Professional Documents
Culture Documents
NASKAH PUBLIKASI
Disusun Oleh:
Mayfuza Husein
20111030235
Disusun Oleh:
Mayfuza Husein
20111030235
Disetujui,
INTISARI
Latar belakang: Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu keadaan
gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis berupa keluhan perasaan tidak
enak atau nyeri di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard
yang membutuhkan tindakan medis secepatnya. Keterlambatan dalam penanganan
kasus SKA dapat mengakibatkan kematian. Agar penatalaksanaan pasien SKA
berlangsung secara optimal sesuai dengan pedoman atau standar terapi yang telah
ditetapkan, perlu adanya suatu sistem atau mekanisme yang secara terus menerus
memonitor dan memantau terapi obat yang diterima pasien. Penelitian ini
bertujuan mengevaluasi kepatuhan, kesiapan tim, kelengkapan status rekam
medis, standar, masalah, rekomendasi penyelesaian masalah, dan keselamatan
pasien dalam penatalaksanaan pasien SKA di IGD.
Metode: jenis penelitian ini adalah studi kasus. Populasi adalah 2 orang
dokter IGD dan 27 sampel data rekam medis IGD dengan diagnosis SKA.
Persepsi responden diukur dengan pertanyaan wawancara. Analisis data yang
digunakan adalah analisis kualitatif.
Hasil: kepatuhan dalam penatalaksanaan sudah baik, Kesiapan tim medis
didukung dokter dan perawat yang sudah mengikuti pelatihan kegawatdaruratan
sudah baik, dengan mengacu pada standar ACLS. Ketidakterisian status rekam
medis masih menjadi temuan audit. Keterlambatan penanganan terjadi karena
kamar bangsal penuh, pasien/keluarga menolak dirawat dan dirujuk, dan belum
ada standar pelayanan SKA yang dibuat sesuai kebijakan RS, beberapa masalah
ini berkaitan dengan keselamatan pasien.
Kesimpulan: perlunya kebijakan sistem yang sesuai untuk
penatalaksanaan SKA. Selain penanganan di rumah sakit keluarga diberikan
edukasi mengenai gejala SKA ini.
Kata kunci : kepatuhan, Sindrom Koroner Akut (SKA), Instalasi Gawat Darurat
(IGD), keterlambatan
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan Penyakit Jantung Koroner (PJK)
yang progresif dan pada perjalanan penyakitnya, sering terjadi perubahan secara
tiba-tiba dari keadaan stabil menjadi keadaan tidak stabil atau akut. 1
Angka kematian di negara maju/industri masih cukup tinggi yaitu 30%
terjadi pada 2 jam pertama perawatan, namun setelah ada pelayanan Coronary
Care Unit (CCU) mulai tahun 1960 angka kematian turun menjadi 20% dan
selanjutnya dengan penggunaan terapi trombolitik pada tahun 1980 angka
kematian menurun menjadi 10% dan kematian mendadak dapat merupakan
manifestasi pertama dari IMA.2
Manifestasi klinis SKA dapat berupa angina pektoris tidak stabil/APTS,
Non-ST elevation myocardial infarction/NSTEMI, atau ST elevation myocardial
infarction/STEMI. SKA merupakan suatu keadaan gawat darurat jantung dengan
manifestasi klinis berupa keluhan perasaan tidak enak atau nyeri di dada atau
gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard. Pasien APTS dan NSTEMI
harus istirahat di ICCU dengan pemantauan EKG kontinu untuk mendeteksi
iskemia dan aritmia. 1
Keterlambatan dalam penanganan kasus SKA ini dapat mengakibatkan
kematian. Penelitian di Negara Eropa menemukan kematian akibat serangan
jantung digambarkan 10% untuk tiap jamnya dari keterlambatan antara waktu
pasien atau keluarga memanggil ambulans dan waktu pasien ditangani di rumah
sakit.3
RSU PKU Muhammadiyah Bantul adalah RS swasta tipe C bersertifikat
ISO 9001:2000. Pada studi pendahuluan dilakukan wawancara kepada dokter dan
perawat di IGD RS PKU Muhammadiyah Bantul pada 2 November s/d 8
November 2013. Dari wawancara tersebut diperoleh bahwa banyak pasien yang
datang berobat untuk kasus sindrom koroner akut ini, dimana pasien berhasil
ditangani atau dilanjutkan perawatan di ruang perawatan intensif maupun yang
tidak dapat ditangani di RS tersebut selanjutnya segera dirujuk ke RS yang lebih
kompeten menangani kasus ini. Untuk penanganan kasus kegawatdaruratan
sindrom koroner akut ini tim dokter dan perawat sudah dilatih dan pelatihannya
dilakukan berkesinambungan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.
