Professional Documents
Culture Documents
Referat Bedah Sol
Referat Bedah Sol
Meningioma
Oleh :
Nur Aulia Intan Pratiwi
1610221018
Pembimbing :
dr. Agung Heri Wahyu Sp.BS
Berdasarkan studi yang dilakukan pada 386 kasus penyebab SOL terbanyak yaitu
sebanyak 32,1% adalah glioma, diikuti dengan meningioma sebesar 13,7%, abses dan
tumor pituitari masing-masing 13,2% dan tuberkuloma sebesar 5,5%. Namun di daerah
endemis TB seperti Indonesia persentasi tuberkuloma mungkin lebih besar, tapi tidak ada
data yang menggambarkan berapa banyak penderita SOL akibat tuberkuloma di
Indonesia.2
Meningioma adalah tumor pada meningens, yang merupakan selaput pelindung yang
melindungi otak dan medulla spinalis. Meningioma dapat timbul pada tempat manapun di
bagian otak maupun medulla spinalis, tetapi, umumnya lebih sering terjadi di intracranial
dibandingkan intraspinal.1 Kebanyakan meningioma bersifat jinak (benign), sedangkan
meningioma malignan jarang terjadi.2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Etiologi
2.1.3 Klasifikasi5
C. Tanda-tanda melokalisir
Lobus temporalis
Lesi pada lobus temporalis sering menimbulkan gangguan psikologis yang umum
seperti perubahan perilaku dan emosi. Selain itu pasien juga dapat mengalami
halusinasi dan dj vu. Lesi pada lobus temporalis juga dapat menyebabkan
afasia.
Tumor pada daerah ini dapat mengakibatkan kejang dengan halusinasi deria bau
dangustatori, fenomena motorik dan gangguan kesadaran eksternal tanpa
penurunan kesadran yang benar. Lesi lobus temporalis dapat mengarah kepada
depersonalisasi, gangguan emosi, gangguan sikap, sensasi dj vu atau jamais vu,
mikropsia atau makropsia (objek kelihatan lebih kecil atau lebih besar daripada
seharusnya), gangguan lapangan pandang (crossed upper quadrantanopia) dan
ilusi auditorik atau halusinasi audotorik, Lesi bahagian kiri dapat mengakibatkan
dysnomia dan receptive aphasia, dan lesi pada bagian kanan menggangu persepsi
pada nada dan melodi.
Lobus frontalis
Lesi pada lobus frontalis dapat menyebabkan terjadinya anosmia. Gangguan
perilaku juga dapat terjadi dimana pasien itu cenderung berperilaku tidak sopan
dan tidak jujur. Afasia dapat terjadi apabila area Broca terlibat.
Tumor pada lobus frontalis seringkali mengarah kepada penurunan progresif
intelektual, perlambatan aktivitas mental, gangguan personality dan reflex
grasping kontralateral. Pasien mungkin mengarah kepada afasia ekspresif jika
melibatkan bahagian posterior daripada gyrus frontalis inferior sinistra. Anosmia
dapat terjadi karena tekanan pada saraf olfaktorius. Lesi presentral dapat
mengakibatkan kejang motoric fokal atau defisit piramidalis kontralateral.
Lobus parietal
Lesi pada lobus parietal dapat menyebabkan terjadinya astereognosis dan
disfasia. Selain itu dapat juga terjadi kehilangan hemisensorik.
Lobus occipital
Lesi sebelum chiasma optic dari mata akan menyebabkan gangguan pada satu
mata saja. Lesi pada chiasma optic tersebut akan menyebabkan gangguan kedua
mata. Lesi di belakang chiasma optic akan menyebabkan gangguan pada mata
yang berlawanan.
Sudut serebellopontin
Lesi pada sudut serebellopontin dapat menyebabkan tuli ipsilateral, tinnitus,
nystagmus, penurunan refleks kornea, palsi dari sarat kranial fasialis dan
trigeminus.
Mesensefalon
Tanda-tanda seperti pupil anisokor, inabilities menggerakkan mata ke atas atau ke
bawah, amnesia, dan kesadaran somnolen sering timbul apabila terdapat lesi pada
mesensefalon.
