumur
120 hari akan difagositosis makrofag sistem retikuloendotelial terutama yang berada di
limpa. Sistem tersebut berfungsi terutama melepas besi ke dalam sirkulasi untuk
reutilisasi. Terdapat jenis makrofag lain seperti makrofag alveolar paru atau makrofag
jaringan lain yang lebih bersifat menahan besi daripada melepaskannya. Proses
penghancuran eritrosit di limpa, hemoglobin dipecah menjadi hem dan globin. 5
Dalam keadaan normal molekul besi yang dibebaskan dari hem akan diproses secara
cepat di dalam kumpulan labil (labile pool) melalui laluan cepat pelepasan besi (the rapid
pathway of iron release) di dalam makrofag pada fase dini. Molekul besi ini dilepaskan ke
dalam sirkulasi, yang selanjutnya berikatan dengan transferin bila tidak segera dilepas.
Maka molekul besi akan masuk jalur fase lanjut yang akan diproses untuk disimpan oleh
apoferitin sebagai cadangan besi tubuh. Kemudian dilepas ke dalam sirkulasi setelah
beberapa hari melalui laluan lambat (the slower pathway). Penglepasan besi dari
makrofag tidak berjalan secara langsung, tetapi melalui proses oksidasi di permukaan sel
agar terjadi perubahan bentuk ferro menjadi ferri, sehingga dapat diangkut oleh transferin
plasma. Reaksi oksidasi tersebut dikatalisasi oleh seruloplasmin. Kecepatan pelepasan
besi ke dalam sirkulasi oleh makrofag lebih cepat terjadi pada pagi hari, sehingga kadar
besi plasma menunjukkan variasi diurnal.5
Keadaan anemia defisiensi besi ditandai dengan saturasi transferin menurun, dan
kadar feritin atau hemosiderin sumsum tulang berkurang. Menurut Walmsley et al. Secara
berurutan perubahan laboratoris pada defisiensi besi sebagai berikut: (1) penurunan
simpanan besi, (2) penurunan feritin serum, (3) penurunan besi serum disertai
meningkatnya transferin serum, (4) peningkatan Red cell Distribution Width (RDW), (5)
penurunan Mean Corpuscular Volume (MCV), dan terakhir (6) penurunan hemoglobin.
Didasari keadaan cadangan besi, akan timbul defisiensi besi yang terdiri atas tiga tahap,
dimulai dari tahap yang paling ringan yaitu tahap pralaten (iron depletion), kemudian
tahap laten (iron deficient erythropoesis) dan tahap anemia defisiensi besi (iron deficiency
anemia).
Pada tahap pertama terjadi penurunan feritin serum kurang dari 12g/L dan besi di
sumsum tulang kosong atau positif satu, sedangkan komponen yang lain seperti kapasitas
ikat besi total/total iron binding capacity (TIBC), besi serum/serum iron (SI), saturasi
transferin, RDW, MCV, hemoglobin dan morfologi sel darah masih dalam batas normal,
dan disebut tahap deplesi besi.
Pada tahap kedua terjadi penurunan feritin serum, besi serum, saturasi transferin dan besi
di sumsum tulang yang kosong, tetapi TIBC meningkat >390 g/dl. Komponen lainnya
masih normal, dan disebut eritropoesis defisiensi besi.
Tahap ketiga disebut anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi ialah tahap defisiensi
besi yang berat dari dan ditandai selain kadar feritin serum serta hemoglobin yang turun.
Semua komponen lain juga akan mengalami perubahan seperti gambaran morfologi sel
darah mikrositik hipokromik, sedangkan RDW dan TIBC meningkat >410 g/dl. 5

Sumber gambar: Muhammad, A. (2005). PENENTUAN DEFISIENSI BESI ANEMIA


PENYAKIT KRONIS MENGGUNAKAN PERAN INDEKS sTfR-F ( Determination of iron
deficiency in chronic disease anemia by the role of sTfR-F index ). Indonesian Journal of
Clinical Pathology and Medical Laboratory, 2(1), 915.

