You are on page 1of 20

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKAIRAAT
PALU
Refleksi Kasus
21 Juni 2017

HIPERBILIRUBINEMIA

Disusun Oleh:

Firaz Ruhhul Akbar, S.Ked (101677714171)

Pembimbing :
dr. Suldiah, Sp.A

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD UNDATA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2017

1
PENDAHULUAN
Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin serum total >5 mg/dL.1
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu keadaan klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir.2 Hiperbilirubinemia ditemukan 60% di Amerika
Serikat, sedangkan insiden hiperbilirubinemia pada neonatus di negara-negara
berkembang belum tersedia karena mayoritas persalinan dilakukan di rumah.3
Insiden hiperbilirubinemia di Indonesia di beberapa RS pendidikan antara lain
RSCM, RS Dr Sardjito, RS Dr Soetomo, RS Dr Kariadi bervariasi dari 13,7%
hingga 85%.4 Penelitian yang dilakukan di RS Hasan Sadikin didapatkan
hiperbilirubinemia pada neonatus cukup bulan 39,5% pada kelompok resiko
tinggi, 12,9% pada resiko menengah-tinggi, 2,3% pada resiko menengah-rendah
dan 0% pada kelompok resiko rendah.1
Bilirubin berasal dari degradasi heme yang merupakan komponen
hemoglobin. Pada neonatus hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga
proses konjugasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan
menyebabkan akumulasi bilirubin tak terkonjugasi didalam darah yang
mengakibatkan neonatus terlihat bewarna kuning pada sklera dan kulit.2 Bilirubin
dalam darah terdiri dari dua bentuk, yaitu bilirubin terkonjugasi dan bilirubin tak
terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui
urin. Sedangkan bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air dan terikat pada
albumin.2
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis dan patologis.
Hiperbilirubinemia fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada
neonatus cukup maupun kurang bulan selama minggu pertama kehidupan yang
insidennya berturut-turut adalah 50-60% dan 80%.6 Insidens hiperbilirubinemia
patologis sekitar 9,8% pada tahun 2002 dan 15,66% pada tahun 2007 di RS Dr
Soetomo.4 Insiden hiperbilirubinemia patologis berdasarkan penyebab didapatkan
inkompatibilitas ABO 35%, infeksi 18%, prematuritas 11%, defisiensi enzim
glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD)5%, inkompatibiltas rhesus 3,5% dan
idopatik 9% di Jamaika.9 Peningkatan kadar bilirubin serum yang tinggi dapat
menimbulkan kern ikterus yang merupakan sindrom neurologi akibat akumulasi

2
bilirubin tidak terkonjugasi di ganglia basalis dan nucleus batang otak.3 Kern
ikterus menyebabkan kematian pada 75% neonatus dan menimbulkan 80%
sekuele neurologik jangka panjang seperti koreoatetosis dan spasme otot
involunter.4 Tidak ada tes skrining untuk mengidentifikasi neonatus yang berisiko
kern ikterus.11 Setiap neonatus yang mengalami kuning harus dibedakan apakah
hiperbilirubinemia yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis
serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi
hiperbilirubinemia berat.4 Untuk mengantisipasi komplikasi yang timbul, maka
perlu dilakukan pemeriksaan kadar bilirubin serum total beserta faktor risiko
terjadinya hiperbilirubinemia yang berat.3
Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, dan sklera
akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Pada neonatus penampakan
kuning terjadi bila kadar bilirubin serum > 5 mg/dl, Sedangkan dikatakan
hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin dalam serum > 13 mg/dl. 1
Ikterus terbagi atas 2 yaitu :
a. Ikterus fisiologis
Terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi cukup bulan nilai puncak 6-8
mg/dl biasanya tercapai pada hari ke-3-5. Pada bayi kurang bulan nilainya 10-
12 mg/dl bahkan sampai 15 mg/dl. Peningkatan/akumulasi bilirubin serum <
5 mg/dl/hari. Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
b. Ikterus patologis (non fisiologis)
Terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan . Peningkatan/akumulasi bilirubin
serum > 5 mg/dl/hari. Bilirubin total serum > 17 mg/dl pada bayi yang
mendapat ASI . Ikterus menetap setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau
setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. Bilirubin direk > 2 mg/dl.
Tatalaksana hiperbilirubinemia bertujuan untuk mencegah agar kadar
bilirubin tidak terkonjugasi dalam darah tidak mencapai kadar yang neurotoksik.4
Penggunaan fototerapi sebagai salah satu terapi hiperbilirubinemia telah dimulai
sejak tahun 1950 dan umum digunakan karena mempunyai keuntungan tidak
invasif, efektif, tidak mahal dan mudah digunakan.4