2.1.5 Diagnosis
A. Anamnesis
Pada anamnesis, pasien biasanya datang dengan keluhan yang menandakan
peningkatan tekanan intracranial seperti nyeri kepala, kejang, penurunan kesadaran,
muntah dan gangguan penglihatan. Nyeri kepala yang dirasakan mungkin lebih berat
pada pagi hari, dan diperberat saat beraktivitas, atau saat batuk, bersin dan mengedan.
Muntah yang dialami pasien biasanya merupakan muntah yang menyembur (projectile
vomiting). Keluhan penurunan kesadaran pada pasien dengan Space-occupying lesion
(SOL) intrakranial sering bersifat perlahan-lahan dimana pasien dikatakan semaking
sering mengantuk dan tidak aktif. Kejang pada pasien dicurigai dengan Space-occupying
lesion (SOL) dapat bersifat parsial atau umum. Pasien dengan riwayat kejang harus
ditelurusi dengan teliti riwayat kejangnya karena pasien dengan kejang umum bisa
dimulai dengan kejang parsial awalnya.3
B. Pemeriksaan fisik neurologis
Tanda-tanda dari Space-occupying lesion (SOL) intrakranial bervariasi dan
tergantung letak dan jenis lesi di otak. Secara umum, tanda-tanda yang sering ditemukan
pada pasien SOL adalah tanda-tanda peningkatan intrakranial seperti papillaedem dan
hidrosefalus. Selain itu, dapat juga ditemukan parase ekstrimitas, ataksia dan gangguan
gait.3
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Head CT-Scan
CT-Scan merupakan merupakan alat diagnostik yang penting dalam evaluasi
pasien yang diduga menderita tumor otak. CT-Scan merupakan pemeriksaan yang
mudah, sederhana, non invasif, tidak berbahaya, dan waktu pemeriksaan lebih singkat.
Ketika kita menggunakan CT-Scan dengan kontras, kita dapat mendeteksi tumor yang
ada. CT-Scan tidak hanya dapat mendeteksi tumor, tetapi dapat menunjukkkan jenis
tumor apa, karena setiap tumor intrakranial menunjukkan gambar yang berbeda pad
CT-Scan.6
Gambaran CT-Scan pada tumor otak, umumnya tampak sebagai lesi abnormal
berupa massa yang mendorong struktur otak disekitarnya. Biasanya tumor otak
dikelilingi jaringan oedem yang terlihat jelas karena densitasnya lebih rendah. Adanya
kalsifikasi, perdarahan atau invasi mudah dibedakan dengan jaringan sekitarnya
karena sifatnya hiperdens. Beberapa jenis tumor akan terlihat lebih nyata bila pada
waktu pemeriksaan CT-Scan disertai dengan pemberian zat kontras. Kekurangan CT-
Scan adalah kurang peka dalam mendeteksi massa tumor yang kecil, massa yang
berdekatan dengan struktur tulang kranium, maupun massa di batang otak. 6
Pada perdarahan subdural akut CT-Scan kepala (non kontras) tampak sebagai
suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian
dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak
didaerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit didaerah bagian atas
tentorium serebeli. Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur
dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT
window width. Pergeseran garis tengah (middle shift) akan tampak pada perdarahan
subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada middle shift harus
dicurigai adanya massa kontralateral dan bila middle shift hebat harus dicurigai
adanya edema serebral yang mendasarinya.6
Pada fase akut subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak sehingga lebih
sulit dinilai pada gambaran CT-Scan, oleh karena itu pemeriksaan CT-Scan dengan
kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus perdarahan subdural dalam waktu
48-72 jam setelah trauma. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal
akan tampak jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan jaringan
otak. Perdarahan subdural akut sering juga berbentuk lensa (bikonveks) sehingga
membingungkan dalam membedakannya dengan epidural hematoma. 6
Pada fase kronik lesi subdural pada gambaran CT-Scan tanpa kontras menjadi
hipodens dan sangat mudal dilihat. Bila pada CT-Scan kepala telah ditemukan
perdarahan subdural, sangat penting untuk memeriksa kemungkinan adanya lesi lain
yang berhubungan seperti fraktur tengkorak, kontusio jaringan otak dan perdarahan
subarakhnoid.6
Pada abses, CT-Scan dapat digunakan sebagai pemandu untuk dilakukannya
biopsi. Biopsi aspirasi abses ini dilakukan untuk keperluan diagnostik maupun terapi.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan pemeriksaan yang paling baik terutama untuk mendeteksi tumor
yang berukuran kecil ataupun tumor yang berada dibasis kranium, batang otak dan di
fossa posterior. MRI juga lebih baik dalam memberikan gambaran lesi perdarahan,
kistik, atau, massa padat tumor intrakranial.