1.4 Maefestasi Klinis

Gejala dari keadaan deplesi besi maupun defisiensi besi tidak spesifik. Diagnosis
biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu penurunan kadar
feritin/saturasi transferin serum dan kadar besi serum. Pada ADB gejala klinis terjadi secara
bertahap. Kekurangan zat besi di dalam otot jantung menyebabkan terjadinya gangguan
kontraktilitas otot organ tersebut. Pasien ADB akan menunjukkan peninggian ekskresi
norepinefrin; biasanya disertai dengan gangguan konversi tiroksin menjadi triodotiroksin.
Penemuan ini dapat menerangkan terjadinya iritabilitas, daya persepsi dan perhatian yang
berkurang, sehingga menurunkan prestasi belajar kasus ADB.

Anak yang menderita ADB lebih mudah terserang infeksi karena defisiensi besi dapat
menyebabkan gangguan fungsi neutrofil dan berkurangnya sel limfosit T yang penting untuk
pertahanan tubuh terhadap infeksi. Perilaku yang aneh berupa pika, yaitu gemar makan atau
mengunyah benda tertentu antara lain kertas, kotoran, alat tulis, pasta gigi, es dan lain lain,
timbul sebagai akibat adanya rasa kurang nyaman di mulut. Rasa kurang nyaman ini
disebabkan karena enzim sitokrom oksidase yang terdapat pada mukosa mulut yang
mengandung besi berkurang. Dampak kekurangan besi tampak pula pada kuku berupa
permukaan yang kasar, mudah terkelupas dan mudah patah. Bentuk kuku seperti sendok
(spoon-shaped nails) yang juga disebut sebagai kolonikia terdapat pada 5,5% kasus ADB.
Pada saluran pencernaan, kekurangan zat besi dapat menyebabkan gangguan dalam proses
epitialisasi. Papil lidah mengalami atropi. Pada keadaan ADB berat, lidah akan
memperlihatkan permukaan yang rata karena hilangnya papil lidah. Mulut memperlihatkan
stomatitis angularis dan ditemui gastritis pada 75% kasus ADB.4

1.5 Diagnosis
Dalam pengobatan, anamnesa riwayat terperinci dan pemeriksaan fisik sangat penting
dalam mendiagnosis semua penyakit secara umum. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa
anemia dapat didiagnosis dengan riwayat terperinci dengan sensitivitas 71% dan spesifisitas
79%. Terutama mengenai periode prenatal, gizi, waktu memulai ASI dan makanan padat dan
riwayat pendarahan harus ditanyakan secara rinci. Tanda-tanda anemia dan penyakit sistemik
lainnya yang dapat menyertai harus dicari.2
Tes laboratorium yang dapat digunakan dirangkum dalam Tabel dibawah ini.

