Professional Documents
Culture Documents
LAPORAN INDIVIDU
CKD (CRONIC KIDNEY DISEASE) DENGAN CAPD (CONTINUOUS
AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS)
Oleh :
Aprillia Nur Aida
(0810720014)
A. Definisi
Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang
berlangsung pelahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan menetap
yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksik uremik)sehingga
ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala
sakit ( Hudak & Gallo, 1996 ).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448). Gagal ginjal kronis terjadi
dengan lambat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan
penurunan bertahap dengan fungsi ginjal dan peningkatan bertahap dalam
gejala-gejala, menyebabkan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari
3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal
kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60
ml/menit/1,73m, sebagai berikut:
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Kelainan patologik
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal
(Sumber: Chonchol, 2005)
B. Etiologi
Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber
terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.
Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik
(LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara
kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat
medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar,
2006).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-
lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum
yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan
yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan,
sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa
darahnya (Waspadji, 1996).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer,
2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar,
1998).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material
yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan
kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula.
Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang
paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian
besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal
lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono,
1998).
C. Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan
individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal
dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).
D. Klasifikasi
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui
penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk menghitung GFR
dokter akan memeriksakan sampel darah penderita ke laboratorium untuk
melihat kadar kreatinin dalam darah. Kreatinin adalah produk sisa yang
berasal dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh
ginjal yang sehat.
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance
Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
Stadium 1
Seseorang yang berada pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK)
biasanya belum merasakan gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan
pada ginjalnya. Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal
meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi 100 persen, sehingga banyak
penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium 1. Kalaupun
hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri untuk
penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
Stadium 2
Sama seperti pada stadium awal, tanda tanda seseorang berada pada
stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap
dapat berfungsi dengan baik. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat
penderita memeriksakan diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan
hipertensi.
Stadium 3
Seseorang yang menderita GGK stadium 3 mengalami penurunan GFR
moderat yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. dengan penurunan pada tingkat ini
akumulasi sisa sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang
disebut uremia. Pada stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah
tinggi (hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang. Gejala- gejala juga
terkadang mulai dirasakan seperti :
Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
Kelebihan cairan : Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal
tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal
ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian
bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak
nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur
dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan
terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah
malam.
Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada
dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal
seperti polikistik dan infeksi.
Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.
Penderita GGK stadium 3 disarankan untuk memeriksakan diri ke seorang
ahli ginjal hipertensi (nephrolog). Dokter akan memberikan rekomendasi
terbaik serta terapi terapi yang bertujuan untuk memperlambat laju
penurunan fungsi ginjal. Selain itu sangat disarankan juga untuk meminta
bantuan ahli gizi untuk mendapatkan perencanaan diet yang tepat.
Penderita GGK pada stadium ini biasanya akan diminta untuk menjaga
kecukupan protein namun tetap mewaspadai kadar fosfor yang ada dalam
makanan tersebut, karena menjaga kadar fosfor dalam darah tetap rendah
penting bagi kelangsungan fungsi ginjal. Selain itu penderita juga harus
membatasi asupan kalsium apabila kandungan dalam darah terlalu tinggi.
Tidak ada pembatasan kalium kecuali didapati kadar dalam darah diatas
normal. Membatasi karbohidrat biasanya juga dianjurkan bagi penderita
yang juga mempunyai diabetes. Mengontrol minuman diperlukan selain
pembatasan sodium untuk penderita hipertensi.
Stadium 4
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15 30 persen saja dan
apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam
waktu dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau
melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam
darah atau uremia biasanya muncul pada stadium ini. Selain itu besar
kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi),
anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit kardiovaskular
lainnya.
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah :
Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
Kelebihan cairan : Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat
ginjal tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam
tubuh. Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar
kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat
mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam
tubuh.
Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur
dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan
terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah
malam.
Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada
dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal
seperti polikistik dan infeksi.
Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.
Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang
dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.
Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi
melalui bau pernafasan yang tidak enak.
Sulit berkonsentrasi
Stadium 5 (gagal ginjal terminal)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk
bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal
(dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.
Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :
Kehilangan napsu makan
Nausea.
Sakit kepala.
Merasa lelah.
Tidak mampu berkonsentrasi.
Gatal gatal.
Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
Keram otot
Perubahan warna kulit
E. Prognosis
Pada penyakit gagal ginjal dini (mikro albuminuria)sudah mempunyai
prognostik morbiditas dan mortalitas kardio vaskuler. Dengan memberatnya
kelainan ginjal, disertai dengan penurunan fungsi ginjal, prognosis terbukti
semakin buruk,menuju gagal ginjal yang memerlukan dialisis, komplikasi
organ target yang mengurangi kualitas hidup dan meningkatkan angka
kematian ( Suhardjono, 2001 ).
F. Patofisiologi
Bagan pohon masalah terlampir
H. Pemeriksaan Penunjang
Urine
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak
keluar (anuria)
- Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus
bakteri, lemak, partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor,
kecoklatan menunjukan adanya darah, HB, mioglobin.
- Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan
kerusakan ginjal berat).
- Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan
tubular, dan rasio urine/serum sering 1:1
- Klirens keratin : Mungkin agak menurun
- Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
- Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
Darah
- BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar
kreatinin 16 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
- Hitung darah lengkap : Ht : Menurun pada adanya anemia
Hb:biasanya kurang ari 78 g/dL
- SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada
azotemia.
- GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi
karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen
dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun,
PCO2 menurun .
- Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal kehabisan Natrium atas
normal (menunjukan status dilusi hipernatremia).
- Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap
akhir, perubahan
- EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
- Magnesium/Fosfat : Meningkat
- Kalsium : Menurun
- Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat
menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan,
penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam
amino esensial.
- Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama
dengan urine.
Piolegram Intravena
- Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan
ureter.
- Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular massa.
Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung kemih,
refluks ke dalam ureter, terensi.
Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan
sel jaringan untuk diagnosis histoligis.
Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis
ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa.
Foto Kaki, Tengkorak, Kolmna Spiral dan Tangan : Dapat menunjukan
demineralisasi.
I. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
1. Hiperkalemia
2. Perikarditis
3. Hipertensi
4. Anemia
5. Penyakit tulang
(Smeltzer & Bare, 2001)
J. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik
dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus
segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20
mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
B. Tujuan CAPD
Tujuan terapi CAPD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksik serta
limbah metabolic, mengembalikan keseimbangan cairan yang normal dengan
mengeluarkan cairan yang berlebihan dan memulihkan keseimbangan elektrolit.
C. Indikasi CAPD
Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic
yang cepat (hemodinamik yang tidak stabil)
Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat penyakit diabetes
Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin
secara sistemik
Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia)
Adanya penyakit kardiovaskuler yang berat
Hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang
tidak responsive terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis
peritoneal.
D. Kontraindikasi CAPD
Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus,
nefrostomi)
Adhesi abdominal
Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainan
pada discus intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya
tekanan cairan dialisis dalam abdomen yang kontinyu
Pasien dengan imunosupresi
2. Memasukkan cairan
2 L cairan dialirkan pada kira-kira setiap 45-60 menit, biasanya hanya
memakan waktu 5 menit untuk mengalirkan. Cairan dialisat dialirkan ke dalam
rongga perut melalui kateter.
3. Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut
selama 4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter. Atau cairan ditinggal dalam
ruang peritoneum untuk kira-kira 20 menit dan kemudian 20 menit dibiarkan
untuk pengeluaran. Setelah itu, 2 L cairan lagi dialirkan. Hal ini diulang tiap
jam untuk 36 jam atau lebih lama bila perlu. Suatu catatan, keseimbangan
kumulatif dari cairan yang mengalir ke dalam dan keluar harus dilakukan
dengan dasar tiap 24 jam. Suatu kateter Tenchoff yang fleksibel dapat
dipakai juga dapat ditinggal secara permanen untuk CAPD dari penderita
yang mengalami gagal ginjal tahap akhir.
