You are on page 1of 19

A.

KONSEP DASAR PENYAKIT

1. DEFINISI
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam jumlah
normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari hepatosit sampai
tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum. Dari segi klinis didefinisikan sebagai
akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan
kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-anatomi kolestasis adalah
terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati dan sistem bilier (Arief, 2010).
Kolestasis adalah kondisi yang terjadi akibat terhambatnya aliran empedu dari
saluran empedu ke intestinal. Kolestasis terjadi bila ada hambatan aliran empedu dan
bahan-bahan yang harus diekskresi hati (Nazer, 2010).
Mitchel (2008) menjelaskan kolestasis neonatal merupakan istilah nonspesifik untuk
kelainan hati dengan banyak etiologi yang mungkin terdapat pada neonatus. Pada 50%
kasus tidak terdapat penyebab yang bisa diidentifikasi. Pasien penyakit ini ditemukan
dengan hiperbilirubinemin terkonjugasi yang lama (kolestasis neonatal), hepatomegali
dan disfungsi hati dengan derajat yang bervariasi (misalnya hipoprotrombinemia).

2. EPIDEMIOLOGI
Kolestasis pada bayi terjadi pada 1:25000 kelahiran hidup. Insiden hepatitis neonatal
1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000, defisiensi -1 antitripsin 1:20000.
Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1, sedang pada
hepatitis neonatal, rasionya terbalik (Arief, 2012).

3. ETIOLOGI/FAKTOR PREDISPOSISI
Penyebab kolestasis dibagi menjadi 2 bagian: intrahepatic kolestasis dan ekstrahepatic
kolestasis.
a. Pada intrahepatic kolestasis terjadi akibat gangguan pada sel hati yang terjadi akibat:

infeksi bakteri yang menimbulkan abses pada hati, biliary cirrhosis primer, virus
hepatitis, lymphoma, cholangitis sclerosing primer, infeksi tbc atau sepsis, obat-
obatan yang menginduksi kolestasis.
b. Pada extrahepatic kolestasis, disebabkan oleh tumor saluran empedu, cista, striktur
(penyempitan saluran empedu), pankreatitis atau tumor pada pankreas, tekanan tumor
atau massa sekitar organ, cholangitis sklerosis primer. Batu empedu adalah salah satu
penyebab paling umum dari saluran empedu diblokir. Saluran empedu Diblokir
mungkin juga hasil dari infeksi, kanker atau jaringan parut internal. Parut dapat
memblokir saluran empedu, yang dapat mengakibatkan kegagalan hati (Richard,
2002).

Kriteria Kolestasis

Kriteria Ekstrahepatik Intrahepatik


Warna tinja
- pucat 79 % 26%
21% 74%
- kuning
Berat lahir (g) 3226 45 2678 65
Usia saat tinja dempul 16 1,5 30 2
(hari) 2 minggu 1 bulan
Gambaran hati
- Normal 13 % 47 %

- Hepatomegali

- Konsistensi normal
12 35
- Konsistensi padat
63 47
- Konsistensi keras 24 6
Sumber: Behrman (1999)

