You are on page 1of 25

TUGAS REFERAT BLOK ENDOKRIN DAN METABOLISME

Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik

Pembimbing :
dr. Dwi Adi Nugroho

Disusun Oleh :
1. Isnila F Kelilau W G1A011007
2. Lannida G1A011008
3. Stefanus Ariyanto W G1A011015
4. Susanti G1A011036
5. Mumtaz Maulan H G1A011037
6. Yefta G1A011066
7. Prasthiti Dewi H G1A011067
8. Immanuel Jeffri Paian P G1A011098
9. Annisa Fatimah G1A011099
10. Mulia Sari G1A011112
11. Tri Ujiana Sejati G1A011113

JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2012

1
HALAMAN PENGESAHAN

Tugas Refrat Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik ini telah


diperiksa dan disahkan oleh pembimbing lapangan dan pembimbing refrat pada
tanggal Oktober 2012.

Pembimbing Refrat

dr. Dwi Adi Nugroho

2
DAFTAR ISI

Judul
Halaman Pengesahan ..........................................................................................1
Daftar Isi..............................................................................................................2
Bab I Pendahuluan ..............................................................................................3
A. Latar Belakang ........................................................................................3
B. Tujuan .....................................................................................................4
Bab II Isi ..............................................................................................................5
A. Definisi ....................................................................................................5
B. Epidimiologi............................................................................................5
C. Etiologi ....................................................................................................6
D. Patomekanisme .......................................................................................7
E. Patofisiologi ............................................................................................9
F. Penegakan Diagnosis .............................................................................11
G. Penatalaksanaan ......................................................................................12
H. Prognosis .................................................................................................15
Bab III Kesimpulan .............................................................................................16
Daftar Pustaka

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik ialah suatu sindrom
yang ditandai hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa
ditandai adanya ketosis, disertai menurunnya kesadaran. Gejala klinis
utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai
gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis (Sudoyo, 2006).
Bertambahnya penyakit yang terkait pada pasien lansia adalah
ketidakmampuan sistem kardiovaskuler mengatasi perpindahan volume
cepat trombosis intraseluler serta kejang setempat (diduga karena
hiperkonsentrasi darah yang berlebihan dan kurangnya aliran darah
setempat). Diabetes Mellitus adalah kondisi hiperglikemi kronis yang
disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang
menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan
pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dengan mikroskop
elektron (Mansjoer, 2001).
Diabetes yang tidak disadari dan tidak diobati dengan tepat atau
diputus akan memicu timbulnya penyakit berbahaya dan memicu
terjadinya komplikasi. Komplikasi yang di akibatkan kadar gula yang
terus menerus tinggi dan merupakan penyulit dalam perjalanan penyakit
diabetes mellitus salah satunya adalah hiperglikemia. Angka kematian
HHNK 40-50%, lebih tinggi dari pada diabetik ketoasidosis. Karena
pasien HHNK kebanyakan usianya tua dan seringkali memiliki penyakit
lain (Mansjoer, 2001).
Ditemukan 85% pasien KHNK mengidap penyakit ginjal atau
kardiovaskuler, pernah juga ditemukan pada penyakit akromegali,
tirotoksikosis, dan penyakit Chusing. Pasien KHNK kebanyakan usianya
tua dan seringkali mempunyai penyakit lain. Sindrom koma hiperglikemik
hiperosmolar non ketosis penting diketahui karena kemiripannya

4
dan perbedaannya dari ketoasidosis diabetik berat dan merupakan diagnosa
banding serta perbedaan dalam penatalaksanaan (Hudak dan Gallo). Pasien yang
mengalami sindrom koma hipoglikemia hiperosmolar nonketosis akan mengalami
prognosis jelek. Komplikasi sangat sering terjadi dan angka kematian
mencapai 25- 50% (Mansjoer, 2001).

B. TUJUAN
Untuk mengetahui lebih dalam tentang penyakit koma hiperosmolar
hiperglikemik non ketotik yang meliputi :
1. Mengetahui pengertian koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik
2. Mengetahui etiologi dari koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik
3. Mengetahui patofisiologi koma hiperosmolar hiperglikemik non
ketotik
4. Mengetahui penetapan diagnosis dini serta penatalaksanaan koma
hiperosmolar hiperglikemik non ketotik

5
BAB II
ISI

A. DEFINISI
Hiperglikemia, hiperosmoler, koma non ketotik (HHNK) adalah
komplikasi metabolik akut diabetes, biasanya pada penderita diabetes
mellitus (DM) tipe 2 yang lebih tua. Pada kondisi ini, terjadi hiperglikemia
berat (kadar glukosa serum > 600 mg/dL) yang tanpa disertai ketosis.
Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan
dehidrasi berat. Psien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila tidak
segera ditanganin (Price, 2006).

