You are on page 1of 11

TUGAS PEREKONOMIAN INDONESIA 1

1. Jelaskan strategi pembangunan yang kemudian dipertegas dengan ditetapkannya sasaran dan titik
berat disetiap Repelita!
Jawab :

Sebelum orde baru strategi pembangunan di Indonesia secara teori telah diarahkan pada usaha
pencapaian laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun pada kenyataanya nampak adanya
kecenderungan lebih menitik beratkan pada tujuan-tujuan politik, dan kurang memperhatikan
pembangunan ekonomi. Sedangkan pada awal orde baru, strategi pembangunan di Indonesia lebih
diarahkan pada tindakan pembersihan dan perbaikan kondisi ekonomi yang mendasar, terutama usaha
untuk menekan laju inflasi yang sangat tinggi. Strategi-strategi tersebut kemudian dipertegas dengan
ditetapkannya sasaran-sasaran dan titik berat setiap Repelita (REPELITA atau Rencana Pembangunan
Lima Tahun adalah satuan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah orde baru di Indonesia) yakni:

o Repelita I (1 April 1969 hingga 31 Maret 1974)


Titik Berat Repelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar
keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk
Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Sasaran Repelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja,
dan kesejahteraan rohani.
Tujuan Repelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi
pembangunan dalam tahap berikutnya.
Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947
bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan
demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di
Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan
pembakaran barang-barang buatan Jepang.

o Repelita II (1 April 1974 hingga 31 Maret 1979)


Titik Berat Repelita II: Pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri yang mengolah bahan
mentah menjadi bahan baku meletakkan landasan yang kuat bagi tahap selanjutnya.
Sasaran Repelita II: Tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan
rakyat dan memperluas kesempatan kerja.
Tujuan Repelita II: Meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali dan Madura, di
antaranya melalui transmigrasi.
Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal
pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%.
Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.

o Repelita III (1 April 1979 hingga 31 Maret 1984)


Titik Berat Repelita III: Pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri
yang mengolah bahan baku menjadi barang selanjutnya. Menekankan bidang industri padat karya untuk
meningkatkan ekspor.
Pertumbuhan perekonomian periode ini dihambat oleh resesi dunia yang belum juga berakhir.
Sementara itu nampak ada kecendrungan harga minyak yang semakin menurun khususnya pada tahun-
tahun terakhir Repelita III. Menghadapi ekonomi dunia yang tidak menentu, usaha pemerintah
diarahkan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah, baik dari penggalakan ekspor mapun pajak-
pajak dalam negeri.

o Repelita IV (1 April 1984 hingga 31 Maret 1989)


Titik Berat Repelita IV: Pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju swasembada
pangan dengan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin- mesin industri sendiri, baik
industri ringan yang akan terus dikembangkan dalm repelita-repelita selanjutnya meletakkan landasan
yanag kuat bagi tahap selanjutnya.
Tujuan Repelita IV: Menciptakan lapangan kerja baru dan industri.
Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah
akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi
dapat dipertahankan.

o Repelita V (1 April 1989 hingga 31 Maret 1994)


Menekankan bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan.
Pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan dengan
menekankan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju tercapainya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis. Ketiga unsur Trilogi Pembangunan tersebut saling mengait dan perlu
dikembangkan secara selaras, terpadu, dan saling memperkuat. Tujuan dari Repelita V sesuai dengan
GBHN tahun 1988 adalah pertama, meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan seluruh
rajyat yang makin merata dan adil; kedua, meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pemangunan
berikutnya

2. Apa yang dimaksud dengan Perencanaan Pembangunan, manfaat Perencanaan Pembangunan, dan
sebutkan periode Perencanaan Pembangunan era orde baru !

o Perencanaan Pembangunan

Dilakukan pembangunan nasional pada masa orde baru dengan tujuan terciptanya masyarakat yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah
pembangunan pada segala bidang.
Pedoman pembangunan nasional adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari
kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik
dan ekonomi yang stabil.

