You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. KONSEP NYERI


Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau suatu
keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.
Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu :

Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan,


berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan
yang nyata (pain with nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai
nyeri akut.
Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan
kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri seperti
ini disebut sebagai nyeri kronis.

Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme


proteksi, defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel
nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab
nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai
mekanisme defensif, memungkinkan untuk immobilsasi organ tubuh yang mengalami
inflamasi atau patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa
mempercepat penyembuhan.
Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan adanya
nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui,
misalnya, nyeri yang dirasakan oleh seorang pada daerah perut kanan bawah,
kemungkinan pasien tersebut menderita radang usus buntu. Contoh lain, misalnya
seorang ibu hamil cukup bulan, mengalami rasa nyeri di daerah perut, kemungkinan
merupakan tanda bahwa proses persalinan sudah dimulai.
Pada penderita kanker stadium lanjut, apabila penyakitnya sudah menyebar ke
berbagai jaringan tubuh seperti misalnya ke dalam tulang, nyeri yang dirasakanya tidak

1
lagi berperan sebagai mekanisme proteksi, defensif atau diagnostik, tetapi akan
menambah penderitaannya semakin berat.
Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang
mengakibatkan penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya tidak saja
tertuju pada usaha untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan
bermaksud menjangkau mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat menikmati
kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya.

I.2. DEFINISI NYERI


Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut
International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan
emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan
aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Dari
definisi dan konsep nyeri di atas dapat di tarik dua kesimpulan. Yang pertama, bahwa
persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional
menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi nyeri terjadi karena adanya
kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception). Yang kedua, perasaan yang
sama juga dapat timbul tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi nyeri dapat
terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception).

2
BAB II
PEMBAHASAN

II.1. KLASIFIKASI NYERI


Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara, yaitu :
1. Menurut Jenisnya : nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri psikogenik.
2. Menurut timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyeri kronis.
3. Menurut penyebabnya : nyeri onkologik dan nyeri non onkologik.
4. Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang dan berat.

Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik


Nyeri akut Nyeri kronik
- Lamanya dalam hitungan menit - Lamannya sampai hitungan bulan
- Sensasi tajam menusuk - Sensasi terbakar, tumpul, pegal
- Dibawa oleh serat A-delta - Dibawa oleh serat C
- Ditandai peningkatan BP, nadi, - Fungsi fisiologi bersifat normal
dan respirasi
- Kausanya spesifik, dapat - Kausanya mungkin jelas mungkin
diidentifikasi secara biologis tidak
- Respon pasien : Fokus pada nyeri, - Tidak ada keluhan nyeri, depresi
menangis dan mengerang, cemas dan kelelahan
- Tingkah laku menggosok bagian - Tidak ada aktifitas fisik sebagai
yang nyeri respon terhadap nyeri
- Respon terhadap analgesik : - Respon terhadap analgesik : sering
meredakan nyeri secara efektif kurang meredakan nyeri

II.2. FISIOLOGI NYERI


Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas
dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak.

3
Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor)
ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada
daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga
memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari
daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit
(kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Serabut A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab
nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit
dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik (deep somatic) dalam meliputi reseptor nyeri
yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga
lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang
tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-
organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada

4
reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif
terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri
dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi stimulus,
penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut sering
didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious). Sensasi epiritik
(sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan temperatur) ditandai dengan
reseptor ambang rendah yang secara umum dihantarkan oleh serabut saraf besar
bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik (nyeri) ditandai dengan reseptor ambang
tinggi yang dihantarkan oleh serabut saraf bermielin yang lebih kecil (A delta) serta
serabut saraf tak bermielin (serabut C).
Stimulus ini melalui empat proses tersendiri yaitu :
1. Transduksi
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di
reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin dari
sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit
dan substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan),
suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).
2. Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor saraf
perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai
neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami
modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai
neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato
sensoris di korteks serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut
diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
3. Modulasi
Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang dapat
mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini juga
melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktifitas
di reseptor nyeri.

5
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses
transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu
perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

II.4. RESPON FISIOLOGIS TERHADAP NYERI


Respons tubuh terhadap trauma atau nyeri adalah terjadinya reaksi endokrin
berupa mobilisasi hormon-hormon katabolik dan terjadinya reaksi imunologik, yang
secara umum disebut sebagai respons stres. Respons stres ini sangat merugikan pasien,
karena selain akan menurunkan cadangan dan daya tahan tubuh, juga meningkatkan
kebutuhan oksigen jantung, mengganggu fungsi respirasi dengan segala
konsekuensinya, serta akan mengundang resiko terjadinya tromboemboli, yang pada
gilirannya meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