3
LAPORAN KASUS

I. Identitas
Nama : Bayi N
Jenis kelamin : Laki-Laki
Tanggal lahir : 17 Juni 2017
Tanggal masuk : 18 Juni 2017 (1 hari)

II. Anamnesis
Bayi laki-laki berumur 1 hari rujukan dari RS Bhayangkara dengan
keluhan asfiksia dan BBLR. Demam (-), letargi (-), muntah (+,1 kali),
kesulitan minum (-), diare (-). Bayi mendapatkan ASI eksklusif. BAB dan
BAK lancar.
Riwayat kelahiran, bayi laki-laki lahir secara Spontan, tanggal 17 Juni
2017 pukul 12.45 Wita, bayi lahir tidak langsung menangis, air ketuban warna
hijau kental, tidak ada sesak, merintih (-), sianosis (-), anpal (+), apgar score
8/9, usia kehamilan lebih bulan (42 minggu). Berat badan lahir 2400 gram dan
panjang badan 46 cm.
Riwayat maternal: Bayi lahir dari ibu G1P1A0, usia ibu saat hamil 26 tahun
dan ayah 28 tahun. Ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga. Selama kehamilan
ibu mengaku teratur melakukan antenatal care di Puskesmas. Nafsu makan
ibu baik selama kehamilan dan ibu mengaku tidak pernah sakit selama hamil.
Tidak ada riwayat merokok, mengkonsumsi alkohol, maupun menggunakan
obat-obatan terlarang.

PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-tanda vital
Denyut jantung : 139 x/menit
Suhu : 36,7 0C
Respirasi : 67 x/menit
CRT : < 2 detik

4
Berat Badan : 2400 gram
Panjang Badan : 46 cm
Lingkar kepala : 35 cm
Lingkar dada : 33,5 cm
Lingkar perut : 33 cm
Lingkar lengan : 9,5 cm
Sistem neurologi :
Aktivitas : kurang aktif
Kesadaran : compos mentis
Fontanela : datar
Sutura : belum menyatu
Refleks cahaya : +/+
Kejang :-
Tonus otot : normal
Sistem pernapasan
Sianosis : tidak ada
Merintih : tidak ada
Apnea : tidak ada
Retraksi dinding dada : tidak ada
Pergerakan dinding dada : simetris, kanan = kiri
Pernapasan Cuping hidung : tidak ada
Bunyi pernapasan : bronchovesikular +/+
Bunyi tambahan : wheezing -/-, rhonchi -/-.
Skor Down
Frekuensi Napas :1
Merintih :0
Sianosis :0
Retraksi :0
Udara Masuk :0
Total skor : 1 (Gangguan Napas Ringan)

5
Sistem hematologi :
Pucat : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Sistem kardiovaskuler
Bunyi Jantung : SI dan SII murni reguler
Murmur : tidak ada
Sistem Gastrointestinal
Kelainan dinding abdomen : tidak ada
Muntah : tidak ada
Diare : tidak ada
Residu lambung : tidak ada
Organomegali : tidak ada
Peristaltik : positif, kesan normal
Umbilikus
Pus : tidak ada
Kemerahan : tidak ada
Edema : tidak ada
Sistem Genitalia.
Keluaran : tidak ada

Skor Ballard
Maturitas fisik maturitas neuromuskuler
Sikap tubuh :4 kulit :2
Persegi jendela :3 lanugo :3
Recoil lengan :4 payudara :4
Sudut poplitea :3 Mata/telinga :4
Tanda selempang : 4 genita :3
Tumit ke kuping :3 permukaan plantar :4
Total Skor : 41
Estimasi umur kehamilan : 40-42 minggu
Interpertasi : lebih bulan Kecil Masa Kehamilan