Sementara itu, data masing-masing kasus dari sindrom koroner akut ini belum
dapat dipastikan.
Di RSU PKU Muhammadiyah Bantul khususnya di IGD belum ada
peraturan resmi tertulis yang baru sebagai acuan standar penanganan pasien
sindrom koroner akut, Standar Pelayanan Medik (SPM) terakhir tahun 2007 yang
belum diperbaharui hingga sekarang.
Berbagai pedoman dan standar terapi telah dibuat untuk penatalaksanaan
penderita SKA. Agar standar dan strategi pengobatan serta penatalaksanaan pasien
SKA berlangsung secara optimal, efektif dan efisien sesuai dengan pedoman atau
standar terapi yang telah ditetapkan, maka perlu adanya suatu sistem dan/atau
mekanisme yang secara terus menerus memonitor dan memantau terapi obat yang
diterima pasien.1
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kepatuhan, kesiapan tim,
kelengkapan status rekam medis, standar, masalah, rekomendasi penyelesaian
masalah, dan keselamatan pasien dalam penatalaksanaan SKA terhadap pasien di
IGD RSU PKU Muhammadiyah Bantul.
HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum RSU PKU Muhammadiyah Bantul
RS milik Pimpinan Pusat Muhammadiyahini didirikan pada 1 Maret 1966
berawal dari sebuah Balai Pengobatan dan Rumah Bersalin (BP/RB), RS Khusus
Ibu dan Anak (1995),dan resmi menjadi RSU tipe C (2001). RS yang bertempat di
Jalan Jendral Sudirman no. 124 Bantul ini telah memiliki 126 tempat tidur, 13
orang dokter umum, 52 orang dokter spesialis, 5 orang dokter gigi, dengan jumlah
karyawan tetap 328, karyawan kontrak 49, PKWT 49. Terdapat 6 jenis pelayanan
24 jam, 15 poliklinik, 6 pelayanan penunjang, serta 9 pelayanan lain. 4
2. Profil IGD RSU PKU Muhammadiyah Bantul
Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSU PKU Muhammadiyah Bantul
merupakan pintu utama penerimaan pasien gawat darurat. Instalasi ini memiliki
13 orang dokter umum dan 16 orang perawat terlatih. Semua dokter dan perawat
tersebut sudah memiliki kompetensi dalam penanganan kasus kegawatdaruratan
dibuktikan dengan sertifikat ACLS dan PPGD. IGD memiliki 6 ruang tindakan,
yang terdiri dari 3 ruang tindakan, 1 ruang reassessment, dan 1 ruang resusitasi.
3. Karakteristik Responden
Berdasarkan hasil penelitian, responden dari penelitian ini terdiri dari 2
orang dokter IGD yaitu 1 dokter laki-laki dan 1 dokter perempuan. Usia
responden terletak pada kelompok rentang umur 31 35 tahun dengan 1 orang
dokter dan kelompok dengan rentang umur 35 40 tahun 1 orang dokter, artinya
dilihat dari usia dokter umum di IGD sudah banyak pengalaman.
Berdasarkan karakteristik jabatan semua responden adalah dokter IGD
pelaksana. Ditinjau dari data lama kerja, responden berada pada kelompok kerja 1
5 tahun, artinya masa kerja dokter masih tergolong baru dan kelompok 5 10
tahun, artinya sudah banyak pengalaman. Lama kerja ini juga menunjukkan
pengalaman dokter IGD, semakin lama bekerja berarti semakin banyak
pengalaman dokter tersebut.
