Professional Documents
Culture Documents
6 - Keynote Speaker Hasbi - Red PDF
6 - Keynote Speaker Hasbi - Red PDF
ISBN 979-587-529-9
ABSTRACT
The fact showed that food is one of basic need for individual and the existing of problem
compexility related to food supply. Therefore, each state and nation have right to decide
their own food policies to guarantee the right of food for community according to local
resource potential. The conversion from food agricultural land into non-agricultural land is
continuing, especially at fertile land in Java Island. In order to bring into reality the food
souverignty, Indonesia government has no choice except to seriously start to manage
suboptimal land especially outside Java Island. Indonesia had high potential of land
resources having different diversity and characteristics. About 123.1 millions ha of
suboptimal land was dry land and 33.4 millions ha was lowland (swamp) which were
distributed almost in all Indoensia regions, especially in Sumatra, Kalimantan and Papua
Islands. Suboptimal land is basically has several constraints so that it requires extra effort
to be converted into productive cultivation land for crops, livestocks or fishes. There are
two basic solutions that complementary in nature for suboptimal land management in order
to produce productive agricultutal land, i.e (1). Improvement of physical, chemical and
biological characteristics of soil as well as optimum water management and (2). Increasing
adaptation capability of crops, livestocks and fishes toward suboptimal condition of land
characteristics and agroclimate.
ABSTRAK
Berdasarkan kenyataan bahwa pangan merupakan salah satu kebutuhan asasi setiap
individu dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan pangan. Oleh
karena itu merupakan hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan
pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat (masyarakat) guna menentukan
pangan yang sesuai dengan potensi dumber daya lokal. Konversi lahan pertanian pangan
menjadi lahan untuk kepentingan non-pertanian terus saja terjadi, terutama pada lahan
yang subur di Pulau Jawa. Guna mewujudkan kedaulatan pangan, maka Indonesia tidak
punya pilihan lain kecuali harus mulai dengan sungguh-sungguh untuk mengelola lahan-
lahan suboptimal yang dimiliki, terutama di luar Pulau Jawa. Indonesia mempunyai
potensi sumberdaya lahan yang cukup luas dengan berbagai keragaman dan karakteristik.
U6-1
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
Secara alamiah, seluas123,1 juta ha dari lahan suboptimal adalah lahan kering dan 33,4
juta ha lahan basah (rawa), yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di
Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan suboptimal pada dasarnya merupakan lahan-
lahan yang secara alami mempunyai satu atau lebih kendala sehingga butuh upaya ekstra
agar dapat dijadikan lahan budidaya yang produktif untuk tanaman, ternak, atau ikan. Ada
ada dua alur pokok solusi yang saling komplementer dalam pengelolaan lahan suboptimal
agar bisa dijadikan lahan pertanian yang produktif, yakni: [1] perbaikan sifat fisika, kimia,
dan biologi tanah serta tata air agar lebih optimal; dan [2] peningkatan daya adaptasi
tanaman, ternak, atau ikan terhadap karakteristik lahan dan kondisi agroklimat yang tidak
optimal.
PENDAHULUAN
POTENSI
Indonesia mempunyai potensi sumberdaya lahan yang cukup luas dengan berbagai
keragaman dan karakteristik. Secara alamiah, seluas123,1 juta ha dari LSO adalah lahan
kering dan 33,4 juta ha lahan basah (rawa). Lahan kering terluas merupakan lahan kering
masam atau lahan kering beriklim basah yang tersebar hampir di seluruh wilayah
Indonesia, terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan kering beriklim kering
seluas 13,3 juta ha, tersebar di Jatim, Bali, NTT, NTB. LSO basah terdiri dari 14,9 juta ha
U6-2
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
lahan gambut, seluas 11,0 juta ha berupa lahan rawa pasang surut, dan 9,3 juta ha berupa
lahan rawa lebak (Haryono, 2013).
