You are on page 1of 9
De ee wm Him. Heol oC Tr} SN UAT YAY ae Hoa ce Ln aS Ry MAJALAH PEMBINAAN BAHASA INDONESIA Majalah ini memuat karangan kebahesaen di bidang teori dan pengajaran bagi para guru, mahasiswa, serjana, dan semua pihak yang berminat akan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Pendapat para pengarang tidak selalu mencerminkan pendapat penerbit dan dewan redaksi Berkala triwulan ini ates kerja sama dengan Himpunan Pembina Bahasa Indonesia diterbitkan oleh PT Bhratara Karya Aksara pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember. @ Pemimpin Umum Ahmad Jayusman @Penanggung Jawab Muljanto Sumardi @ Dewan Redaksi Anton M. Moeliono (Ketua), Harimurti Kridalaksana, Jus Badudu, Muhadjir, Sapardi Djoko_Damono, Dami N. Toda, Panuti Sudjimen -Moh, O. Masdoeki (Sekretaris). Surat untuk redaksi dan surat-menyurat mengenai pelanggan, timbangan buku, dan izin penerbitan kembali makalah hendaknya dialamatkan kepada PT Bhratara Karya Aksara, kotak pos 39/JNG, Jakarta Timur. SK Menteri Penerangan RI no. 736/SK/Ditjen PPG/STT/1980 tanggal 3 Juni 1980 © PT Bhratara Karya Aksara j Masuk kolekes Eethi Jausono 16 Oktober 1932 DAFTAR ISI Pengantar Redaksi 131 Ungkapan Kode Budaya Melalui Bahasa 133 ‘Tjiptaningrum F, Hassan Diksi atau Pilihan Kata... 139 Anton M, Moeliono Mo ainc gina ehteraii..03.;8 fsrarssccoecen ac tam oscaseel emsereme me 151 ‘Tjabjati Beberapa Catatan tentang Pertentagan Makna ... 157 Anggari Harapan Beberapa Gejala Perubahan Arti ..........- 161 Edhi Yuwono Beberapa Catatan tentang Penunjukan dalam Bahasa Indonesia... 167 Mimi Nureni Ejaan Bahasa Indonesia .. 175 Jus Badudu Seni Deklamasi di SMTP dan SMTA ..... 182 Djoko Sutrisno Timbangan Buku oo... 187 Gunawan Wibisono Adidarmodjo Tanya Jawab 190 Jus Badudu 129 MPBI IIL/3 (1) | | | BEBERAPA GEJALA PERUBAHAN ART] Edhi Juwono >. FSUI Falta bahwa bahasa mengalami perubahan diketahui orang. Salah satu aspek dari perubahan bahasa itu adalah perubahan arti yang menjadi sesaran telaah semantik historis. Perubahan arti itu dapat dianggap hasil proses yang disebebkan oleh (1) hubungan sintag- matik, (2) rumpang di dalam kosa kata, (3) perubahan konotasi, (4) peralihan dari pengacuan kongkret ke pengacuan abstrak, (5) tim- bulnya gejala sinestesia, dan (6) penerjemahan harfiah, A. “MPEL 11/3 (8) Hubungan sintagmatik. Satuan leksikal dapat mengalami per- ubehan arti karena (a) kekeliruan pemotongan morfem-morfem- nya. Misalnya, kata Jawa pramugari yang terjadi dari awalan pra- dan bentuk dasar mugari ‘pembantu tuan rumah pada per- aiatan’ diuraikan menjadi pramu- dan -gari sehingga kemudian timbul bentuk-bentuk baru seperti pramuniaga, pramuria, dan pramuwisata. Bentuk pramu- sekarang dikaitkan dengan arti "pemberi jasa, pelayan’. Demikian pula bentuk remaja yang ber- asal dari remaja putra ‘anak belasan antara 11 dan 13 tahun’ yang pada gilirannya beresal dari raja putra ‘anak raja’. Kata dapat juga berubah artinya karena (b) persandingan yang ter- adat (kolokasi). Misalnya, bentuk nasib buruk lebih sering di- gunakan daripada nasib baik sehingga lama-kelamaan nasib lalu berkonotasi buruk. Perhatikanlah kalimat berikut, Memang sudah nasibnya harus hidup sebatang kara pada usia yang begitu muda. Selanjutnya, arti satuan leksikal depat berubah karena (c) penghilangan salah satu unsurnya. Miselnya, bentuk tidak semena-mena ‘sewenang-wenang’, yang unsur keduanya berasal dari kata Sansekerta samana ‘seimbang’ menjadi semena-mena dengan arti yang sema; bentuk acuh tak acuh yang berarti ‘tidak