You are on page 1of 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Demam tifoid adalah infeksi akut sistemik yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Salmonella paratyphi A, B, dan C menyebabkan kondisi klinis
yang sama seperti demam tifoid yaitu demam paratifoid. Pada area yang sangat
endemik, hampir 90% dari demam enterik adalah tifoid (Parry, 2002).

Prinsip penularan penyakit ini adalah melalui fekal-oral. Kuman berasal


dari tinja atau urin penderita atau bahkan carrier (pembawa penyakit yang tidak
sakit) yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui air dan makanan. Makanan
yang sudah dingin dan dibiarkan di tempat terbuka merupakan media
mikroorganisme yang lebih disukai (Widoyono, 2011).

Kebersihan makanan dan minuman sangat penting dalam pencegahan


demam tifoid. Merebus air minum dan makanan sampai mendidih sangat
membantu. Sanitasi lingkungan, termasuk pembuangan sampah dan imunisasi,
berguna untuk mencegah penyakit (Widoyono, 2011).

Angka insiden di seluruh dunia sekitar 17 juta per tahun dengan 600.000
orang meninggal karena penyakit ini, World Health Organitation (WHO)
memperkirakan 70% kematian terjadi di Asia (Widoyono, 2011). Insiden demam
tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah, Asia Selatan, Asia
Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan (Insiden >100 kasus per 100.000
populasi per tahun). Insiden demam tifoid yang tergolong sedang (10-100 kasus
per 100.000 populasi per tahun) berada di wilayah Afrika, Amerika Latin, dan
Oseania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10
kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya (Widodo, 2014).

Di Indonesia sendiri dilaporkan demam tifoid menempati urutan ke-3 dari


10 pola penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia
(Widodo, 2014). Di Indonesia prevalansi demam tifoid mencapai 1,6% dengan

1
distribusi berdasarkan usia didapati prevalansi pada anak usia 5-14 tahun (1,9%),
usia 1-4 tahun (1,6%), usia 15-24 tahun (1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%)
(Riskesdas, 2007). Insiden demam tifoid di Indonesia dengan kultur positif
didapati pada usia 3-6 tahun (1.307 per 100000 penduduk), usia 7-19 tahun (1.172
per 100000 penduduk, dan usia 20-44 tahun (182 per 100000) (Kothari et al,
2008). Di Sumatera Utara penyakit demam tifoid menempati urutan ke 2 (10,80%)
pasien rawat inap terbanyak di rumah sakit di Sumatera Utara (Dinkesprovsu,
2008).

Berdasarkan data-data di atas didapati bahwa tingginya prevalansi dan


insiden dari demam tifoid pada usia anak pra sekolah dan anak sekolah, dilihat
dengan insiden kejadian demam tifoid rendah pada tahun pertama kehidupan,
meningkat pada anak usia sekolah dan dewasa muda dan menurun pada usia
pertengahan (Parry, 2002). Hal tersebut berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan dan kesadaran anak sekolah bahwa membeli makanan dan minuman
yang dijual di pinggir jalan, kesadaran akan higienitas yang buruk, mengkonsumsi
es krim dan minuman dingin yang disajikan dengan kondisi yang tidak higienis
merupakan faktor resiko dari penyakit demam tifoid (Khan, 2013).

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari tentang faktor-faktor


yang berhubungan dengan kejadian demam tifoid pada 50 responden terdapat
hubungan pengetahuan dengan kejadian dari demam tifoid dengan 27 responden
(54%) menderita demam tifoid dengan pengetahuan baik dan 23 responden (46%)
menderita demam tifoid dengan pengetahuan kurang.

Menurut Bloom (1959) pengetahuan adalah hasil dari pengindraan


manusia dimana ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan
seseorang yaitu: umur, pendidikan, paparan media massa, sosio ekonomi,
hubungan sosial dan pengalaman (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan seseorang
sendiri memiliki perbedaan berdasarkan jenis kelaminnya seperti penelitian yang
dilakukan oleh Tran et al (2014) terhadap murid sekolah didapati perbedaan
pengetahuan umum antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memiliki

2
pengetahuan umum yang lebih tinggi sebesar 47% dan pada perempuan sebesar
35,2%.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Trejo tentang mekanisme


transmisi dan komplikasi dari demam tifoid pada 196 responden didapati
sebanyak 192 (98%) memiliki pengetahuan kurang tentang demam tifoid dan 4
(2%) yang memiliki pengetahuan yang baik tentang demam tifoid.

Oleh karenanya, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana gambaran


pengetahuan siswa-siswi kelas XI IPA tentang demam tifoid di SMAN 7 Medan
tahun 2016. Penelitian di SMAN 7 ini dilakukan karena berdasarkan survei awal
yang dilakukan oleh peneliti, SMA tersebut terletak jauh dari pusat kota kemudian
mudahnya akses siswa-siswi untuk membeli makanan dan minuman di luar
sekolah.

1.2. Rumusan Masalah


- Bagaimana gambaran pengetahuan siswa-siswi kelas XI IPA tentang
demam tifoid di SMAN 7 Medan tahun 2016?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum

- Mengetahui gambaran pengetahuan siswa-siswi kelas XI IPA tentang


demam tifoid di SMAN 7 Medan tahun 2016.

