You are on page 1of 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Pada saat ini insiden Tuberculosis dilaporkan meningkat secara drastis di seluruh dunia
termasuk Indonesia. Penyakit ini biasanya banyak terjadi di negara berkembang dan yang
mempunyai tingkat sosial ekonomi yang rendah. Penyakit ini termasuk penyakit infeksi yang
menyebabkan kematian (mortalitas) tertinggi dan angka kejadian penyakit (morbiditas) tinggi,
serta memerlukan diagnosa dan terapi yang cukup lama.

Penyakit ini telah diketahui penyebabnya, cara penularannya, faktor yang mempengaruhi
dan dapat disembuhkan asalkan diberi pengobatan yang adekuat. Di IndonesiaTBC merupakan
penyebab kematian utama dan angka kesakitan dengan urutan teratas setelah ISPA. Indonesia
menduduki urutan ketiga setelah India dan China dalam jumah penderita TBC di dunia.

Penyakit TBC ini juga dapat mengenai berbagai macam organ di tubuh manusia selain
paru-paru, seperti : ginjal, hepar, otak, dll. Mengingat besarnya insiden TBC di Indonesia serta
luasnya masalah akibat penyakit ini, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
BAB II

PEMBAHASAN

DEFINISI

Tuberculosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TBC (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya seperti menyerang kulit, kelenjar limfe, tulang, ginjal, hepar
dan selaput otak.

Kuman ini berbentuk batang, yang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam
sehingga disebut dengan Bakteri Tahan Asam (BTA), kuman TBC cepat mati bila terkena sinar
matahari langsung, tetapi dapat hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Kuman ini
juga bersifat aerob yaitu menyukai bagian paru yang banyak mengandung oksigen. Dalam
jaringan tubuh, kuman ini dapat dorman selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan dari
penderita TB BTA positif kepada orang yang berada di sekitarnya, terutama yang kontak erat.

Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami penurunan
hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan
elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium
didalam darah atau produksi urine.

Penyakit gagal ginjal ini dapat menyerang siapa saja yang menderita penyakit serius atau
terluka dimana hal itu berdampak langsung pada ginjal itu sendiri. Penyakit gagal ginjal lebih
sering dialamai mereka yang berusia dewasa, terlebih pada kaum lanjut usia.

Drug-induced hepatitis disebut juga drug induced liver injury adalah gangguan fungsi
hati yang disebabkan oleh pajanan obat atau zat kimia lainnya. Onset kerusakan akut biasanya
beberapa bulan pertama setelah konsumsi obat, ditandai dengan kenaikan alanin
aminotransferase (ALT) dalam serum atau dikenal sebagai serum glutamatei (SGPT), dan
kadarnya menurun setelah obat dihentikan. Kenaikan kadar aminotransferase (AST) atau serum
glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) tidak spesifik karena kadarnya juga meningkat pada
kelainan di otot jantung atau ginjal

ETIOLOGI

Tuberculosis (TBC) merupakan penyakit yang sangat infeksius. Seorang penderita TBC
dapat menularkan penyakit kepada 10 orang di sekitarnya. Menurut perkiraan WHO, 1/3
penduduk dunia saat ini telah terinfeksi M. tuberculosis, tetapi orang yang terinfeksi M.
tuberculosis tidak selalu menderita penyakit TBC. Dalam hal ini, imunitas tubuh sangan berperan
untuk membatasi infeksi sehingga tidak bermanifestasi menjai penyakit TBC. Penyebab kelaian
ini adalah nekrotik jaringan paru oleh basil Mycobacterium tuberculosis.

Gagal Ginjal disebabkan oleh penyakit serius yang diderita oleh tubuh yang mana secara
perlahan-lahan berdampak pada kerusakan organ ginjal. Adapun beberapa penyakit yang sering
berdampak pada kerusakan ginjal adalah :

Penyakit tekanan darah tinggi (Hypertension)

Penyakit Diabetes Mellitus (Diabetes Mellitus)

Adanya sumbatan pada saluran kemih (batu, tumor, penyempitan/striktur)

Kelainan autoimun, misalnya lupus eritematosus sistemik

Menderita penyakit kanker (cancer)

Kelainan ginjal, dimana terjadi perkembangan banyak kista pada organ ginjal itu sendiri
(polycystic kidney disease)

Rusaknya sel penyaring pada ginjal baik akibat peradangan oleh infeksi atau dampak
penyakit darah tinggi. Istilah kedokterannya disebut sebagai glomerulonephritis.

