You are on page 1of 5

KHUTBAH 1

Amma Badu

Sering kita dengar dari keterangan dan penjelasan para ulama, para kiayi, ustazd, dan muballigh
bahwa tugas paling penting dari para Rasul adalah menyampaikan risalah Allah swt. kepada
ummat manusia. Urgensi isi risalah para rasul itu sama, yaitu agar manusia menyembah hanya
kepada Allah dan mengingkari semua bentuk sesembahan selain Allah (thaghut).

Ternyata selain tugas mulia dan suci ini, para nabi banyak disebutkan dalam Al-Quran sebagai
pemberi nasehat. Hal ini disebabkan karena manusia tidak cukup hanya menerima risalah
dakwah Islam saja. Akan tetapi juga membutuhkan pemberi nasehat dan peringatan dalam
hidupnya, karena manusia adalah mahluk pelupa dan pelalai, bahkan makhluk yang banyak
berbuat kesalahan. Oleh karena itu, Allah swt. menyatakan:

Wal ashri, innal insaana lafii khusrin, illalladziina aamanuu wa amilush-shaalihaati watawaa
shaubil haqqi watawaa shaubish-shabri.

Demi masa, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman
dan beramal sholeh yang saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. (QS. Al-Asr)

Semangat surat Al-Asr ini menjelaskan keharusan setiap orang untuk beriman dan beramal
sholeh, jika ingin selamat baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan iman dan amal sholeh saja
ternyata masih merugi, sebelum menyempurnakannnya dengan semangat saling memberi nasehat
dan bersabar dalam mempertahankan iman, meningkatkan amal shaleh, menegakkan kebenaran
dalam menjalankan kehidupan ini.

Maasyiral muslimin rahimakumullah.


Sedemikian pentingnya prinsip saling memberi nasehat dalam ajaran Islam, maka setiap
manusia pasti membutuhkannya, siapapun, kapanpun, dan di manapun dia hidup. Layaklah kalau
dikatakan bahwa saling memberi menasihat adalah sebagai sebuah keniscayaan yang harus
ada pada setiap muslim.
Namun sangatlah disayangkan jika ada di antara kita yang menganggap sepele soal nasehat ini.
Atau merasa dirinya sudah cukup, sudah pintar, sudah berpengalaman sehingga tidak lagi butuh
yang namanya nasehat dari orang lain. Padahal dengan menerima nasehat dari orang lain
pertanda adanya kejujuran, kerendahan hati, keterbukaan dan menunjukkan kelebihan pada orang
tersebut.

Kalimat nasaha yang artinya nasehat, makna dasarnya adalah menjahit atau menambal dari
pakaian yang sobek atau berlubang. Maka orang yang menerima nasehat artinya orang tersebut
siap untuk ditutupi kekeruangan, kesalahan, dan aib yang ada pada dirinya. Sedangkan orang
yang tidak mau menerima nasehat menunjukkan adanya sifat kesombongan, keangkuhan, dan
ketertutupan pada orang tersebut.

Saking sedemikian pentingnya nasehat ini, Nabi saw. bersabda:

Dari Abi Amer atau Abi Amrah Abdullah, ia berkata, Nabi saw. bersabda, Agama itu adalah
nasehat. Kami bertanya, Untuk siapa, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, Untuk Allah,
untuk Kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin umat Islam dan orang-orang biasa.
(HR. Muslim)

Dari hadist di atas dapat kita pahami bahwa memberi dan menerima nasehat adalah berlaku
untuk manusia, siapapun dia, apapun kedudukan dan jabatannya, tanpa kecuali.

Hadist di atas juga menjelaskan kepada kita bahwa agama akan tegak manakala tegak pula sendi-
sendinya. Sendi-sendi itu adalah saling menasehati dan saling mengingatkan antara sesama
muslim dalam keimanan kepada Allah, keimanan kepada Rasul, dan keimanan kepada Kitab-
Nya. Artinya, agar kita selalu berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran dari Allah dan Kitab-
Nya dan mentauladani sunah-sunah Rasul-Nya.

Sedangkan bentuk nasehat kepada para pemimpin adalah ketaatan dan dukungan kita sebagai
rakyat kepada para pemimpin Islam dalam menegakkan kebenaran, mengingatkan mereka jika
lalai dan menyimpang dengan cara yang bijak dan kelembutan, meluruskan mereka jika
menyimpang dan salah. Sedangkan nasehat untuk orang-orang biasa adalah dengan memberi
kasih sayang kepada mereka, memperhatikan kepentingan hajat mereka, menjauhkan hal yang
merugikan mereka dan sebagainya.

Maasyiral muslimin rahimakumullah.

Di dalam Al-Quran, Allah swt. mengisahkan tentang bagainama Nabi Musa a.s., seorang nabi
dan rasul yang ternyata dapat menerima nasehat dari salah seorang kaumnya.





20. Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata:
"Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk
membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-
orang yang memberi nasehat kepadamu"

21. Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan
khawatir, dia berdoa: "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu"

(QS. Al-Qashash: 20-21)

Lalu bagaimana dengan kita yang orang biasa yang bukan Nabi dan Rasul? Sudah barang tentu
sangatlah membutuhkan nasehat. Kita senantiasa membutuhkan nasehat dari orang lain.
Demikian juga harus bersedia memberi nasehat kepada orang lain yang memohon nasehat
kepada kita.