Respon endokrin
Rangsang nosiseptif menyebabkan respons hormonal bifasik, artinya terjadi
pelepasan hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol, angiotensin II, ADH, ACTH,
GH dan glukagon, sebaliknya terjadi penekanan sekresi hormon anabolik seperti
insulin. Hormon katabolik akan menyebabkan hiperglikemia melalui mekanisme
resistensi terhadap insulin dan proses glukoneogenesis, selanjutnya terjadi katabolisme
protein dan lipolisis. Kejadian ini akan menimbulkan balans nitrogen negatif.
Aldosteron, kortisol, ADH menyebabkan terjadinya retensi Na dan air. Katekolamin
merangsang reseptor nyeri sehingga intensitas nyeri bertambah. Dengan demikian
terjadilah siklus vitriosus.
Efek Nyeri Terhadap Kardiovaskular dan Respirasi
Pelepasan Katekolamin, Aldosteron, Kortisol, ADH dan aktifasi Angiotensin II
akan menimbulkan efek pada kardiovaskular. Hormon-hormon ini mempunyai efek
langsung pada miokardium atau pembuluh darah dan meningkatkan retensi Na dan air.
Angiotensin II menimbulkan vasokonstriksi. Katekolamin menimbulkan takikardia,
meningkatkan kontraktilitas otot jantung dan resistensi vaskular perifer, sehingga

6
terjadilah hipertensi. Takikardia serta disritmia dapat menimbulkan iskemia miokard.
Ditambah dengan retensi Na dan air, maka timbullah resiko gagal jantung kongesti.
Bertambahnya cairan ekstraselluler di paru-paru akan menimbulkan kelainan
ventilasi perfusi. Nyeri di daerah dada atau abdomen akan menimbulkan peningkatan
tonus otot di daerah tersebut sehingga dapat muncul resiko hipoventilasi, kesulitan
bernafas dalam dan mengeluarkan sputum, sehingga penderita mudah mengalami
penyulit atelektasis dan hipoksemia.

Efek Nyeri Terhadap sistem Organ Yang Lain


Peningkatan aktivitas simpatis akibat nyeri menimbulkan inhibisi fungsi saluran
cerna. Gangguan pasase usus sering terjadi pada penderita nyeri. Terhadap fungsi
immunlogik, nyeri akan menimbulkan limfopenia, leukositosis, dan depresi RES.
Akibatnya resistensi terhadap kuman patogen menurun, Kemudian, terhadap fungsi
koagulasi, nyeri akan menimbulkan perubahan viskositas darah, fungsi platelet. Terjadi
peningkatan adesivitas trombosit. Ditambah dengan efek katekolamin yang
menimbulkan vasokonstriksi dan immobilisasi akibat nyeri, maka akan mudah terjadi
komplikasi trombosis.

Efek Nyeri Terhadap Mutu Kehidupan


Nyeri, menyebabkan pasien sangat menderita, tidak mampu bergerak, tidak
mampu bernafas dan batuk dengan baik, susah tidur, tidak enak makan/dan minum,
cemas, gelisah, perasaan tidak akan tertolong dan putus asa. Keadaan seperti ini sangat
mengganggu kehidupan normal penderita sehari-hari. Mutu kehidupannya sangat
rendah, bahkan sampai tidak mampu untuk hidup mandiri layaknya orang sehat. Oleh
karena itu penatalaksanaan nyeri pada hakikatnya tidak saja tertuju kepada mengurangi
atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau peningkatan mutu
kehidupan pasien, sehingga ia dapat kembali menikmati kehidupan yang normal dalam
keluarga maupun lingkungannya.

7
II.6. PENILAIAN NYERI
Derajat Nyeri
Berbagai cara dipakai untuk mengukur derajat nyeri, cara yang sederhana
dengan menentukan derajat nyeri secara kualitatif sebagai berikut :
1. Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan
aktivitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
2. Nyeri sedang adalah nyeri terus menerus, aktivitas terganggu, yang hanya hilang
apabila penderita tidur.
3. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari,
pendeita tidak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri waktu tidur.
Pada saat ini banyak yang menentukan derajat nyeri secara semi-kuantitatif dengan
menggunakan penggaris yang diberi angka pada skala 0 yang berarti tidak nyeri sampai
10 untuk nyeri yang maksimal. Cara ini popular disebut Numerical Rating Score (NRS).
Disini secara subyektif penderita diberi penjelasan terlebih dahulu bahwa bila tidak ada
nyeri diberi angka 0, sedang nyeri terhebat yang tak tertahankan lagi diberi angka 10.
Kemudian penderita diminta menentukan derajat nyerinya dalam cakupan 0 sampai 10.
Untuk mempermudah biasanya disodorkan gambar skala dari 0-10 pada penderita untuk
diminta menentukan tempat derajat nyeri yang dideritanya.