3. Darah Lengkap
Pemeriksaan darah lengkap dapat dijadikan salah satu kunci untuk menemukan
kelainan dalam tubuh. Misalnya pada abses serebri dapat ditemukan leukositosis.
4. Foto Toraks
Foto toraks dilakukan untuk mengetahui apakah ada tumor di paru yaitu tempat
tersering untuk terjadinya metastasis primer paru. Pada hematoma, dapat ditemukan
juga perubahan struktur tulang, perubahan struktur garis (perdarahan / edema) dan
fragmen tulang.
5. USG Abdomen
Dilakukan untuk mendeteksi tumor dari bagian tubuh lain.
6. Biopsi
Pada tumor otak, biopsy dilakukan untuk mengetahui jenis sel tumor tersebut
sehingga dapat membantu dokter untuk mengidentifikasi tipe dan stadium tumor dan
menentukan pengobatan yang tepat seperti apakah akan dilakukan pengangkatan
seluruh tumor ataupun dilakukan radioterapi.
7. Lumbal pungsi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan jenis infeksi atau tumor pada otak.
Namun, pemeriksaan lumbal pungsi dikontraindikasikan pada pasien dengan tekanan
intrakranial yang tinggi.
2.1.6 Penatalaksanaan
2. Menurunkan demam.
Demam dapat menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah serebral dan
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Antipiretik dan kompres harus
diberikan dalam upaya menurunkan demam. Jika dari hasil pemeriksaan diketahui
adanya abses, maka antibiotik merupakan salah satu terapi yang harus diberikan.
Berikan antibiotik intravena, sesuai kultur ataupun sesuai data empiris yang ada.
Antibiotik diberikan 4-6 minggu atau lebih, hal ini disesuaikan dengan hasil
pencitraan, apakah ukuran abses sudah berkurang atau belum. Carbapenem,
fluorokuinolon, aztreonam memiliki penetrasi yang bagus ke sistem saraf pusat, tetapi
harus memperhatikan dosis yang diberikan (tergantung berat badan dan fungsi ginjal)
untuk mencegah toksisitas.
3. Menangani kejang.
Kejang dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Oleh karena itu profilaksis untuk
kejang harus diberikan untuk mencegah terjadinya kejang. Phenitoin (300-400mg/kali)
adalah yang paling mum digunakan. Selain itu, dapat juga digunakan carbamazepine
(600-1000mg/hari), phenobarbital (90-150mg/hari) dan asam valproate (750-
1500mg/hari).
4. Hiperventilasi
Hiperventilasi dapat menurunkan PaCO2 yang kemudian memicu vasokonstriksi arteri
serebral dan mengurangi aliran darah serebri.
5. Terapi hiperosmolar
Mannitol seering digunakan sebagai agen hyperosmolar untuk menurunakan tekanan
intrakranial. Baru-baru ini salin hipertonik (NaCl 3%, NaCl 23,4%) juga sering
digunakan. Mannitol sering diberikan secara intravena secara bolus dengan dosis 0,25-
1.00g/kgBB dalam situasi darurat. Untuk jangka waktu panjang, mannitol diberikan
0,25-0,5g/kgBB dan dapat diberikan setiap 2 sampai 6 jam. Harus diperhatikan supaya
tidak terjadi hipotensi arteri. Cairan harus tetap diberikan kepada pasien karena
mannitol bekerja sebagai osmotik diuretik. Mannitol meningkat tonisitas serum dan
kemudian menarik cairan edem dari parenkim serebri. Osmolaritas serum dikatakan
optimal di antara 300 sampai 320 mOsm. Osmolaritas lebih dari 320 mOsm dapat
menimbulkan efek samping seperti hipovolemi, hiperosmolartas, dan gagal ginjal.
Salin hipertonik dikatakan lebih aman diberikan kepada pasien hipovolemik atau
hipotensi karena salin tidak bekerja sebagai diuretik.
6. Drainase CSF
Pada pasien yang dipasan kateter intraventrikular untuk monitor tekanan intrakranial.