B. EPIDEMIOLOGI
1. Statistik Amerika Serikat
Tidak ada studi berbasis populasi dari HHS yang telah dilakukan.
Menurut National Hospital Discharge Survey AS yang didanai oleh
Pusat Statistik Kesehatan Nasional Amerika serikat, ada 10.800
kejadian tahunan untuk HNS di Amerika Serikat 1989-1991. HHS
mempengaruhi sekitar 1 dari 500 pasien dengan DM. Insiden
keseluruhan HHS kurang dari 1 kasus per 1000 orang-tahun, sehingga
secara signifikan kurang umum daripada DKA (Diabetes
Ketoasidosis). Seperti prevalensi DM tipe 2 yang meningkat, kejadian
HHS kemungkinan akan meningkat juga (Hemphill, 2012).
2. Demografi Sehubungan dengan Usia
HHS memiliki usia rata-rata onset awal dekade ketujuh kehidupan.
Rata-rata usia pasien dengan HHS adalah 60 tahun. Laporan kejadian
kasus yang paling sering dipublikasikan adalah usia 57-69 tahun.
Sebaliknya, usia rata-rata onset untuk Diabetes Ketoasidosis adalah
awal dekade keempat kehidupan.. HHS juga dapat terjadi pada orang
yang lebih muda. Secara khusus, karena laju peningkatan obesitas pada
anak-anak, prevalensi DM tipe 2 juga meningkat pada kelompok usia

6
ini dan dapat menyebabkan peningkatan insiden HHS pada populasi
ini (Hemphill, 2012).
Masyarakat yang hidup di panti jompo beresiko untuk HHS. Hal
hal yang mendasari adanya pencegahan hidrasi yang memadai,
termasuk imobilitas, usia lanjut, kelemahan, demensia, agitasi, dan
aktivitas yang menurun, menempatkan pasien pada risiko. Gangguan
indera, seperti tuli dan kebutaan, dapat menyebabkan isolasi sosial dan
juga meningkatkan risiko HHS (Hemphill, 2012).
3. Demografi Sehubungan dengan Jenis Kelamin
Tidak ada predileksi seks dicatat dalam seri yang paling sering
dipublikasikan HHS. Namun, beberapa data menunjukkan bahwa
prevalensi sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada laki-
laki. Dalam Survei Discharge US National Hospital (lihat di atas),
3700 orang adalah laki-laki dan 7100 adalah perempuan (Hemphill,
2012).
4. Demografi Sehubungan dengan Ras
Afrika Amerika, Hispanik, dan penduduk asli Amerika yang
terpengaruh oleh HHS sebagai konsekuensi dari peningkatan
prevalensi DM tipe 2 .Dalam Survey National Hospital Discharge AS
dari 10.800 buangan rumah sakit daftar HHS di Amerika Serikat antara
tahun 1989 dan 1991, ada 6300 pasien putih dan 2.900 pasien
Amerika-Afrika, sisa pembuangan orang-orang dari ras lain atau ras
tidak diketahui (Hemphill, 2012).

C. ETIOLOGI
Koma hiperosmolar hipoglikemik nonketotik dapat disebabkan
oleh hal-hal sebagai berikut (Soewondo, 2009) :
1. Infeksi
a. Selulitis
b. Infeksi gigi
c. Pneumonia

7
d. Sepsis
e. Infeksi saluran kemih
2. Pengobatan
a. Obat kemoterapi
b. Glukokortikoid
c. Fenitoin
d. Diuretik tiazid
e. Propanolol
3. Noncompliance, maksudnya adalah ketidakpatuhan penderita Diabetes
Melitus terhadap penatalaksanaan yang dianjurkan, misalnya dalam hal
mengkonsumsi makanan, tidak patuh meminum obat, melewatkan
jadwal penyuntikan, dan lain-lain.
4. Diabetes Melitus tidak terdiagnosis.
5. Penyalahgunaan obat, seperti alkohol dan kokain.
6. Penyakit penyerta
a. Infark miokard akut
b. Tumor yang menghasilkan hormone adrenokortikotropin
c. Kejadian serebrovaskular
d. Sindrom cushing
e. Hipertermia
f. Hipotermia
g. Trombosis mesenterika
h. Pankreatitis
i. Emboli paru
j. Gagal ginjal
k. Luka bakar berat
l. Tirotoksitosis