Cara lain yang sudah popular terlebih dahulu adalah mempergunakan Visual
Analogue Scale.
Walaupun menilai nyeri merupakan hal yang sangat subyektif, penderitaan nyeri
pasien perlu dievaluasi secara berkala.

8
II.7. PENATALAKSANAAN NYERI
Prinsip Umum Penatalaksanaan Nyeri
Sebelum dilakukanya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus
memahami tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan nyeri
ini terdapat prinsip-prinsip umum yaitu :
1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama
2. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat
3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga
4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan
5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi
6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan
7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin
Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar-
besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua metode umum
untuk terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologik dan non farmakologik.

Pendekatan Farmakologik
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic
Ladder. Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri
dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non
opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan obat
opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga,
disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri
kronik maupun nyeri akut, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1

9
Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat
pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam masing-masing
taraf penaggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan efektivitas analgesik,
memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan untuk bertindak sebagai
obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu.
Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan. Terdapat
tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik opioid dan antagonis dan
agonis-antagonis opioid. Kelompok keempat obat disebut adjuvan atau koanalgesik.
Penatalaksanaan farmakologik dengan obat-obat analgesik harus digunakan dengan
menerapkan pendekatan bertahap. Ada pula mengatasi nyeri secara terpadu yaitu bila
pada proses transduksi diberikan NSAID, bila pada proses transmisi diberikan anestesi
lokal, dan bila pada proses modulasi diberikan narkotik.
1. Analgesik non-opioid (obat anti inflamasi non steroid/OAINS)
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai
sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen (tylenol) dan
OAINS. Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek antipiretik, analgesik, dan
anti inflamasi (kecuali asetaminofen). OAINS yang sering digunakan adalah asam
asetil salisilat (aspirin) dan ibuprofen (advil). OAINS sangat efektif untuk
mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronik seperti artritis,
dan nyeri akibat kanker ringan.

Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid


10
OAINS mengahasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui
inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat. Prostaglandin
mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan produk inflamatorik
lain di tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin, untuk menimbulkan
hiperalgesia. Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme transduksi di
nosiseptor dengan menghambat sintesis prostaglandin.
Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau
toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis melebihi
kadar tertentu tidak menambah efek analgesik. Penyulit yang tersering berkaitan
dengan pemberian OAINS adalah gangguan saluran cerna, meningkatnya waktu
pendarahan, pengelihatan kabur, perubahan minor uji fungsi hati, dan berkurangnya
fungsi hati, dan berkurangnya fungsi ginjal.

2. Analgesik opioid
Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan digunakan
dalam pengobatan nyeri sedang sampai berat. Obat-obat ini merupakan patokan
dalam pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin adalah suatu
alkaloid yang berasal dari getah tumbuhan opium poppy yang telah dikeringkan
dan telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu karena efek analgesik, sedatif
dan euforiknya. Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk
mengobati nyeri berat dan masih standar pembanding untuk menilai obat analgesik
lain.
Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek
analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas sejak
penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem limbik, talamus, PAG,
substansia gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid endogen seperti morfin
menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid dengan cara serupa dengan
opioid endogen (endorfin-enkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis
(meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat reseptor opioid di nukleus
modulasi-nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada sistem-sistem
desenden yang menghambat nyeri.

11
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip
termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu,
semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan
(adiksi). Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi untuk
mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opioid tersebut diberikan
dalam jangka panjang, misalnya pada terapi kanker. Walaupun terdapat toleransi
silang yang cukup luas diantara obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah komplete.
Misalnya codein, tramadol, morfin solutio.

Mekanisme kerja obat untuk nyeri

3. Antagonis dan agonis-antagonis opioid


Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan
mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu
antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid.
Nalokson digunakan untuk melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu yang
paling serius adalah depresi nafas dan sedasi.
Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti pentazosin
(talwin) dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien yang bergantung
pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala-gejala putus obat. Agonis-
antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila diberikan tersendiri dan lebih kecil
kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (misalnya
depresi pernafasan) dibandingkan dengan antagonis opioid murni.

12
4. Adjuvan atau koanalgesik
Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula dikembangkan
untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki sifat
analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri.
Sebagian dari obat ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang
mungkin tidak berespon terhadap opioid.
Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti
efektif untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf.
Anti kejang ini efektif untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini
menstabilkan membran sel saraf dan menekan respon akhir di saraf.
Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah analgetik
yang sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain yang
menimbulkan nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia pasca
herpes, invasi struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca bedah, dan artritis
reumatoid. Pada pengobatan untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya memiliki
efek analgetik yang independen dari aktivitas antidepresan.
Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah
hidroksizin (vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan
efek aditif apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam
(valium), yang digunakan untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan
nyeri; dan steroid misalnya dexametason, yang telah digunakan untuk
mengendalikan gejala yang berkaitan dengan kompresi medula spinalis atau
metastasis tulang pada pasien kanker.
Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa
(misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal
bersama dengan opioid atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek analgetik
apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respons adrenergik simpatis
yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer. Antagonis alfa-1, prazosin, juga
pernah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yang disebabkan oleh sistem
simpatis. Efek samping utama dari obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial
depresi pernafasan yang diinduksi oleh opioid.