Adapun penyakit lainnya yang juga dapat menyebabkan kegagalan fungsi ginjal apabila tidak
cepat ditangani antara lain adalah ; Kehilangan carian banyak yang mendadak (muntaber,
perdarahan, luka bakar), serta penyakit lainnya seperti penyakit Paru (TBC), Sifilis, Malaria,
Hepatitis, Preeklampsia, Obat-obatan dan Amiloidosis.
Menurut Brunner & Suddarth (2002),menyatakan tiga kategori utama penyebab gagal
ginjal akut antara lain:

a. Prarenal (hipoperfusi ginjal)

Penyebabnya adalah karena kekurangan cairan mendadak (dehidrasi) seperti pada pasien
muntaber yang berat atau kehilangan darah yang banyak, vasodilatasi (sepsi dan anafilaksis),
gangguan fungsi jantung (infark miokardium, gagal jantung kongestif, syok kardiogenik).

b.Intrarenal

Penyebabnya adalah akibat dari kerusakan struktur glomerulus atau tubulus ginjal.
Kondisi seperti rasa terbakar, cedera akibat benturan, infeksi, agen nefrotoksik, adanya
hemoglobin dan mioglobin akibat cedera terbakar mengakibatkan toksik renal/ iskemia atau
keduanya, transfusi terus menerus dan pemakaian obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID).

c. Pasca renal

Yang termasuk kondisi penyebab pascarenal antara lain : Obstruksi traktus urinarius, batu,
tumor, BPH, striktur uretra dan bekuan darah.

Pada drug-induced hepatitis, Rifampisin 85-90% di metabolisme di hati dan dan


metabolit aktifnya diekskresikan melalui urine dan saluran cerna, bekerja secara sinergis dengan
INH. Pada penderita dengan kelainan hepar akan ditemukan kadar Rifampisin serum yang lebih
tinggi. Rifampisin akan menginduksi sistem enzim sitokrom P-450 yang akan terus berlangsung
hingga 714 hari setelah obat dihentikan. Efek hepatotoksik dipengaruhi oleh dosis yang
digunakan, dan proses metabolisme obat dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin,
lingkungan dalam lambung dan penyakit hepar.

Rifampisin dapat menghambat pengambilan bilirubin sehingga pada pemeriksaan


laboratorium akan ditemukan adanya peningkatan bilirubin serum. Pada penelitian dilaporkan
bahwa terjadi peningkatan bilirubin sampai 7,4 mg/dl. Biasanya hepatitis akut yang disebabkan
oleh Rifampisin menggambarkan fungsi hati yang normal.
Cedera pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi
xenobiotik menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik
(biasanya oleh obat atau metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel
menjadi immunogen).

Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan yang tidak
dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang yang mengalami
akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu
(terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu
memetabolisme penyebab).

EPIDEMIOLOGI

Tuberculosis (TBC) merupakan penyakit yang dikenal sebagai penyebab kematian yang
paling menakutkan. Sampai saat ini Robert Koch menemukan bahwa penyakit ini masih
termasuk penyakit yang mematikan. Istilah saat ini untuk penyakit yang mematikan ini adalah
consumption. Sampai saat ini masih menganut paham bahwa penularan TB adalah melalui
kebiasaan meludah di sembarang tempat dan ditularkan melalui debu dan lalat.

Di negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika Utara, angka kesakitan maupun angka
kematian TB paru pernah menurun secara tajam. Di Amerika Utara, saat awal orang Eropa
berbondonh-bondong bermigrasi ke sana, kematian akibat TB pada tahun 1850 sebesar 650 per
100.000 penduduk, tahun 1860 turun menjadi 400 per 100.000 penduduk, di tahun 1900 menjadi
2100 per 100.000 penduduk, tahun 1920 turun lagi menjadi 100 per 100.000 penduduk dan pada
tahun 1969 turun drastic menjadi 4 per 100.000 penduduk per tahun. Angka kematian karena
tuberculosis di Amerika Serikat pada tahun 1976 telah turun menjadi 1,4 per 100.000 penduduk.

