Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Angka insiden di seluruh dunia sekitar 17 juta per tahun dengan 600.000
orang meninggal karena penyakit ini, World Health Organitation (WHO)
memperkirakan 70% kematian terjadi di Asia (Widoyono, 2011). Insiden demam
tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah, Asia Selatan, Asia
Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan (Insiden >100 kasus per 100.000
populasi per tahun). Insiden demam tifoid yang tergolong sedang (10-100 kasus
per 100.000 populasi per tahun) berada di wilayah Afrika, Amerika Latin, dan
Oseania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10
kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya (Widodo, 2014).
1
distribusi berdasarkan usia didapati prevalansi pada anak usia 5-14 tahun (1,9%),
usia 1-4 tahun (1,6%), usia 15-24 tahun (1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%)
(Riskesdas, 2007). Insiden demam tifoid di Indonesia dengan kultur positif
didapati pada usia 3-6 tahun (1.307 per 100000 penduduk), usia 7-19 tahun (1.172
per 100000 penduduk, dan usia 20-44 tahun (182 per 100000) (Kothari et al,
2008). Di Sumatera Utara penyakit demam tifoid menempati urutan ke 2 (10,80%)
pasien rawat inap terbanyak di rumah sakit di Sumatera Utara (Dinkesprovsu,
2008).
2
pengetahuan umum yang lebih tinggi sebesar 47% dan pada perempuan sebesar
35,2%.
3
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi peneliti
Menambah wawasan bagi peneliti tentang tingkat pengetahuan dari
demam tifoid dan menerapkan metodologi penelitian tersebut dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Bagi peneliti lain
Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang ingin mengadakan
penelitian lebih lanjut mengenai tingkat pengetahuan siswa-siswi sekolah
terhadap demam tifoid.
3. Bagi sekolah
Menjadi bahan referensi untuk sekolah khususnya di bidang ilmu biologi
untuk menjelaskan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan infeksi
melalui makanan dan minuman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1. Pengetahuan
1. Umur
Umur merupakan variabel yang selalu diperhatikan dalam penelitian-
penelitian epidemiologi yang merupakan salah satu hal yang
mempengaruhi pengetahuan. Semakin tinggi umur seseorang, maka
semakin bertambah pula ilmu atau pengetahuan yang dimiliki karena
pengetahuan seseorang diperoleh dari pengalaman sendiri maupun
pengalaman yang diperoleh dari orang lain.
2. Pendidikan
5
Pendidikan merupakan proses menumbuh kembangkan seluruh
kemampuan dan perilaku manusia melalui pengetahuan, sehingga dalam
pendidikan perlu dipertimbangkan umur dan hubungan dengan proses
belajar. Tingkat pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi persepsi seseorang atau lebih mudah menerima ide-ide dan
teknologi. Semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin
berkualitas karena pendidikan yang tinggi akan menambah pengetahuan
yang baik yang menjadikan hidup yang lebih berkualitas.
3. Paparan media massa
Melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik maka
berbagai informasi dapat diterima oleh masyarakat, sehingga seseorang
yang lebih sering terpapar media massa akan memperoleh informasi yang
lebih banyak dan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki.
4. Sosio ekonomi (pendapatan)
Dalam memenuhi kebutuhan primer, maupun sekunder keluarga, status
ekonomi yang baik akan lebih mudah tercukupi dibanding orang dengan
status ekonomi rendah, semakin tinggi status sosial ekonomi seseorang
semakin mudah dalam mendapatkan pengetahuan, sehingga menjadikan
hidup lebih berkualitas.
5. Hubungan sosial
Faktor hubungan sosial mempengaruhi kemampuan individu sebagai
komunikan untuk menerima pesan menurut model komunikasi media.
Apabila hubungan sosial seseorang dengan individu baik maka
pengetahuan yang dimiliki juga akan bertambah.
6. Pengalaman
Pengalaman adalah sumber pengetahuan atau suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan. Pengalaman seseorang individu
tentang berbagai hal biasanya diperoleh dari lingkungan kehidupan dalam
proses pengembangan misalnya sering mengikuti organisasi.