Drainase cairan CSF efektif untuk menurunkan tekanan intrakranial.
7. Barbiturat koma
Barbiturat koma harus dipertimbangkan hanya pada pasien dengan hipertensi
intrakranial refrakter. Pentobarbital diberikan dengan dosis 10mg/kgBB diikuti dengan
5mg/kgBB setiap 3 dosis. Dosis maintenance 1-2mg/kgBB/jam, kemudian dititrasi
sehingga kadar pada serum 30-50g/mL.
8. Kraniektomi dekompresi
Prosedur ini dikatakan menguntungkan pada pasien dengan trauma kepala, infark
cerebri, perdarahan subarachnoid atau intraserebri dan sindrom Reye. Prosedur ini
mungkin dapat dilakukan apabila penanganan medikamentosa tidak berhasil
menurunkan tekanan intrakranial.
9. Steroid
Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi edema serebral vasogenik. Regimen
yang sering diberikan adalah dexamethasone secara intravena 4mg setiap 6 jam.
Penanganan khusus
tergantung dari
penyebab atau
etiologi lesi intrakranial tersebut. Antara etiologi dari Space-occupying lesion (SOL)
adalah malignansi (tumor primer atau metastasis), infeksi (abses serebri, subdural abses,
epidural abses, kista hidatid), perdarahan (intraserebral, subdural, epidural) dan
granuloma (neurosistiserkosis, tuberkuloma).
2.2 Menigioma
Duramater terdiri dari jaringan fibrous yang kuat, berwarna putih, terdiri dari lamina
meningialis dan lamina endostealis. Pada medulla spinalis lamina endostealis melekat
erat pada dinding kanalis vertebralis, menjadi endosteum (periosteum), sehingga di antara
lamina meningialis dan lamina endostealis terdapat ruangan extraduralis (spatium
epiduralis) yang berisi jaringan ikat longgar, lemak dan pleksus venosus. Pada lapisan
perikranium banyak terdapat arteri meningeal, yang mensuplai duramater dan sumsum
tulang pada kubah tengkorak. Pada enchepalon lamina endostealis melekat erat pada
permukaan interior kranium, terutama pada sutura, basis krania dan tepi foramen
occipitale magnum. Lamina meningialis mempunyai permukaan yang licin dan dilapisi
oleh suatu lapisan sel, dan membentuk empat buah septa, yaitu falx cerebri, tentorium
cerebeli, falx cerebeli, dan diafragma sellae.
Falx cerebri memisahkan kedua belahan otak besar dan dibatasi oleh sinus sagital
inferior dan superior. Pada bagian depan falx cerebri terhubung dengan krista galli, dan
bercabang di belakang membentuk tentorium cerebeli. Tentorium cerebeli membagi
rongga kranium menjadi ruang supratentorial dan infratentorial. Falx cerebeli yang
berukuran lebih kecil memisahkan kedua belahan otak kecil. Falx cerebeli menutupi sinus
oksipital dan pada bagian belakang terhubung dengan tulang oksipital. 15
Duramater dipersarafi oleh nervus trigeminus dan nervus vagus. Nervus trigeminus
mempersarafi daerah atap kranial, fosa kranium anterior dan tengah. Sementara nervus
vagus mempersarafi fosa posterior. Nyeri dapat dirasakan jika ada rangsangan langsung
terhadap duramater, sementara jaringan otak sendiri tidak sensitif terhadap rangsang
nyeri. Beberapa nervus kranial dan pembuluh darah yang mensuplai otak berjalan
melintasi duramater dan berada di atasnya sehingga disebut juga segmen extradural
intrakranial. Sehingga beberapa nervus dan pembuluh darah tersebut dapat dijangkau saat
operasi tanpa harus membuka duramater.15
2.2.2 Etiologi
Hingga saat ini diyakini radioterapi merupakan factor resiko utama terjadinya
meningioma. Radiasi dosis rendah seperti pada pengobatan tinea kapitis maupun dosis
tinggi seperti pada penanganan tumor otak lain (misalnya meduloblastoma)
meningkatkan resiko terjadinya meningioma. Radioterapi dosis tinggi berhubungan
dengan terjadinya meningioma dalam waktu yang relative singkat, antara 5-10 tahun.