8
D. PATOMEKANISME
Insulin memegang peranan yang sangat penting dalam membawa
glukosa kedalam sel. Insulin adalah suatu zat atau hormon yang
dikeluarkan oleh sel beta di p u l a u - p u l a u langerhans di
pankreas. Insulin yang dikeluarkan oleh sel b e t a di
ibaratkan sebuah anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya
glukosa kedalam sel, kemudian di dalam sel glukosa itu dimetabolisme
menjadi energi ataut e n a g a . B i l a i n s u l i n t i d a k a d a , m a k a
g l u k o s a t i d a k d a p a t m a s u k s e l s e h i n g g a glukosa akan
tetap berada dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya
dalamdarah meningkat (hiperglikemik) (Soegondo dkk, 2007; WHO,
2007).
Mekanisme timbulnya penyakit kencing manis atau diabetes
mellitus adalah sebagai berikut. Pada kondisi normal, glukosa dalam tubuh
yang berasal dari makanan, diserap ke dalam aliran darah dan bergerak ke
sel-sel di dalam tubuh. Glukosa tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai
sumber energi. Pengubahan glukosa dalam darah menjadi energi dilakukan
oleh hormon insulin yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas. Hormon
insulin juga berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam darah. Secara
normal, glukosa akan masuk ke sel-sel dan kelebihannya dibersihkan dari
darah dalam waktu 2 jam . Namun apabila insulin yang tersedia jumlahnya
terbatas dan atau tidak bekerja dengan normal,maka sel-sel di dalam tubuh
tidak terbuka dan glukosa akan terkumpul dalam darah. Kadar glukosa
darah di atas 10 mmol per liter merupakan kondisi di atas ambang serap
ginjal. Apabila kadar glukosa dalam darah berlebihan, maka sebagian
glukosa kemudian dibuang bersama urin. Peristiwa terbuangnya glukosa
bersama-sama urin tersebut dikenal dengan istilah kencing manis (Kurnia,
2010).
Mekanisme hampir serupa dengan KAD. Pada mulanya sel
pankreas gagal atau terhambat oleh beberapa keadaan stres yang
menyebabkan sekresi insulin mejadi tidak adekuat. Pada keadaan stres

9
terjadi peningkatan hormon glukagon sehingga pembentukan glukosa
meningkat dan menghambat pemakaian glukosa perifer, akhirnya akan
timbul hiperglikemia. Selanjutnya terjadi diuresis osmotik yang
menyebabkan cairan dan elektrolit tubuh berkurang, perfusi ginjal
menurun, dan sebagai akibatnya sekresi hormon lebih meningkat lagi dan
timbul hiperosmolar hiperglikemik (Mansjoer, 2001).
Sampai saat ini para ahli belum dapat menetapka, mengapa pada
pasien hiperosmolar tidak terjadi ketossis atau ketoasidosis. Beberapa
hipotesis diajukan tetapi rupanya patogenesis yang diajukan Gerich
mendapat perhatian dan pandangan lebih tepat (Mansjoer, 2001).
Beberapa hipotesis mengenai KHNK sebagai berikut :
1. Pada pasien KHNK diduga kadar insulin masih cukup untuk mencegah
ketosis tetapi tak dapat mempertahankan homeostasis glukosa.
Hipotesis ini ternyata tidak benar, karena diketahui bahwa kadar
insulin pada keadaan hiperosmolar dan ketoasidosis diabetik sama.
William menduga kadar insulin vena porta cukup banyak atau sel-sel
lemak yang sensitif terhadap insulin (Mansjoer, 2001).
2. Peran hiperosmolar dan dehidrasi. Pada biatang percobaan,
dengamengurang caira ternyata intoleransi glukosa akan diikuti
pngurangan pelepasan asam lemak bebas, sehigga diduga dehidrasi
mempunyai sifat antiketogenik (Mmencegah lipolisis) (Mansjoer,
2001).
Peran penurunan hormon lipolitik, seperti hormon pertumbuhan,
kortison, glukagon, katekolamin (hormon stres) kadar hormon lipolitik
yang berkurang ini memang telah dibuktikan pada koma hiperosmolar,
sehingga kadar asam lemak bebas lebih sedikit atau mempunyai kadar
sama dengan pada ketoasisdosis diabetik. Shunt mengajukan hipotesis
bahwa prostalglandin E2 (PGE2) mempunyai sifat anti lipolisis yang lebih
kuat dibandingkan insulin sehingga bila PGE2 meninggi tentu dapat
mencegah ketosis, tetapi hal ini belum terbukti (Mansjoer, 2001).