4. PATOFISIOLOGI
Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan merupakan
kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu,
kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin
terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu
sedang bilirubin terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu
adalah sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana
permukaan basolateralnya berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apikal
(kanalikuler) berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi
sebagai filter dan pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme
dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam empedu.Salah
satu contoh adalah penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonyugasi
(bilirubin indirek).
Bilirubin tidak terkonyugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah oleh
transporter pada membran basolateral, dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang
mengandung P450 menjadi bilirubin terkonyugasi yang larut air dan dikeluarkan kedalam
empedu oleh transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab terhadap
aliran bebas asam empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit kedalam
empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan dimana
aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga terganggu
menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang terjadi di hati seperti
inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan gangguan pada
transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu dan hiperbilirubinemi
terkonjugasi (Areif, 2010).
Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan struktural:
a. Proses transpor hati
Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas dari
hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam empedu, dan
lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan sinusoid terganggu.
b. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik
Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan menyebabkan
gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi dan konyugasi akan
terganggu.
c. Sintesis protein
Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang produksi
serum protein albumin-globulin akan menurun.
d. Metabolisme asam empedu dan kolesterol
Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam empedu dan
kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi menghambat HMG-CoA
reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan penurunan asam empedu primer
sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas
hidropopik dan detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi
produksi di hati menurun karena degradasi dan eliminasi di usus menurun.
e. Gangguan pada metabolisme logam
Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang menurun. Bila
kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit oleh Cu karena Cu
mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik.
f. Metabolisme cysteinyl leukotrienes
Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif dimetabolisir
dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses sehingga kadarnya
akan meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan progresifitas kolestasis.
Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan vaksokonstriksi pada ginjal.
g. Mekanisme kerusakan hati sekunder
Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan kerusakan hati
melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini akan melarutkan
kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas membran akan
terganggu. Maka fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na +, K+-ATPase,
Mg++-ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat terganggu,
sehingga lalu lintas air dan bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu.Sistem
transport kalsium dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang mungkin berperan
dalam kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl leukotrienes namun peran
utama dalam kerusakan hati pada kolestasis adalah asam empedu.
i. Proses imunologis
Pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami display secara abnormal pada
permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran empedu sehingga
menyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit. Selanjutnya
akan terjadi sirosis bilier (Nazer, 2010)
5. KLASIFIKASI
Secara garis besar kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Kolestasis ekstrahepatik, obstruksi mekanis saluran empedu ekstrahepatik.
Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat. Merupakan
kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan akhirnya pembuntuan
saluran empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran empedu intrahepatik.
Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis,infeksi virus
terutama CMV dan Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemia dan kelainan
genetik. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir dengan berat badan lahir,
aktifitas dan minum normal. Ikterus baru terlihat setelah berumur lebih dari 1
minggu. 10-20% penderita disertai kelainan kongenital yang lain seperti asplenia,
malrotasi dan gangguan kardiovaskuler. Deteksi dini dari kemungkinan adanya
atresia bilier sangat penting sebab efikasi pembedahan hepatik-portoenterostomi
(Kasai) akan menurun apabila dilakukan setelah umur 2 bulan.
Pada pemeriksaan ultrasound terlihat kandung empedu kecil dan atretik
disebabkan adanya proses obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran saluran empedu
intrahepatik. Gambaran ini tidak spesifik, kandung empedu yang normal mungkin
dijumpai pada penderita obstruksi saluran empedu ekstrahepatal sehingga tidak
menyingkirkan kemungkinan adanya atresi bilier.
Gambaran histopatologis ditemukan adanya portal tract yang edematus dengan
proliferasi saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya trombus empedu didalam
duktuli. Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif dilakukan dengan visualisasi
langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier sebelum dilakukan operasi Kasai
(Anonym, 2010)
b. Kolestasis intrahepatik
1) Saluran Empedu
Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: (a) Paucity saluran empedu, dan (b)
Disgenesis saluran empedu. Oleh karena secara embriologis saluran empedu
intrahepatik (hepatoblas) berbeda asalnya dari saluran empedu ekstrahepatik (foregut)
maka kelainan saluran empedu dapat mengenai hanya saluran intrahepatik atau hanya
saluran ekstrahepatik saja. Beberapa kelainan intrahepatik seperti ekstasia bilier dan
hepatik fibrosis kongenital, tidak mengenai saluran ekstrahepatik. Kelainan yang
disebabkan oleh infeksi virus CMV, sklerosing kolangitis, Carolis disease mengenai
kedua bagian saluran intra dan ekstra-hepatik.Karena primer tidak menyerang sel hati
maka secara umum tidak disertai dengan gangguan fungsi hepatoseluler. Serum
transaminase, albumin, faal koagulasi masih dalam batas normal. Serum alkali
fosfatase dan GGT akan meningkat. Apabila proses berlanjut terus dan mengenai
saluran empedu yang besar dapat timbul ikterus, hepatomegali, hepatosplenomegali,
dan tanda-tanda hipertensi portal.
Paucity saluran empedu intrahepatik lebih sering ditemukan pada saat neonatal
dibanding disgenesis, dibagi menjadi sindromik dan nonsindromik. Dinamakan
paucity apabila didapatkan < 0,5 saluran empedu per portal tract.Contoh dari
sindromik adalah sindrom Alagille, suatu kelainan autosomal dominan disebabkan
haploinsufisiensi pada gene JAGGED 1.Sindroma ini ditemukan pada tahun 1975
merupakan penyakit multi organ pada mata (posterior embryotoxin), tulang belakang
(butterfly vertebrae), kardiovaskuler (stenosis katup pulmonal), dan muka yang
spesifik (triangular facial yaitu frontal yang dominan, mata yang dalam, dan dagu
yang sempit).Nonsindromik adalah paucity saluran empedu tanpa disertai gejala organ
lain. Kelainan saluran empedu intrahepatik lainnya adalah sklerosing kolangitis
neonatal, sindroma hiper IgM, sindroma imunodefisiensi yang menyebabkan
kerusakan pada saluran empedu (Anonym, 2010).
2) Kelainan hepatosit
Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan pembentukan dan
aliran empedu. Hepatosit neonatus mempunyai cadangan asam empedu yang sedikit,
fungsi transport masih prematur, dan kemampuan sintesa asam empedu yang rendah
sehingga mudah terjadi kolestasis. Infeksi merupakan penyebab utama yakni virus,
bakteri, dan parasit. Pada sepsis misalnya kolestasis merupakan akibat dari respon
hepatosit terhadap sitokin yang dihasilkan pada sepsis.
Hepatitis neonatal adalah suatu deskripsi dari variasi yang luas dari neonatal
hepatopati, suatu inflamasi nonspesifik yang disebabkan oleh kelainan genetik,
endokrin, metabolik, dan infeksi intra-uterin. Mempunyai gambaran histologis yang
serupa yaitu adanya pembentukan multinucleated giant cell dengan gangguan lobuler
dan serbukan sel radang, disertai timbunan trombus empedu pada hepatosit dan
kanalikuli. Diagnosa hepatitis neonatal sebaiknya tidak dipakai sebagai diagnosa
akhir, hanya dipakai apabila penyebab virus, bakteri, parasit, gangguan metabolik
tidak dapat ditemukan (Reksoprodjo, 1995)