Sumber gambar: zdemir, N. (2015). Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in
children. Turk Pediatri Arsivi, 50(1), 119.
Tindakan primer yaitu dengan melakukan pemeriksaan hitung darah lengkap dan apusan
darah tepi. Ketika hitung darah lengkap dinilai baik, akan dapat memberikan banyak petunjuk
dalam mendiagnosis berbagai penyakit pada anak-anak. Dalam hitung darah lengkap, harus
diperiksa apakah kadar hemoglobin dan hematokrit normal untuk usia dan jenis kelamin
pasien (jika anemia ada). Batas bawah normal dengan usia dan jenis kelamin yang ditentukan
oleh WHO dapat digunakan, karena praktis dan nilai lebih rendah dari batas-batas ini dapat
dianggap anemia (Tabel 3). Pada bayi yang lebih muda dari 6 bulan, nilai-nilai yang lebih
rendah diamati karena anemia fisiologis, namun hemoglobin diperkirakan tidak lebih rendah
dari 9 g / dL pada anemia fisiologis pada bayi jika tidak ada faktor lain yang menyertainya.
Sumber gambar: zdemir, N. (2015). Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in
children. Turk Pediatri Arsivi, 50(1), 119.
Eritrosit tampak pucat dan lebih kecil dari normal ketika jumlah hemoglobin didalam
berkurang. Hal ini ditunjukan dengan berkurangnya mean erythrocyte volume (MCV) dan
berkurangnya mean eryhtrocyte hemoglobin (MCH) pada hitung darah lengkap. Pada
hapusan darah perifer, eritrosit nampak mikrositik dan hipokromik. MCV dan MCH sejajar
satu sama lain; ini berarti bahwa eritrosit nampak mikrositik dan hipokromik pada waktu
yang sama. Jika MCH di bawah 27 pg, adalahrendah. Nilai normal MCV berkisar antara 80
dan 99 fL, tetapi nilai normal berdasarkan usia harus dipertimbangkan pada anak-anak.
Terdapat rumus yang dapat digunakan untuk praktik klinik (Tabel 4). Pada tabel ini, penting
untuk menggunakan rumus batas bawah untuk anak-anak kurang dari 10 tahun, karena batas
bawah 80 fL pada anak-anak yang lebih dari 10 tahun seperti pada orang dewasa.
Sumber gambar: zdemir, N. (2015). Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in
children. Turk Pediatri Arsivi, 50(1), 119.
Pada anemia terkait dengan kekurangan gizi, terdapat volume eritrosit non-homogen yang
berbeda dengan anemia bawaan seperti thalassemia; eritrosit mungkin memiliki ukuran
bervariasi menurut jumlah hemoglobin. Hal ini tercermin dari anisocytosis pada apusan darah
tepi dan dengan peningkatan eryhtrocyte distribution width (RDW) pada tes darah. Pada
dasarnya, kekurangan gizi harus dipertimbangkan, jika peningkatan RDW bersamaan dengan
adanya anemia; jika penurunan MCV juga hadir, kekurangan zat besi dapat dianggap dan jika
peningkatan MCV hadir, defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat dapat hadir.
Namun, harus diingat bahwa penarikan atau kekurangan anemia di mana semua variabel yang
terganggu tidak diamati jarang di sebagian besar anak-anak dengan gizi buruk. Nilai RDW
normal dan microcytosis menunjukan keadaan thalassemia carier bukan anemia defisiensi zat
besi. Umumnya, dua hasil RDW terpisah dicatat dalam hasil hitung darah lengkap; RDW-CV
dan RDW-SD. Hal ini muncul dari perbedaan perhitungan statistik. RDW-SD adalah standar
deviasi dari eritrosit dan merupakan rata-rata penyimpangan dari MCV setiap eritrosit;
rentang normal adalah 37-54 fL. RDW-CV adalah koefisien variabilitas volume distribusi
eritrosit dan persentase ekspresi standar deviasi volume eritrosit rata-rata. RDW-CV adalah
pengukuran yang lebih handal dan tidak normal jika> 14. Selain itu, RDW adalah variabel
pertama yang berubah dalam hitung darah lengkap pada anemia defisiensi besi. Secara
paralel, temuan pertama ADB pada apusan darah tepi adalah anisocytosis.
Lebar distribusi hemoglobin (HDW) merupakan variabel yang tidak dicatat oleh sebagian
besar individu dalam hasil hitung darah lengkap. Ini menunjukkan distribusi hemoglobin
dalam eritrosit dan meningkat pada defisiensi besi. Hal ini tercermin sebagai anisochromia
pada apusan darah tepi. Konsentrasi HDW diukur secara tidak langsung oleh perangkat
hemocounter dan secara klasik berkurang pada kekurangan zat besi. Hal ini juga penting
untuk menarik perhatian pada hitungan eritrosit di hitung darah lengkap. Sementara jumlah
eritrosit meningkat pada thalassemia ditandai dengan eritropoiesis tidak efisien (produksi
eritrosit meningkat, tetapi kerusakan terjadi di sumsum tulang sebelum sel memasuki darah
periperal), itu berkurang pada anemia defisiensi besi karena produksinya tidak mencukupi.
Sebuah rumus yang diperoleh dengan menggunakan hitungan eritrosit dan nilai MCV
mungkin bermanfaat dalam membedakan ADB dari keadaan thalassemia carrier. Sementara
MCV berkurang baik dalam carrier thalassemia dan ADB, jumlah eritrosit berkurang pada
ADB, tetapi meningkat pada keadaan thalassemia carrier. Dalam hal ini, rasio MCV / RBC
lebih tinggi pada ADB karena RBC berkurang dan lebih rendah pada keadaan thalassemia
carrier karena nilai RBC lebih tinggi. Sebagai hasil dari rumus ini yang disebut indeks
Metzner, thallasemia dipertimbangkan ketika rasio ini adalah di bawah 13 dan ADB
dipertimbangkan ketika rasio ini adalah di atas 13.
Selain itu, trombositosis sehubungan dengan ADB dapat diamati di hitung darah lengkap.
Alasan trombositosis adalah reaksi silang dari peningkatan eritropoietin pada ADB dengan
reseptor Trombopoietin di megakaryocytes yang mengarah ke jumlah trombosit meningkat.
Meskipun jarang, thromobocytopenia juga dapat diamati pada ADB. Jumlah leukosit
biasanya normal, tetapi leukopenia juga dapat diamati. Namun, diagnosis lain harus
dipertimbangkan terutama dalam kasus anemia khususnya yang disertai leukopenia dan / atau
trombositopenia. Eosinofilia pada hitung darah lengkap atau apusan darah tepi dapat
memberikan petunjuk dalam hal ada tidaknya parasitosis. Pada titik ini, pengobatan dapat
dimulai secara langsung, jika jumlah darah lengkap dan apusan darah tepi sangat menunjukan
ADB. Jika ada kecurigaan, pengobatan itu sendiri adalah alat diagnostik yang baik. Namun,
pemeriksaan variabel besi di baseline merupakan pendekatan ilmiah yang lebih baik; lebih
lanjut itu akan berharga untuk melakukan diagnosis banding dan jika anemia tidak
menanggapi pengobatan besi. Bahkan, hemogram mungkin cukup dalam diagnosis ADB,
tetapi mungkin normal pada tahap awal dari kekurangan zat besi. Kekurangan zat besi
berkembang dalam tubuh dalam tiga tahap.
Tahap Prelatent: cadangan besi menurun atau tidak, konsentrasi besi serum,
hemoglobin dan hematokrit normal. Pada tahap defisiensi zat besi ini ditunjukan
dengan pengurangan atau tidak adanya cadangan besi sumsum tulang dan
berkurangnya kadar serum feritin.
Tahap laten: besi serum (SI) dan saturasi trasferrin berkurang selain berkurangnya
cadangan besi. Hemoglobin dan hematokrit berada dalam batas normal.
Marked ADB: Selain menipisnya simpanan zat besi, serum besi dan kadar saturasi
transferin hemoglobulin dan hematokrit berkurang.