3. Kelemahan CAPD :
a) Resiko infeksi. Peritonitis merupakan komplikasi yang sering. Juga dapat
terjadi infeksi paru karena goncangan diafragma
b) Pengobatan yang tidak nayman dan penderita sebagian tidak boleh
bergerak di tempat tidur. Kateter harus diganti setiap 4-5 hari
c) Pengeluaran protein dari dialisat, sampai pada 40 gram/24 jam. Baik
subnutrisi (pengeluaran asam amino) maupun hipovolemia (pengeluaran
albumin) dapat terjadi.
d) BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al, 2005).
I. Komplikasi CAPD
Peritonitis
Komplikasi yang bisa terjadi pada pelaksanaan Dialisa Peritonial
Ambulatory Continous adalah radang selaput rongga perut atau peritonitis.
Gejala yang muncul seperti cairan menjadi keruh dan atau nyeri perut dan atau
demam. Peritonitis merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dan paling
serius. Komplikasi ini terjadi pada 60% hingga 80% pasien yang menjalani
dialysis peritoneal. Sebagian besar kejadian peritonitis disebabkan oleh
kontaminasi staphylococcus epidermis yang bersifat aksidental. Kejadian ini
mengakibatkan gejala ringan dan prognosisnya baik. Meskipun demikian,
peritonitis akibat staphylococcus aureus menghasilkan angka morbiditas yang
lebih tinggi, mempunyai prognosis yang lebih serius dan berjalan lebih lama.
Mikroorganisme gram negative dapat berasal dari dalam usus, khususnya bila
terdapat lebih dari satu macam mikroorganisme dalam cairan peritoneal dan bila
mikroorganisme tersebut bersifat anaerob. Manifestasi peritonitis mencakup
cairan drainase (effluent) dialisat yang keruh dan nyeri abdomen yang difus.
Hipotensi dan tanda-tanda syok lainnya dapat terjadi jika staphylococcus
merupakan mikroorganisme penyebab peritonitis. Pemeriksaan cairan drainase
dilakukan untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan gram, dan pemeriksaan
kultur untuk mengenali mikroorganisme serta mengarahkan terapi. Untuk
mencegah komplikasi seperti ini, sangatlah penting penderita selalu:
1. Membersihkan tangan sebelum melakukan penukaran atau menyentuh
kateter.
2. Menjaga lubang keluar kateter itu bersih dan sehat
3. Tidak mengkontaminasi peralatan yang steril (gunakan masker selama
proses penukaran cairan)
4. Carilah tempat yang bersih, nyaman dan aman sebelum melakukan
penukaran cairan dialisat tersebut
5. Jika hendak bepergian, jangan lupa mengontak 3 minggu sebelumnya
sentra-sentra dialisa di kota tujuan
Jika telah terjadi komplikasi seperti ini, biasanya dokter akan
menginstruksikan untuk menambah obat pada cairan pencuci (dialisat) tersebut.
Hal ini bisa dilakukan sendiri oleh pasien.
Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat melalui luka insisi atau luka pada pemasangan
kateter dapat segera diketahui sesudah kateter dipasang. Biasanya kebocoran
tersebut berhenti spontan jika terapi dialysis ditunda selama beberapa ahri untuk
menyembuhkan luka insisi dan tempat keluarnya kateter. Selama periode ini,
factor-faktor yang dapat memperlambat proses kesembuhan seperti aktivitas
abdomen yang tidak semestinya atau mengejan pada saat BAB harus dikurangi.
Kebocoran melalui tempat pemasangan kateter atau ke dalam dinding abdomen
dapat terjadi spontan beberapa bulan atau tahun setelah pemasangan kateter
tersebut.