Isi trilogi Pembangunan adalah sebagai berikut:

1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

o Pembangunan dilaksanakan dalam 2 tahap. Yaitu :

1. Jangka panjang : jangka panjang mebcakup periode 25 sampai 30 tahun.

2. Jangka pendek. : jangka pendek mancakup periode 5 tahun yang terkenal dengan sebutan pelita (
Pembangunan Lima Tahun )
Pelita yang dimaksud adalah :
Pelita I (1 April 69 31 Maret 74) : Menekankan pada pembangunan bidang pertanian.
Pelita II (1 April 74 31 Maret 79) : Tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana,
menyejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja.
Pelita III (1 April 79 31 Maret 84) : Menekankan pada Trilogi Pembangunan.
Pelita IV (1 April 84 31 Maret 89) : Menitik beratkan sektor pertanian menuju swasembada pangan
dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri.
Pelita V ( 1 April 89 31 Maret 94) : Menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri.
Pelita VI (1 April 94 31 Maret 1999) : Masih menitikberatkan pembangunan pada sektor bidang
ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas
sumber daya manusia sebagai pendukungnya.

o Manfaat Perencanaan Pembangunan

1. Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pendidikan


Pembangunan nasional tidak saja menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat, tetapi juga
menghasilkan kesejahteraan rakyat yang makin meningkat dan makin merata. Meningkatnya derajat
pendidikan dan juga kesehatan mempunyai dampak terhadap peningkatan kualitas peranan wanita
dalam pembangunan.

2. Bidang Agama
Selama ini telah berhasil diciptakan suasana kehidupan antaragama yang rukun sehingga para pemeluk
agama dapat menjalankan ibadahnya dengan tenteram, dan memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa.

3. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Meningkatnya kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam industri manufaktur, mulai dari industri
dengan teknologi sederhana sampai industri canggih seperti pesawat terbang.

4. Bidang Hukum
Dalam kaitan ini, antara lain telah ditetapkan Un dang-undang tentang KUHAP, Undang-undang tentang
Hak Cipta, Paten, dan Merek, kompilasi hukum Islam, dan lain-lain.

5. Bidang Politik, Aparatur Negara, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa


Telah dapat mewujudkan tingkat stabilitas nasional yang mantap dan dinamis sehingga memungkinkan
pelaksanaan pembangunan nasional yang menghasilkan kesejahteraan rakyat yang makin baik.
6. Bidang Pertahanan Keamanan
Pembangunan pertahanan keamanan terus dilakukan sesuai dengan Sishankamrata, dan dengan terus
memperkuat kemampuan ABRI dalam melaksanakan kedua fungsinya.

o Periode perencanaan pembangunan :


1. Sebelum orde baru
Periode 1945 1950
Periode 1951 1955
Periode 1956 1960
Periode 1961 1965

2. Setelah orde baru


Periode Repelita I : 1969/70 1973/74
Periode Repelita II : 1974/75 1978/79
Periode Repelita III : 1979/80 1983/84
Periode Repelita IV : 1984/85 1988/89
Periode Repelita V : 1989/90 1993/94

Kebijakan Pembangunan (Pelita I - Pelita VI)


REPELITA atau Rencana Pembangunan Lima Tahun adalah satuan perencanaan yang dibuat oleh
pemerintah orde baru di Indonesia.

Pelita berlangsung dari Pelita I-Pelita VI.

Pelita I (1 April 1969 31 Maret 1974)

Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde
Baru.

Tujuan Pelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi
pembangunan dalam tahap berikutnya.

Sasaran Pelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja,
dan kesejahteraan rohani.

Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar
keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk
Indonesia masih hidup dari hasil pertanian. Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari)
terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia.

Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak
melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di
Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.

Pelita II (1 April 1974 31 Maret 1979)

Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana,
mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan
ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi
kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.

Pelita III (1 April 1979 31 Maret 1984)

Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah
pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan
dan Delapan Jalur Pemerataan.Inti dari kedua pedoman tersebut

Pelita IV (1 April 1984 31 Maret 1989)

Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan
meningkatkan ondustri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada
Pelita IV antara lain swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras
sebanyak 25,8 ton. Hasil- nya Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan
penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan
prestasi besar bagi Indonesia. Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan
Rumah untuk keluarga.