Drug-induced liver injury paling sering disebabkan oleh obat-obatan anti tuberculosis.
Berdasarkan laporan, insiden hepatotoksisitas yang disebabkan oleh obat anti-TB berkisar antara
2.5%-3.49%. Namun hal ini seringkali diikuti sedikit peningkatan dari transaminase, yang mana
kerusakan serius pada hepar terjadi kurang dari 5% kasus, dan perubahan yang pasti pada obat-
obatan anti-TB yang dibutuhkan hanya 1-2%. Insiden hepatitis meningkat berdasarkan umur,
mulai dari dibawah 1% pada pasien dengan umur kurang dari 20 tahun, dan meningkat sampai
5% pada pasien umur 60 tahun. Faktor resiko lain dari hepatotoksisitas adalah riwayat
mengkonsumsi alcohol atau alcoholic liver disease, hepatitis B dan C, terpapar substansi lain
yang menginduksi enzim sitokrom P450, peningkatan transaminase atau bilirubin dan
kemungkinan ko-infeksi dari HIV. Akibat kematian yang disebabkan oleh obat-obatan anti-TB
paling banyak terjadi pada pasien lebih dari 50 tahun dengan faktor resiko.

Dari obat lini pertama, Isoniazid, Rifampisin dan Pirazinamid adalah obat yang
berpotensi hepatotoksik. Karena obat-obatan itu digunakan dalam kombinasi, maka akan sulit
untuk menentukan obat mana yang menyebabkan reaksi hepatotoksisitas. Sering, seorang pasien
dengan obat yang sama setelah episode hepatotoksisitas tidak akan menyebabkan kambuhnya
gejala. Akibatnya, perkiraan mengenai pentingnya obat-obatan sebagai penyebab
hepatotoksisitas mungkin tidak begitu akurat. Pirazinamid dengan insidens tertinggi
menyebabkan hepatitis sekitar 0,5% per 1 bulan therapy. Ketika diberi sendiri sebagai profilaksis
selama 1 tahun, Isoniazid menyebabkan peningkatan enzim hati sekitar 10% dan klinis hepatitis
sekitar 1% dimana insiden ini meningkat pada usia tua. Dalam pengobatan TB aktif, ada bukti
bahwa Isoniazid mungkin umumnya lebih terkait dengan hepatitis dibandingkan dengan
Rifampiain. Rifampisin juga dapat menyebabkan hepatitis, meskipun lebih sering isoniazid.
Rifampisin menyebabkan hyperbilirubinaemia terisolasi, mungkin karena penghambatan
ekskresi bilirubin. Ethambutol dan Streptomisin jarang menyebabkan kerusakan iiver.

KLASIFIKASI

Pada TBC penentuan klasifikasi dibagi menjadi dua yaitu klasifikasi penyakit dan
klasifikasi tipe penderita seperti di bawah ini :

1 Klasifikasi Penyakit

1. Tuberculosis Paru

Tuberculosis paru adalah tuberculosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura (selaput paru).

Berdasarkan pemeriksaan dahak, TB paru dibagi menjadi 2 yaitu :

a. Tuberculosis Paru BTA positif


b. Tuberculosis Paru BTA negatif

2. Tuberculosis Extra Paru

Tuberculosis yang menyerang organ tubuh selain jaringan paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin dan lain-lain.

Berdasarkan tingkat keparahannya, TB Extra Paru dibagi menjadi 2 yaitu :

a. Tuberculosis Extra Paru Ringan

Misal : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatif unilateral, tulang (kecuali tulang


belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

b. Tuberculosis Extra Paru Berat

Misal : meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudatif dupleks, TB


tulang belakang, TB usus, TB Ginjal, TB saluran kencing dan alat kelamin.

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan
fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut dengan Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) kurang dari 50 ml/menit. Gagal ginjal kronik dibedakan menjadi 5 stadium
seperti di bawah ini :

Stadium Deskripsi GFR (ml/mnt/1,73m2)

1 Kerusakn ginjal dengan GFR normal >90


atau meningkat

2 Kerusakan ginjal dengan penurunan 60-89


GFR ringan

3 Penurunan GFR sedang 30-59


4 Penurunan GFR berat 15-29

5 Gagal Ginjal <15 / dialysis

Menurut WHO, hepatotoksik diklasifikasikan menjadi 4 grade:

Grade I ditandai dengan peningkatan SGPT 1,25 2,5 kali dari nilai normal.

Grade II, peningkatan SGPT 2,6 5 kali dari nilai normal.

Grade III, peningkatan SGPT 5,1 10 kali dari nilai normal.

Grade IV, peningkatan SGPT, >10 kali dari nilai normal.