6
2.2.1. Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan
gejala demam yang lebih dari satu minggu disertai gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran (Abdoerrachman et al, 2007). Rasio penyakit
yang disebabkan oleh S. typhi dan yang disebabkan oleh S. paratyphi adalah 10:1.
Manusia adalah reservoir dan host satu-satunya terhadap penularan penyakit
demam tifoid. (WHO, 2003).
2.2.2. Etiologi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi usus yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A, B dan C (Soedarto, 2007). Demam
tifoid merupakan infeksi sistemik oleh Salmonella typhi famili dari
Enterobacteriaceae, Bakteri gram negatif bersifat motil dengan flagella peritriks
yang mempunyai ciri khas memfermentasi glukosa dan manosa tanpa
menghasilkan gas, tetapi tidak memfermentasi laktosa atau sukrosa (Brooks,
2012). Klasifikasi Salmonella terbentuk berdasarkan dasar epidemiologi, jenis
inang, reaksi biokimia, dan struktur antigen O, H, Vi:
Kuman ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu
yang sedikit lebih rendah, serta mati pada suhu 70oC ataupun oleh antiseptik
(Rampengan, 2007). Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37oC dengan PH antara
6-8, pada agar darah, koloninya besar bergaris tengah 2-3 mm, bulat agak
cembung, jernih, licin, dan tidak menyebabkan hemolisis (Depkes RI, 2006).
7
Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan oleh S. typhi
dan sisanya disebabkan oleh S. paratyphi (IDAI, 2009).
2.2.3. Epidemiologi
Insiden demam tifoid yang tinggi berkaitan dengan sanitasi yang kurang
dan tidak adanya akses ke air minum bersih. Saat ini demam tifoid banyak
ditemukan di negara sedang berkembang dengan kepadatan penduduk yang tinggi,
serta kesehatan lingkungan yang tidak memenuhi syarat (Peugues and Miller,
2013).
8
Di Amerika Serikat, sejak tahun 1900-1960, Meningkatnya sanitasi dan
keberhasilan antibiotik menurunkan insiden dari demam tifoid. Meningkatnya
kasus dari demam tifoid di Amerika Serikat disebabkan oleh perjalanan
internasional (Sattar et al, 2012). Insiden demam tifoid pada orang-orang Amerika
Serikat yang berpergian diperkirakan adalah sekitar 3-30 kasus per 100.000. Dari
1.393 kasus yang dilaporkan ke Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) pada tahun 1994-1999, 74% berkaitan dengan perjalanan ke luar negeri,
terutama ke India (30%), Pakistan (13%), Meksiko (12%), Bangladesh (8%),
Filiphina (8%), dan Haiti (5%) (Peugues and Miller, 2013).
9
dibawa ke plaque Payeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika (Widodo, 2014).
Walaupun ileum adalah daerah klasik patologi dari demam tifoid, tetapi
folikel limfoid di bagian lain dari saluran pencernaan juga dapat terkena, seperti di
jejenum dan colon ascendens. Seminggu berjalannya penyakit terjadi proses
patologis di plaque Payeri yang mencakup 4 fase yaitu terjadinya hiperplasia dari
folikel limfoid (fase satu), nekrosis pada minggu kedua yang melibatkan mukosa
dan submukosa (fase dua), ulserasi pada dinding usus yang beresiko terjadinya
perforasi dan perdarahan (fase tiga), terjadi proses penyembuhan pada minggu
keempat tanpa adanya striktur (Singh, 2001). Limfonodi mesenterika, hati dan
limpa hiperemia dan biasanya menunjukkan daerah nekrosis setempat. Hiperplasia
jaringan endotelial dengan nekrosis sel mononuklear merupakan penemuan
dominan (Behrman et al, 2012).
10
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa (Widodo, 2014). Invasi aliran darah oleh S. typhi atau
kadang-kadang oleh serotipe lain diperlukan untuk menghasilkan sindrom demam
enterik. Ukuran inokulum yang diperlukan untuk menyebabkan demam enterik
adalah 105-109 organisme S. typhi (Behrman et al, 2012). Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik (Widodo, 2014).
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk,
dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.
Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga malam
hari (Widodo, 2014). 75-85% demam muncul pada minggu pertama. Demam
dapat mencapai 103-104oF (39-40oC) biasanya bersifat remiten kemudian
menetap (Sattar et al, 2012).