Pelita V (1 April 1989 31 Maret 1994)

Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapakan
swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor.
Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan
pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di harapkan akan mulai
memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi
menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Pelita VI (1 April 1994 31 Maret 1999)

Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan
pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis
moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan
peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.

PELITA VII

Dalam Repelita VII, pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk ditargetkan di atas 7
persen dan 1,4 persen rata-rata per tahun. Dengan kedua sasaran ini, pendapatan per kapita pada
akhir Repelita VII diharapkan dapat mencapai sekitar US$ 1.400 (berdasarkan US$ 1993), atau
sekitar US$ 2.000 pada harga yang berlaku. Pada saat itu ekonomi Indonesia telah dapat digolongkan ke
dalam negara industri baru.
Sektor industri akan merupakan penggerak perekonomian. Sektor industri juga makin
diandalkan sebagai penyerap tenaga kerja, secara bertahap menggantikan peran sektor pertanian.
Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan cukup tinggi tersebut, diupayakan makin
bersumber pada sumber daya manusia yaitu dari peningkatan produktivitas dan efisiensi, di samping
pemanfaatan pertumbuhan tenaga kerja dan modal.
Peningkatan produktivitas dan efisiensi erat kaitannya dengan peningkatan kualitas sumber
daya manusia yang tercermin antara lain pada peningkatan keterampilan, kreativitas, kemampuan
teknologi, dan kemampuan manajemen serta kepimpinan yang efektif dan tepat di samping
penyempurnaan dan pembaharuan kelembagaan.
Unsur yang teramat penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia ini adalah
pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja.
Di bidang pendidikan, program yang utama adalah Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan
Tahun yang dimulai sejak awal Repelita VI dan diharapkan sudah tuntas pada akhir Repelita VII,
selambat- lambatnya pada Repelita VIII.
Mutu pendidikan juga terus meningkat dan pendidikan sudah harus mengarah dan tanggap
terhadap kebutuhan dunia usaha setempat.
Pada akhir PJP II, seluruh angkatan kerja sudah berpendidikan sekurang-kurangnya 9 tahun
dan sebagian besar sudah berpendidikan sekurang-kurangnya 12 tahun. Angkatan kerja sarjana akan
semakin banyak. Tingkat keterampilan sudah makin tinggi sehingga produktivitas tenaga kerja tidak
akan berbeda jauh dari negara-negara yang saat ini termasuk kelompok industri baru.
Sasaran di bidang kesehatan adalah mengupayakan peningkatan pelayanan kesehatan dan
perbaikan gizi masyarakat sehingga dapat menaikkan usia harapan hidup menjadi 66,3 pada akhir
Repelita VII dan 70,6 tahun pada akhir PJP II dari 62,7 tahun pada akhir PJP I. Tingkat kematian
bayi per seribu kelahiran menjadi 43 pada akhir Repelita VII dan 26 pada akhir PJP II.
Seiring dengan proses transformasi produksi, struktur tenaga kerja akan berubah sangat
cepat yaitu dari tenaga kerja sektor pertanian ke sektor industri dan sektor jasa. Pada akhir Repelita
VII tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertanian akan turun menjadi sekitar 39 persen dan
sisanya di luar sektor pertanian. Sedangkan pada akhir PJP II, tenaga kerja yang bekerja pada sektor
pertanian diharapkan hanya tinggal sekitar 27 28 persen dan sisanya di luar sektor pertanian. Hal ini
dimungkinkan dengan meningkatnya kemampuan tenaga kerja baik secara profesional maupun
kualifikasi teknisnya. Proses ini akan mendorong terbentuknya kelas menengah yang makin kuat dan
akan menjadi tulang punggung perekonomian yang handal.
Dalam PJP II, lapisan usaha menengah makin kuat yang akan saling mendukung dengan
lapisan usaha kecil yang kukuh, dan dengan usaha besar yang diharapkan juga makin luas basisnya.
Di samping itu untuk mendukung kegiatan perekonomian, pembangunan di bidang prasarana