1.3.2. Tujuan Khusus

- Mengetahui distribusi frekuensi tingkat pengetahuan siswa-siswi Kelas XI


IPA tentang demam tifoid di SMAN 7 Medan tahun 2016.
- Untuk mengetahui distribusi frekuensi tingkat pengetahuan siswa-siswi
Kelas XI IPA tentang demam tifoid di SMAN 7 tahun 2016 berdasarkan
jenis kelamin.
- Untuk mengetahui distribusi frekuensi tingkat pengetahuan siswa-siswi
Kelas XI IPA tentang demam tifoid di SMAN 7 tahun 2016 berdasarkan
sumber informasi.

3
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi peneliti
Menambah wawasan bagi peneliti tentang tingkat pengetahuan dari
demam tifoid dan menerapkan metodologi penelitian tersebut dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Bagi peneliti lain
Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang ingin mengadakan
penelitian lebih lanjut mengenai tingkat pengetahuan siswa-siswi sekolah
terhadap demam tifoid.
3. Bagi sekolah
Menjadi bahan referensi untuk sekolah khususnya di bidang ilmu biologi
untuk menjelaskan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan infeksi
melalui makanan dan minuman.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

4
2.1. Pengetahuan

2.1.1. Definisi Pengetahuan

Menurut Bloom (1959) pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia,


atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata,
hidung, telinga, dan sebagainya) (Notoatmodjo, 2010). Dengan sendirinya pada
waktu pengindraan sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut sangat
dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.

2.1.2. Tingkat Pengetahuan

Menurut Arikunto (2006), kategori tingkat pengetahuan yaitu:

1. Tingkat pengetahuan baik bila subjek mampu menjawab dengan benar


76%-100% dari seluruh pertanyaan.
2. Tingkat pengetahuan cukup bila subjek mampu menjawab dengan benar
56%-75% dari seluruh pertanyaan.
3. Tingkat pengetahuan kurang bila subjek mampu menjawab dengan benar
< 55% dari seluruh pertanyaan.

2.1.3. Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2010)


adalah:

1. Umur
Umur merupakan variabel yang selalu diperhatikan dalam penelitian-
penelitian epidemiologi yang merupakan salah satu hal yang
mempengaruhi pengetahuan. Semakin tinggi umur seseorang, maka
semakin bertambah pula ilmu atau pengetahuan yang dimiliki karena
pengetahuan seseorang diperoleh dari pengalaman sendiri maupun
pengalaman yang diperoleh dari orang lain.
2. Pendidikan

5
Pendidikan merupakan proses menumbuh kembangkan seluruh
kemampuan dan perilaku manusia melalui pengetahuan, sehingga dalam
pendidikan perlu dipertimbangkan umur dan hubungan dengan proses
belajar. Tingkat pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi persepsi seseorang atau lebih mudah menerima ide-ide dan
teknologi. Semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin
berkualitas karena pendidikan yang tinggi akan menambah pengetahuan
yang baik yang menjadikan hidup yang lebih berkualitas.
3. Paparan media massa
Melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik maka
berbagai informasi dapat diterima oleh masyarakat, sehingga seseorang
yang lebih sering terpapar media massa akan memperoleh informasi yang
lebih banyak dan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki.
4. Sosio ekonomi (pendapatan)
Dalam memenuhi kebutuhan primer, maupun sekunder keluarga, status
ekonomi yang baik akan lebih mudah tercukupi dibanding orang dengan
status ekonomi rendah, semakin tinggi status sosial ekonomi seseorang
semakin mudah dalam mendapatkan pengetahuan, sehingga menjadikan
hidup lebih berkualitas.
5. Hubungan sosial
Faktor hubungan sosial mempengaruhi kemampuan individu sebagai
komunikan untuk menerima pesan menurut model komunikasi media.
Apabila hubungan sosial seseorang dengan individu baik maka
pengetahuan yang dimiliki juga akan bertambah.
6. Pengalaman
Pengalaman adalah sumber pengetahuan atau suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan. Pengalaman seseorang individu
tentang berbagai hal biasanya diperoleh dari lingkungan kehidupan dalam
proses pengembangan misalnya sering mengikuti organisasi.

2.2. Demam Tifoid

6
2.2.1. Definisi

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan
gejala demam yang lebih dari satu minggu disertai gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran (Abdoerrachman et al, 2007). Rasio penyakit
yang disebabkan oleh S. typhi dan yang disebabkan oleh S. paratyphi adalah 10:1.
Manusia adalah reservoir dan host satu-satunya terhadap penularan penyakit
demam tifoid. (WHO, 2003).

2.2.2. Etiologi

Demam tifoid adalah penyakit infeksi usus yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A, B dan C (Soedarto, 2007). Demam
tifoid merupakan infeksi sistemik oleh Salmonella typhi famili dari
Enterobacteriaceae, Bakteri gram negatif bersifat motil dengan flagella peritriks
yang mempunyai ciri khas memfermentasi glukosa dan manosa tanpa
menghasilkan gas, tetapi tidak memfermentasi laktosa atau sukrosa (Brooks,
2012). Klasifikasi Salmonella terbentuk berdasarkan dasar epidemiologi, jenis
inang, reaksi biokimia, dan struktur antigen O, H, Vi:

- Antigen O: merupakan bagian terluar lipopolisakarida dinding sel


dan tersusun atas unit berulang polisakarida, antigen O bersifat
resisten terhadap panas dan alkohol (Brooks, 2012).
- Antigen Vi: terletak di luar antigen O, kemunculan dari ekspresi
antigen ini dipengaruhi oleh S. typhi yang transit dari lumen
saluran pencernaan kedalam mukosa ileum (Tran et al, 2010).
- Antigen H: terletak pada flagella dan terdenaturasi atau dirusak
oleh panas atau alkohol (Brooks, 2012).