Semua variabel tidak berubah pada saat yang sama karena pembangunan tahap ini pada anak-
anak dengan kekurangan zat besi. Kita harus sangat berhati-hati ketika mengevaluasi variabel
besi. Tingkat serum feritin adalah indikator terbaik dari simpanan besi dalam tubuh dan
variabel biokimia pertama yang berubah dalam defisiensi besi. Batasan kadar serum feritin
10-12 mg / L sangat mendukung defisiensi besi, tapi feritin merupakan reaktan fase akut dan
harus diingat bahwa itu dapat meningkat pada infeksi dan peradangan. Kadar besi plasma
berkurang karena zat besi dalam tubuh habis. Sampel harus diperoleh di pagi hari setelah
puasa satu malam, karena nilainya menunjukkan varians selama siang hari dan dipengaruhi
oleh diet. Kadar zat besi plasma tidak membantu dalam diagnosis diferensial dari ADB
karena juga berkurang pada anemia penyakit kronis. Kapasitas pengikatan besi (total iron
binding capacity TIBC) meningkat ketika serum besi menurun. Nilai yang diperoleh dengan
membagi nilai besi serum dengan TIBC menunjukkan saturasi transferrin dan menurun pada
ADB. Besi dan TIBC juga merupakan reaktan fase akut dan meningkat pada peradangan /
infeksi.
Beberapa metode baru telah dikembangkan untuk digunakan dalam mendiagnosis yang pasti
karena beberapa kekurangan pada tes hematologi dan tes biokimia. Tes tambahan termasuk
zinc protoporphyrine (ZnPP), free erythrocyte protoporphyrine, serum soluble transferrin
receptor (sTfR) dan konten retikulosit hemoglobin dapat membantu. Diagnosis akan tertunda
bila kadar hemoglobin dari eritrosit yang diukur, karena masa hidup eritrosit yang normal
adalah 120 hari. Kadar hemoglobin retikulosit berkurang sebelumnya, karena rentang hidup
reticulocyute adalah 24-48 jam. Dalam beberapa penelitian, hal itu terbukti variabel yang
paling sensitif dalam diagnosis ADB, namun keterbatasan paling penting bagi Turki adalah
fakta bahwa kadarnya juga berkurang pada keadaan thalassemia carrier. Reseptor serum
transferin dapat diuji dengan metode immunoassay di beberapa laboratorium. Reseptor ini
ditemukan pada retikulosit dan peningkatan diamati di trasferrin reseptor pada ADB. Zinc
protoporphyrine diproduksi dengan substitusi seng bukan besi ketika besi tidak ada dan
dengan demikian terjadi peningkatan pada ADB. Karena sumsum tulang adalah tempat
pertama di mana serum besi berkurang, aspirasi sumsum tulang adalah standar emas dalam
ADB, tetapi tidak digunakan secara rutin. Dalam beberapa kasus, diagnosis pasti dapat dibuat
hanya dengan menggunakan gabungan dari beberapa tes. Jumlah retikulosit mungkin normal
atau rendah. Ureum dan kreatinin nilai harus diperiksa dalam hal gagal ginjal yang
menyertainya terutama pada pasien yang tidak memadai menanggapi pengobatan.2
1..6 Penatalaksanaan

