You are on page 1of 26

RESPONSI

KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

Oleh :
Atika Iffa Syakira G99161021
Dessy Rachmawati G99161031
Lulut Khoridatur R. G99161056
Rr. Miranda Mutia G99161086

Pembimbing :
dr. Yudhistya Ngudi Insan K., Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kehamilan ektopik terjadi ketika kehamilan terjadi diluar dari uterus (RCOG,
2010). Istilah ektopik berasal dari bahasa Inggris, ectopic, dengan akar kata dari
bahasa Yunani, topos yang berarti tempat. Jadi istilah ektopik dapat diartikan berada
di luar tempat yang semestinya. Dengan demikian kehamilan ektopik didefinisikan
sebagai suatu kehamilan dimana sel telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di
luar endometrium kavum uteri. Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau
ruptur, misalnya ruptur dinding tuba, maka peristiwa ini disebut sebagai kehamilan
ektopik terganggu. Insidens kehamilan ektopik terganggu semakin meningkat pada
semua wanita terutama pada mereka yang berumur lebih dari 30 tahun. Selain itu,
adanya kecenderungan pada kalangan wanita untuk menunda kehamilan sampai usia
yang cukup lanjut menyebabkan angka kejadiannya semakin bertambah (Pendit BU,
2009; Suparman, 2007; Harri Prawira, 2008).
Sekitar 1 dari 100 kehamilan adalah kehamilan ektopik dengan penempelan
konseptus terjadi di tuba falopi. Menurut penelitian Autry dalam Clinical Pratice
Guideline Institute of Pbstetricians & Gynaecologist Royal College of Physicians of
Ireland tahun 2014, kehamilan ektopik menjadi penyebab kematian ibu terbesar pada
trimester pertama. Beberapa kehamilan ektopik pada tuba dapat sembuh dengan
sendirinya, namun beberapa lainnya lanjut tumbuh dan menyebabkan ruptur pada
tuba (Varma dan Gupta, 2013).
Sampai saat ini etiologi terjadinya kehamilan ektopik masih belum pasti
(Sivalingam et al, 2011). Namun berbagai penelitian menunjukan beberapa faktor
resiko penyebab terjadinya kehamilan ektopik, diantaranya adalah riwayat kehamilan
ektopik sebelumnya, riwayat penyakit inflamasi pelvis, riwayat operasi pelvis
maupun tuba, infertilitas, merokok, dan penggunaan kontrasepsi dalam rahim IUD
(Intra Uterine Device) (Varma dan Gupta, 2013).
Sulit untuk mendiagnosa kehamilan ektopik hanya dari gejala saja. Karena
gejala yang sering terjadi adalah nyeri abdomen yang disertai dengan perdarahan,
dibutuhkan pemeriksaan penunjang lainnya untuk menengakkan diagnosis.
Pengobatan kehamilan ektopik memiliki sedikit kompikasi yaitu mempengaruhi
kesehatan kewanitaan. Perempuan yang pernah mengalami kehamilan ektopik,
memiliki resiko untuk terjadi kehamilan ektopik berulang ataupun sulit untuk hamil
(UCLH, 2008).
Melihat etiologi yang masih belum pasti dan pengobatan kehamilan ektopik
yang menimbulkan permasalahan kesehatan lainnya, penelitian dan pembahasan
mengenai kehamilan ektopik masih perlu ditingkatkan dan diperdalam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Kehamilan ektopik atau kehamilan ekstra uterus diambil dari bahasa yunani
ectopos yang berarti diluar sebuah tempat (Rana et al, 2013). Dapat didefinisikan,
kehamilan ektopik adalah terjadinya implantasi hasil konseptus diluar endometrium.
Tempat tersering terjadinya implantasi tersebut adalah diantara tuba falopi (95.5%),
ovarium (3.2%), dan abdomen (1.3%) (Varma dan Gupta, 2013).

Gambar 1. Lokasi Kehamilan Ektopik (Pregmed, 2015)

Jenis kehamilan ektopik terdiri atas (Rana et al, 2013) :