menghiraukan' menjadi acuh dengan arti sama, Rumpang di dalam kosa kata. Jika kosa kata bahasa kekurangan bentuk untuk mengungkapkan konsep tertentu, penutur bahasa dapat memilih satuan leksikal yang ada dan (a) menyempitkan artinya. Misalnya, pesawat ‘alat, mesin, di kalangan penerbangan 161 162 menyempit artinya sehingga sama dengan pesawat terbang. Ben- tuk pemerintah ‘yang memerintah’ di dalam tata negara memper- oleh arti ‘kekuasean eksekutif’ yang dibedakan dari kekuasdan legisletif dan yudikatif. Begitu pula dengan bentuk peneliti dan penilik. Sebaliknya, perubahan arti dapat juga terjadi karena penu- vir bahiasa (b) meluasken arti satuan leksikal. Misalnya, di samping hentuk sandara Kandung dan ibu kandung kemudian timbul ayah kandung walaupun ayah tidak bersalin atau berasal dari satu kendung. Bentuk kandung sekarang juga mengacu ke pertalian kekerebatan. Hal yang sama terjadi pada bentuk bapak, ibu, dan saudara. Upeya yang ketiga yeng dapat dipilin untuk meng- isi rumpang kosa kata ialah (c) pemakaian metafor atau kiasan. Misalnya, bentuk Japisan (masyarakat), angkatan (bersenjata), (tukang) catut, pasal seratus Perubahan arti dapat juga terjadi akibet (@) ecuan yang eda di luar bahasa berkembeng sehingga arti satuan leksikal itu [kut berkembang juga. Ambillah sebagai contoh bentuk merakit dan perakitan yang sekerang juga me- nandekan konsep ‘menyatukan komponen-komponen’ di bidang automotif sehingga depat dipakai sebagai padanan assemble, assembling. Contoh lain yang menarik iaiah bentuk kereta api yeng acuannya berkembeng dari Kereta yang bergerak dengan tenaga uep ke kereta dengan sumber tenaga diesel dan listrik. Satuan leksikal Kereta api sebagel istiiah umum sekarang juga mencekup istilah Kereta rel diesel dan kereta rel listrik. Hal yang sama dapat dikatekan tentang bentuk berlayar yang tidals selalu mengacu ke ‘mengarungi laut dengan kapal leyar'. Perubahan konotasi. Konotasi atau teutan pikiran yang menyer- tai arti kognitif yang bergantung pada pembicaranya, pendengar, den keadaen atau situasi yang melingkupinya (Bandingkan juga pendapat Bloomfield 4933: 152, Lyons 1977: 76, Nida 1946: 152) 1) dapat menjurus ke arah yang baik, seperti pada lugas, ceramah, perangsang atau menjurus ke arah yang buruk, se- perti pada terlibat, dibebastugaskan, ritul. Peralihan dari pengacuan yang kongkret menjadi abstrak. Penga- cuan hal yang kongkret dapat beralin ke pengacuan hal yang Sbetrak. Misalnya, menangkap (dengan tengen) menjadi menang. kap (dengan akal); memeluk (geraken tangan yeng molingkar) menjadi. memeluk (mengikuti pola berpikir aliran agama atau keyakinan). Contoh lain ialah merangkap, merangkum, mencakup, meliputi. Sinestesia. Penggabungan dua macam tanggapan pancaindere Terhadap satu hal yang sama, yang disebut sinestesia, dapat mengakibatkan perubahan erti juga. Misalnya, pada pengalaman pahit terjadi kombinasi antara pencerapan indera perasa (peng- falaman) dan indera pengecap (pahit); pada muka masam kom- binasi indera penglihat (muka) dan indera pengecap (masem); pada suara tajam kombinasi indera pendengar (suara) dan indera peresa (tajam). Penerjemahan harfiah. Pemungutan konsep baru yang diungkap- kan di dalam bahasa lain terjadi juga lewat penerjemahan kata demi kata sehingga bentuk terjemahan itu memperoleh arti baru yang tidak dimilikinya sebelumnya. Misalnya, proyek putar kunci (turn key project), pimpinan (leiding, Belanda), ke belakang (naar achter, Belanda) Salah satu akibat proses perubahan arti seperti yang diurai- ken di ates adalah terjadinya