Selain disebabkan drug induced hepatitis (DIH) akibat OAT, gangguan hepar pada
penderita TB yang ditandai oleh kadar SGOT & SGPT yang meningkat dapat disebabkan oleh
TB hepatobiliar. Tuberkulosis hepatobilier merupakan penyebaran dari fokal infeksi TB di paru-
paru, diperkirakan terjadi hingga 80% penderita TB paru. Tuberkulosis hepatobilier biasanya
ditandai oleh kadar SGOT & SGPT yang meningkat sebelum diberikan pengobatan tanpa disertai
gejala-gejala klinis hepatitis.

Obat Anti Tuberkulosis Yang Bersifat Hepatotoksik

Obat anti tuberkulosis terdiri dari INH, Rifampisin, Pirazinamid, Ethambutol dan
Streptomisin. Yang memiliki efek hepatotoksik adalah INH, Rifampisin dan Pirazinamid. Pasien
dengan Hepatitis C dan HIV memiliki resiko hepatotoksik 4-5 kali lebih besar. Sedangkan pada
pasien dengan karier HbsAg positif dan HbeAg inaktif dapat diberikan obat standar jangka
pendek dengan syarat pengawasan tes fungsi hati setiap bulan. Pasien TB yang mendapat INH
10% mengalami kenaikan konsentrasi aminotransferase dalam minggu pertama. Hanya 1% yang
akan berkembang menjadi hepatitis serupa hepatitis virus.
- Isoniazid (INH)

Sekitar 10-20% dari pasien selama 4 - 6 bulan pertama terapi, memiliki gangguan fungsi hati
ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan SGOT, SGPT dan konsentrasi bilirubin. Tetapi dalam
beberapa kasus misalnya pada pasien hepatitis, sub nekrosis hati serta kolestasis, jika diberikan
Isoniazid kerusakannya dapat menjadi progresif dan parah, terutama pada usia tua dan pada
individu yang mempunyai asetilisasi cepat. Asetil hidrazin, adalah suatu metabolit dari Isoniazid
bertanggung jawab atas kerusakan hati. Isoniazid harus dihentikan apabila AST meningkat
menjadi lebih dari 5 kali nilai normal.

- Rifampisin

Rifampisin 85% sampai 90% dimetabolisme di hati. Sebagian besar dikeluarkan melalui saluran
empedu, sekitar 10% penderita yang diberi Rifampisin memperlihatkan peninggian serum
transaminase, bilirubin. Rifampisin juga dapat menyebabkan peningkatan asimptomatik serum
transaminase pada sebagian penderita selain itu memperlihatkan efek kolestatik. Rifampisin
bekerja sinergis dengan Isoniazid pada hati dan dapat menimbulkan ikterus serta peningkatan
simptomatik kadar enzim aspartat dan amino transaminase.

- Pirazinamid

Pirazinamid merupakan derivat asam nikotinik, yang digunakan pada pengobatan tuberkulosis
jangka pendek. Pirazinamid memiliki efek bakterisidal . Efek samping yang paling sering
dijumpai pada pemberian Pirazinamid adalah hepatotoksik dan juga hiperurisemia. Pirazinamid
merupakan obat bakterisidal untuk organisme intraselular dan agen anti tuberkulosa ketiga yang
juga cukup ampuh. Pirazinamid hanya diberikan untuk 2 bulan pertama pengobatan.

GEJALA KLINIS dan PEMERIKSAAN FISIK


Penderita TBC akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk berdahak
kronis, demam subfebris, berkeringat tanpa sebab pada malam hari, sesak nafas, nyeri dada, dan
penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat menurunkan prouktivitas penderita bahkan
kematian.

Gejala umum : batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih

Gejala lain :

- dahak bercampur darah

- batuk darah

- sesak nafas dan nyeri dada

- badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak
badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang
lebih dari 1 bulan.

Pemeriksaan pertama pada TBC mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang
pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun.Pada
tempat kelaina lesi TBC perlu di curiai bagia apeks paru. Bila dicurigai infiltrate yang agak luas,
maka akan didapatkan perkusi yang redup dan auskutasi bronkial. Akan didapatkan juga suara
nafas tambahan berupa ronki basah, kasar, nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebaan
pleura, suara nafasnya menjadi vesikuler lemah.

Pada Gagal Ginjal dapat gejala-gejala yang ditemukan dari anamnesa dan pemeriksaan
fisik pasien adalah sebagai berikut :

- Kencing terasa kurang dibandingkan dengan biasanya.

