You are on page 1of 8

TANAH-TANAH BERMASALAH (PROBLEM SOILS)

1. Tanah Sulfat Masam (Acid Sulfat Soil)


Tanah sulfat masam umumnya terbentuk di daerah pasang surut
yang dipengaruhi oleh air laut. Penciri utama tanah sulfat masam adalah
adanya bahan sulfidik dan horizon sulfuric pada penampang profil
tanahnya. Tanah sulfat masam dibedakan menjadi tanah sulfat masam actual
dan tanah sulfat masam potensial. Tanah sulfat masam potensial
mengandung bahan sulfidik dalam kondisi tereduksi, sedangkan tanah sulfat
masam actual apabila bahan sulfidik tersebut mengalami oksidasi
membentuk asam sulfat serta membentuk senyawa jarosit yang digunakan
sebagai penciri horizon sulfuric.
1. Pembentukan Pirit
Pada daerah yang terjadi intrusi air laut yang membawa senyawa-
senyawa belerang (S) dimana kandungan S dalam air laut sangat tinggi
kurang lebih 885 ppm (Rahutomo dan Sutarta, 2001). Secara umum
mekanisme pembentukan pirit dengan besi (III) oksida adalah sebagai
berikut
Fe2O3(s) + 4SO42- +8CH2O +1/2 O2 2FeS2(s) + 8HCO3- + 4H2O

Dent (1986) menjelaskan bahwa pembentukan pirit dibutuhkan kondisi


sebagai berikut :
- Kondisi lingkungan pada posisi anaerob, kondisi ini sangat dibutuhkan
untuk merubah Sulfur dalam bentuk sulfat menjadi Sulfur bentuk sulfida.
- Tersedianya sumber Sulfat terlarut, ini biasanya berasal dari air laut atau
asosiasi dengan groundwaters yang kaya akan sulfat.
- Bahan Organik, diperlukan sebagai sumber energi dari mikroorganisme
pereduksi sulfat.
SO4 2- + 2 CH2O H2S + 2 HCO3-
- Terdapat sumber Besi, umunya besi berasal dari tanah atau sedimen.
- Waktu
2. Oksidasi Pirit
Pirit stabil pada kondisi tanah reduksi atau anaerobic, namun apabila kondisi ini
berubah menjadi aerobik akibat tindakan drainase baik secara sengaja (artificial)
maupun secara alami akibat penurunan muka air tanah.,maka akan menghasilkan
kondisi kemasaman tanah sangat tinggi (pH sangat rendah). Oksidasi pirit pada
tanah sulfat masam terjadi pada beberapa tingkat yang melibatkan proses kimia
dan mikrobiologi.
- Oksigen terlarut secara berlahan bereaksi dengan pirit menghasilkan besi
(II), sulfat atau sulfur elementer.
FeS2 + O2 + 2H+ Fe2+ + 2S + H2O
- Oksidasi Sulfur oleh oksigen sangat lambat, namun mungkin dapat
dikatalis oleh bakteri autotrophic pada pH mendekati netral.
2S + 3/2O2 +H2O SO4-2 + 2H+
- Proses asidifikasi dapat terjadi akibat proses oksidasi kimia dari senyawa
besi monosulfide.
2FeS +9/2O2 + (n+2)H2O Fe2O3.nH2O + 2SO42- + 4H+
- Pada kondisi pH di bawah 4 kelarutan Fe3+ meningkat kondisi ini akan
terjadi oksidasi pirit secara cepat.
FeS2 + 2Fe3+ 3Fe2+ + 2S
Secara lengkap reaksi oksidasi pirit oleh Fe(III) sebagai berikut :
FeS2 +14Fe3+ + 8H2O 15Fe2+ + 2SO42- + 16 H+

FAKTOR PEMBATAS BUDIDAYA TANAMAN KELAPA SAWIT


PADA TANAH SULFAT MASAM

Tanaman kelapa sawit untuk tumbuh dan berkembang secara baik


membutuhkan kondisi tanah yang baik. Menurut Sys. et.al (1993) tanaman kelapa
sawit membutuhkan tanah dengan kedalaman efektif > 1 meter, permeable,
struktur tanah baik. Tanaman kelapa sawit sensitive terhadap penggenangan
(waterlogging), tekstur tanah liat (clay) dan liat berlempung (Clay Loam),
produksi tanaman kelapa sawit tidak mengalami penurunan pada kondisi nilai EC
< 0.5 dS/m, pada nilai EC 1, 2 dan 3 dS/m terjadi penurunan produksi berturut-
turut sebesar 10%, 25% dan 50%.
Kendala utama yang dihadapi dalam budidaya tanaman kelapa sawit pada
tanah sulfat masam adalah :

