You are on page 1of 13
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI! KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN Nomor : P.3/PKTL/IPSDH/PLA.1/2017 ‘TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN SURVEI HUTAN ALAM PRIMER DALAM RANGKA VERIFIKASI PETA INDIKATIF PENUNDAAN PEMBERIAN IZIN BARU (PIPPIB) DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN, Menimbang Mengingat . bahwa berdasarkan Diktum KEDELAPAN huruf b, SK. 6347 /MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.1/11/2016 __ tentang Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain (Revisi XI), dalam hal terdapat indikasi perbedaan sebagaimana dimaksud huruf a dapat dilakukan klarifikasi lapangan melalui survei hutan alam primer; . bahwa berdasarkan Diktum KEDELAPAN huruf c, survei sebagaimana dimaksud huruf b dilaksanakan dengan melakukan penafsiran citra satelit resolusi tinggi dan diverifikasi melalui pengecekan lapangan untuk mengetahui kondisi riil penutupan lahan di wilayah tersebut; . bahwa berdasarkan kondisi fisik lapangan, terdapat indikasi perbedaan dengan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru; |. bahwa berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan hasil survei yang disampaikan oleh Dinas Kehutanan Provinsi terdapat berbagai macam metodologi yang tidak seragam; bahwa berdasarkan _pertimbangan _sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan tentang Petunjuk Pelaksanaan Survei Hutan Alam Primer Dalam Rangka Verifikasi Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) agar pelaksanaannya menggunakan metode yang seragam; . Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) scbagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 2. Undang . 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453), sebagaimana telah diubah dengan _Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5056); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696), sebagaimana telah diubah dengan _Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814); 7. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanaan Nomor P.18/MenLHK-II/2015 tentang Organsasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 713); Keputusan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Kepala Badan _Pertanahan Nasional, Kepala Badan Informasi Geospasial dan Ketua Satuan Tugas REDD+ No. SKB.1/Menhut-II/Kum/2012, No. 1126/ Kpts/OT.160/3/2012, No. 4/SKB-100/III/2012 dan No. 12/KA.BIG/RT/03/ 2012 tanggal 30 Maret 2012 tentang Pembentukan Tim Teknis Gabungan Pembuatan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru; 2 Memperhatikan ... -3- Memperhatikan : 1. Instruksi Presiden RI No. 8 Tahun 2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut sebagai kelanjutan dari Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2013 dan Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2011; 2. Penaksiran Sumber Daya Hutan dengan Citra Resolusi Tinggi dalam rangka Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis, Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, Badan Planologi, Departemen Kehutanan, Tahun 2008; MEMUTUSKAN Menetapkan ; PERATURAN DIREKTUR JENDERAL — PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN SURVEI HUTAN ALAM PRIMER DALAM RANGKA VERIFIKASI PETA INDIKATIF PENUNDAAN PEMBERIAN IZIN BARU (PIPPIB). Pasal 1 Petunjuk Pelaksanaan Survei Hutan Alam Primer dalam Rangka Verifikasi Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini Pasal 2 Petunjuk Pelaksanaan ini sebagai acuan bagi Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan, Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Perguruan Tinggi yang mempunyai disiplin ilmu dibidang kehutanan dalam Pelaksanaan Survei Hutan Alam Primer dalam Rangka Verifikasi Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB). Pasal 3 Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 April 2017 sesuai dengan aslinya DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN, ttd -M.H SAN AFRI AWANG 3 1 005, NIP. 19570410 198903 