4. Karakterisktik Sampel
Kebutuhan untuk sampel diambil dari status rekam medis IGD dengan
diagnosis sindrom koroner akut, baik yang unstable angina, infark miokard akut
dengan segmen ST (STEMI), dan infark miokard akut tanpa segmen ST
(NSTEMI). Dari status rekam medis tersebut diperoleh 27 kasus dengan diagnosis
SKA, selama rentang waktu 31 Desember 2012 30 November 2013 yang
ditangani oleh dokter umum di IGD.
Tabel 1
Karakteristik jenis kelamin pasien dengan diagnosis SKA di IGD
Total 19 8
Dari tabel 1 diperoleh jumlah pasien IGD dengan kasus SKA ada 27 kasus
yang terdiri dari diagnosa angina tidak stabil 3 kasus ditemukan pada pasien laki-
laki dan 3 kasus ditemukan pada pasien perempuan. Sementara itu kasus dengan
diagnosa infark miokard akut termasuk didalamnya STEMI dan NSTEMI terdapat
16 kasus pada pasien laki-laki dan 5 kasus pada pasien perempuan.
Tabel 2
Karakteristik kelengkapan status rekam medis IGD dengan diagnosa SKA
Anamnesis 27 100 0 0
Diagnosis 27 100 0 0
Tindaklanjut :
Dirawat 20 74,07
Dipulangkan/menolak 2 7,41
Meninggal 2 7,41
Sinus Patuh
6 + - Susp. APTS Dirawat
Bradikardi
Dirujuk
Chest pain, Dyspneu
ST elevasi, karena
9 + - Obs. Bradikardi, STEMI Patuh
bradikardi kamar
Inferior
penuh
Dirujuk Patuh
14 + STEMI - STEMI Anteroseptal
RSSP
Dirawat Patuh
15 + ST elevasi - AMI
ICU
Dirawat Patuh
16 + ST elevasi + AMI anteroseptal
ICU
Lanjutan tabel 3
Kepatuhan dalam penatalaksanaan SKA
Kriteria SKA
Tindak
No Diagnosa Patuh/Tidak
Nyeri dada Biokimia lanjut
EKG
tipikal (Troponin T)
Dari tabel 3 diagnosa SKA harus ditegakkan secara cepat dan tepat
berdasarkan 2 dari 3 kriteria yaitu nyeri dada tipikal, gambaran EKG, dan evaluasi
biokimia dari enzim jantung dalam hal ini Troponin T. Setelah kriteria tersebut
diketahui diagnosis dapat ditegakkan dan segera dilakukan tindak lanjut
penanganan terhadap pasien. Dari data diperoleh 20 pasien dilakukan rawat inap
baik di bangsal maupun ICU, 2 pasien dirujuk dengan alasan kamar penuh, 2
pasien menolak dirawat, dan 2 pasien meninggal setibanya di IGD dalam kondisi
tidak sadar.
Tabel 4
Kesiapan tim dan penatalaksanaan SKA
Pertanyaan Responden 1 Responden 2
Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Manusia,
Kesiapan tim dan
Alat, dan Obat-obatan Alat, dan Obat-obatan
penatalaksanaan SKA
sudah baik sudah baik
Berdasarkan dari hasil wawancara terhadap responden diperoleh data bahwa
untuk sumber daya manusia, alat, dan obat-obatan di IGD sudah lengkap, baik
sesuai standar.
7. Kelengkapan status rekam medis dengan diagnosa SKA
Tabel 5
Kelengkapan status rekam medis dengan diagnosa SKA
Pertanyaan Responden 1 Responden 2
Kelengkapan status
rekam medis dengan
Belum lengkap Belum lengkap
diagnosa SKA
Dari hasil wawancara dan data rekam medis diperoleh penulisan status
rekam medis yang kurang lengkap pengisiannya.
8. Masalah dalam penatalaksanaan SKA
Tabel 6
Masalah dalam penatalaksanaan SKA
Pada tabel 9 dari wawancara jika kesalahan pada saat initial treatment dan
terlambat merujuk pasien termasuk dalam kesalahan keselamatan pasien.
