You are on page 1of 59

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan pembangunan kesehatan yang telah tercantum pada sistem kesehatan

Nasional adalah suatu upaya penyelenggaraan kesehatan yang dilaksanakan oleh

bangsa Indonesia guna mendapatkan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap

masyarakat agar mewujudkan derajat kesehatan yang optimal yang mana telah

dikatakan bahwa derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor

yaitu lingkungan, pelayanan kesehatan, tindakan serta bawaan (Alfrida, 2003).

Hidup sehat merupakan hak yang dimilki oleh setiap manusia yang ada didunia

ini, akan tetapi diperlukan berbagai cara untuk mendapatkannya (Dep.kes. RI,

2007). Sebagai upaya untuk mewujudkan visi Indonesia sehat 2010, pemerintah

telah menyusun berbagai program pembangunan dan pemeliharan dalam bidang

kesehatan antara lain kegiatan pemberantasan Penyakit Menular (P2M) baik yang

bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif disemua aspek lingkungan

kegiatan pelayanan kesehatan (Dep.Kes.RI,2002). Sekarang ini Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak pada

anak di negara berkembang seperti halnya di Indonesia (WHO, 2003).

ISPA sendiri sempat dijuluki sebagai pembunuh utama kematian bayi serta

balita di Indonesia. Hal tersebut merujuk pada hasil Konferensi Internasional

mengenai ISPA di Canberra, Australia pada Juli 1997, yang menemukan empat
juta bayi dan balita di negara negara berkembang meninggal tiap tahun karena

ISPA. ISPA mengakibatkan 150 ribu bayi atau balita meninggal tiap tahunnya,

atau 12.500 korban per bulan, atau 416 kasus sehari, atau 17 anak per jam, atau

seorang bayi tiap lima menit (Silalahi, 2010). ISPA diklasifikasikan dalam 3

tingkat keparahan yaitu : ISPA ringan, ISPA sedang, ISPA berat. Klasifikasi ini

menggabungkan antara penyakit infeksi akut paru, infeksi akut ringan dan

tenggorokan pada anak dalam satu kesatuan. Dalam periode praimplementasi telah

dilaksanakan 2 kali lokakarya ISPA Nasional, yaitu tahun 1984 dan tahun 1988

(Dep.Kes. RI, 2002).

ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana

kesehatan. Sebanyak 40 - 60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15 - 30%

kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan

oleh ISPA (Dirjen P2MPLP RI, 2001). Dari seluruh kematian yang disebabkan

oleh ISPA mencakup 20-30%. Sekarang kematian yang terbesar umumnya adalah

karena pneumonia pada bayi berumur kurang dari 2 bulan (Rasmaliah, 2004).

Berdasarkan laporan tahunan Dinas Kesehatan daerah istimewa yogyakartaISPA

merupakan penyakit paling banyak diderita masyarakat ( Dinkes DIY, 2005).

Secara umum terdapat tiga faktor risiko terjadinya ISPA, yaitu faktor

lingkungan, faktor individu anak serta faktor perilaku. Faktor lingkungan meliputi:

pencemaran udara dalam rumah (asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan

bakar untuk memasak dengan konsentrasi yang tinggi) yang sangat berbahaya bagi

kesehatan, ventilasi rumah dan kepadatan hunian (lajamudi, 2006). Faktor individu
anak meliputi: umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan status

imunisasi. Faktor perilaku meliputi perilaku pencegahan dan penanggulangan

ISPA pada bayi atau peran aktif keluarga/masyarakat dalam menangani penyakit

ISPA (Dewi, 1995). Berdasarkan tiga faktor risiko tersebut, salah satunya adalah

faktor lingkungan yang dapat disebabkan dari pencemaran udara dalam rumah

seperti asap rokok (Dep.Kes. RI, 2002).

Kebiasaan kepala keluarga yang merokok di dalam rumah dapat berdampak

negatif bagi anggota keluarga lain khususnya anggota keluaraga yang memiliki

balita. Di Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok aktif sekitar 27,6%

dengan jumlah 65 juta perokok atau 225 miliar batang per tahun (WHO, 2008).

Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta mengatakan, ada sekitar 53 persen

rumah tangga di Yogyakarta yang di dalamnya terdapat perokok minimal satu

orang (Choirul Anwar 2008). Menurut penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, pada sejumlah kampung di Kota

Yogyakarta diketahui bahwa 53 % rumah tangga memiliki anggota keluarga yang

merokok dengan jumlah rokok rata-rata 10 batang per hari, dan empat batang

diantaranya dihisap di rumah sehingga 89 % balita dan perempuan menjadi

perokok pasif, tidak hanya itu asap rokok yang dibuang di dalam rumah akan

tersebar selama empat hingga enam jam dalam ruangan, Partikel - partikel rokok

akan menempel di dinding, karpet, dan mainan anak-anak (Retna Siwi Patmawati.

2010). Mereka beranggapan merokok merupakan salah satu kebiasaan yang lazim

ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Gaya hidup atau life style ini menarik
sebagai suatu masalah kesehatan, minimal dianggap sebagai faktor resiko dari

berbagai macam Penyakit (Tandra, H. 2000). Mungkin Masyarakat sudah mengerti

bahayanya, kerena dalam setiap bungkus rokok ada peringatan merokok dapat

menyebapkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan

janin (Adningsih. 2003). Hasil survei Yayasan Indonesia Sehat menyebutkan

risiko kematian populasi balita dari keluarga perokok berkisar antara 14% untuk

daerah perkotaan dan 24% untuk pedesaan. Berdasarkan data Perilaku Hidup

Sehat dan Bersih (PHBS) tahun 2009 diketahui bahwa jumlah perokok dalam

setiap desa menempati peringkat pertama dan kedua setelah ASI eksklusif dan

aktifitas fisik (Asmih. 2003).

Pada setiap desa hampir terdapat balita yang berisiko terpapar asap rokok

cukup tinggi. Sekarang ini makin banyak diketahui bahwa merokok tidak hanya

berpengaruh terhadap orang yang menghisapnya, tetapi juga mempengaruhi semua

orang yang berada di sekitarnya (leman, 2002). Termasuk anggota keluarga

trutama balita yang kebetulan berada di dekatnya. Jadi bila suami anda atau setiap

orang yang tinggal di rumah anda merokok, tubuh balita anda akan mendapat

pengotoran oleh asap tembakau hampir sebanyak pengotoran yang ia dapat jika

anda sendiri yang menghisapnya. Bahan kimia yang keluar dari asap bakaran

ujung rokok kadarnya lebih tinggi dari pada yang dihisap perokoknya. Semakin

dekat jarak perokok dengan perokok pasif, akan semakin besar bahayanya

(Mukono. 1997).

Hukum islam bagi penjual rokok berdasarkan dari Al Quran beberapa ulama islam

mengatakan haram, Alloh SWT berfirman dalam surat (QS. an-Nisaa`:5)


Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurnaakalnya,

harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok

kehidupan .

Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah subhanahu wa taala

melarang kita memberikan harta kepada sufaha (bentuk jamak dari safih: orang -

orang yang belum sempurna akalnya), karena dia akan mempergunakan harta

kepada yang tidak berguna. Dan Allah SWT menjelaskan bahwa harta ini sebagai

pokok kehidupan bagi manusia untuk kepentingan agama dan dunia mereka. Dan

menggunakannya untuk merokok tidak termasuk untuk kepentingan agama dan

tidak pula untuk dunia. Maka penggunaannya dalam hal itu bertentangan untuk

sesuatu yang Allah SWT jadikan untuk hamba-hambaNya.

Firman Alloh SWT yang menjadi acuan ulam-ulama islam tentang haram

merokok. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah

Maha Penyayang kepadamu. (QS. an-Nisaa`:29). Sisi pengambilan dalilnya adalah

bahwa sudah terbukti secara medis bahwa mengisap rokok merupakan salah satu

penyebab penyakit kronis yang membawa kepada kematian, seperti kanker, maka

pengisap rokok telah mendatangi penyebab kematiannya.

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan, diketahui kejadian

ISPA merupakan kejadian yang banyak diderita masyarakat Tlogo, khususnya

balita berdasarkan data dari Puskesmas kasihan 1 yang merupakan wilayah kerja

dari dusun Tlogo Yogyakarta, dan berdasarkan Kepala Dinas Kesehatan Kota

Yogyakarta mengatakan, ada sekitar 53 persen rumah tangga di Yogyakarta yang


di dalamnya terdapat perokok (Choirul Anwar 2008). Berdasarkan uraian di atas,

maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang kebiasaan orang tua

meroko dengan kejadian ISPA pada balita di dusun Tlogo Yogyakarta.

B.Perumusan masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

Bagaimana Hubungan Orangtua Merokok dengan kejadian ISPA pada Anak

Balita di Dusun Tlogo Yogyakarta

C.Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara orang tua merokok dengan

kejadian ISPA pada Anak Balita di Dusun Tlogo Yogyakarta.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui seberapa besar kejadian ispa di dusun Tlogo.

b. Mengetahui gambaran jenis kelamin balita yang mendeita ISPA di dusun

Tlogo.

c. Mengetahui gambaran usia balita yang menderita ISPA di dusun Tlogo.

d. Mengetahui hubungan antara jenis rokok yang dihisap dengan orangtua

dengan kejadian ISPA pada balita.

e. Mengetahui hubungan antara jumlah rokok yang dihisap dengan kejadian

ISPA pada balita.