1 002 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN Nomor: P3 / PKTL/TPSOH/ PAA /2017 PETUNJUK PELAKSANAAN SURVEI HUTAN ALAM PRIMER DALAM RANGKA VERIFIKASI PETA INDIKATIF PENUNDAAN PEMBERIAN IZIN BARU (PIPPIB) JAKARTA 2017 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya penyusunan Petunjuk Pelaksanaan Survei Hutan Alam Primer dalam rangka Verifikasi Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru. Kegiatan survel dimaksudkan untuk mengetahui kebenaran data penutupan lahan hasil penafsiran citra resolusi tinggi dan meningkatkan kualitas hasil penafsiran. Dengan kegiatan survel ini, penafsir dapat membandingkan antara kenampakan obyek di citra dan kenampakan obyek yang sama di lapangan sesuai karakteristiknya. Petunjuk pelaksanaan ini dimaksudkan sebagai pedoman dalam survei hutan alam primer hasil penafsiran citra satelit resolusi tinggi yang dilaksanakan oleh Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan dengan menyertakan Balai Pemantapan Kawasan Hutan di Wilayah tersebut dan Perguruan Tinggi yang mempunyai disiplin ilmu di bidang kehutanan guna mendapatkan kebenaran hasil penafsiran. Semoga Petunjuk pelaksanaan ini bermanfaat dan dapat menjadi acuan dalam Pelaksanaan survei hutan alam primer dalam rangka verifikasi Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru . & April 2017 BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Moratorium mengenai penundaan pemberian izin baru di hutan alam primer dan Iahan gambut merupakan langkah penting Pemerintah Indonesia dalam rangka menyelesaikan berbagai upaya untuk penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut serta penurunan emisi gas rumah kaca yang dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Moratorium ini ditetapkan melalui Inpres No. 10 tahun 2011 pada tanggal 20 Mei 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang berlaku selama 2 (dua) tahun dan telah diperpanjang berturut-turut melalui Inpres No. 6 Tahun 2013 dan Inpres No. 8 Tahun 2015. Dengan adanya penundaan pemberian izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut, maka akan memberi kesempatan untuk melakukan perbaikan tata kelola pada kegiatan usaha yang diusulkan di hutan alam primer dan lahan gambut pada areal yang ditetapkan pada Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) . Moratorium diberlakukan terhadap penerbitan izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di Hutan Konservasi (HK), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi ‘Terbatas (HPT), Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi yang dapat di-Konversi (HPK), dan Areal Penggunaan Lain (APL) berdasarkan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB). Sesuai peraturan, PIPPIB direvisi setiap 6 (enam) bulan sekali dengan memperhatikan hasil survei_kondisi fisik lapangan, perubahan tata ruang, data dan informasi penutupan lahan terkini, masukan dari masyarakat serta pembaharuan data perizinan. ‘Sampai dengan tahun 2016, telah dilakukan revisi PIPPIB Kesebelas sesuai Keputusan Menteri_—Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK. 6347/MENLHK- PKTL/IPSDH/PLA.1/11/2016 tanggal 21 November 2016. Berdasarkan Surat Keputusan dimaksud, sesuai Amar KEDELAPAN butir b apabila terdapat indikasi perbedaan antara PIPPIB dengan kondisi fisik lapangan, maka dapat dilakukan Klarifikasi lapangan melalui survei hutan alam primer oleh Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan dengan menyertakan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) di wilayah tersebut dan Perguruan Tinggi yang mempunyai disiplin ilmu dibidang kehutanan. Survei dilaksanakan dengan melakukan penafsiran citra satelit resolusi tinggi dan dilanjutkan dengan verifikasi melalui Pengecekan lapangan. Dalam implementasinya, survel hutan alam primer yang telah dilakukan_menggunakan metode berbeda-beda, sehingga hasil dan akurasinya juga bervariasi. Untuk itu perlu disusun Petunjuk Pelaksanaan Survei Hutan Alam Primer sebagai pedoman dalam proses verifikasi data