Professional Documents
Culture Documents
STEP 1
STEP 2
LEPRA
Apa itu Lepra?
Apa saja penyebabnya?
Apa saja klasifikasinya?
Bagaimana mekanisme terjadinya lepra sampai timbul gejala?
Apa faktor risiko?
Bagaimana tanda gejala berdasarkan klasifikasi?
Apa saja DD nya?
Bagaimana cara mendiagnosisnya?
- Apa saja PP lainnya
Bagaimana penatalaksanaannya?
Bagaimana pencegahannya?
STEP 3
Aktivitas dari sel cd4 dan cd8,sel ini akn mencapai ke bagian
epidermis kulit,dilapisan ini sel cd akan merusak melanosit yg
brfungsi untuk mewarnai kulit
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium
leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan
saraf pusat.
Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin edisi keempat FKUI
Kusta (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae (M. leprae).
Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid II
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN pada
tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media
artificial. M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan
alcohol serta positif Gram.
Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin edisi keempat FKUI
M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf
perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati dan sumsum
tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri M. leprae 12-21 hari dan masa
tunasnya antara 40 hari-40 tahun.
Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid II
Penularan penyakit lepra paling mungkin terjadi bila anak-anak mengalami kontak selama
waktu yang lama dengan orang yang banyak melepas basil. Secret hidung merupakan
bahan paling infeksius untuk kontak keluarga. Masa inkubasinya mungkin 2-10 tahun.
Tanpa profilaksis, kira-kira 10% anak-anak yang terinfeksi dapat menderita penyakit ini.
Pengobatan cenderung mengurangi atau menghilangkan infektivitas penderita.
Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick & Adelberg edisi 20
Menurut madrid
I(intermedial)
T(Tuberkuloid)
B(Border line)
L(Lepramatousa)
Yg kemudian dikelilingi
TUBERKEL GRANULOMA
atrofi otot
nekrosis jaringan
mutilasi
m.lepra puna G domain of ekstraseluler matriks protein lamini2 yg
nanti nya akan berikatan dgn sel Schwann mll reseptor
distroglikanaktifkan MHC II cd4+Th1 dan Th2aktifkan
makrofaggagal bunuh makrofagfenolat glikolipid
I(melindungi)sitokin dan GF meningkatmerusak
saraffibrouspenebalan
Menurut madrid
I(intermedial)
T(Tuberkuloid)
B(Border line)
L(Lepramatousa)
DIAGNOSIS KUSTA
Diagnosis kusta didasarkan pd penemuan
tanda-tanda kardinal (Cardinal sign), yaitu:
sekumpulan tanda-tanda utama utk
menegakkan diagnosis kusta:
(1) Adanya bercak kulit yang mati rasa, dimana
bercak tersebut bisa hipopigmentasi atau
bercak eritemtosa,plak infiltrat (penebalan
kulit) atau nodul-nodul. Mati rasa pada
bercak bisa total atau sebagian saja thd rasa
raba, rasa suhu (panas/dingin) dan rasa
sakit.
(2) Adanya penebalan saraf tepi.
a) Anamnesis
Keluhan pasien pasien berupa adanya bercak pucat atau
kemerahan,mendatar (macula),atau meninggi (plak) yg mati
rasa,bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba,rasa
suhu,dan rasa nyeri.
-Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
-Gangguan fungsi motorik : lemas atau lumpuh
-Gangguan fungsi otonom : kulit mbesisik,bengkak,pertumbuhan
rambut terganggu
Riwayat kontak dengan pasien/berasal dari daerah endemic MH
Latar belakang keluarga,misalnya keadaan social ekonomi
b) Pemeriksaan fisik
Inspeksi
a. Predileksi lesi kulit pada bagian tubuh yg relative
dingin,missal: muka,hiung,telinga,bag tubuh yg terbuka
b. Perhatikan ada/tdaknya gambaran klinis organ tubuh lain yg
mungkin diserang
Mata ada tdknya iritis,gguan visus sampai kebutaan
Hidung ada tdknya epistaksis,hidung pelana
Tulang dan sendi ada tdknya absorbs,mutilasi,tanda-
tanda arthritis
Lidah ada tdknya ulkus/nodus
Larings ada tdknya suara parau
Testis ada tdaknya ginekomastia,tanda2 apididimis
akut, orkitis,atrofi
Kelenjar limfe ada tdk limfadenitis
Rambut ada tdk alopesia,madarosis
c. Kerusakan beberapa saraf tepi
Tangan lunglai ( drop wrist )
Jari kiting ( clow toes )
Tangan cakar ( clow hand )
Kaki simper (drop food )
Jari kiting ( claw toes )
d. Tanda sisa penyakit kusta
Kulit : atrofi,keriput,non-regenerasi dan bulu hilang
Saraf : mati rasa persisten,paralisis,kontraktur,dan
atrofi otot
Palpasi
Kelainan kulit : nodus,infiltrate,jaringan parut,ulkus,khususnya
pada tangan dan kaki
Kelainan saraf : N.auricularis magnus,N.ulnaris,N.peroneus
lateralis,N.tibialis posterior,N.radikulotaneus.