D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah dan memperkaya kepustakaan dan bahan informasi

mengenai hubungan orangtua merokok dengan kejadian ISPA pada

balita, yang selanjutnya dapat dikembangkan oleh peneliti lain.

b. Sebagain bahan tambahan literatur tentang hubungan orangtua

merokok dengan kejadian ISPA pada balita.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi masyarakat Dusun Tlogo Yogyakarta diharapkan dapat

memberikan wawasan kepada masyarakat Dusun Tlogo tentang

bahaya merokok yang dapat berdampak negatif bagi balita, diri

sendiri dan juga orang lain.

b. Bagi Petugas kesehatan sebagai bahan informasi dan refrensi

mengenai hubungan merokok dengan kejadian ISPA.

E. Keaslian Penelitian

Keaslian penelitian ini dapat diketahui dari penelitian terdahulu yang

berhubungan dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dengan penelitian

yang dilakukan oleh peneliti sekarang, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh

Muluki, M (2003), Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Hasanuddin dengan judul Analisis Faktor Risiko yang

Berhubungan dengan Terjadinya Penyakit ISPA di Puskesmas Palanro Kecamatan

Mallusetasi Kabupaten Barru Tahun 2002-2003. Pada penelitian ini menitik


beratkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian ISPA pada

anak bayi dan balita. menggunakan jenis Cross Sectional dengan sistem Random

Sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 6 faktor risiko yang diteliti,

terdapat 4 variabel yang bermakna dan dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada

anak bayi dan balita yaitu status gizi, kebiasaan merokok, status imunisasi, umur.

Perbedaan penelitian ini dengan yang akan dilakukan penulis terdapat pada

variabel, dan penulis lebih menitibertkan pada kebiasaan merakok orang tua

terhadap kejadian ISPA pada balita dan Jenis penelitian yang dilakukan peneliti

menggunakan survai Analitik, pengambilan sampel dilakukan secara Porporsive

Sampling.

Penelitian yang dilakukan oleh Yuswianto (2007) yang berjudul Model

Terjadinya Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita dari

Keluarga Berpenghasilan Rendah di Pemukiman Padat Perkotaan: suatu kajian

analisis epidemiologi pada masyarakat Madura dan Jawa di Kecamatan Semampir

kota Surabaya adalah bertujuan untuk mengembangkan model terjadinya penyakit

ISPA pada balita dari keluarga berpenghasilan rendah bertempat tinggal di

pemukimanpadat perkotaan untuk dijadikan pertimbangan melakukan intervensi.

Kesimpulan: Terjadinya ISPA pada balita secara langsung dipengaruhi oleh faktor

kondisi udara dalam rumah, mikroorganisme dalam rumah, perilaku kesehatan,

dan keadaan balita. Sedangkan faktor sosial ekonomi, kepadatan penghuni rumah,

dan kualitas bangunan rumah berpengaruh secara tidak langsung dan faktor yang

dominan adalah mikroorganisme dalam rumah. Perbedaan dengan penelitian yang

dilakukan penulis, bahwa penekanannya pada faktor merokok dapt mnyebabkan


ISPA. Perbedaan penelitian ini dengan yang akan dilakukan penulis terdapat pada

variabelnya.

Richard D. Semba dkk American Journal of Public Health, Oktober 2008

(We examined the relationship between paternal smoking and child mortality).

Kami menguji hubungan antara merokok ayah dan kematian anak. Diantara 361

021 keluarga pedesaan dan perkotaan di Indonesia, merokok ayah dikaitkan

dengan kematian bayi meningkat (pedesaan, rasio odds [OR] = 1,30, 95%

confidence interval [CI] = 1,24, 1,35, perkotaan, OR = 1,10, 95% CI = 1,01, 1,20),

dan di bawah-5 kematian anak (pedesaan, OR = 1,32, 95% CI = 1,26, 1,37,

perkotaan, OR = 1,14, 95% CI = 1,05, 1,23).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar teori

1. Infeksi saluran pernafasan akut

ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut, istilah

ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections

(Tuminah, S. 1999). Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian

dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli

(saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga

tengah dan pleura (WHO, 2003).

Istilah ISPA mengandung tiga unsur, yaitu infeksi, saluran pernapasan dan akut

seperti dalam penjelasan berikut:

a. Infeksi adalah masuknya bibit kuman atau mikroorganisme kedalam

tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan respon

tubuh dengan gejala gejala penyakit.

b. Saluran pernapasan adalah organ yang dimulai dari hidung hingga

alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah,

dan pleura. Dengan demikian ISPA secara anatomis mencakup saluran

pernapasan bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah (termasuk

jaringan paru-paru), dan organ adneksa saluran pernapasan.

c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.


Batas ini diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk

beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini

dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Ditjen PPM dan PLP Depkes RI,

2000).

Etiologi ISPA terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia.

Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah Genus Streptokokus, Stafilokkokus,

Pnemokokus, Hemofillus, Bordetella, dan Koneabakterium. Virus penyebab

ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus,

Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus (Erlien, 2008).

Kebanyakan infeksi saluran pernafasan (ISPA) disebabkan oleh virus seperti

virus sinsisial pernafasan (VSP), virus parainfluenza, adenovirus, rhinovirus,

dan koronavirus, koksaki virus A dan B dan mikoplasma (Alvin, 2000).

Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) juga bisa disebabkan karena faktor

kelelahan,daya tahan tubuh lemah, populasi udara, asap kendaraan dan

pembakaran hutan setelah pergantian musim (Hatta, M. 2001).

Berdasarkan P2 ISPA Mengklasifikasi ISPA sebagai berikut :

a. Pneumonia berat : ditandai secara klinis oleh adanya tarikan

dinding dada kedalam (chest indrawing) pada saaat bernapas.

b. Pneumonia : ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.

c. Bukan pneumonia : ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa

disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas

cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan

pneumonia (Erlien, 2008).


Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium dapat dibuat suatu

klasifikasi penyakit ISPA. Klasifikasi ini dibedakan untuk golongan umur

dibawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun. Untuk

golongan umur kurang 2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu :

Pneumonia berat : diisolasi dari cacing tanah oleh Ruiz dan kuat

dinding pada bagian bawah atau napas cepat. Batas napas cepat

untuk golongan sumur kurang 2 bulan yaitu 60 kali per menit atau

lebih.

Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda

tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas cepat.

Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun ada 5 klasifikasi penyakit yaitu

Penomonia Sangat Berat: Bila di sertai batuk atau kesulitan

bernapas

Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan

dinding dada bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik

napas (pada saat diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tidak

menangis atau meronta).

Pneumonia : bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah

untuk usia 2 - 12 bulan adalah 50 kali per menit atau lebih dan

untuk usia 1 - 4 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih.

Bukan pneumonia : batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan

dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat.


Pnemonia persisten: Pnemonia tetap sakit walu sudah di obati

selama 10 - 14 hari disertai penarikan dinding dada frekuensi

pernapasan yang tinggi (WHO, 2003).

Penularan bibit penyakit ISPA dapat terjadi dari penderita penyakit ISPA

dan carrier yang disebut juga reservoir bibit penyakit yang ditularkan kepda

orang lain melalui kontak langsung atau melalui benda-benda yang telah

tercemar bibit penyakit termasuk udara, Penularan melalui udara di masudkan

adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun

dengan benda yang terkontaminasi dan tidak jarang penyakit yang sebagian

ilmu besar penularanya adalh karena menghisap udara yang mengandung

penyebap atau mikroorganisme tempat kuman berada (reservoir), (Iwansain,

2007).

ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, cipratan bersin, udara

pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran

pernapasannya (Erlien, 2008). Pada umumnya suatu penyakit saluran

pernapasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan.

Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila

semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin

meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan

penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi,

maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang

sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan

pernapasan (Rasmaliah, 2004).


Tanda-tanda bahaya ISPA dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan

tanda-tanda laboratoris.

Tanda-tanda klinis, yaitu :

a. Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur

(apnea), retraksi dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis,

suara napas lemah atau hilang, grunting expiratoir dan wheezing.

b. Pada sistem cardial adalah: tachycardia, bradycardiam,

hypertensi, hypotensi dan cardiac arrest.

c. Pada sistem cerebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit

kepala, bingung, papil bendung, kejang dan coma.

d. Pada hal umum adalah : letih, pucat dan berkeringat banyak.

Tanda-tanda laboratoris, yaitu :

a. Hypoxemia.

b. Hypercapnia.

c. Acydosis (metabolik dan atau respiratorik), (Rosmalia, 2004).

Tanda dan gejala berdasarkan derajat keparahan penyakit dapat dibagi tiga

tingkat:

a. ISPA Ringan

Adapun tanda dan gejala ISPA ringan antara lain adalah:

1) Batuk.

2) Pilek (keluar ingus dari hidung).

3) Serak (bersuara parau pada waktu menangis atau berbicara).