Luas lahan rawa di Indonesia diperkirakan sebesar 33,4 juta hektar (24,2% luas
lahan total di Indonesia), terdiri dari rawa pasang surut seluas 20 juta hektar dan rawa
lebak seluas 13,4 juta hektar (Bappenas, 2007). Ekosistem lahan rawa memiliki sifat
khusus yang berbeda dari ekosistem lainnya terutama disebabkan oleh rejim airnya. Lahan
rawa dibedakan menjadi lahan rawa pasang surut (lahan yang rejim airnya dipengaruhi
oleh pasang surutnya air laut atau sungai) dan rawa lebak (lahan yang rejim airnya
dipengaruhi oleh air hujan), yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Jelas bahwa peningkatan produksi pangan masih sangat potensial melalui
pemanfaatan lahan-lahan sub-optimal yang masih banyak tersedia, terutama di luar Jawa.
Realisasinya akan terpenuhi melalui langkah yang sangat strategis dan mendesak berupa
pengembangan teknologi pertanian yang berbasis potensi sumberdaya lokal dan kapasitas
adopsi masyarakat setempat. Selanjutnya, untuk mencapai keberhasilan yang
berkelanjutan, perlu didukung dengan penyediaan infrastruktur fisik yang memadai serta
regulasi dan kebijakan publik yang tepat.
KENDALA
U6-3
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
tinggi, tingkat erosi yang tinggi, pilihan komoditi yang relatif tidak luas, dan kemampuan
petani dalam menerapkan teknologi konservasi tanah dan air masih rendah (Sinukaban,
2013).
Permasalahan non fisik antara lain rendahnya sikap enterpreneurship petani,
lemahnya sistem kelembagaan, aplikasi teknologi yang rendah dan inovasi teknologi baru
sangat jarang dilakukan. Dalam pengelolaan, seringkali terjadi benturan kepentingan dalam
menentukan tujuan pengelolaan air di tingkat lapangan, apakah untuk transportasi,
pertanian, atau kegiatan lainnya.
Selain kendala agronomis, kendala lain pengelolaan lahan sub-optimal adalah
aksesibilitas yang rendah akibat prasarana transportasi yang belum tersedia atau dalam
kondisi yang buruk, sehingga biaya angkut hasil produksi maupun sarana produksi relatif
mahal. Selain itu kurangnya infrastruktur penunjang dalam pembangunan pertanian di
lahan sub-optimal tersebut akan berdampak pada rendahnya produktivitas dan kualitas
produk, serta sulitnya pemasaran.
Faktor kendala lain adalah keterbatasan tenaga kerja, karena umumnya kepadatan
penduduk yang bermukim di lahan sub-optimal sangat rendah. Berbagai kendala tersebut
secara langsung berdampak pada mahalnya biaya produksi dan penanganan pasca panen
sehingga pendapatan penduduk dari pengusahaan komoditi pangan rendah, dan pada
beberapa daerah hal tersebut dapat mendorong terjadinya alih fungsi lahan tanaman pangan
ke penggunaan lain, diantaranya untuk perkebunan.
SOLUSI
Haryono (2013) mengemukakan bahwa opsi utama yang harus ditempuh untuk
memenuhi kebutuhan pangan, adalah pengembangan dan optimalisasi lahan suboptimal
dan terdegradasi, baik melalui pendekatan intensifikasi maupun secara ekstentifikasi.
Sesuai dengan sifatnya yang ringkih, dan selaras dengan konsep dan tuntutan
pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengembangan dan optimalisasi lahan
suboptimal akan disasarkan pada beberapa aspek, yaitu: produktivitas, efisiensi produksi,
kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta kesejahteraan petani. Keempat sasaran
tersebut dapat diwujudkan melalui dukungan inovasi teknologi dan kelembagaan
(Haryono, 2013).
Optimalisasi lahan suboptimal dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu:
a) Optimalisasi pemanfaatan lahan suboptimal eksisting (baik lahan sawah maupun
lahan kering), agar lebih produktif dan lestari, melalui intensifikasi dengan dukungan
inovasi. Sasaran utamanya adalah peningkatan produktivitas dan perluasan areal
tanam/indeks pertanaman (IP).
b) Ekstensifikasi atau perluasan areal pertanian baru dengan memanfaatkan lahan
suboptimal yang potensial dengan skala prioritas tertentu. Prioritas utama perluasan
areal adalah memanfaatkan lahan suboptimal terdegradasi atau terlantar (abondance
land).