1. Kehamilan ektopik tuba falopi (90-95%)

2. Kehamilan ektopik serviks (0.15%)

3. Kehamilan ektopik ovarium (0.15%-3%)

4. Kehamilan ektopik luka caesar (6%)


5. Kehamilan intertisial (2.5%)

6. Kehamilan ektopik abdominal (1.3%)

7. Kehamilan ektopik Heterotopik (1-3%)

B. Epidemiologi
Kehamilan ektopik belum terganggu sulit diketahui, karena biasanya penderita
tidak menyampaikan keluhan yang khas, kehamilan ektopik baru memberikan gejala
bila kehamilan tersebut terganggu. Sehingga insidens kehamilan ektopik yang
sesungguhnya sulit ditetapkan. Meskipun secara kuantitatif mortalitas akibat KET
berhasil ditekan, persentase insidens dan prevalensi KET cenderung meningkat dalam
dua dekade ini. Dengan berkembangnya alat diagnostik canggih, semakin banyak
kehamilan ektopik yang terdiagnosis sehingga semakin tinggi pula insidens dan
prevalensinyaInsidensi tahunan dari kehamilan ektopik telah meningkat dalam 30
tahun terakhir. Di dunia barat 4-10% kematian yang berhubungan dengan kehamilan
telah ditemukan. Hal ini juga telah berkembang menjadi permasalahan di negara-
negara berkembang. Kehamilan ektopik ini telah menyebabkan sekitar 75% kematian
pada trimester pertama dan 9% dari kematian saat kehamilan (Bangun, 2009).
Sekitar 10.000 kehamilan ektopik didiagnosis setiap tahun di Inggris. Insidensi
dari kehamilan ektopik di Inggris (11,1/ 1000 kehamilan) serupa dengan negara-
negara lainnya seperti Norwegia (14,9/ 1000) dan Australia (16,2/1000) dari tahun
1994, sedangkan insidensi kehamilan ektpik yang berujung kematian sekitar 0,35/
1000 kehamilan ektopik pada tahun 2003-2005. Kehamilan ektopik diduga
menyebabkan kematian maternal, gejala akut abdomen seperti nyeri pelvis dan
perdarahan vagina dan infertilitas (Suryawan et.al, 2011).
Pada negara-negara berkembang, sekitar 1% sampai 2 % dari seluruh
kehamilan adalah kehamilan ektopik (dibandingkan dengka insidensi kemahilan
kembar). Meskipun insidensi di negara-negara berkembang relatif tetap, namun
antara tahun 1972-1992 terdapat sekitar 6 kali lipat peningkatan insidensi kehamilan
ektopik. Peningkatan ini diduga dipengaruhi oleh 3 faktor seperti penyakit inflamasi
pelvis, merokok pada wanita usia reproduktif, dan peningkatan penggunaan teknologi
reproduktif terbantu (Suryawan et.al, 2011).
Kehamilan ektopik lebih sering di temukan pada wanita kulit hitam dari pada
wanita kulit putih. Perbedaan ini diperkirakan karena peradangan pelvis lebih banyak
ditemukan pada golongan wanita kulit hitam. Kehamilan ektopik banyak terdapat
bersama dengan keadaan gizi buruk dan keadaan kesehatan yang rendah, maka
insidennya lebih tinggi di Negara sedang berkembang dan pada masyarakat yang
berstatus sosioekonomi rendah daripada di Negara maju dan pada masyarakat yang
berstatus sosio-ekonomi tinggi. Di Amerika Serikat, kehamilan ektopik terjadi pada 1
dari 64 hingga 1 dari 241 kehamilan, kejadian ini dipengaruhi oleh faktor sosial,
mungkin karena pada golongan pendapatan rendah lebih sering terdapat gonorrhoe
karena kemungkinan berobat kurang (Bangun, 2009).
Berdasarkan data yang diapatkan dari Dinas Kesehatan Provinsi pada tahun
2013, di wilayah Jawa barat 2,7% penyabab kematian ibu disebabkan oleh perdarahan
antepartum yang diantaranya mencakup kehamilan ektopik (Fitriany dan Nuripah,
2015).
Berdasarkan penelitian di RSUD Sleman Yogyakarta, Usia kehamilan yang
lebih berisiko terjadi kehamilan ektopik yaitu usia kehamilan TM I dan usia ibu yang
yang lebih berisiko yaitu usia 20-35 tahun. Sekitar 40,4% terjadi pada ibu dengan
status primi dan pada umur kehamilan sekitar 5-9 minggu (55,3%) (Suryawan et.al,
2011; Marfuaturrohmah dan Ayuningtyas, 2015).

C. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk kehamilan ektopik telah dirangkum oleh Ankum dkk dalam
meta-analisis yang mencakup 36 studi sebelumnya. Ada hubungan yang kuat antara
kehamilan ektopik dengan kondisi yang dianggap menghambat migrasi sel telur yang
telah dibuahi ke rahim. Dalam hal ini termasuk kerusakan pada tuba falopi dari
penyakit radang panggul sebelumnya, sejarah kehamilan ektopik, dan operasi tuba
sebelumnya, termasuk ligasi tuba sebelumnya. Mekanisme patofisiologi terhadap
terganggunya integritas tuba ini yang mungkin menjadi penyebab peningkatan jumlah
kehamilan ektopik pada pasien dengan infertilitas atau operasi panggul sebelumnya
(Seeber dan Barnhart, 2006).
Faktor-faktor resiko yang sering terjadi adalah:
1. Riwayat Kehamilan Jelek
Riwayat kehamilan yang berhubungan dengan resiko kehamilan ektopik
adalah kehamilan ektopik, induksi abortus berulang dan mola. Sekali pasien
pernah mengalami kehamilan ektopik ia mempunyai kemungkinan 10 sampai 25%
untuk terjadi lagi. Hanya 60% dari wanita yang pernah mengalami kehamilan
ektopik menjadi hamil lagi, walaupun angka kemandulannya akan jadi lebih
tinggi. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0-
14.6%. Sebagai konsekuensinya, beberapa pasien melaporkan kehamilan ektopik
sebelumnya dan mengenal gejala-gejala sekarang yang serupa (Bangun, 2009).
2. Riwayat infeksi pelvis
Kira-kira sepertiga sampai separuh dari pasien dengan kehamilan ektopik
mempunyai riwayat infeksi pelvis sebelumnya. Calon ibu menderita infeksi akibat
penyakit GO (gonorrhea) ataupun radang panggul. Hal inilah yang menyebabkan
ibu yang menderita keputihan harus melakukan pemeriksaan untuk memastikan
gejala yang di deritanya adalah tanda infeksi atau hanya keputihan yang bersifat
fisiologis (Bangun, 2009).
3. Riwayat kontrasepsi
Riwayat kontrasepsi membantu dalam penilaian kemungkinan kehamilan
ektopik. Pada kasus-kasus kegagalan kontrasepsi pada wanita yang menggunakan
kontrasepsi oral atau dengan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), rasio
kehamilan ektopik dibandingkan dengan kehamilan intrauterin adalah lebih besar
daripada wanita-wanita yang tidak menggunakan metode kontrasepsi. Kejadian
kehamilan ektopik pada akseptor AKDR dilaporkan 12 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan pemakai kondom. Diperkirakan terjadi 2 kehamilan ektopik
per 1000 akseptor AKDR setiap tahun. Akseptor pil yang berisi hanya progestagen
dilaporkan mempunyai insiden yang tinggi terhadap kehamilan ektopik apabila
terjadi kehamilan selagi menjadi akseptor yaitu 5 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan insidennya yang biasa. Pada pemakai pil mini 4-6% dari kehamilannya
dilaporkan adalah ektopik, akan tetapi dilaporkan tidak terjadi perubahan insiden
pada akseptor pil kombinasi (Bangun, 2009).
4. Riwayat operasi tuba
Adanya riwayat pembedahan tuba sebelumnya baik prosedur sterilisasi yang
gagal maupun usaha untuk memperbaiki infertilitas tuba semakin umum sebagai
faktor resiko terjadinya kehamilan ektopik (Bangun, 2009).
Selain faktor resiko tersebut, menurut Clinical Guidelines NHS tahun 2014,
terdapat faktor resiko yang hanya ditunjukan oleh 25-50% pasien dengan kehamilan
ektopik, yaitu infertilitas, menggunakan teknologi terkait reproduksi / In Vitro
Fertilization (IVF), dan kontrasepsi IUD. Merokok serta usia ibu lebih dari 40 tahun
juga berhubungan dengan meningkatnya insiden kehamilan ektopik.
Sedangkan menurut American Family Physician tahun 2013, penggunaan IUD
bukanlah faktor resiko absolut terjadinya kehamilan ektopik. Namun kehamilan
dengan menggunakan IUD cenderung akan terjadi kehamilan ektopik. American
Family Physician juga menjelaskan faktor resiko lainnya yaitu riwayat keguguran
spontan sebelumnya, endometriosis, anomali uterotuba, dan riwayat uterus terpapar
diethylstilbestrol.