Kuman ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu
yang sedikit lebih rendah, serta mati pada suhu 70oC ataupun oleh antiseptik
(Rampengan, 2007). Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37oC dengan PH antara
6-8, pada agar darah, koloninya besar bergaris tengah 2-3 mm, bulat agak
cembung, jernih, licin, dan tidak menyebabkan hemolisis (Depkes RI, 2006).

7
Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan oleh S. typhi
dan sisanya disebabkan oleh S. paratyphi (IDAI, 2009).

2.2.3. Epidemiologi

Demam tifoid adalah penyakit yang berpotensial menyebabkan penyakit


fatal yang dapat berkembang menjadi masalah global. Di seluruh dunia terdapat
setidaknya 22 juta kasus sakit dan 200.000 kematian terjadi setiap tahunnya,
dengan insiden yang tertinggi lebih 100 kasus per 100.000 populasi, sedang
dengan 10-100 kasus per 100.000 dan insiden terendah dengan kurang dari 10
kasus per 100.000 populasi (Crump et al, 2004).

Gambar 2.1 distribusi dari penyakit demam tifoid di dunia.

Sumber: Crump et al, 2004

Insiden demam tifoid yang tinggi berkaitan dengan sanitasi yang kurang
dan tidak adanya akses ke air minum bersih. Saat ini demam tifoid banyak
ditemukan di negara sedang berkembang dengan kepadatan penduduk yang tinggi,
serta kesehatan lingkungan yang tidak memenuhi syarat (Peugues and Miller,
2013).

8
Di Amerika Serikat, sejak tahun 1900-1960, Meningkatnya sanitasi dan
keberhasilan antibiotik menurunkan insiden dari demam tifoid. Meningkatnya
kasus dari demam tifoid di Amerika Serikat disebabkan oleh perjalanan
internasional (Sattar et al, 2012). Insiden demam tifoid pada orang-orang Amerika
Serikat yang berpergian diperkirakan adalah sekitar 3-30 kasus per 100.000. Dari
1.393 kasus yang dilaporkan ke Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) pada tahun 1994-1999, 74% berkaitan dengan perjalanan ke luar negeri,
terutama ke India (30%), Pakistan (13%), Meksiko (12%), Bangladesh (8%),
Filiphina (8%), dan Haiti (5%) (Peugues and Miller, 2013).

Di Indonesia demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting


dan termasuk daerah lain di dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis
(Soedarto, 2007). Diperkirakan insidensi demam tifoid di Indonesia pada tahun
1985 terdapat 25,32% pada kelompok umur 0-4 tahun, 35,59% pada kelompok
umur 5-9 tahun dan 39,09% pada kelompok umur 10-14 tahun (Rampengan,
2007). 91% prevalansi kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, dimana
kejadian meningkat setelah umur 5 tahun (IDAI, 2009).

Demam tifoid sering dijumpai didaerah perkotaan daripada daerah


pedesaan dan banyak ditemukan pada anak serta remaja. Faktor resiko mencakup
air atau es yang tercemar, makanan dan minuman yang dibeli dari pedagang
dipinggir jalan, orang serumah yang sakit, tidak mencuci tangan dan tidak adanya
akses ke toilet yang bersih (Peugues and Miller, 2013).

2.2.4. Patologi dan Patogenesis

Masuknya kuman S. typhi dan S. Paratyphi ke dalam tubuh manusia


melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak.
Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya

9
dibawa ke plaque Payeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika (Widodo, 2014).

Walaupun ileum adalah daerah klasik patologi dari demam tifoid, tetapi
folikel limfoid di bagian lain dari saluran pencernaan juga dapat terkena, seperti di
jejenum dan colon ascendens. Seminggu berjalannya penyakit terjadi proses
patologis di plaque Payeri yang mencakup 4 fase yaitu terjadinya hiperplasia dari
folikel limfoid (fase satu), nekrosis pada minggu kedua yang melibatkan mukosa
dan submukosa (fase dua), ulserasi pada dinding usus yang beresiko terjadinya
perforasi dan perdarahan (fase tiga), terjadi proses penyembuhan pada minggu
keempat tanpa adanya striktur (Singh, 2001). Limfonodi mesenterika, hati dan
limpa hiperemia dan biasanya menunjukkan daerah nekrosis setempat. Hiperplasia
jaringan endotelial dengan nekrosis sel mononuklear merupakan penemuan
dominan (Behrman et al, 2012).

Gambar 2.2 Patogenesis penyakit demam tifoid.


Sumber: Bhasin et al, 2010

10
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa (Widodo, 2014). Invasi aliran darah oleh S. typhi atau
kadang-kadang oleh serotipe lain diperlukan untuk menghasilkan sindrom demam
enterik. Ukuran inokulum yang diperlukan untuk menyebabkan demam enterik
adalah 105-109 organisme S. typhi (Behrman et al, 2012). Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik (Widodo, 2014).

2.2.5. Gambaran Klinis

Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk,
dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.
Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga malam
hari (Widodo, 2014). 75-85% demam muncul pada minggu pertama. Demam
dapat mencapai 103-104oF (39-40oC) biasanya bersifat remiten kemudian
menetap (Sattar et al, 2012).

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,


bradikardi relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah,
tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus,
gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium, atau psikosis (Widodo,
2014). Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu
kedua. Roseola merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2-
4 mm, bewarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan

11
emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman Salmonella (Rampengan,
2007).