Sementara radiasi dosis rendah membutuhkan waktu beberapa decade sampai timbulnya
meningioma. Tumor yang timbul akibat radiasi cenderung bersifat multiple dan secara
histology ganas, serta memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk timbul kembali.
Trauma kepala diduga dapat menyebabkan tumor meningens, namun sampai saat ini
belum ada penelitian lebih lanjut yang dapat membuktikan hal tersebut. Foto dental
standar bukan merupakan factor resiko. 1 Namun beberapa penelitian epidemiologi
menyebutkan terjadi peningkatan insidens meningioma pada pasien dengan riwayat foto
dental.11
Rangsangan endogen dan eksogen via hormonal memainkan peran yang cukup
penting juga dalam timbulnya tumor meningens. Estrogen dan progesterone diduga
merupakan salah satu penyebab timbulnya meningioma karena angka prevalensi yang
lebih tinggi pada wanita. Reseptor estrogen ditemukan pada meningioma, yakni ikatan
pada reseptor tipe 2 walaupun tingkat afinitasnya terhadap estrogen tidak sekuat reseptor
yang ditemukan pada kanker payudara. Sebagai perbandingan, reseptor progesterone
diekspresikan pada 80% wanita penderita meningioma dan 40% pada pria. Lokasi ikatan
dengan progesterone lebih jarang pada meningioma yang agresif. Cara kerja reseptor-
reseptor ini masih belum diketahui, namun inhibitor estrogen dan progesterone telah
dicoba sebagai terapi walaupun belum ada bukti keberhasilan. 10
Infeksi virus seperti SV-40, termasuk dalam pathogenesis meningioma, namun data
yang terkumpul hingga saat ini masih belum meyakinkan. Meningioma diduga timbul
melalui proses bertahap yang melibatkan aktivasi onkogen dan hilangnya gen supresor
tumor. Penelitian genetic molecular telah menunjukan beberapa penyimpangan, yang
paling sering adalah hilangnya 22q pada 80% penderita meningioma sporadic. Hal ini
mengakibatkan hilangnya NF-2 gen supresor tumor yang berlokasi di 22q11 dan
berkurangnya produk protein merlin yang bertanggung jawab terhadap interaksi sel. 1 Sel
yang memiliki defek pada merlin tidak dapat mengenali sel sekitarnya dan terus menerus
tumbuh. Beberapa kelainan telah dideteksi pada kromosom lain, dan diduga beberapa
onkogen dan gen supresor tumor terlibat dalam pembentukan meningioma. 11
2.2.3 Klasifikasi
Sekitar 80% dari seluruh meningioma merupakan tumor yang tumbuh lambat. Variasi
histologi yang paling sering terdiagnosa pada regimen patologis adalah meningioma
meningotelial, fibroblastik, dan transisional. Meningioma meningotelial secara histologis
tersusun oleh sel tumor uniform yang membentuk lobulus dikelilingi oleh septa kolagen
tipis. Di dalam lobulus, sel tumor epiteloid memiliki dinding sel yang menyerupai
sinsitium. Pada inti sel terdapat ruangan kosong seperti tidak terisi karyoplasma dan
protrusi eosinofil sitoplasma, yang disebut juga pseudoinklusi. Meningioma fibroblastik
terutama disusun oleh sel berbentuk jarum yang menyerupai fibroblas dan membentuk
fasikula saling berpotongan yang tertanam dalam matriks yang kaya kolagen dan
retikulin. Meningioma transisional memiliki ciri-ciri gabungan dari kedua meningioma
sebelumnya dan biasanya muncul dengan gambaran seperti ulir, dimana sel tumor saling
membungkus satu sama lain membentuk lapisan konsentrik. Yang terakhir memiliki
kecenderungan untuk berhialinisasi dan berkalsifikasi membentuk kalsifikasi konsentrik
yang disebut badan psammoma (artinya seperti pasir berdasarkan bentuk mereka yang
seperti pasir dan kotor). Tumor yang memiliki banyak gambaran badan psammoma
disebut juga meningioma psammomatosa.12
Meningioma jinak yang tergolong dalam grade 1 WHO dapat menginvasi duramater,
sinus dura, tulang tengkorak, dan kompartmen ekstrakranial seperti bola mata, jaringan