Bila diagnosis defisiensi besi sudah ditegakkan, pengobatan harus segera dimulai
untuk mencegah berlanjutnya keadaan ini. Pengobatan terdiri atas pemberian preparat besi
secara oral berupa garam fero (sulfat, glukonat, fumarat dan lain-lain), pengobatan ini
tergolong murah dan mudah dibandingkan dengan cara lain.
Pada bayi dan anak, terapi besi elemental diberikan dengan dosis 3-6 mg/kg bb/hari
dibagi dalam dua dosis, 30 menit sebelum sarapan pagi dan makan malam; penyerapan akan
lebih sempurna jika diberikan sewaktu perut kosong. Penyerapan akan lebih sempurna lagi
bila diberikan bersama asam askorbat atau asam suksinat. Bila diberikan setelah makan atau
sewaktu makan, penyerapan akan berkurang hingga 40-50%.8 Namun mengingat efek
samping pengobatan besi secara oral berupa mual, rasa tidak nyaman di ulu hati, dan
konstipasi, maka untuk mengurangi efek samping tersebut preparat besi diberikan segera
setelah makan.4
Penggunaan secara intramuskular atau intravena berupa besi dextran dapat
dipertimbangkan jika respon pengobatan oral tidak berjalan baik misalnya karena keadaan
pasien tidak dapat menerima secara oral, kehilangan besi terlalu cepat yang tidak dapat
dikompensasi dengan pemberian oral, atau gangguan saluran cerna misalnya malabsorpsi.
Cara pemberian parenteral jarang digunakan karena dapat memberikan efek samping berupa
demam, mual, ultikaria, hipotensi, nyeri kepala, lemas, artralgia, bronkospasme sampai reaksi
anafilatik. Respons pengobatan mula-mula tampak pada perbaikan besi intraselular dalam
waktu 12-24 jam. Hiperplasi seri eritropoitik dalam sumsum tulang terjadi dalam waktu 36-
48 jam yang ditandai oleh retikulositosis di darah tepi dalam waktu 48-72 jam, yang
mencapai puncak dalam 5-7 hari. Dalam 4-30 hari setelah pengobatan didapatkan
peningkatan kadar hemoglobin dan cadangan besi terpenuhi 1-3 bulan setelah pengobatan.
Untuk menghindari adanya kelebihan besi maka jangka waktu terapi tidak boleh lebih dari 5
bulan. Transfusi darah hanya diberikan sebagai pengobatan tambahan bagi pasien ADB
dengan Hb 6g/dl atau kurang karena pada kadar Hb tersebut risiko untuk terjadinya gagal
jantung besar dan dapat terjadi gangguan fisiologis. Transfusi darah diindikasikan pula pada
kasus ADB yang disertai infeksi berat, dehidrasi berat atau akan menjalani operasi besar/
narkose. Pada keadaan ADB yang disertai dengan gangguan/kelainan organ yang berfungsi
dalam mekanisme kompensasi terhadap anemia yaitu jantung (penyakit arteria koronaria atau
penyakit jantung hipertensif ) dan atau paru (gangguan ventilasi dan difusi gas antara alveoli
dan kapiler paru), maka perlu diberikan transfusi darah. Komponen darah berupa suspensi
eritrosit (PRC) diberikan secara bertahap dengan tetesan lambat.5
Telah dikemukakan di atas salah satu penyebab defisiensi besi ialah kurang gizi. Besi di
dalam makanan dapat berbentuk Fe-heme dan non-heme. Besi non-heme yang antara lain
terdapat di dalam beras, bayam, jagung, gandum, kacang kedelai berada dalam bentuk
senyawa ferri yang harus diubah dulu di dalam lambung oleh HCL menjadi bentuk ferro yang
siap untuk diserap di dalam usus. Penyerapan Fe-non heme dapat dipengaruhi oleh komponen
lain di dalam makanan. Fruktosa, asam askorbat (vitamin C), asam klorida dan asam amino
memudahkan absorbsi besi sedangkan tanin (bahan di dalam teh), kalsium dan serat
menghambat penyerapan besi. Berbeda dengan bentuk non-heme, absorpsi besi dalam bentuk
heme yang antara lain terdapat di dalam ikan, hati, daging sapi, lebih mudah diserap. Disini
tampak bahwa bukan hanya jumlah yang penting tetapi dalam bentuk apa besi itu diberikan.
Anak yang sudah menunjukkan gejala ADB telah masuk ke dalam lingkaran penyakit, yaitu
ADB mempermudah terjadinya infeksi sedangkan infeksi mempermudah terjadinya ADB.
Oleh karena itu antisipasi sudah harus dilakukan pada waktu anak masih berada di dalam
stadium I & II. Bahkan di Inggris, pada bayi dan anak yang berasal dari keluarga dengan
sosial ekonomi yang rendah dianjurkan untuk diberikan suplementasi besi di dalam susu
formula.5