Pemeriksaan saraf tepi :
Bandingkansaraf bag kanan dan kiri
Membesar atau tidak
Pembesaran regular atau ireguler
Perabaan keras atau kenyal
Nyeri atau tidak
c) Pemeriksaan penunjang
Kerokan kulit atau kerokan selaput mukosa hidung dengan pisau skapel,
atau bahan dari biopsy kulit daun telinga dibuat menjadi sediaan
mikroskopik pada gelas alas dan diwarnai dengan teknik Ziehl-Neelsen.
Biopsy kulit atau saraf yang menebal memberikan gambaran histologik
yang khas.
1. Pemeriksaan bakterioskopik (bakteri di laboratorium)
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap bakteri tahan asam, antara
lain dengan Ziehl Neelsen. Pemeriksaan bakteri negatif pada seorang penderita,
bukan berarti orang tersebut tidak mengandung M. leprae. Pertama-tama kita
harus memilih tempat-tempat di kulit yang diharapkan paling padat oleh bakteri,
setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Untuk
pemeriksaan rutin biasanya diambil dari minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping
telinga bagian bawah dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, berarti yang paling
merah di kulit dan infiltratif
2. Pemeriksaan histopatologi (jaringan sel abnormal)
Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis
secara teliti dan pemeriksaan bakterioskopis. Pada sebagian kecil kasus bila
diagnosis masih meragukan, pemeriksaan histopatologis dapat membantu.
Pemeriksaan ini sangat membantu khususnya pada anak-anak bila pemeriksaan
saraf sensoris sulit dilakukan, juga pada lesi dini contohnya pada tipe
indeterminate, serta untuk menentukan tipe yang tepat.
3. Pemeriksaan serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman M. leprae mengakibatkan diagnosis
serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Beberapa tes serologis
yang banyak digunakan untuk mendiagnosis kusta adalah :
tes FLA-ABS
tes ELISA
tes MLPA untuk mengukur kadar antibodi Ig G yang telah terbentuk di dalam
tubuh pasien, titer dapat ditentukan secara kuantitatif dan kualitatif.
Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick & Adelberg edisi 20
Bagaimana penatalaksanaannya?
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan
mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS
dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat dan
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995) sebagai berikut :
Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
1. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
2. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan, dan setelah selesai minum 6 dosis
dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun secara
klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi
menggunakan istilah Completion of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam
pengawasan.
Tipe MB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
1. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
2. Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50
mg/hari diminum di rumah.
3. DDS 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai
minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan
bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang
diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
Putus Obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya
maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat
12 dosis dari yang seharusnya.
Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan Pemberantasan Penyakit Kusta Depkes (1999)
adalah sebagai berikut :
1. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan
dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.
2. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36 bulan
dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.
3. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan
laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan dimasukkan dalam register
pengamatan (surveillance) dan dapat dilakukan oleh petugas kusta.
4. Masa pengamatan.
Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif :
a. Tipe PB selama 2 tahun.
b. Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium
5. Hilang/Out of Control (OOC)
Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak mengambil obat
dan dikeluarkan dari register pasien.
6. Relaps (kambuh)
Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT.
Indikasi Rujukan
1. Memastikan diagnosis penyakit kusta.
2. Neuritis akut dan subakut.
3. Reaksi reversal berat.
4. Reaksi ENL berat.
5. Komplikasi pada mata.
6. Reaksi terhadap antikusta.
7. Tersangka resisten terhadap antikusta.
8. Pasien cacat yang memerlukan rehabilitasi medic.
9. Pasien dengan keadaan umum buruk atau darurat.
10. Pasien kusta yang membutuhkan latihan fisioterapi.
11. Pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi.
12. Luka lebar dan dalam pada anggota gerak.
13. Pasien kusta yang membutuhkan tindakan bedah septic.
14. Pasien yang memerlukan protese.
15. Indikasi social.
Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid II
Beberapa sulfon khusus (misalnya dapson, DDS) dan rifampisin menekan pertumbuhan M.
leprae dan manifestasi klinik lepra bila diberikan selama beberapa bulan. Resistensi
terhadap sulfon mulai timbul pada lepra. Karena alasan tersebut, pengobatan permulaan
dengan kombinasi sulfon+rifampisin sedang diselidiki. Klofamizin adalah obat oral (100-300
mg/hari) yang digunakan pada penderita lepra yang resisten terhadap sulfon.
Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick & Adelberg edisi 20
Obat anitkusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diaminodifenil sulfon)
kemudian klofazimin dan rifampisin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan tiga obat
antibiotic lain untuk pengobatan alternative, yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.
Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT dan yang dilaksanakan di Indonesia sesuai
rekomendasi WHO, dengan obat alternative sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan.
Yang paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS, karena DDS adalah obat antikusta yang
paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita yang ada di
Negara berkembang dengan social ekonomi rendah.
DDS
Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi sekunder terjadi oleh
karena :
Monoterapi DDS
Dosis terlalu rendah
Minum obat tidak teratur
Pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun
Resistensi hanya terjadi pada kusta MB, tetapi tidak pada PB, oleh karena SIS penderita PB
tinggi dan pengobatannya relative singkat.
Resistensi primer, terjadi bila orang ditulari oleh M. leprae yang telah resisten, dan
manifestasinya dapat dalam berbagai tipe (TT, BT, BB, BL, LL), bergantung pada SIS
penderita. Derajat resistensi yang rendah masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih
tinggi, sedangkan pada derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.
Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk :
Mencegah dan mengobati resistensi
Memperpendek masa pengobatan
Mempercepat pemutusan mata rantai penularan
Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain :
Efek terapeutik obat
Efek samping obat
Harga obat
Kemungkinan penerapannya
Kalau kombinasinya terlalu kompleks dan terlalu mahal, maka tidak dapat dilaksanakan dan
sebaliknya jika kombinasinya terlalu sederhana dan terlalu murah, akan mengundang
resistensi baru. Pengertian MDT pada saat ini ialah DDS sebagai obat dasar ditambah
dengan obat-obat lain. Dosis DDS ialah 1-2 mg/KgBB setiap hari.
Efek samping yang mungkin timbul antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik,
leucopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis,
hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.
Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan dosis 10
mg/KgBB; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada
pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2
minggu mengingat efek sampingnya.
Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.
Klofazimin (lamprene)
Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg
setiap minggu. Juga bersifat antiinflammasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan
E.N.L dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300 mg/hari, namun awitan kerja baru timbul
setelah 2-3 minggu. Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982.
Efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sclera,
sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang merupakan zat warna
dan dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Obat ini
menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat
penderita. Efek samping hanya terjadi pada dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal
yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia dan vomitus. Selain itu dapat terjadi
penurunan BB. Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat
dihentikan.
Protionamid
Dosis diberikan 5-10 mg/KgBB setiap hari dan untuk Indonesia obat ini tidak atau jarang
dipakai.
Ofloksasin
Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium leprae in
vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis
akan membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya
adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya. Berbagai gangguan susunan saraf
pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi. Walaupun
demikian hal ini jarang ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan penghentian
pemakaian obat.
Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena dapat
juga menyebabkan atropati.
Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada
klaritromisin, tetapi lebih rendah dari rifampisin. Dosis standar harian 100 mg. efek
sampingnya adalah pewarnaan pada gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtomp saluran cerna dan susunan
saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk
anak-anak atau selama kehamilan.
Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap
Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis
harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9%
dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering
ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.
Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin edisi keempat FKUI
Bagaimana pencegahannya?
Identifkasi dan pengobatan penderita lepra merupakan kunci pengendalian. Anak-anak dari
orang tua yang dicurigai menular diberi obat kemoprofilaksis sampai pengobatan pada
orang tua itu membuat mereka tidak infeksius lagi. Bila salah satu anggota keluarga
menderita lepra lepromatosa, profilaksis diperlukan bagi anak-anak dalam keluarga
tersebut. Vaksinasi BCG dan vaksin M. lepra sedang dicoba digunakan pada keluarga yang
terkontak dan mungkin untuk masyarakat yang terkontak pada daerah endemic.
Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick & Adelberg edisi 20