Perdarahan
Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-kadang
dapat terlihat, khususnya pada pasien wanita yang sedang haid. Kejadian ini
sering dijumpai selama beberapa kali pertukaran pertama mengingat sebagian
darah akibat prosedur tersebut tetap berada dalam rongga abdomen pada
banyak kasus penyebab terjadinya perdarahan tidak ditemukan. Pergeseran
kateter dari pelvis kadang-kadang disertai dengan perdarahan. Sebagian pasien
memperlihatkan cairan drainase dialisat yang berdarah sesudah ia menjalani
pemeriksaan enema atau mengalami trauma ringan. Perdarahan selalu berhenti
setelah satu atau dua hari sehingga tidak memerlukan intervensi yang khusu.
Terapi pertukaran yang lebih sering dilakukan selama waktu ini mungkin
diperlukan untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah.
Hernia abdomen
Hernia abdomen mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdomen
yang terus menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi adalah tipe insisional,
inguinal, diafragmatik dan umbilical. Tekanan intraabdomen yang secara
persisten meningkat juga akan memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.
Hipertrigliseridemia
Hipertrigliseridemia sering dijumpai pada pasien-pasien yang menjalani
CAPD sehingga timbul kesan bahwa terapi ini mempermudah aterogenesis.
Nyeri punggung bawah dan anoreksia
Nyeri punggung bawah dan anoreksia terjadi akibat adanya cairan dalam
rongga abdomen disamping rasa manis yang selalu terasa pada indera
pengecap serta berkaitan dengan absorbsi glukosa dapat pula terjadi pada terapi
CAPD
Gangguan citra rubuh dan seksualitas
Meskipun CAPD telah memberikan kebebasan yang lenih besar untuk
mengontrol sendiri terapinya kepada pasien penyakit renal stadium terminal,
namun bentuk terapi ini bukan tanpa masalah. Pasien sering mengalami
gangguan citra tubuh dengan adanya kateter abdomen dan kantong penampung
serta selang dibadannya.
K. Pengakajian
a. Identitas klien
b. Riwayat Penyakit
c. Riwayat penyakit infeksi
d. Riwayat penykit batu/obstruksi
e. Riwayat pemakaian obat-obatan
f. Riwayat penyakit endokrin
g. Riwayat penyakit vaskuler
h. Riwayat penyakit jantung
i. Data interdialisis (klien hemodialisis rutin)
j. Data interdialisis meliputi :
Berat badan kering klien atau Dry Weight, yaitu : berat badan di mana
klien merasa enak, tidak ada udema ekstrimitas, tidak merasa melayang dan
tidak merasa sesak ataupun berat, nafsu makan baik, tidak anemis.
Berat badan interdialisis : Berat badan hemodialisis sekarang Berat
badan post hemodialisis yang lalu (Kg).
Kapan terakhir hemodialisis.
k. Keadaan umum klien
Data subjektif : lemah badan, cepat lelah, melayang.
Data objektif : nampak sakit, pucat keabu-abuan, kurus, kadang kadang
disertai edema ekstremitas, napas terengah-engah.
l. Pemeriksaan Fisik
Kepala: Retinopati, Konjunktiva anemis, Sclera ikteric dan kadang
kadang, disertai mata merah (red eye syndrome), rambut ronok, muka tampak
sembab, bau mulut amoniak
Leher: Vena jugularis meningkat/tidak, Pembesaran kelenjar/tidak,
Dada: Gerakkan napas kanan/kiri seimbang/simetris, Ronckhi
basah/kering, Edema paru,
Abdomen: Ketegangan, Ascites (perhatikan penambahan lingkar perut
pada kunjungan berikutnya), Kram perut, Mual/munta
Kulit: Gatal-gatal, Mudah sekali berdarah (easy bruishing), Kulit kering
dan bersisik, keringat dingin, lembab, perubahan turgor kulit
Ekstremitas: Kelemahan gerak, Kram, Edema (ekstremitas atas/bawah)
Ekstremitas atas : sudahkah operasi untuk akses vaskuler
System kardiovaskuler
Data subjektif : sesak napas, sembab, batuk dengan dahak/riak,
berdarah/tidak.
