You are on page 1of 6

A.

Hemothoraks
Hemothorax adalah kumpulan darah di dalam ruang antara dinding dada dan paru-
paru (rongga pleura). Penyebab paling umum dari hemothorax adalah trauma dada.
Trauma misalnya:
a. Luka tembus paru-paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada
b. Trauma tumpul dada kadang-kadang dapat mengakibatkan lecet
hemothorax oleh pembuluh internal.
Diathesis perdarahan seperti penyakit hemoragik bayi baru lahir atau purpura
Henoch-Schnlein dapat menyebabkan spontan hemotoraks. Adenomatoid
malformasi kongenital kistik: malformasi ini kadang-kadang mengalami komplikasi,
seperti hemothorax (Pusponegoro , 2007).

a. Patofisiologi
Perdarahan ke dalam rongga pleura dapat terjadi, hampir semua gangguan
dari jaringan dinding dada dan pleura atau struktur intratoracic yang fisiologis
terhadap pengembangan hematothorax diwujudkan dalam 2 bidang utama
hemodinamik dan pernapasan . Tingkat respons hemodinamik ditentukan oleh jumlah
dan kecepatan kehilangan darah .Gerakan pernapasan normal mungkin terhambat oleh
ruang efek menduduki akumulasi besar darah dalam rongga pleura . Dalam kasus
trauma , kelainan ventilasi dan oksigen dapat mengakibatkan , terutama jika dikaitkan
dengan cedera pada dinding dada . Dalam beberapa kasus nontraumatic asal usul ,
terutama yang berkaitan dengan pneumotorax dan jumlah terbatas perdarahan , gejala
pernapasan dapat mendominasi (Pusponegoro, 2007).
b. Etiologi
1. Traumatis
1) Trauma tumpul.
2) Penetrasi Trauma.
2. Non traumatik atau spontan
1) Neoplasia
2) Diskrasia darah, termasuk komplikasi antikoagulasi.
3) Emboli paru dengan infark.
4) Emfisema.
5) Tuberkulosis
6) Paru arteriovenosa fistul
B. Pneumothoraks
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara bebas di dalam ruang
pleura. Menurut etiologinya pneumotoraks dapat terjadi spontan, karena trauma, dan
akibat tindakan medis (Bradley, 1997; Jain et al., 2008 ; Pappachan, 2009).
Pneumotoraks berdasar penyebabnya dibagi menjadi :
1. Pneumotoraks spontan: setiap pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa
adanya suatu penyebab (trauma ataupun iatrogenic), dibagi lagi menjadi 2:
a. Pneumotoraks spontan primer : terjadi tanpa ada riwayat penyakit
paru yang mendasarinya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder : terjadi karena penyakit paru yang
mendasarinya.
2. Pneumotoraks traumatic : pneumotoraks yang terjadi akibat suatu trauma,
baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura,
dinding dada, maupun paru. Pneumotoraks traumatic tidak harus disertai
dengan fraktur iga maupun luka penetrasi. Trauma tumpul atau kontusio
pada dinding dada dapat menimbulkan pneumotoraks. Berdasar
kejadiannya pneumotoraks traumatic dibagi menjadi 2 :
a. Penumotoraks traumatic bukan iatrogenic : terjadi karena jejas
kecelakaan, baik terbuka maupun tertutup.
b. Pneumotoraks traumatic iatrogenic : pneumotroraks terjadi karena
komplikasi tindakan medis.
Berdasarkan jenis fistulanya, dibagi menjadi 3 :
1. Penumotoraks tertutup : pneumotoraks dengan tekanan udara di rongga
pleura yang sedikit lebih tinggi disbanding tekanan pleura pada sisi
hemitoraks kontralateral, tetapi lebih rendah dari tekanan atmosfer.
2. Pneumotoraks terbuka : terjadi karena luka terbuka pada dinding dada
sehingga saat inspirasi udara dapat keluar masuk lewat luka tersebut.
3. Tension pneumotoraks : terjadi karena mekanisme check valve yaitu pada
saat inspirasi udara masuk rongga pleura, tetapi saat ekspirasi udara dalam
rongga pleura tidak bias keluar, sehingga semakin lama tekanan dalam
rongga pleura meiningkat mendesak paru dan dapat menyebabkan gagal
napas (Barnawi dan Eko, 2006)
Pneumotoraks mengurangi kapasitas vital paru dan juga menurunkan tekanan
oksigen, yang terjadi karena kebocoran antara alveolus dan rongga pleura sehingga
udara akan berpindah dari alveolus ke rongga pleura hingga tekanan di kedua sisi
sama. Akibatnya, volume paru bekurang dan volume rongga toraks bertambah
(Pappachan, 2009). Pneumotoraks lebih sering terjadi pada anak karena letak pleura
terhadap trakea lebih tinggi sehingga mudah mengalami trauma. Hal ini dapat
mengakibatkan gangguan sirkulasi darah, atau udara masuk ke rongga pleura
(Lindman dan Morgan, 2010). Gejala pneumotoraks tergantung pada jenis dan
luasnya. Pasien biasanya merasa nyeri yang hebat, sesak napas, batuk-batuk.
Pneumotoraks yang kecil dapat tanpa gejala, tetapi ketika tedapat sesak serta nyeri
dan dada yang terkena terasa sempit, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya
pneumotoraks desakan (tension pneumothorax) yang berbahaya, karena terjadi
pendorongan vena kava sehingga akan mengakibatkan berkurangnya curah jantung,
diikuti gejala hipoksia dan asidosis metabolic (Jain et al., 2008).
Penatalaksanaannya tergantung pada berapa luas pneumotoraks yang terjadi.
Jika sedikit, cukup diobservasi namun jika luas perlu dilakukan drainase tertutup
dengan pemasangan pipa salir.
Prinsip penatalaksanaan pneumotoraks yaitu
1. Pemberian oksigen
2. Mengatasi penyebabnya dengan mengeluarkan udara yang
terperangkap.
3. Menjaga jalan nafas tetap aman.
4. Memberi ventilasi yang adekuat.