6. GEJALA KLINIS
Gambaran klinis pada kolestasis pada umunya disebabkan karena keadaan-keadaan:
1. Terganggunya aliran empedu masuk ke dalam usus
a. Tinja akolis/hipokolis/pucat
b. Urobilinogen/sterkobilinogen dalam tinja menurun/negatif
c. Urobilin dalam air seni negatif
d. Malabsorbsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak
e. Steatore
f. Hipoprotrombinemia
2. Akumulasi empedu dalam darah
a. Ikterus
b. Gatal-gatal
c. Hiperkolesterolemia
3. Kerusakan sel hepar karena menumpuknya komponen empedu
a. Anatomis
1) Akumulasi pigmen
2) Reaksi peradangan dan nekrosis
b. Fungsional
1) Gangguan ekskresi (alkali fosfatase dan gama glutamil transpeptidase
meningkat)
2) Transaminase serum meningkat (ringan)
3) Gangguan ekskresi sulfobromoftalein
4) Asam empedu dalam serum meningkat
Tanda-tanda non-hepatal sering pula membantu dalam diagnosa, seperti sindroma
polisplenia (situs inversus, levocardia, vena cava inferior tidak ada), sering bersamaan
dengan atresia bilier: bentuk muka yang khas, posterior embriotokson, serta adanya bising
pulmunal stenosis perifer, sering bersamaan dengan paucity of the intrahepatic bile
ductules (arterio hepatic displasia/Alagilles syndrome) nafsu makan yang jelek dengan
muntah, irritable, sepsis, sering karena adanya kelainan metabolisme seperti
galaktosemia, intoleransi froktosa herediter, tirosinemia.
Neonatal hepatitis lebih banyak pada anak laki, sedangkan atresia bilier ekstrahepatal
lebih banyak pada anak perempuan. Pertumbuhan pasien dengan kolestasis intrahepatik
menunjukkan perlambatan sejak awal. Pada pasien dengan kolestasis ekstrahepatik
umumnya bertumbuh dengan baik pada awalnya tetapi kemudian akan mengalami
gangguan pertumbuhan sesuai dengan perkembangan penyakit. Pasien dengan kolestasis
perlu dipantau pertumbuhannya dengan membuat kurva pertumbuhan berat badan dan
tinggi badan bayi/anak.

