Professional Documents
Culture Documents
PTERYGIUM
Pembimbing :
Dr. Endro Pranoto, Sp.M
Dr. Sri Subekti, Sp.M, M.Sc
Dr. Iva Rini Aryani. Sp.M, M.Sc
Oleh :
Ari Ahdiatul Gozian
010.06.0034
2016
1
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji dan syukur penulis panjatukan kepada Allah SWT atas berkat
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul PTERIGIUM
NASALE GRADE III OS ini
Penulis sangat menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran membangun dari
pembaca. Atas perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih
Wassalamualaikum Wr.Wb
Penulis
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR............................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
BAB IV PEMBAHASAN................................................................................18
BAB V KESIMPULAN...................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................21
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
lanjut. Penegakan diagnosis dini pterygium diperlukan agar gangguan
penglihatan tidak semakin memburuk dan dapat dilakukan pencegahan
terhadap komplikasi.2
1.2. Tujuan
5
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. M
Umur : 40 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : -
Alamat : Gelumpang barat, Rumbuk timur, Sakra.
MRS : 15 Januari 2016
II. Anamnesis
Pasien mengeluh mata disebelah kiri terasa perih sekitar 1 bulan yang lalu.
Dua minggu yang lalu penglihatan dirasakan kabur semakin perih dan
berair. Kemudian datang ke poli klinik mata RSUD DR. R. Soedjono
Selong dan disarankan untuk operasi.
6
Riwayat Pengobatan: pasien tidak mengkonsumsi obat minum hanya
menggunakan obat tetes mata.
GCS : E4V5M6
7
IV. Status Oftalmologi
PH : tidak maju
Segmen Anterior
Palpebra superior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Palpebra inferior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Konjungtiva tarsus superior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
Konjungtiva tarsus inferior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
8
Bilik Mata Depan Kripta iris normal Sedang
Lensa jernih
V. Pemeriksaan tambahan
1. GDS : 107 mg/dl
2. HB : 12,8 g/dl
3. CT : 71351
4. Bt : 11051
5. HbsAg : non reaktif
6. Sekret mata : gram negative
VII. Penatalaksanaan
- Pemberian antibiotik
- Pemberian analgetik
- Edukasi pada pasien untuk tindakan operasi
VIII. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanam : bonam
Quo ad cosmetic : malam
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
10
dengan kepala atau apex menghadap ke sentral kornea dan basis
menghadap lipatan semilunar pada cantus.1
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada
celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke
daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian
sentral atau di daerah kornea. Pterygium mudah meradang dan bila terjadi
iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. 4
III.2 Epidemiologi
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering.
Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator
yaitu daerah <370 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi
sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang
400.5
Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika Serikat, prevalensinya berkisar
kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk
daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan
prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di
bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka
kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang
bawah. Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium.
Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium
rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua.
Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan
dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di
luar rumah.6
III.3 Etiologi dan Faktor Resiko
Hingga saat ini etiologi pasti pterygium masih belum diketahui secara
pasti. Beberapa faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan
ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus.
11
Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara
kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A
juga berpotensi menimbulkan pterygium. Selain itu ada juga yang
mengatakan bahwa etiologi pterygium merupakan suatu fenomena iritatif
akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin karena sering
terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan
yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. Beberapa
kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan
berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,
kemungkinan diturunkan autosom dominan.8
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium.
Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu
penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan
mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di
basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel),
perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan
menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi
seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga
degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular,
seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal,
menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia. 8
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi,
bahan iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko
pterygium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan
melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami pterygium dan
pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam
ruangan. Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah
petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan
timbulnya pterygium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan
adanya keturunan (faktor herediter). 8
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab
dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui
12
namun kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar
ultra violet di area tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea
sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat
memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut. 8
Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang
menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya
kekambuhan setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti
selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda
neoplasia dan apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini
merupakan kelainan pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang
tidak terkontrol daripada kelainan degeneratif. 11
1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam
perkembangan terjadinya pterygium. Hal ini menjelaskan mengapa
insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat
equator dan pada orang orang yang menghabiskan banyak waktu di
lapangan. 8
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterygium adalah
alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu,
polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen
pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta
over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi
seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi
adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran
Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. 8
a. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak
ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-
13
anak. Tan berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan
tiga. 8
b. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering
dengan sinar UV. 8
c. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei
yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di
khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi.
Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun
pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki
risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah
yang lebih selatan. 8
d. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
e. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara
autosomal dominan. 8
f. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium. 8
g. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel
tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya pterygium. 8
III.4 Klasifikasi Pterygium
Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
1. Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea
2. Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum
mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
3. Stadium III : jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter
pupil sekitar 3-4 mm).
4. Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan.
III.5 Patofisiologi
14
Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar
matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering,
inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-
B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang
terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti
TGF- dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan
regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.8
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi
elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi
fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia propia yang akhirnya
menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran
Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan
sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini
akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan
pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi
displasia.5,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan
kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke
kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan
pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium
dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa
pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized
interpalpebral limbal stem cell. Pterygium ditandai dengan degenerasi
elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh
epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen abnormal yang
mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan
menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan
Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya
biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan
displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet. 5
15
III.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata
merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu
juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak
bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang
tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya. 6
2. Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada
permukaan konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang
vaskular dan tebal tetapi ada juga pterygium yang avaskuler dan flat.
Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan
berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium
pada daerah temporal. 6
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium. 6
3.7 Penatalaksanaan
1. Konservatif
Penanganan pterygium pada tahap awal adalah berupa tindakan
konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi
maupun paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti
UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.8
2. Tindakan operatif
Pada prinsipnya, tatalaksana pterygium adalah dengan tindakan
operasi. Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam
penanganan pterygium di antaranya adalah:8
a. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva
dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah
tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat
mencapai 40-75%.
b. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang
terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva
relatif kecil.