penutupan lahan hasil penafsiran citra satelit resolusi tinggi dalam rangka pengajuan revisi PIPPIB. B. Maksud dan Tujuan Maksud penyusunan petunjuk pelaksanaan Survei Hutan Alam Primer adalah sebagai arahan dan pedoman bagi pelaksana kegiatan survei hutan alam primer dalam rangka Pengajuan revisi PIPPIB. Tujuan penyusunan petunjuk pelaksanaan ini adalah agar diperoleh persamaan persepsi dan metode dalam pelaksanaan kegiatan survei hutan alam primer terkait proses verifikasi data penutupan lahan hasil penafsiran citra satelit resolusi tinggi dalam rangka pengajuan revisi PIPPIB. , Ruang Lingkup 1. Penafsiran/interpretasi citra satelit resolusi tinggi 2. Pelaksanaan survei penutupan lahan di lapangan berdasarkan hasil penafsiran citra satelit resolusi tinggi 3. Memperbaiki hasil penafsiran 4, Melakukan pemetaan hasil akhir 5. Penyusunan laporan BAB IT KETENTUAN UMUM PENGECEKAN LAPANGAN A. Waktu Pelaksanaan Waktu pelaksanaan penafsiran citra satelit resolusi tinggi dan pengecekan lapangan disesuaikan dengan kebutuhan. B. Lokasi Survei Hutan Alam Primer Lokasi pelaksanaan survei adalah areal PIPPIB yang diklasifikasikan sebagai hutan alam primer yang diajukan oleh pemohon. C. Pelaksana Kegiatan survei hutan alam primer dilaksanakan oleh Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan dengan menyertakan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) di wilayah tersebut dan Perguruan Tinggi yang mempunyai disiplin ilmu di bidang kehutanan. BAB IIT PERSIAPAN SURVEI HUTAN ALAM PRIMER A. Penyiapan Alat dan Bahan Bahan dan perlengkapan survei hutan alam primer yang harus dipersiapkan adalah sebagai berikut 1. Bahan a. Citra satelit resolusi tinggi perekaman 2 tahun terakhir dengan resolusi spasial meter, contoh SPOT-5, SPOT-6, SPOT-7, QuikBird, IKONOS, ALOS, dan RAPIDEYE b. Peta penutupan lahan hasil penafsiran citra satelit resolusi tinggi yang di-overlay dengan citra satelit resolusi tinggi dengan rencana titik sampel. Jika memungkinkan data digital dapat diunggah ke dalam GPS; c. Peta RBI skala besar (1:50.000 atau 1:25.000), yang dapat memberikan informasi spasial tentang areal yang ditafsir, terutama toponimi; d. Laporan hasit survei lokasi yang ditafsir, balk survei vegetasi, tanah, geologi maupun survei lainnya; e. Buku-buku yang membahas tentang areal tersebut. 2. Perlengkapan Penafsiran Citra Satelit Resolusi Tinggi a. Komputer personal dengan spesifikasi minimum, prosesor (Intel Pentium 2.6GHz atau Intel Core 2 Duo 1.6GHz atau Intel Xeon 2.5GHz atau produk lain yang memiliki kemampuan setara), RAM 2GB, hard disk internal (ruang tersisa 60GB untuk pengolahan citra satelit resolusi tinggi), DVD+RW drive, USB atau FireWire atau eSATA slot (untuk koneksi dengan external hard disk); b. Pengolah data spasial; cc. Plotter cetak warna ukuran AO. 3. Perlengkapan Lapangan a. Piranti GPS (Global Positioning System) disertai dengan baterai eksternal dan internal; b. Kamera; c. Kompas; . Eksternal hard disk, e. Lembar isian pengecekan lapangan (tally sheet) f. Alat tulis; 4g. Media rekam digital untuk perekaman data ~ Foto digital; - Data trayek penelusuran GPS; - Data hasil pengecekan lapangan lainnya (jika diperlukan). B. Pembuatan Peta Penutupan Lahan 1. Penafsiran Citra Satelit Resolusi Tinggi ‘a. Menyiapkan citra satelit resolusi tinggi yang akan ditafsir menjadi data penutupan lahan. b. Mengumpulkan data pendukung berupa : - Peta areal unit pengelolaan yang berada di dalam PIPPIB yang lokasi survei hutan alam primer; - Peta RBI skala 1:50.00 (format digital). Dari Peta RBI dapat diperoleh informasi tentang topografi secara umum, alur sungai, alur jalan, lokasi permukiman dan toponimi; jukan sebagai = Peta hasil penafsiran citra terdahulu sebagai pembanding. cc. Melakukan penafsiran citra satelit resolusi tinggi untuk data penutupan lahan dengan menggunakan klasifikasi 23 kelas penutupan lahan. = Ukuran poligon terkecil yang akan didelineasi adalah 0,5 cm x 0,5 cm pada skala delineasi_ on screen (maksimal skala 1:10.000) atau setara dengan 0,25 ha di lapangan. - Apabila ada informasi tentang penutupan lahan yang lebih spesifik dapat ditambahkan ke dalam ffe/d Keterangan, misalnya sebaran Sagu, Pinus sp, Acacia ‘5p, Jati, Karet, Sawit, dan vegetasi lainnya yang dapat diidentifikasi secara visual pada citra. 