11
emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman Salmonella (Rampengan,
2007).
Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat
untuk mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah
terjadinya komplikasi. Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat
penting untuk membantu mendeteksi dini penyakit ini. Pada kasus-kasus tertentu,
dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari laboratorium untuk membantu
menegakkan diagnosis (Nelwan, 2012). Diagnosis demam tifoid menurut WHO
bila pasien demam (>38C) yang telah berlangsung minimal 3 hari dengan hasil
kultur darah, bone marrow, dan cairan usus yang positif Salmonella typhi (WHO,
2003). Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah:
1. Kultur
Pada pasien yang disangka demam enterik, diagnosis pasti dapat
ditegakkan dengan mengisolasi S. typhi atau S. paratyphi dari darah,
sumsum tulang, urin dan feses. Kultur yang berasal dari darah (70%-80%
memberikan nilai positif pada minggu pertama dan 40%-50% pada
minggu kedua), kultur urin 7% positif, kultur tinja (35%-37% positif),
spesimen yang berasal dari sumsum tulang (30%-90% positif setelah
minggu pertama penyakit) (Rahman, 2010). Kultur darah adalah yang
12
paling banyak digunakan dalam mendiagnosa demam tifoid, 45% sampai
70% pasien demam tifoid dapat di diagnosa dengan kultur darah (Zhou,
2010).
2. Tes serologis
2.1 Tes Widal
Uji Widal merupakan uji aglutinasi yang menggunakan suspensi
kuman S. typhi dan S. paratyphi sebagai antigen untuk mendeteksi
adanya antibodi terhadap S. typhi atau S. paratyphi di dalam serum
penderita (Handojo, 2004). Ada dua metode dalam uji Widal yaitu
uji Widal tabung uji Widal slide (Wardhani et al, 2005). Uji Widal
harus dilaksanakan terhadap seri antigen berikut:
a. Antigen H (antigen flagela)
Dibuat dari strain S. typhi yang motil dengan permukaan
koloni yang licin. Kuman dimatikan dengan formalin 0,1%
b.Antigen O (antigen somatik)
Dibuat daari strain S. typhi yang tidak motil. Untuk
membunuh kuman dipakai alkohol absolut dan sebagai
pengawet dipakai larutan phenol 0,5%.
c. Antigen PA (paratyphi A)
Dibuat dari strain S. paratyphi A. Untuk membunuh kuman
dipakai larutan formalin 0,1%.
d.Antigen PB (paratyphi B)
Dibuat dari strain S. paratyphi B. Kuman dimatikan dengan
formalin 0,1% (Handojo, 2004).
Antibodi O muncul pada pada hari ke 6-8 dan antibodi H muncul pada hari
ke 10-12. Tes ini tidak dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis demam tifoid
bila hanya dilakukan satu kali saja. Kenaikan titer Widal pada satu seri
pemeriksaan Widal atau kenaikan titer 4 kali pada pemeriksaan selanjutnya
terutama aglutinin O atau aglutinin H diantara fase akut dan fase konvalensi
13
adalah bernilai diagnostik dimana aglutinin O lebih bernilai diagnostik daripada
aglutinin H (Wardhani et al, 2005). Sampai saat ini, tidak ada kepustakaan yang
menyebutkan nilai titer Widal yang absolut untuk memastikan demam tifoid, nilai
sensifitas, spesifitas serta ramal reaksi Widal sangat bervariasi dari satu
laboratorium dengan laboratorium lainnya (WHO, 2003; Rampengan, 2007).
Nilai rujukan (Cutt-off value) dari uji Widal untuk usia 10 tahun keatas
adalah sebagai berikut:
14
Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya
dapat dilihat pada tabel berikut.
3. Pemeriksaan rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/ul. Dapat pula terjadi kadar
leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun
tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia
ringan dan trombositopenia terutama pada demam tifoid berat. Pada
periksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi eosinofilia maupun
limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT
dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali normal setelah
15
sembuh, kenaikan SGOT dan SGPT tidak perlu penanganan khusus
(Widodo, 2014).