satuan ‘ ikal yang kuno dan yang usang. Satuan leksikal yang kuno antara lain kehilangan acuannya yang berada di luar bahasa mesa kini, sedangkan satuan leksikal yang usang menurun frekuensi pemakaiannya antera lain karena konotasi yang dimilikinya. Kadang-kadang satuan leksikal yang kuno atau yang usang digunakan kemball dengan arti yang baru. Hal itu, misainya, berlaku di dalam pem- ‘bentukan istilah Indonesia yang baru (Bandingken Pedoman Umum Pembentukan Istilah 1980: 17). Dapat juga diketakan, bahwa satuan leksikal kuno_ termasuk leksikon behasa pada taraf sebelumnya (Antilla 1972: 154). 2) Saiuan leksikal itu masih dapat dikenali, baik secara tepat mau- pun tidak, dan hal itu terjadi pada bahasa yang mengenal tulisan ataupun yang belum (Bloomfield 1933: 152), Sebenarnya, satuan leksikal kuno juga mengandung konotesi, yaitu konotasi zaman yang silam yang membedakennya dari kata usang kerena kata usang tidak periu berasal dari masa yang Jama silam. Kata kuno sebagai bentuk lama tersisihkan sedikit demi sedikit oleh bentuk baru sehingga pada akhirnya bentuk kuno itu hilang atau ke- duanya digunakan untuk kawasan (domain) yang berbeda (Antilla 1972 : 382). 3) Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta 1976) yang disempurnakan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Baha- sa, Departemen P dan K, adalah hasil perekaman leksikon ba- hasa Indonesia yang isinya tidak hanya terbatas peda satuan leksikal yang standar tetapi juga yang non-standar. (Untuk pe- ngertian “'standar”, lihat Harimurti 1970, dalam Harimurti 1974: 33). Sayang, dalam kamus itu belum dibedakan antara satuan lekeikal yang kuno dan usang. Tanda belati (1) yang dipakai, 163 164 pada hemat kami, tidak memberikan kejelasan karena mengan- dung banyak tafsiran. Juga kependekan si. di belakang butir masukan sastra lama tidak membedakan kedua jenis kata itu. Berdasarkan uraien di atas, yang dapat digolongkan dalam kata kuno, adalah satuan leksika! (kata, frase, bentuk majemuk) yang (a) kehilengen acuannya di luar bahasa, (b) mempunyai konotas! masa yang silam, (c) berasal dari leksikon bahasa pada taraf sebelumnya, atau (d) masih dapat dikenall secara tepat ataupun secara kurang tepat oleh penutur bahasa yang bersangkutan. Contoh bentuk kuno yang dapat dikemukakan didaftarkan di bawah ini. ancala ‘gunung’, andaka ‘banteng’, bahana ‘terang, nyata’, balian ‘dukun’, basut ‘pancaran air’, baginda ‘yang bahagia’, cetera ‘pa- yung kebesaran’, curik ‘golok pendek’, dahina ‘(siang) hari’, danawa ‘raksasa’, ganda ‘bau’, graha ‘rumah’, homan “korban bakaran’, inderaloka ‘surga’. jauhar ‘intan’, jihat ‘areh, sisi, pihak’, kalakian ‘ketika itu’, kawi ‘kuat, kukuh, ‘sakti', kopok ‘semacam gong’. langkara ‘mustehil', lepau ‘sebangsa beranda di belakang rumah’, madukara ‘lebah’, maharana ‘perang besar’, narapati ‘raja’, nayaka ‘menteri’, rata "kereta perang zaman dulu’, serdam ‘seje- nis suling’, sida-sida ‘pelayan reja yang dikebiri’, sumbuk "se- bangsa perahu’. Sebagaimana disebutkan di atas, kata usang sarat dengan kono~ tasi. Di baweh ini aken diurutkan beberapa contoh bentuk usang. babu 'pembantu rumah tangga (wanita)’, jongos ‘pembantu rumah tangga (pria)’, kacung ‘anak leki-laki’, kuli "pekerja_kasar’, pelacur ‘tuna susila', manipo! ‘manifesto politik’, nasakom ‘na- sionalisme, agama, komunisme’, rodi ‘perintah, kerja paksa’, romusa ‘pelaku, kerja paksa (pada zaman Jepang)', kumico ‘ketua rukun tetangga (peda zaman Jepang)’, barang kelontong "barang keperluan sehari-heri’, polmah ‘surat kuasa’, karambol ‘permainan bilyar’, serdadu ‘perajurit’, mester ‘ahli hukum’, hopbiro ‘markas besar polisi', grad ‘derajat’, jaram ‘kompres dingin’. Baik bentuk yang kuno maupun bentuk yang usang dapat di- pengaruhi oleh pemungutan arti karena dengan semakin ber- kembangnya teknologi saling pengaruh anter-bahasa yang di. akibatkan oleh komunikasi semakin tinggi pula. Pengetahuan atau pemahaman tentang adanya unsur yang kuno dan unsur yang usang itu sebenarnya sangat membantu pembentukan isti- lah. Hal itu memang disadari orang; kita jumpai nama-nama seperti Satria mandala dan bina graha: bentukan baru yang me- makal unsur lama yang, sayang, tidak disesuaikan dengan kaldah pembentukan kata. Pada hemet kami bentuknya seha- rusnya mandala satria dan graha bina karena kaidah gabungan kata kita mengikuti hukum DM, Di dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah pun telah dican- tumkan bagan pembentukan istilah yang diambil dari kata dalam bahasa Indonesia yang sudah tidak lazim lagi dipakai (lihat ha- laman 17).4) Tetapi sayang, tidak dapat ditemukan keterangan yang Jelas tentang epa yang dimaksud dengan kata yang tidak jazim. Catatan 1) Beberapa pendapat yang dikutip: @. ... The most Important connotation arises from the social stending of the speaker who uses a form. A form which is used by a less privileged class of speakers often strikes us as coarse, ugly, and vulgar ... (Bloomfield 1933 (1961): 152). b. ... The reason why Mill chose the term ‘connote’ is clear enough. As he says himself, it is intended to suggest that what he calls the signification of the attributes of a subject is something additional to the signification, or denotation, of all the subjects which possess these attributes ... (Lyons 1977 (1978) : 176). c, ...The objective part of symbolization we call the denotation and the subjective part we term the connotation ..., but the connotation of the word depends very largely on who Is speaking and under what circumstances (Nida 1946 (1979) : 152). 2) ...if one lifts an item from an earlier stage of language, one calls it an archaism (Antilla 1972: 154). 3) ...The old and new forms exist side by side until one wins out or both differentiate into different domains (Antilla 1972: 4) Dapat dibandingkan dengan pendapat Zgusta (1971 : 178). Let us mention here that archaisms and (less frequently) obsolete words are sometimes "revivified’ and begin to be used frequently again, usually, but not necessarily in a new sense: ef. Eng. turnpike road ‘toll highway’ (archaic until the construction of divided highways without level crossing in America). 165 KEPUSTAKAAN Antilla, Raimo. 1972. An Introduction to Historical and Comparative Linguistics. New York: MacMillan. Bloomfield, Leonard. 1961. Language. (edisi pertama 1983) New York: Holt, Rinehart, and Winston. Harimurti Kridelaksana, 1970. "Sudahkeh Bahasa Indonesia Mempu- nyai Stander ?" dalam Harimurti Kridalaksana 1974 (1980). Fungs: Bahasa dan Sikap Bahasa. (him. 30—33). Ende: Nusa Indah. Lyons, John. 1978. Semantics 1. (edisi pertama 1977) Cambridge Univ. Press. Nida, Eugene A. 1979. Morphology: The Descriptive Analysis of Words. (edisi pertama 1946). Ann Arbor: The University of Michigan Press. Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (edisi pertama 1953). Jakarta: Balai Pustaka. Puset Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Dept. P dan K. 1980. Pedoman Umum Pembentukan Istilah, Jakarta; Belai Pustaka. Zgusta, Ladislav. 1971. Manual of Lexicography. The Hague: Mouton. 166

You might also like