You are on page 1of 6

Laporan Bidang Penyakit Dalam

BRUCELLOSIS SAPI HOLSTIE

Bedhi Kuswantoro, S.KH


120130100011012

BAGIAN PENYAKIT DALAM


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2013
A. Tinjauan Kasus
1. Anamnese
Sapi Holstie dalam masa bunting sekitar 7 bulan
Abortus trisemester terakhir (3)
Belum vaksinasi brucella
Nafsu makan sapi menurun
2. Signalment

Nama : Holstie
Jenis Hewan : Sapi
Ras : Frisan Holstein
Jenis Kelamin : Betina
Umur : 4 tahun
Berat Badan : 600 Kg
Warna : Hitam putih

B. Gejala Klinis
Kematian fetus
Fetus dalam kondisi bleeding
Vulva bengkak
Menggantungnya selaput fetus

C. Diagnosa
Brucellosis
Diagnosa dilakukan berdasarkan adanya abortus fetus pada umur
kebuntingan sekitar 7 bulan atau trisemester terakhir kebuntingan. Kecurigaan
yang mengarah brucellosis karena abortus yang terjadi pada trisemester
terakhir kebuntingan dan sapi belum divaksinasi brucella. Langkah untuk
menegakkan diagnosa dilakukan pengambilan darah untuk memastikan positif
brucella. Berdasarkan hasil pemeriksaan lab sapi Holstie dinyatakan positif
brucellosis.
D. Prognosa
Dubius

E. Terapi
Oxitetraciclin IM
Xylamidon IM
Modivitasan IM

F. Pembahasan
Berdasarkan anamnesa dan gejala klinis yang muncul serta hasil
pemeriksaan RBT (Rose Bengal Test) diagnosa akhir sapi Holstie adalah
brusellosis. Bruselosis merupakan zoonosis penting yang berdampak kepada
kesehatan masyarakat dan menyebabkan kerugian ekonomi (Abdoel et al.
2008). Bruselosis disebut dengan undulant fever, Mediterranean fever, Malta
fever, keluron, contagious abortion atau Bangs disease. Bovine brucellosis
disebabkan oleh Brucella abortus yang menyebabkan kerugian ekonomi karena
abortus, pedet lahir mati/lemah, sterilitas akibat gangguian reproduksi,
turunnya produksi susu serta turunnya akses pasar baik skala nasional maupun
internasional (Akhtar et al. 2010). Infeksi pada manusia disebabkan oleh
konsumsi susu atau keju non-pasteurisasi yang terkontaminasi (foodborne
transmission), terpapar hewan terinfeksi, karkas atau sekresi uterus dan fetus
abortus (Al-majali 2005).
Penyakit infeksius Brucellosis disebabkan oleh infeksi bakteri dari
genus Brucella. Secara morfologi, kuman Brucella bersifat Gram negatif, tidak
berspora, berbentuk cocobasillus (batang pendek) dengan panjang 0,6 - 1,5 m,
tidak berkapsul, tidak berflagella sehingga tidak bergerak (non motil). Dalam
media biakan, koloni kuman Brucella berbentuk seperti setetes madu bulat,
halus, permukaannya cembung dan licin, mengkilap serta tembus cahaya
dengan diameter 1-2 mm. Pada pengecatan Gram, kuman terlihat sendiri-
sendiri (tidak berkoloni), berpasangan atau membentuk rantai pendek. Secara
biokimia, kuman Brucella dapat mereduksi nitrat, menghidrolisis urea, dan
tidak membentuk sitrat tetapi membentuk H2S. Pertumbuhan kuman
memerlukan temperatur 20-40C dengan penambahan karbondioksida (C02) 5-
10%. Kuman Brucella di luar tubuh induk semang dapat bertahan hidup pada
berbagai kondisi lingkungan dalam waktu tertentu. Kemampuan daya tahan
hidup kuman Brucella pada tanah kering adalah selama 4 hari di luar suhu
kamar, pada tanah yang lembab dapat bertahan hidup selama 66 hari dan pada
tanah becek bertahan hidup selama 151-185 hari. Kuman Brucella juga dapat
bertahan hidup selama 2 hari dalam kotoran atau limbah kandang bagian
bawah dengan suhu yang relative tinggi . Pada air minum ternak, kuman dapat
bertahan selama 5 - 114 hari dan pada air limbah selama 30 - 150 hari.
Patogenesis infeksi brucellosis terjadi pada kelenjar limfe
supramamaria. Pada uterus, lesi pertama terlihat pada jaringan ikat antara
kelenjar uterus mengarah terjadinya endometri tisulseratif, kotiledon kemudian
terinfeksi disertai terbentuknya eksudat pada lapisan allantokhorion. Brucella
banyak terdapat pada vili khorion, karena terjadi penghancuran jaringan,
seluruh vili akan rusak menyebabkan kematian fetus dan abortus. Jadi
kematian fetus adalah gangguan fungsi plasenta disamping adanya endotoksin.
Fetus biasanya tetap tinggal diuterus selama 24-72 jam setelah kematian.
Selaput fetus menderita oedematous dengan lesi dan nekrosa.
Gejala klinis dari penyakit brucellosis yang ditemukan dilapangan
antara lain adanya abortus atau dimasyarakat dan peternak dikenal dengan
keluron. Abortus terjadi pada umur kebuntingan 7 bulan, biasanya sekitar 6
sampai 9 bulan kebuntingan, selaput fetus yang yang diaborsikan terlihat
oedema, hemoragi, nekrotik dan adanya eksudat kental serta adanya retensi
plasenta, metritis dan keluar kotoran dari vagina. Penyakit brucellosis ini juga
menyebabkan perubahan didalam ambing. Lebih dari setengah dari sapi-sapi
yang titer aglutinasinya tinggi menunjukkan presentasi yang tinggi didalam
ambingnya. Selain itu juga penyakit brucellosis ini menimbulkan lesi
higromata terutama pada daerah sekitar lutut. Lesi ini terbentuk sebagai
regangan sederhana atas bungkus sinovia pada persendian, yang berisi cairan
yang jernih atau jonjot fibrin maupun nanah. Kemungkinan terjadinya higroma
akibat adanya suatu trauma kemudian kuman brucella yang berada didalam
darah membentuk koloni di daerah persendian tersebut. Nafsu makan yang
menurun dan tampak induk yang gelisah. Gambaran patologi anatomi pada
fetus tampak adanya placentitis, nekrosa kotiledon berfibrin dan bernanah,
janin mengalami edema subkutan dan jaringan ikat intermuskuler. Pada pasca
kelahiran terlihat pedet terbungkus eksudat bernanah dengan tali pusar
meradang.
Terapi brucellosis harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya
komplikasi dan relapsis. Sampai saat ini belum ada obat yang cukup efektif.
Namun pada pengobatan kasus brucellosis penggunaan lebih dari satu
antibiotik yang diperlukan selama beberapa minggu, hal ini dikarenakan
bakteri berada di dalam sel. Pada kasus ini terapi yang digunakan adalah
pemberian injeksi Vetoxy, Modivitasan dan Xylomidon.
Tindakan pencegahan brucellosis yang dapat dilakukan dilapangan
antara lain dengan memperhatikan lalu lintas ternak untuk daerah yang bebas.
Sapi yang tertular dipisahkan dari kelompoknya dan sebaiknya di potong
paksa. Fetus dan placenta yang abortusan harus dikubur atau dibakar dan
tempat yang terkontaminasi harus didesinfeksi. Program vaksinasi dilakukan
pada anak sapi umur 3-7 bulan dengan vaksin Brucella Strain 19. Metode
pengendalian lainnya ialah vaksinasi dengan 45/20 terhadap semua ternak, uji
serologik secara teratur dengan SAT atau BRT dan CFT, monitoring dengan
MRT dan isolasi atau penyingkiran reaktor.