13
Pendekatan Nonfarmakologik
Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak pasien
dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang tidak terkait
keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah metode nonfarmakologik
untuk mengatasi nyeri. Metode nonfarmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat
dibagi menjadi dua kelompok yaitu terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-
perilaku. Sebagian dari modalitas ini mungkin berguna walaupun digunakan secara
tersendiri atau digunakan sebagai adjuvan dalam penatalaksanaan nyeri.
1. Terapi dan Modalitas Fisik
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit
(pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur, aplikasi panas atau
dingin, olahraga). Stimulasi kulit akan merangsang serat-serat non-nosiseptif yang
berdiameter besar untuk menutup gerbang bagi serat-serat berdiameter kecil yang
menghantarkan nyeri sehingga nyeri dapat dikurangi. Dihipotesiskan bahwa
stimulasi kulit juga dapat menyebabkan tubuh mengeluarkan endorfin dan
neurotransmiter lainnya yang menghambat nyeri.
Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan adalah
pemijatan atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah tekanan dan
stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai titik diseluruh tubuh. Pijat akan
melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi lokal. Pijat punggung
memiliki efek relaksasi yang kuat dan apabila dilakukan oleh individu yang penuh
perhatian maka akan menghasilkan efek emosional yang positif.
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS) terdiri dari
suatu alat yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls listrik lemah melalui
elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya diletakkan diatas atau
dekat dengan bagian yang nyeri. TENS digunakan untuk penatalaksanaan nyeri
akut dan kronik; nyeri pascaoperasi, nyeri punggung bawah, phantom limb pain,
neuralgia perifer dan artritis rematoid.
Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus ke dalam
berbagai titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri. Metode
noninvasif lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah memberi tekanan
dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut akupresur.

14
Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat digunakan
untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah nyeri yang berkaitan
dengan kekakuan dan imobilitas.
Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama dikeketahui
sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas dapat
disalurkan melalui konduksi (botol air panas, bantalan pemanas listrik, lampu,
kompres basah panas), konveksi (whirpool, sitz bath, berendam air panas), konversi
(ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat memar, spasme otot, dan artritis berespon
baik terhadap panas. Karena melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan aliran
darah lokal, panas jangan digunakan setelah cidera traumatik saat masih ada edema
dan peradangan. Karena meningkatkan aliran darah, panas mungkin meredekan
nyeri dengan menyingkirkan produk-produk inflamasi seperti bradikinin, histamin,
dan prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal.
Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik, aplikasi dingin
efektif untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka bakar, tersayat, terkilir).
Dingin dapat disalurkan dlam bentuk berendam atau komponen air dingin, kantung
es, aquamatic K pads, dan pijat es. Aplikasi dingin mengurangi aliran darah ke
suatu bagian dan mengurangi edema serta perdarahan. Diperkirakan bahwa terapi
dingin menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran
saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang
mungkin bekerja bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi
nyeri.

2. Strategi kognitif-perilaku
Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien
terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien perasaan yang lebih
mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup relaksasi,
penciptaan khayalan (imagery), hipnosis, dan biofeedback. Walaupun sebagian
besar metode kognitif-perilaku menekankan salah satu relaksasi atau pengelihatan,
pada praktik keduanya tidak dapat dipisahkan.
Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga dan bernafas
dalam, meditasi dan mendengarkan musik-musik yang menenangkan. Teknik-

15
teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas, ketegangan otot, dan stress emosi
sehingga memutuskan siklus nyeri-stress-nyeri, saat nyeri dan stress saling
memperkuat.
Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan perhatian
pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton televisi, membaca buku,
mendengar musik, dan melakukan percakapan.
Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk pengalihan fasilator
yang mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau memikirkan pemandangan
atau sensasi yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatian menjauhi nyeri.
Tehnik ini sering dikombinasikan dengan relaksasi.

Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada bagaimana


memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini juga bergantung pada
kemampuan ahli terapi untuk menuntun perhatian pasien ke bayangan-bayangan
yang paling konstruktif.
Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada kemampuan
untuk memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter fisiologik tertentu kepada
pasien sehingga pasien dapat belajar mengendalikan parameter tersebut termasuk
suhu kulit, ketegangan otot, kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan
gelombang otak.

16

You might also like