D. Etiologi

Beberapa sumber menjelaskan bahwa belum ada penyebab pasti dari kehamilan
ektopik. Namun pada penelitian menjelaskan kemungkinan terjadinya kehamilan
ektopik karena implantasi terjadi dari hasil kombinasi penangkapan embrio di tuba
falopi dan perubahan lingkungan mikro tuba yang menyebabkan implantasi dini
terjadi. Inflamasi pada tuba dapat mengakibatkan transpor embrio-tuba melalui
terganggunya kontraksi otot halus dan mengalahkan aktivitas siliar serta menyediakan
sinyal pro inflamasi (Silvalingam et al, 2012).
Normalnya, seperti disebut diatas, sel telur dibuahi di tuba fallopii dan berjalan
kedalam tuba ketempat implantasi. Mekanisme apapun yang mengganggu fungsi
normal dari tuba fallopii selama proses ini meningkatkan resiko terjadinya kehamilan
ektopik. Kehamilan ovarium dapat terjadi apabila spermatozoa memasuki folikel de
Gaaf yang baru pecah dan membuahi sel telur yang masih tinggal dalam folikel, atau
apabila sel telur yang dibuahi bernidasi di daerah endometriosis di ovarium.
Kehamilan intraligamenter biasanya terjadi sekunder dari kehamilan tuba atau
kehamilan ovarial yang mengalami rupture dan mudigah masuk di antara 2 lapisan
ligamentum latum. Kehamilan servikal berkaitan dengan faktor multiparitas yang
beriwayat pernah mengalami abortus atau operasi pada rahim termasuk seksio
sesarea. Sedangkan kehamilan abdominal biasanya terjadi sekunder dari kehamilan
tuba, walau ada yang primer terjadi di rongga abdomen (Wiknjosastro,2000).
Secara ringkas dapat dipisahkan faktor-faktor pada tuba yang dapat mendukung
terjadinya kehamilan ektopik(Wiknjosastro,2000) :
1. Faktor dalam lumen tuba :
a. Endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping, sehingga
lumen tuba menyempit atau membentuk kantong buntu.
b. Lumen tuba sempit dan berlekuk-lekuk yang dapat terjadi pada hipoplasia
uteri. Hal ini dapat disertai kelainan fungsi silia endosalping.
c. Lumen tuba sempit yang diakibatkan oleh operasi plastik tuba dan sterilisasi
yang tidak sempurna.
Gambar 2. Gambaran Mikroskopik dari saluran tuba.
2. Faktor pada dinding tuba :
a. Endometriosis tuba, dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi dalam
tuba.
b. Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan telur
yang dibuahi ditempat itu.
3. Faktor diluar dinding tuba :
a. Perlekatan peritubal dengan distorsiatau lekukan tuba dapat menghambat
perjalanan telur.
b. Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba.
4. Faktor lain :
a. Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovum kanan ke tuba kiri- atau
sebaliknya- dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus.
Pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi
prematur.
b. Fertilisasi in vitro.
Diantara faktor-faktor tersebut diatas, salpingitis akut merupakan penyebab
utama. Sequele morfologik berpengaruh pada setengah dari episode awal kehamilan
ektopik. Tempat keluar ovum pada ovulasi di ovarium juga disinyalir mempunyai
peran dalam kehamilan ektopik. Ovulasi yang berasal dari arah kontralateral dari
ovarium telah dianggap sebagai penyebab dari terlambatnya transport blastokist, dan
oleh Breen, dilaporkan bahwa ovulasi dari arah kontralateral ditemukan pada
sepertiga dari gestasi tuba yang diobati dengan laparatomi. Bagaimanapun juga, Saito
dkk. mengamati bahwa bagian dari tuba dimana terjadi implantasi pada wanita
dengan kehamilan ektopik adalah sama pada apakah korpus luteum berada di
ipsilateral atau kontralateral. Jika transmigrasi adalah salah satu faktor, hipotesis dari
mereka adalah ada banyak insiden terjadinya kehamilan di distal tuba dengan ovulasi
dari kontralateral ovarium (Wiknjosastro,2000).
Penyebab lain yang lebih fisiologik adalah ketidakseimbangan hormonal, yang
mana peningkatan kadar estrogen atau progesterone yang beredar dapat merusak
kontraktilitas normal tuba. Kenaikan rata-rata kehamilan ektopik dilaporkan terjadi
pada wanita yang digambarkan secara fisiologis dan farmakologis mempunyai kadar
progestin yang meningakat. Secara iatrogenik, dapat terjadi peningkatan estrogen dan
progesterone setelah induksi ovulasi baik itu dengan clomiphene citrate atau human
menopausal gonadotrophins, dan dilaporkan terjadi kenaikan angka kehamilan
ektopik pada wanita dengan perlakuan seperti itu. Kemungkinan penyebab lainnya
adalah perkembangan embrionik yang abnormal. Stratford memeriksa 44 konseptus
dari gestasi ektopik dengan mikrodiseksi dan potongan histologik dan menemukan
sekitar duapertiga abnormal dan setengahnya mempunyai binormalitas struktural
umum. Kelainan abnormal-abnormal ini dapat mengganggu transport normal di tuba
(Wiknjosastro,2000).
Bahwa kehamilan yang mucul yang dikarenakan kegagalan beberapa metode
kontrasepsi mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk menjadi ektopik
dibandingkan pada wanita yang hamil karena tidak memakai alat kontrasepsi. Wanita
yang menjadi hamil sewaktu memakai IUD Copper T380 atau kontrasepsi oral
progestin saja, mempunyai kemungkinan 5% lebih tinggi untuk mengalami
kehamilan ektopik. Wanita yang menjadi hamil selama memakai progesterone-
releasing IUD bahkan lebih tinggi, sekitar 25%, bahkan bila dibandingkan dengan
wanita yang tidak memakai alat kontrasepsi sama sekali, kemungkinan terjadi
kehamilan ektopik lebih besar dua lipat. Hal ini disebabkan progesterone
menghambat kontraksi tuba. Walaupun pada banyak laporan yang mengatakan bahwa
riwayat aborsi yang diinduksi meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik.
menunjukkan metode statistik yang digunakan untuk mengontrol efek dari faktor-
faktor resiko, riwayat dari satu aborsi yang diinduksi tidak meningkatkan secara
bermakna kemungkinan terjadi kehamilan ektopik. Efek itu baru akan nyata bila
sudah dua atau lebih aborsi (Wiknjosastro,2000).

E. Patogenesis
Pada proses awal kehamilan, apabila embrio tidak bisa mencapai endometrium
untuk proses nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan kemudian akan
mengalami beberapa proses seperti pada kehamilan pada umumnya. Karena tuba
bukan merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan embrio atau mudigah, maka
pertumbuhan dapat mengalami perubahan dalam bentuk berikut ini (Prawirohardjo,
2009).
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorpsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang dengan mudah terjadi resorpsi total. Dalam keadaan ini
penderita tidak mengeluh apa-apa dan haidnya terlambat untuk beberapa hari
(Prawirohardjo, 2009).
2. Abortus ke dalam lumen tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluhpembuluh darah oleh villi
koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari
dinding tersebut bersamasama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini
dapat terjadi sebagian atau seluruhnya. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dan
selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah
ostium tuba abdominale. Perdarahan yang berlangsung terus menyebabkan tuba
membesar dan kebiru-iruan (hematosalping) dan selanjutnya darah mengalir ke
rongga perut melalui ostium tuba berkumpul di kavum douglas dan akan membentuk
hematokel retrouterina (Prawirohardjo, 2009).
Gambar 3. Abortus Tuba
3. Ruptur dinding tuba
Ruptur dinding tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstisialis terjadi pada
kehamilan lebih lanjut. Faktor utma yang menyebabkan ruptur adalah penembusan
vili koriales ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur dapat
terjadi spontan atau karena trauma ringan. Darah dapat mengalir ke dalam rongga
perut melalui ostium tuba abdominale. Bila ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder
terjadi. Dalam hal ini, dinding tuba telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena
tekanan darah dalam tuba. Kadang ruptur terjadi di arah ligamentum latum dan
terbentuk hematoma intraligamenter antara 2 lapisan ligamentum tersebut. Jika janin
hidup terus dapat terjadi kehamilan intraligamenter (Prawirohardjo, 2009).
Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila
robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba.
Nasib janin bergantung pada tuanya kehamilan dan kerusakan yang diderita. Bila
janin mati dan masih kecil, dapat diresorpsi seluruhnya dan bila besar dapat diubah
menjadi litopedion. Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh
kantomg amnion dan dengan plassenta masih untuh kemungkinan tumbuh terus
dalam rongga peru, sehingga terjadi kehamilan ektopik lanjut atau kehamilan
abdominal sekunder (Prawirohardjo, 2009).