1. Kemasaman tanah
Pada kondisi kemasaman tanah sangat tinggi (ekstrim) akan membawa
dampak yang sangat nyata terhadap pertumbuhan tanaman. Pada
kondisi tanaman cukup toleran terhadap kemasaman, namun pada
kondisi yang sama terjadi peningkatan konsentrasi kation polivalen yang
berpotensi meracuni tanaman contohnya Aluminium dan Manganese.
Hewitt dalam Poon and Chang (1979) mengemukakan bahwa
kemasaman yang tinggi akan memberikan pengaruh pada beberapa hal
yaitu :
a. Kerusakan sel tanaman secara langsung akibat peningkatan ion H
+

b. Penurunan konsentrasi kation Ca, Mg dan K


c. Terhambatnya pertumbuhan akar serta serapan air dan nutrisi.
d. Penurunan ketersediaan P
e. Meningkatnya konsentrasi mikro nutrien yang besifat toksik bagi
tanaman.
f. Menghambat aktivitas Mycorrhiza, Fiksasi Nitrogen
Pada kondisi pH sangat rendah Phosphorus tersedia pada umumnya
rendah, hal ini disebabkan karena terjadi proses fiksasi P oleh Al. . Bloomfield
dan Coulter (1973) mengemukakan bahwa ketersediaan Phosphorus tergantung
pada waktu aplikasi. Apabila aplikasi Phosphorus pada musim kering dimana
kemasaman tanah sangat tinggi, dimana kandungan Al cukup tinggi maka
sebagian Phosphorus akan berikatan dengan Aluminium dan mengalami
pengendapan, sebaliknya pada kondisi tergenang (reduksi) Phosphorus akan
bereaksi dengan besi (II/Fe+2) dan membetuk ferrous phosphate bentuk ini
mungkin lebih tersedia bagi tanaman.

2. Salinitas
Tanah sulfat masam umumnya dipengaruhi oleh pasang surut air
laut yang pada umumnya mempunyai salinitas tinggi terutama pada
musim kemarau. Vadari et.al (1992) melaporkan bahwa pada musim
kemarau air laut sangat mempengaruhi air pasang surut, sehingga nilai
EC lebih besar dari 2250 uS/cm. Pada kondisi ini tanaman akan
mengalami stress turgiditas sel tanaman akan turun bahkan pada kondisi
ekstrim akan terjadi plasmolisis pada sel-sel akar tanaman.

3. Daya Dukung Tanah


Pada kondisi tanah sulfat masam yang memiliki epipedon histik daya
dukung tanah menjadi faktor pembatas , terutama pada aspek
transportasi alat-alat berat pada tahap land clearing dan aktifitas
persiapan lahan lainnya. Pada saat sebelum dilakukan proses drainase
tingkat kematangan tanah masih rendah sehingga daya dukungnya juga
rendah.
2. Tanah Gambut (Peat Soil).

2.1 Pembentukan Gambut


Gambut dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman purba yang berlapis-lapis
dengan kondisi lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi
hampir sepanjang tahun. Oleh karena kondisi langka udara (anaerob), akan menyebabkan
timbuan sisa-sisa tumbuhan tersebut hampir tidak mengalami perombakan. Secara
bertahap dengan kurun waktu yang panjang, timbunan sisa tetumbuhan ini menjadi lantai
hutan gambut (Gambar 1).

Gambar 1. Pembentukan timbunan tumbuhan air dan vegetasi lahan basah

Pada awal perkembangannya, akar tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas


timbunan sisa tumbuhan (gambut tipis) masih dapat mengambil hara mineral dari lapisan
di bawahnya (substratum) dan sebagian disumbang dari luapan air sungai. Hasil
timbunan berupa bahan organik dari sisa tumbuh-tumbuhan yang relatif kaya hara
mineral (eutrofik) membentuk gambut topogen (Gambar 2).

Gambar 2. Pembentukan gambut topogen dari aneka ragam sisa tanaman


Selanjutnya, begitu lapisan organik bertambah tebak sehingga akar tumbuhan
yang hidup di atasnya tidak dapat lagi mengambil hara dari lapisan mineral, dan muka
air sungai dan muka air tanah berada jauh di bawah, maka gambut yang terbentuk miskin
hara. Lapisan gambut yang miskin hara (oligotrofik) ini disebut gambut ombrogen
(Gambar 3).

Gambar 3. Pembentukan hutan Padang dengan gambut ombrogen di atas endapan


gambut topogen. (van de Meene, 1982).