10
E. PATOFISIOLOGI

(Smeltzer, 2002).

Sindrome Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik


mengambarkan kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon
glukagon. Penurunan insulin menyebabkan hambatan pergerakan glukosa
ke dalam sel, sehingga terjadi akumulasi glukosa di plasma. Peningkatan

11
hormon glukagon menyebabkan glikogenolisis yang dapat meningkatkan
kadar glukosa plasma. Peningkatan kadar glukosa mengakibatkan
hiperosmolar. Kondisi hiperosmolar serum akan menarik cairan
intraseluler ke dalam intra vaskular, yang dapat menurunkan volume
cairan intraselluler. Bila klien tidak merasakan sensasi haus akan
menyebabkan kekurangan cairan (Sudoyo, 2006).
Tingginya kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui ginjal,
sehingga timbul glikosuria yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik
secara berlebihan (poliuria). Dampak dari poliuria akan menyebabkan
kehilangan cairan berlebihan dan diikuti hilangnya potasium,sodium dan
phospat (Sudoyo, 2006).
Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah
menjadi glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi
hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang
batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi
hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah
glukosa dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air
maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urin yang disebut glukosuria.
(Sudoyo, 2006).
Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik
non ketotik (HHNK) adalah diuresis glukosuria. Glukosuria
mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam
mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat
kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi
glukosa diatas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan
volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan
menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan konsentrasi glukosa
meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibandingkan natrium
menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk
menurunkan konsentrasi glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi
insulin (Soewondo, 2009).

12
Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam
urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intraselluler,
hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus
terus menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi.
Perfusi ginjal menurun mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat
lagi dan timbul hiperosmolar hiperglikemik (Sudoyo, 2006).
Kemudian produksi insulin yang kurang pun akan menyebabkan
menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan
makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis.
Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien
akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut
poliphagia. Kegagalan tubuh mengembalikan ke situasi homestasis akan
mengakibatkan hiperglikemia, hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan
dan dehidrasi berat. Disfungsi sistem saraf pusat karena ganguan transport
oksigen ke otak dan cenderung menjadi koma. Hemokonsentrasi akan
meningkatkan viskositas darah dimana dapat mengakibatkan pembentukan
bekuan darah, tromboemboli, infark cerebral, jantung (Sudoyo, 2006).
Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika
kehilangan cairan tidak dikompensasi dengan masukan cairan oral maka
akan timbul dehidrasi dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan
mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada
perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan stadium terakhir dari proses
hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam
kaitannya dengan hipotensi (Soewondo, 2009).

F. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Pasien dengan HHNK, umumnya berusia lanjut, belum diketahui
mempunyai DM, dan pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet
dan atau obat hipoglikemi oral. Seringkali dijumpai penggunaan obat yang
semakin memperberat masalah, misalnya diuretic (Soewondo, 2009).

13
Keluhan pasien HHNK ialah : rasa lemah, gangguan penglihatan,
atau kaki kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun
lebih jarang jika dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien dating
dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis,
kejang atau koma (Sewondo, 2009).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tamda dehidrasi berat
seperti turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung,
perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah.
Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi.
Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik
setelah rehidrasi adekuat (Soewondo, 2009).
Perubahan pada status mental dapat bekisar dari disorientasi
sampai koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan
secara langsung dengan osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat
osmolaritas serum mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350 mmol per
kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum,
local, maupun, mioklonik. Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat
reversible dengan koreksi deficit cairan (Soewondo, 2009).
Temuan laboratorium awal pada pasien dengan HHNK adalah
konsentrasi glukosa darah yang sangat tinggi (> 600 mg per dL) dan
osmolaritas serum yang tinggi (> 320 mOsm per kg air [normal = 290
5]), dengan pH lebih besar dari 7,30 dan disertai ketonemia ringan atau
tidak. Separuh pasien akan menunjukkan asidosis metabolik dengan anion
gap yang ringan (10 12). Jika anion gap nya berat (>12), harus
dipikirkan diagnosis diferensial asidosis laktat atau penyebab lain. Muntah
dan penggunaan diuretik tiazid dapat menyebabkan alkalosis metabolik
yang dapat menutupi tingkat keparahan asidosis. Konsentrasi kalium dapat
meningkat atau normal. Konsentrasi kreatinin, blood urea nitrogen
(BUN), dan hematokrit hampir selalu meningkat. HHNK menyebabkan
tubuh banyak kehilangan berbagai macam elektrolit (Soewondo, 2009).