Pada minggu ketiga, menetapnya demam menjadi lebih toksis dan


menyebabkan pasien mengalami anoreksia dengan penurunan berat badan yang
signifikan. Pada umumnya pasien melaporkan adanya distensi abdomen dan pada
beberapa pasien mengeluhkan gejala diare dengan feses cair, bau, dan bewarna
hijau kekuningan (pea soup diarrhea). Pada minggu keempat, demam, gangguan
mental, dan distensi abdomen perlahan meningkat selama beberapa hari tetapi
komplikasi intestinal dapat muncul pada pasien yang dapat bertahan tanpa riwayat
penggunaan obat-obatan. 10% kejadian relaps pasien banyak terjadi pada minggu
2-3 stadium konvalensi (Sattar et al, 2012).

2.2.6. Diagnosis & Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat
untuk mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah
terjadinya komplikasi. Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat
penting untuk membantu mendeteksi dini penyakit ini. Pada kasus-kasus tertentu,
dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari laboratorium untuk membantu
menegakkan diagnosis (Nelwan, 2012). Diagnosis demam tifoid menurut WHO
bila pasien demam (>38C) yang telah berlangsung minimal 3 hari dengan hasil
kultur darah, bone marrow, dan cairan usus yang positif Salmonella typhi (WHO,
2003). Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah:

1. Kultur
Pada pasien yang disangka demam enterik, diagnosis pasti dapat
ditegakkan dengan mengisolasi S. typhi atau S. paratyphi dari darah,
sumsum tulang, urin dan feses. Kultur yang berasal dari darah (70%-80%
memberikan nilai positif pada minggu pertama dan 40%-50% pada
minggu kedua), kultur urin 7% positif, kultur tinja (35%-37% positif),
spesimen yang berasal dari sumsum tulang (30%-90% positif setelah
minggu pertama penyakit) (Rahman, 2010). Kultur darah adalah yang

12
paling banyak digunakan dalam mendiagnosa demam tifoid, 45% sampai
70% pasien demam tifoid dapat di diagnosa dengan kultur darah (Zhou,
2010).

2. Tes serologis
2.1 Tes Widal
Uji Widal merupakan uji aglutinasi yang menggunakan suspensi
kuman S. typhi dan S. paratyphi sebagai antigen untuk mendeteksi
adanya antibodi terhadap S. typhi atau S. paratyphi di dalam serum
penderita (Handojo, 2004). Ada dua metode dalam uji Widal yaitu
uji Widal tabung uji Widal slide (Wardhani et al, 2005). Uji Widal
harus dilaksanakan terhadap seri antigen berikut:
a. Antigen H (antigen flagela)
Dibuat dari strain S. typhi yang motil dengan permukaan
koloni yang licin. Kuman dimatikan dengan formalin 0,1%
b.Antigen O (antigen somatik)
Dibuat daari strain S. typhi yang tidak motil. Untuk
membunuh kuman dipakai alkohol absolut dan sebagai
pengawet dipakai larutan phenol 0,5%.
c. Antigen PA (paratyphi A)
Dibuat dari strain S. paratyphi A. Untuk membunuh kuman
dipakai larutan formalin 0,1%.
d.Antigen PB (paratyphi B)
Dibuat dari strain S. paratyphi B. Kuman dimatikan dengan
formalin 0,1% (Handojo, 2004).

Antibodi O muncul pada pada hari ke 6-8 dan antibodi H muncul pada hari
ke 10-12. Tes ini tidak dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis demam tifoid
bila hanya dilakukan satu kali saja. Kenaikan titer Widal pada satu seri
pemeriksaan Widal atau kenaikan titer 4 kali pada pemeriksaan selanjutnya
terutama aglutinin O atau aglutinin H diantara fase akut dan fase konvalensi

13
adalah bernilai diagnostik dimana aglutinin O lebih bernilai diagnostik daripada
aglutinin H (Wardhani et al, 2005). Sampai saat ini, tidak ada kepustakaan yang
menyebutkan nilai titer Widal yang absolut untuk memastikan demam tifoid, nilai
sensifitas, spesifitas serta ramal reaksi Widal sangat bervariasi dari satu
laboratorium dengan laboratorium lainnya (WHO, 2003; Rampengan, 2007).

Nilai rujukan (Cutt-off value) dari uji Widal untuk usia 10 tahun keatas
adalah sebagai berikut:

a. Aglutinin O; titer 1:160


b. Aglutinin H; titer 1:160
c. Aglutinin PA dan PB; titer 1:160 (Handojo, 2004)

Walaupun diketahui bahwa uji widal memiliki banyak kelemahan, tetapi


sampai saat ini uji Widal merupakan uji serologis yang paling banyak dipakai
untuk menunjang diagnosis demam tifoid di klinik. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi hasil pemeriksaan yaitu antara lain keadaan gizi saat pemeriksaan,
pengobatan antibiotika yang mendahuluinya, daerah endemis, status imunologis,
vaksinasi, penggunaan obat immunosupresif, reaksi silang, teknik pemeriksaan
(Wardhani et al, 2005).

2.2 Uji Tubex


Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat
(beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi
antibodi S. typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat
ikatan antara IgM anti O9 yang terkonjugasi pada partikel latex
yang bewarna dengan lipopolisakarida. Perlu diketahui uji Tubex
hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG
sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk
mendeteksi infeksi lampau (Widodo, 2009).

Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan campuran


yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan.

14
Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya
dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Interpretasi uji tubex


Sumber: Widodo, 2009
Skor Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan.
Ulangi pengujian, apabila masih
meragukan lakukan pengulangan
beberapa hari kemudian.
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid

2.3 Uji Typhidot


Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membran luar S. typhi. Hasil positif didapatkan 2-3
hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik
antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat 50kD, yang
terdapat pada strip nitroselulosa (Widodo, 2009).

