Professional Documents
Culture Documents
1 PDF
1 PDF
ABSTRACT
Demand for meats in Indonesia will increase significantly with the increasing of population and their
income. An effort to establish a new breed of beef cattle will take a long time. For about years of importation
of live animals as an effort to increase the production of beef cattle facing a numbers of limitation and is not
optimal. Therefore, the technology of embryo transfer (ET) offer a way to increase and develop a sustainable
beef production. Production of embryo can be made by both in vivo and in vitro. Technology of
superovulation using gonadotrophin hormone (FSH and PMSG) has been successful to produce in vivo
embryo, but this technology facing an economically limitation by the expensive of hormone and a variation
response of donor to treatment. Production of in vitro embryo, offer the best way to produce a good quality of
embryo and with a reasonable prices. The oocytes could be obtained from slaughterhouse or juvenile cows
and there is no remaining technological barrier for implementation. A local beef cattle (PO, SO, Bali, etc)
have a higher adaptation to tropical condition and high fertility. Using those breeds as the recipients for
hybrid embryo produced by in vitro becoming inevitable. Technology of sexing sperm will increase the
efficiency of beef production. In the future, the technology of sexing, splitting and cloning embryo to increase
the effectivity and efficiency of ET needed to be evaluated.
Key words: Embryo, invivo, in vitro, transfer, beef cattle
ABSTRAK
Permintaan akan daging di Indonesia akan bertambah terus secara nyata dengan bertambahnya penduduk
dan pendapatan. Usaha membentuk bangsa sapi potong baru memerlukan waktu yang lama. Selama beberapa
tahun impor ternak hidup untuk meningkatkan produksi ternak potong mengalami banyak hambatan dan tidak
optimal. Oleh karena itu teknologi transfer embrio (TE) menawarkan jalan untuk meningkatkan dan
mengembangkan produksi daging secara berkelanjutan. Produksi embrio dapat dilakukan secara in vivo dan
in vitro. Teknologi superovulasi dengan menggunakan hormon gonadotrophin telah berhasil meproduksi
embrio secara in vivo, akan tetapi teknologi ini dibatasi oleh mahalnya hormon dan respons yang bervariasi
dari donor. Produksi embrio secara in vitro menawarkan jalan yang terbaik untuk menghasilkan embrio yang
berkualitas baik dan murah. Sumber oocyt bisa dari rumah potong hewan maupun hewan betina muda
(Juvenile) dan tidak didapat hambatan teknik untuk penerapannya dilapangan. Ternak potong lokal (PO, SO,
Bali, dll) mempunyai fertilitas yang tinggi dan sudah beradaptasi dengan lingkungan tropis. Menggunakan
bangsa sapi lokal untuk resipien bagi hybrid embrio hasil in vitro sangat memungkinkan. Teknologi
pemisahan spermatozoa akan meningkatkan efisiensi produksi sapi potong. Pada waktu yang akan datang
teknologi sexing , splitting dan cloning embrio untuk meningkatkan efisiensi TE perlu dievaluasi.
Kata kunci: Embrio, invivo, invitro, transfer, sapi potong
95
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
96
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
diungkapkan, sehingga teknologi ini benar- 1982; BOLAND dan ROCHE, 1991;
benar dapat diposisikan sebagai alat untuk SITUMORANG et al, 1993, 1995). Tidak didapat
mencapai tujuan di atas. Bukan justru perbedaan yang nyata antara jenis dan produk
sebaliknya yaitu akan menciptakan masalah dan metode pemberian FSH (3, 4 dan 5 hari)
baru dan meningkatkan ketergantungan dari terhadap jumlah embrio yang tertampung
kekuatan atau bantuan luar negeri. (SITUMORANG et al., 1993, 1994,1995) lebih
lanjut pemberian FSH dalam sekali suntik juga
dapat dilakukan untuk tujuan super ovulasi.
TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO (TE) Beberapa penelitian menunjukkan pemberian
hCG atau penyuntikan FSH tunggal pada siklus
Bioteknologi reproduksi yang akhir-akhir berahi hari 1 dapat meningkatkan jumlah
ini sedang berkembang pesat adalah teknologi embrio yang tertampung (SITUMORANG et al,
TE yang mencakup produksi, penanganan dan 1998).
