You are on page 1of 11

Polip endometrium

ialah tumor jinak pada dinding endometrium yang merupakan pertumbuhan aktif
stroma dan kelenjar endometrium secara fokal, terutama pada daerah fundus atau
korpus uteri. Polip ini dapat tumbuh tunggal ataupun ganda dengan diameter atau
ukuran yang bervariasi mulai dari milimeter hingga sentimeter.

1. Etiologi dan Epidemiologi


Penyebab utama polip endometrium belum diketahui secara pasti, tetapi teori
hormonal dan faktor genetik diyakini memiliki peran penting dalam patogenesis
penyakit ini. Faktor risiko yang berperan dalam penyakit ini antara lain: usia,
hipertensi, obesitas, dan penggunaan tamoxifen (obat anti-estrogen). Prevalensi
dari polip endometrium meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Polip ini
sering dijumpai pada wanita berusia 29-59 tahun dengan prevalensi terbanyak
pada pasien berumur di atas 50 tahun atau pada wanita postmenapause.
Prevalensi ini meningkat 30- 60% pada wanita dengan riwayat penggunaan
tamoxifen.
2. Patogenesis dan Patofisiologi
Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti polip endometrium dan diduga
merupakan penyakit multifaktorial. Dipercayai bahwa polip merupakan sebuah
tumor tunggal atau ganda yang dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah sel
neoplastik tunggal. Sel-sel tumor mempunyai abnormalitas kromosom, khususnya
pada kromosom 6 dan 12. Kromosom tersebut memiliki peranan penting dalam
pengaturan proliferasi sel-sel somatik, pertumbuhan berlebih sel endometrium
dan pembentukan polip. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tumor,
di samping faktor predisposisi genetik, adalah usia, hormonal (estrogen-
progesteron), hipertensi, dan obesitas. Estrogen dan progesteron memiliki
peranan dalam mengatur keseimbangan proliferasi dan apoptosis pada
endometrium normal. Dapat dilihat bahwa baik estrogen dan progesteron
berpengaruh terhadap elongasi dari kelenjar endometrium, jaringan stroma, dan
arteri spiral yang merupakan karakteristik gambaran polip endometrium.

3. Manifestasi Klinis
1
Polip endometrium seringkali berupa penonjolan langsung dari lapisan
endometrium atau merupakan tumor bertangkai dengan pembesaran pada bagian
ujungnya. Secara makroskopis polip endometrium tampak sebagai massa ovoid
berukuran beberapa milimeter, licin seperti berudu, berwarna merah-kecoklatan.
Secara histologis, polip endometrium memiliki inti stroma dengan jaringan
pembuluh darah yang jelas dengan vena permukaan mukosa yang dapat melapisi
komponen glanduler. Hampir sebagian besar penderita tidak mengetahui atau
menyadari keberadaan polip endometrial karena kelainan ini tidak menimbulkan
gejala spesifik. Pada umumnya polip terjadi secara asimptomatik dan ditemukan
secara tidak sengaja pada saat kuretase ataupun USG, tetapi beberapa dapat
diidentifikasi terkait dengan manifestasi klinis yang ditimbulkan diantaranya :
Perdarahan abnormal uterus
Nyeri perut , nyeri pelvik, atau dismenore
Infertil
Perdarahan di luar siklus yang nonspesifik menjadi gejala utama dari polip
endometrium. Pada wanita pre atau post menapause dengan polip endometrium,
perdarahan abnormal terjadi sekitar 68% kasus dan gejala yang paling umum
dikeluhkan adalanya adanya menorrhagia, haid tidak teratur, perdarahan post
coital, perdarahan post menapause, atau perdarahan intermenstrual. Ujung polip
yang keluar dari ostium serviks dapat menyebabkan terjadinya perdarahan,
nekrotik, dan peradangan. Polip endometrium memiliki konsistensi yang lebih
kenyal dan berwarna lebih merah dibandingkan polip serviks. Selain perdarahan
polip endometrium juga dapat menyebabkan timbulnya nyeri abdomen dan nyeri
pelvik. Gejala ini tidak begitu khas pada polip endometrium. Nyeri timbul karena
gangguan reaksi peradangan, infeksi, bekrosis, ataupun torsi polip endometrium
bertangkai. Dismenore dapat terjadi sebagai efek penyempitan kanalis servikalis
oleh tangkai polip endometrium.
Polip endometrium sering dihubungkan dengan infertilitas, meskipun hubungan
kausalnya masih belum jelas. Hipotesis infertil, termasuk obstruksi mekanik
menghambat fungsi ostium dan mempengaruhi migrasi sperma, atau efek
biokimia polip pada implantasi atau perkembangan embrio. Yang terakhir ini
mencerminkan temuan peningkatan kadar metaloproteinase dan sitokin seperti
interferon-gamma yang ditemukan pada polip bila dibandingkan dengan jaringan

2
rahim yang normal. Wanita dengan berbagai penyakit intrauterin menunjukkan
perubahan dalam matriks metaloproteinase dan sitokin endometrium. Perubahan
mediator biomekanik inilah yang diduga memiliki keterlibatan terhadap penyakit
intrauterine dan menyebabkan gangguan kesuburan.

