You are on page 1of 3

Penatalaksanaan Gawat Darurat

Korban Kecelakaan Sesuai Dengan


Etika, Hukum, dan Disiplin
Profesi Kedokteran
Posted on 4 September 2009 by Agatha Dinar

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penderita gawat darurat adalah penderita yang oleh karena suatu penyebab (penyakit, trauma,
kecelakaan, tindakan anestesi) yang bila tidak segera ditolong akan mengalami cacat, kehilangan
organ tubuh atau meninggal. (Sudjito, 2003).

Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), pasal 2, setiap dokter harus senantiasa
berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi, yaitu sesuai
dengan perkembangan IPTEK kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama,
sesuai tingkat/jenjang pelayanan kesehatan dan situasi setempat. (MKEK, 2002).

Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 2:


Korban kecelakaan seorang wanita muda tanpa identitas dibawa penolong ke RS. Korban dalam
keadaan tidak sadar, dimasukkan imstalasi gawat darurat. Dokter bersama paramedik dengan
profesional memberikan pertolongan sesuai standar profesi. Usaha penyelamatan pasien gagal,
setelah dilakukan pertolongan di IGD selama 10 menit korban meninggal. Korban dibawa ke kamar
jenasah untuk dilakukan otopsi untuk mengetahui sebab kematian.
Autopsi (otopsi) adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, dengan tujuan menemukan proses
penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut,
menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan
yang ditemukan dengan penyebab kematian. (Mansjoer, 2000).

Dalam laporan ini, penulis mencoba menganalisis penatalaksanaan pasien gawat darurat dari
segala aspek yang terkait. Diharapkan mendatang apabila terdapat permasalahan yang melibatkan
berbagai aspek kehidupan, mahasiswa dapat menyelesaikan permasalahan berdasarkan
pengalaman yang telah diperoleh selama pembelajaran.
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana prosedur penatalaksanaan pasien gawat darurat sesuai standar profesi kedokteran
dan standar prosedur operasional?
Bagaimana prosedur penatalaksanaan post-mortem pasien tanpa identitas?
C. TUJUAN PENULISAN
Mengetahui prosedur penatalaksanaan pasien gawat darurat sesuai standar profesi kedokteran
dan standar prosedur operasional.
Mengetahui prosedur penatalaksanaan post-mortem pasien tanpa identitas.
D. MANFAAT PENULISAN
Mahasiswa dilatih untuk memecahkan berbagai macam kasus yang memerlukan pertimbangan
dari beberapa aspek terkait sesuai standar profesi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dokter dalam pelaksanaan praktiknya wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. (UU Pradok, 2004).
Berdasarkan KODEKI pasal 13, setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu
tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu
memberikan. (MKEK, 2002).

Dalam UU No. 29 tahun 2004, pasal 45 ayat 1, setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. (UU
Pradok, 2004). Pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Informed Consent menyatakan,
dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara
medik berada dalam keadaan gawat darurat dan atau darurat yang memerlukan tindakan medik
segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun. (Per. Menkes, 1989).
Dalam penanganan penderita gawat darurat yang terpenting bagi tenaga kesehatan adalah
mempertahankan jiwa penderita, mengurangi penyulit yang mungkin timbul, meringankan
penderitaan korban, dan melindungi diri dari kemungkinan penularan penyakit menular dari
penderita. (Sudjito, 2003).
Seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medik tanpa persetujuan apapun dapat
dianggap melakukan penganiayaan, diatur dalam pasal 351 KUHP. Apabila mengakibatkan matinya
orang, maka yang bersalah dipidana penjara paling lama tujuh tahun. (KUHP, 2008). Namun, dokter
dalam melaksanakan praktik kedokteran juga memperoleh perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. (UU Pradok,
2004).

Autopsi forensik/medikolegal dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat
suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh diri.
Tujuannya antara lain untuk mengidentifikasi mayat, menentukan sebab pasti kematian, mekanisme
kematian, dan saat kematian. (Mansjoer, 2000).
Secara yuridis, persetujuan keluarga jenazah tidak diperlukan dalam prosedur autopsi forensik.
Dokter hanya merupakan pelaksana permohonan penyidik (dalam hal ini Kepolisian) untuk
melakukan autopsi, sehingga apabila keluarga keberatan atas pelaksanaan autopsi, keberatan
dapat disampaikan pada penyidik. (Hamdani, 1992).
Menurut Majma Fiqih Islami tahun 1987, tindakan autopsi diperbolehkan, untuk mengetahui
penyebab kematian, kepastian tentang penyebab suatu penyakit, dan untuk pengajaran kedokteran.
(Sarwat, 2008).