4) Demam (panas).

b. ISPA Sedang

Tanda dan gejala ISPA sedang antara lain:

1) Pernapasan yang cepat (lebih dari 50 x/menit).

2) Wheezing (napas menciut-ciut).

3) Panas 38oC atau lebih.

4) Sakit telinga atau keluar cairan.

5) Bercak-bercak menyerupai campak.

c. ISPA Berat

Tanda dan gejala ISPA berat antara lain:

1) Chest indrawng (pernafasan dada kedalam).

2) Stridor (pernafasan ngorok)

3) Tidak mau makan.

4) Sianosis (kulit kebiru-biruan).

5) Nafas cuping hidung.

6) Kejang.

7) Dehidrasi.

8) Kesadaran menurun (Depkes RI, 2001).

Terjadinya infeksi saluran pernafasan akut pada anak dapat di pengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain :

a. Faktor agent atau disebut pula faktor penyebab penyakit dimana faktor

ini yang menyebabkan adanya penyakit.

b. Faktor host dalam hal ini manusia sebagai objek dari penyakit.
c. Faktor lingkungan dimana lingkungan sebagai medianya (Noor, 2008).

Faktor-faktor yang menyebabkan kejadian ISPA pada anak antara lain :

a. Usia / Umur

Infeksi saluran pernapasan yang sering mengenai anak usia

dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa

penelitian menunjukan bahwa anak pada usia muda akan lebih sering

menderita ISPA dari pada usia yang lebih lanjut. Infeksi saluran

pernafasan akut (ISPA) banyak menyerang balita batasan 0-5 tahun,

sebagian besar kematian Balita di Indonesia karena ISPA. Balita

merupakan faktor resiko yang meningkatkan morbidibitas dan

mortalitas infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), Khususnya

pnemonia karena pada usia balita daya tahan tubuh mereka belum

terlalu kuat (Santoso, 2002).

b. Jenis kelamin

Meskipun secara keseluruhan di negara yang sedang berkembang

seperti indonesia masalah ini tidak terlalu diperhatikan, namun banyak

penelitian yang menunjukan terjadinya perbedaan prevalensi penyakit

ISPA terhadap jenis kelamin tertentu.(Andi N, 2000)

c. Status Gizi

Setatus gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan

nutrisi untuk anak yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi

badan anak. Status gizi juga didefinisikan sebagai status kesehatan

yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan


nutriaen. Penelitian status gizi merupakan pengukuran yang didasarkan

pada dayta antropometri serta biokimia dan riwayat diit (Beck, 2000).

Dengan makanan bergizi, tubuh manusia tumbuh dan dipelihara.

Semua organ tubuh dapat berfungsi dengan baik. Bagian tubuh yang

rusak diganti. Kulit dan rambut terus berganti, sel tubuh terus

bertumbuh. Sel-sel tubuh memasak dan mengolah zat makanan yang

masak agar zat makanan dapat dipakai untuk pekerjaan tubuh

(Nadesul, 2001).

d. Status Imunisasi

Pemberian imunisasi adalah suatu cara dengan sengaja

memberikan kekebalan terhadap penyakit secara aktif sehingga anak

dapat terhindar dari suatu penyakit. Oleh sebab itu anak yang tidak

mendapat imunisasi lengkap akan lebih berisiko terkena ISPA

dibandingkan dengan anak yang mendapat imunisasi lengkap (Nelson,

1996). Tercapainya imunisasi dasar secara lengkap pada bayi (0-11

bulan), ibu hamil, wanita usia subur dan anak sekolah tingkat dasar.

Imunisasi dasar lengkap pada bayi meliputi: 1 dosis BCG, 3 dosis

DPT, 4 dosis Polio, 4 dosis Hepatitis B, 1 dosis Campak. Pada ibu

hamil dan wanita usia subur meliputi 2 dosis TT. Untuk anak sekolah

tingkat dasar rneliputi 1 dosis DT, I dosis campak dan 2 dosis TT

(Depkes, 2009).

e. Faktor Lingkungan
Pencemaran udara di dalam rumah selain berasal dari luar

ruangan dapat pula berasal dari sumber polutan di dalam rumah

terutama aktivitas penghuninya antara lain, penggunaan biomassa

untuk memasak maupun pemanas ruangan, asap dari sumber

penerangan yang menggunakan bahan bakar, asap rokok, penggunaan

obat anti nyamuk, pelarut organik yang mudah menguap (formaldehid)

yang banyak dipakai pada peralatan perabot rumah tangga dan

sebagainya (Mukono, 1997).

1) Kepadatan Hunian

Jumlah orang yang tinggal dalam satu rumah harus

disesuaikan dengan luas lantai rumah tersebut. Hal

tersebut bertujuan agar tidak terjadi overload penghuni

dalam rumah. Kepadatan hunian yang tidak memenuhi

syarat dapat menyebabkan berkurangnya konsumsi

oksigen bagi seseorang dan apabila salah satu anggota

keluarga terjangkit suatu penyakit maka transmisi

penyakit ke anggota yang lain dapat lebih mudah terjadi

(Suryo, 2010). Kepadatan hunian rumah yang sehat

menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/

Menkes / SK / VII / 1999 tentang persyaratan

kesehatan rumah, ruangan tidur minimal luasnya 8 m2

dan tidak digunakan lebih dari 2 orang kecuali anak

dibawah umur 5 tahun.


2) Tingkat Kelembaban

Kelembaban adalah tingkat kadar kandungan uap air

pada udara. Jumlah uap air dalam udara dipengaruhi

oleh cuaca dan suhu lingkungan (Gertrudis, 2010, dalam

Fillacano, 2013). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan

RI Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011 menyebutkan

bahwa tingkat kelembaban rumah sehat yaitu berkisar

antara 40-60 % Rh. Apabila kelembaban udara kurang

dari 40%, maka dapat dilakukan upaya penyehatan

dengan menggunakan alat untuk meningkatkan

kelembaban (misal : humidifier), membuka jendela

rumah, menambah jumlah dan luas jendela rumah.

Namun apabila kelembaban udara lebih dari 60%, maka

dapat dilakukan upaya penyehatan dengan memasang

humidifier dan memasang genteng kaca.

3) Luas Ventilasi Rumah

Ventilasi adalah suatu lubang udara di dalam rumah

yang berfungsi untuk perputaran udara keluar masuk

ruangan, sehingga terjadi perputaran udara secara bebas

(KBBI, 2014). kurangnya ventilasi dapat meyebabkan

peningkatan kelembaban lingkungan yang nantinya

akan meningkatkan pertumbuhan bakteri di dalam

ruangan yang tentunya tidak sehat bagi anggota


keluarga (Suryo, 2010). Luas ventilasi dalam rumah

sangat penting supaya fungsi ventilasi dapat dicapai

secara maksimal. Peraturan Menteri Kesehatan RI

Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011 tentang pedoman

penyehatan udara dalam ruang rumah menyebutkan

bahwa luas ventilasi rumah yang sehat yaitu minimal

10% luas lantai

f. Status Sosial dan Ekonomi

Penelitian yang sudah dilakukan oleh Prietsch, et al (2008)

menyebutkan bahwa status sosial ekonomi yang menjadi faktor resiko

terhadap kejadian ISPA pada balita yaitu tingkat pendidikan orang tua

dan pendapatan keluarga setiap bulannya.

1) Tingkat Pendidikan Orang Tua

Pendidikan yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku

seseorang atau kelompok orang dalam usaha untuk

mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan

pelatihan. Pendidikan baik formal maupun informal

meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan

manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia

tempat mereka hidup (Tim Pengembang Ilmu

Pendidikan FIP-UPU, 2007). Tingkat menurut KBBI

(2014) berarti jenjang. Jadi tingkat pendidikan berarti


jenjang pendidikan yang telah dilalui seseorang melalui

upaya pengajaran dan pelatihan

2) Pendapatan Keluarga

Keluarga dengan pendapatan rendah, yang berhubungan

dengan rendahnya status sosial ekonomi, biasanya

berbanding lurus dengan rendahnya tingkat pendidikan,

kemiskinan, dan rendahnya status kesehatan. Kondisi

tersebut tentunya akan mempengaruhi kehidupan setiap

anggota keluarga termasuk didalamnya balita yang

masih menggantungkan kehidupan kepada orang tua

mereka (American Psychological Association,2014).

3) Pekerjaan

Pekerjaan disini dapat mempengaruhi tingkat

pengetahun informasi yang lebih bnyak dari pada

seseorang yang tidak bekerja,salah satunya dalam

bidang kesehatan seseorang yang bekerja akan memiliki

pengalam yang lebih banyak(suyono,2010).

. g. Faktor Perilaku

Terdapat faktor perilaku yang dapat meningkatkan kejadian

ISPA pada balita, yaitu perilaku merokokorang tua. Rokok merupakan

salah satu hasil dari produk industri dan komoditi internasional yang

mengandung kurang lebih 1500 bahan kimia. Beberapa unsur


kimiawi yang terdapat pada rokok yaitu tar, nikotin, benzopyrin,

metil-kloride, aseton, amonia, dan karbon monoksida (Bustan, 2007).

Terdapat dua jenis perokok, yaitu perokok aktif dan perokok pasif.