2.2.7. Tatalaksana
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam
dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. 90% pasien dapat
ditangani dirumah dengan antibiotik oral, perawatan yang baik, dan follow-up
untuk komplikasi atau kegagalan respon terhadap terapi yang diberikan (WHO,
2003). Yang juga tidak kalah penting adalah eradikasi total bakteri untuk
mencegah kekambuhan dan keadaan carrier (Nelwan, 2012). Menurut Widodo,
2014 penatalaksanaan demam tifoid terbagi dua:
1. Non farmakologis
- Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya ditempat
seperti: makan, minum, mandi, dan buang air besar akan membantu
dan mempercepat masa penyembuhan. Posisi pasien perlu diawasi
untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene
perorangan yang tetap perlu dijaga. Indikasi rawat inap adalah pada
demam tifoid berat di rumah sakit.
16
2. Farmakologis
- Pemberian antimikroba
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensivitas isolat S. typhi
setempat. Obat lini pertama, ampisilin, kloramfenikol dan
kotrimoksazol telah mengalami pengurangan efikasinya dan
banyak organisme yang telah resisten terhadap obat ini (Rahman,
2010). Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap
banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan
antibiotik yang akan diberikan (Nelwan, 2012). S. typhi MDR lebih
umum di negara India, Pakistan daripada di Cina dan Indonesia.
Proporsi dari strain MDR dapat berkurang seiring waktu mengikuti
perubahan dalam penggunaan antibiotik (Effa et al, 2012).
17
Soedarto, 2007). Obat Ini sudah lama digunakan dan menjadi
terapi standar demam tifoid namun kekurangan dari kloramfenikol
adalah angka kejadian kekambuhan yang tinggi (5-7%), dan toksis
pada sumsum tulang (Nelwan, 2012). Di Indonesia kloramfenikol
masih merupakan obat pilihan utama untuk mengobati demam
tifoid (Widodo, 2014). Obat ini menjadi pilihan utama karena
murah, efektif, mudah didapat, dan dapat diberikan secara oral
(Rampengan, 2013).
- Azitromsin
500mg (10mg/kgBB) Azitromisin 1 kali sehari selama 7 hari
terbukti untuk pengobatan demam tifoid pada anak dan dewasa
(WHO, 2003). Memiliki angka kesembuhan klinis lebih dari 90%
dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi pemberiannya
lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fekal carrier terjadi
pada kurang dari 4% (Nelwan, 2012).
- Fluorokuinolon
Pada orang dewasa dosis yang diberikan adalah siprofloksasin
2x500mg/hari selama 6 hari atau levofloksasin 1x500mg/hari
selama 5 hari (Widodo, 2014). Pada demam enterik dewasa,
fluorokuinolon lebih baik dibandingkan kloramfenikol untuk
mencegah kekambuhan. Namun fluorokuinolon tidak diberikan
pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan
pertumbuhan dan kerusakan sendi.
Efektivitas fluorokuinolon yang memiliki efektivitas yang baik
adalah levofloksasin dibandingkan siprofloksasin dalam hal
menurunkan demam, hasil mikrobiologi dan memiliki efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan siprofloksasin (Nelwan,
2012).
18
- Kotrimoksasol (sulfametoksasol 400mg + trimetropin 80mg)
Diberikan dengan dosis 2x2 sehari, diberikan selama 14 hari atau
sampai 7 hari sesudah bebas demam (Soedarto, 2007).
- Ampisilin
Dosis dewasa 4x500mg, dosis anak 4x50-100mg/kgBB/hari
(Soedarto, 2007).
- Tiamfenikol
Pada orang dewasa 4x500mg, dosis anak 4x50-100mg/kgbb/hari
diberikan selama 14 hari atau sampai 7 hari sesudah bebas demam
(Soedarto, 2007).
2.2.8. Komplikasi
1. Komplikasi Intestinal
- Perdarahan
Pada plaque payeri usus yang terinfeksi (terutama ileum
terminalis) dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong.
Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh
darah maka akan terjadi perdarahan.
19
- Perforasi
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Selain
gejala umum dengan tifoid yang biasa terjadi maka
penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri
perut yang hebat terutama di kuadran kanan bawah yang
kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan
tanda-tanda ileus. Bising usus melemah dan pekak hati
kadang ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen.