7. PEMERIKSAAN FISIK
Pada umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar bilirubin
sekitar 7 mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Warna kehijauan bila
kadar bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi biliverdin. Jaringan sklera
mengandung banyak elastin yang mempunyai afinitas tinggi terhadap bilirubin, sehingga
pemeriksaan sklera lebih sensitif.
Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm dibawah arkus kota
pada garis midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi yang tajam dan
permukaan noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis. Hati yang teraba pada
epigastrium mencerminkan sirosis atau lobus Riedel (pemanjangan lobus kanan yang
normal). Nyeri tekan pada palpasi hati diperkirakan adanya distensi kapsul Glisson karena
edema. Bila limpa membesar, satu dari beberapa penyebab seperti hipertensi portal,
penyakit storage, atau keganasan harus dicurigai. Hepatomegali yang besar tanpa
pembesaran organ lain dengan gangguan fungsi hati yang minimal mungkin suatu fibrosis
hepar kongenital. Perlu diperiksa adanya penyakit ginjal polikistik. Asites menandakan
adanya peningkatan tekanan vena portal dan fungsi hati yang memburuk. Pada neonatus
dengan infeksi kongenital, didapatkan bersamaan dengan mikrosefali, korioretinitis,
purpura, berat badan rendah, dan gangguan organ lain (Arief, 2010).

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada bayi dengan kolestasis harus dibedakan antara kolestasis intra- atau
ekstrahepatal dengan tujuan utama memperbaiki atau mengobati keadaan-keadaan yang
memang dapat diperbaiki/diobati.
Sebagai tahap pertama dalam pendekatan diagnosa, harus dibuktikan apakah ada
kelainan hepatobilier atau tidak. Pemeriksaan yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah:
a. Hapusan darah tepi
b. Bilirubin dalam air seni
c. Sterkobilinogen dalam air seni
d. Tes fungsi hepar yang standar: Heymans vd Bergh, SGOT, SGPT, alkali fosfatase
serta serum protein
Bila dari pemeriksaan tersebut masih meragukan, dilakukan pemeriksaan lanjutan
yang lebih sensitif seprti BSP/kadar asam empedu dalam serum. Bila fasilitas terbatas
dapat hanya dengan melihat pemerikasaan bilirubin air seni. Hasil positf menunjukkan
adanya kelainan hepatobilier. Bila ada bukti keterlibatan hepar maka dilakukan tahap
berikutnya untuk membuktikan kelainan intra/ekstrahepatal, mencari kemungkinan
etiologi, dan mengidentifikasi kelainan yang dapat diperbaiki/diobati. Pemeriksaan yang
dilakukan adalah:
a. Terhadap infeksi/bahan toksik
b. Terhadap kemungkinan kelainan metabolik
c. Mencari data tentang keadaan saluran empedu
Untuk pemeriksaan terhadap infeksi yang penting adalah:
a. Virus:
1) Virus hepatotropik: HAV, HBV, non A non B, virus delta
2) TORCH (Toxoplasma, Rubella, CMV, Herpes)
3) Virus lain: EBV, Coxsackies B, varisela-zoster
b. Bakteri: terutama bila klinis mencurigakan infeksi kuman leptospira, abses piogenik
1) Parasit: toksoplasma, amuba, leismania, penyakit hidatid
2) Bahan toksik, terutama obat/makanan hepatotoksik
c. Pemeriksaan kelainan metabolik yang penting:
1) Galaktosemia, fruktosemia
2) Tirosinosis: asam amino dalam air seni
3) Fibrosis kistik
4) Penyakit Wilson
5) Defisiensi alfa-1 antitripsin
Data tentang saluran empedu diperoleh melalui pemeriksaan Rose Bengal Excretion
(RBE), Hida Scan, USG atau Biopsi hepar. Bila dicurigai ada suatu kelainan saluran
empedu dilakukan pemeriksaan kolangiografi.

9. KRITERIA DIAGNOSTIK
Tujuan utama evaluasi bayi dengan kolestasis adalah membedakan antara kolestasis
intrahepatik dengan ekstrahepatik sendini mungkin. Diagnosis dini obstruksi bilier
ekstrahepatik akan meningkatkan keberhasilan operasi. Kolestasis intrahepatik seperti
sepsis, galaktosemia atau endrokinopati dapat diatasi dengan medikamentosa.