4. Diagnosis
Apabila tangkai polip endometrium cukup panjang sehingga memungkinkan
ujung polip mengalami protursi keluar ostium serviks, maka hal ini dapat
memudahkan klinisi untuk menegakkan diagnosis. Berikut beberapa alat dan cara
untuk mendiagnosis polip endometrium.

Ultrasonografi transvaginal
Pada ultrasonografi transvaginal (TVUS), polip endometrium biasanya muncul
sebagai lesi hyperechoic/ echogenic dengan kontur reguler dalam lumen uterus.
Ruang kistik membesar sesuai dengan kelenjar endometrium dan dipenuhi oleh
cairan protein yang dapat dilihat dalam polip atau polip mungkin muncul sebagai
penebalan endometrium nonspesifik atau massa fokal di dalam rongga
endometrium. Kadang kala, tampak seperti sarang tawon. Dibandingkan dengan
hiperplasia endometrium, polip hanya tampak menebal setempat, sedangkan
hiperplasia endometrium melibatkan seluruh bagian endometrium dengan
gambaran yang homogen. Temuan sonografi tersebut tidak spesifik untuk polip,
dan kelainan endometrium lainnya seperti fibroid submukosa mungkin memiliki
fitur yang sama. Selain penilaian lesi polip, vaskularisasi polip yang ditunjang
oleh pembuluh-pembuluh darah percabangan terminal dari arteri uterina dapat
juga dinilai, yaitu dengan menggunakan USG color-flow Doppler. USG ini dapat
memvisualisasikan pembuluh arteri yang mensuplai polip yang disebut sebagai
pedicle artery sign dan memperbaiki keakuratan diagnosis polip endometrium.
Penambahan kontras intra uterine berupa Saline Infusion Sonography (SIS) atau
gel sonografi dapat menguraikan polip kecil endometrium yang terlewatkan pada
saat pemeriksaan TVUS.

3
Gambar 2.1. USG Color Doppler
(Sumber : http://www.kurtajrehberi.net/polip_nedir_tedavisi.htm)

TVUS tiga dimensi dan tiga dimensi SIS


Tiga dimensi ultrasonografi (3-D US) adalah teknik pencitraan non-invasif
dengan kemampuan untuk menghasilkan gambar rekonstruksi multiplanar
melalui rahim dan kontur eksternal. Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi
yang lebih akurat antara endometrium dan miometrium.

Diagnosis histologi

Blind Biopsy
Dilatasi Buta dan kuretase tidak akurat dalam mendiagnosis polip endometrium
dan tidak boleh digunakan sebagai metode diagnostik . Pemeriksaan ini dibatasi
oleh sensitivitasnya yang rendah jika dibandingkan dengan histeroskopi dengan
biopsi. Teknik ini juga dapat menyebabkan fragmentasi polip sehingga dapat
membuat diagnosis histologis sulit diinterpretasikan. Pada wanita menopause, hal
ini terutama terjadi untuk polip, yang cenderung lebih luas berdasarkan dengan
permukaan yang tidak rata disebabkan oleh kista tembus kecil yang ditutupi oleh
endometrium atrofi. Pada pemeriksaan biopsi jaringan dapat ditemukan gambaran
histopatologi seperti bentuk kelenjar yang tidak beraturan, tangkai fibrovaskular
atau stroma berserat dengan penebalan dinding pembuluh darah, dan terkadang
dapat ditemukan metaplastis epitel skuamosa. Selain itu juga dapat dilihat dari
hiperplasia jaringan lokal yang terbatas pada jaringan polip, karsinoma intraepitel
endometrium, dan komponen mesenkim yang mengandung stroma endometrium,
jaringan fibrosa, atau otot polos.

4
Histeroskopi dengan dipandu Biopsi
Histeroskopi dengan dipandu biopsi adalah standar emas dalam diagnosis polip
endometrium. Keuntungan utama dari histeroskopi adalah kemampuan untuk
memvisualisasikan dan menghapus polip bersamaan. Diagnostik histeroskopi
sendiri hanya memungkinkan penilaian subjektif dari ukuran, lokasi, dan sifat
fisik lesi, dengan sensitivitas dilaporkan 58% sampai 99% dan spesifisitas 87%
sampai 100%, bila dibandingkan dengan histeroskopi dengan dipandu biopsi.