14
Kehilangan Elektrolit pada HHNK
Elektrolit Hilang
Natrium 7 13 mEq per kg
Florida 3 7 mEq per kg
Kalium 5 15 mEq per kg
Fosfat 70 140 mEq per kg
Kalsium 50 100 mEq per kg
Magnesium 50 100 mEq per kg
Air 100 200 mEq per kg

Dalam penemuan laboratorium awal pada koma hiperosmolar


dengan seri Brookiyn dan Washington, didapatkan data sebagai berikut
(Foster, 2000) :

Penemuan Laboratorium Awal pada Koma Hiperosmolar

Seri : Brookiyn Washington


Umur, tahun 60 57
Glukosa, 65(1166) 54(976)
mmol/L (mg/dl)
Natrium, 144 142
mmol/L
Kalium, 5 5
mmol/L
Klorida, 99 98
mmol/L
Bikarbonat, 17 22
mmol/L
BUN, mmol/L 31(87) 23(65)
(mg/dl)
Kreatinin, 490(5,5) -

15
mmol/L (mg/dl)
Asam lemak 0,73 0,96
bebas, mmol/L
Osmolaritas, 384 374
mosmol/Liter
Data rata-rata dari 33 kejadian koma hiperosmoler (AA Arieff, HJ
Carrol, Medicine 51:73, 1972)
Data rata-rata dari 20 kejadian koma hiperosmoler (JE Gerich et al,
Diabetes 20:28, 1971)

G. PENATALAKSANAAN
1. Prinsip Penatalaksanaan
Angka kematian pada koma hiperosmolar tinggi (>50%).
Akibatnya terapi segera sangat mendesak. Tindakan yang paling
penting adalah pemberian cairan intravena dalam jumlah besar untuk
memulihkan sirkulasi dan aliran urin. Deficit cairan rata-rata adalah 10
sampai 11 liter. Sementara air tawar akan sangat diperlukan, terapi
awal harus berupa larutan garam isotonik, 2 sampai 3 liter harus
diberikan dalam 1 sampai 2 jam pertama. Kemudian salin separuh
kekuatan dapat digunakan. Begitu kadar glukosa mencapai normal,
dapat diberikan dekstrose 5 persen sebagai pembawa air tawar. Jika
komahiperosmolar dapat dipulihkan dengan cairan saja, insulin harus
diberikan untuk mengendalikan hiperglikemia lebih cepat. Banyak
penulis menganjurkan dosis kecil insulin tetapi mungkin diperlukan
jumlah yang lebih besar terutama pada pasien obes. Garam kalium
biasanya diperlukan lebih awal dalam terapi koma hiperosmolar
disbanding pada ketoasidosis karena pergeseran K+ plasma intraseluler
selama peningkatan terapi tanpa asidosis. Jika terdapat asidosis laktat,
natrium bikarbonat harus diberikan sampai perfusi jaringan dapat
dipulihkan. Antibiotika diperlukan jika infeksi merupakan penyakit
(Foster, 2000).

16
Penatalaksanaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik
(HHNK) meliputi lima pendekatan (Soewondo, 2009) :
a. Rehidrasi intravena agresif
b. Penggantian elektrolit
c. Pemberian insulin intravena
d. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
e. Pencegahan
2. Penatalaksanaan Medikamentosa
a. Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan
HHNK adalah penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya
dimulai dengan mempertimbangkan perkiraan defisit cairan
(biasanya 100 sampai 200 mL per kg, atau total rata-rata 9 L).
Penggunaan larutan isotonik akan dapat menyebabkan overload
cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat mengkoreksi defisit
cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis
mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1L
normal saline per jam. Jika pasiennya mengalami syok
hipovolemik, mungkin dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien
dalam keadaan syok kardiogenik, maka diperlukan monitor
hemodinamik (Soewondo, 2009).
Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun,
bahkan sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi
indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang diberikan.
Jika konsentrasi glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-
100 mg per dL per jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian
cairan yang kurang atau gangguan ginjal (Soewondo, 2009).
b. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui
pasti, karena konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau
tinggi. Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan terlihat ketika