Perokok aktif adalah seseorang yang melakukan aktivitas merokok,

sedangkan perokok pasif adalah seseorang yang tidak merokok

namun secara tidak sengaja mengisap asap rokok dari orang lain

(Romy Rafael, 2006). Berikut ini perilaku merokok :

1) Jumlah anggota keluarga yang merokok

Polusi udara di dalam rumah bisa berasal dari asap hasil

pembakaran bahan bakar dan asap rokok. Penelitian

yang dilakukan oleh Irva et al (2007) menyebutkan

bahwa setelah melakukan penyesuain terhadap musim,

temperatur, dan variabel lainnya, angka bronkhitis

meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi

polusi udara. Peningkatan polusi udara dapat meningkat

seiring dengan peningkatan sumber polusi udara

tersebut. Imran Lubis (1991) dalam Kusumawati (2010)

menyebutkan bahwa semakin tinggi jumlah perokok

dalam rumah dan jumlah rokok yang dihisap

berhubungan dengan Infeksi Saluran Pernafasan Akut

(ISPA) yang diderita oleh balita.

2) Jumlah rokok yang dihisap setiap hari


Smet (1994) dalam Hasnida (2005) mengklasifikasikan

perokok menjadi tiga tipe berdasarkan jumlah rokok

yang dihisap setiap harinya. Tiga tipe tersebut adalah :

perokok berat apabila menghisap lebih dari 15 batang

rokok dalam sehari, perokok sedang apabila menghisap

5-14 rokok dalam sehari, dan perokok ringan apabila

menghisap 1-4 rokok dalam sehari.

3) Kebiasaan merokok di dalam atau diluar rumah

Penelitian yang dilakukan oleh Sugihartono dan

Nurjazuli (2012) mengelompokkan perilaku merokok

berdasarkan area merokok, yakni di dalam atau di luar

rumah. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa

dari 87 responden yang merokok, 79 responden

merokok di dalam rumah. Penelitian ini menunjukkan

bahwa terjadi hubungan yang signifikan antara perilaku

merokok anggota keluarga yang dilakukan di dalam

rumah dengan kejadian pneumonia balita dengan nilai

OR 5,743.

Secara umum efek pencemaran udara terhadap saluran pernapasan dapat

menyebabkan terjadinya:

a. Iritasi pada saluran pernapasan, hal ini dapat menyebabkan pergerakan

silia menjadi lambat, atau bahkan bias berhenti sehingga mekanisme

pembersihan saluran pernapasan menjadi terganggu.


b. Peningkatan produksi lendir akibat iritasi bahan pencemar.

c. Produksi lendir dapat menyebapkan penyempitan saluran pernapasan.

d. Rusaknya sel pembunuh bakteri saluran pernapasan.

e. Pembengkakan saluran pernapasan dan merangsang pertumbuhan sel

sehingga saluran pernapasan menjadi menyempit.

f. Lepasnya silia dan lapisan sel selaput lendir.

Akibat hal tersebut di atas maka menyebabkan kesulitan bernapas,

sehingga benda asing termasuk Mikroorganisme tidak dapat dikeluarkan dari

saluran pernapasan dan hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran

pernapasan (Soewasti, 2000). Asap rokok dalam rumah juga merupakan

penyebab utama terjadinya pencemaran udara dalam ruangan. Hasil penelitian

menyebutkan bahwa asap rokok dari orang yang merokok dalam rumah serta

pemakaian obat nyamuk bakar juga merupakan resiko yang bermakna

terhadap terjadinya penyakit ISPA. (Charles. 1996)

Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak, karena

sistem pertahanan tubuh anak masih rendah. Kejadian psenyakit batuk pilek

pada balita di Indonesia diperkirakan 3 sampai 6 kali per tahun, yang berarti

seorang balita rata-rata mendapat serangan batuk pilek sebanyak 3 sampai 6

kali setahun (Depkes RI, 2001).

World health organization (WHO) memperkirakan insidens infeksi

saluran pernapasan akut (ispa) di negara berkembang dengan angka kematian

balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada

golongan usia balita. Menurut WHO 13 juta anak balita di dunia meninggal
setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara

berkembang, dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama

kematian dengan membunuh 4 juta anak balita setiap tahun (depkes, 2000).

Di indonesia, infeksi saluran pernapasan akut (ispa) selalu menempati urutan

pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ispa

juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei

mortalitas yang dilakukan oleh subdit ispa tahun 2005 menempatkan

ispa/pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di indonesia dengan

persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (depkes, 2008).

Penyakit ispa juga merupakan masalah kesehatan utama di jawa

tengah. Penyakit pneumonia adalah penyebab nomor satu (15,7%) dari

penyebab kematian balita di rumah sakit (profil kesehatan jawa tengah, 2001).

Pada tahun 2006, cakupan penemuan pneumonia balita di jawa tengah

mencapai 26,62%. Angka tersebut mengalami penurunan pada tahun 2007

yaitu menjadi 24,29% dan pada tahun 2008 juga mengalami penurunan

menjadi 23,63%. Angka ini sangat jauh dari target spm tahun 2010 sebesar

100% (profil kesehatan jawa tengah, 2008). Kepala dinas kesehatan sleman,

menjelaskan berdasarkan data dari dinkes sleman total penderita ispa non

pneumonia untuk balita 1.540 kasus, dan anak-anak di atas 5 tahun 3.851

kasus.

Sedangkan untuk golongan pneumonia sebanyak 19 kasus. Untuk

bulan februari penderitanya meningkat tajam, untuk kasus non-pneumonia


pada balita 2.223 kasus, anak-anak di atas 5 tahun 4.663 sehingga total ada

6.886 kasus. Sementara yang sampai ke tahap pneumonia totalnya ada 23

kasus. Data ini merupakan laporan dari 25 puskesmas, dan belum termasuk

laporan dari rumah sakit yang ada di sleman. Selain musim hujan, penyebab

ispa karena fakstor polusi udara, asap dapur di rumah tangga pedesaan.

Bahkan asapa rokok juga dinilai bisa meningkatkan resiko terjadinya

pneumonia.(Dinkes, DIY. 2007).

2. Rokok

Definisi rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70

hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm

yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah

satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut

pada ujung lain. (Nenk, 2009). Setiap batang rokok yang dinyalakan akan

mengeluarkan lebih 4000 bahan kimia beracun yang membahayakan dan boleh

membawa maut, Dengan ini setiap sedutan itu menyerupai satu sedutan maut

(nurirwan, 2010)

Di antara kandungan asap rokok termasuklah bahan radioaktif dan

bahan-bahan yang digunakan di dalam cat (acetone), pencuci lantai (ammonia),

ubat gegat (naphthalene), racun serangga (DDT), racun anai-anai (arsenic), gas

beracun (hydrogen cyanide) yang digunakan di kamar gas maut bagi pesalah

yang menjalani hukuman mati, dan banyak lagi. Bagaimanapun, racun paling
penting adalah Tar, Nikotin dan Karbon Monoksida, Berikut ini adalah Zat -

Zat yang terdapat pada Rokok:

TAR

Mengandung bahan kimia yang beracun, sebagainya merusak sel paru-paru

dan meyebabkan kanker.

KARBON MONOKSIDA (CO)

Merupakn gas beracun yang dapat mengakibatkan berkurangnya

kemampuan darah membawa oksigen.

NIKOTIN

Salah satu jenis obat perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi

darah, nikotin membuat pemakainya kecanduan (Dedi D. 2007) .

Kesehatan yang mengkuatirkan di Indonesia adalah semakin banyaknya

jumlah perokok yang berarti semakin banyak penderita gangguan kesehatan

akibat merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang

umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Hal ini tidak bisa dianggap sepele

karena beberapa penelitian memperlihatkan bahwa justru perokok pasiflah yang

mengalami risiko lebih besar daripada perokok sesungguhnya (Dachroni,

2002). Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream sedangkan

asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream. Polusi udara

yang diakibatkan oleh asap sidestream dan asap mainstream yang sudah

terekstrasi dinamakan asap tangan kedua atau asap tembakau lingkungan.

Mereka yang menghisap asap inilah yang dinamakan perokok pasif atau

perokok terpaksa (Adningsih, 2003).


Akibat gangguan asap rokok pada bayi antara lain adalah muntah, diare,

kolik (gangguan pada saluran pencernaan bayi), denyut jantung meningkat,

gangguan pernapasan pada bayi, infeksi paru-paru dan telinga, gangguan

pertumbuhan (Hidayat, 2005). Paparan asap rokok berpengaruh terhadap

kejadian ISPA pada balita, dimana balita yang terpapar asap rokok berisiko

lebih besar untuk terkena ISPA dibanding balita yang tidak terpapar asap rokok

(Hidayat, 2005). Indonesia termasuk 5 negara dengan konsumsi rokok terbesar

di dunia. Konsumsi tembakau di Indonesia mengalami peningkatan 7 kali lipat

dalam jangka waktu 3 tahun (1977-2000) dan prevalensi penggunaan tembakau

di Indonesia telah meningkat dalam segala usia. Rata-rata usia merokok

pertama kali di Indonesia semakin lama bergeser ke usia semakin

muda.(Depkes, 2000)

Sedang menurut ( WHO 2008) Daftar 10 Negara Perokok Terbesar di

Dunia Daftar 10 Negara Perokok Terbesar di Dunia :

1. China = 390 juta perokok atau 29% per penduduk.

2. India = 144 juta perokok atau 12.5% per penduduk.

3. Indonesia = 65 juta perokok atau 28 % per penduduk (~225 miliar

batang per tahun).