1.7 Pencegahan

Usaha sederhana mencegah ADB adalah dengan mengonsumsi makanan yang kaya akan
zat besi. Usahakan bayi mendapat air susu ibu eksklusif. Setelah usia 6 bulan apabila tidak
mendapat air susu ibu sebaiknya diberi susu formula yang difortifikasi zat besi. Pemberian
tambahan zat besi dianjurkan pula sejak bayi sampai usia remaja, diberikan sebagai usaha
pencegahan terhadap anemis.6

Banyak bahan makanan di sekitar kita yang kaya kandungan zat besi. Sayuran berdaun
hijau seperti selada air, kangkung, brokoli, bayam hijau, buncis dan kacang-kacangan kaya
akan zat besi. Bahan makanan hewani seperti daging merah dan kuning telur juga kaya zat
besi dan lebih mudah diserap oleh tubuh dibandingkan sumber nabati. Dalam proses
pengolahan bahan makanan, sangat perlu diperhatikan pengolahan yang baik dan benar
sehingga kandungan zat makanan misalkan zat besi tidak berkurang dari bahan makanan
tersebut. Usahakan anak banyak mengonsumsi makanan yang kaya zat besi untuk mencegah
ADB.6

Setiap kelompok usia anak rentan terhadap defisiensi besi (DB). Kelompok usia yang
paling tinggi mengalami DB adalah usia balita (0-5 tahun) sehingga kelompok usia ini
menjadi prioritas pencegahan DB. Kekurangan besi dengan atau tanpa anemia, terutama yang
berlangsung lama dan terjadi pada usia 0-2 tahun dapat mengganggu tumbuh kembang anak,
antara lain menimbulkan defek pada mekanisme pertahanan tubuh dan gangguan pada
perkembangan otak yang berdampak negatif terhadap kualitas sumber daya manusia pada
masa mendatang.7
Rekomendasi suplementasi besi rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia

Sumber gambar: Gatot, D., Idjradinata, P., Abdulsalam, M., Lubis, B., Soedjatmiko, & Hendarto, A. (2011).
Suplementasi Besi Untuk Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia.