6
RESUME
Bayi laki-laki berumur 1 hari rujukan dari RS Bhayangkara dengan keluhan
asfiksia. Demam (-), letargi (-), muntah (+,1 kali), kesulitan minum (-), diare (-).
Bayi mendapatkan ASI eksklusif. BAB dan BAK lancar.
Riwayat kelahiran, bayi laki-laki lahir secara spontan, tanggal 17 Juni 2017
pukul 12.45 Wita, bayi lahir tidak langsung menangis, air ketuban warna hijau
kental, tidak ada sesak, merintih (-), sianosis (-), anpal (+), apgar score 8/9, usia
kehamilan lebih bulan (42 minggu). Berat badan lahir 2400 gram dan panjang
badan 46 cm.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan : keadaan umum sakit sedang, aktivitas
kurang aktif, kesadaran compos mentis. Denyut jantung 138 x/menit, suhu 36,7
0
C, respirasi 61 x/menit, berat badan 2400 gram, panjang badan 46 cm.

7
Pemeriksaan penunjang (tanggal 19 januari 2017)
Laboratorium Hasil Nilai rujukan

GDS 60 mg/dL 74-100 mg/dl

Bil-ind 13,7 mg/dL 0,1-1,0 mg/dl

Bil-D 0,5 mg/dL 0,1-0,3 mg/dl

Bil-T 14,4 mg/dL 0,1-1,2 mg/dl

WBC 17,43 103/mm3 4,5-13,5 103/mm3

RBC 4,13 106/mm3 4-5,4 x 106/mm3

HGB 12,6 g/dL 11,5-14,5 g/dl

HCT 38,9 % 37-45 %

PLT 247 103/mm3 200-400 103/mm3

DIAGNOSIS
Hiperbilirubinemia

TERAPI
1. Menjaga kehangatan bayi
2. Melakukan penilaian pernapasan,frekuensi jantung dan warna kulit
3. Memantau kondisi secara berkala
4. IVFD Dex 5% 8 ttm
5. Inj Cefotaxime
6. Inj Gentamicine
7. Asi 8x15-20 cc

8
FOLLOW UP

Tanggal : 19 juni 2017 (Usia 2 Hari, Perawatan Hari 1)

S - Demam (-)
- Kejang (-)
- Merintih (-)
- Napas cuping hidung (-)
- Retraksi dada (-)
- Muntah (+) susu
- Sianosis (-)
- Menangis lemah
- Ikterus (+) kremer IV
- Kesulitan minum (+)
- BAB/ BAK (+/+)

O Keadaan umum : sakit sedang


Kesadaran : letargi
Tanda Tanda Vital :
o Denyut Jantung : 130 x per menit
o Pernapasan : 61 x per menit
o Berat badan : 2 gram
o Suhu : 36,6 0C
o CRT : < 2 detik
PEMERIKSAAN PENUN JANG
Bilirubin Total : 14,4 mg/dL
A Hiperbilirubinemia

P - IVFD Dex 5% 8 ttm


- Inj Cefotaxime
- Inj Gentamicine
- Asi 8x15-20 cc

9
- Lab : Bilirubin
- Observasi TTV/Jam

Tanggal : 20 juni 2017 (Usia 3 Hari, Perawatan Hari 2)

S - Demam (-)
- Kejang (-)
- Merintih (-)
- Napas cuping hidung (-)
- Retraksi dada (-)
- Muntah (+) susu
- Sianosis (-)
- Menangis lemah
- Ikterus (+) kremer IV
- Kesulitan minum (+)
- BAB/ BAK (+/+)

O Keadaan umum : sakit sedang


Kesadaran : letargi
Tanda Tanda Vital :
o Denyut Jantung : 135 x per menit
o Pernapasan : 58 x per menit
o Berat badan : 2 gram
o Suhu : 36,8 0C
o CRT : < 2 detik
PEMERIKSAAN PENUN JANG
Bilirubin Total : 14,4 mg/dL
A Hiperbilirubinemia