10. PENANGANAN
Pengobatan paling rasional untuk kolestasis adalah perbaikan aliran empedu ke dalam
usus. Pada prinsipnya ada beberapa hal pokok yang menjadi pedoman dalam
penatalaksanaannya, yaitu:
1. Sedapat mungkin mengadakan perbaikan terhadap adanya gangguan aliran empedu
2. Mengobati komplikasi yang telah terjadi akibat adanya kolestasis
3. Memantau sedapat mungkin untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan fatal
yang dapat mengganggu proses regenerasi hepar
4. Melakukan usaha-usaha yang dapat mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan
5. Sedapat mungkin menghindari segala bahan/keadaan yang dapat
mengganggu/merusak hepar
Dalam hal ini pengobatan dibagi dalam 3 golongan besar, yaitu:
1. Tindakan medis
a. Perbaikan aliran empedu: pemberian fenobarbital dan kolestiramin, ursodioxy
cholic acid (UDCA).
b. Aspek gizi: lemak sebaiknya diberikan dalam bentuk MCT (medium chain
triglyceride) karena malabsorbsi lemak.
c. Diberikan tambahan vitamin larut lemak (A, D, E, dan K)
2. Tindakan bedah
Tujuannya untuk mengadakan perbaikan langsung terhadap kelainan saluran empedu
yang ada. Operasi Kasai (hepatoportoenterostomy procedure) diperlukan untuk
mengalirkan empedu keluar dari hati, dengan menyambungkan usus halus langsung
dari hati untuk menggantikan saluran empedu (lihat gambar di bawah). Untuk
mencegah terjadinya komplikasi cirrhosis, prosedur ini dianjurkan untuk dilakukan
sesegera mungkin, diupayakan sebelum anak berumur 90 hari. Perlu diketahui bahwa
operasi Kasai bukanlah tatalaksana definitif dari atresia biliaris, namun setidaknya
tindakan ini dapat memperbaiki prognosis anak dan memperlambat perjalanan menuju
kerusakan hati (Nezer, 2010).
3. Terapi suportif
a. Asam ursodeoksikolat 10-20 mg/kg dalam 2-3 dosis
b. Kebutuhan kalori mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal dan mengandung
lemak rantai sedang (Medium chain trigliseride-MCT), misalnya panenteral,
progrestimil
c. Vitamin yang larut dalam lemak
1) A : 5000-25.000 IU
2) D : calcitriol 0,05-0,2 ug/kg/hari
3) E : 25-200 IU/kk/hari
4) K1 : 2,5-5 mg : 2-7 x/ minggu
d. Mineral dan trace element : Ca, P, Mn, Zn, Se,Fe
e. Terapi komplikasi lain: misalnya hiperlipidemia/xantelasma: Obat HMG-coA
reductase inhibitor contohnya kolestipol, simvastatin
f. Pruritus :
1) Atihistamin : difenhidramin 5-10 mg/kg/hati, hidroksisin 2-5 mg/kg/hati
Rifampisin : 10 mg/kg/hari
2) Kolestiramin : 0,25-0,5g/kg/hari

11. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS


a. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari kolestasis neonatus ini adalah
hiperlipidemia/xantelasma dan gagal hati.
b. Prognosis
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran
histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya
sendiri. Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 71-
86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka
keberhasilannya hanya 34-43,6%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka
angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12
bulan. Anak termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam. Jadi faktor-faktor
yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi > 60 hari,
adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik had, tidak adanya duktus bilier
ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi portal.