4. Rusia = 61 juta perokok atau 43% per penduduk.

5. Amerika Serikat =58 juta perokok atau 19 % per penduduk.

6. Jepang = 49 juta perokok atau 38% per penduduk.

7. Brazil = 24 juta perokok atau 12.5% per penduduk.

8. Bangladesh =23.3 juta perokok atau 23.5% per penduduk.


9. Jerman = 22.3 juta perokok atau 27%.

10. Turki = 21.5 juta perokok atau 30.5%.

Statistik Perokok dari kalangan anak dan remaja di indonsia, Pria =

24.1% anak/remaja pria, Wanita = 4.0% anak/remaja wanita, Atau 13.5%

anak/remaja Indonesia. Statistik Perokok dari kalangan dewasa, Pria = 63%

pria dewasa, Wanita = 4.5% wanita dewasa 34 % perokok dewasa ( WHO,

2008 ). Jika digabungkan antara perokok kalangan anak+remaja+dewasa,

maka jumlah perokok Indonesia sekitar 27.6%. Artinya, setiap 4 orang

Indonesia, terdapat seorang perokok. Angka persentase ini jauh lebih besar

daripada Amerika saat ini yakni hanya sekitar 19% atau hanya ada seorang

perokok dari tiap 5 orang Amerika. ( Data laporan WHO 2008 untuk

Indonesia ). Di daerah istimewa yogyakarta sendiri sekitar 53% rumah tangga

memiliki angggota keluarga yang merokok, rata-rata rokok yang dihisap

perharinya minimal 10 batang setiap dan minimal 4 batang rokok dihisap di

dalam rumah (Retna Siwi Patmawati, 2010).

Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar

risiko anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan,

memperburuk asma dan memperberat penyakit angina pectoris serta dapat

meningkatkan resiko untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita.

Anak-anak yang orang tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran

pernapasan seperti flu, asma pneumonia dan penyakit saluran pernapasan

lainnya. Gas berbahaya dalam asap rokok merangsang pembentukan lendir,

debu dan bakteri yang tertumpuk tidak dapat dikeluarkan, menyebabkan


bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin di jaringan paru mengakibatkan daya

pompa paru berkurang, udara tertahan di paru-paru dan mengakibatkan

pecahnya kantong udara (Dachroni, 2002)

B. Kerangka Teori

Faktor Lingkungan :
1. Luas ventilasi
Agen non-infeksius : rumah
1. Aspirasi makanan 2. sanitasi
dan cairan lambung
3. Kepadatan hunian
2. Inhalasi zat asing (
misal : racun, debu, 4. Tingkat
gas, asap rokok) kelembapan udara
Faktor Individu Balita
Agen infeksius :
ISP 1. usia
1. Virus
A 2. jenis kelamin:
2. bakteri 3. Status Nutrisi
4. Status Imunisasi
Faktor Perilaku :
1. Kebiasaan merokok
orangta Faktor Sosial
Ekonomi :
1. Tingkat
pendidikan
orang tua
2. Pendapatan
orang tua
3.pekerjaan
orang tua

Gambar . Kerangka Teori Penelitian Hubungan Orangtua merokok dengan


kejadian ISPA pada balita.
C. Hipotesis

Ada hubungan orangtua merokok dengan kejadian ISPA pada balita di Dusun

Tlogo Yogyakarta.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

penelitian ini menggunakan desain penelitian Observasional Analitik,

merupakan survai atau penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan

mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Kemudian dilakukan korelasi antara

fenomena atau faktor resiko dengan faktor efek, yang dimaksud faktor efek adalah

suatu akibat dari adanya faktor resiko, sedangkan faktor resiko adalah suatu

fenomena yang mengakibatkan terjadinya efek, (Machfoedz, 2005). Penelitian ini

menggunakan rancangan Cross Sectinal Study (Studi Potong Lintang).

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien anak yang bertempat tinggal di

dusun tlogo yang berobat di Puskesmas Kasihan 1 Yogyakarta yang

terdiagnosis ISPA pada bulan Desember 2011 Maret 2012 yakni sebanyak 51

anak dengan umur 1-5 tahun.

2. Sampel

Sample yang digunakan untuk penelitian ini adalah total sampling. Dalam hal

ini peneliti membuat kriteria inklusi untuk dan exksklusi pada sampel yang

akan diambil yaitu:

a. Bersedia menjadi responden.


b. Bisa berkomunikasi atau berbicara dengan baik.

c. Tingkat pendidikan orang tua minimal Sekolah Dasar.

d. Balita umur 1-5 tahun yang didiagnosa ISPA oleh tenaga kesehatan.

Kriteria eksklusi

a. Responden tidak bias membaca dan menulis.

C. Variabel Penelitian dan Definisi oprasional

1. Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu :

a. Kebiasaan orangtua merokok.

b. Umur orangtua dan balita.

c. Jenis kelamin orangtua dan balita.

d. Status pendidikan

e. pekerjaan

2. Variabel terikat

Variabel terkait dalam penelitian ini yaitu kejadian ISPA pada balita di Dusun

Tlogo Yogyakarta.

3. Definisi oprasional

Dalam penelitian ini variabel yang diteliti didefinisikan sebagai berikut :

a. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Pasien balita ISPA dalam penelitian ini sudah terdiagnosis ISPA yang

ditegakan oleh tenaga medis atau dokter puskesmas kasihan 1 melaluli

anamnesis dan pemeriksaan fisik. ISPA adalah penyakit infeksi saluran

pernapasan yang bersifat akut dengan gejala adanya batuk, pilek, serak,
demam, baik disertai maupun tidak disertai napas cepat atau sesak napas,

yang berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukan

proses akut, infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit

yang komplek dan heterogen. kebanyakan ISPA disebabkan oleh virus dan

mikroplasmas, etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis bakteri,virus,jamur

(Achmadi dkk,2004).

Kriteria Objektif :

ISPA Ringan adapun tanda dan gejala ISPA ringan antara lain adalah:

1. Batuk

2. pilek

3. serak ( bersuara parau pada waktu menangis atau berbicara)

4. demam

5. Mudah lelah,tidak nafsu makan

ISPA Sedang Tanda dan gejala ISPA sedang antra lain :

1. Pernapasan yang cepat ( lebih dari 50x/menit)

2. Pernafasan berbunyi

3. Sakit telinga atau keluar cairan.

4. Bercak menyerupai campak

5. Panas 38oC atau lebih. (Depkes RI.2001)

b. Umur

Umur responden balita dalam penelitian ini adalah 1 5 tahun dilakukan

dengan wawancara menggunakan kuesioner dengan dihitung mulai dari

tanggal lahir bayi sampai dengan hari ulang tahun terakhir


c. Jenis kelamin

Identitas dari balita sesuai dengan kondisi biologis dengan menggunakan

wawancara menggunakan kuesioner kepada orangtua balita. Jenis kelamin

laki-laki dan perempuan merupakan matching.untuk menilai apakah ada

hubungannya kejadian ISPA terhadap jenis kelamin.

d. Kebiasaan Merokok Dalam Rumah

Dalam penelitian ini peneliti memberikan kuesioner kepada orangtua

yang memiliki Kebiasaan merokok didalam rumah, untuk mengetahui

kategori sebagai perokok ringan,perokok sedang atau perokok berat.

Kriteria Objektif :

Perokok ringan : Bila menghabiskan rokok kurang lebih sekitar 10

batang dengan selang waktu 60 menit dari bangun

pagi.

Perokok sedang : Bila menghabiskan rokok kurang lebih sekitar 11-15

batang dengan selang waktu 30-60 menit setelah

bangun pagi.

Perokok berat : Bila menghabiskan rokok kuarang lebih sekitar 16-30

batang dengan selang waktu 6-30 menit setelah

bangun pagi (Silvan tomins,al bachri,1991).

e. Status pendidikan

Status pendidikan formal orangtua berdasarkan pada ijazah terakhir yang

diterima. Status pendidikan ini nantinya dapat memepengaruhi tingkat

pengetahun seseorang dalam bersikap hidup yang bersih dan sehat serta
dapat memanfaatkan pelayanan kesehtan yang ada di sekitarnya

(Notoadmodjo, 2007). Dalam penelitian ini status pendidikan responden

orang tua natinya di kelompokkan menjadi: SD,SMP,SMA,S1/SARJANA.

f. Pekerjaan

Pekerjaan orangtua yang sekarang sedang dijalani dinilai dengan

wawancara menggunakan kuesioner. Pekerjaan disini dapat mempengaruhi

tingkat pengetahun informasi yang lebih bnyak dari pada seseorang yang

tidak bekerja,salah satunya dalam bidang kesehatan seseorang yang

bekerja akan memiliki pengalam yang lebih banyak(suyono,2010). Dalam

penelitian ini pekerjaan responden orang tua natinya di kelompokkan

menjadi: IRT,SWASTA,PNS.

D. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah kuesioner (daftar

pertanyaan) dan data yang diperoleh dari Puskesmas kasihan 1 Yogyakarta.

E. Cara Pengambilan Data

1. Data Primer

Diperoleh dari survei dengan wawancara menggunakan kuesioner untuk

mendapatkan data mengenai faktor risiko yang berhubungan dengan

kejadian ISPA pada balita dengan responden orangtua balita.

2. Data Sekunder

Diperoleh dari pencatatan dan pelaporan di tingkat desa, kecamatan, dan

kabupaten yang berhubungan dengan penelitian.


F. Prosedur Penelitian

1. Tahap persiapan

Dalam pengumpulan data, peneliti melakukan tahap tahap sebagai berikut :

a. Studi dokumentasi, studi pustaka, penyusunan proposal, dan

dilanjutkan dengan ujian Proposal.

b. Mengurus perizinan untuk melakukan penelitian yang ditandai oleh

Dekan Fakultas Kedokteran Umum Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta (UMY).

c. Melakukan studi pendahuluan dengan responden keluarga di Dusun

tlogo.

d. Uji validitas dan Reliabilitas instrumen penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan

a. Setelah mendapatkan responden yang termasuk kriteria inklusi dan

kriteria eksklusi , kemudian responden dimintai persetujuan (inform

consent) sebagai sampel penelitian dan menjelaskan tujuan penelitian

kepada responden.

b. Kuesioner diberikan kepada responden untuk diisi, disamping itu

peneliti membagikan kuesioner dengan cara mendatangi secara

langsung dari rumah ke rumah (door to door) kemudian kuesioner

diberikan untuk diisi. Peneliti dapat membantu responden dalam

pengisian kuesioner dengan cara wawancara (interview), apabila

terdapat ketidak lengkapan data, maka saat itu juga dapat ditanyakan
kembali pada responden dengan kita melakukan wawancara secara

langsung.

c. Data hasil penelitian dikumpulkan, kemudian dilakukan pengecekan.

d. Data yang telah dicek tersebut, kemudian diolah dengan program

komputer.

G. Uji Validitas dan Reliabilitas

Validitas dan Reliabilitas merupakan suatu indeks yang menunjukkan alat

ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2003). Dalam

penelitian ini uji validitas dan reliabilitas untuk mengkatagorikan kebiasan

merokok ringan, sedang atau berat, yang terdiri dari 3 pertanyaan dengan pilihan

jawaban a, b, c dan d. Pertanyaan 1 dengan pilihan jawaban a, b, c dan d

pertanyaan 2 dengan pilihan jawaban a, b, c, dan d, pertanyaan 3 dengan pilihan

jawaban a, b, c, dan d. Nilai yang diberikan untuk jawaban a adalah 1, jawaban b

adalah 2, jawaban c adalah 3, dan jawabann d adalah 4.

Kuisioner yang digunakan dipenelitian ini untuk mengukur variabel kejadian

ISPA pada anak balita yang terjadi di dusun tlogo yogyakarta, kuisioner yang

dibuat sendiri dilakukan uji validitas dan reliabilitas yang terdiri dari 7 pertanyaan

dengan pilihan jawaban ya dan tidak. Apabila jawaban ya diberi nilai 2 dan

jawaban tidak diberi nilai 1. Penetapan kategori kejadian ISPA berdasarkan nilai

median yaitu:

a. Skor terendah x jumlah pertanyaan 1x7=7

b. Skor tertinggi x jumlah pertanyaan 2x7=14


Nilai median yang diperoleh adalah 7+14:2=10,5.

Nilai median selanjutnya digunakan sebagai cut of point apabila total jawaban

responden kurang dari nilai median maka dikategorikan anak mengalami ISPA

ringan, dan lebih dari atau sama dengan nilai median maka dikategorikan anak

mengalami ISPA sedang.

H. Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis univariat merupakan analisis statistic yang dilakukan secara

prospektif dari masing-masing variabel dengan tabel distribusi frekuensi dan

penyebaran disertai penjelasan. Analisis univariat yang dilakukan pada

penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi karakteristik responden

berdasarkan jenis kelamin, usia, pekerjaan orangtua , pendidikan orangtua,

presentasi orangtua yang memiliki kebiasaan merokok, kebiasaan merokok

orangtua, dan banyaknya rokok yang dihirup setiap hari oleh orangtua.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara 2 variabel

dependent dan independent. Hubungan antara variabel independent dengan

variabel dependen digunakan uji analisi chi square dengan tingkat kepercayaan

95 % ( = 0,05). Berdasarkan hasil uji tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan

dengan kriteria sebagai berikut :

a. Jika nilai p < maka Ho ditolak, berarti ada hubungan antara

variabel dependent dengan independent.


b. Jika nilai p maka Ha diterima, berarti tidak ada hubungan

antara variabel dependent dengan independent. (agung,1993).

I. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian khususnya jika yang menjadi subyek penelitian

adalah manusia, maka peneliti harus memahami hak dasar manusia. Manusia

memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya, sehingga penelitian yang akan

dilaksanakan benar-benar menjunjung tinggi kebebasan manusia (Hidayat, 2007).

Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain adalah sebagai berikut:

1. Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed

consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan

lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan informed consent

adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui

dampaknya. Jika subjek bersedia, maka mereka harus menandatangani

lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia maka peneliti harus

menghormati hak responden (Hidayat, 2007).

2. Anonimity (tanpa nama)

Masalah etika kedokteran merupakan masalah yang memberikan jaminan

dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

mencantumkan nama responden pada lembar alat uku r dan hanya


menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang

akan disajikan (Hidayat, 2007).

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalahma salah

lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya

oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil

riset (Hidayat, 2007).


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian

1. Profil daerah penelitian

Penelitian ini di lakukan di Dusun Tlogo Tamantirto,kasihan Kab.

Bantul Yogyakarta. Topografi wilayah dusun Tlogo terdiri dari sebagian

besar dataran rendah dan sebagian merupakan tanah berbukit yang subur

sehingga banyak sebagian besar penduduk sebagai petani. Letak yang dekat

dengan jalur utama Yogyakarta dan kampus mengakibatkan dusun tlogo

mengalami perkembangan yang cukup baik. Gambaran umum dari desa

tlogo sebagi berikut :

kepala dukuh Bapak Triono, terdiri dari 7 RT dengan jumlah 735 KK

Batas wilayah Dusun Tlogo

Utara : Desa Ambarketawang

Barat : Desa Ambarketawang

Selatan : Dukuh Ngebel

Timur : Dukuh Gatak

Hasil yang disajikan dalam penelitian ini merupakan analisis

Univariat dan Bivarat. Analisis univariat merupakan analisis yang

dilakukan pada setiap variabel penelitian dan bertujuan untuk mengetahui

deskripsi karakteristik setiap variabel dalam penelitian dan Analisis bivariat


dilakukan untuk melihat hubungan antara 2 variabel dependent dan

independent. Hubungan antara variabel independent dengan variabel

dependen (Sulistianton dkk, 2010). Analisis univariat yang dilakukan pada

penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi karakteristik responden

berdasarkan jenis kelamin, usia, pekerjaan orangtua , pendidikan orangtua,

presentasi orangtua yang memiliki kebiasaan merokok, kebiasaan merokok

orangtua, dan banyaknya rokok yang dihirup setiap hari oleh orangtua,

sedangkan analisis bivariat untuk mengetahu hubungan kebiasan orangtua

merokok dengan kejadian ISPA pada balita di Dusun Tlogo Yogyakarta.

2. Karakteristik responden

Tabel 1. Distribusi responden orangtua berdasarkan umur di Dusun Tlogo


Yogyakarta

Umur Frekuensi Presentase

17 31 tahun 40 78,4 %

34 52 tahun 11 21,6 %

Jumlah 51 100 %

Sumber data primer 2011-2012

Berdasarkan hasil penelitian,pada tabel 1, distributor frekunsi berdasarkan umur

responden orangtua, didapatkan responden dengan umur 17-34 tahun yaitu 40

responden dengan presentase (78,4%), dan responden dengan umur 34-52 tahun

yaitu 11 responden dengan presentase (21.6%).


Tabel 2. Distribusi responden orangtua berdasrkan tingkat pendidikan

Satus pendidikan Frekuensi Presentase

SD 2 3,9 %
SMP 13 25,5 %
SMA 31 60,8 %
SARJANA 5 9,8 %

Jumlah 51 100 %

Sumber data primer 2011 - 2012


Berdasarkan hasil penelitian,pada tabel 2, distributor frekunsi berdasarkan tingkat

pendidikan responden orangtua, didapatkan responden dengan pendidikan SMA

yaitu 31 responden dengan presentase (60,8%), SD 3 responden dengan presentase

(5,9%), SMP 12 responden dengan presentase (23,5%) dan sarjana/s1 5 responden

dengan presentase (9,8%).

