You are on page 1of 7

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014

ISBN 979-587-529-9

Potensi, Kendala dan Solusi dalam Pengembangan Lahan Suboptimal


untuk Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional
Potential, Constraint and Solution in Suboptimal Land Development in
Supporting National Food Souverignty
Hasbi
Head of Research Center for Suboptimal Land (PUR-PLSO) Sriwijaya University
Lecturer at Agricultural Technology Department, Faculty of Agriculture,
Sriwijaya University
Authot correspondency : Tel./Fax +62711580664, Email: hasbi@unsri.ac.id

ABSTRACT

The fact showed that food is one of basic need for individual and the existing of problem
compexility related to food supply. Therefore, each state and nation have right to decide
their own food policies to guarantee the right of food for community according to local
resource potential. The conversion from food agricultural land into non-agricultural land is
continuing, especially at fertile land in Java Island. In order to bring into reality the food
souverignty, Indonesia government has no choice except to seriously start to manage
suboptimal land especially outside Java Island. Indonesia had high potential of land
resources having different diversity and characteristics. About 123.1 millions ha of
suboptimal land was dry land and 33.4 millions ha was lowland (swamp) which were
distributed almost in all Indoensia regions, especially in Sumatra, Kalimantan and Papua
Islands. Suboptimal land is basically has several constraints so that it requires extra effort
to be converted into productive cultivation land for crops, livestocks or fishes. There are
two basic solutions that complementary in nature for suboptimal land management in order
to produce productive agricultutal land, i.e (1). Improvement of physical, chemical and
biological characteristics of soil as well as optimum water management and (2). Increasing
adaptation capability of crops, livestocks and fishes toward suboptimal condition of land
characteristics and agroclimate.

Keywords : food, suboptimal land, potential, constraints

ABSTRAK

Berdasarkan kenyataan bahwa pangan merupakan salah satu kebutuhan asasi setiap
individu dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan pangan. Oleh
karena itu merupakan hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan
pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat (masyarakat) guna menentukan
pangan yang sesuai dengan potensi dumber daya lokal. Konversi lahan pertanian pangan
menjadi lahan untuk kepentingan non-pertanian terus saja terjadi, terutama pada lahan
yang subur di Pulau Jawa. Guna mewujudkan kedaulatan pangan, maka Indonesia tidak
punya pilihan lain kecuali harus mulai dengan sungguh-sungguh untuk mengelola lahan-
lahan suboptimal yang dimiliki, terutama di luar Pulau Jawa. Indonesia mempunyai
potensi sumberdaya lahan yang cukup luas dengan berbagai keragaman dan karakteristik.

U6-1
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

Secara alamiah, seluas123,1 juta ha dari lahan suboptimal adalah lahan kering dan 33,4
juta ha lahan basah (rawa), yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di
Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan suboptimal pada dasarnya merupakan lahan-
lahan yang secara alami mempunyai satu atau lebih kendala sehingga butuh upaya ekstra
agar dapat dijadikan lahan budidaya yang produktif untuk tanaman, ternak, atau ikan. Ada
ada dua alur pokok solusi yang saling komplementer dalam pengelolaan lahan suboptimal
agar bisa dijadikan lahan pertanian yang produktif, yakni: [1] perbaikan sifat fisika, kimia,
dan biologi tanah serta tata air agar lebih optimal; dan [2] peningkatan daya adaptasi
tanaman, ternak, atau ikan terhadap karakteristik lahan dan kondisi agroklimat yang tidak
optimal.