lunak, dan kulit. Meskipun invasi ini membuat mereka semakin sulit direseksi, mereka
tidak termasuk meningioma atipikal maupun malignan. Sebaliknya, invasi otak
dihubungkan dengan angka kekambuhan dan kematian yang hampir sama dengan
meningioma atipikal secara umum, meskipun tumor nampak jinak. Meskipun lebih
banyak terjadi pada meningioma tipe baru, invasi otak belum dihubungkan dengan
perubahan genetik tertentu, namun telah dilaporkan terjadi pada tumor tanpa
ketidakseimbangan kromosom yang jelas.12
Angka kejadian meningioma atipikal (grade 2 WHO) berkisar antara 15-20% dari
keseluruhan meningioma. Setelah reseksi total, meningioma jinak dihubungkan dengan
angka kekambuhan dalam waktu 5 tahun sebanyak 5%. Sebaliknya, angka kekambuhan
untuk meningioma atipikal yang direseksi total adalah sekitar 40% dalam waktu 5 tahun
dan meningkat seiring berjalannya waktu pemantauan. Dengan demikian, diagnosis dari
meningioma atipikal memperpendek jangka waktu pemantauan post operasi. 3
Gambar 3. Histologi meningioma grade 1 WHO12
Beberapa tipe meningioma secara konsisten dikaitkan dengan perilaku ganas dan
karena itu sesuai dengan grade 3 WHO. Meningioma papiler, yang biasanya menyerang
anak-anak, menunjukan invasi ke otak dan jaringan lokal pada 75% pasien, kekambuhan
sekitar 55%, dan metastasi pada 20% pasien. Meningioma papiler secara histologi dikenal
dari pertumbuhan diskohesif, yang menghasilkan bentuk perivaskuler pseudopapiler dan
struktur yang menyerupai pseudorosette yang mirip dengan gambaran ependimoma.
Meningioma agresif lainnya adalah meningioma rabdoid, yang mengandung sel rabdoid
dengan banyak sitoplasma eosinofilik, nukleus yang terletak eksentris, dan inklusi
paranuklear yang secara ultrastruktur sesuai dengan bundel ulir dari filamen intermediat.
Gambaran rabdoid dan papiler keduanya dapat terlihat sebagai perubahan yang
berprogresi, karena keduanya biasanya timbul pertama kali pada saat kambuh dan
meningkat seiring perjalanan waktu.12
Meningioma dapat timbul tanpa gejala apapun dan ditemukan secara tidak sengaja
melalui MRI. Pertumbuhan tumor dapat sangat lambat hingga tumor dapat mencapai
ukuran yang sangat besar tanpa menimbulkan gejala selain perubahan mental sebelum
tiba-tiba memerlukan perhatian medis, biasanya di lokasi subfrontal. 1 Gejala umum yang
sering muncul meliputi kejang, nyeri kepala hebat, perubahan kepribadian dan gangguan
ingatan, mual dan muntah, serta penglihatan kabur. Gejala lain yang muncul ditentukan
oleh lokasi tumor, dan biasanya disebabkan oleh kompresi atau penekanan struktur neural
penyebab.14
Pada CT scan, tumor terlihat isodens atau sedikit hiperdens jika dibandingkan dengan
jaringan otak normal. Seringkali tumor juga memberikan gambaran berlobus dan
kalsifikasi pada beberapa kasus.1 Edema dapat bervariasi dan dapat tidak terjadi pada
50% kasus karena pertumbuhan tumor yang lambat, tetapi dapat meluas. Edema lebih
dominan terjadi di lapisan white matter dan mengakibatkan penurunan densitas.
Perdarahan, cairan intratumoral, dan akumulasi cairan dapat jelas terlihat. Invasi
sepanjang dura serebri sering muncul akibat provokasi dari respon osteblas yang
menyebabkan hiperostosis pada 25% kasus. Gambaran CT scan paling baik untuk
menunjukan kalsifikasi dari meningioma. Penelitian membuktikan bahwa 45% proses
kalsifikasi adalah meningioma.
Gambaran radiografi yang tidak khas seperti kista, perdarahan, dan nekrosis sentral
seringkali menyerupai gambaran glioma dan muncul pada sekitar 15% kasus
meningioma. Meningioma malignan sering menunjukan gambaran destruksi tulang,
nekrosis, gambaran iregular, dan edema yang luas. Diagnosis banding secara radiografi
meliputi metastasis dural, tumor meningeal primer lain, granuloma dan aneurisma.