- Kencing berubah warna, berbusa, atau sering bangun malam hari untuk kencing.

- Sering bengkak di kaki, perlangan ,dan muka karena ginjal tidak bisa membuang
air yang berlebihan.
- Lekas capai atau lemah, akibat kotoran tidak bisa dibuang oleh ginjal.

- Sesak nafas, akibat air mengumpul di paru-paru. Keadaan ini sering


disaalahartikan sebagai asma atau kegagalan jantung.

- Rasa pegal di punggung

- Gatal di bagian ekstremitas bawah

- Kehilangan nafsu makan , mual dan muntah.

Ada variasi yang besar dalam manifestasi drug-induced hepatotoxicity, mulai dari
peningkatan transaminase yang asimtomatik sampai kegagalan hati fulminant. Gejala dapat
terjadi hanya beberapa hari sebelum kerusakan hati yang serius dan gagal hati. Yang termasuk
gejala tersebut adalah gejala kelelahan, kehilangan nafsu makan, malaise, mual, muntah, demam,
myalgia dan arthralgia. Peradangan hepar dapat bermanifestasi sebagai nyeri perut atau rasa
tidak nyaman dan nyeri di kuadran kanan atas, kadang-kadang hepatomegali, tapi jarang asites.
Gejala dari gagal hati termasuk penyakit kuning, urin berwarna gelap, tinja pucat, kecenderungan
perdarahan, pruritus, dan sampai ke koma. Jaundice mungkin ditemukan terlambat dan biasanya
tidak terdeteksi secara klinis sampai kadar bilirubin serum paling sedikit 51 mol / L (3,0 mg /
dL), lebih dari dua kali batas atas normal. Perubahan warna kuning mata lebih sensitif
dibandingkan warna kulit, terutama pada pasien berkulit gelap.

Untuk mendiagnosa suatu kelainan hepar akibat obat, yang harus dinilai oleh seorang dokter
adalah dari riwayat penggunaan obat dahulu, reaksi yang timbul selama terapi diberikan dan
setelah terapi dihentikan, pengetahuan akan obat, respon terhadap antidotum obat, hasil uji
laboratorium, pengkajian obat dan penyakit.

Berdasarkan International Consensus Criteria, diagnosis hepatotoksisitas imbas obat


didasarkan atas :

1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awal reaksi (5-90 hari dari
awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari lima hari atau lebih dari 90 hari sejak
mulai minum obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi
hepatoselular dan tidak lebih dari 30 hari untuk reaksi kolestatik).
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan enzim
paling tidak 50% dari konsentrasi di atas normal dalam 8 hari) atau sugestif (penurunan
konsentrasi enzim paling tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoselular dan 180
hari untuk reaksi kolestatik).

3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah dieksklusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk
biopsi hati pada tiap kasus.

4. Dijumpai respon positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama paling tidak
kenaikan 2 kali lipat enzim hati.

Dikatakan adanya reaksi antar obat, jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau dua dari tiga
kriteria pertama terpenuhi dengan respons positif pada pemaparan ulang obat tersebut.

PENATALAKSANAAN

PengobatanTBC dengan Gangguan Ginjal

Pemilihan OAT seperti Isoniasid (H), Rifampicin (R), dan Pirasinamid (Z) untuk
pasien dengan gagal ginjal dianjurkan, karena ketiga obat tersebut dapat di ekskresi
melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik.
OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan
gangguan ginjal.

Sedangkan Streptomicin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu
harus di hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila
fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomicin tetap dapat
diberikan dengan dosis sesuai faal gijal.

Panduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah
2RHZ/6RH.
2RHZ artinya pada fase intensif digunahan Rifampicin, INH, dan Pirazinamid, setiap
hari selama 2 bulan.