Kata kunci : pangan, lahan suboptimal, potensi, kendala

PENDAHULUAN

Ketahanan pangan merupakan pilar utama stabilitas nasional. Strategi agar


ketersediaan pangan tetap terjamin telah banyak dilakukan, antara lain diversifikasi
pangan, menjamin lahan pertanian pangan berkelanjutan dari konversi, dan meningkatkan
produktivitas dan produksi beras nasional.
Dalam UU Pangan No. 18/2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya
pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat,
untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Kedaulatan Pangan
adalah merupakan hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan
pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi
masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya
lokal.
Lahan yang subur semakin menyempit karena dikonversi menjadi lahan untuk
kepentingan non-pertanian. Usaha pertanian tanaman pangan selalu kalah kompetitif
dibandingkan dengan usaha properti, industri, dan perdagangan, atau harus mengalah
ketika akan dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur.
Untuk mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan (ekologis) dan berbiaya
terjangkau petani (ekonomis), maka Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali harus mulai
dengan sungguh-sungguh untuk mengelola lahan-lahan suboptimal yang dimiliki, terutama
di luar Pulau Jawa.

POTENSI

Indonesia mempunyai potensi sumberdaya lahan yang cukup luas dengan berbagai
keragaman dan karakteristik. Secara alamiah, seluas123,1 juta ha dari LSO adalah lahan
kering dan 33,4 juta ha lahan basah (rawa). Lahan kering terluas merupakan lahan kering
masam atau lahan kering beriklim basah yang tersebar hampir di seluruh wilayah
Indonesia, terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan kering beriklim kering
seluas 13,3 juta ha, tersebar di Jatim, Bali, NTT, NTB. LSO basah terdiri dari 14,9 juta ha

U6-2
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

lahan gambut, seluas 11,0 juta ha berupa lahan rawa pasang surut, dan 9,3 juta ha berupa
lahan rawa lebak (Haryono, 2013).
Luas lahan rawa di Indonesia diperkirakan sebesar 33,4 juta hektar (24,2% luas
lahan total di Indonesia), terdiri dari rawa pasang surut seluas 20 juta hektar dan rawa
lebak seluas 13,4 juta hektar (Bappenas, 2007). Ekosistem lahan rawa memiliki sifat
khusus yang berbeda dari ekosistem lainnya terutama disebabkan oleh rejim airnya. Lahan
rawa dibedakan menjadi lahan rawa pasang surut (lahan yang rejim airnya dipengaruhi
oleh pasang surutnya air laut atau sungai) dan rawa lebak (lahan yang rejim airnya
dipengaruhi oleh air hujan), yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Jelas bahwa peningkatan produksi pangan masih sangat potensial melalui
pemanfaatan lahan-lahan sub-optimal yang masih banyak tersedia, terutama di luar Jawa.
Realisasinya akan terpenuhi melalui langkah yang sangat strategis dan mendesak berupa
pengembangan teknologi pertanian yang berbasis potensi sumberdaya lokal dan kapasitas
adopsi masyarakat setempat. Selanjutnya, untuk mencapai keberhasilan yang
berkelanjutan, perlu didukung dengan penyediaan infrastruktur fisik yang memadai serta
regulasi dan kebijakan publik yang tepat.