BAB III
PEMBAHASAN
Sesuai dengan kaidah dasar bioetik, kewajiban menolong pasien gawat darurat termasuk dalam
konsep beneficence. Dalam penanganan pasien gawat darurat, dokter harus memperhatikan
standar profesi dan standar prosedur operasional. Pelayanan terhadap pasien gawat darurat harus
dilaksanakan sesegera mungkin, mengingat jiwa pasien mungkin saja gagal diselamatkan apabila
penanganan terlambat.
Apabila pasien tidak sadar dan tidak disertai keluarganya, maka dokter berhak untuk memutuskan
tindakan medik yang akan diambil tanpa persetujuan siapapun, dan didasarkan pada kebutuhan
medik pasien.
Apabila setelah dilakukan tindakan medis pasien meninggal, berarti hal ini merupakan suatu
kejadian yang tidak diinginkan (KTD). Perlu analisis lebih lanjut, apakah kejadian ini akibat
dari medical error atau tidak. Mungkin saja KTD terjadi akibat risiko tindakan medis yang telah
dianggap paling aman dan efektif dalam pengobatan pasien. Dalam hal seperti ini, KTD tidak dapat
digolongkan sebagai malpraktik.
Dokter dan tenaga kesehatan lain juga memperoleh perlindungan hukum, sepanjang tindakan yang
diambil sudah didasarkan pada standar profesi dan standar prosedur operasional yang sesuai.
Berbagai macam aspek dapat menjadi dasar pertimbangan keputusan medis, dari etika, hukum
(yuridispemerintah dan instansi, maupun agama), dan disiplin profesi.
Autopsi, baik klinis, forensik, maupun anatomi memerlukan berbagai persyaratan tertentu. Secara
klinis, jenazah tanpa identitas dapat diautopsi jika diduga jenazah menderita penyakit yang
berbahaya bagi masyarakat, dan apabila dalam waktu 224 jam tidak ada keluarga yang datang ke
rumah sakit. Menurut prosedur autopsi forensik, dokter dalam mengautopsi harus menerima surat
perimtaan autopsi terlebih dahulu dari penyidik, dalam hal ini Kepolisian.

Menurut agama Islam, autopsi dalam kasus ini diperbolehkan, karena untuk mengetahui penyebab
kematian. Namun menurut hukum, prosedur autopsi diatas masih memerlukan beberapa syarat
tertentu agar sesuai dengan hukum yang berlaku.
BAB IV
KESIMPULAN
Sesuai dengan sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional kedokteran,
penatalaksanaan pasien gawat darurat dapat dilaksanakan tanpa persetujuan tindakan medik
(informed consent) dari siapapun. Tenaga kesehatan harus mengusahakan seoptimal mungkin agar
pasien dapat bertahan hidup dan pulih dari keadaan gawat darurat. Dalam KTD, sepanjang dokter
dan paramedis telah berpegang pada konsep standar profesi dan prosedur operasional, tindakan
medis yang dilakukan tidak dapat disebut malpraktik, dan tenaga kesehatan terlindung dari sanksi
hukum oleh peraturan kesehatan yang berlaku.
Pelaksanaan autopsi untuk kasus diatas selanjutnya dapat dilakukan apabila : 1) ada surat
permintaan dari Kepolisian, 2) dalam waktu 224 jam tidak ada keluarga korban yang datang ke
rumah sakit, dan 3) diduga jenazah menderita penyakit yang berbahaya bagi masyarakat.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC.
Sudjito, M.H. 2003. Dasar-dasar Pengelolaan Penderita Gawat Darurat. Surakarta : UNS Press.
Hamdani, Njowito. 1992. Ilmu Kedokteran Kehakiman Edisi Kedua. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran. 2002. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta : Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran.
Mansjoer, Arif. Suprohaita. Wardhani, Wahyu Ika. Setiowulan, Wiwiek. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta : Media Aesculapius.
Menteri Kesehatan RI. 1989. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/MENKES1PER/IX/1989
Tentang Persetujuan Tindakan Medik.
Presiden RI. 2004. UU no. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Sarwat, Ahmad. 2008. Hukum Mengotopsi Mayat. http://ustsarwat.eramuslim.com/search.php,
akses tanggal 20 Oktober 2008, 19:45.
Wujoso, Hari. 2008. Kaidah Dasar Bioetik.
Wujoso, Hari. 2008. KUHP.
Wujoso, Hari. 2008. Medical Error.

You might also like