Data objektif : hipertensi, kardiomegali, nampak sembab dan susah
bernapas.
System pernapasan
Data subjektif : merasa susah bernapas, mudah terengah-engah saat
beraktifitas.
Data objektif : edema paru, dispnea, ortopnea, kusmaul.
Sistem pencernaan
Data subjektif napsu makan turun, mual/muntah, lidah hilang rasa,
cegukan, diare (lender darah, encer) beberapa kali sehari.
Data objektif : cegukan, melena/tidak.
Sistem Neuromuskuler
Data subjektif : tungkai lemah, parestesi, kram otot, daya konsentrasi turun,
insomnia dan gelisah, nyeri/sakit kepala.
Data objektif : neuropati perifer, asteriksis dan mioklonus, nampak
menahan nyeri.
Sistem genito urinaria
Data subjektif : libido menurun, noktoria, oliguria/anuria, infertilitas (pada
wanita).
Data objektif : edema pada system genital.
System psikososial
Integritas ego
Stressor : financial, hubungan dan komunikasi
Merasa tidak mampu dan lemah
Denial, cemas, takut, marah, mudah tersinggung
Perubahan body image
Mekanisme koping klien/keluarga kurang efektif
Pemahaman klien dan keluarga terhadap diagnosis, penyakit dan
perawatannya, kadang masih kurang.
Interaksi social
Denial, menarik diri dari lingkungan
Perubahan fungsi peran dikeluarga dan masyarakat.
L. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan CAPD
adalah:
1. Resiko tinggi kelebihan volume cairan b.d tidak adekuatnya gradient
osmotik, retensi cairan (malposisi kateter atau terlipat atau adanya bekuen,
distensi usus, peritonitis dan jaringan parut peritonium). aatau masukan peroral
berlebihan.
2. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d penggunaan dialisat
hipertonik sehingga pembuangan cairan berlebihan.
3. Resiko tinggi trauma b.d kateter dimasukkan dalam rongga peritoneal.
4. Nyeri akut b.d pemasangan kateter pada lapisan abdomen
5. Resiko tinggi infeksi (peritonitis) b.d kontaminasi kateter selama
pemasangan.
6. Pola pernapasan tidak efektif b.d penekanan pada abdomen, diafragma.
Intervensi Rasional
1. 1. Catat volume cairan yang masuk, 1. Jumlah aliran harus sama atau
keluar dan kumulasi keseimbangan caiaran. lebih dari yang dimasukkan.
Keseimbangan positif menunjukkan
kebutuhan evaluasi lebih lanjut.
2. Menimbang berat badan 2. Indikator akurat status
pasien sebelum dan sesudah keseimbangan cairan. keseimbangan
menjalani dialisat positif dengan peningkatan BB
menunjukakn retensi cairan.
Dx. 3 Resiko tinggi trauma b.d kateter dimasukkan dalam rongga peritoneal.
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam, tidak terjadi injuri pada rongga
peritoneum.
Kriteria hasil :
Tidak ada tanda-tanda terjadi injuri pada rongga peritoneum
Klien tidak mengeluh nyeri pada abdomen.
Intervensi Rasional
1. Biarkan klien mengosonkan 1. Kandung kemih kososng lebih
kandung kemih, usus untuk jauh dari tempat pemasukan kateter
menghindari penusukan organ interna dan mlam enurunkan kemungkinan
tertusuk saat pemasangan kateter.
2. Fiksasi keteter dengan plester. 2. Menurunkan resiko trauma
Tekankan pentingnya pasien dengan manipulasi kateter.
menghindari penarikan atau
pendorongan kateter.
3. Perhatikan adanya fekal dalam 3. Menduga perforasi usus
dialisat atau dorongan kuat untuk dengan percampuran dialisat dan isi
defikasi, disertai diare berat. usus.