KENDALA

Lahan suboptimal pada dasarnya merupakan lahan-lahan yang secara alami


mempunyai satu atau lebih kendala sehingga butuh upaya ekstra agar dapat dijadikan lahan
budidaya yang produktif untuk tanaman, ternak, atau ikan. Kendalah tersebut dapat berupa:
[1] kesulitan dalam menyediakan air yang cukup untuk mendukung usaha tani yang
produktif dan menguntungkan; [2] sifat kemasaman tanah yang tinggi (pH rendah)
sehingga butuh upaya untuk menetralisir kemasaman tanah tersebut; [3] dinamika pasang
surut gagal panen; [4] lahan terpengaruh oleh intrusi air laut; [5] terdapat lapisan pirit
dangkal yang menjadi ancaman karena dapat meracuni sistem perakaran tanaman; [6]
sangat miskin unsur hara sehingga membutuhkan dosis pemupukan yang lebih tinggi;
dan/atau [7] tanah berbatu sehingga sulit diolah secara mekanis. Kondisi suboptimal ini
dapat terjadi secara alami, akibat terkena dampak dari kegiatan manusia di dan/atau sekitar
lokasi yang bersangkutan, atau akibat salah kelola pada periode sebelumnya.
Sebagian lahan sub-optimal baik di lahan basah maupun lahan kering memang sudah
lama diusahakan masyarakat untuk budidaya pertanian, peternakan dan perikanan. Untuk
menambah produksi pangan dalam rangka memenuhi kebutuhan domestik, diperlukan
upaya peningkatan produktivitas melalui kegiatan intensifikasi proses produksi dan
perluasan lahan melalui kegiatan pencetakan sawah atau lahan pertanian baru.
Tentu banyak kendala dan tantangan yang dihadapi untuk meningkatkan produksi
tanaman pangan dan produk pertanian dalam arti luas lainnya pada lahan sub-optimal.
Solusi yang paling rasional atas tantangan untuk meningkatkan produksi pertanian nasional
dalam rangka meningkatkan kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat adalah
membangun sistem inovasi yang efektif dan produktif dalam pengelolaan lahan-lahan sub-
optimal, berbasis pada kemampuan pengembangan teknologi nasional dan upaya
komprehensif untuk mewujudkan ekosistem inovasi yang kondusif, terutama melalui
regulasi dan kebijakan publik yang berkesesuaian.
Lahan suboptimal secara alamiah mempunyai produktivitas rendah (karena faktor
internal seperti sifat fisik, kimia dan biologi tanah, dan/atau faktor eksternal seperti iklim,
lingkungan) sehingga pendekatan yang sudah biasa dilakukan pada lahan optimal tidak
bisa diterapkan pada lahan suboptimal.
Kendala/tantangan yang dihadapi pada lahan kering suboptimal adalah kualitas lahan
(fisik dan kimia) yang tidak baik, kemiringan lahan yang relatif curam, curah hujan yang

U6-3
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

tinggi, tingkat erosi yang tinggi, pilihan komoditi yang relatif tidak luas, dan kemampuan
petani dalam menerapkan teknologi konservasi tanah dan air masih rendah (Sinukaban,
2013).
Permasalahan non fisik antara lain rendahnya sikap enterpreneurship petani,
lemahnya sistem kelembagaan, aplikasi teknologi yang rendah dan inovasi teknologi baru
sangat jarang dilakukan. Dalam pengelolaan, seringkali terjadi benturan kepentingan dalam
menentukan tujuan pengelolaan air di tingkat lapangan, apakah untuk transportasi,
pertanian, atau kegiatan lainnya.
Selain kendala agronomis, kendala lain pengelolaan lahan sub-optimal adalah
aksesibilitas yang rendah akibat prasarana transportasi yang belum tersedia atau dalam
kondisi yang buruk, sehingga biaya angkut hasil produksi maupun sarana produksi relatif
mahal. Selain itu kurangnya infrastruktur penunjang dalam pembangunan pertanian di
lahan sub-optimal tersebut akan berdampak pada rendahnya produktivitas dan kualitas
produk, serta sulitnya pemasaran.
Faktor kendala lain adalah keterbatasan tenaga kerja, karena umumnya kepadatan
penduduk yang bermukim di lahan sub-optimal sangat rendah. Berbagai kendala tersebut
secara langsung berdampak pada mahalnya biaya produksi dan penanganan pasca panen
sehingga pendapatan penduduk dari pengusahaan komoditi pangan rendah, dan pada
beberapa daerah hal tersebut dapat mendorong terjadinya alih fungsi lahan tanaman pangan
ke penggunaan lain, diantaranya untuk perkebunan.