F. Manifestasi Klinis
Pasien dengan kehamilan ektopik pada umumnya mengeluh nyeri bagian bawah
abdomen dan perdarahan pervaginam pada usia kehamilan 6-10 minggu. Meskipun
hal ini merupakan keluhan umum yang terjadi pada sepertiga wanita di kehamilan
awal. Nyeri dirasakan menentap dan memberat dan sering unilateral. Nyeri bahu,
pingsan dan syok dapat terjadi sampai 20% wanita dan abdominal tenderness lebih
dari 75%. Akhir-akhir ini, telah dilaporkan bahwa sepertiga wanita dengan kehamilan
ektopik tidak menunjukkan tanda dan gejala (Bangun, 2009)
Ruptur kehamilan ektopik seharusnya diprediksi apabila wanita positif pada tes
kehamilan dan menunjukkan gejala syok termasuk takikardi, pucat dan pingsan.
Terdapat distensi abdomen dan tanda tenderness.selama pemeriksaan bimanual dapat
ditemukan tenderness, eksitasi servikx, dan massa pada adneksa yang akan
memperburuk perdarahan. Takikardi merupakan tanda yang penting namun
dekompensasi dengan syok merupakan tanda signifikan dari perdarahan
intraperitoneal. Pada keadaan gawatdarurat, dimana pasien mulai kehilangan
kesadaran dan terdapat dugaan klinis ruptur tuba harus dilakukan intervensi bedah
segera (Bangun, 2009)
Kehamilan ektopik sering misdiagnostik dengan gangguan ginekologi dan
gastrointestinal atau penyakit traktus urinarius termasuk appendisitis, salpingitis,
ruptur korpus luteum dan kista folikular. Pada tahun 2006-2008 Centre for Maternal
and Child Enquiries (CMACE) melaporkan 4 dari 6 wanita yang meninggal akibat
kehamilan ektopik mengeluhkan diare, pusing dan muntah sebagai gejala awal tanpa
mencetuskan perhatian dari kehamilan ektopik oleh pelayanan medis (Bangun, 2009).
G. Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta penunjang.
1. Anamnesis
Terjadi amenorea, yaitu haid terlambat mulai beberapa hari sampai
beberapa bulan atau hanya haid yang tidak teratur. Kadang-kadang dijumpai
keluhan hamil muda dan gejala hamil lainnya. Nyeri perut bagian bawah, nyeri
bahu, tenesmus dan perdarahan pervaginam terjadi setelah nyeri perut bagian
bawah (RCOG,2012). Kehamilan ektopik harus dipikirkan pada semua pasien
dengan tes kehamilan positif, nyeri pada pelvis, dan perdarahan uterus abnormal
(Schwartz, 2000).
2. Pemeriksaan umum
Penderita tampak kesakitan dan pucat, pada perdarahan dalam rongga perut
dapat ditemukan tanda-tanda syok (RCOG ,2012).
3. Pemeriksaan ginekologi
Tanda-tanda kehamilan muda mungkin ditemukan. Pergerakan serviks
menyebabkan rasa nyeri. Bila uterus dapat diraba maka akan terasa sedikit
membesar dan kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas yang
sukar ditentukan. Cavum douglasi yang menonjol dan nyeri raba menunjukkan
adanya hematocele retrouterina. Suhu kadang-kadang bisa naik sehingga
menyukarkan perbedaan dengan infeksi pelvik (RCOG ,2012).
4. Tes kehamilan
Apabila test positif, dapat membantu diagnosis khususnya terhadap tumor-
tumor adneksa, yang tidak ada hubungannya dengan kehamilan. Tes kehamilan
yang negatif tidak banyak artinya, umumnya tes ini menjadi negatif beberapa
hari setelah meninggalnya mudigah (RCOG ,2012).
5. -HCG
6. Dilatasi dan kerokan
Biasanya kerokan dilakukan, apabila sesudah amenorea terjadi perdarahan
yang cukup lama tanpa ditemukan kelainan nyata di samping uterus, sehingga
dipikirkan abortus inkompletus, perdarahan disfungsional dan lain-lain.
7. Laparoskopi
Laparoskopi merupakan cara pemeriksaan yang sangat penting untuk
diagnosis kehamilan ektopik pada umumnya dan kehamilan ektopik yang tidak
terganggu.
8. Ultrasonografi
Keunggulan dari pemeriksaan ini ialah tidak invasif atau tidak perlu
memasukkan alat dalam rongga perut. Dapat dinilai kavum uteri, kosong atau
berisi, tebal endometrium, adanya massa di kanan atau kiri uterus dan apakah
kavum Douglas berisi cairan.