4. Perhatikan keluhan tiba-tiba 4. Menunjukkan perforasi
ingin berkemih, atau haluaran urine kandung kemih dengan kebocoran
besar menyertai berjalannya dialysis dialista dalam kandung kemih. Adanya
awal. kandungan glukosa dalam dialisat,
akan meninggikan kadar glukosa
urine.
5. Hentikan dialysis bila terjadi 5. Tindakan cepat akan
perforasi usus/kandung kemih. mencegah cidera selanjutnya. Bedah
Biarkan kateter dialysis pada perbaikan segera dibutuhkan.
tempatnya. Membiarkan kateter pada tempatnya
memudahkan diagnosa /lokasi
perforasi.
Dx. 6 Pola pernapasan tidak efektif b.d penekanan pada abdomen, diafragma.
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi
gangguan pola napas.
Kriteria Hasil :
1. Pola napas efektif yang ditunjukkan oleh: bunyi napas jelas dan tidak ada
suara napas tambahan.
2. GDA dalam batas normal
3. tidak ada distress napas (takipnea, diaphoresis, gelisah)
Intervensi Rasional
1. Kaji frekuensi napas dan 1. Gangguan pola napas selam
kedalaman napas dialysis diduga akibat tekanan
diafragma, distensi abdomen atau
terjadinya komplikasi.
2. Auskultasi bunyi napas 2. Suara napas yang tidak normal
dapat disebabkan peningkatan caiaran
dalam paru, tertahannya sekresi atau
infeksi.
3. Tinggikan kepala tempat tidur
3. Memudahkan ekspansi dada.
dan tingkatkan latihan napas dalam
dan batuk.
Kolaborasi
4. Kaji GDA, oksimetri
4. Perubahan pada PaO2/PaCO2
dan kongesti pada hasil foto dapat
menunjukkan masalah pada paru.
5. Berikan O2 sesuai indikasi
5. Memaksimalkan oksigen untuk
penyerapan vascular, pencegahan
hiposia.
6. Berikan analgesic sesuai
6. Menghilangkan nyeri,
indikasi
pernapasan nyaman, upaya batuk
maksimal.
3.5 Pendidikan Pasien Untuk CAPD
Setelah penempatan kateter dialisis peritoneal, yang harus dilakukan perawat
antara lain:
memberikan petunjuk tentang perawatan dressing dan kapan balutan
dapat dilepas
melakukan penggantian selang kateter 4-8 minggu sekali atau maksimal
6 bulan sekali pada jenis kateter tertentu (sesuai dengan merk).
Mengajarkan klien untuk memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan
apabila:
a. Nanah atau cairan yang mengalir keluar dari situs exit.
b. Cairan dialisat yang mengalir dari abdomen terlihat pekat
c. Tidak ada cairan dialisat mengalir keluar dari perut pasien selama
pertukaran, bahkan setelah mengubah posisi dan menggunakan jarum suntik.
d. Pasien mengalami demam (suhu tubuh tinggi) atau kedinginan.
e. Pasien mengalami nyeri tumpul di perut Anda saat melakukan pertukaran
dialisis.
f. Ada benjolan baru yang telah tumbuh di perut pasien saat pasien
melakukan pertukaran CAPD.
g. Area di sekitas exit site kemerahan, meradang atau terasa sakit
Menganjurkan kepada klien agar memberi tahu apabila ada alergi terhadap
antibiotic
Memberitahu kepada klien bahwa setelah menjalani pengobatan dengan
antibiotic klien akan diminta untuk datang kembali ke unit dialysis untuk
doperiksa apakah infeksi sudah teratasi.
4. Yang perlu dilakukan apbila infeksi tidak menjadi lebih baik:
Beberapa kuman sangat sulit untuk menyingkirkan jika mereka mulai
tumbuh di sekitar situs keluar Anda.