G. Referensi
Abdoel T H dan Smits H L. 2007. Rapid latex agglutination test for the
serodiagnosis of human brucellosis; Diagn. Microbiol. Infect. Dis. 57
123128.
Anazi, A. 2009. Brucella bacteremia in a recipient of an allogeneic
hematopoieticstem cell transplant. Saudi Arabia : Section of
Microbiology, Department of Pathology, Armed Forces Hospital. pp. 1-
4.
Domenech, J. Dr. 2009. Brucella Melitensis In Eurasia And The Middle East.
Roma : FAO Animal Production and Health Proceedings.
Ganner, G. 2009. Bovine Brucellosis: Brucella abortus. Ames : Iowa State
University College of Veterinary Medicine.
Graciela, M. 2009. Una enfermedad infecto-contagiosa Brucelosis. Corrientes :
INTA Mercedes. pp. 105-108.
Khan, A dan Gul, S.T. 2007. Epidemiology And Epizootology Of Brucellosis.
Pakistan : Department of Veterinary Pathology, University of
Agriculture. pp. 145-151.
Mantur, G.B dan Amarnath, K.S. 2008. Brucellosis in India. India :
Department of Microbiology, Belgaum Institute of Medical Sciences.
pp. 539-547.
Noor, S.M. 2008. Brucellosis: Penyakit Zoonosis yang Belum Banyak Dikenal
Di Indonesia Vol. 16. Bogor : Balai Penelitian Veteriner. pp. 31-39.
Noor, S.M. 2007. Epidemiologi Dan Pengendalian Brucellosis Pada Sapi Perah
Di Pulau Jawa. Bogor : Balai Penelitian Veteriner. pp. 75-81.
Richey, E.J dan Harrel, D.C. 2008. Brucella Abortus Disease (Brucellosis) in
Beef Cattle. Florida : University of Florida.

You might also like