2.2 Ragam jenis Gambut


Jenis gambut dapat dibedakan berdasarkan bahan asal atau penyusunnya,
tingkat kesuburan, wilayah iklim, proses pembentukan, lingkungan pembentukan,
tingkat kematangan, dan ketebalan lapisan bahan organiknya. Sudah tentu
terdapat keterkaitan antara bahan asal atau lingkungan pembentukannya sekaligus
dengan tingkat kesuburannya. Oleh karena itu, gambut yang sama dapat
mempunyai lebih dari satu sebutan atau istilah.
2.2.1 Berdasarkan Bahan Penyusun
Berdasarkan bahan asal atau penyusunnya, gambut dibedakan atas gambut
lumutan, gambut seratan dan gambut kayuan.
1. Gambut lumutan (sedimentary/moss peat) adalah gambut yang terdiri atas
campuran tanaman air (family Liliceae) termasuk plankton dan sejenisnya.
2. Gambut seratan (fibrous/sedge peat) adalah gambut yang terdiri atas campuran
tanaman sphagnum dan rerumputan.
3. Gambut kayuan (woody peat) adalah gambut yang berasal dari jenis pohon-
pohonan (hutan tiang) beserta tanaman semak (paku-pakuan) di bawahnya.
2.2.2 Berdasarkan Tingkat Kesuburan
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi tiga
golongan, yaitu gambut eutrofik, gambut oligotrofik, dan gambut mesotrofik.
1. Gambut eutrofik adalah gambut yang banyak mengandung mineral, terutama
kalsium karbonat; sebagian besar berada di daerah payau dan berasal dari
vegetasi serat/rumput-rumputan, serta bersifat netral atau alkalin.
2. Gambut oligotrofik adalah gambut yang mengandung sedikit mineral, khususnya
kalsium dan magnisium, serta bersifat asam atau sangat asam
(pH < 4).
3. Gambut mesotrofik adalah gambut yang berada antara dua golongan atas.
2.2.3 Berdasarkan Wilayah Iklim
Berdasarkan wilayah iklim, gambut dibedakan antara gambut tropik dan gambut
beriklim sedang (temprat).
1. Gambut tropik adalah gambut yang berada di kawasan tropik atau sub-tropik.
2. Gambut iklim sedang adalah gambut yang berada di kawasan Eropa yang
umumnya mempunyai iklim empat musim.
2.2.4 Berdasarkan Proses Pembentukan
Berdasarkan proses pembentukannya, gambut dapat dibedakan atas gambut
ombrogen dan topogen.
1. Gambut ombrogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh curah
hujan.
2. Gambut topogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh keadaan
topografi (cekungan) dan air tanah.
2.2.5 Berdasarkan fisiografinya
Berdasarkan lingkungan pembentukan atau fosiografinya, gambut dapat
dibedakan atas gambut cekungan, gambut sungai, gambut dataran tinggi, dan gambut
pesisir pantai.
1. Gambut cekungan (basin peat) adalah gambut yang terbentuk di daerah cekungan,
lembah sungai, atau rawa burit (backswamps).
2. Gambut sungai (river peat) adalah gambut yang terbentuk di sepanjang sungai
yang masuk ke daerah lembah kurang dari 1 km, misalnya di sepanjang sungai
Barito, sungai Kapuas, dan sungai Mentangai di Kalimantan.
3. Gambut dataran tinggi (highland peat) adalah gambut yang terbentuk di
punggung-punggung bukit/pegunungan, misalnya di pegunungan Tigi (Papua)
dan pegunungan Dieng (Jawa Tengah).
4. Gambut dataran pesisir/pantai (coastal peat) adalah gambut yang terbentuk di
sepanjang garis pantai.
2.2.6 Berdasarkan Sifat Kematangan (ripeness)
Berdasarkan sifat kematangannya (ripeness), gambut dapat dibedakan atas tiga
jenis, yaitu gambut fibrik, gambut hemik, dan gambut saprik.
1. Gambut fibrik adalah bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah yang
dicirikan dengan tingginya kandungan bahan-bahan jaringan tanaman atau sisa-
sisa tanaman yang masih dapat dilihat keadaan aslinya dengan ukuran beragam,
dengan diameter antara 0,15 mm sampai dengan 2,00 cm.
2. Gambut hemik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan
dan bersifat separuh matang.
3. Gambut saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan
sangat lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang.
2.2.7.Berdasarkan Ketebalan Lapisan Bahan Organik
Berdasarkan ketebalan lapisan bahan organiknya, gambut dipilah dalam empat
katagori yaitu gambut dangkal, tengahan, dalam, dan sangat dalam.
1. Gambut dangkal adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan
organik antara 50 100 cm.
2. Gambut tengahan adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan
organik antara 100 200 cm.
3. Gambut dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan
organik antara 200 300 cm.
4. Gambut sangat dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan
bahan organik > 300 cm.
Kendala pertumbuhan tanaman kelapa sawit di tanah gambut.

A. Kendala Fisik

- Kemampuan menahan beban rendah (Low beraing capacity) Hol


- Hidrolik conductivity secara vertical rendah sedangkan secara horizontal
tinggi.
- Kandungan pori makro lebih banyak disbanding pori mikro.
- Bulk density (BV) rendah. < 1 gr/cm3
- Terjadinya subsidence akibat kegiatan drainase.
- Mempunyai sifat yang mengering tidak kembali.
B. Kendala Kimia.
- pH yang rendah., karena pada proses dekomposisi dihasilkan asam-asam
organik
- Defisiensi unsure hara mikro terutama logan sangat tinggi (Cu, Zn dan Fe)
- KTK yang tinggi ( 200 me/100 gr B.O terutama untuk gambut yang
saprik), sehingga sering ditemukan terjadinya defisiensi K (berasal dari
abu).

You might also like