Infeksi pada exit site dapat menimbulkan peritonitis
Apabila peritonitis terjdai maka cairan dialisi akan menjdai lebih pekat dank
lien mengalami nyeri perut maka perlu disarankan kepada klien untuk melakukan
perawatan di rumah sakit
Kateter perlu dilepas jika infeksi tetap tidak sembuh
Menyarankan kepada klien Sangat penting untuk memeriksa exit site setiap
hari terhadap terjadinya infeksi
sesegera mungkin lakukan pengobatan
5. Hal-hal yang dapat pasien lakukan untuk mengurangi resiko infeksi
peritonium:
Selalu mencuci tangan dengan baik sebelum membersihkan exit site dan
mengeringkan exit site dengan benar.
Pertahankan balutan exit site dalam keadaan kering
Bersihkan exit site setiap hari dan selalu mengecek keadaan exit site.
Rawat exit site dengan krim yang diresepkan oleh dokter
Lakukan perawatan exit site segera setelah pasien mandi.
Hindari trauma pada daerah exit site.
Berikan pakaian atau wadah khusus untuk meletakkan dan melindingi
kateter.
6. Keadaan yang mengharuskan pasien segera menghubungi tenaga medis:
Pasien mengalami kesulitan BAB dan gangguan pencernaan
Pasien mengalami sakit perut, dan Anda adalah muntah (muntah).
Sesak/kesulitan saat bernapas
Timbul lubang disekitar kateter pada perut (Reuters,2010)
Selain hal-hal yang perlu diketagui oleh perawat maupun pasien diatas, yang
paling penting pasien juga perlu diberi pengajaran untuk melaksanakan sendiri
CAPD setelah kondisinya secara medis dianggap stabil. Pelajaran dapat
diberikan secara rawat jalan atau rawat inap. Biasanya latihan CAPD
memerlukan waktu 5 hari hingga 2 minggu.
1. Program Latihan
Selama periode latihan, pasien diaajrkan tentang materi anatomi dan fisiologi
dasar ginjal, proses penyakitnya, prosedur terapi pertukaran, komplikasi yang
mungkin terjadi serta respon yang tepat terhadap komplikasi tersebut,
pemeriksaan tanda-tanda vital, perawatan kateter, teknik membasuh tangan
yang baik, dan yang paling penting adalah siapa yang harus dihubungi bila timbul
suatu masalah serta kapan menghubunginya. Karena konsekuensi peritonitis,
pasien dan keluarganya harus mandapat pelajran tentang tanda-tanda peritonitis,
tindakan preventif dan srategi penanganan dini.
2. Terapi Diet
Perawat, ahli gizi dan pekerja sosial harus menemui pasien beserta keluarga
selama periode latihan pada saat-saat tertentu sesudahnya. Informasi dan
instruksi tentang diet harus diberikan. Meskipun diet pada pasien dengan terapi
CAPD merupakan diet yang bebas, ada beberapa rekomendasi yang perlu
disampaikan. Karena protein akan hilang pada dialysis peritoneum kontinyu,
maka pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang tinggi protein
dengan gizi yang baik dan seimbang. Mereka juga dianjurkan untuk
meningktakan asupan serat setiap hari untuk membantu mencegah konstipasi
yang dapat menghambat aliran cairan dialisat kedalam atau keluar cavum
peritoneal. Pasien sering menglami pertambahan berat badan sebanyak 1,5
hingga 2,5 kg dalam waktu 1 bulan setelah CAPD dimulai, oleh sebab itu pasien
diminta untuk mengurangi asupan karbohidratnya, untuk menghindari kenaikan
berat badan yang berlebihan. Asupan natrium, kalium dan cairan sesuai dengan
yang dianjurkan.
3. Asupan Cairan
Pasien biasanya kehilangan 2 liter cairan lebih atau diatas 8 liter cairan
dialisat yang diinfuskan kedalam rongga abdomen selama periode 24 jam,
keadaan ini memungkinkan asupan cairan yang normal bahkan pada pasien
yang anefrik (pasien tanpa ginjal).