Tabel 3. Distribusi responden orang tua berdasrkan pekerjaan

Satus Pekerjaan Frekuensi Presentase

IRT 40 78,4 %
Swasta 10 19,6 %
PNS 1 2,0 %

Jumlah 51 100 %

Sumber data primer 2011 2012


Berdasar hasil penelitian, pada tabel 3 distributor frekunsi berdasarkan pekerjaan

responden didapatkan responden menunjukkan sebagian besar adalah responden

dengan pekerjaan IRT yaitu 40 responden dengan presentase (78,4%), swasta 10


responden dengan presentase (19,6%), dan PNS 1 responden dengan presentase

(2,0%).

Tabel 4. Distribusi responden anak berdasarkan usia

Umur Frekuensi Presentase

1 2 tahun 37 72,5 %
3 5 tahun 14 27,5 %

Jumlah 51 100 %

Sumber data primer 2011 2012

Berdasarkan hasil penelitian,pada tabel 4 distributor frekunsi berdasarkan umur

responden anak didapatkan responden dengan Penyakit ISPA sebagian besar

adalah responden dengan usia 1-2 yaitu 37 responden dengan presentase (72,5%)

sedangkan usia 3-5 yaitu 14 responden dengan presentase (27,5%).

Tabel 5. Distribusi Responden anak berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin Frekuensi Presentase

Laki - Laki 29 56,9 %


Perempuan 22 43,1 %

Jumlah 51 100 %

Sumber data primer 2011 2012

Berdasarkan hasil penelitian,pada tabel 5 disributor frekunsi berdasarkan jenis

kelamin responden anak, didapatkan responden dengan Penyakit ISPA sebagian

besar adalah responden dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 29

responden (56,9%),sedangkan prempuan 22 responden dengan presntase (43,1%).


Tabel 6. Distribusi Responden orang tua berdasarkan kebiasaan merokok

Perokok Frekuensi Presentase

Berat 22 43,1 %
Sedang 14 27,5 %
Ringan 15 29,4 %

Jumlah 51 100 %

Berdasarkan hasil penelitian,pada tabel 6 distributor frekunsi berdasarkan

kebiasaan merokok di dalam rumah didapatkan responden dengan kebiasaan

merokok menunjukkan sebagian besar didapatkan responden dengan perokok berat

yaitu 22 responden dengan presentase (43,1%), perokok ringan 15 responden

dengan presentase (29,4), dan perokok sedang 14 responden dengan presentase

(27,5).

Tabel 7. Distribusi Responden berdasarkan kejadian ISPA Pada Anak

ISPA Frekuensi Presentase

Sedang 17 33,3 %
Berat 34 66,7 %

Jumlah 51 100 %

Sumber data primer 2011 2012

Berdasarkan hasil penelitian,pada tabel 7 distributor frekunsi berdasarkan kejadian

ISPA pada anak didapatkan responden dengan Penyakit ISPA sebagian besar didapati

responden dengan ISPA ringan yaitu 34 responden (66,7%) sedangkan ISPA sedang

yaitu 17 responden dengan presentase (33,3%).


Tabel 8. Distribusi Responden berdasarkan jenis rokok yang dihisap orangtua

Jenis rokok Frekuensi Presentase

kretek 20 39,2 %
Filter 32 60,8 %
Kretek 0 0
Crutu 0 0

Jumlah 51 100 %

Sumber data primer 2011 2012


Berdasarkan hasil penelitian,pada tabel 8, distributor frekunsi berdasarkan jenis

rokok yang dihisap orangtua didapati responden dengan kebiasaan meroko jenis

kretek ringan yaitu 20 responden (39,2%), responden dengan kebiasan merokok

jenis filter 31 responden (60,8%),responden dengan kebiasaan merokok jenis

lintingan dan crutu tidak ada.

Tabel 9. Analisis Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan pendidikan terakhir

Pendidikan TOTAL

SD SMP SMA SARJANA


Berat N 1 7 13 1 22
% 2,0 % 13,7 % 25,5 % 2,0 % 43,1 %

Sedang N 1 3 9 1 14
% 2,0 % 5,9 % 17,6 % 2,0 % 27,5 %

Ringan N 0 3 9 3 15
% 0 5,9 % 17,6 % 5,9 % 29,4 %

TOTAL N 2 13 31 5 51
% 3,9 % 25,5 % 60,8 % 9,8 % 100 %

Sumber data primer 2011 2012


Chi-Square Tests

Value df sig

P 3,946 6 0,684

Berdasarkan hasil uji Analisis Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan

status pendidikan terkhir responden orang tua di Dusun Tlogo Yogyakarta pada

table 9, didapatkan nilai p value 0,684 dengan demikian p value >0,05.

Tabel 10. Analisis Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan status pekerjaan

Pekerjaan TOTAL

IRT Swasta PNS


Berat N 16 6 0 22
% 31,4 % 11,8 % 0 43,1 %

Sedang N 13 1 0 14
% 25,5 % 2,0 % 0 27,5 %

Ringan N 11 3 1 15
% 21,6 % 5,9 % 2,0 % 29,4 %

TOTAL N 40 10 1 51
% 78,4 % 19,6 % 2,0 % 100 %

Sumber data primer 2011 2012

Chi-Square Tests

Value df sig

P 4,682 4 0,321
Berdasarkan hasil uji Analisis Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan

status pekerjaan responden orang tua di Dusun Tlogo Yogyakarta pada table 10,

didapatkan nilai p value 0,321 dengan demikian p value >0,05.

Tabel 11. Analisis Hubungan Antara Kebiasaan merokok dengan umur

Usia TOTAL

17 - 34 Tahun 34 52 Tahun

Berat N 20 2 22
% 39,2 % 3,9 % 43,1 %

Sedang N 10 4 14
% 19,6 % 7,8 % 27,5 %

Ringan N 10 5 15
% 19,6 % 9,8 % 29,4 %

TOTAL N 40 11 51
% 78,4 % 21,6 % 100 %
sumber
sumb sumber data primer 2011 2012

Chi-Square Tests

Value df sig

P 3,658 2 0,161

Berdasarkan hasil uji Analisis Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan usia

responden orang tua di Dusun Tlogo Yogyakarta pada table 11, didapatkan nilai p

value 0,161 dengan demikian p value >0,05


Tabel 12. Analisis Hubungan Antara jenis rokok yang dihisap orangtua dengan
kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun di Dusun Tlogo Yogyakarta

Kejadian ISPA TOTAL

Sedang Ringan

Kretek N 7 13 20
% 13,7 % 25,5 % 39,2 %

Filter N 10 21 31
% 19,6 % 41,2 % 60,8 %

Linting N 0 0 0
% 0 0 0

Crutu N 0 0 0
% 0 0 0

TOTAL N 17 34 51
% 33,3 % 66,7 % 100 %

Sumber data primer 2011 2012

Chi-Square Tests

Value df sig

P 3,564 2 0,168

Berdasarkan hasil uji Analisis Hubungan Antara jenis rokok yang dihisap orang

tua dengan status kejadian ISPA di Dusun Tlogo Yogyakarta pada table 12,

didapatkan nilai p value 0,169 dengan demikian p value >0,05

Tabel 13. Analisis Hubungan Antara Kebiasaan orangtua Merokok dengan kejadian
ISPA pada anak usia 1-5 tahun di Dusun Tlogo Yogyakarta
Kejadian ISPA TOTAL

Sedang Ringan

Berat N 16 6 22
% 31,4 % 11,8 % 43,1 %

Sedang N 0 14 14
% 19,6 % 41,2 % 60,8 %

Ringan N 1 14 15
% 2,0 % 27,5 % 29,4 %

TOTAL N 17 34 51
% 33,3 % 66,7 % 100 %

Sumber data primer 2011 2012

Chi-Square Tests

Value df sig

P 27,164 2 0,000

Berdasarkan hasil uji Analisis Hubungan Antara Kebiasaan Merokok di dalam

rumah dengan kejadian ISPA pada anak usia 1-5 tahun di Dusun Tlogo

Yogyakarta pada table 13, didapatkan nilai p value 0,000dengan demikian p value

<0,05 dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa ada hubungan antara keberadaan orangtua merokok dengan

kejadian ISPA pada anak.

B. Pembahasan
Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti pada 51 responden di dusun

tlogo yogyakarata, terdapat 34 balita yang menderita ISPA ringan dengan

persentase 66,7% dan 17 responden balita lainnya yang mengalami ISPA sedang

dengan persentase 33,3%. Pada kasus ini, usia balita yang menjadi responden

penelitian berusia antara 1-5 tahun. Penyebab bayi menderita ISPA adalah belum

kuatnya sistem imunitas tubuh yang diperoleh, karena pada umur bayi rentan

terkena serangan penyakit, sehingga orang tua harus lebih memperhatikan

anaknya, supaya terhindar dari penyakit. Sistem imunitas balita yang belum

sempurna cenderung menjadi resiko yang tinggi bagi balita untuk terkena ISPA.

(Syahrani, 2008).