di dalam PJP II juga akan ditingkatkan melalui pembangunan prasarana dan sarana ekonomi berupa
listrik, jalan, telepon, air, dan pelabuhan. Tersedianya berbagai prasarana ini secara memadai tidak
saja akan mendukung kegiatan produksi tetapi juga memperlancar arus distribusi sehingga dapat
menekan biaya-biaya ekonomi. Peranan swasta dalam penyediaan prasarana akan makin membesar
terutama di daerah-daerah yang kelayakan ekonominya memungkinkan inves tasi swasta. Dengan
demikian investasi pemerintah di bidang prasarana akan makin diarahkan untuk wilayah atau
kawasan yang tertinggal dan untuk mendukung pemberdayaan masyarakat miskin.
Pembangunan nasional tidak saja mengejar pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, namun
lebih luas lagi yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta stabilitas yang mantap dan
dinamis. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya akan bermakna kalau disertai peningkatan nyata
dalam kesejahteraan rakyat yang makin adil dan merata.
Masalah kemiskinan absolut diharapkan sebagian besar sudah teratasi pada akhir Repelita
VII dan sisanya yang terdapat di kantung-kantung kemiskinan harus diupayakan berakhir tuntas
sebelum PJP II berakhir. Dengan demikian upaya pemerataan pembangunan akan merupakan pekerjaan
besar dalam PJP II.
Kesenjangan pembangunan antardaerah secara sistematis dan konsisten akan terus
dikurangi. Meskipun dalam 25 tahun mendatang kesenjangan ini belum dapat dihilangkan sama
sekali, yang dapat diupayakan adalah mencegah agar jurang kesenjangan tidak makin melebar.
Sehubungan itu, kawasan terbelakang akan memperoleh perhatian khusus agar dapat melepaskan diri
dari perangkap keterbelakangan dan dapat turut maju sebagaimana kawasan lainnya yang telah lebih
dahulu berkembang.
Kualitas demokrasi pada akhir PJP II akan makin meningkat sebagai hasil dari peningkatan
kualitas lembaga-lembaga sosial politik dan pelakunya. Kehidupan yang makin transparan diharapkan
tidak saja terlihat dalam bidang ekonomi namun juga dalam kehidupan masyarakat pada umumnya
termasuk di bidang politik.
III. Tantangan-Tantangan Pembangunan
Untuk mencapai sasaran pembangunan dan wujud masa depan bangsa Indonesia dalam PJP
II dan Repelita VII seperti pokok-pokoknya diuraikan di atas bukanlah pekerjaan yang mudah.
Banyak tantangan pembangunan harus dihadapi bangsa Indonesia. Tantangan-tantangan tersebut
dapat berasal dari luar atau dari dalam dan dapat bersumber dari faktor ekonomi, sosial, budaya, dan
politik.
Dalam Repelita VII mendatang, Indonesia akan memasuki abad ke-21 dimana globalisasi dan
proses perubahan akan berlangsung sangat cepat. Dalam era tersebut persaingan antarbangsa akan
menjadi makin ketat sehingga peningkatan daya saing merupakan suatu keharusan.
Persiapan sejak dini perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. Segala modal yang telah
dimiliki, tantangan, peluang, dan kendala harus dapat diidentifikasi secara cermat dan terperinci
sehingga strategi dan langkah-langkah kebijaksanaan yang harus dilakukan akan dapat dirumuskan
sebaik-baiknya.
Tantangan yang pertama adalah di bidang ekonomi sehubungan dengan proses globalisasi.
Kurun waktu Repelita VII akan bersamaan dengan diberlakukannya kawasan perdagangan bebas
ASEAN (AFTA) pada tahun 2003. Pada tahun 2020, dua tahun setelah berakhirnya PJP II, Kawasan
Bebas Perdagangan Asia Pasifik juga akan berlaku.
Ekonomi Indonesia akan makin terintegrasi ke dalam ekonomi ASEAN dan Asia Pasifik
dalam jangka panjang. Dengan ditiadakannya perlindungan oleh setiap negara, persaingan dalam
kawasan ini akan makin keras. Untuk itu efisiensi ekonomi dan produktivitas tenaga kerja perlu
ditingkatkan. Terlebih lagi karena persaingan yang akan terjadi terutama adalah antarunit produksi.
Untuk meningkatkan efisiensi perekonomian nasional, perlu dilanjutkan upaya deregulasi dan
debirokratisasi dalam rangka penyempurnaan lembaga-lembaga ekonomi kita. Dalam kaitan ini,
berbagai pungutan yang tidak mempunyai dasar jelas dan akan meningkatkan biaya ekonomi harus
ditiadakan.
Produktivitas tenaga kerja sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Pada saat