3. Pemeriksaan rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/ul. Dapat pula terjadi kadar
leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun
tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia
ringan dan trombositopenia terutama pada demam tifoid berat. Pada
periksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi eosinofilia maupun
limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT
dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali normal setelah

15
sembuh, kenaikan SGOT dan SGPT tidak perlu penanganan khusus
(Widodo, 2014).

2.2.7. Tatalaksana

Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam
dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. 90% pasien dapat
ditangani dirumah dengan antibiotik oral, perawatan yang baik, dan follow-up
untuk komplikasi atau kegagalan respon terhadap terapi yang diberikan (WHO,
2003). Yang juga tidak kalah penting adalah eradikasi total bakteri untuk
mencegah kekambuhan dan keadaan carrier (Nelwan, 2012). Menurut Widodo,
2014 penatalaksanaan demam tifoid terbagi dua:

1. Non farmakologis
- Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya ditempat
seperti: makan, minum, mandi, dan buang air besar akan membantu
dan mempercepat masa penyembuhan. Posisi pasien perlu diawasi
untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene
perorangan yang tetap perlu dijaga. Indikasi rawat inap adalah pada
demam tifoid berat di rumah sakit.

- Diet dan terapi penunjang


Pemberian diet yang tepat dan terapi penunjang yang benar
merupakan hal yang penting dalam proses penyembuhan demam
tifoid. Pemberian bubur saring biasanya sering diberikan pada
penderita demam tifoid, bubur saring tersebut ditujukan untuk
menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi
usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus
diistirahatkan.

16
2. Farmakologis
- Pemberian antimikroba
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensivitas isolat S. typhi
setempat. Obat lini pertama, ampisilin, kloramfenikol dan
kotrimoksazol telah mengalami pengurangan efikasinya dan
banyak organisme yang telah resisten terhadap obat ini (Rahman,
2010). Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap
banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan
antibiotik yang akan diberikan (Nelwan, 2012). S. typhi MDR lebih
umum di negara India, Pakistan daripada di Cina dan Indonesia.
Proporsi dari strain MDR dapat berkurang seiring waktu mengikuti
perubahan dalam penggunaan antibiotik (Effa et al, 2012).

Gambar 2.3 Terapi antimikroba pada demam tifoid tanpa komplikasi


Sumber: WHO, 2003

Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam


tifoid adalah sebagai berikut:
- Kloramfenikol
Dosis yang diberikan pada orang dewasa 4x500mg dapat diberikan
oral atau iv; pada anak dosisnya 50-100 mg/kgbb (Widodo, 2014 &

17
Soedarto, 2007). Obat Ini sudah lama digunakan dan menjadi
terapi standar demam tifoid namun kekurangan dari kloramfenikol
adalah angka kejadian kekambuhan yang tinggi (5-7%), dan toksis
pada sumsum tulang (Nelwan, 2012). Di Indonesia kloramfenikol
masih merupakan obat pilihan utama untuk mengobati demam
tifoid (Widodo, 2014). Obat ini menjadi pilihan utama karena
murah, efektif, mudah didapat, dan dapat diberikan secara oral
(Rampengan, 2013).

- Azitromsin
500mg (10mg/kgBB) Azitromisin 1 kali sehari selama 7 hari
terbukti untuk pengobatan demam tifoid pada anak dan dewasa
(WHO, 2003). Memiliki angka kesembuhan klinis lebih dari 90%
dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi pemberiannya
lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fekal carrier terjadi
pada kurang dari 4% (Nelwan, 2012).

- Fluorokuinolon
Pada orang dewasa dosis yang diberikan adalah siprofloksasin
2x500mg/hari selama 6 hari atau levofloksasin 1x500mg/hari
selama 5 hari (Widodo, 2014). Pada demam enterik dewasa,
fluorokuinolon lebih baik dibandingkan kloramfenikol untuk
mencegah kekambuhan. Namun fluorokuinolon tidak diberikan
pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan
pertumbuhan dan kerusakan sendi.
Efektivitas fluorokuinolon yang memiliki efektivitas yang baik
adalah levofloksasin dibandingkan siprofloksasin dalam hal
menurunkan demam, hasil mikrobiologi dan memiliki efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan siprofloksasin (Nelwan,
2012).

18
- Kotrimoksasol (sulfametoksasol 400mg + trimetropin 80mg)
Diberikan dengan dosis 2x2 sehari, diberikan selama 14 hari atau
sampai 7 hari sesudah bebas demam (Soedarto, 2007).

- Ampisilin
Dosis dewasa 4x500mg, dosis anak 4x50-100mg/kgBB/hari
(Soedarto, 2007).

- Sefalosporin generasi ketiga


1. Seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4gram
dalam destrosa 100cc diberikan selama jam perinfus
sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.
2. Sefotaksim, dosis yang dianjurkan 40-80mg/kg/hari (2-4
g/hari untuk orang dewasa) dalam 2-3 dosis.
3. Sefoperazon 50-100mg/kgbb/hari (2-4g/hari untuk orang
dewasa dibagi dalam 2 dosis (WHO, 2003; Widodo, 2014).

- Tiamfenikol
Pada orang dewasa 4x500mg, dosis anak 4x50-100mg/kgbb/hari
diberikan selama 14 hari atau sampai 7 hari sesudah bebas demam
(Soedarto, 2007).

2.2.8. Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian:

1. Komplikasi Intestinal
- Perdarahan
Pada plaque payeri usus yang terinfeksi (terutama ileum
terminalis) dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong.
Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh
darah maka akan terjadi perdarahan.