transfer embrio. Produksi embrio dapat Saat ini produksi embrio dapat mencapai 30
dilakukan secara in vivo maupun in vitro. embrio/koleksi, tetapi rata-rata hanya sekitar
Keberhasilan TE pertama kali dilaporkan pada
57 embrio/koleksi yang layak untuk ditransfer
kelinci, tahun 1891 di Inggris dan pada domba
atau dibekukan. Sehingga seekor sapi (donor)
pada tahun 1934 (WARWICK et al.,1934); pada
secara teoritis dapat menghasilkan 2030
sapi, kerbau dan babi pada tahun 1951
embrio per tahun. Donor yang memberikan
(WILLET et al.,1951; KVASNICKII, 1951) dan
respons yang baik pada perlakuan superovulasi
pada kuda tahun 1974 (OGURI dan TSUNAMI,
pertama juga memberikan respons yang sama
1974). Pemanfaatan teknologi ini pada
pada superovulasi yang berikutnya
mulanya dipergunakan dalam perdagangan
(SITUMORANG et al, 1993).
ternak, terutama yang pada waktu itu
Untuk tujuan perbanyakan ternak yang
dilindungi, misalnya ekspor embrio sapi yang
berkualitas, teknologi MOET akan sangat
disimpan dalam alat reproduksi kelinci dari
efektif, karena yang diperbaiki adalah
Eropa ke Afrika Selatan. Saat ini perdagangan
hewannya (diploid), bukan sekedar up-grading
embrio sudah sangat meluas, melalui penjualan
(haploid) seperti pada teknologi IB. Oleh
embrio beku yang disimpan dalam nitrogen
karena itu teknologi TE dapat dipandang
cair.
sebagai upaya mengganti ternak yang ada
dengan populasi baru (breed replacement).
Produksi embrio secara In Vivo Pada tahun 1997 aplikasi TE di dunia sudah
mencapai sekitar 460.000 embrio (THIBIER,
Produksi embrio secara in vivo juga dikenal 1997) dan di India aplikasi TE pada kerbau
dengan teknologi Multiple Ovulation Embrio perah telah mencapai sekitar 1000 embrio
Transfer (MOET). Teknologi ini sudah sangat (CUNNINGHAM, 1999).
luas diaplikasikan dalam dua dasawarsa Faktor penghambat teknologi MOET ini
terakhir ini (CUNNINGHAM, 1999), seperti di adalah respons donor yang masih sangat
Eropa, Amerika, Jepang, Australia dan negara bervariasi terhadap perlakuan hormon sehingga
maju lainnya. Tujuan dari teknologi ini adalah satu individu dapat menghasilkan sampai 30
untuk menghasilkan embrio yang banyak embrio sedang individu yang lain tidak ada dan
dalam satu kali siklus. Hal ini dapat dicapai hal ini baru dapat diketahui setelah pemberian
dengan penyuntikan hormon gonadotrophin hormon (HAFEZ 1995). Disamping itu harga
(FSH, PMSG) secara intra muscular pada hormon yang cukup tinggi juga menjadi faktor
siklus berahi hari ke 10. Penyuntikan PMSG pembatas didalam aplikasi teknologi MOET
dilakukan satu kali penyuntikan sedang FSH secara luas. Pemberian ekstrak hipofise dapat
diberikan umumnya 2 x sehari dengan interval memperpendek jarak beranak sapi perah dan
waktu 12 jam selama 3-5 hari pemberian. kemungkinan pemberian ekstrak ini sebagai
Secara umum dilaporkan jumlah embrio yang pengganti hormon untuk tujuan superovulasi
tertampung lebih tinggi dengan pemberian memerlukan penelitian yang lebih lanjut
FSH dibanding PMSG (SEIDEL dan SEIDEL, (ISNAINI et al, 2003).
97
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
98
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
halangan yang berarti lagi. Dengan demikian sapi muda dapat mencapai blatosis (28%),
produksi sapi potong dapat dilakukan secara sedangkan yang dari oosit abatoir diperoleh
efisien yaitu memproduksi hygrid embrio dari 17% blastosis. TRIWULANNINGSIH et al., (2001)
sel telur negara maju dan ditransfer ke sapi melaporkan bahwa penggunaan CIDR selama
lokal yang sudah terbukti telah beradaptasi 5 hari dan injeksi 2.4 mg FSH adalah dosis
pada lingkungan tropis dan mempunyai yang baik untuk juvenile berumur sekitar 4-5
fertilitas yang tinggi. Sistem proksi seperti ini bulan. Karena dengan dosis tersebut dapat
telah menjadi program IVF secara terbatas di diperoleh oosit dan morula yang paling banyak
Balitnak dengan memanfaatkan sel telur sapi dibandingkan dosis FSH yang lain (2,8 mg, 3,2
perah dari Wisconsin, USA, lalu difertilisasi mg dan 3,6 mg). Namun demikian keberhasilan
dengan sperma Bos sondaicus (Banteng) untuk teknologi ini masih bervariasi diantara
selanjutnya di transfer ke resipien di Indonesia berbagai Laboratorium IVF. Walaupun aplikasi
(TRIWULANNINGSIH et al., 1999). teknik ini secara praktis dapat mengurangi
Alternatif lain sebagai sumber sel telur generasi interval (L), faktor penghambat adalah
dapat diperoleh dari sapi betina muda (umur 4- masih tetap menggunakan hormon dan proses
6 bulan) tanpa mengganggu kemampuannya operasi yang memerlukan biaya yang cukup
untuk berproduksi secara normal kembali mahal.