6RH pada fase lanjutan

Pengobatan TB dengan Kelainan Hati

Bila ada kecurigaan penyakit hati dianjurkan untuk pemeriksaan fungsi hati terlebih
dahulu sebelum pengobatan. Pada kelainan hati pirazinamid tidak boleh diberikan. Panduan obat
yang dianjurkan adalah 2SHRE/6RH atau 2SHE/10HE

Pada pasien hepatitis akut atau klinis ikterik, sebaiknya OAT ditunda sampai hepatitis
akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan yang sangat diperlukan dapat diberikan S dan
E maksimal 3 bulan sampai hepatitis menyembuh dan dilanjutkan dengan 6RH

Pengobatan TB dengan drug induced hepatitis

Pada pasien yang sedang mengkonsumsi obat anti-TB yang memperlihatkan tanda-tanda
kerusakan hati, kita harus selalu mencurigai hal itu disebabkan oleh obat anti-TB, kecuali
ditemukan bukti yang meyakinkan dari penjelasan lain, dan obat-obatan yang berkaitan dengan
hal tersebut harus dihentikan.

Ethambutol dan Streptomisin dianggap aman untuk pasien karena memang Ethambutol
jarang menyebabkan hepatitis dan Streptomisin tidak menyebabkan hepatitis. Di antara obat lini
kedua, Ethionamide, Asam Para-Ammosalicylic (PAS), dan Fluoroquinolones lebih jarang dapat
menyebabkan hepatitis. Kerusakan hati yang parah dapat mendahului gejala lain dengan hanya
beberapa hari, penting bahwa hepatotoksisitas berat diketahui sesegera mungkin karena
keterlambatan menghentikan OAT meningkatkan risiko kematian. Ada beberapa cara untuk
pengulangan kembali pengobatan, baik berkaitan dengan waktu dan pemilihan obat. Sekali OAT
telah dihentikan, upaya-upaya harus dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain dari hepatitis
termasuk alkohol dan hepatitis virus.

Penatalaksanaan drug induced hepatitis :


- Bila klinik (+) Ikterik (+), gejala mual, muntah (+) = OAT Stop

- Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali = OAT stop

- Bila gejala klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin > 2 = OAT Stop

- SGOT, SGPT > 5 kali = OAT stop

- SGOT, SGPT > 3 kali = teruskan pengobatan, dengan pengawasan

Paduan OAT yang dianjurkan :

- Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ).


- Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normal
kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai
dengan dosis penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa laboratorium saat
INH dosis penuh , bila klinik dan laboratorium normal, tambahkan rifampisin,
desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat
menjadi RHES. Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi. Bila diperlukan, dosis rifampisin
600 mg dapat diberikan kepada penderita TB tanpa memandang berat badan dan tanpa
perlu mengkhawatirkan hepatotoksik.

Pada pasien tuberculosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko hepatotksisitas
terhadap obat aniti tuberculosis lima kali lipat. Sementara pasien dengan karier HBsAg positif
dan HBeAg negative yang inaktif dapat diberikan obat standard jangka pendek, yakni Isoniazid,
Rifampisin, Etambutol, dan/atau Pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling
tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10% pasien tuberculosis yang mendapatkan Isoniazid
mengalami kenaikan konsentrasi aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi
yang nampaknya menunjukkan respon adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid
dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas
normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis
viral, 50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan
kemudian.
Waktu Reduksi Obat.

Jika tes darah untuk menilai fungsi hati tersedia, reintroduksi OAT dapat dimulai segera setelah
tes fungsi hati telah normal. Namun, dalam keadaan beban yang tinggi, pengujian laboratorium
dan tes fungsi hati mungkin tidak dapat dilakukan. Dalam situasi ini, pengobatan sesuai gejala.
Biasanya, penyakit kuning dan gejala lain akan berkurang dalam 1-2 minggu. WHO
merekomendasikan bahwa reintroduksi OAT dilakukan 2 minggu setelah penyakit kuning
hilang.

Regimen Sementara Sebelum Reintroduksi Oat

Jika pasien sakit parah, pasien mungkin mati jika dibiarkan tanpa pengobatan sampai penyakit
hepatitisnya selesai. Pada pasien tersebut, pengobatan harus diberikan dengan dua atau tiga obat
antihepatotoksik, antara lain Streptomisin, Ethambutol dan Ofloxacin. Regimen ini sementara
akan cukup untuk mengendalikan infeksi, pada saat yang sama punya faktor resiko rendah dari
Basil TB yang resisten. Jika pasien tidak memiliki penyakit kuning, tetapi hanya malaise dan
mual, Rifampisin dapat dilanjutkan.

Pemilihan Oat Setelah Penyakit Kuning / Hepatitis

Seringnya adalah memberikan semua pengobatan tanpa melihat kekambuhan hepatitis.