Selanjutnya Haryono (2013) menambahkan bahwa pengembangan dan optimalisasi
lahan suboptimal harus berbasis science, innovation dan network. yang dapat
dijabarkan pada beberapa strategi berikut :
Pertama: pengembangan lahan subpotimal harus diiringi dengan pemacuan inovasi
teknologi yang diasimilasikan dengan kearifan lokal sesuai dengan tipologi lahan. Karena
sifatnya yang fragil dan unik, pengembangan inovasi harus didukung basis ilmiah dan
akedemik yang kuat.
Kedua: pengembangan model farming berbasis lingkungan dan terintegrasi (Pertanian
U6-4
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
Ramah Lingkungan, PRL) dengan berbagai varian dan derivasinya, seperti pendekatan
pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT), integrasi tanaman dan ternak (SITT)
Ketiga: akselerasi pengembangan dan diseminasi inovasi tenologi pertanian, terutama
verietas unggul, teknologi pemupukan, alat mesin pertanian, pasca panen dan model
farming ramah lingkungan.
Keempat: pemberdayaan petani dan pengembangan sistem kelembagaan
Lakitan dan Gofar (2013) mengemukakan bahwa ada dua alur pokok yang saling
komplementer dalam pengelolaan lahan suboptimal agar bisa dijadikan lahan pertanian
yang produktif, yakni: [1] perbaikan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah serta tata air agar
lebih optimal; dan [2] peningkatan daya adaptasi tanaman, ternak, atau ikan terhadap
karakteristik lahan dan kondisi agroklimat yang tidak optimal.
Upaya perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah serta tata air untuk mengelola
lahan suboptimal menjadi optimal membutuhkan teknik pengelolaan yang tepat sesuai
dengan karakteristiknya. Melalui penerapan iptek yang benar, maka lahan suboptimal
dengan tingkat kesuburan alami yang rendah dapat dijadikan areal pertanian produktif.
Pengaturan tata air merupakan satu hal yang sangat penting dalam pengelolaan lahan
pertanian pada ekosistem rawa. Pengaturan tata air ini bukan hanya untuk mengurangi atau
menambah ketersediaan air permukaan, melainkan juga untuk mengurangi kemasaman
tanah, mencegah pemasaman tanah akibat teroksidasinya lapisan pirit, mencegah bahaya
salinitas, bahaya banjir, dan mencuci zat beracun yang terakumulasi di zona perakaran
tanaman (Suryadi et al., 2010).
Strategi pengendalian muka air ditujukan kepada aspek upaya penahanan muka air
tanah agar selalu di atas lapisan pirit dan pencucian lahan melalui sistem drainase
terkendali. Kondisi muka air yang diinginkan sangat tergantung kepada jenis tanaman,
jenis tanah, dan kondisi hidrologis wilayah setempat (Imanudin dan Susanto, 2008).
Pengembangan tata kelola sumberdaya air yang lebih efisien, sesuai dengan kebutuhan
tanaman, ternak, dan/atau ikan yang dibudidayakan.
Jenis teknologi yang dibutuhkan untuk masing-masing karakteristik lahan suboptimal
akan berbeda. Untuk lahan kering (upland), butuh teknologi yang efektif dan efisien dalam
mengelola sumberdaya air yang tersedia; sebaliknya, untuk lahan basah (wetland), lebih
membutuhkan teknologi tata kelola air yang pas untuk berbagai jenis komoditas pangan
yang akan dibudidayakan. Untuk lahan basah, diperlukan upaya untuk menjaga
keseimbangan dinamis antara upaya untuk memperbaiki aerasi tanah agar oksigen tersedia
bagi sistem perakaran tanaman; menjaga ketersediaan air yang sesuai kebutuhan tanaman,
ternak, atau ikan yang dibudidayakan; serta mengendalikan agar unsur-unsur yang dapat
meracuni tanaman tidak menjadi lebih tersedia dan diserap sistem perakaran tanaman.