17
diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum
masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus-
menerus dan irama jantung pasien juga harus dimonitor
(Soewondo, 2009).
Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol
per L), pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium
klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai konsentrasi kalium
setidaknya 3,3 mEq per L). Jika konsentrasi kalium lebih besar dari
5,0 mEq per L (5,0 mmol per L), konsentrasi kalium harus
diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per L, namun sebaiknya
konsentrasi kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika
konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L , maka 20-30
mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang
diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk
mempertahankan konsentrasi kalium antara 4,0 mEq per L (4,0
mmol per L) dan 5,0 mEq per L (Soewondo, 2009).
c. Insulin
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya
pamberian cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin
diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan akan berpindah
ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi,
kolaps vaskular, atau kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan
bolus awal 0,15U/kgBB secara intravena, dan diikuti dengan drip
0,1U/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah turun antara
250 mg per dL (13,9 mmol per L) sampai 300 mg per Dl. Jika
konsentrasi glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam,
dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika konsentrasi
glukosa darah sudah mencapai dibawah 300 mg/dL, sebaiknya
diberikan dekstrosa secara intravena dan dosis insulin dititrasi
secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan
hiperosmolar (Soewondo, 2009).

18
3. Penatalaksanaan Non Medikamentosa
Pasien Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (KHHNK)
biasanya datang dengan keadaan penurunan kesadaran dan dalam
keadaan gawat darurat, oleh karena itu pemberian obat secara non
farmakologi akan kurang tepat karena memberikan efek yang cukup
lama. Penatalaksaan yang tepat bagi pasien (KHHNK) yaitu secara
medikamentosa. Selain itu dapat juga dengan dilakukan pencegahan
penyakit Diabetes Melitus yang biasanya merupakan penyebab awal
KHHNK, meliputi (Yunir, 2009) :
a. Terapi gizi
Prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang
didasarkan pada status gizi diabetesi dan melakukan modifikasi
diet berdasarkan kebutuhan individual.
b. Latihan jasmani
Latihan jasmani pada diabetesi akan menimbulkan
perubahan metabolik, yang dipengaruhi selain oleh lama, berat
latihan, dan tingkat kebugaran, juga oleh kada insulin plasma,
kadar glukosa darah, kadar benda keton dan imbangan cairan tubuh
4. Identifikasi dan Mengatasi Faktor Penyebab
Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotik
kepada semua pasien yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi
antibiotik dianjurkan sambil menunggu kultur pada pasien usia lanjut
dan pada pasien hipotensi. Berdasarkan penelitian terkini, peningkatan
konsentrasi C-reactive protein dan interleukin-6 merupakan indikator
awal sepsis pada pasien dengan HHNK (Soewondo, 2009).
5. Pencegahan
Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya
penyuluhan mengenai pentingnya pemantauan konsentrasi glukosa
darah dan compliance yang tinggi terhadap pengobatan yang diberikan.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah adanya akses terhadap
persediaan air. Jika pasien tinggal sendiri, teman atau anggota keluarga

19
terdekat sebaiknya secara rutin menengok pasien untuk memperhatikan
adanya perubahan status mental dan kemudian menghubungi dokter
jika hal tersebut ditemui (Soewondo, 2009).
Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat dalam perawatan
harus diberikan edukasi yang memadai mengenai tanda dan gejala
HHNK dan juga edukasi mengenai pentingnya asupan cairan yang
memadai dan pemantauan yang ketat (Soewondo, 2009).
Kemudian diet yang baik merupakan salah satu pencegahan dari
HHNK. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan
kecukupan gizi baik sebagai berikut :
a. Karbohidrat : 60-70%
b. Protein : 10-15%
c. Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur,
stres akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk
mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat
badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensim insulin dan
memperbaiki respons sel-sel terhadap stimulus glukosa. Dalam salah
satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat
mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu
parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan
dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain
jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya
diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan
melebihi 300 mg per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal
dari bahan nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak
jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein
sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan
tempe, karena tidak banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat
penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari.