2. Pencetakan Peta Penutupan Lahan Mencetak peta hasil penafsiran skala 1:50.00 dengan melakukan tumpang susun batas area survei di atasnya dan rencana lokasi titik sampel. Dianjurkan peta yang dicetak menggunakan dua sistem koordinat, yaitu sistem koordinat geografis dan UTM, untuk memudahkan pencarian titik sampel tujuan. €. Penentuan Titik Sampel Penentuan titik sampel untuk uji lapangan perlu memperhatikan sistem atau cara pelaksanaan uji lapangan agar setiap kelas penutupan lahan dapat terwakili, Pada survei hutan alam primer ini digunakan teknik stratified random sampling, yaitu penentuan sampel berdasarkan tipe/kelas penutupan lahannya dan setiap tipe penutupan lahan diambil sampelnya secara acak. Dasar penetapan sampel adalah jumlah Kelas penutupan lahan, variasi ekosistem (kondisi bentang lahan) dan aksesibilitas lokasi. Dalam penentuan titik sampel berdasarkan metode yang telah dijelaskan di atas maka langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: a. Menghitung keseluruhan jumish kelas penutupan lahan yang terdapat dalam areal survel. Lalu dari setiap kelas penutupan lahan tersebut diambil minimal 3 sampel atau sesuai kebutuhan. Sampel juga diambil pada obyek yang tidak jelas (ragu-ragu). Pengambilan sampel juga harus mendasarkan pada kondisi bentang lahan atau variasi ekosistem dan aksesibilitas lokasi yang ada. b. Sampel yang telah ditentukan selanjutnya diplot pada peta citra dan peta penutupan lahan hasil penafsiran. cc. Selanjutnya dibuat rencana rute cek lapangan. Rute ini dibuat berdasarkan tingkat kemudahan aksesibilitas dari lokasi sampel. Apabila sampel yang dicek di lapangan tidak sesuai dengan rencana yang disusun, harus dijelaskan alasannya. BABIV PELAKSANAAN SURVEI HUTAN ALAM PRIMER. A. Pencarian Lokasi Sampel Pencarian lokasi sampel dilakukan mengikuti daftar sampel yang telah disusun koordinat serta arah (navigasi) rute perjalanan dengan memperhatikan aksesibilitas lokasi sampel. a) Data yang ada dalam poligon sampel dicatat, begitu juga informasi yang ada disekitarnya direkam/dicatat datanya b) Posisi pengambilan GPS dalam poligon sampel digambar dengan titik ikat pertigaan jalan atau _sungai atau jalan yang dapat terlihat dari citra satelit resolusi tinggi dengan ‘menggunakan sket. dilakukan untuk melihat ketepatan hasi B, Pengamatan Lapangan Pengamatan dilakukan terhadap kondisi-kondisi sebagai berikut : 1. Wilayah administrasi pemerintahan dan wilayah pengelolaan hutan 2. Kondisi penutupan lahan Obyek yang diamati adalah penutupan lahan yang terlihat pada saat surveil dan Penutupan lahan yang mengalami perubahan, misalnya pembukaan lahan, Penambangan, kebakaran hutan dan lahan dan lain-lain. Pengamatan obyek dilakukan pada arah utara, barat, selatan, dan timur. 3. Kondisi fisik lapangan Kondisi fisik lapangan yang diamati meliputi kondisi topografi/bentang lahan, kondisi drainase, bentuk lahan dan kelerengan. Pengamatan lapangan ini dibedakan juga berdasarkan tujuan survei yaitu: 1. Survei untuk tipe garis dan titik (misal untuk jalan, dll) Survel_hutan alam untuk tujuan ijin pembangunan jalan dilakukan pengamatan penutupan lahan sepanjang rute jalan yang akan dibangun. Lebar dan panjang lokasi yang disurvel sesuai dengan rencana pembangunan jalan. Transek batas penutupan lahan hutan alam primer dan hutan alam sekunder dibuat dengan menggunakan GPS. 2. Survei untuk tipe areal (misal izin pemanfaatan,dll) Pada survei hutan alam untuk tujuan ijin yang berupa areal dilakukan pengamatan untuk menentukan batas hutan primer dan hutan sekunder. Pengamatan dilakukan dengan membuat transek batas penutupan lahan yang mengikuti alur bukaan jalan atau bukaan lahan sampal bagian ujungnya, Pada hutan alam primer yang sudah ada