(Jain et al., 2009).

TENSION PNEUMOTORAKS

Tension pneumotoraks merupakan keadaan gawat darurat bedah yang memerlukan


diagnosis dan penanganan segera. Tension pneumotoraks berkembang ketika terjadi one-way-
valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melaui dinding
dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat
udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di
intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi
berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan
menekan paru kontralateral.

Penyebab tersering dari tension pneumotoraks adalah komplikasi penggunaan


ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan
kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumotoraks dapat timbul sebagai komplikasi dari
pneumotoraks sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim
paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena
jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat
menyebabkan tension pneumotoraks, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan
pembalut (occlusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-valve.
Tension pneumotoraks juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang
mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures).

Diagnosis tension pneumotoraks ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan terapi


tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologi. Tension pneumotoraks
ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernapasan, takikardi, hipotensi, deviasi
trakea, hilangnya suara napas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis merupakan
manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade
jantung maka sering membingungkan pada awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan
hilangnya suara napas pada hemitoraks yang terkena pada tension pneumotoraks dapat
membedakan keduanya. Tension pneumotoraks membutuhkan dekompresi segera dan
penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada spatium
intercostale 2 linea midclavicula pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini
akan mengubah tension pneumothorax menjadi pneumotoraks sederhana. Evaluasi ulang
selalu diperlukan. Terapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemasangan selang dada (chest
tube) pada spatium intercostale 5 di antara garis anterior dan midaxillaris (Komisi Trauma
IKABI, 1997)

Prinsip penatalaksanaan/manajemen tension pneumotoraks (Parwaningtyas, 2008):

1. Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara umum (primary


survey secondary survey).
2. Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif (berturutan)
3. Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien stabil), adalah
portable x-ray, portable blood examination, portable bronchoscope. Tidak dibenarkan
melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang emergency.
4. Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi terutama untuk
menemukan masalah yang mengancam nyawa dan melakukan tindakan penyelamatan
nyawa.
5. Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau
setelah melakukan prosedur penanganan trauma.
6. Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah memiliki
sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).
7. Oleh karena langkah-langkah awal dalam primary survey (airway, breathing, circulation)
merupakan bidang keahlian spesialistik Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, sebaiknya
setiap RS yang memiliki trauma unit/center memiliki konsultan bedah toraks
kardiovaskular.

A. Trauma Urogenitalia
Sebagian besar cidera organ genetourinaria buakan cidera yang mengancam
jiwa kecuali cedera berat pada ginjal yang menyebabkan kerusakan parenkim ginjal
yang cukup luas dan kerusakan pembuluh darah ginjal (Focseneanu and Merritt,
2013).
1. Trauma Ginjal
Trauma pada ginjal biasanya terjadi karena jatuh dan kecelakaan kendaraan
bermotor. Dicurigai terjadi trauma pada ginjal dengan adanya fraktur pada costa
ke XI XII atau adanya tendensi pada flank. Jika terjadi hematuri, lokasi
perlukaan harus segera ditentukan. Laserasi pada ginjal dapat berdarah secara
ekstensif ke dalam ruang retroperitonial. Gejala klinis : Pada ruptur ginjal
biasanya terjadi nyeri saat inspirasi di abdomen dan flank, dan tendensi CVA.
Hematuri yang hebat hampir selalu timbul, tapi pada mikroscopic hematuri juga
dapat menunjukkan adanya ruptur pada ginjal. Diagnosis, membedakan antara
laserasi ginjal dengan memar pada ginjal dapat dilakukan dengan pemeriksaan
IVP atau CT scan. Jika suatu pengujian kontras seperti aortogram dibutuhkan
karena adanya alasan tertentu, ginjal dapat dinilai selama proses pengujian
tersebut. Laserasi pada ginjal akan memperlihatkan adanya kebocoran pada zat
warna, sedangkan pada ginjal yang memar akan tampak gambaran normal atau
adanya gambaran warna kemerahan pada stroma ginjal. Tidak adanya visualisasi
pada ginjal dapat menunjukkan adanya ruptur yang berat atau putusnya tangkai
ginjal. Terapi : pada memar ginjal hanya dilakukan pengamatan. Beberapa
laserasi ginjal dapat diterapi dengan tindakan non operatif. Terapi pembedahan
wajib dilakukan pada ginjal yang memperlihatkan adanya ekstravasasi.

Ginjal terletak di rongga retroperitoneum dan terlindungi oleh otot-otot


punggung di sebelah posterior dan oleh organ-organ intraperitoneal di sebelah
anteriornya karena itu cedera pada ginjal jarang diikuti oleh cedera pada organ-
organ yang mengitarinya. Cedera ginjal dapat terjadi secara langsung akibat
benturan yang mengenai daerah pinggang atau tidak langsung akibat deselerasi
pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitoneum. Jenis cedera
yang mengenai ginjal dapat berupa cedera tumpul, luka tusuk atau luka tembak.
Pada trauma ringan mungkin pasien nyeri di daerah pinggang terlihat jejas berupa
ekimosis dan terdapat hematuria makroskopik ataupun mikroskopik. Pada trauma
mayor pasien datang dengan syok berat dan terdapat hematoma yang makin lama
makin membesar.Untuk itu harus segera dilakukan eksplorasi laparatomi untuk
menghentikan perdarahan (Salmaslioglu et al., 2013).

You might also like