Metastasis seringkali dikaitkan dengan edema luas dan destruksi tulang sementara
meningioma dikaitkan dengan edema sedang dan hiperostosis. 10
2.2.6 Penatalaksanaan
2.2.6.1 Pembedahan
Teknik terbaru saat ini adalah dengan memanfaatkan rekonstruksi 3 dimensi dengan
komputer untuk membantu ahli bedah dalam merencanakan prosedur operasi. MRI
intraoperasi dapat menunjukan gambaran langsung selama pembedahan. Embolisasi
preoperasi dilakukan untuk mengurangi vaskularitas tumor, memfasilitasi pengangkatan
tumor, dan mengurangi resiko perdarahan. Embolisasi pada ekor dura dapat mengurangi
resiko kekambuhan. Namun prosedur ini tidak banyak dilakukan mengingat tidak semua
rumah sakit memiliki fasilitas maupun personel yang terlatih dalam bidang ini. 10
2.2.6.2 Radioterapi
Indikasi dilakukannya terapi radiasi adalah tumor residual / sisa setelah tindakan
pembedahan, tumor berulang, dan riwayat atipikal atau malignan. Radioterapi digunakan
sebagai terapi primer jika tumor tidak dapat dicapai melalui pembedahan atau ada
kontraindikasi untuk dilakukan pembedahan. Regresi total terlihat pada 95% pasien
dalam 5 tahun pertama dan 92% dalam 10 dan 15 tahun setelah dilakukan radioterapi
dengan atau tanpa eksisi subtotal. Angka regresi tumor untuk 10 tahun pada pasien yang
dilakukan kombinasi reseksi subtotal dan radiasi adalah 82%, sementara pada pasien yang
hanya dilakukan reseksi subtotal adalah 18%. Waktu kekambuhan sekitar 125 bulan pada
pasien yang mendapat terapi kombinasi dan 66 bulan pada pasien yang menjalani reseksi
subtotal saja. Pada tumor malignan, angka harapan hidup 5 tahun setelah pembedahan
dan radiasi adalah 28%. Angka kekambuhan tumor maligna adalah 90% setelah reseksi
subtotal dan 41% setelah terapi kombinasi.10
Interferon saat ini sedang diteliti sebagai inhibitor angiogenesis. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menghentikan pertumbuhan pembuluh darah yang mensuplai
tumor. Interferon dapat dipertimbangkan pada pasien yang mengalami kekambuhan dan
meningioma maligna. Hidroxyurea dan obat-obat kemoterapi lain diyakini dapat memulai
proses kematian sel atau apoptosis pada sebagian meningioma. Namun pada uji coba
klinis, obat ini dianggap gagal karena meningioma bersifat kemoresisten. Inhibitor dari
receptor progesteron seperti RU-486 juga sedang dievaluasi sebagai pengobatan untuk
meningioma. Namun percobaan klinik terbaru, RU-486 tidak menunjukan perbaikan
apapun. Begitu juga dengan terapi antiestrogen yang tidak menunjukan perbaikan nyata
ssecara klinis pada percobaan. Beberapa agen molekular seperti penghambat receptor
faktor pertumbuhan epidermal (Epidermal Growth Factor Receptor / EGFR), inhibitor
receptor faktor pertumbuhan derivat platelet (Platelet Derived Growth Factor Receptor /
PDGFR), dan penghambat tirosin kinase masih diuji coba secara klinis. Kebanyakan uji
coba ini terbuka untuk pasien dengan meningioma yang tidak dapat dioperasi atau yang
mengalami kekambuhan.16 Kortikosteroid dapat digunakan untuk mengontrol edema
sekitar tumor namun tidak dapat digunakan dalam jangka panjang karena efek
sampingnya yang merugikan.10
Tergantung pada lokasi dari tumor, gejala yang ditimbulkan, dan keinginan pasien,
beberapa meningioma dapat ditunggu dan dipantau secara hati-hati dan teliti. 16
BAB 3
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
SOL (Space-occupying Lesion) intrakranial merupakan merupakan istilah yang
digunakan untuk generalisasi masalah tentang adanya lesi misalnya neoplama, baik jinak
maupun ganas, primer atau sekunder, dan masalah lain seperti parasit, abses, hematoma,
kista, ataupun malformasi vaskular. Tumor-tumor SOL intrakranial merupakan sekitar 9%
dari seluruh tumor primer yang terjadi pada manusia. Karena tumor-tumor ini berada
pada sistem saraf pusat maka tumor ini menjadi masalah kesehatan yang serius dan
kompleks. Tumor-tumor ini umumnya berasal dari bagian parenkim dan neuroepitel
sistem saraf pusat kecuali mikroglia dan diperkirakan sekitar 40%-50% SOL intrakranial
disebabkan oleh tumor.