ini kualitas SDM yang kita miliki masih berada di bawah negara-negara tetangga yang telah lebih dulu
maju. Dengan demikian upaya mengejar ketertinggalan dalam pengembangan sumber daya manusia
juga merupakan tantangan agar dapat menciptakan manusia yang produktif dan berdaya saing tinggi.
Tantangan yang kedua adalah pengangguran dan lapangan kerja. Masalah pengangguran dan
masalah penyediaan lapangan kerja tetap akan dihadapi dalam kurun pembangunan yang akan datang
dengan permasalahan yang lebih kompleks dibandingkan dengan Repelita-repelita sebelumnya.
Walaupun laju pertumbuhan penduduk Indonesia sudah menurun, namun karena
penduduknya besar maka secara absolut tambahan penduduk setiap tahunnya masih besar dan ini
akan berpengaruh terhadap jumlah angkatan kerja. Misalnya dalam tahun 1995 jumlah pengangguran
terbuka telah meningkat menjadi 5,9 juta orang atau 7,0 persen dari angkatan kerja, dari 2,3 juta
orang atau 3,2 persen pada tahun 1990, walaupun pertumbuhan penduduk menurun dari 1,66 persen
pada tahun 1990 menjadi 1,60 persen pada tahun 1995. Sedangkan pengangguran terselubung pada
periode 1990 1995 diperkirakan sekitar 36 persen dari angkatan kerja.
Sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, maka harapan tenaga kerja
terhadap pekerjaan yang diinginkan akan semakin tinggi. Ini mendorong angkatan kerja untuk
menunggu jenis pekerjaan yang sesuai dengan taraf pendidikannya dan secara absolut ini akan
mendorong meningkatnya pengangguran bagi angkatan kerja yang berpendidikan baik SLTA
maupun Universitas. Pada tahun 1990, jumlah pengangguran yang termasuk dalam kelompok ini
adalah sebesar 117,4 ribu orang dan meningkat menjadi 404,6 ribu orang pada tahun 1995 atau dari
5,01 persen menjadi 6,85 persen dari pencari kerja.
Selain itu, transformasi ekonomi akan mengakibatkan terjadinya pergeseran angkatan kerja
dari sektor yang mempunyai upah yang rendah ke sektor yang mempunyai upah yang lebih tinggi.
Salah satu akibatnya adalah adanya urbanisasi yang semakin besar dari angkatan kerja yang ada di
perdesaan ke kota-kota besar. Berarti akan ada tantangan untuk penataan wilayah perkotaan, baik
secara fisik maupun dari segi ekonomi dan sosial.
Tantangan yang berikutnya adalah masalah kemiskinan. Meskipun jumlahnya terus
berkurang, namun laju penurunan penduduk miskin semakin rendah dan lokasinya makin terpusat
pada kantung-kantung kemiskinan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masalah kemiskinan secara
mendasar masih merupakan tantangan yang harus dipecahkan. Masalah kemiskinan ini kita harapkan
sudah dapat dituntaskan dalam Repelita VII.
Dalam Repelita VII, bangsa Indonesia sudah memasuki jaman dunia baru yang ditandai
dengan keterbukaan dan persaingan yang peluangnya belum tentu dapat dimanfaatkan dengan baik
oleh golongan ekonomi lemah. Dalam keadaan demikian, besar sekali kemungkinan makin
melebarnya kesenjangan.
Oleh karena itu, apabila untuk menegakkan prinsip-prinsip ekonomi pasar dan
menggerakkan kegiatan ekonomi diperlukan deregulasi, maka untuk mengatasi kesenjangan
diperlukan intervensi, yakni melindungi dan memberikan kesempatan bagi yang lemah untuk tumbuh.
Erat kaitannya dengan masalah kesenjangan adalah masalah kesempatan berusaha. Kegiatan
usaha di Indonesia sebagian besar didominasi oleh pengusaha besar yang jumlahnya sedikit dengan
asset yang besar, sedangkan pengusaha kecil yang jumlahnya sangat besar hanya memiliki asset
dalam jumlah yang kecil. Sementara itu, lapisan pengusaha menengah belum berkembang secara
sehat dan mantap (Data BPS: dalam tahun 1993, jumlah industri kecil yaitu dengan jumlah tenaga
kerja di bawah 20 orang sebanyak 2,5 juta pengusaha atau 99,27 persen dengan nilai tambah bruto
sekitar Rp 4,0 triliun atau 7,48 persen. Sedangkan industri besar dan sedang berjumlah 18,2 ribu
pengusaha atau 0,73 persen dengan nilai tambah bruto sebesar Rp 49,8 triliun atau 92,52 persen dari
total nilai tambah bruto).
Struktur dunia usaha yang demikian tidak kukuh, di samping tidak mencerminkan cita-cita