setelah dewasa. Penelitian telah dilakukan di
Balitnak dimana sel telur ditampung dengan
jalan operasi dari sapi betina muda yang telah Pembekuan embrio
sebelumnya mendapatkan perlakuan
superovulasi, kemudian sel telur yang Salah satu faktor utama yang
terkumpul di fertilisasi secara in vitro. mempengaruhi aplikasi embrio transfer adalah
Kegiatan ini dilakukan setiap bulan dengan kemampuan untuk membekukan embrio seperti
harapan anak sapi tersebut dapat mempunyai halnya spermatozoa sehingga memudahkan
anak sebelum dia sendiri dewasa, sebab penyimpanan dan transportasi.Teknologi
blastosist yang dihasilkan akan ditransfer pada pembekuan embrio yang dihasilkan secara in
resipien yang telah dipersiapkan sebelumnya. vivo maupun in vitro sudah banyak dilaporkan
Dengan teknologi ini diharapkan dapat (VOEKEL dan HU, 1992; SITUMORANG et al,
dilakukan pembuatan sapi komposit, karena sel 1993; HAN et al, 1994). Menurut GORDON
telur anak sapi hasil persilangan (umur 3 (1994) krioprotektan yang biasa digunakan
bulan) dapat disilangkan lagi dengan bangsa untuk pembekuan sel dibagi dua kelompok
sapi yang lain. Penelitian yang telah dilakukan yaitu 1) kelompok extrasellular yaitu
di Balitnak, menunjukkan bahwa penggunaan krioprotektan yang mempunyai molekul yang
CIDR (Control Intravaginal Divice Release) besar dan tidak mampu menembus membran
yang berisi 0.3 mg progesterone dalam inert antara lain PVP (Polivinil pirolidon ), sukrosa,
silicone elastomer (InterAg, 558, Hamilton, rafinosa, laktosa, dll., dan 2) kelompok
NZ Asutralia) selama 5 hari dan krioprotektan intrasellular yaitu dengan
dikombinasikan dengan perlakuan injeksi molekul kecil dan dapat melewati membrane
Folicle Stimulating Hormone (FSH, Research termasuk antara lain glycerol,
Institute of Animal Science, Malianwa, dimethylsulfiuxida (DMSO), ethylene glycol,
Haidian, Beijing, China) selama 3 hari 1,2 propanideol. Krioprotektan ethylin glycol
berturut-turut dengan dosis menurun dan dilaporkan lebih baik dibanding DMSO
interval 12 jam, dapat meningkatkan jumlah maupun glycerol (SITUMORANG et al., 1993;
oosit yang dapat dikoleksi (LUBIS et al., 2002). WAHYUNINGSIH et al., 2003). Faktor lain yang
Hal ini membuktikan bahwa CIDR yang mempengaruhi keberhasilan pembekuan adalah
dikombinasikan dengan FSH dapat antara lain 1), lama pemaparan (TAHA dan
menstimulasi pertumbuhan folikel dan SCHELLANDER, 1992) dimana lama pemaparan
meningkatkan jumlah oosit yang dihasilkan. 20-30 menit lebih baik dibanding 5 dan 10
Sementara itu AMSTRONG (1992) melaporkan menit (RAYOS et al., 1994), 2) konsentrasi
bahwa embrio yang diperoleh dari oosit anak krioprotektan (VICENTE dan GARCIA XIMENEZ,
1994).