19
- Perforasi
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Selain
gejala umum dengan tifoid yang biasa terjadi maka
penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri
perut yang hebat terutama di kuadran kanan bawah yang
kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan
tanda-tanda ileus. Bising usus melemah dan pekak hati
kadang ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen.
Diikuti tanda-tanda perforasi lainnya seperti nadi yang
cepat, tekanan darah menurun, bahkan dapat terjadi syok
pada pasien.

2. Komplikasi Ekstra-intestinal
- Komplikasi hematologi
Berupa trombositopenia, peningkatan prothrombin time,
peningkatan partial throboplastin time sampai koagulasi
intravaskular diseminata (KID).
- Hepatitis tifosa
Pembengkakan hati ringan menuju sedang dijumpai pada
50% kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai
karena S. typhi dan S. paratyphi. Pada demam tifoid
kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan
kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan
hepatitis oleh karena virus).
- Miokarditis
- Manifestasi neuropsikiatrik/Toksik tifoid (Widodo, 2014).
- Karier kronik (Rampemgan, 2007).
Tifoid karier tidak menimbulkan gejala klinis (asimtomatik)
dan 25% kasus menyangkal adanya riwayat sakit demam
tifoid akut. Pada beberapa penelitian dilaporkan pada tifoid
karier sering disertai infeksi kronis traktus urinarius serta

20
terdapat peningkatan risiko terjadinya karsinoma empedu,
kolorektal, pankreas atau jaringan lain. Peningkatan faktor
risiko tersebut berbeda bila dibandingkan dengan populasi
pada infeksi tifoid yang akut (Widodo, 2014).

2.2.9. Pencegahan

Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid,
yaitu dengan mengidentifikasi dan melakukan eradikasi S. typhi baik pada kasus
demam tifoid maupun kasus karier tifoid, kedua adalah dengan melakukan
pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. typhi akut maupun kronik
karier dan yang ketiga adalah melakukan proteksi pada orang yang beresiko
terinfeksi (Widodo, 2014).

Rute transmisi yang utama dari demam tifoid adalah melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi dengan S. typhi (WHO, 2003). Perilaku
pencegahan yang dapat dilakukan adalah:

1. Mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat


2. Mencuci tangan sebelum makan
3. Membuang sampah pada tempatnya
4. Pemeriksaan berkala pada tukang masak
5. Purifikasi dan klorinisasi sumber air minum
6. Arthropoda kontrol (lalat)
7. Vaksin
Tersedia dua vaksin tifoid di pasaran:
- Ty21a, suatu vaksin S. typhi dari bakteri hidup yang telah
dilemahkan (diberikan pada hari 1, 3, 5, dan 7 serta booster
setiap 5 tahun). Usia minimal untuk vaksin ini adalah 6
tahun.

21
- Vi CPS, suatu vaksin suntik yang terdiri dari polisakarida
Vi murni dari kapsul bakteri (diberikan dalam 1 dosis,
dengan booster setiap 2 tahun). Usia minimal untuk
vaksinasi adalah 2 tahun pada anak (Peugues and Miller,
2013; Chandra, 2012; Kemenkes RI, 2011).

2.3. Kerangka Konsep

Berdasarkan intisari teori dan hasil penelitian yang dikemukakan pada bab
sebelumnya, maka kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai
berikut:

Jenis kelamin

Tingkat
pengetahuan

Sumber informasi

Gambar 2.4 Kerangka konsep

22
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah


penelitian deskriptif dimana peneliti hanya melakukan deskripsi mengenai
fenomena yang ditemukan. Penelitian deskriptif ini menggunakan pendekatan
cross-sectional dimana pengukurannya hanya dilakukan satu kali, pada suatu saat
(Satroasmoro, 2011).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi

Lokasi penelitian dilakukan di SMAN 7 Medan.

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober 2015 Mei 2016 .

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah remaja.

3.3.2. Populasi Target

Seluruh remaja di kota Medan

3.3.3. Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi kelas


XI IPA SMAN 7 Medan sebanyak 238 orang.

23
3.3.2. Sampel

Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara
tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya (Sastroasmoro, 2011).
Teknik pengambilan sampel yang di gunakan pada penelitian ini adalah Stratified
random sampling, dimana jumlah sampel diambil dari siswa-siswi kelas XI IPA
yang terdiri dari 6 kelas, dibagi merata untuk setiap tingkatan secara proporsional
yaitu:

a. Siswa-siswi SMA Kelas XI IPA 1 : 1/6 x 58 = 9


b. Siswa-siswi SMA Kelas XI IPA 2 : 1/6 x 58 = 9
c. Siswa-siswi SMA Kelas XI IPA 3 : 1/6 x 58 = 9
d. Siswa-siswi SMA Kelas XI IPA 4 : 1/6 x 58 = 9
e. Siswa-siswi SMA Kelas XI IPA 5 : 1/6 x 58 = 9
f. Siswa-siswi SMA Kelas XI IPA 6 : 1/6 x 58 = 10

3.3.3. Besar Sampel

Menurut WHO di dunia diperkirakan kelompok remaja berjumlah 1,2


milyar atau 18% dari jumlah penduduk dunia (Depkes RI, 2015). Untuk itu besar
sampel pada penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus estimasi
proporsi sebagai berikut (Sastroasmoro, 2011) :

/ ( )
=

Dimana:

n= besar sampel
d= tingkat kesalahan (absolut) yang dapat ditolerir, disini
kesalahan yang dikehendaki adalah 10% = 0,1
/ = nilai baku distribusi normal pada tertentu (1,96)
P = proporsi penyakit atau keadaan yang akan dicari, proporsi
adalah 18% atau 0,18

24
1,962 0,18(1 0,18)
= = 58 orang
0,12

Berdasarkan rumus diatas, jumlah sampel (n) yang akan diteliti adalah
sebanyak 58 orang.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:

- Siswa-siswi Kelas XI IPA SMAN 7 Medan tahun ajaran 2015/2016


yang bersedia mengikuti penelitian.