12. PENCEGAHAN
Kolestasis neonatus dapat dicegah dan dihentikan dengan :
a. Pengawasan antenatal yang baik
b. Menghindari obat yang dapat meningkatan ikterus pada bayi pada masa kehamilan
dan kelahiran, misalnya sulfafurazole,novobiosin,oksitosin dan lan-lain
c. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus
d. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus
e. Imunisasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir
f. Pemberian makanan yang dini
g. Pencegahan infeksi
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Anamnesis
Riwayat kehamilan dan kelahiran: infeksi ibu pada saat hamil atau melahirkan, berat
lahir, lingkar kepala, pertumbuhan janin (kolestasis intrahepatik umumnya berat
lahirnya < 3000 g dan pertumbuhan janin terganggu). Riwayat keluarga : riwayat
kuning, tumor hati, hepatitis B, hepatitis C, hemokro-matosis, perkawinan antar
keluarga. Resiko hepatitis virus B/C (transfusi darah, operasi, dll) paparan terhadap
toksin/obat-obat.
b. Data subjektif
1) Bagaimana nafsu makan klien
2) Berapa kali makan dalam sehari
3) Banyaknya makan dalam satu kali makan
4) Apakah ada mual muntah
5) Bagaimana pola eliminasinya
6) Apakah ada anoreksia
7) Apakah ada rasa nyeri pada daerah hepar
8) Apakah ada gatal-gatal pada seluruh tubuh (pruritus)
9) Bagaimanakah warna fesesnya
10) Bagaimanakah warna urinnya
c. Data Objektif
1) Bagaimana nafsu makan klien
2) Berapa kali makan dalam sehari
3) Banyaknya makan dalam satu kali makan
4) Apakah ada mual muntah
5) Bagaimana pola eliminasinya
6) Apakah ada anoreksia
7) Apakah ada rasa nyeri pada daerah hepar
8) Apakah ada gatal-gatal pada seluruh tubuh (pruritus)
9) Bagaimanakah warna fesesnya
10) Bagaimanakah warna urinnya
d. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah ada tanda-tanda infeksi dahulu pada ibu, apakah ibu pernah
mengkonsumsi obat-obatan yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Pada umumnya bayi masuk rumah sakit dengan keluhan tubuh bayi berwarna
kuning dan ada rasa gatal-gatal dari tubuh bayi.
3) Riwayat keluarga
Adanya riwayat keluarga yang menderita kolestasis, maka kemungkinan besar
merupakan suatu kelainan genetik/metabolik.
e. Pengkajian fisik
Meliputi pengkajian komposisi keluarga, lingkungan rumah dan komunitas,
pendidikan dan pekerjaan anggota keluarga, fungsi dan hubungan anggota keluarga,
kultur dan kepercayaan, perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan, persepsi
keluarga tentang penyakit klien dan lain-lain. Pengkajian secara umum dilakukan
dengan metode head to toe yang meliputi: keadaan umum dan status kesadaran, tanda-
tanda vital, area kepala dan wajah, dada, abdomen, eksteremitas, dan genita-urinaria.
Pemeriksaan fisik abdomen antaralain:
1) Inspeksi
- Lihat keadaan klien apakah kurus, ada edema pada muka atau kaki
- Lihat warna rambut, kering dan mudah dicabut
- Mata cekung dan pucat
- Lihat warna kulit pasien ada warna kuning atau tidak
- Lihat seluruh tubuh pasien ada bekas garukan karena gatal-gatal atau tidak
2) Auskultasi
- Dengar denyut jantung apakah terdengar bunyi S1, S2, S3 serta S4
- Dengarkan bunyi peristaltik usus
- Dengarkan bunyi paru paru terutama weezing dan ronchi
3) Perkusi
- Perut apakah terdengar adanya shitting duilnees
- Bagaimana bunyinya pada waktu melakukan perkusi
4) Palpasi
- Hati: bagaimana konsistensinya, kenyal, licin dan tajam pada permukaannya,
berapa besarnya dan apakah ada nyeri tekan
- limpa : apakah terjadi pembesaran limpa
- tungkai : apakah ada pembesaran pada tungkai
Pertumbuhan (berat badan, lingkar kepala)
Kulit : ikterus, spider angiomata, eritema palmaris, edema
Mata : ikterik

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN (disusun berdasarkan prioritas)


a. Diare berhubungan dengan kontaminasi ditandai dengan klien dikeluhkan BAB encer,
BAB lebih dari 6-8 kali sehari.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan factor
biologi ditandai dengan klien tampak kurus, nafsu makan menurun, klien dikeluhkan
muntah.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi ditandai dengan
kulit klien tampak kuning, terdapat bekas garukan, kulit klien tampak bersisik.
d. Risiko keterlambatan tumbuh kembang berhubungan dengan nutrisi tidak adekuat.

3. PERENCANAAN
1. Diare berhubungan dengan kontaminasi ditandai dengan klien dikeluhkan BAB
encer, BAB lebih dari 6-8 kali sehari.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan diare teratasi
dengan kriteria hasil :
Bowel Management
Frekuensi BAB normal (1x1/hari)
Melporkan tidak ada diare
HR teraba dan da;am batas normal (100-120x/menit)
Turgor kulit elastis<2 detik
Tidak terjadi confusi
Gastrointestinal Function
Klien dapat mentoleransi makanan dan minuman