Sementara Rifampisin mungkin menyebabkan hepatitis, biasanya dimulai dengan pemberian
Isoniazid. Salah satu alasan untuk hal ini adalah bahwa Rifampisin sering menyebabkan
penyakit kuning asimptomatik, yang, jika itu terjadi ditafsirkan sebagai kekambuhan hepatitis
dan dengan demikian akan menunda pengenalan efektif kemoterapi dengan Isoniazid. Ketika
pengulangan kembali Isonoazid, diberikan dosis awal 50mg per hari. Jika tidak ada gejala
kambuh atau tanda tanda kerusakan, dosis dapat dinaikkan menjadi 100mg per hari selama 4
hari, lalu dinaikkan kembali menjadi 200mg pada hari ketujuh, dan diberikan dosis penuh dari
hari ke-14.

Pasien harus dimonitor selama 1 minggu, dan, jika obat tersebut dapat ditoleransi,
selanjutnya dapat dipertimbangkan kembali pemakaian Rifampisin. Jika Isoniazid dan
Rifampisin ditoleransi dengan baik selama beberapa minggu, boleh mempertimbangkan kembali
pemakaian Pirazinamid. Namun, jika ada hepatitis dengan sakit kuning, WHO menyarankan
menghindari pemberian Pirazinamid. Jika Pirazinamid telah diberikan selama 2 bulan
sebelumnya, tidak perlu untuk mengulang obat ini, karena tidak digunakan untuk pengobatan
fase selanjutnya. Penyakit kuning yang asimptomatik sering karena pemakaian Rifampisin. Jika
Pirazinamid dan Rifampisin perlu dihindari, maka digunakan 2SHE/10HE.

Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien
hepatotoksisitas
INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan perlahan sampai 300 mg / hari
setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan.
Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis 75 mg / hari
lalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg (<50 kg) atau 600 mg (> 50
kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak ada reaksi yang terjadi, lanjutkan.
Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat menjadi 1,0 g
setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg). (Kishore, dkk, 2010)
DAFTAR PUSTAKA

1. Mehta, Nilesh MD, Lisa Ozick, MD and Emmanuel Gbadehan, MD. Drug-Induced
Hepatotoxicity. http://emedicine.medscape.com/article/169814-overview. november 2009
2. Simon, Schaaf H Prof, Zumla Alimuddin I. Tuberculosis A Comprehensive Clinical
Reference 2009
3. Prihatni, Delita, Ida Parwati, Idaningroem Sjahid, Coriejati Rita. Efek Hepatotoksik Anti
Tuberkulosis terhadap Kadar Aspartate Aminotransferase dan Alanine Aminotransferase
Serum Penderita Tuberkulosis Paru. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory, vol 12, No.1, Nov 2005 ; 1-5
4. Herbert L. Bonkovsky, Dean P. Jones, Douglas R. LaBrecque and Steven I. Shedlofsky.
Drug-Induced Liver Injury. Zakim and Boyers Hepatology. A Textbook of Liver
Disease Fifth Edition. Canada: Saunders. 2006.
5. Stephen Krahenbuhl and Jurg Reichen. Drug Hepatotoxicity. Liver Disease Diagnosis
and Management. Philadelphia : Churcill Livingstone. 2000. 294-309.
6. Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : FKUI. 2006. 471-474
7. Russmann, Stefan, Gerd A Kullack-Ublick and Ignazio Grattagliano. Current Concepts of
Mechanisms in Drug-Induced Hepatotoxicity. Current Medical Chemical. 2009 August;
16 (23): 3041-3053
8. Weisiger, R.A., 2002, Isoniazid Hepatotoxicity. Emedicine March 19.
9. Vernon, A.A., 2004, Rifamycin Antibiotics, with a Focus on Newer Agents. Dalam Rom,
N.W., Garay, M.S. (penyunting). Tuberculosis, Edisi ke 2. Philadelphia: Lippincot
Williams & Wilkins, hlm 759-71.
10. Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., 2005., Cellular Adaptations, Cell Injury, and Cell
death. Dalam Pathologic Basis of Disease, Edisi ke 7. Philadelphia: WB Saunders
Company, hlm 1-46.
11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2002, Tuberkulosis - Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia.
12. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : EGC
13. Risk Factors of Hepatotoxicity During Anti-tuberculosis Treatment. MJAFI 2006; 62 :
45-49
14. Drug induced hepatitis with anti-tubercular chemotherapy:Challenges and difficulties in
treatment. Kathmandu University Medical Journal (2007), Vol. 5, No. 2

You might also like