Gambar 4. Gambaran USG Kehamilan Ektopik


9. Kuldosintesis
Kuldosintesis adalah prosedur klinik diagnostik untuk mengidentifikasi
adanya perdarahan intraperitoneal, khususnya pada kehamilan ektopik terganggu.
Kuldosintesis diindikasikan pada kasus kehamilan ektopik dan abses pelvik
(Prawirohardjo, 2009).
Teknik :
1) Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi
2) Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik
3) Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan cunam serviks
dengan traksi ke depan sehingga forniks posterior tampak
4) Jarum spinal no.18 ditusukkan ke dalam kavum Douglas dan dengan semprit
10 ml dilakukan pengisapan
5) Bila pada pengisapan ditemukan darah, maka isinya disemprotkan pada kain
kasa dan diperhatikan apakah darah merah yang dikeluarkan merupakan :
a) Darah segar berwarna merah dan akan membeku; darah berasal dari arteri
atau vena yang tertusuk
b) Darah tua berwarna coklat sampai hitam yang tidak membeku,darah
menunjukkan adanya hematokel retrouterina (Prawirohardjo, 2009).

Gambar 5. Teknik Kuldosisntesis

H. Diagnosis Banding
Yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis diferensial adalah
1. Infeksi pelvik
2. Abortus
3. Tumor ovarium
4. Appendicitis (Institute of Obstetricians and Gynaecologists, 2014)
I. Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik
terutama pada KET dimana terjadi abortus atau ruptur pada tuba. Penatalaksanaan
pembedahan sendiri dapat dibagi atas dua yaitu pembedahan konservatif dan
radikal. Pembedahan konservatif terutama ditujukan pada kehamilan ektopik yang
mengalami ruptur pada tubanya. Ada dua kemungkinan prosedur yang dapat
dilakukan yaitu: 1. Salpingotomi linier, atau 2. Reseksi segmental. Pendekatan
dengan pembedahan konservatif ini mungkin dilakukan apabila diagnosis
kehamilan ektopik cepat ditegakkan sehingga belum terjadi ruptur pada tuba
(Institute of Obstetricians and Gynaecologists, 2014).
a. Salpingotomi linier
Tindakan ini merupakan suatu prosedur pembedahan yang ideal
dilakukan pada kehamilan tuba yang belum mengalami ruptur. Karena lebih
dari 75% kehamilan ektopik terjadi pada 2/3 bagian luar dari tuba. Prosedur
ini dimulai dengan menampakkan, mengangkat, dan menstabilisasi tuba.
Satu insisi linier kemudian dibuat diatas segmen tuba yang meregang. Insisi
kemudian diperlebar melalui dinding antimesenterika hingga memasuki ke
dalam lumen dari tuba yang meregang.
Tekanan yang hati-hati diusahakan dilakukan pada sisi yang
berlawanan dari tuba, produk kehamilan dikeluarkan dengan hati-hati dari
dalam lumen. Biasanya terjadi pemisahan trofoblas dalam jumlah yang
cukup besar maka secara umum mudah untuk melakukan pengeluaran
produk kehamilan ini dari lumen tuba. Tarikan yang hati-hati dengan
menggunakan sedotan atau dengan menggunakan gigi forsep dapat
digunakan bila perlu, hindari jangan sampai terjadi trauma pada mukosa.
Setiap sisa trofoblas yang ada harus dibersihkan dengan melakukan irigasi
pada lumen dengan menggunakan cairan ringer laktat yang hangat untuk
mencegah kerusakan lebih jauh pada mukosa (Institute of Obstetricians and
Gynaecologists, 2014).
Hemostasis yang komplit pada mukosa tuba harus dilakukan, karena
kegagalan pada tindakan ini akan menyebabkan perdarahan postoperasi yang
akan membawa pada terjadinya adhesi intralumen (Logor et al, 2013).
Batas mukosa kemudian ditutup dengan jahitan terputus, jahitan harus
diperhatikan hanya dilakukan untuk mendekatkan lapisan serosa dan lapisan
otot dan tidak ada tegangan yang berlebihan. Perlu juga diperhatikan bahwa
jangan ada sisa material benang yang tertinggal pada permukaan mukosa,
karena sedikit saja dapat menimbulkan reaksi peradangan sekunder yang
diikuti dengan terjadinya perlengketan (Institute of Obstetricians and
Gynaecologists, 2014).
b. Reseksi segmental
Reseksi segmental dan reanastomosis end to end telah diajukan
sebagai satu alternatif dari salpingotomi. Prosedur ini dilakukan dengan
mengangkat bagian implantasi, jadi prosedur ini tidak dapat melibatkan
kehamilan tuba yang terjadi berikutnya. Tujuan lainnya adalah dengan
merestorasi arsitektur normal tuba. Prosedur ini baik dilakukan dengan
mengunaka loupe magnification atau mikroskop. Penting sekali jangan
sampai terjadi trauma pada pembuluh darah tuba (Institute of Obstetricians
and Gynaecologists, 2014).
Hanya pasien dengan perdarahan yang sedikit dipertimbangkan untuk
menjalani prosedur ini. Mesosalping yang berdekatan harus diinsisi dan
dipisahkan dengan hati-hati untuk menghindari terbentuknya hematom pada
ligamentum latum. Jahitan seromuskuler dilakukan dengan menggunakan
mikroskop/loupe. Dengan benang absorbable 6-0 atau 7-0, dan lapisan
serosa ditunjang dengan jahitan terputus tambahan (Institute of Obstetricians
and Gynaecologists, 2014).
c. Salpingektomi
Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan tuba mengalami
ruptur, karena perdarahan intraabdominal akan terjadi dan harus segera
diatasi. Hemoperitonium yang luas akan menempatkan pasien pada keadaan
krisis kardiopulmunonal yang serius (Institute of Obstetricians and
Gynaecologists, 2014).
Insisi suprapubik Pfannenstiel dapat digunakan , dan tuba yang
meregang diangkat. Mesosalping diklem berjejer dengan klem Kelly sedekat
mungkin dengan tuba. Tuba kemudian dieksisi dengan memotong irisan
kecil pada myometrium di daerah cornu uteri, hindari insisi yang terlalu
dalam ke myometrium. Jahitan matras angka delapan dengan benang
intrauteri digunakan untuk menutup myometrium pada sisi reseksi baji.
Mesosalping ditutup dengan jahitan terputus dengan menggunakan benang
absorbable. Hemostasis yang komplit sangat penting untuk mencegah
terjadinya hematom pada ligamentum latum (Institute of Obstetricians and
Gynaecologists, 2014).
d. Salpingoooforektomi
Tidak jarang ovarium termasuk dalam gumpalan darah dan sukar
dipisahkan sehingga terpaksa dilakukan salpingooforektomi.