P - IVFD Dex 5% 8 tpm


- Inj Cefotaxime

10
- Inj Gentamicine
- Asi 8x15-20 cc
- Fototerapi (3 jam)

11
DISKUSI

Berdasarkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pasien


didiagnosis Hiperbiliribunemia patologis karena pasien mengalami peningkatan
kadar bilirubin > 5 mg/dL dalam 24 jam2.
Hiperbilirubinemia pada neonatus adalah peningkatan kadar bilirubin
serum pada neonatus, disebut hiperbilirubinemia jika kadar bilirubin dalam serum
>13mg/dL2.
Ikterus adalah pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa yang
terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah. Klinis ikterus tampak
bila kadar bilirubin dalam serum mencapai >5mg/dL 2
Ikterus terbagi ke dalam 2 jenis yakni3:
Ikterus Fisiologis
1. Perhatikan riwayat penyakit ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan
Awitan terjadi setelah 24 jam
Memuncak pada 3 sampai 5 hari
Menurun setelah 7 hari.
2. Bayi cukup bulan rata-rata memiliki kadar bilirubin serum puncak 5-6 mg/dl.
3. Ikterus fisiologis berlebihan ketika bilirubin serum puncak adalah 7-15 mg/dl
Ikterus pada Patologis
1. Awitan terjadi lebih dini (dalam 24 jam)
2. Puncak lebih lambat
3. Kadar puncak lebih tinggi
4. Memerlukan lebih banyak waktu untuk menghilang sampai dengan 2
minggu3.
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor:
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal pada
hemolisis yang meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan
darah lain, defisiensi enzim G-6-PADA, piruvat kinase, perdarahan tertutup
dan sepsis6.

12
2. Gangguan proses uptake dan konjugasi hepar.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya substrat
untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia
dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom
Criggler-Najjar) penyebab lain atau defisiensi protein Y dalam hepar yang
berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar6.
3. Gangguantransportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya
salisilat, dan sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapat bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel
otak6.
4. Gangguan dalam ekskresi.
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi/kerusakan hepar oleh penyebab lain6.
Untuk mengetahui secara jelas penyebabnya kita perlu mengetahui
metabolisme bilirubin itu sendiri4

13
Bilirubin adalah hasil akhir dari katabolisme heme melalui proses
oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi pertama adalah biliverdin yang dibentuk oleh
enzim oksigenase. Biliverdin kemudian direduksi menjadi bilirubin oleh enzimm
biliverdin reduktase. Bilirubin tak terkonjugasi (bilirubin indirek/unconjugated)
merupakan zat larut lipid, sehingga kurang mampu larut dalam air pada pH
fisiologis. Oleh karena tidak mampu larut dalam air, maka bilirubin indirek harus
berikatan dengan albumin terlebih dahulu untuk kemudian ditransportasikan.
Ikatan bilirubin-albumin ini kemudian mengalami disosiasi dalam sinusoid hepar,
berdifusi melalui membran sel, kemudian masuk ke dalam sel-sel hepar. 6
Konjugasi terjadi antara bilirubin terutama dengan asam glukoronat yang
dikatalisasi oleh enzim mikrosomal bilirubin-uridine diphosphate (UDP)
glukoronil transferase. Asam glukoronat ini sebagian disediakan oleh asam
uridine diphosphoglucoronic (UDPGA) dalam reaksi yang berasal dari oksidasi
uridine diphosphoglucose (UDPG) oleh UDPG dehidrogenase. Bilirubin yang