Dari hasil penelitian tingkat pendidikan SMA paling banayak dari 51

responden terdapat 31 responden dengan presentase 60,8%. Pendidikan ini

nantinya akan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang dalam bersikap

hidup yang bersih dan sehat serta sikap dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan

yang ada disekitarnya. Tingkat pendidikan yang tinggi akan memudahkan

seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikan dalam perilaku

dan gaya hidup sehari-hari, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan

(Notoadmodjo, 2007). Menurut (Paavola dkk, 2004) pada penelitiannya pada

subjek kelompok usia 13 tahun, 10% anak-anak yang tidak melanjutkan

pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi merokok sementara pada anak-anak yang

melanjutkan hanya 4% yang merokok. Pada subjek kelompok usia 28 tahun, 63%

persen subjek yang hanya mengenyam pendidikan wajib merokok sementara yang

mengenyam bangku kuliah hanya 12% yang merokok. hasil penelitian Paavola
dkk, Rachiotis dkk (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa usia yang

semakin tua, jenis kelamin pria, tingkat pendidikan orang tua yang semakin

rendah, berhubungan secara signifikan dengan perilaku merokok saat ini.

Seseorang yang bekerja pengetahuannya akan lebih luas dibandingkan

dengan seseorang yang tidak bekerja karena dengan bekerja seseorang akan

mempunyai banyak informasi dan pengalaman. Menurut Arikunto (2013), yang

menyatakan bahwa kecocokan pekerjaan seseorang akan menimbulkan kepuasan

dan keingintahuan yang lebih dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja.

Pada banyak negara berkembang, prevalensi perilaku merokok menjadi lebih besar

pada kelompok sosial ekonomi rendah (Cavelaars dkk dalam Paavola dkk, 2004).

Dalam sebuah penelitian di Finlandia Timur terungkap bahwa anak-anak dari para

pekerja kerah biru (buruh) lebih banyak yang merokok dibandingkan anak-anak

dari para pekerja kerah putih (pegawai kantor) atau petani.

Menurut Widarini (2010), laki-laki dan perempuan mempunyai resiko

yang sama untuk mengalami ISPA, namun menurut hasil yang didapatkan dalam

penelitian ini,responden laki-laki yang lebih banyak sehingga dapat disimpulkan

anak laki-laki lebih beresiko terkena ISPA dibandingkan dengan anak perempuan.

Anak laki-laki yang lebih sering bermain dan berinteraksi dengan ligkungan,

apalagi dengan lingkungan yang kotor sangant rentan menyebabkan terjadinya

penyakit. hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Mahrama dkk (2012) hasil penelitian menunjukan sebagian besar pada kelompok

umur 24-36 bulan yaitu (50%) responde. Hal ini dapat disimpulkan bahwa usia

toddler lebih rentan mengalami ISPA dibandingkan usia prasekolah.Menurut


Domili (2013), anak usia 1-3 lebih banyak mengalami ISPA dikarenakan sistem

imunitas anak yang masih lemah dan organ pernapasan anak bayi belum mencapai

kematangan yang sempurna, sehingga apabila terpajan kuman akan lebih beresiko

terkena penyakit.Keterpaparan asap rokok pada anak sangat tinggi pada saat

berada dalam rumah.Disebabkan karena anggota keluarga biasanya merokok

dalam rumah pada saat bersantai bersama anggota, misalnya sambil nonton TV

atau bercengkerama dengan anggota keluargalainnya, sehingga balita dalam rumah

tangga tersebut memiliki risiko tinggi untuk terpapar dengan asap rokok.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Trisnawati dan Juwarni (2012), yang menyatakan ada hubungan antara perilaku

merokok orang tua terhadap kejadian ISPA pada anak. Hal ini menunjukan dengan

semakin berat perilaku merokok orang tua maka semakin besar potensi anak

balitanya menderita ISPA.Hasil penelitian ini juga sama dengan penelitian yang

dilakukan oleh Winarni,Basirun dan Safrudin (2010), berdasarkan hasil penelitian

menunjukan bahwa ada hubungan antara perilaku merokok orang tua dan anggota

keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan kejadian ISPA pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Sempor II. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kurang

atau buruk perilaku merokok responden maka akan semakin tinggi angka kejadian

ISPA pada balita dan semakin baik perilaku merokok responden maka kejadian

ISPA akan semakin kecil.ISPA dapat disebabkan oleh karena adanya paparan dari

virus maupun bakteri misalnya bakteri dari genus streptococcus, haemophylus,

staphylococcus, dan pneumococcu, dan jenis virus influenza,parainfluena, dan

rhinovirus. Selain dari virus,jamur dan bakteri, ISPA juga dapat disebabkan karena
sering menghirup asap rokok, asap kendaraan bermotor, Bahan Bakar Minyak

biasanya minyak tanah dan, cairan ammonium pada saat lahir (Utami, 2013).

Asap rokok dari orangtua atau penghuni rumah yang satu atap dengan

balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang serius

sertaakan menambah resiko kesakitan dari bahan toksik pada anak-anak. Paparan

yang terus menerusakan menimbulkan gangguan pernafasan terutama

memperberat timbulnya infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan paru-paru

pada saat dewasa. Semakin banyak rokok yang dihisap oleh keluarga semakin

besar memberikan resiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok

dilakukan oleh ibu bayi (Trisnawati dan Juwarni, 2012).Selain kebiasaan merokok

di dalam rumah terdapat juga beberapa faktor yang dapat menyebabkan ISPA,

antara lain, yaitu factor Lingkungan meliputi: pencemaran udara dalam rumah

(asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan

konsentrasi yang tinggi), kondisi rumah,ventilasi rumah dan kepadatan hunian

(Prabu,2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati dan Juwarni (2012)

menunjukkan terdapat hubugan yang bermakna antara kondisi rumah dengan ISPA

pada anak.Faktor-faktor tersebut juga erat hubungannya dengan peningkatan daya

tahan tubuh sehingga dapat menyebabkan terjadinya ISPA, maka ada yang

perokok berat tetapi terkena ISPA ringan dan adapun yang perokok berat tetapi

terkena ISPA sedang. Oleh karena itu selain kebiasaan merokok perlu diperhatikan

juga kondisi rumah, ventilasi rumah, dan kepadatan hunian.Berdasarkan hasil

penelitian,didapatkan pada orang tua perokok berat ada 12 dari 22 (54,5%) anak
yang menderita ISPA sedang,pada orang tua perokok sedang ada 5 dari 14 (35,7%)

anak yang menderita ISPA sedang,sedangkan pada orang tua perokok ringan tidak

ada yang menderita ISPA sedang.Walaupun ada yang perokok berat tetapi

anaknya beresiko mengalami ISPA ringan itu karena terdapat juga beberapa factor

yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA yaitu kondisi rumah, ventilasi rumah,

dan kepadatan hunian.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

a. Dalam penelitian ini terdapat hubungan antara kebiasaan orangtua merokok

dengan kejadian ISPA pada balita di Dusun Tlogo Yogyakarta.

b. Adanya kejadian ISPA di dusun Tlogo pada anak didapatkan responden

dengan Penyakit ISPA sebagian besar responden dengan ISPA ringan.

c. Banyaknya jumlah rokok yang dihisap setiap hari oleh anggota keluarga juga

akan menentukan banyak atau tidak paparan asap rokok terhadap balita yang

dapat mempengaruhi kesehatan balita tersebut. Balita mengalami ISPA yang

memiliki anggota kelurga dengan kebiasan merokok tanpa memperhatikan

lingkungan dengan balita di sekitar perokok, 16 balita mengalami ISPA

sedang dengan memiliki anggota keluarga yang mempunyai kebiasaan

merokok kategori berat, 14 balita mengalami ISPA ringan dengan memiliki

anggota keluarga dengan kebiasaan merokok kategori ringan.

d. Distribusi krakteristik responde yang menderita ISPA berdasarkan jenis

kelamin pada penelitian ini antara proporsi jenis kelamin laki-laki dan

perempuan tidak jauh berbeda. Dari 51 responden balita yang menderita

ISPA, 29 berjenis kelamin laki-laki, 22 berjenis kelamin perempuan, jadi

dalam penelitian ini jenis kelamin tidak memiliki hubungan terhadap kejadian

ISPA dengan kebiasaan orangtua merokok.

e. Dalam penelitian ini tidak terdapat hubungan antara jenis rokok yang di hisap

orangtua dengan kejadian ISPA pada balita di Dusun Tlogo Yogyakarta.


B. Saran

a. Bagi keluarga dan masyarakat Tlogo

Diharapkan kepada seleuruh anggota keluaraga dan masyarakat terutama

kepala/anggota keluaraga untuk tidak merokok didalam rumah, bahkan

peneliti sangat berharap agar kepala/anggota keluarga dapat menghentikan

kebiasan merokoknya demi kesehatan diri sendiri dan anggota keluarganya

terutama balita

b. Bagi peneliti selanjutnya

Diharpkan penelitian selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan meneliti

variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA,misalnya

variabel polusi dalam rumah yang lain, seperti: asap dapur,kadar debu, dan

lain-lain yang berkaitan dengan kejadian ISPA pada balita.

c. Bagi petugas kesehatan

Diharapkan bagi petugas kesehatan keluarga dan komunitas untuk

memberikan waktu khusus dalam pengadaan pendekatan kepada keluarga

yang merokok berupa penyuluhan mengenai bahaya asap rokok terutama bagi

balita dan anjuran untuk menghindari berdekatan dengan Balita saat merokok.

You might also like