SOLUSI
Haryono (2013) mengemukakan bahwa opsi utama yang harus ditempuh untuk
memenuhi kebutuhan pangan, adalah pengembangan dan optimalisasi lahan suboptimal
dan terdegradasi, baik melalui pendekatan intensifikasi maupun secara ekstentifikasi.
Sesuai dengan sifatnya yang ringkih, dan selaras dengan konsep dan tuntutan
pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengembangan dan optimalisasi lahan
suboptimal akan disasarkan pada beberapa aspek, yaitu: produktivitas, efisiensi produksi,
kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta kesejahteraan petani. Keempat sasaran
tersebut dapat diwujudkan melalui dukungan inovasi teknologi dan kelembagaan
(Haryono, 2013).
Optimalisasi lahan suboptimal dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu:
a) Optimalisasi pemanfaatan lahan suboptimal eksisting (baik lahan sawah maupun
lahan kering), agar lebih produktif dan lestari, melalui intensifikasi dengan dukungan
inovasi. Sasaran utamanya adalah peningkatan produktivitas dan perluasan areal
tanam/indeks pertanaman (IP).
b) Ekstensifikasi atau perluasan areal pertanian baru dengan memanfaatkan lahan
suboptimal yang potensial dengan skala prioritas tertentu. Prioritas utama perluasan
areal adalah memanfaatkan lahan suboptimal terdegradasi atau terlantar (abondance
land).
Selanjutnya Haryono (2013) menambahkan bahwa pengembangan dan optimalisasi
lahan suboptimal harus berbasis science, innovation dan network. yang dapat
dijabarkan pada beberapa strategi berikut :
Pertama: pengembangan lahan subpotimal harus diiringi dengan pemacuan inovasi
teknologi yang diasimilasikan dengan kearifan lokal sesuai dengan tipologi lahan. Karena
sifatnya yang fragil dan unik, pengembangan inovasi harus didukung basis ilmiah dan
akedemik yang kuat.
Kedua: pengembangan model farming berbasis lingkungan dan terintegrasi (Pertanian

U6-4
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

Ramah Lingkungan, PRL) dengan berbagai varian dan derivasinya, seperti pendekatan
pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT), integrasi tanaman dan ternak (SITT)
Ketiga: akselerasi pengembangan dan diseminasi inovasi tenologi pertanian, terutama
verietas unggul, teknologi pemupukan, alat mesin pertanian, pasca panen dan model
farming ramah lingkungan.
Keempat: pemberdayaan petani dan pengembangan sistem kelembagaan
Lakitan dan Gofar (2013) mengemukakan bahwa ada dua alur pokok yang saling
komplementer dalam pengelolaan lahan suboptimal agar bisa dijadikan lahan pertanian
yang produktif, yakni: [1] perbaikan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah serta tata air agar
lebih optimal; dan [2] peningkatan daya adaptasi tanaman, ternak, atau ikan terhadap
karakteristik lahan dan kondisi agroklimat yang tidak optimal.
Upaya perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah serta tata air untuk mengelola
lahan suboptimal menjadi optimal membutuhkan teknik pengelolaan yang tepat sesuai
dengan karakteristiknya. Melalui penerapan iptek yang benar, maka lahan suboptimal
dengan tingkat kesuburan alami yang rendah dapat dijadikan areal pertanian produktif.
Pengaturan tata air merupakan satu hal yang sangat penting dalam pengelolaan lahan
pertanian pada ekosistem rawa. Pengaturan tata air ini bukan hanya untuk mengurangi atau
menambah ketersediaan air permukaan, melainkan juga untuk mengurangi kemasaman
tanah, mencegah pemasaman tanah akibat teroksidasinya lapisan pirit, mencegah bahaya
salinitas, bahaya banjir, dan mencuci zat beracun yang terakumulasi di zona perakaran
tanaman (Suryadi et al., 2010).
Strategi pengendalian muka air ditujukan kepada aspek upaya penahanan muka air
tanah agar selalu di atas lapisan pirit dan pencucian lahan melalui sistem drainase
terkendali. Kondisi muka air yang diinginkan sangat tergantung kepada jenis tanaman,
jenis tanah, dan kondisi hidrologis wilayah setempat (Imanudin dan Susanto, 2008).
Pengembangan tata kelola sumberdaya air yang lebih efisien, sesuai dengan kebutuhan
tanaman, ternak, dan/atau ikan yang dibudidayakan.
Jenis teknologi yang dibutuhkan untuk masing-masing karakteristik lahan suboptimal
akan berbeda. Untuk lahan kering (upland), butuh teknologi yang efektif dan efisien dalam
mengelola sumberdaya air yang tersedia; sebaliknya, untuk lahan basah (wetland), lebih
membutuhkan teknologi tata kelola air yang pas untuk berbagai jenis komoditas pangan
yang akan dibudidayakan. Untuk lahan basah, diperlukan upaya untuk menjaga
keseimbangan dinamis antara upaya untuk memperbaiki aerasi tanah agar oksigen tersedia
bagi sistem perakaran tanaman; menjaga ketersediaan air yang sesuai kebutuhan tanaman,
ternak, atau ikan yang dibudidayakan; serta mengendalikan agar unsur-unsur yang dapat
meracuni tanaman tidak menjadi lebih tersedia dan diserap sistem perakaran tanaman.
Menurut Sinukaban (2013), penerapan pembangunan pertanian pada lahan
suboptimal kering adalah dengan sistim pertanian konservasi adalah salah satu alternatif
yang perlu diprogramkan untuk membangun pertanian yang berkelanjutan
Selain melalui upaya perbaikan sifat-sifat tanah dan pengembangan sistem tata kelola
sumberdaya air, upaya pengelolaan lahan suboptimal juga perlu secara paralel dilakukan
melalui seleksi jenis komoditas pangan yang sesuai untuk masing-masing karakteristik
lahan suboptimal. Setelah itu, dapat dilanjutkan dengan program pemuliaan tanaman,
ternak, dan ikan untuk mendapatkan varietas atau jenis yang sesuai dengan kondisi lahan
suboptimal (Lakitan dan Gofar 2013).
Pendekatan paling efisien dalam pemanfaatan lahan suboptimal adalah penggunaan
varietas yang toleran terhadap cekaman abiotik dan biotik. Cekaman abiotik yang menjadi
tantangan antara lain cekaman air, baik kelebihan maupun kekurangan (hampir pada semua
lahan suboptimal), keracunan mineral seperti Al pada lahan masam, NaCl pada lahan dekat
dengan pantai, dan suhu tinggi. Cekaman biotik berupa tingginya serangan hama, penyakit