Gambar 2.2 Histereskopi dengan kesan Polip Endometrium

Tes Diagnostik Lainnya

Histerosalpingografi dapat mendefinisikan polip endometrium sebagai


pedunkulata, defek nonspesifik dalam rongga endometrium, dengan
sensitivitas yang tinggi (98%) tetapi spesifisitas rendah (34,6%)
dibandingkan dengan histeroskop. Hal ini dapat digunakan pada wanita
subur untuk menilai patensi tuba, namun dengan kerugian termasuk
penggunaan radiasi pengion, bahan kontras iodinasi, dan
ketidaknyamanan pasien. Penggunaan rutin histerosalpingografi untuk
diagnosis polip endometrium tidak dapat direkomendasikan.
Polip endometrium dapat diidentifikasi pada pencitraan resonansi
magnetik sebagai intensitas sinyal rendah massa Intracavitary dikelilingi
oleh sinyal intensitas tinggi dan cairan endometrium oleh T2-tertimbang
pencitraan resonansi magnetik Biaya yang sangat tinggi dan ketersediaan
terbatas, dengan keuntungan terbatas atas sonografi, menghalangi teknik
ini dari penggunaan rutin.

5
Computed tomography scanning memiliki peran yang terbatas karena
biaya, paparan radiasi, dan sensitivitas rendah dari 53% untuk ketebalan
endometrium bila dibandingkan dengan TVUS, bahkan dengan
peningkatan kontras.

(a) (b)

Gambar 2.3. (a)Normal Histerosalpingoram (b) Polip Endometrium


(sumber : http://www.advancedfertility.com/hsg.htm)

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan polip endometrium tergantung pada gejala ,risiko keganasan


,masalah kesuburan, dan keterampilan operator. Pilihan manajemen akan
dipertimbangkan, apakah konservasi non operasi, konservasi dengan
operasi/bedah , atau dengan menggunakan pendekatan bedah radikal.

Manajemen Konservasi Non-Operasi

6
Setelah didiagnosis polip endometrium, penghapusan polip dianggap sebagai
prosedur tanpa risiko atau risiko rendah, tetapi ada tidaknya resiko ataupun
manfaat tindakan harus didiskusikan dengan pasien. Dalam beberapa penelitian,
ditemukan bahwa polip dengan ukuran diameter 10 mm memiliki kemungkinan
sebesar 27% untuk regresi spontan selama 12 bulan. Oleh karena itu pasien
dengan hasil biopsi rendah keganasan, pasien asimptomatik atau pasien dengan
ukuran polip < 10 mm dapat dikelola secara konservatif.

Pengobatan medis mungkin memiliki beberapa peran dalam pengelolaan polip


endometrium. Penggunaan agonis GnRH dilaporkan berperan dalam mengobati
gejala jangka pendek polip endometrium, tetapi kekambuhan gejala dapat terjadi
setelah penghentian pengobatan. Meskipun agonis GnRH dapat digunakan
sebagai pengobatan tambahan sebelum reseksi histeroskopi, pemberiannya harus
dipertimbangkan terhadap biaya dan efek samping dari obat ini serta manfaatnya
jika dibandingkan dengan perawatan extirpative alternatif sederhana tanpa
menggunakan obat ini .

Konservasi dengan operasi

Dilatasi buta dan kuretase telah menjadi pilihan manajemen standar untuk
perdarahan uterus abnormal dan penyakit endometrium. Survei di Inggris pada
tahun 2002 melaporkan bahwa 2 % dari ginekolog menggunakan teknik dilatasi
buta dan kuretase untuk pengelolaan polip endometrium, dan 51% melakukan
kuretase buta setelah histeroskopi untuk menghilangkan polip. Bukti
menunjukkan bahwa tindakan ini tidak begitu efektif dan memiliki tingkat
komplikasi yang signifikan (1:100 tingkat perforasi dan 1:200 tingkat infeksi ).
Terkait dengan studi pada penelitian Aclass II yang melaporkan penghapusan
lengkap polip endometrium dengan hanya menggunakan teknik dilatasi buta dan
kuretase hanya efektif pada 8 dari total 51 pasien atau sebesar 4%, sedangkan
penambahan tang polip meningkatkan ekstraksi lengkap menjadi 21 dari total 51
pasien (41 % ).

Sebuah studi penelitian menunjukkan bahwa 50% penyakit endometrium dapat


dihapuskan/dihilangkan, dan dalam banyak kasus tersebut banyak ditemukan

7
penghapusan yang tidak lengkap. Mengingat tingkat komplikasi yang rendah
terkait dengan penghapusan histeroskopi dan ketersediaannya yang luas,
keamanan, dan kemampuan yang akan dilakukan dalam pengaturan rawat jalan,
dilatasi buta dan kuretase harus digantikan oleh teknik visualisasi langsung dan
penghapusan penyakit yang ditargetkan. TVUS-dipandu polipektomi telah
diusulkan sebagai perbaikan pada teknik dilatasi dan kuretase buta.