Peraturan PPK dan SPM yang sudah ada tetapi tidak dilaksanakan juga menyalahi
keselamatan pasien. kesalahan yang disebabkan karena kamar bangsal penuh
belum bisa dikaitkan dengan kesalahan keselamatan pasien.
PEMBAHASAN
1. Kepatuhan penatalaksanaan terhadap pasien SKA
Menurut kriteria WHO, diagnosis IMA ditegakkan bila ada 2 dari 3 keadaan
ini, nyeri dada tipikal (angina), perubahan EKG, dan peningkatan serum kardiak
(biokimia). Angina Pektoris (AP) yang timbul pada IMA biasanya timbul lebih
lama, lebih berat, tidak hilang dengan cara biasa dilakukan. Angina pada IMA
biasanya timbul lebih lama >15 menit, lebih berat, tidak hilang dengan cara yang
biasa dilakukan pasien untuk mengatasi/menghilangkan AP, atau tidak hilang
dengan pemakaian nitrogliserin berulang sampai 2 tablet sublingual dalam 10
menit. Semua keseluruhan rasa tidak enak di dada khususnya pada pasien resiko
tinggi, perlu dilakukan evaluasi. Pasien-pasien usia lanjut, diabetik dan wanita
sering menampilkan keluhan berbeda, yaitu tidak klasik AP, bahkan dapat tanpa
gejala AP. STEMI adalah IMA dengan gambaran elevasi ST dan non STEMI yaitu
IMA tanpa elevasi ST.5
Pada data yang diperoleh untuk tindak lanjut penanganan SKA, dari 27
pasien yang terdiagnosis SKA, 20 pasien dirawat di ICU dan bangsal, 2 pasien
dirujuk, 2 pasien dipulangkan/menolak dirawat, dan 2 pasien meninggal. Hal ini
menandakan bahwa kepatuhan penanganan SKA di IGD cukup baik, namun
masih ada beberapa masalah penundaan disebabkan oleh kamar rawat inap sedang
penuh sehingga pasien harus dirujuk. Pada pasien yang dipulangkan dan menolak
dirawat, disebabkan kondisi pasien yang tidak memerlukan rawat inap tetapi
disarankan segera kembali kontrol ke dokter ahli jika obat yang dikonsumsi telah
habis atau keluhan belum berkurang. Untuk pasien yang meninggal disebabkan
pasien datang sudah dalam keadaan tidak sadar dan meninggal dalam perjalanan
ke IGD.
2. Kesiapan tim dalam penatalaksanaan SKA
Pada prinsipnnya penatalaksanaan SKA adalah mengembalikan aliran darah
koroner dengan trombolitik untuk menyelamatkan jantung dari infark miokard,
membatasi luasnya infark miokard, dan mempertahankan fungsi jantung.
Penderita SKA perlu penanganan segera mulai sejak di luar rumah sakit sampai di
rumah sakit. Pengenalan SKA dalam keadaan dini merupakan kemampuan yang
harus dimiliki dokter/tenaga medis karena akan memperbaiki prognosis pasien.
Tenggang waktu antara mulai keluhan, diagnosis dini sampai dengan mulai terapi
reperfusi akan sangat mempengaruhi prognosis. Terapi infark miokard akut harus
dimulai sedini mungkin, reperfusi sudah harus terlaksana sebelum 4-6 jam.1
Tim medis di IGD termasuk semua dokter dan perawat telah memiliki
kompetensi begitu juga triase, obat-obatan dan peralatan penunjang lain seperti
monitor, EKG, dll sudah sesuai standar dalam penatalaksanaan pasien dengan
sindrom koroner akut. Hal ini didukung dengan dokter yang telah memiliki
sertifikat pelatihan ACLS (Advance Cardiac Life Support) dan perawat yang telah
mengikuti pelatihan PPGD (Pelatihan Penanganan Gawat Darurat), karena
diharapkan selalu update dalam penatalaksanaan sindrom koroner akut. Dalam hal
ini tampak penatalaksanaan kasus SKA di IGD RSU PKU Muhammadiyah Bantul
sudah baik.