Diikuti tanda-tanda perforasi lainnya seperti nadi yang
cepat, tekanan darah menurun, bahkan dapat terjadi syok
pada pasien.
2. Komplikasi Ekstra-intestinal
- Komplikasi hematologi
Berupa trombositopenia, peningkatan prothrombin time,
peningkatan partial throboplastin time sampai koagulasi
intravaskular diseminata (KID).
- Hepatitis tifosa
Pembengkakan hati ringan menuju sedang dijumpai pada
50% kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai
karena S. typhi dan S. paratyphi. Pada demam tifoid
kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan
kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan
hepatitis oleh karena virus).
- Miokarditis
- Manifestasi neuropsikiatrik/Toksik tifoid (Widodo, 2014).
- Karier kronik (Rampemgan, 2007).
Tifoid karier tidak menimbulkan gejala klinis (asimtomatik)
dan 25% kasus menyangkal adanya riwayat sakit demam
tifoid akut. Pada beberapa penelitian dilaporkan pada tifoid
karier sering disertai infeksi kronis traktus urinarius serta
20
terdapat peningkatan risiko terjadinya karsinoma empedu,
kolorektal, pankreas atau jaringan lain. Peningkatan faktor
risiko tersebut berbeda bila dibandingkan dengan populasi
pada infeksi tifoid yang akut (Widodo, 2014).
2.2.9. Pencegahan
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid,
yaitu dengan mengidentifikasi dan melakukan eradikasi S. typhi baik pada kasus
demam tifoid maupun kasus karier tifoid, kedua adalah dengan melakukan
pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. typhi akut maupun kronik
karier dan yang ketiga adalah melakukan proteksi pada orang yang beresiko
terinfeksi (Widodo, 2014).
Rute transmisi yang utama dari demam tifoid adalah melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi dengan S. typhi (WHO, 2003). Perilaku
pencegahan yang dapat dilakukan adalah:
21
- Vi CPS, suatu vaksin suntik yang terdiri dari polisakarida
Vi murni dari kapsul bakteri (diberikan dalam 1 dosis,
dengan booster setiap 2 tahun). Usia minimal untuk
vaksinasi adalah 2 tahun pada anak (Peugues and Miller,
2013; Chandra, 2012; Kemenkes RI, 2011).
Berdasarkan intisari teori dan hasil penelitian yang dikemukakan pada bab
sebelumnya, maka kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai
berikut:
Jenis kelamin
Tingkat
pengetahuan
Sumber informasi
22
BAB III
METODE PENELITIAN
3.2.1. Lokasi
Waktu penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober 2015 Mei 2016 .
3.3.1. Populasi
23
3.3.2. Sampel
Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara
tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya (Sastroasmoro, 2011).
Teknik pengambilan sampel yang di gunakan pada penelitian ini adalah Stratified
random sampling, dimana jumlah sampel diambil dari siswa-siswi kelas XI IPA
yang terdiri dari 6 kelas, dibagi merata untuk setiap tingkatan secara proporsional
yaitu:
/ ( )
=
Dimana:
n= besar sampel
d= tingkat kesalahan (absolut) yang dapat ditolerir, disini
kesalahan yang dikehendaki adalah 10% = 0,1
/ = nilai baku distribusi normal pada tertentu (1,96)
P = proporsi penyakit atau keadaan yang akan dicari, proporsi
adalah 18% atau 0,18
24
1,962 0,18(1 0,18)
= = 58 orang
0,12
Berdasarkan rumus diatas, jumlah sampel (n) yang akan diteliti adalah
sebanyak 58 orang.
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dimana data
diperoleh langsung dari responden melalui angket atau kuesioner.
Data sekunder diperoleh dari data dari pihak sekolah mengenai jumlah dan
karakteristik siswa-siswi.