2. Medikamentosa
Saat ini dengan adanya tes kehamilan yang intrauterin dan ultrasonografi
transvaginal, memungkinkan kita untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik
secara dini. Keuntungan dari ditegakkannya diagnosis kehamilan ektopik secara
dini adalah bahwa penatalaksanaan secara medisinalis dapat dilakukan.
Penatalaksanaan medisinalis memiliki keuntumngan yaitu kurang intrauterin,
menghilangkan risiko pembedahan dan anestesi, mempertahankan fungsi fertilitas
dan mengurangi biaya serta memperpendek waktu penyembuhan (Institute of
Obstetricians and Gynaecologists, 2014).
Terapi medisinalis yang utama pada kehamilan ektopik adalah methotrexate
(MTX). Methotrexate merupakan analog asam folat yang akan mempengaruhi
sintesis DNA dan multiplikasi sel dengan cara menginhibisi kerja enzim
Dihydrofolate reduktase. MTX ini akan menghentikan proliferasi trofoblas (Saint-
Louis, 2005).
Pemberian MTX dapat secara oral, sistemik iv,im) atau injeksi lokal dengan
panduan USG atau laparoskopi. Efek sampingyang timbul tergantung dosis yang
diberikan. Dosis yang tinggi akan menyebabkan enteritis hemoragik dan perforasi
usus, supresi sumsum tulang, nefrotoksik, disfungsi hepar permanen, alopesia,
dermatitis, pneumonitis, dan hipersensitivitas. Pada dosis rendah akan
menimbulkan dermatitis, gastritis, pleuritis, disfungsi hepar, supresi sumsum
tulang sementara. Pemberian MTX biasanya disertai pemberian folinic acid
(leucovorin calcium atau citroforum factor) yaitu zat yang mirip asam folat namun
tidak tergantung pada enzim dihydrofolat reduktase. Pemberian folinic acid ini
akan menyelamatkan sel-sel normal dan mengurangi efek MTX pada sel-sel
tersebut (Saint-Louis, 2005).
Regimen yang dipakai saat ini adalah dengan pemberian dosis tungal MTX
2
50 mg/m luas permukaan tubuh. Sebelumnya penderita diperikasa dulu kadar
hCG, fungsi hepar, kreatinin, golongan darah. Pada hari ke-4 dan ke-7 setelah
pemberian MTX kadar hCG diperiksa kembali. Bila kadar hCG berkurang 15%
atau lebih, dari kadar yang diperiksa pada hari ke-4 maka mTX tidak diberikan
lagi dan kadar hCG diperiksa setiap minggu sampai hasilnya negatif atau evaluasi
dapat dilakukan dengan menggunakan USG transvaginal setiap minggu. Bila kadar
hCG tidak berkurang atau sebaliknya meningkat dibandingkan kadar hari ke-4 atau
2
menetap selama interval setiap minggunya, maka diberikan MTX 50 mg/m kedua
(Saint-Louis, 2005).
Kriteria untuk terapi Methotrexate adalah sebagai berikut:
1) Massa belum rupture <3,5-4,0 cm (peningkatan ukuran dapat meningkatkan
risiko pecah atau memerlukan lebih dari satu dosis metotreksat)
2) Tidak ada gerakan jantung janin (aktivitas jantung menunjukkan kehamilan
lanjut dan meningkatkan risiko ruptur atau kegagalan metotreksat dosis
tunggal)
3) Tidak ada bukti ruptur atau hemoperitoneum
4) Hemodinamik stabil
5) Diagnosis kehamilan ektopik telah pasti dan tidak memerlukan diagnosis
laparoskopi
6) Pasien menginginkan kesuburan di masa depan (jika fertilitas masa depan
tidak diinginkan, pertimbangkan laparoskopi dengan ligasi tuba dari tuba
kontralateral)
7) Anestesi umum menimbulkan risiko yang signifikan
8) Pasien dapat diandalkan dan bersedia untuk kembali kontrol
9) Pasien tidak memiliki kontraindikasi untuk metotreksat
10) Serum -hCG kurang dari 6.000-15.000 mIU/mL (Saint-Louis, 2005)
BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kehamilan ektopik adalah