Pada wawancara diperoleh bahwa tim medis sangat tanggap terhadap pasien
yang datang dengan keluhan nyeri dada. Prinsipnya siapapun yang menemukan
pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri dada khas segera bertindak
memasang oksigen dan EKG, jika pada saat itu dokter sedang menangani pasien
lain dan selanjutnya perawat harus langsung melaporkan kepada dokter.
Penilaian awal seorang pasien dengan nyeri dada akut atau gejala lainnya
yang mengarah pada sindrom koroner akut dilakukan rekam jantung EKG 12 lead
dan hasilnya diinterpretasikan oleh dokter yang kompeten membaca EKG dan
penanganan darurat dilakukan dalam <10 menit. Penanganan cepat dilakukan saat
pertama kali pasien datang, monitor Airway breathing circulation, memasang
EKG 12 lead, mengecek vital sign, memasang oksigen, infus dan memberikan
obat-obatan yang diperlukan untuk mengurangi nyeri dada, anamnesa riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik secara cepat, jika ditemukan ST elevasi, segera
menginformasikan rumah sakit secara dini dan check list terapi fibrinolitik.6
Keuntungan terbanyak terlihat pada mereka yang mendapat pengobatan
segera setelah onset gejala muncul. Sebuah analisa penelitian dimana pasien
diacak untuk trombolisis pre dan dalam rumah sakit menunjukkan bahwa
menyelamatkan satu jam mengurangi kematian secara signifikan, tetapi pada
penelitian yang relatif kecil gagal menunjukkan besarnya keuntungan yang pasti.
Pada pengamatan terhadap fibrinolitik didapat penurunan yang progresif sekitar 1
6 kematian tiap jam penundaan per 1000 pasien yang diobati.2
3. Kelengkapan status rekam medis dalam penatalaksanaan SKA
Berdasarkan hasil penelusuran rekam medis beserta wawancara ditemukan
ketidaklengkapan status rekam medis yang masih menjadi temuan dalam audit
rumah sakit, seperti identitas pasien, jam pelaksanaan, keadaan umum, vital sign,
pemeriksaan fisik, dan jam keluar yang wajib diisi dokter masih sering kosong.
Pada item vital sign dan jam keluar beberapa tidak lengkap dikarenakan alasan
terburu-buru, padahal vital sign adalah item paling penting sebagai data untuk
menentukan tindakan apa yang dapat dilakukan berikutnya berdasarkan vital sign
tersebut. Pada anamnesa jarang ditulis secara detail karena dokter hanya menulis
point-point yang mendukung keluhan pasien, yang terpenting keluhan utama dan
onset gejala seringnya beberapa informasi sudah ditanyakan namun tidak ditulis
oleh dokter termasuk juga pada kasus SKA ini. Penulisan tindakan dan terapi yang
dilakukan dalam 10 menit, terapi reperfusi door-to-needle 30 menit, dan door-
to-baloon 90 menit untuk penanganan SKA berikut jam pemberiannya belum ada
kebijakan RS yang mengatur hal tersebut. Penanda mulainya waktu pelaksanaan
terapi hanya ada pada item jam pelaksanaan pada status rekam medis.
Pada kenyataannya yang menjadi perhatian adalah status rekam medis
dengan kasus label kuning dan label merah belum lengkap padahal untuk kasus-
kasus ini diperlukan data-data akurat yang harus dituliskan. Pada kasus-kasus
dengan label ini segera dilakukan tindakan pertolongan pertama dan penulisan
yang dilakukan hanya secukupnya sesuai prosedur, yang paling penting jam
tindakan lebih rinci ditulis di lembar monitoring hal ini berlaku pada pasien SKA
dengan label merah.