Intervensi:
Manajemen Diare
1. Monitor untuk tanda dan gejala diare
Rasional: Untuk mengetahui intervensi yang sesuai
2. Monitor turgor kulit
Rasional: Turgor kulit yang tidak bagus menandakan terjadi dehidrasi akibat diare
3. Pantau frekuensi BAB
Rasional: Frekuensi BAB yang berlebihan >3kali menandakan terjadinya diare
Skin Surveilance
4. Monitor kulit pada bagian peri anal untuk terjadinya kemerahan
Rasional: Kulit yang lembab akibat adanya akumulasi kotoran dapat
mengakibatkan terjadinya kemerahan pada kulit
5. Pertahankan kondisi bagian anogenital tetap kering
Rasional: Keadaan kering mencegah terjadinya kemerahan pada kulit
Elektrolit Management
6. Monitor tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolit
Rasional: Untuk mengetahui intervensi yang sesuai
7. Monitoring dan pertahankan keseimbangan intake dan output
Rasional: Agar tidak terjadi kelebihan atau kekurangan cairan dan elektrolit
8. Kolaborasi pemberian cairan rehidrasi melalui oral, NGT atau intravena sesuai
indikasi
Rasional: Membantu menggantikan jumlah elektrolit yang telah hilang atau
sedang hilang
Management Nutrisi
9. Dorong input nutrisi pada klien sesuai dengan kondisi klien
Rasional: Input nutrisi yang sesuai untuk meningkatkan status nutrisi klien yang
menurun akibat diare dan muntah

10. Dorong peningkatan intake protein yang sesuai


Rasional: Protein berfungsi untuk memperbaiki sel-sel yang rusak dan
meningkatkan sistem imun.
11. Monitoring Berat badan klien
Rasional: Untuk mengetahui status nutrisi klien dan efektifitas terapi yang
diberikan
12. Kolaborasi kepada ahli gizi untuk menetukan jumlah kalori dan tipe nutrisi yang
dibutuhkan terhadap perbaikan nutrisi klien.
Rasional: Kolaborasi dan pemberian nutrisi yang sesuai untuk memperbaiki
status nutrisi akibat muntah dan diare
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
factor biologi ditandai dengan klien tampak kurus, nafsu makan menurun, klien
dikeluhkan muntah.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan kebutuhan
nutrisi klien terpenuhi dengan kriteria hasil :
a. Status nutrisi:
- Masukan nutrisi adekuat (skala 5 = no deviation from normal range)
- Masukan makanan dalam batas normal (skala 5 = no deviation from
normal range)
b. Status nutrisi : masukan nutrisi:
- Masukan kalori dalam batas normal (skala 5 = totally adekuat)
- Nutrisi dalam makanan cukup mengandung protein, lemak, karbohidrat,
serat, vitamin, mineral, ion, kalsium, sodium (skala 5 = totally adekuat)
c. Status nutrisi : hitung biokimia
- Serum albumin dalam batas normal (3,4-4,8 gr/dl) (skala 5 = no deviation
from normal range)

Intervensi :
Nutrition therapy
1. Mengindikasikan pemberian terapi nutrisi parenteral (NGT).
Rasional : Membantu pemenuhan asupan nutrisi yang adekuat.
2. Monitor makanan/cairan yang dimakan dan hitung asupan kalori tiap hari dengan
tepat.
Rasional : Mengetahui perkembangan makan/minum klien sesuai kebutuhan.
3. Monitor ketepatan diet order yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi klien.
Rasional : Mencegah klien mendapat asupan yang tidak sesuai dengan prosedur.
4. Jaga kebersihan mulut.
Rasional : Menjaga kebersihan mulut dapat meningkatkan nafsu makan
5. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
Rasional :Untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang sesuai dengan
kebutuhan klien
Fluid/ electrolyte management
1. Monitor abnormal serum elektrolit klien.
Rasional : Membantu memberikan terapi yang tepat sesuai kebutuhan.
2. Berikan intravenous infusion sesuai indikasi.
Rasional : Membantu menambah cairan/elektrolit tubuh bila asupan oral tidak
memenuhi kebutuhan.
Penanganan berat badan:
1. Timbang berat badan klien secara teratur.
Rasional : Dengan memantau berat badan klien dengan teratur dapat mengetahui
kenaikan ataupun penurunan status gizi.
2. Pantau konsumsi kalori harian.
Rasional : membantu mengetahui masukan kalori harian klien disesuaikan dengan
kebutuhan kalori sesuai usia.
3. Pantau hasil laboratorium, seperti kadar serum albumin, dan elektrolit.
Rasional : kadar albumin dan elektrolit yang normal menunjukkan status nutrisi
baik. Sajikan makanan dengan menarik.