Gejala klinis yang ditimbulkan tergantung pada ukuran, jenis, dan lokasi SOL dan
dapat dibagi atas gejala umum yang disebabkan peningkatan TIK dan gejala spesifik yang
merupakan defisit neurologis yang berhubungan dengan bagian yang mengalami
penekanan.SOL didiagnosa dengan anamesa, temuan klinis (gejala neurologis), dan
kemudian pemeriksaan lab dan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi maupun
histopatologi dan serologi.
Penatalaksanaan SOL meliputi tatalaksana penyakit penyebab (tumor, infeksi)
dan diikuti dengan terapi supportif untuk mengurangi gejala, pada pasien ini diberikan
obat antihipetensi, analgesic, antiemetic yang merupakan obat suportif.
Meningioma adalah tumor pada meninx, yang merupakan selaput pelindung yang
melindungi otak dan medulla spinalis. Tumbuhnva meningioma kebanvakan di tempat
ditemukan banyak villi arachnoid.
Selain peningkatan usia, faktor lain yang dinilai konsisten berhubungan dengan
risiko terjadinya meningioma yaitu sinar radiasi pengion; factor lingkungan berupa gaya
hidup dan genetik telah dipelajari namunnya perannya masih dipertanyakan. Faktor lain
yang telah diteliti yaitu penggunaan hormone endogen dan eksogen, penggunaan telepon
genggam, dan variasi genetik atau polimorfisme.
DAFTAR PUSTAKA
1. Butt ME, Khan SA, Chaudrhy NA, Qureshi GR. Intracranial-Space Occupying
Lessions a Morphological Analysis. 2005; 21(6).
2. Irfan A, Qureshi A. Intracranial Space Occupying Lession Review of 386 Cases.
1995; 45.
3. Tidy C. patient.co.uk. [Online].; 2014 [cited 2017 Juni]. Available from
www.patient.co.uk/doctor/space-occupying-lessions-of-the-brain .
4. Cross. S.S. Intracranial Space-Occupying Lesion. Underwoods Pathology: A Clinical
Approach. 6th Edition.
5. Apardi I. Tumor otak. Diakses pada Juni 2017.. Diunduh dari
http://library.usu.ac.id/downlaod/fk/bedah-iskandar%20japardi 11.pdf2.
6. Meagher. R.J. emedicine.medscape.com. [Online].;[ 2017 Juni 6. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/1137207-workup
7. Castillo L.R., Gopinath. S., Robertson. C.S. Management of Intracranial
Hypertension. Neurol Clin. May 2008; 26(2): 521-541.
8. Broderick. J.P. Harold. P.A.J., Barsan. W. Guidelines for the Manaement of
Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. 1999;30-905-915
9. UCSFHealth.org [Online].;2014 [cited 2014 Oktober 26. Available from
http://www.ucsfhealth.org/conditions/brain_tumor/treatment.html
10. Rowland, Lewis P, ed. 2005. Merritts Neurology. 11th ed. New York : Lippincott
Williams & Wilkins.
Black, Peter, et al. 2007. Meningiomas : Science and Surgery. Clinical Neurosurgery.
11.
vol 54 chapter 16 p. 91-99.
Riemenschneider, Markus J, et al. 2006. Histological Classification and Molecular
12
Genetics of Meningiomas. The Lancet Neurology. December vol 5 p. 1045-1054.
Mardjono, Mahar, Priguna Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan 13.
13 Jakarta : Dian Rakyat.
Meningioma [Internet]. 2011. Available from www.cancer.net
Rohkamm, Reinhard. 2004. Color Atlas of Neurology. Stuttgart : Thieme.
14 Meningioma [Internet]. 2012. Available from www.abta.org
15
16