U6-5
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

dan kecepatan tumbuhnya gulma di sekitar tanaman produksi. Tantangan lainnya adalah
selera pasar, sehingga toleransi terhadap berbagai cekaman menjadi tidak cukup, karena
pasar meminta standar produk tertentu yang meyebabkan pengembangan varietas di lahan
sub optimal menjadi lebih kompleks.
Sobir (2013) mengemukakan ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk
optimalisasi lahan suboptimal adalah perbaikan kapasitas genetik tanaman, baik secara
konvensional maupun bioteknologi, pengembangan sistem produksi di lahan sub optimal,
pengembangan infrastruktur pertanian pendukung, serta peningkatan kapasitas teknik dan
kelembagaan petani sebagai pelaku produksi utama.
Pengembangan varietas yang adaptif untuk lahan sub-optimal dengan rekayasa
bioteknologi sehingga mendapatkan varietas yang tahan terhadap cekaman abiotik,
adaptasi terhadap penyakit, kekeringan, banjir, naungan. Pengembangan varietas yang
adaftif pada lingkungan spesifik saja tidak akan efektif tanpa adanya rekayasa lingkungan
tumbuh maupun penambahan hara yang memadai. Pada lahan pasang surut dan gambut
perlu mekanisme pengendalian air sehingga optimum bagi pertumbuahan tanaman, serta
kurangnya hara mineral pada lahan gambut mengharuskan adanya terobosan dalam system
penyediaan hara secara efektif. Pada lahan kering perlu rekayasa pemanenan air hujan
sebagai sumber air bagi tanaman, dengan dukungan sistem irigasi yang mampu
mendistribusikan air tersebut secara efisien bagi tanaman budidaya. Penanaman komoditas
yang sesuai sangat membantu seperti nenas pada lahan gambut, atau teknik budidaya
khusus untuk produksi melon dan semangka pada lahan gambut, atau penanaman sayuran
di lahan kering dengan system irigasi yang tepat akan menghasilkan produk dengan
kualitas yang tinggi. (Sobir, 2013)
Disamping faktor-faktor tersebut, pengembangan lahan suboptimal perlu didukung
oleh ketersediaan infrastruktur yang baik dan kelembagaan yang kuat. Faktor
infrastruktur yang diperlukan terkait dengan sistem produksi langsung seperti pengelolaan
tata air, sistem irigasi, maupun penanganan pasca panen, maupun sarana pendukung
seperti jalan akses utama dan jalan usaha tani, maupun sarana produksi. Pengembangan
kelembagaan tani yang kuat sangat membantu petani dalam akses pemasaran produk dan
akses ke permodalan.