99
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
100
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
peluang yang besar terhadap kemajuan iptek Metode pemisahan dengan menggunakan
peternakan di masa yang akan datang. Splitting kolum albumin didasarkan pada perbedaan
maupun cloning juga akan sangat bermanfaat motilitas spermatozoa X dan Y dan filtrasi gel
dalam membantu program konservasi secara in sephadex yaitu berdasarkan ukuran kepala
vitro (cryogenic preservation). Akan tetapi spermatozoa telah dilaporkan berhasil
upaya-upaya agar teknologi ini mempunyai memisahkan spermatozoa X dan Y
manfaat ekonomis masih perlu dikaji, (SITUMORANG et al.,2003; TRINIL, 2004).
disamping masalah lain yang berkaitan dengan Prinsip dari metode kolom albumin ini adalah
masalah sosial. Saat ini perkembangan membuat medium yang berbeda
teknologi splitting embrio di Indonesia masih konsentrasinya, sehingga spermatozoa yang
sangat terbatas, baik dalam arti jumlah mempunyai motilitas tinggi (Y) akan mampu
kegiatannya maupun tingkat keberhasilanya. menembus konsentrasi medium yang lebih
pekat, sedangkan spermatozoa X akan tetap
berada pada medium yang mempunyai
Sexing semen dan embrio konsentrasi rendah. Metode ini mudah
diperoleh, diterapkan di lapang, dan terjangkau
Sexing embrio dapat dilakukan dengan serta dapat mempertahankan kwalitas dan
mengekstraksi satu sel/blastomer dari morula kwantitas spermatozoa selama proses
dengan menggunakan PCR (Polymerase Chain pemisahan. Kombinasi medium pemisah yang
Reaction). Morula tersebut kemudian dikultur digunakan adalah konsentrasi 10 persen putih
kembali sampai menjadi blastosist. Dengan telur pada lapisan atas dan 30 persen pada
menggunakan metode ini kebenarannya dapat lapisan bawah. Hasil penelitian tersebut
mencapai 99% seperti yang telah dilaporkan menunjukkan, konsentrasi albumin 10 persen
oleh KIRPATRICK dan MONSON (1993) dimana dan 30 persen mampu mengubah proporsi
telah di sexing sebanyak 40 in vitro biopsied perolehan spermatozoa dari kondisi normal.
embryos lalu dikultur kembali kemudian 18 Spermatozoa pembawa kromosom X dan Y
embrio yang telah dibiopsy telah ditransfer telah dapat dipisahkan dari ratio perbandingan
pada resipien dan 12 ekor telah berhasil 49,3% : 50,7% yang mendekati perbandingan
bunting. Kelemahan sexing embryo adalah secara teoritis yaitu 50% : 50% menjadi
disamping mempengaruhi kwalitas embrio juga 30,64% : 69,36% (pengencer kontrol) dan
memerlukan peralatan yang cukup mahal dan 27,32% : 72,68% (pengencer mengandung
operator yang terlatih, sehingga penerapan IMX) untuk fraksi bawah. Dari perbandingan
teknologi ini secara ekonomis masih terbatas. tersebut, maka fraksi bawah dari hasil
Pemisahan spermatozoa sebelum inseminasi pemisahan dengan kolom albumin sangat
ataupun pembuahan secara in vitro menjadi cocok digunakan untuk mendapatkan kelahiran
alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk anak jantan. Sebaliknya ratio perbandingan
mendapatkan embrio dengan sex yang X:Y pada fraksi atas dapat menjadi 67,72 :
diinginkan. Penelitian telah dilakukan untuk 32,28 (pengencer kontrol) dan 78,93 : 21,72%
pemisahan spermatozoa pembawa khromosom (pengencer mengandung IMX) dan inseminasi
X dan Y dengan cara sedimentasi, sentrifugasi, dengan menggunakan sperma dari fraksi atas
elektrophoresis, dan penggunaan antigen. Akan ini akan menghasilkan anak betina yang lebih
tetapi semuanya ternyata tidak efektif karena banyak. Penambahan IMX dalam pengencer
spermatozoa yang telah mengalami proses sperma secara nyata meningkatkan (P<0,05)
menurunkan kemampuannya untuk persentase spermatozoa X yang diperoleh
memfertilisasi sel telur. Di Amerika kini telah melalui metode kolom albumin apabila
dilakukan sorting sperma dengan alat flow dibandingkan pengencer kontrol.
cytometry. Walaupun sorting telah berhasil Filtrasi gel sephadex merupakan suatu
90% benar namun fertilitasnya menurun dan pemisahan menggunakan gel yang dibuat dari
konsentrasi sperma yang didapat sangat dasar dextran, yaitu suatu jaringan tiga dimensi
rendah. Prospek penggunaan sistem ini secara dari molekul-molekul linier polisakarida yang
komersial masih jauh dari sempurna, untuk itu berikatan dengan epichlorohydrin. Dalam gel
penelitian di bidang ini terus dilakukan. filtrasi pemisahan didasarkan atas perbedaan
ukuran spermatozoa yang difilter. Spermatozoa
101
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
dengan berat lebih besar akan turun lebih dulu, embrio in vitro menjadi pilihan yang sangat
sedangkan spermatozoa yang lebih kecil yang menguntungkan dengan memanfatkan sumber
bisa melewati gel akan turun kemudian, sel telur dari negara-negara maju yang
spermatozoa yang paling kecil yang bisa kemudian difertilisasi pada laboratorium dalam
melewati gel akan turun paling akhir. Filtrasi negeri menggunakan sperma dari ternak lokal
dengan menggunakan gel sephadex merupakan yang unggul maupun ternak eksotik lainnya.