1. Suplementasi untuk bayi prematur/bayi berat lahir rendah (BBLR)


Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan kelompok risiko tinggi mengalami DB. Menurut
World Health Organization (WHO), suplementasi besi dapat diberikan secara massal, mulai
usia 2-23 bulan dengan dosis tunggal 2 mg/kgBB/hari. Bayi dengan berat lahir rendah
memiliki risiko 10 kali lipat lebih tinggi mengalami DB. Pada dua tahun pertama
kehidupannya, saat terjadi pacu tumbuh, kebutuhan besi akan meningkat. Bayi prematur perlu
mendapat suplementasi besi sekurangkurangnya 2 mg/kg/hari sampai usia 12 bulan.
Suplementasi sebaiknya dimulai sejak usia 1 bulan dan diteruskan sampai bayi mendapat
susu formula yang difortifikasi atau mendapat makanan padat yang mengandung cukup
besi.15 Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika merekomendasikan
bayi-bayi yang lahir prematur atau BBLR diberikan suplementasi besi 2-4 mg/kg/hari
(maksimum 15 mg/hari) sejak usia 1 bulan, diteruskan sampai usia 12 bulan.10 Pada bayi
berat lahir sangat rendah (BBSLR), direkomendasikan suplementasi besi diberikan lebih
awal.7
2. Suplementasi untuk bayi cukup bulan
Pada bayi cukup bulan dan anak usia di bawah 2 tahun, suplementasi besi diberikan jika
prevalens ADB tinggi (di atas 40%) atau tidak mendapat makanan dengan fortifikasi.
Suplementasi ini diberikan mulai usia 6-23 bulan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari. Hal tersebut
atas pertimbangan bahwa prevalens DB pada bayi yang mendapat ASI usia 0-6 bulan hanya
6%, namun meningkat pada usia 9-12 bulan yaitu sekitar 65%. Bayi yang mendapat ASI
eksklusif selama 6 bulan dan kemudian tidak mendapat besi secara adekuat dari makanan,
dianjurkan pemberian suplementasi besi dengan dosis 1 mg/kg/hari.10 Untuk mencegah
terjadinya defisiensi besi pada tahun pertama kehidupan, pada bayi yang mendapatkan ASI
perlu diberikan suplementasi besi sejak usia 4 atau 6 bulan. The American Academy of
Pediatrics (AAP) merekomendasikan pemberian suplementasi besi pada bayi yang mendapat
ASI eksklusif mulai usia 4 bulan dengan dosis 1 mg/kg/hari dilanjutkan sampai bayi
mendapat makanan tambahan yang mengandung cukup besi. Bayi yang mendapat ASI parsial
(>50% asupannya adalah ASI) atau tidak mendapat ASI serta tidak mendapatkan makanan
tambahan yang mengandung besi, suplementasi besi juga diberikan mulai usia 4 bulan
dengan dosis 1 mg/kg/hari.7

3. Suplementasi untuk balita dan anak usia sekolah


Pada anak usia balita dan usia sekolah, suplementasi besi tanpa skrining diberikan jika
prevalens ADB lebih dari 40%. Suplementasi besi dapat diberikan dengan dosis
2mg/kgBB/hari (dapat sampai 30 mg/hari) selama 3 bulan.7
4. Suplementasi untuk remaja
Suplementasi besi pada remaja lelaki dan perempuan diberikan dengan dosis 60 mg/hari
selama 3 bulan. Pemberian suplementasi besi dengan dosis 60 mg/hari, secara intermiten (2
kali/minggu), selama 17 minggu, pada remaja perempuan ternyata terbukti dapat
meningkatkan feritin serum dan free erythrocyte protoporphyrin (FEP). Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) dan AAP merekomendasikan suplementasi besi pada remaja
lelaki hanya bila terdapat riwayat ADB sebelumnya, tetapi mengingat prevalens DB yang
masih tinggi di Indonesia sebaiknya suplementasi besi pada remaja lelaki tetap diberikan.
Penambahan asam folat pada remaja perempuan dengan pertimbangan pencegahan terjadinya
neural tube defect pada bayi yang akan dilahirkan dikemudian hari.7
DAFTAR PUSTAKA

1. Medlinux. (2007). Anemia Pada Anak ~ Seputar Kedokteran. Retrieved Mei 28, 2017,
from http://medlinux.blogspot.co.id/2007/09/anemia-pada-anak.html
2. zdemir, N. (2015). Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in children.
Turk Pediatri Arsivi, 50(1), 119. doi:10.5152/tpa.2015.2337

3. Depkes. (2015). Riskesdas. Diunduh Mei 28, 2017, From


http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf

4. Abdulsalam, M., & Daniel, A. (2002). Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan


Anemia Defisiensi Besi. Sari Pediatri, 4(2), 25.

5. Muhammad, A. (2005). PENENTUAN DEFISIENSI BESI ANEMIA PENYAKIT


KRONIS MENGGUNAKAN PERAN INDEKS sTfR-F ( Determination of iron
deficiency in chronic disease anemia by the role of sTfR-F index ). Indonesian
Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 2(1), 915.

6. Endang, W. (2013). IDAI - ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA BAYI DAN ANAK.
Retrieved February 28, 2016, from http://idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-
anak/anemia-defisiensi-besi-pada-bayi-dan-anak

7. Gatot, D., Idjradinata, P., Abdulsalam, M., Lubis, B., Soedjatmiko, & Hendarto, A.
(2011). Suplementasi Besi Untuk Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia.

8.

You might also like