KESIMPULAN

Dalam rangka memenuhi kedaulatan pangan nasional, maka pengembangan lahan


suboptimal merupakan pilihan yang semakin penting. Pengembangan lahan suboptimal
dalam rangka mendukung kedaulatan pangan sangat ditentukan oleh sistem koordinasi,
kerjasama dan sinergi program antara lembaga yang terkait. Untuk mencapai kedaulatan
pangan dimasa yang akan datang, perluasan lahan pertanian sangat diperlukan. Lahan
yang dapat dimafaatkan adalah lahan sub optimal khususnya lahan rawa yang juga
diperuntukkan untuk pemberdayaan masyarakat.
Strategi pengelolaan lahan basah/rawa terpadu dan berkelanjutan harus dilakukan
secara multidisplin, lintas sektor dan bertahap. Pengelolaan kawasan dan penataan ruang
dengan aturan yang jelas sangat diperlukan untuk konservasi ataupun pengembangan lahan
basah. Pengelolaan muka air tanah merupakan faktor kunci dalam keberhasilan
pengelolaan lahan basah/ rawa untuk pertanian berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
Haryono. 2013. Strategi Kebijakan Kementrian Pertanian dalam Optimalisasi Lahan
Suboptimal Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Nasional
Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka
U6-6
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013.


ISBN 979-587-501-9
Imanudin, MS. and R.H. Susanto. 2008. Perbaikan sarana infrastruktur aringan tata air
pada berbagai tipologi Lahan rawa pasang surut Sumatera Selatan. Prosiding
Seminar Nasional Rawa (Banjarmasin, 4 Agustus 2008) Tema : Teknik
Pengembangan Sumber Daya Rawa. ISBN : 979985718-7.
Lakitan, B. & N Gofar. 2013. Kebijakan Inovasi Teknologi untuk Pengelolaan Lahan
Suboptimal Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal
Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung
Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587-
501-9.
Sinukaban, N. 2013. Potensi dan Strategi Pemanfaatan Lahan Kering dan Kering Masam
untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Lahan
Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung
Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587-
501-9.
Sobir. 2013. Optimalisasi Lahan Sub Optimal bagi Penguatan Ketahanan Pangan
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan
Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional,
Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587-501-9.
Supriyanto, H, G. I. Sumarjo, R.H. Susanto, FX. Suryadi, B. Schultz. 2006. Potentials and
constraints of water management measures for tidal lowlands in South Sumatra,
Case study in a pilot area in Telang I. 9th Inter-Regional Conference on
Environment-Water, Delft, the Netherlands.
Suryadi, FX., PHJ. Hollanders, and RH. Susanto. 2010. Mathematical modeling on the
operation of water control structures in a secondary block case study: Delta Saleh,
South Sumatra. Hosted by the Canadian Society for Bioengineering
(CSBE/SCGAB).Qubec City, Canada June 13-17, 2010.
Susanto, R. H. 2013. Potensi dan Strategi Pemanfaatan Lahan Basa untuk Pertanian,
Peternakan dan Perikanan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal
Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung
Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587-
501-9.

U6-7

You might also like