separasi kromatografi berdasar afinitas. Sumber sel telur juga dapat berasal dari betina
Molekul-molekul sephadex yang bersilang muda (Juvenil) yang berkwalitas baik untuk
menjamin penyaringan yang selektif. Kekuatan memperpendek generasi interval. Ternak
mekanis sephadex tergantung pada tingkat betina lokal seperti sapi Bali, PO SO dll
ikatannya (cross linking) yang akhirnya menjadi ternak yang sangat berpotensi untuk
menjamin porositas partikel-partikel itu resipien karena sudah beradaptasi terhadap
(DOWSON et al., 1986). lingkungan tropis dan kondisi makanan yang
Persentase kebuntingan menggunakan tersedia. Alternatif lain adalah menggunakan
spermatozoa pascapemisahan sperma X dan Y sapi perah betina sebagai resipien penghasil
adalah berturut-turut 64,75% dan 58% untuk sapi potong. Teknologi pemisahan sperma X
metode pemisahan albumin dan sephadex dan Y menjadi sangat penting untuk
(SITUMORANG et al., 2003). Hasil yang selaras meningkatkan nilai ekonomis dengan
dilaporkan oleh EKAYANTI et al. (2004) meningkatkan kelahiran dengan jenis kelamin
dimana kwalitas spermatozoa pascapemisahan yang diinginkan oleh peternak yaitu anak
masih cukup baik untuk digunakan dalam betina untuk produksi susu dan jantan untuk
pembuahan sel telur secara in vitro. produksi daging.
Dari hasil tersebut di atas teknologi Teknologi splitting, sexing dan cloning
pemisahan sperma X dan Y menjadi sangat embrio belum dalam tingkat aplikasi dan masih
potensial digunakan untuk meningkatkan memerlukan penelitian yang lebih lanjut.
produksi embrio baik secara in vivo maupun in Aplikasi teknologi ini pada masa yang akan
vitro untuk mrnghasilkan anak dengan jenis datang harus mempertimbangkan efisiensi
kelamin yang diharapkan. Untuk usaha ternak ekonomisnya.
potong, maka crosbred embrio XY lebih
diinginkan dan sebaliknya untuk usaha sapi
DAFTAR PUSTAKA
perah dan pengganti induk sapi potong lebih
menginginkan embrio XX. AMSTRONG, D.T. 1993. Recent advances in
superovulation of cattle. Theriogenology 39:
7-24.
KESIMPULAN DAN SARAN
ASHWORTH, C.J. 1992. Synchrony embryo-uterus.
Permintaan daging khususnya yang berasal In: Clinical Trends and Basic Research in
Animal Reproduction. Elsevier. Amsterdam-
dari ternak sapi potong yang akan terus
London-New York-Tokyo. pp. 259-267.
memberikan peluang usaha pengembangan
peternakan sapi potong di Indonesia. Teknologi BOLAND, M.P. and J.F. ROCHE. 1991. Embryo
TE akan memegang peranan penting untuk production: Alternatives methods. International
Trend of the Research on Animal Embryo
mempercepat produksi ternak sapi potong baik
Transfer. pp. 2-13.
secara kuantitas maupun kualitas. Penguasaan
teknologi TE yang mencakup produksi embrio BREM. 1995. Splitting and Sexing of bovine embryo.
secara in vitro maupun in vivo, penanganan dan In: FAO Animal Production and Health
mentransfer ke resipien sudah dalam tingkat Division. Biotechnology for livestock
production. pp. 71-78.
aplikasi di lapangan. Produksi embrio in vivo
masih mengalami hambatan berupa harga BURNS. D. 2002. Enchancing efficiency in cow -calf
hormon yang tinggi dan respons donor yang production. http;//www.colostate.edu/depts/
masih bervariasi sehingga sistim produksi ini AES/projs/670.htm.
sebaiknya dilakukan pada kondisi terbatas CAMBELL, K.H.S., J. MC WHIR, W.A. RITCHIE and I.
yaitu untuk meningkatkan populasi dari ternak- WILNUT. 1996. Sheep cloned by nuclear
ternak donor yang berpotensial tinggi. Produksi transfer from a cultured cell line. Nature 380:
64-66.