16
c. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas
eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
d. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka
bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang
kemudian diletakkan pada bekas eksisi.
e. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil
dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan
ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi
dengan bahan perekat jaringan.
f. Amniotic membrane transplantation
Ada juga teknik lain yaitu Amniotic membrane transplantation,
yaitu teknik gafting dengan menggunakan membran amnion, yang
merupakan lapisan paling dalam dari plasenta yang mengandung
membrana basalis yang tebal dan matriks stromal avaskular. Dalam
dunia oftalmologi, membran amnion ini digunakan sebagai draft
dan dressing untuk infeksi kornea, sterile melts, dan untuk
merekonstruksi permukaan okuler untuk berbagai macam prosedur.
Dokumentasi pertama penggunaan membran amnion ini yaitu yang
dilakukan oleh De Rotth pada tahun 1940 untuk rekonstruksi
konjungtiva. Dengan angka kesuksesan yang rendah. Sorsby pada
tahun 1946 dan 1947. Ada juga Kim dan Tseng yang
memperkenalkan kembali ide ini dan mempopulerkannya. Cara
kerja teknik ini adalah dimana komponen membran basalis dari
membran amnion ini serupa dengan komposisi dalam konjungtiva.
Untuk alasan inilah teori terkini menyatakan bahwa membran
amniotik memperbesar support untuk limbal stem cells dan cornea
transient amplifying cells. Klonogenisitas dipelihara dengan
meningkatkan diferensiasi sel goblet dan non goblet . lebih jauh
lagi, hal tersebut dapat menekan diferensiasi miofibroblast dari
fibroblas normal untuk mengurangi scar dan pembentukan
vaskuler. Mekanisme ini membantu penyembuhan untuk
rekonstruksi konjungtiva, defek epitel, dan ulserasi stromal. 9
3.8 Diagnosis Banding
17
Pterygium harus dapat dibedakan dengan pseudopterygium.
Pseudopterygium terjadi akibat pembentukan jaringan parut pada
konjungtiva yang berbeda dengan pterygium, dimana pada
pseudopterygium terdapat adhesi antara konjungtiva yang sikatrik dengan
kornea dan sklera. Penyebabnya termasuk cedera kornea, cedera kimiawi
dan termal. Pseudopterygium menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda.
Penanganan pseudopterygium adalah dengan melisiskan adhesi, eksisi
jaringan konjungtiva yang sikatrik dan menutupi defek sklera dengan graft
konjungtiva yang berasal dari aspek temporal.10, 11
Selain itu pterygium juga didagnosis banding dengan pinguekula yang
merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal
atau temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena
iritasi ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya
tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid
topikal.10,11
3.9 Komplikasi
Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut:6,12
a. Pra-operatif:
1. Astigmat
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah
astigmat karena pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk
kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterygium serta
terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang
berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu
sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat tear meniscus antara
puncak kornea dan peninggian pterygium. Astigmat yang
ditimbulkan oleh pterygium adalah astigmat with the rule dan
iireguler astigmat.
2. Kemerahan
3. Iritasi
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
5. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi
penglihatan dan menyebabkan diplopia.
b. Intra-operatif:
18
Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen
(thinning), dan perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat
tindakan eksisi dengan conjunctival autografting, namun komplikasi
ini secara umum bersifat sementara dan tidak mengancam penglihatan.
12
c. Pasca-operatif:
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut
kornea, graft konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan
vitreus dan ablasi retina.
2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan
ektasia atau nekrosis sklera dan kornea
3. Pterygium rekuren.
3.10 Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan
pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan
pterygium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan
konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. 6
BAB IV
PEMBAHASAN
Ny. M 40 tahun datang mengeluh mata sebelah kiri terasa perih, keluhan
dirasakan sejak 1 bulan yang lalu dan pasien juga mengeluhkan mata kiri kabur
sejak dua minggu yang lalu. Keluhan ini menyebabkan terganggunya aktifitas
pasien dan pekerjaan pasien sebagai ibu rumah tangga.
19
Riwayat penyakit dahulu pasien tidak pernah mengalami sakit mata seperti ini,
Hipertensi disangkal, diabetes melitus disangkal. Riwayat pengobatan belum
pernah berobat sebelumnya dan tidak pernah memakai kacamata sebelumnya.
Gejala-gejala yang dialami pasien ini sesuai dengan kepustakaan yang menuju
kearah pterygium. Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Penduduk Indonesia memiliki
risiko tinggi terkena pterygium. Hal ini diduga berkaitan dengan paparan sinar
matahari berlebihan yang diterima oleh mata.
Usulan pemeriksaan yang dilakukan pada pasien ini adalah pemerikasaan lab
lengkap untuk melihat apakah ada kelainan darah yang dapat menyebabkan
komplikasi intra operasi. Pemeriksaan GDA 2 jam PP untuk mengetahui apakah
pasien menderita diabetes mellitus atau tidak.
20
BAB V
KESIMPULAN
21
Dari hasil pmeriksaan fisik pasien didiagnosis menderita pteryium nasale
derajat III dan disarankan untuk operasi.
DAFTAR PUSTAKA
22
5. Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]. Available
from : www.eyewiki.aao.org/Pterygium
6. Cason, John B., .Amniotic Membrane Transplantation. [online] 2007.
[cited 2011 October 23]. Available from :
http://eyewiki.aao.org/Amniotic_Membrane_Transplant
7. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117
8. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview.
9. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook
Atlas. New York : Thieme Stutgart. 2000
10. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter
Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 2009.
11. Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asburys Oftalmologi
Umum: edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.
12. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to
Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In:
External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366
23