3.4.2. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:

- Siswa-siswi Kelas XI IPA SMAN 7 Medan tahun ajaran 2015/2016


yang tidak hadir pada saat penelitian berlangsung.

3.5. Teknik Pengumpulan Data

3.5.1. Data Primer

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dimana data
diperoleh langsung dari responden melalui angket atau kuesioner.

3.5.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari data dari pihak sekolah mengenai jumlah dan
karakteristik siswa-siswi.

25
3.6. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala
Operasional ukur
1 Pengeta Segala hal Alat ukur Dengan Tingkat Ordinal
huan yang diketahui yang memberikan pengetahuan
siswa- oleh siswa- digunakan pernyataan tentang kategori baik
siswi siswi tentang adalah demam tifoid. jika menjawab
tentang demam tifoid. kuesioner 8-10 pernyataan
demam dengan dengan benar,
tifoid menggunaka cukup jika
n skala menjawab 6-7
guttman pernyataan
dengan skor dengan benar
perhitungany dan kategori
a, benar=1 kurang jika
dan salah=0. hanya dapat
menjawab 1-5
pernyataan
dengan benar.
2 Jenis Status gender Kuesioner Siswa diberi 1.Perempuan Nominal
kelamin responden pertanyaan tentang 2. Laki-laki
yang dibawa jenis kelaminnya.
sejak lahir.
3 Sumber Sumber Kuesioner Siswa diberi 1. Sekolah Nominal
informa informasi pertanyaan tentang 2. Keluarga
si tempat sumber informasi 3. Media cetak
responden yang digunakan 4. Media
mendapatkan dalam memperoleh elektronik
informasi informasi tentang
mengenai demam tifoid.
demam tifoid.

26
3.7. Alat dan Bahan Penelitian
3.7.1. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat tulis.
3.7.2. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner.

3.8. Cara Kerja


1. Mempersiapkan sampel sebanyak 58 orang yang diambil masing-masing
dari 5 kelas sebanyak 9 orang dan pada satu kelas sebanyak 10 orang.
2. Pengambilan sampel tersebut dilakukan dengan melakukan undian pada
nomor absen dari setiap kelas sampai jumlah sampel tercukupi.
3. Kemudian peneliti mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan
seperti alat tulis dan kuesioner.
4. Terlebih dahulu memberikan penjelasan kepada siswa-siswi tentang
tujuan dan tata cara pengisian kuesioner.
5. Dilakukan pengumpulam dari lembaran kuesioner dan pemeriksaan
ulang dari kelengkapan data dan jawaban.

3.9. Uji Validitas dan Reliabilitas

Untuk mengetahui validitas dan reliabilitas kuesioner ini dilakukan


pengujian pada 30 subjek yang memiliki karakteristik yang sama dengan
karakteristik pada penelitian ini. Pengujian kuesioner ini dilakukan di SMAN 2
Medan. Pengujian dilakukan dengan memberikan pertanyaan sesuai dengan
indikator yang terlebih dahulu ditentukan oleh peneliti.

Tabel 3.2 Indikator Kuesioner

Indikator Pertanyaan Skala Ukur

Gambaran umum demam tifoid P1-P5 Skala Guttman

Penularan demam tifoid P6 dan P7 Skala Guttman

Pencegahan demam tifoid P8-P10 Skala Guttman

27
Skala pengukuran yang digunakan pada penelitian ini adalah

menggunakan skala Guttman, dimana skala ini hanya memiliki dua pilihan

jawaban benar=1 dan salah=0. Pertanyaan-pertanyaan yang akan diberikan kepada

responden berjumlah 10 pertanyaan .

Tabel 3.3 Pertanyaan Kuesioner

No Pertanyaan B S

P1 Penyakit tifus adalah penyakit yang berhubungan dengan

kebersihan dan sanitasi lingkungan yang buruk.

P2 Penyakit tifus disebabkan oleh kuman Vibrio Cholera

P3 Beberapa gejala umum dari penyakit tifus adalah gigi

berdarah dan adanya bintik-bintik merah di kulit.

P4 Mengkonsumsi makanan dipinggir jalan yang tidak bersih


dapat menyebabkan penyakit tifus.
P5 Media yang disukai kuman tifus untuk tinggal adalah
makanan yang hangat dan terbuka .
P6 Kuman tifus masuk ke tubuh manusia melalui air dan
makanan yang terkontaminasi kuman tifus.
P7 Penyakit tifus dapat ditularkan ke orang lain dengan
bersentuhan dengan orang yang menderita tifus.
P8 Cuci tangan sebelum makan dapat mencegah penyakit tifus.

P9 Mengkonsumsi minuman yang dimasak dapat mencegah


penyakit tifus.
P10 Mengkonsumsi makanan yang dimasak dan yang masih
hangat dapat mencegah penyakit tifus.

28
Adapun pengujian validitas dan realibilitas dijelaskan sebagai berikut
(Riyanto, 2011) :

3.9.1. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur sah/valid atau tidaknya suatu

kuesioner. Kuesioner dikatakan valid jika pernyataan pada angket mampu untuk

mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh pernyataaan tersebut. Untuk

menguji validitas alat ukur terlebih dahulu dicari harga korelasi antara bagian-

bagian dari alat ukur dengan skor total yang merupakan jumlah setiap skor butir,

dimana nila rtabel = 0,361.