102
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
CUNNINGHAM, E.P. 1999. Recent developments in HASLER, J.F. 1995. Production, freezing and transfer
biotecnology as they related to animal genetic of bovine IVF embryos and subsequent
resources for food and agricultural. calving results. Theriogenology 43:141-152.
Commision on Genetic Resources for Food
and Agriculture. ISNAINI. N., SUYADI., I.K. SUTAMA dan P.
SITUMORANG. 2003. Upaya memperpendek
DIWYANTO, K., SUPAR dan TRIWULANNINGSIH, E. selang beranak sapi perah anestrus post
2000. Perkembangan bioteknologi peternakan partum melalui pemberian ekstrak hipofise
dan prospek penerapannya di Indonesia. sapi. Laporan PAATP Departemen Pertanian
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian 2003.
Bioteknologi Pertanian. Badan Litbang
Deptan. JASWANDI. 2002. Penggunaan hepes dan butiran
efervesen dalam sistim incubasi pada produksi
DOWSON, R.M.C., D.C. ELLIOT, W.H. ELLIOT dan embrio domba secara in vitro. Thesis Doktor
K.M. JONES. 1986. data for biochemical pada Program pascasarjana Institut Pertanian
research 3rd edition. Oxford Science Bogor.
Publication. New York:514-515.
KEEFER, C.L., S.L STICE and A.M PAPROCKI. 1993.
EKAYANTI M. KAIIN, M. GUNAWAN., SYAHRUDDIN Effect of Follicle Stimulating Hormone and
SAID dan B. TAPPA. 2004. Fertilisasi dan Lutenizing hormone during bovine in vitro
perkembangan oosit sapi hasil IVF dengan mob ion on development following invitro
sperma hasil pemisahan. Seminar Nasional fertilization and nuclear transfer. J. Mol.
Teknologi Peternakan dan Veteriner. hlm. 31. Reprod. and Dev., 36: 469-474.
EYESTONE, W.H. and N.L. FIRST. 1989. Co-culture KVASNICKII, A.V. 1951. Interbreed ovo
of early bovine embryos to the blastocyst transplantations. Animal Breeding Abstract
stage with oviductal tissue or in conditioned 19: 224.
medium. J. Reprod. Fert. 85: 715-720.
KIRPATRICK, B.W. and R.L.MONSON. 1993.
FUKUDA F., M. ICHIKAWA., K. NAITO and Y. Sensitive sex determination assay applicable
TOYODA. 1990 Birth of normal calves to bovine embryos derived from IVM and
resulting from bovine oocytesmatured, IVF. J.Reproduction and Fertility 98:335-340.
fertilized and cultured with cumulus cells
invitro up to the blastocyst stage. Biol. KANAGAWA, H., O ABAS-MAZNI and C.A.VALDEZ.
Reprod. 42:114-119 1995. Oocyte maturation and in vitro
fertilization. In: FAO Biotechnology for
FUKUI, Y., M. FUKUSHIMA and ONO. 1989. Effect of Livestock Production. pp. 79-95.
sera, hormone and granulosa cells added to
culture media for in vitro maturation, KATO, Y., T.TANI, Y.SOTOM.RU, K.KUROKAWA,
fertilization, cleavage and development of J.KATO, H.DOGUCHI, H.YASUE and Y
bovine oocytes. J. Reprod. Fert. 86:501-506. TSUNODA. 1998. Eight calves cloned from
somatic cells of a single adult. Science 282
GORDON, I. (1994). Laboratory Production of Cattle 2095-2098.
Embryos. Cab International, University Press,
Cambridge. KUZAN, F.B and Q.E SEIDEL. 1986. Embryo Transfer
in Animals. In: Developmental Biology Vol 4.
GOTO, K., Y. KAJIHARA., S. KOSAKA., M. KOBA., Y. Manipulation of Mammalian Development.
NAKANISHI and K. OGAWA. 1988. Pregnancies GWATKIN R.B.L. (Ed.). Plenum Press, London
after co-culture of cumulus cells with bovine
embryos derived from in vitro fertilization of LOHUIS, M.M. 1995. Potential benefits of bovine
invitro matured folliculars oocytes. J. Reprod. embryo-manipulation technologies to genetic
Fert. 83: 753-758. improvements programs. Theriogenology 43:
51-60.