Menurut Sinukaban (2013), penerapan pembangunan pertanian pada lahan
suboptimal kering adalah dengan sistim pertanian konservasi adalah salah satu alternatif
yang perlu diprogramkan untuk membangun pertanian yang berkelanjutan
Selain melalui upaya perbaikan sifat-sifat tanah dan pengembangan sistem tata kelola
sumberdaya air, upaya pengelolaan lahan suboptimal juga perlu secara paralel dilakukan
melalui seleksi jenis komoditas pangan yang sesuai untuk masing-masing karakteristik
lahan suboptimal. Setelah itu, dapat dilanjutkan dengan program pemuliaan tanaman,
ternak, dan ikan untuk mendapatkan varietas atau jenis yang sesuai dengan kondisi lahan
suboptimal (Lakitan dan Gofar 2013).
Pendekatan paling efisien dalam pemanfaatan lahan suboptimal adalah penggunaan
varietas yang toleran terhadap cekaman abiotik dan biotik. Cekaman abiotik yang menjadi
tantangan antara lain cekaman air, baik kelebihan maupun kekurangan (hampir pada semua
lahan suboptimal), keracunan mineral seperti Al pada lahan masam, NaCl pada lahan dekat
dengan pantai, dan suhu tinggi. Cekaman biotik berupa tingginya serangan hama, penyakit
U6-5
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
dan kecepatan tumbuhnya gulma di sekitar tanaman produksi. Tantangan lainnya adalah
selera pasar, sehingga toleransi terhadap berbagai cekaman menjadi tidak cukup, karena
pasar meminta standar produk tertentu yang meyebabkan pengembangan varietas di lahan
sub optimal menjadi lebih kompleks.
Sobir (2013) mengemukakan ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk
optimalisasi lahan suboptimal adalah perbaikan kapasitas genetik tanaman, baik secara
konvensional maupun bioteknologi, pengembangan sistem produksi di lahan sub optimal,
pengembangan infrastruktur pertanian pendukung, serta peningkatan kapasitas teknik dan
kelembagaan petani sebagai pelaku produksi utama.
Pengembangan varietas yang adaptif untuk lahan sub-optimal dengan rekayasa
bioteknologi sehingga mendapatkan varietas yang tahan terhadap cekaman abiotik,
adaptasi terhadap penyakit, kekeringan, banjir, naungan. Pengembangan varietas yang
adaftif pada lingkungan spesifik saja tidak akan efektif tanpa adanya rekayasa lingkungan
tumbuh maupun penambahan hara yang memadai. Pada lahan pasang surut dan gambut
perlu mekanisme pengendalian air sehingga optimum bagi pertumbuahan tanaman, serta
kurangnya hara mineral pada lahan gambut mengharuskan adanya terobosan dalam system
penyediaan hara secara efektif. Pada lahan kering perlu rekayasa pemanenan air hujan
sebagai sumber air bagi tanaman, dengan dukungan sistem irigasi yang mampu
mendistribusikan air tersebut secara efisien bagi tanaman budidaya. Penanaman komoditas
yang sesuai sangat membantu seperti nenas pada lahan gambut, atau teknik budidaya
khusus untuk produksi melon dan semangka pada lahan gambut, atau penanaman sayuran
di lahan kering dengan system irigasi yang tepat akan menghasilkan produk dengan
kualitas yang tinggi. (Sobir, 2013)
Disamping faktor-faktor tersebut, pengembangan lahan suboptimal perlu didukung
oleh ketersediaan infrastruktur yang baik dan kelembagaan yang kuat. Faktor
infrastruktur yang diperlukan terkait dengan sistem produksi langsung seperti pengelolaan
tata air, sistem irigasi, maupun penanganan pasca panen, maupun sarana pendukung
seperti jalan akses utama dan jalan usaha tani, maupun sarana produksi. Pengembangan
kelembagaan tani yang kuat sangat membantu petani dalam akses pemasaran produk dan
akses ke permodalan.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Haryono. 2013. Strategi Kebijakan Kementrian Pertanian dalam Optimalisasi Lahan
Suboptimal Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Nasional
Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka
U6-6
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
U6-7