demokrasi ekonomi seperti yang diamanatkan oleh konstitusi. Oleh karena itu sejalan dengan upaya
deregulasi dan terbukanya pasar secara luas, harus dikembangkan langkah-langkah membangun
usaha menengah dan kecil termasuk koperasi sehingga menjadi kuat. Dalam rangka itu, kemitraan
perlu terus ditingkatkan dan diupayakan agar menjadi pola dalam kehidupan ekonomi kita.
Mewujudkan hal ini merupakan tantangan yang tidak mudah, tetapi mutlak harus dilakukan.
Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan akan sulit untuk dicapai tanpa
dukungan stabilitas nasional yang mantap dan dinamis. Hal-hal yang dengan susah payah dibangun
melalui pertumbuhan dan pemerataan dapat dengan mudah hancur karena gangguan stabilitas.
Dalam rangka stabilitas nasional salah satu sisinya adalah stabilitas ekonomi makro. Laju
inflasi harus senantiasa diusahakan cukup rendah dan neraca pembayaran harus terpelihara dengan
aman. Oleh karena itu, memelihara stabilitas ekonomi tetap merupakan tantangan pembangunan di
masa depan.
Erat kaitannya dengan stabilitas ekonomi adalah stabilitas politik. Dalam Repelita VII,
suasana kehidupan politik nasional akan semakin diwarnai oleh upaya untuk lebih meningkatkan
kualitas berdemokrasi, iklim keterbukaan, partisipasi kearah perbaikan dan pembaharuan, serta
kesadaran akan kemajemukan.
Dengan demikian menjaga stabilitas politik merupakan pekerjaan yang rumit dan
memerlukan pendekatan-pendekatan yang canggih. Oleh karena itu, merupakan tantangan pula
untuk tetap memelihara persatuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa, mengembangkan dan
memantapkan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
diselenggarakan secara sehat, dinamis, kreatif, dan efektif.
IV. Kesimpulan : Agenda Pembangunan
Dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut perlu dipikirkan langkah-langkah yang harus
diambil di masa depan, atau dengan kata lain diperlukan suatu agenda pembangunan.
Tantangan globalisasi adalah tantangan utama dalam Repelita VII. Untuk itu dalam bidang
ekonomi perlu terus diupayakan penyerasian strategi ekonomi Indonesia dengan keadaan yang
sedang berkembang agar bangsa Indonesia diuntungkan. Kuncinya dari segi ekonomi tidak lain
adalah membangun daya saing dan memeliharanya agar berkesinambungan.
Daya saing tidak dapat lagi semata-mata ditentukan oleh upah buruh yang rendah dan
sumber daya alam yang berlebih akan tetapi lebih ditentukan oleh penguasaan informasi, teknologi,
dan keahlian manajerial.
Ini berarti peningkatan kualitas sumber daya manusia harus diprioritaskan dan ini terkait
dengan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang kesemuanya akan bermuara pada peningkatan produktivitas tenaga kerja.
Dunia usaha akan pertama kali bertarung di pasar bebas. Walaupun disadari bahwa struktur
dunia usaha telah kelihatan semakin maju terutama pada usaha-usaha berskala besar, namun struktur
lapisan usaha nasional masih belum mantap dan kukuh. Hal ini terutama berkaitan dengan lapisan
ekonomi usaha skala kecil (ekonomi rakyat) yang jumlahnya banyak tetapi memiliki aset produktif
yang sangat terbatas.
Selama ini saja, lapisan usaha skala kecil sudah jauh tertinggal. Apalagi harus dihadapkan
pada persaingan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi dari luar. Lapisan ekonomi menengah juga
belum berkembang sebagaimana layaknya, yaitu menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Sehubungan itu, segenap kekuatan dan sumber daya yang dimiliki oleh negara harus
ditujukan kearah membangun pertumbuhan yang serasi dengan pemerataan dan keadilan.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi baik makro, sektoral, maupun regional harus secara terpadu
mengupayakan agar ekonomi usaha skala kecil dapat secepatnya bangkit dan menjadi kukuh dan
mantap.
Berkaitan dengan pengembangan usaha skala kecil, di samping melalui upaya tersebut di
atas, juga diperlukan upaya- upaya yang spesif ik. Upaya tersebut harus diarahkan langsung pada
akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat melalui upaya-upaya pemberdayaan.
Upaya khusus tersebut antara lain adalah: menciptakan suasana atau iklim yang