25
3.6. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala
Operasional ukur
1 Pengeta Segala hal Alat ukur Dengan Tingkat Ordinal
huan yang diketahui yang memberikan pengetahuan
siswa- oleh siswa- digunakan pernyataan tentang kategori baik
siswi siswi tentang adalah demam tifoid. jika menjawab
tentang demam tifoid. kuesioner 8-10 pernyataan
demam dengan dengan benar,
tifoid menggunaka cukup jika
n skala menjawab 6-7
guttman pernyataan
dengan skor dengan benar
perhitungany dan kategori
a, benar=1 kurang jika
dan salah=0. hanya dapat
menjawab 1-5
pernyataan
dengan benar.
2 Jenis Status gender Kuesioner Siswa diberi 1.Perempuan Nominal
kelamin responden pertanyaan tentang 2. Laki-laki
yang dibawa jenis kelaminnya.
sejak lahir.
3 Sumber Sumber Kuesioner Siswa diberi 1. Sekolah Nominal
informa informasi pertanyaan tentang 2. Keluarga
si tempat sumber informasi 3. Media cetak
responden yang digunakan 4. Media
mendapatkan dalam memperoleh elektronik
informasi informasi tentang
mengenai demam tifoid.
demam tifoid.
26
3.7. Alat dan Bahan Penelitian
3.7.1. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat tulis.
3.7.2. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner.
27
Skala pengukuran yang digunakan pada penelitian ini adalah
menggunakan skala Guttman, dimana skala ini hanya memiliki dua pilihan
No Pertanyaan B S
28
Adapun pengujian validitas dan realibilitas dijelaskan sebagai berikut
(Riyanto, 2011) :
kuesioner. Kuesioner dikatakan valid jika pernyataan pada angket mampu untuk
menguji validitas alat ukur terlebih dahulu dicari harga korelasi antara bagian-
bagian dari alat ukur dengan skor total yang merupakan jumlah setiap skor butir,
17.00 untuk menguji keshahihan butir. Kriteria yang digunakan untuk menguji
a. Jika rhitung > rtabel, dengan taraf signifikan = 0,05 maka pertanyaan dikatakan
valid
b. Jika rhitung < rtabel, dengan taraf signifikan = 0,05 maka pertanyaan dikatakan
tidak valid
29
Berdasarkan tabel 3.2 diatas menunjukkan bahwa seluruh pernyataan
instrumen adalah valid, hal ini dapat dilihat dari rhitung output nilai korelasi antara
tiap item dengan skor total item pada keseluruhan pernyataan lebih besar dari rtabel
dari variabel atau konstruk. Butir pertanyaan dikatakan reliable atau andal apabila
dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 17.00 dan butir pernyataan
yang sudah dinyatakan valid dalam uji validitas ditentukan reliabilitasnya dengan
b. Jika nilai Cronbachs Alpha < 0,60 maka pertanyaan tidak reliabel.
dapat dipercaya. Pengujian reliabilitas ini dilakukan dengan uji Alpha Cronbach.
Variabel dikatakan reliabel jika nilai r Alpha Cronbach > 0,6, hal ini dapat dilihat
Berdasarkan tabel 3.2 diatas dapat diketahui bahwa nilai Cronbach Alpha
dari seluruh variabel yang diujikan nilainya sudah diatas 0,6 maka dapat
disimpulkan bahwa seluruh variabel dalam penelitian ini dalam uji reliabilitas
dinyatakan reliabel.
30
3.10. Instrumen Penelitian
1. Sekolah
2. Keluarga
3. Media cetak
4. Media elektronik
3.10.3. Pengetahuan
31
3.11. Pengolahan dan Analisa Data
1. Editing
Hasil wawancara dan kuesioner dilakukan penyuntingan (editing) terlebih
dahulu. Apabila ada jawaban-jawaban yang belum lengkap, kalau
memungkinkan perlu dilakukan pengambilan data ulang untuk melengkapi
jawaban-jawaban tersebut. Tetapi apabila tidak memungkinkan, maka
pertanyaan tersebut tidak diolah atau dimasukkan dalam pengolahan data
missing.
2. Coding
Setelah semua kuesioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan
peng-kodean atau coding yakni mengubah data berbentuk kalimat atau
huruf menjadi data angka atau bilangan.
3. Memasukkan data (data entry)
Yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam bentuk
kode (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program/software
komputer.
4. Pembersihan data (Cleaning)
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai
dimasukkan, perlu di cek kembali untuk melihat kemungkinan-
kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan
sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.
32