Pengujian validitas dilakukan dengan menggunakan program SPPS versi

17.00 untuk menguji keshahihan butir. Kriteria yang digunakan untuk menguji

keshahihan butir yaitu sebagai berikut:

a. Jika rhitung > rtabel, dengan taraf signifikan = 0,05 maka pertanyaan dikatakan

valid

b. Jika rhitung < rtabel, dengan taraf signifikan = 0,05 maka pertanyaan dikatakan

tidak valid

Tabel 3.4 Uji Validitas Instrumen

Item Pernyataan rhitung rtabel Ket


P1 0,631 0,361 Valid
P2 0,599 0,361 Valid
P3 0,473 0,361 Valid
P4 0,731 0,361 Valid
P5 0,733 0,361 Valid
P6 0,473 0,361 Valid
P7 0,471 0,361 Valid
P8 0,631 0,361 Valid
P9 0,512 0,361 Valid
P10 0,392 0,361 Valid

29
Berdasarkan tabel 3.2 diatas menunjukkan bahwa seluruh pernyataan

instrumen adalah valid, hal ini dapat dilihat dari rhitung output nilai korelasi antara

tiap item dengan skor total item pada keseluruhan pernyataan lebih besar dari rtabel

(0.361), sehingga 10 pernyataan dapat digunakan untuk penelitian.

3.9.2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas digunakan untuk suatu kuesioner yang merupakan indikator

dari variabel atau konstruk. Butir pertanyaan dikatakan reliable atau andal apabila

jawaban dari responden terhadap pertanyaan adalah konsisten. Uji reliabilitas

dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 17.00 dan butir pernyataan

yang sudah dinyatakan valid dalam uji validitas ditentukan reliabilitasnya dengan

kriteria sebagai berikut:

a. Jika nilai Cronbachs Alpha > 0,60 maka pertanyaan reliabel.

b. Jika nilai Cronbachs Alpha < 0,60 maka pertanyaan tidak reliabel.

Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana suatu instrumen

dapat dipercaya. Pengujian reliabilitas ini dilakukan dengan uji Alpha Cronbach.

Variabel dikatakan reliabel jika nilai r Alpha Cronbach > 0,6, hal ini dapat dilihat

pada tabel 3.2 berikut :

Tabel 3.5 Hasil Uji Reliabilitas

Variabel Cronbach Alpha Keterangan


Pengetahuan 0,856 Reliabel

Berdasarkan tabel 3.2 diatas dapat diketahui bahwa nilai Cronbach Alpha

dari seluruh variabel yang diujikan nilainya sudah diatas 0,6 maka dapat

disimpulkan bahwa seluruh variabel dalam penelitian ini dalam uji reliabilitas

dinyatakan reliabel.

30
3.10. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kuesioner


yang akan dijawab atau dikerjakan oleh responden yang akan diselidiki.

3.10.1. Data Demografi

Kuesioner data demografi digunakan untuk mengetahui karakteristik


responden berupa jenis kelamin (laki-laki atau perempuan).

3.10.2. Sumber Informasi

Pada kuesioner terdapat pertanyaan berupa sumber informasi yang


digunakan oleh responden dalam mengetahui informasi perihal demam tifoid,
Pengisian dilakukan dengan melingkari nomor dari pilihan yang dikehendaki.

1. Sekolah
2. Keluarga
3. Media cetak
4. Media elektronik

3.10.3. Pengetahuan

Kuesioner yang digunakan untuk mengukur pengetahuan memiliki 10


pernyataan dengan dua pilihan benar dan salah, dimana setiap jawaban yang
dijawab dengan benar memiliki bobot nilai 1 dan jawaban yang salah mendapat
bobot nilai 0.

1. Tingkat pengetahuan baik bila subjek mampu menjawab 8-10 pernyataan


dengan benar.
2. Tingkat pengetahuan cukup bila subjek mampu menjawab 6-7 pernyataan
dengan benar.
3. Tingkat pengetahuan kurang bila subjek hanya mampu menjawab 1-5
pernyataan dengan benar.

31
3.11. Pengolahan dan Analisa Data

3.11.1. Pengolahan Data

Setelah pengumpulan data selesai, menurut Notoatmodjo (2012) langkah


selanjutnya adalah pengolahan data yang melalui tahap tahap sebagai berikut:

1. Editing
Hasil wawancara dan kuesioner dilakukan penyuntingan (editing) terlebih
dahulu. Apabila ada jawaban-jawaban yang belum lengkap, kalau
memungkinkan perlu dilakukan pengambilan data ulang untuk melengkapi
jawaban-jawaban tersebut. Tetapi apabila tidak memungkinkan, maka
pertanyaan tersebut tidak diolah atau dimasukkan dalam pengolahan data
missing.
2. Coding
Setelah semua kuesioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan
peng-kodean atau coding yakni mengubah data berbentuk kalimat atau
huruf menjadi data angka atau bilangan.
3. Memasukkan data (data entry)
Yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam bentuk
kode (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program/software
komputer.
4. Pembersihan data (Cleaning)
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai
dimasukkan, perlu di cek kembali untuk melihat kemungkinan-
kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan
sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.

3.11.2. Analisa Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Univariate


yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap
variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan
distribusi frekuensi dan persentase dari setiap variabel (Notoatmodjo, 2012).

32

You might also like