kehamilan dengan ovum yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium
kavum uteri, kehamilan ektopik dapat terjadi di luar rahim misalnya dalam tuba,
ovarium atau rongga perut. Sebagian besar kehamilan ektopik terganggu berlokasi di
tuba (90%) terutama di ampula dan isthmus. Sangat jarang terjadi di ovarium, rongga
abdomen, maupun uterus. Keadaan-keadaan yang memungkinkan terjadinya
kehamilan ektopik adalah penyakit radang panggul, pemakaian antibiotika pada
penyakit radang panggul, pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim IUD (Intra Uterine
Device), riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, infertilitas, kontrasepsi yang
memakai progestin dan tindakan aborsi.
Sebagian besar penyebabnya tidak di ketahui, namun ada beberapa faktor yang
menghambat perjalanan ovum ke uterus sehingga mengadakan implantasi di tuba,
seperti migratio externa, hipoplasia lumen tuba sempit dan berkelok-kelok, gangguan
fungsi silia endosalping, operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tak sempurna, bekas
radang pada tuba, kelainan bawaan pada tuba, dan abortus buatan. Sebagian besar
kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai 10 minggu, dapat
menyebabkan hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi , abortus ke dalam lumen tuba,
dan ruptur pada dinding tuba.
Gejala dan tanda pada kehamilan ektopik terganggu tergantung pada lamanya
kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan ektopik
terganggu, derajat perdarahan yang terjadi dan keadaan umum penderita sebelum
hamil. Namun gejala yang paling sering terjadi diantaranya adalah nyeri perut,
adanya amenorea, perdarahan, shock karena hypovolemia, nyeri bahu dan leher, nyeri
pada palpasi, pembesaran uterus, pembesaran uterus Beberapa hal yang termasuk
faktor risiko pada kehamilan ektopik adalah umur ibu, paritas ibu dan riwayat
abortus.
Pemeriksaan untuk membantu diagnosis kehamilan ektopik terganggu adalah
lakukan tes kehamilan, pemeriksaan umum, anamnesis, pemeriksaan ginekologi,
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan kuldosentesis, pemeriksaan ultra sonografi,
dan pemeriksaan laparoskopi. Penanganan kehamilan ektopik terganggu yaitu setelah
diagnosis ditegakan, segera lakukan persiapan untuk tindakan operatif gawat darurat
dapat berupa parsial salpingektomi dan salpingostomi (hanya dilakukan sebagai
upaya konservasi dimana tuba tersebut merupakan salah satu yang masih ada),
berikan anti biotik kombinasi atau tunggal dengan spektrum yang luas, berikan
analgesic untuk mengendalikan nyeri pasca tindakan dan atasi anemia dengan tablet
besi (SF) 600 mg per hari.
DAFTAR PUSTAKA

Fitriany AN, Sukarya WS, Nuripah G (2015). Hubungan antara usia, paritas dan
riwayat medik dengan kehamilan ektopik terganggu. Prosiding pendidikan
dokter. Indonesia, Bandung, Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Bandung.
Harri Prawira Ezeddin (2008) Gambaran kasus kehamilan ektopik terganggu di
bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode 1
Januari 2003-31 Desember 2005. Faculty of Medicine, University of Riau.
Pekanbaru, Riau.
Logor SCD, Wagey FW dan Loho MFT. (2013) Tinjauan kasus kehamilan ektopik
di BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode 1 Januari 2010 31
Desember 2011. Jurnal e-Biomedik (eBM),Volume 1, Nomor 1,, hlm. 40-44.
Marfuaturohmah T, Ayuningtyas IF (2015). Penyebab Kejadian Perdarahan pada
Kehamilan. Media Ilmu Kesehatan Vol. 4 No. 1. Stikes Jenderal Achmad
Yani Yogyakarta.
NHS Foundation Trust (2014). Clinical guidelines ectopic pregnancy. Mid Essex
Hospital Services
Pendit BU (Pengalih Bahasa) (2009) Obstetri Williams : Panduan Ringkas. Edisi 21.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta 10042.
Prawirohardjo, S. (2006) Kuldosentesis dalam Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
Prawirohardjo, S (2009) Kehamilan Ektopik dalam Ilmu Kandungan. Jakarta Pusat:
Yayasan Bina Pustaka.
UCLH (2008). Ectopic pregnancy woman;s health. University College London
Hospitals.
Rana et al. (2013). Ectopic pregnancy: A review. Arch Gynecol Obstet. 288:747-757
RCOG (2010). Information for you : An ectopic pregnancy. Royal Collge of
Obstetricians and Gynaecologist
Saint-Louis, H (2005). Management of Ectopic Pregnancies.
Schwartz, S.I, et al. (2000) Ginekologi dalam Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah.
Jakarta: EGC.
Seeber, B.E, Barnhart, KT (2006) Suspected Ectopic Pregnancy in Clinical Expert
Series in Obstetric and Gynecology Magazine vol 107 No. 2 Part 1.
American College of Obstetricians and Gynecologist.
Sivalingam et al (2011). Diagnosis and mangement of ectopic pregnancy. J Fam
Plann Reprod Health Care. 37(4): 231-240
Suparman, E (2007) Karakteristik kehamilan ektopik terganggu di Rumah Sakit
Umum Pusat Manado. CDK; 34:255.
Suryawan, Londok, THM, Lengkong, RA, Suparman, E (2011). Karakteristik
Pendarahan Antepartum (cited 15 Juli 2014). Manado:
Varma R, Gupta J (2013). Tubal ectopic pregnancy. Clinical evidence handbook
American Family Physician. 88(7)
Wiknjosastro, Hanifa (2000). Kehamilan Ektopik. Ilmu Bedah Kebidanan edisi
pertama. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta..hal 198-
210.
http://www.pregmed.org/ectopic-pregnancy

You might also like