20
Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan
berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu
mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko
masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat
seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan
mineral (American Diabetes Association, 2004).
Selain diet, dengan berolah raga secara teratur dapat menurunkan
dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah
raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi
olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu
olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan
sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan (American Diabetes
Association, 2004).
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE
(Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training).
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi
maksimal (220-umur),disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi
penderita. Beberapa contoh olahraga yang disarankan, antara lain jalan
atau lari pagi, bersepeda, berenang,dan lain sebagainya. Olahraga
aerobik ini paling tidak dilakukan selama total30-40 menit per hari
didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan
antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan
meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga
meningkatkan penggunaan glukosa (American Diabetes Association,
2004).

H. PROGNOSIS
Keadaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK)
merupakan salah satu komplikasi akut atau emergensi Diabetes Melitus
(DM). Kedaruratan ini pun masih merupakan penyebab tingginya
morbiditas dan mortalitas dari pasien penderita Diabetes Melitus (DM).

21
Angka kejadian Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik masih sulit
diperkirakan karena belum ada studi populasi tentang keadaan ini, namun
diperkirakan kurang dari 1% dari semua penderita diabetes yang dirawat di
Rumah Sakit. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus. Prognosis
dari kasus ini biasanya buruk, meskipun sebenarnya kematian dari pasien
bukan disebabkan oleh sindrom hiperosmolar itu sendiri melainkan oleh
karena penyakit yang mendasarinya atau menyertainya. Angka
kematiannya berkisar antara 30 50 % yang merupakan angka kematian
yang tinggi hal ini disebabkan karena serinya terjadi kegawatan ini pada
usia lanjut dan berhubungan dengan penyakit penyakit kardiovaskular
atau penyakit yang mendasari lainnya, infeksi, dehidrasi, dan osmoralitas
darah yang sangat tinggi. Namun demikian angka kematian pada negara
maju dapat ditekan menjadi sekitar 12 % (Soewondo, 2009).

22
BAB III
KESIMPULAN

A. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik ialah suatu sindrom yang


ditandai hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ditandai
adanya ketosis, disertai menurunnya kesadaran.
B. Faktor yang mempengaruhi koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik
diantara adalah infeksi, diabetes mellitus yang tidak terdiagnosis dan
penyalahgunaan obat
C. Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik non
ketotik (HHNK) adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan
kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang
akan semakin memperberat derajat kehilangan air
D. Penegakan diagnosis selain dari keluhan pasien, pemeriksaan fisik, juga
dengan hasil laboratorium yang menunjukkan konsentrasi glukosa darah
yang sangat tinggi, osmolaritas serum yang tinggi dan juga pH lebih besar
dari 7.30 dan disertai ketonemia ringan atau tidak.
E. Penatalaksanaan medikamentosa dengan cara rehidasi intravena agresif,
penggantian elektrolit dan pemberian insulin intravena sedangkan
penatalaksanaan non medikamentosanya tidak bisa dilakukan hal ini
disebabkan karena pasien tidak koperatif

23
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes.


Diabetes Care. 2004;27(Suppl 1):S15-S35.
Foster, Daniel W. 2000. Diabetes Mellitus. Dalam : Harrison prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam edisi 13/ editor edisi bahasa inggris, Kurt J. Isselbacher et
al; editor bahasa Indonesia, Ahmad H. Asdie. Jakarta: EGC.
Hemphill, Robert R. 2012. Hyperosmolar Hyperglicemic State. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1914705-overview#a0156
Kurnia. 2010. Mekanisme Terjadinya Diabetes. Available at :
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-
health/2094446-mekanisme-terjadinya-diabetes/#ixzz1PmiprcMK
Mansjoer, Arif, Triyanti, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3. Jakarta :
Media Aesculapuis.
Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry
Hartono, Monica Ester, Yasmin asih. Jakarta : EGC.
Soegondo S. Obesitas. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, dkk (Eds). Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2007; 4;3:1919-25.
Soewondo, Pradana. 2009. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik.
Dalam : Aru W. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jakarta : Interna Publishing.
Stoner, Hyperglycemic hyperosmolar state, American Academy of Family
Physician, http://www.aafo.org/afp/20050501/1723.html
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2006. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : FKUI
WHO. Diabetes Mellitus, WHO Geneva, Available at :
Http//www.who.int.inf.fs/en/fact 138.html

24
Yunir, Em, Soebardi, dan Suharko. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3.
Jakarta : Interna Publishing.

25

You might also like