Hak seorang muslim pada muslim lainnya ada enam: jika berjumpa hendaklah memberi salam;
jika mengundang dalam sebuah acara, maka datangilah undangannya; bila dimintai nasehat,
maka nasehatilah ia; jika memuji Allah dalam bersin, maka doakanlah; jika sakit, jenguklah ia;
dan jika meninggal dunia, maka iringilah ke kuburnya. (HR. Muslim)

Dengan saling menasehati antara kita, maka akan banyak kita peroleh hikmah dan manfaat dalam
kehidupan kita. Akan banyak kita temukan solusi dari berbagai persoalan, baik dalam skala
pribadi, keluarga, masyarakat bangsa bahkan Negara.

Karenanya nasehat itu sangatlah diperlukan untuk menutupi kekurangan dan aib yang ada di
antara kita. Karena nasehat itu dapat memberi keuntungan dan keselamatan bagi yang ikhlas
menerima dan menjalankannya. Karena saling menasehati itu dapat melunakkan hati dan
mendekatkan hubungan antara kita. Karena satu sama lain di antara kita saling
membutuhkannya.

Maasyiral muslimin rahimakumullah.

Saling menasehati antara sesama muslim terasa semakin kita perlukan, terutama ketika tersebar
upaya menfitnah adu domba antara sesama muslim yang datang dari orang-orang kafir, munafik,
dan orang-orang fasik yang ingin melemahkan umat Islam sebagai penduduk terbesar negeri ini.
Mereka tidak senang terhadap kesatuan dan persatuan umat Islam.

Demikian pula ketika mendekati hari-hari menjelang pesta demokasi seperti pilkada, pilgub,
pemilihan umum, dan sebagainya. Terkadang panasnya suhu politik menyulut sikap orang in-
rasional (tidak rasional) dan emosi di tengah masa, bahkan dapat mengarah ke sikap anarkhis dan
merusak.
Dalam situasi seperti itu, kita sering lupa akan makna ukhuwah Islam. Lupa tugas amar maruf
nahi mungkar dan lupa tugas dan kewajiban untuk saling menasehati dengan cara saling kasih
sayang antara kita.

Semoga Allah swt. senantiasa memberikan pemahaman kepada kita akan arti pentingnya saling
memberi nasehat antara kita. Semoga kita mampu memberi nasehat dan senang menerima
nasehat dari siapapun, selama tidak bertentangan dengan nilai kebenaran dan kabaikan, sehingga
kita dapat terhindarkan dari bahaya adu domba dan fitnah yang dapat memecah belah umat
Islam, masyarakat, bangsa, dan Negara. Barakallu lii walakum.

Sekarang lagi musimnya "baperan".


Sedikit diingatkan bilang " situ memang pemegang kunci surga... situ merasa ahli surga sendiri "

Kita sebagai manusia tidak lepas dari ketergelinciran. Yang salah kita katakan salah. Yang benar
kita katakan benar. Benar salahnya kita timbang dengan dalil bukan perasaan.
Sama sekali ketika mengingat ketergelinciran bukan berarti merasa telah memegang pintu surga.
Namun kebenaran harus disampaikan dan kekeliruan harus diluruskan.

Bukankah ketika ada yang mengingatkan kekeliruan kita, kemudian kita jengkel, serambi
menvonis "situ pemegang kunci surga ya..."

Bukankah saat itulah justru kita sendiri telah merasa paling benar?!
Pemegang kunci surga?!
Karena tidak ada kekeliruan yg perlu diluruskan..
Kita sudah sempurna..

Bila ada sahabat kita mengingatkan ,


"awas mas di kasurmu ada ular... awas di sampingmu ada kalajengking... awas minuman yang
anda pegang tercampur racun" kita merasa senang dan berterima kasih kepadanya.

Ini berkaitan bahaya yg menimpa badan.


Bagaimana dengan seorang yang mengingatkan tentang bahaya yg akan merusak iman atau
akidah kita?

Tentu sepatutnya kita lebih senang dan berhutang budi.

Karena manusia tempatnya salah. Ketika ada yang meluruskan, saat itulah kesempatan baginya
untuk menjadi lebih sempurna, naik pada level manusiawi yang lbh tinggi.

Oleh karenanya para salafussholih dahulu amat senang ketika ada yg mengingatkan
kekeliruannya. Umar bin Khatab radhiyallahu'anhu pernah mengatakan,

Semoga Allah merahmati seorang yang mengingatkanku tentang aib-aibku.


Demikianlah sikap para salafussholih terhadap orang yang meluruskan ketergelinciran mereka.
Orang-orang yang mengingatkan aib mereka adalah orang yang paling mereka cintai.
Sementara zaman ini, orang yang mengingatkan aibnya adalah orang yang paling ia benci.

Mungkin ada yang sakit dari iman atau keikhlasan kita.

Bila setiap pelurusan, nasehat, kritikan harus mendapatkan cap "situ pemegang kunci surga ya...
" maka amar ma'ruf nahi munkar tak akan tegak di muka bumi ini...

Kalau harus "memegang kunci surga dulu" baru boleh mengkritik, menasehati, meluruskan yang
keliru, beramar ma'ruf nahi munkar, maka tak ada seorangpun yang layak berdakwah di muka
bumi ini setelah para Nabi..

Seperti yang dikatakan Said bin Jubair rahimahullah,

Jika tidak boleh melakukan amar maruf nahi mungkar, kecuali orang yang sempurna niscaya
tak ada satupun orang yang boleh melakukannya."
(Tafsir Qurthubi, 1/410).

Barokallohu liwalakum filquranil adzim, wanafa ani waiyyakum bima afiihi minal ayati
wadzikrilhakim, wataqobbalahu minniwaminkum tilawatahu innahu huwassamiiulalim.

Aquulu qoulihadza wastaghfirullooha innahu huwal ghofurorrokhiim.

You might also like