HAN, Y.M., H. YAMASHINA., N. KOYAMA., K.K LEE
dan Y. FUKUI. Effect of quality and LUBIS, A.M. P. SITUMORANG, E. TRIWULANNINGSIH
development stage on the survival of FIV- dan T. SUGIARTI. 2002. Pengaruh stimulasi
derived bovine blastocyst cultured in vitro CIDR terhadap perkembangan folikel bovine
after freezing and thawing. Theriogenology oosit folikel juvenile yang diperoleh melalui
42: 645-654. laparotomy. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Puslitbang
HAFEZ, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. Peternakan. Badan Litbang. Deptan.
6th Ed. Lea & Febiger Philadelphia.
103
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
OGURI N. and Y. TSUNAMI. 1974. Non surgical egg ruminansia melalui teknologi embryo transfer.
transfer mares. J. Repro. Fert. 41: 313320. Laporan Penelitian ARMP 1993.
PARK, R.L., K.L. POWELL., D.D. ANDRUS, B.B. SITUMORANG, P., A. LUBIS dan E. TRIWULANINGSIH.
BINGHAM and M.V. WALLENTINE. 1991. 1994. Pengaruh jenis hormon terhadap tingkat
Conception rate and pregnancyes per flush by ovulasi sapi perah yang sedang laktasi. Ilmu
herdsmen using embryo transfer in a large dan Peternakan 7:1-3.
university herd: a six year study. J Dairy Sci.
SITUMORANG, P., A. LUBIS dan E. TRIWULANINGSIH.
74: 199.
1995. Penelitian peningkatan produksi ternak
RAYOS, A.A., Y. TAKAHASHI, M. HISHINUMA and H. melalui transfer embryo, pemanfaatan gen,
KANAGAWA. 1994. Quick freezing of sintesa susupengganti, pemetaan defisiensi
unfertilized mouse oocytes using ethylene mineral serta penekanan mortalitas dan
glycol with sucrosa or trehalose. J. Reprod. peningkatan kualitas kulit dan bulu. Laporan
Fert. 100: 123-129. hasil penelitian ARMP tahun 1995.
ROCHE, J.M. 1989. New technique in hormonal SITUMORANG, P., A. LUBIS., E. TRIWULANINGSIH.,
manipulation of cattle production. In: New I.G PUTU dan K. DIWYANTO. 1998. Pengaruh
technique in cattle production. PHILLIPS C.J.C. pemberian FSH pada hari ke-I siklus
(Ed.). Butterworths, London. berahi,flushing pada waktu berahi terhadap
respons sapi perah yang kemudian mendapat
ROSENKRANS, C.F and N.L. FIRST. 1991. Culture of perlakuan superovulasi. Prosiding seminar
bovine zygotes to the blastocyst stage effects nasional Peternakan dan Veteriner.2:289
of amino acids and vitamins. Therionelogy 35:
266 SITUMORANG, P., E. TRIWULANINGSIH, A. LUBIS., T.
SUGIARTI., W CAROLINE dan K. DIWYANTO.
RUTLEDGE, J.J. 2004. Technology innovations to 1999. Pengaruh hormon hCG terhadap
enchance livestock agribusiness. Seninar persentase kebuntingan resipien yang
nasional teknologi peternakan dan veteriner. mendapatkan transfer embrio hasil pembuahan
Hal 6. secara in vitro. Laporan penelitian 1999.
SEIDEL, G.E.JR. and S.M. SEIDEL. The Embryo SITUMORANG, P. 2002. The effect of inclusion of
Transfer Industry. In: New Technologies. In: exogenous phospholipid in Tris-Diluent
Animal Breeding. B.G. BRACKETT, G.E. containing a different level of egg yolk on
SEIDEL, JR. and SM SEIDEL. (Eds.). Acadenic viability of bull spermatozoa. JITV 7(3):
press, N.Y. 181187.
SENGER, P.L. 1993. The heat detection problem-new SITUMORANG, P., E. TRIWULANNINGSIH, T. SUGIARTI,
concepts, technologies and possibilities. J DA. KUSUMANINGRUM dan R.G. SIANTURI.
Dairy Sci. 76: 311. 2003. Optimasi Pemisahan Spermatozoa X
SETIADI, B., D. PRIYANTO, SUBANDRIYO dan dan Y. Laporan Tahunan Peningkatan
N.K.WARDHANI. 1998. Pengkajian pemanfatan Efisiensi Produksi sapi Melalui perbaikan
teknologi Inseminasi Buatan (IB) terhadap teknologi Reproduksi. Balitnak-Ciawi.
kinerja reproduksi ternak sapi Peranakan (Unpublished).
Ongole di Daerah Istemewa Yogyakarta. STEVENSON. J.S. 2000. Factors influencing the
Prosiding seminar nasional Peternakan dan initiation of estrous scycles and expression of
Veteriner. 1: 208. estrus in beef cows . Cattlemen's Day 2000.