indikasi jalur jalan seperti pada gambar 1, Pengamatan perlu dilakukan di sepanjang kanan dan kiri jalan sampai batas intervensi manusia. Pengamatan ini untuk melihat sejauh mana hutan tersebut dirambah oleh aktivitas manusia. Untuk jalur sungai yang digunakan sebagai sarana transportasi juga dilakukan pengamatan serupa. Pada cek lapangan ini juga dilakukan cek batas poligon kelas penutupan lahan apabila aksesibilitasnya memungkinkan. Pengecekan ini diutamakan pada kelas penutupan lahan berupa hutan primer pada batas persekutuan atau batas luar. Hasil pengecekan batas poligon akan digunakan untuk memperbaiki delineasi penutupan lahan yang sudah dibuat. ‘Gambar 1. Kenampakan obyek yang diamati di lapangan C. Pengukuran Lapangan Pengukuran ikatan dilakukan dengan menggunakan perangkat GPS recefver. Pengukuran ikatan dilakukan pada lokasi plot sampel dan transek menuju lokasi plot sampel. Proses penelusuran transek disertal dengan berkas atribut untuk mengidentifikasikan obyek yang diamati sambil menelusuri transek. Pengukuran ikatan transek tidak dapat dicatat tertulis dan perlu dipertahankan dalam format berkas digital untuk di download ke komputer setelah selesai kegiatan lapangan. Baterai internal yang dipergunakan untuk pesawat receiver GPS perlu dijaga agar tetap memiliki daya untuk mempertahankan data di dalamnya agar tidak terhapus. Untuk pengukuran posisi titik sampel, selain disimpan dalam GPS, perlu dilakukan pencatatan pada tally sheet/daftar isian survei. D. Pencatatan/Perekaman Data Obyek yang diamati dan diukur di lapangan direkam informasinya dalam lembar isian (tally sheet) atau dalam piranti rekam elektronik. Hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan yang dicatat adalah: ‘Nomor titik sampet Koordinat titik sampel Koordinat lokasi yang diamati, selain titik sampel Koordinat transek batas penutupan lahan Hasil pengukuran ikatan (koordinat lintang dan bujur lokasi tersebut) Wilayah administrasi pemerintahan dan pengelolaan hutan Kondisi fisik lapangan Jenis tanaman yang dominan dan deskripsi kondisifisik tanaman PNOMeeNE p 9. Sketsa penutupan lahan pada titik sampel 10. Sketsa lokasi hutan primer yang sudah mengalami perubahan atau adanya aktivitas manusia 11. Foto titik sampel 12. Foto hasil pengamatan adanya aktivitas manusia (Jalan, pemukiman, pertanian) 13. Informasi lain yang tidak dapat diperoleh di citra, antara lain’ apakah ada _bekas kebakaran, bukaan jalan, penebangan, aktivitas pertanian, aktivitas pertambangan, waktu terjadinya perubahan penutupan lahan, dan lainnya. Pasca Pengecekan Lapangan Kegiatan pasca pengecekan lapangan terdiri dari: a. Melakukan klasifikasi ulang (reinterpretasi) berdasarkan hasil dari pengecekan lapangan dan data sekunder lainnya, kegiatan ini terdiri dari: — Memperbaiki deliniasi hasil penafsiran awal berdasarkan hasil pengecekan lapangan. — Memperbaiki label kelas penafisran. — Melakukan perhitungan luas hasil penafsiran. b. Mencetak peta hasil penafsiran penutupan lahan Pelaporan Format Laporan hasil kegiatan disajikan dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Menggunakan huruf Arial/Tahoma, ukuran huruf 12 2. Pengetikan mengikuti ketentuan sebagai berikut: ‘a. Menggunakan kertas HVS dengan ukuran A4, dengan jarak pengetikan 1 spasi. b. Batas pengetikan samping kiri 4 cm, samping kanan 3 cm, batas atas dan bawah 3 cm. . Judul bab diketik dengan huruf besar 3. Format Laporan HALAMAN JUDUL, KATA PENGANTAR (ditandatangani oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi sebagai enanggung jawab kegiatan) DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB I. PENDAHULUAN BAB II, WAKTU DAN PELAKSANAAN BAB III. METODE PELAKSANAAN BAB IV. HASIL DAN ANALISA BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI. PENUTUP. LAMPIRAN: © Berita Acara Survei Lapangan oleh Tim yang diketahui oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Tally sheet Foto geotagging Peta ‘Shp Citra satelit resolusi tinggi 4. Bentuk Laporan - Hardcopy -©D

You might also like