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi ditandai


dengan kulit klien tampak kuning, terdapat bekas garukan, kulit klien tampak
bersisik.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x24 jam diharapkan kerusakan
integritas kulit klien berkurang bahkan hilang dengan outcome :
Respon alergi local
- tidak ada kemerahan di kulit
- tidak ada rasa gatal di kulit
- tidak ada ruam di kulit
Integritas kulit
- tidak ada lesi di kulit
- tidak ada pengelupasan kulit

Intervensi
Skin surveillance
1. Inspeksi kulit klien untuk melihat adanya kemerahan dan lesi.
Rasional : Inspeksi merupakan pengkajian awal mengenai tingkat kerusakan
integritas kulit pada klien.
2. Monitor kulit klien terhadap kekeringan dan kelembaban yang berlebihan.
Rasional : Kekeringan dan kelembaban berlebihan dapat memperberat gejala
pruritus klien.
3. Monitor adanya lesiserosi kulit lebih lanjut.
Rasional : Membantu melihat perkembangan integritas kulit klien, adanya erosi dan
lesi lanjut menunjukkan gejala yang lebih berat.
Perawatan kulit
1. Hindari penggunaan bed tekstur kasar.
Rasional : Mengurangi terjadinya gesekan yang memperberat pruritus klien.
2. Anjurkan klien mandi dengan sabun antiseptic, bukan sabun biasa.
Rasional : Sabun biasa mengandung deterjen yang dapat menjadi faktor pencetus
alergi lebih lanjut.
3. Jaga tempat tidur agar tetap bersih, kering, dan bebas lipatan.
Rasional : Mengurangi terjadi gesekan kulit dan bed yang dapat memperberat rasa
gatal.
4. Sarankan pasien menggunakan pakaian yang tidak terlalu ketat dan menyerap
kering.
Rasional : Pakaian ketat dapat menimbulkan gesekan sedangkan pakaian menyerap
keringat dapat menurunkan risiko meningkatnya kelembaban
kulit yang dapat memperberat pruritus.
5. Kolaborasi : Kortikosteroid topical,antihistamin oral.
Rasional : Membantu menagatasi pruritus klien.
Managemen nutrisi
1. Kaji adanya alergi makanan tertentu pada klien.
Rasional ; Mencegah pemberian nutrisi yang memperberat gejala.
2. Berikan diet makanan sesuai kebutuhan klien; Tinggi Kalori Rendah Protein
Rasional : Tinggi kalori membantu memenuhi kebutuhan kalori klien sedangkan
rendah protein membantu menurunkan respon alergi, jika pruritus
disebabkan alergi.

4. EVALUASI
a. Diare teratasi, frekuensi BAB normal, melaporkan tidak ada diare, HR teraba dan
dalam batas normal (100-120x/menit), turgor kulit elastis<2 detik, tidak terjadi
confusi, klien dapat mentoleransi makanan dan minuman.
b. Nutrisi sesuai kebutuhan tubuh, masukan nutrisi adekuat, masukan makanan dalam
batas normal, masukan kalori dalam batas normal, nutrisi dalam makanan cukup
mengandung protein, lemak, karbohidrat, serat, vitamin, mineral, ion, kalsium,
sodium; Serum albumin dalam batas normal.
c. Kerusakan integritas kulit teratasi, tidak ada kemerahan di kuli, tidak ada rasa gatal di
kulit, tidak ada ruam di kulit, tidak ada lesi di kulit, tidak ada pengelupasan kulit.

DAFTAR PUSTAKA

Anonym. 2010. available at


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/bileductdiseases.html(Diakses tanggal 8
Januari 2010).

Anonym. 2010. available at http:


://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000215.htm(Diakses tanggal 8
januari 2010).

Arief, Sjamsul. 2010. Deteksi dini kolestasis neonatal. Divisi Hepatologi Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Dr Soetomo, Surabaya.

Mansjoer A. et al, 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Ed.3. hal 510-512. Jakarta: Media
Aesculapius, FKUI.

Nazer, Hisham. 2010. Kolestasis. available at http://emedicine.medscape.com/article/927624-


overview (Diakses tanggal 8 januari 2010).
Reksoprodjo S. 1995. Ikterus dalam bedah, Dalam Ahmadsyah I, Kumpulan. Kuliah Ilmu
Bedah, hal 71 77, Bina Rupa Aksara, Jakarta.

Richard S. Snell. 2002, Anatomi klinik, edisi 3, bag. 1, hal 265 266. Jakarta: EGC.

Sherlock. S, Dooley J. 1993. Disease of the Liver and Biliary Sistem 9 th. Ed. Blackwell
Scientific Publication: London.

You might also like