14
telah terkonjugasi ini kemudian memiliki kelarutan yang baik di dalam air
sehingga mampu diekskresi melalui urine7.
Pada kasus ini hiperbilirubinemia dapat terjadi akibat sepsis dan adanya
peningkatan hemolisis. Sepsis yang terjadi pada neonatorum pada umumnya
disebabkan oleh bakteri, jamur, dan virus yang dapat terjadi karena berbagai
faktor seperti ketuban pecah dini, demam pada ibu saat persalinan, dan kurang
masa kehamilan yang dapat mengakibatkan bayi mengalami asfiksia perinatal,
berat bayi lahir rendah, kelainan bawaan, prosedur invasif yang mengarah menjadi
sepsis. Bakteri yang menyebabkan sepsis tersebut dapat menyerang hepar yang
dapat menyumbat saluran hepar dan menyebabkan kolestasis. Kemudian dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan destruksi eritrosit sehingga terjadi
pemecahan hemoglobin yang berlebihan6.
Meskipun demikian, sebagian besar bilirubin glukoronida ini diekskresi
melalui ductus biliaris ke organ intestinal. Oleh karena permeabilitasnya yang
rendah terhadap bilirubin direk, maka bilirubin direk ini bergabung dengan feses
untuk diekskresi dari dalam tubuh. Sebaliknya, permeabilitas bilirubin indirek dan
urobilinogen (derivat bilirubin yang dihasilkan oleh bakteri intestial) yang tinggi
dengan usus menyebabkan terjadinya reabsorbsi kembali menuju ke sirkulasi.
Secara kasar tingkat keparahan ikterus dapat dilihat ditubuh dengan
metode kremer yang dapat dibagi5:
Derajat Daerah Ikterus Perkiraan kadar bilirubin
Ikterus
I Kepala dan leher 5,0mg%
II Sampai badan atas (diatas 9,0 mg%
umbilicus)
III Sampai badan bawah (di 11,4 mg%
bawah umbilicus sampai
tungkai atas diatas lutut
IV Seluruh tubuh kecuali telapak 12,4 mg%
tangan dan kaki

15
V Seluruh tubuh 16,0 mg%

Pada kasus ini, ikterus pada bayi mulai nampak pada hari ke-1 dan
peningkatan kadar bilirubin lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam sehingga menurut
pembagiannya ikterus yang terjadi pada bayi ini adalah ikterus patologis. Pada
hari ke-1 ikterus yang nampak pada bayi secara kasar dinilai mencapai kremer IV,
sehingga dilakukan pemeriksaan penunjang yang menghasilkan kadar bilirubin
totalnya adalah 14,6 mg/dL. Dari hasil pemeriksaan bilirubin yang didapatkan
maka dilakukan fototerapi.
Panduan fototerapi pada bayi dengan usia kehamilan 35 minggu atau lebih,
menurut American Academy of Pediatric:

Setelah dilakukan fototerapi sebanyak dua siklus terjadi penurunan kadar


bilirubin pada perawatan hari pertama, dimana didapatkan kadar Bilirubin total
12,6 mg/dL.kemudian setelah dilakukan foto terapi yang kedua dan di lakukan
pengecekan kadar bilirubin, didapatkan kadar bilirubin total 10,9 mg/dl. Pada hari
ketiga pasien diijinkan pulang.

16
Fototerapi merupakan standar untuk pengobatan hiperbilirubinemia pada

bayi. Fototerapi yang efisien secara cepat mereduksi konsentrasi bilirubin serum.

Fototerapi dapat menyebabkan terjadinya isomerasi bilirubin indirek yang mudah

larut dalam plasma dan lebih mudah di eksresikan oleh hati ke dalam saluran

empedu. Energi dari fototerapi akan mengubah senyawa bilirubin yang berbentuk

4Z-15Z menjadi senyawa bilirubin 4Z-15E bilirubin yang merupakan bentuk

isomernya yang mudah larut dalam air . indikasi fototerapi adalah untuk

menurunkan kadar bilirubin direk pada bayi dengan hiperbilirubinemia / ikterus

non fisiolgis2.

Beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam pelaksanaan terapi sinar adalah

1. Lampu yang dipakai sebaiknya tidak di gunakan lebih dari 500 jam, untuk

menghindari turunnya energi yang dihasilkan lampu.

2. Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena sinar

3. Kedua mata ditutup dengan enutup yang memantulkan cahaya

4. Letakkan bayi dibawah lampu dengan jarak 45-50 cm

5. Ubah posisi bayi tiap 3 jam

6. Pastikan kebutuhan cairan bayi terpenuhi.

7. Periksa kadar bilirubin serum tiap 6-12 jam pada bayi dengan kadar

bilirubin yang ceat meningkat, bayi kurang bulan atau bayi sakit.6;7

Kontraindikasi
Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan
kadar bilirubin direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive
jaundice7.
Penghentian terapi sinar :
Bayi cukup bulan bilirubin 12 mg/dL (205 mol/dL)

17
Bayi kurang bulan bilirubin 10 mg/dL (171 mol/dL)
Bila timbul efek samping (enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit,
gangguan minum, Bronze baby syndrome, kerusakan retina)
Pada kasus ini fototerapi dihentikan setelah dua siklus atau 2x24 jam6.

Komplikasi hiperbiliribunimea.
Komplikasi hiperbilirubinemia ada 2 yakni ensefalopati bilirubin dan kern
ikterus.

a) Ensefalopati bilirubin (EB) merupakan komplikasi ikterus neonatorum


non fisiologis sebagai akibat efek toksis bilirubin tak terkonjugasi
terhadap susunan syaraf pusat (SSP) yang dapat mengakibatkan
kematian atau apabila bertahan hidup menimbulkan gejala sisa yang
berat6.
b) Kern ikterus adalah perubahan neuropatologi yang ditandai oleh
deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama
ganglia basalis, pons dan serebelum. Kern ikterus adalah diagnosis
patologis hasil autopsipada kasusensefalopati bilirubin yang
meninggal yaitupewarnaan kuning pada struktur syaraf yang
mengenaisebagian besar jaringan otak meliputi ganglia basalis(globus
pallidus dan nukleus subthalamik), hippocampus,geniculate bodies,
nukleus syaraf cranial(vestibulokokhlearis, okulomotorius, dan
fasialis),nukleus cerebralis, serebelum6.

18
KESIMPULAN

1. Berdasarkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pasien


didiagnosis Hiperbiliribunemia patologis karena pasien mengalami kenaikan
kadar bilirubin serum lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, sehingga
mengindikasi agar segera dilakukan fototerapi.
2. Hiperbilirubinemia pada neonatus adalah peningkatan kadar bilirubin serum
pada neonatus, disebut hiperbilirubinemia jika kadar bilirubin dalam serum
>13mg/dL2.
3. Ikterus adalah pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa yang
terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah. Klinis ikterus
tampak bila kadar bilirubin dalam serum mencapai >5mg/dL 2
a. Ikterus Fisiologis
Perhatikan riwayat penyakit ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan
Awitan terjadi setelah 24 jam
Memuncak pada 3 sampai 5 hari
Menurun setelah 7 hari.
Bayi cukup bulan rata-rata memiliki kadar bilirubin serum puncak 5-6
mg/dl.
Ikterus fisiologis berlebihan ketika bilirubin serum puncak adalah 7-15
mg/dl
b. Ikterus pada Patologis
Awitan terjadi lebih dini (dalam 24 jam)
Puncak lebih lambat
Kadar puncak lebih tinggi
Memerlukan lebih banyak waktu untuk menghilang sampai dengan 2
minggu
4. Secara kasar tingkat keparahan ikterus dapat dilihat ditubuh dengan metode
kremer.
5. Komplikasi Ensefalopati bilirubin dan Kern Ikterus

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Haifa.w dkk, Ilmu Kebinanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwonono

Prawiroharjo, 2005.

2. Juffri m. Sri supar. Hanifah . dkk. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi

jilid 1. IDAI. Jakarta, 2012.

3. Pelatihan pelayanan kegawatdaruratan obstetri neonatal esensial dasar. Depkes

RI. Jakarta, 2005.

4. Sholeh K, Yunanto A, Dewi R, dkk, Buku Ajar Neonatologi edisi pertama,

IDAI, 2008.

5. Tim Ponek UKK perinatologi IDAI. Hiperbilirubinemia. Palu : Ilmu

Kesehatan Anak RSUD UNDATA, 2013.

6. Etika R, Harianto A, Indarso F, Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Surabaya.

2010.

7. Usman A. Enselopati Bilirubin. Sari pediatri. Volume 8. Number 4. Page 94-

104. 2008.

20

You might also like