Ekstirpasi dan Histerektomi

Histeroskopi dan polipektomi adalah metode yang efektif dan aman untuk
mendiagnosa dan mengobati polip endometrium yang memungkinkan pemulihan
secara cepat dalam waktu yang singkat. Jenis instrumen yang digunakan untuk
menghilangkan polip tergantung pada ketersediaan alat, biaya, dan pengalaman
bedah, serta ukuran dan lokasi lesi . Polip besar dan sessile sebaiknya dihapus
dengan histeroskop yang dilengkapi dengan loop elektrosurgical (resectoscopic),
Sedangkan polip kecil dan pedunkulata dapat dihilangkan dengan gunting atau
tang polip kecil. Histerektomi atau pengangkatan rahim adalah pengobatan
definitif untuk polip endometrium. Meskipun hal ini menjamin tidak adanya
kekambuhan dan potensi keganasan, tetapi invasif penyakit, risiko morbiditas
bedah, biaya, dan implikasi kesuburan adalah faktor yang harus dipertimbangkan
dan dibicarakan dengan pasien. Indikasi dilakukannya histerektomi mencakup:
Apabila terdapat tanda-tanda invasif keganasan, seperti pada
hiperplasia endometrial dengan gambaran sel atypia (keganasan),
epitelialintra servikal, dan adenokarsinoma.
Penyelesaian perdarahan postpartum ketika terapi konservatif gagal
untuk mengontrol perdarahan.
Histerektomi mungkin diperlukan untuk kasus menorrhagia akut yang
tidak dapat tertangani secara konservatif.

8
Gambar 2.4. Hasil histerektomi polip endometrium
(Sumber: http://www.imed.ro/chirurgie/Polip%20endometrial.htm)

6. Prognosis

Polip endometrium merupakan tumor jinak. Polip juga dapat berkembang


menjadi prakanker atau kanker. Sebagian besar polip mempunyai susunan
histopatologik berupa hiperplasia kistik, hanya sebagian kecil yang menunjukkan
hiperplasia adenomatosa. Sekitar 0,5% dari polip endometrium mengandung sel-
sel adenokarsinoma, dimana sel-sel ini akan berkembang menjadi sel-sel kanker.
Polip dapat meningkatkan resiko keguguran pada wanita yang sedang menjalani
perawatan fertilisasi in vitro. Jika pertumbuhan polip dekat dengan saluran telur,
maka akan menjadi penyulit untuk hamil.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. AAGL Practice Report : Practice Guidelines for The Diagnosis and Management
of Endomethrial Polyps. Diunduh dari http://www.aagl.org/wp-
content/uploads/2013/03/aagl-Practice-Guidelines-for-the-Diagnosis-and-
Management-of-Endometrial-Polyps.pdf pada Minggu, 01 September 2013.

2. Anonim. Uterine polyps. Diunduh dari http://www.mayoclinic.com/health/uterine-


polyps/DS00699/DSECTION=causes pada Rabu, 04 September 2013.

3. Jorizzo, JR, M.Y.M. Chen, G. J. Richio. 2001. Endometrial Polyps:


Sonohysterographic Evaluation. American Journal of Roentgenology: 176.

4. Kristen A M. Abnormal uterine bleeding: a review of patient-based outcome


measures ; American Society for reproductive Medicine, Fertility and Sterility,
Elsevier, 2009.

5. Lefebvre, Guylaine, C.Allaire, J.Jeffrey, and G,Vilos. 2002.Hysterectomy. SOGC


Clinical Practice Guidelines. Diunduh dari http://meds.queensu.ca/medicine-
/obgyn/pdf/hysterectomy.pdf pada Kamis, 12 September 2013.

6. Malcolm G M et all. The FIGO classification of causes of abnormal uterine


bleeding in the reproducyive years ; American Society for Reproductive
Medicine, Elsevier, 2011.

7. Monagle, Shaun. 1991. Endometrial polyps. Diunduh dari


www.hgv.org.au/endometrialpolyps.ppt pada Minggu, 01 September 2013.

8. Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan Edisi Ketiga, PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo : Jakarta.

9. Salim,S, et all. 2011. Diagnosis and Management of Endometrial Polyps: A


Critical Review of the Literature. Journal of Minimally Invasive Gynecology
Vol.18.

10. Tjarks, Mary and Bradley J. Van Voorhis. 2000. Treatment for Endometrial
Polyps Volume 96. No.6. Department of Obstetrics and Gynecology, University
of Iowa College of Medicine, Iowa.

10
11

You might also like