memungkinkan potensi masyarakat berkembang; memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh
masyarakat; dan melindungi yang lemah sebagai akibat kekurangberdayaan dalam menghadapi yang
kuat.
Peningkatan keuntungan bagi dunia usaha tidak saja melalui kemampuan produksi namun
juga kemampuan pemasaran. Dari pengalaman negara-negara yang sudah maju dan yang baru masuk
dalam tahapan industri dapat ditarik pelajaran bahwa kemampuan berproduksi harus merupakan
gerakan terpadu dengan kemampuan menembus pasar.
Oleh karena itu, sasaran pembangunan pada akhir PJP II tidak saja menjadikan bangsa
Indonesia menjadi bangsa industri yang kuat tapi juga menjadikan Indonesia menjadi bangsa niaga.
Bangsa yang kuat harus dapat memanfaatkan semua potensi yang dimilikinya, yaitu potensi
yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Oleh karena itu, pembangunan daerah yang merata,
bukan hanya mutlak untuk memenuhi rasa keadilan, tetapi juga merupakan kebutuhan untuk
menunjang pembangunan yang berkesinambungan berlandaskan kemandirian.
Kemajuan dan kemandirian yang menjadi sasaran pembangunan bangsa Indonesia selain
merupakan ukuran kemampuan adalah juga sikap budaya. Globalisasi akan mempengaruhi sistim nilai
yang membentuk budaya bangsa. Materi sebagai ukuran keberhasilan dan sikap individualisme yang
hidup dikalangan masyarakat barat dapat pula merasuk pula ke dalam budaya kita. Demikian pula
nilai-nilai moral yang berbeda dapat menimbulkan benturan-benturan budaya. Oleh karena itu
memperkuat ketahanan budaya harus menjadi agenda pembangunan yang pokok pula. Maka masalah
budaya menduduki tempat yang tidak kalah pentingnya dibanding dengan semua bidang lainnya
dalam seluruh konsep pembangunan bangsa kita, bahkan adalah yang paling mendasar. Kalau kita
berbicara mengenai budaya, ia tidak hanya menyangkut aspek-aspek sosial, tetapi juga budaya
ekonomi dan budaya politik.
Apabila berbagai langkah seperti diuraikan di atas berhasil kita laksanakan, maka Insya Allah
bangsa Indonesia akan berjalan dengan mantap menuju cita-citanya yaitu bangsa yang maju,
mandiri,sejahtera, dan berkeadilan.

You might also like