Rekam medis yang tidak lengkap tidak cukup memberikan informasi untuk
pengobatan selanjutnya ketika pasien datang kembali ke sarana pelayanan
kesehatan tersebut. Ketidakterisian pada rekam medis dapat disebabkan oleh
banyak faktor, karena dokter lebih mengutamakan memberikan pelayanan,
banyaknya pasien sehingga dokter berusaha untuk memberikan pelayanan dengan
cepat, dokter masih menunggu hasil pemeriksaan laboratorium untuk lebih
memastikan diagnosis yang lebih spesifik, kesibukan dokter, terbatasnya jumlah
dokter, kurangnya kerjasama antar perawat dan petugas rekam medis, dokter
kurang peduli terhadap rekam medis.
Pernyataan ini didukung oleh teori yang mengatakan bahwa hasil analisa
berkas rekam medis menentukan peringkat suatu unit atau sarana kesehatan.
Apabila hasil analisa dari sebagian besar berkas rekam medis baik dapat
disimpulkan mutu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan adalah baik, berarti
unit atau sarana pelayanan kesehatan tersebut termasuk unit atau sarana pelayanan
kesehatan yang mutu pelayanan kesehatannya adalah baik.7
4. Standar penatalaksanaan SKA
Penanganan pertama sampai pemberian obat lini pertama kasus SKA di IGD
sudah sesuai standar. Selama ini dalam penatalaksanaannya dokter mengacu pada
algoritme ACLS. Di rumah sakit SPM tentang SKA tersedia edisi tahun 2007,
belum ada revisi lagi padahal seharusnya SPM direvisi setiap 5 tahun sekali sesuai
dengan perkembangan ilmu kedokteran. PPK dan standar pelayanan SKA yang
sesuai dengan RS ini juga belum ada. Ketidaklengkapan standar pelayanan ini
membuat dilema dokter, khususnya untuk pelayanan terhadap pasien jaminan atau
BPJS misal pasien dengan nyeri dada khas, tetapi hasil dari EKG masih ragu-ragu
apakah ini suatu serangan SKA ingin dilakukan pemeriksaan laboratorium
Troponin T tetapi pasien menggunakan syarat jaminan tersebut. Sedangkan
troponin T juga jika ini serangan pertama hasilnya cenderung negatif, jika pasien
dipulangkan ada kekhawatiran kondisi bertambah parah, namun jika dirawat
diagnosisnya belum pasti dan pasien selama di bangsal hanya diterapi simptomatis
dulu.
5. Masalah dalam penatalaksanaan SKA
Berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa masalah pelayanan pasien
SKA, sering terjadi pada perawatan lanjutan saat keluar dari IGD yang disebabkan
oleh kamar di bangsal penuh jadi pasien-pasien dari IGD seharusnya bisa
langsung dirawat dibangsal menjadi terkendala, sedangkan IGD juga tidak
menyediakan tempat untuk transit pasien. Untuk pasien dengan jaminan dan
BPJS, jika diagnosis SKA belum pasti dapat ditegakkan maka pasien hanya
mendapatkan terapi simptomatis misal ISDN dan analgetik dulu sampai diagnosis
SKA pasti ditegakkan. Hal ini kadang membingungkan dokter karena disisi lain
dokter ingin memberikan yang terbaik untuk pasien namun sistem mempunyai
kebijakan sendiri, sehingga dapat menyebabkan penundaan penanganan pasien
dalam hal mendiagnosis kasus tersebut.
Dari wawancara juga didapatkan pasien/keluarga pasien menolak dirawat di
ICCU atau dirujuk. Banyak pasien yang mengalami keterlambatan pengobatan
untuk penyakit akut atau kondisi yang mengancam karena masalah biaya
perawatan ini berhubungan dengan pola pengambilan keputusan seseorang dalam
penentuan pengobatan pasien.