SITEPU, P. dan R. DHARSANA. 1998. Aplikasi 95-106.
inseminasi buatan (IB) di Propinsi Lampung : TAHA, T.A. and K. SCHELLANDER. 1992. Isolation
Penanganan dan penympanan frozen semen. and culture of primary follicles from cattle
Prosiding seminar nasional Peternakan dan ovaries. Proc. 12th Cong. Anim. Prod. 1:
Veteriner. 2: 317
275277
SIREGAR, A.R., P.SITUMORANG dan K. DIWYANTO.
THIBIER, M. 1998. The statistics on the world
1998. Pemanfaatan teknologi IB dalam usaha
embryo transfer industry. Embryo Transfer
peningkatan produktifitas sapi potong di
Newsletter. 16(4): 17-20.
Indonesia. Pros. seminar nasional Peternakan
dan Veteriner.1: 171. THIEBER, M. and M. NIBART. 1992. Clinical aspects
of embryo transfer in some domestics animals.
SITUMORANG, P., A. LUBIS, E. TRIWULANINGSIH dan
Anim. Prod. Sci. 28: 139-148.
I G. PUTU 1993. Peningkatan produksi ternak
104
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
TRIWULANNINGSIH E., M.R TOELIHERE, WILNUT, I., A.E.SCHNIEKE, J.MC WHIR, A.J. KIND
J.J.RUTLEDGE, T.L. YUSUF, B. PURWANTARA AND K.H.S CAMPBELL. 1997. Viable offspring
dan K. DIWYANTO. 2001b. Produksi embrio in derived from fetal and adult mammalian cells.
vitro dengan modifikasi waktu dan hormon Nature 385:810-813.
gonadotropin selama pematangan oosit. JITV WAKAYAMA, T., A.C.F. PERRY, M. ZUCCOTTI, K.R.
6(3): 179-188. JOHNSON and R.YANAGI MACHI. 1998. Full-
TRIWULANNINGSIH E., M.R TOELIHERE, term development of mice from enucleated
J.J.RUTLEDGE, T.L. YUSUF, B. PURWANTARA oocytes injected with cumulus cell nuclei.
dan K. DIWYANTO. 2002a. Perbandingan Nature 394:369.
penggunaan medium CR1aa dan KSOM WANG, W.L., H.S JIANG., K.H LU., D. MCARTHY and
sebagai medium kultur dalam produksi embrio I. GORDON. 1989. The effects of media and
sapi in vitro. JITV 7(1): 3037. sera on the in vitro development of early
bovine embryos. J. Reprod. Fert. Abstract No.
TRIWULANNINGSIH, E. 2002b. Produksi embrio sapi
3 : 50.
in vitro dengan modifikasi waktu dan suhu
pada medium maturasi yang diperkaya dengan WIEMER, K.E., A.J. WATSON., V. POLANSKI., A.I.
FSH dan Estradiol 17. Disertasi. Program MCENNA., G.A. SCHULTZ and S. WILLADSEN.
Pascasarjana IPB. 1991. Effects of maturation and co-culture
treatments on the developmental capacity of
TRIWULANNINGSIH E., M.R. TOELIHERE, J.J.
early bovine embryos. Biol. Reprod. 44:97
RUTLEDGE, T.L. YUSUF, B. PURWANTARA dan
K. DIWYANTO. 2003. Seleksi dan kapasitasi XU, K.P., B.R. YADAV, R.W. RORIE., L. PLANTA,
spermatozoa dengan metode Percoll gradient K.J. BETTERIDGE and W.A. KING. 1992.
untuk fertilisasi oosit dan produksi embrio in Development and viability of bovine embryos
vitro pada sapi. Manuscript Berita Biologi derived from oocyttes matured and fertilized
LIPI. in vitro and co-cultured with bovine oviducal
epithelial cells. J. Refrod. Fert. 94: 34-43.
VICENTE, J.S. and GARCIA-XIMENEZ. 1994. Osmotic
and cryopreservative effects of a mixture of ZUELKE, K.A. and B.G. BRACKETT. 1993. Increased
DMSO and ethylene glycol on rabbit morula. glutamine metabolism in bovine cumulus cell-
Theriogenology 42: 1205-1215. enclosed and denuded oocytes after in vitro
maturation with luteinizing hormone. Biology
VOELKEL, S.A. and Y.X. HU. 1992. Use of ethylene
of Reproduction 48: 815-820.
glycol as a cryoprotectant for bovine embryos
allowing direct transfer of frozen-thawed
embryos to recipients females. Theriogenology
37: 687-694.
105