Keterlambatan waktu antara onset nyeri dada dan inisiasi terapi reperfusi
dapat terdiri atas 3 kali penundaan, yaitu penundaan keputusan pasien ke rumah
sakit (1,5 sampai 3 jam), penundaan transportasi pra-rumah sakit (30 sampai 130
menit), dan penundaan penanganan di rumah sakit. Selain itu, banyak ditemukan
kasus IMA akut pada awalnya dirawat di rumah sakit daerah yang tidak tersedia
sarana kateterisasi dan kemudian ditransfer ke pusat pelayanan medis tersier untuk
intervensi mekanis. Hal ini menunjukkan bahwa sistem rujukan dapat
memperpanjang jeda waktu pasien untuk segera mendapatkan terapi reperfusi.8
Terdapat hubungan yang signifikan antara tindakan yang dilakukan di layanan kesehatan
awal sebelum ke IGD dengan interval keterlambatan datang pasien nyeri dada kardiak
iskemik.9
6. Rekomendasi dalam penyelesaian masalah pada penatalaksanaan SKA
Beberapa faktor yang mempengaruhi penatalaksanaan SKA di IGD:
a. Pasien
Pasien dengan kecurigaan adanya serangan jantung harus
mendapatkan diagnosis yang cepat, penyembuhan nyerinya, resusitasi dan
terapi reperfusi jika diperlukan, untuk itu harus dirawat oleh staf yang
terlatih dan berpengalaman di unit jantung yang modern. Pasien dan
keluarganya harus paham, mengenali dan bereaksi cepat bila ada serangan
jantung lagi.
b. Dokter Ahli Kardiologi
Ahli kardiologi harus yakin bahwa ada sistem yang optimal untuk
rawat jantung di rumah sakit mereka. Hal ini termasuk pelatihan yang
memadai dari personel ambulans dan dokter lini pertama, pengaturan yang
efisien mengenai diagnosis dan perawatan infark miokard di unit gawat
darurat, dan pengaturan untuk pemberian trombolitik. Pencatatan harus
dibuat secara baik, sejak awal perawatan dan pemberian trombolisis (cato-
needle time) dan sejak dari masuknya ke rumah sakit sampai trombolisis
diberikan (door-to-needle time). Catatan harus dibuat untuk terapi
pencegahan sekunder bagi mereka yang selamat dari infark miokard
definitif.
c. Dokter Umum
Dokter umum merupakan titik pertama dalam kontak terhadap
penderita yang dicurigai mengalami infark miokard, harus bisa bertindak
dengan cepat atau membuat persiapan untuk melakukan defibrilasi dan
trombolisis secara efektif. Mereka sebaiknya terlibat dalam program lokal
penanganan kedaruratan jantung.
d. Pemegang kebijaksanaan
Mereka harus mendorong pelatihan masyarakat untuk penanganan
dasar dan personel ambulans dalam Bantuan Hidup Dasar dan Lanjut (BHD
dan BHL). Mereka harus mengatur suatu sistem yang optimal untuk
perawatan pasien yang mengalami henti jantung dan infark miokard, dengan
mengkoordinasikan aktivitas pelayanan ambulans, dokter umum, dan
pelayanan rumah sakit. Mereka juga sebaiknya memastikan bahwa unit
gawat darurat mempunyai protokol yang baik untuk penanganan pasien
yang dicurigai mengalami infark miokard serta tenaga terlatih yang tersedia
setiap saat. Dan sebaiknya disediakan tempat tidur yang sesuai untuk
perawatan infark miokard. Dokter yang terlatih mengenai kardiologi harus
selalu ada. Dan harus diselenggarakan rehabilitasi pasien sepulang dari
rumah sakit setelah infark miokard. Harus dipastikan bahwa tersedia
fasilitas di rumah sakit mereka atau daerah untuk managemen lebih lanjut
dan penanganan komplikasi infark miokard, atau bila tidak ada, harus diatur
hubungan dengan pusat kesehatan yang lain.
Adanya SPM, PPK, atau kebijakan yang mengatur penatalaksanaan
SKA yang sesuai dengan standar kesiapan rumah sakit dan perbaikan dari
sistem pelayanan seperti pada pasien jaminan karena hal-hal seperti itu
tanpa disadari menjadi penyebab delay dalam penanganan pasien SKA
selanjutnya. Demi tercapainya pelayanan yang lebih baik lagi, dilakukan
audit medik terhadap kelengkapan pengisian status rekam medis pasien
dimana disitu terdapat banyak informasi penting terhadap kelanjutan
penanganan pada pasien di kemudian hari.
KESIMPULAN