Professional Documents
Culture Documents
Puji Syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas KehendakNya
penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Anemia Aplastik. Referat ini dibuat
sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak. Mengingat
pengetahuan dan pengalaman penulis serta waktu yang tersedia untuk menyusun
makalah ini sangat terbatas, penulis sadar masih banyak kekurangan baik dari segi
isi, susunan bahasa maupun sistematika penulisannya. Untuk itu kritik dan saran
Pada kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada Dr. Dyah Kurniati , Sp.A selaku pembimbing Kepaniteraan Ilmu Kesehatan
kritikan, dan saran yang membangun saya untuk menjadi lebih baik lagi.
Akhir kata penulis berharap kiranya referat ini dapat menjadi masukan yang
berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain yang terkait
Penulis
1
BAB I
Pendahuluan
Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoisis yang ditandai oleh
penurunan produksi eritroid, mieloid, dan megakariosit dalam sumsum tulang dengan
akibat adanya pansitopenia pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya keganasan
sistem hematopoitik ataupun kanker metastatik yang menekan sumsum tulang.
Aplasia ini dapat terjadi hanya pada satu, dua atau ketiga sistem hematopoisis.
Aplasia yang hanya mengenai sistem eritropoitik disebut anemia hipoplastik
(eritroblastopenia), yang hanya mengenai sistem granulopoitik disebut
agranulositosis sedangkan yang hanya mengenai sistem megakariosit disebut Purpura
Trombositopenik Amegakariositik (PTA). Bila mengenai ketiga sistem disebut
panmieloptisis atau lazimnya disebut anemia aplastik. Menurut The International
Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study (IAAS) disebut anemia aplastik bila
didapatkan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin < 10 g/dl atau hematokrit < 30;
hitung trombosit < 50.000/mm3; hitung leukosit < 3.500/mm3 atau granulosit <
1.5x109/l.1
Kejadian anemia aplastik pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich
pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita
penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan dan hiperpireksia. Pemeriksaan
postmortem terhadap pasien tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposeluler
(tidak aktif). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia
aplastik. Puluhan tahun berikutnya definisi anemia aplastik masih belum berubah dan
akhirnya tahun 1934 timbul kesepakatan pendapat bahwa tanda khas penyakit ini
adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun 1959, Wintrobe membatasi
pemakaian nama anemia aplastik pada kasus pansitopenia, hipoplasia berat atau
aplasia sumsum tulang, tanpa adanya suatu penyakit primer yang menginfiltrasi,
mengganti atau menekan jaringan hemopoietik sumsum tulang.2
2
BAB II
Tinjauan Pustaka
1. Definisi
2. Epidemiologi
Ditemukan lebih dari 70% anak-anak menderita anemia aplastik derajat
berat pada saat didiagnosis. Tidak ada perbedaan secara bermakna antara laki dan
perempuan, namun dalam beberapa penelitian insidens pada laki-laki lebih banyak
dibanding wanita.1
Penyakit ini termasuk penyakit yang jarang dijumpai di negara barat dengan
insiden 1-3 per 1 juta pertahun. Namun di negara Timur seperti Thailand, negara
Asia lainnya termasuk Indonesia, Taiwan Cina, insidensnya jauh lebih tinggi.
Penelitian pada tahun 1991 di Bangkok didapatkan insidens 3.7/1 juta tahun.
Perbedan insidens ini diperkirakan oleh karena adanya faktor lingkungan seperti
pemakaian obat-obat yang tidak pada tempatnya, pemakaian pestisida serta insidens
virus hepatitis yang lebih tinggi.1
3
3. Etiologi
4
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)
5
menghasilkan protein dyskerin, yang penting untuk stabilisasi telomerase.
Gangguan telomerase menyebabkan terjadinya pemendekan telomer lebih
cepat, kegagalan sumsum tulang, dan penuaan dini (premature aging).
Diskeratosis kongenital autosomal dominan disebabkan oleh mutasi gen
TERC (yang menyandi komponen RNA telomerase) yang pada akhirnya
mengganggu aktivitas telomerase dan pemendekan telomer abnormal.
Sejumlah kecil pasien (kurang dari 5%) yang dicurigai menderita anemia
aplastik memiliki mutasi TERC.1,2
Trombositopenia amegakaryositik diwariskan merupakan kelainan
yang ditandai oleh trombositopenia berat dan tidak adanya megakaryosit
pada saat lahir. Sebagian besar pasien mengalami missense atau nonsense
mutations pada gen C-MPL. Banyak diantara penderita trombositopenia
amegakaryositik diwariskan mengalami kegagalan sumsum tulang
multilineage.1,2
Sindrom Shwachman-Diamond adalah kelainan autosomal resesif
yang ditandai dengan disfungsi eksokrin pankreas, disostosis metafiseal,
dan kegagalan sumsum tulang. Seperti pada anemia Fanconi (sindroma
Fanconi), penderita sindrom Shwachman-Diamond juga mengalami
peningkatan resiko terjadinya myelodisplasia atau leukemia pada usia
dini. Belum ditemukan lesi genetik yang dianggap menjadi penyebabnya,
tetapi mutasi sebuah gen di kromosom 7 telah dikaitkan dengan penyakit
ini. 1,2
6
- Penyakit infeksi yang bisa menyebabkan anemia aplastik sementara
atau permanen, yakni virus Epstein-Barr, virus Haemophillus
influenza A, tuberkulosis milier, Cytomegalovirus (CMV) yang dapat
menekan produksi sel sumsum tulang melalui gangguan pada sel sel
stroma sumsum tulang, Human Immunodeficiency virus (HIV) yang
berkembang menjadi Acquired Immuno-Deficiency Syndrome (AIDS),
virus hepatitis non-A, non-B dan non-C, infeksi parvovirus.
Infeksi parvovirus B19 dapat menimbulkan Transient Aplastic Crisis.
Keadaan ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kelainan hemolitik
yang disebabkan oleh berbagai hal. Pemeriksaan dengan mikroskop
elektron akan ditemukan virus dalam eritroblas dan dengan pemeriksaan
serologi akan dijumpai antibodi virus ini. DNA parvovirus dapat
mempengaruhi progenitor eritroid dengan mengganggu replikasi dan
pematangannya.
- Terapi radiasi dengan radioaktif dan pemakaian sinar Rontgen.
- Faktor iatrogenik akibat transfusion associated graft-versus-host
disease.1,2
4. Klasifikasi
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut:
Klasifikasi menurut kausa:
Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50%
kasus.
Sekunder : bila kausanya diketahui.
Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya
anemia Fanconi2
7
pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80% dengan
infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan penyebab kematian
utama. Anemia aplastik tidak berat jarang mengancam jiwa dan
sebagian besar tidak membutuhkan terapi.2
Anemia aplastik berat - Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan
<30% sel hematopoietik residu, dan
5. Patofisiologi
8
area forming cells jumlah sel induk sangat menurun. Bukti klinis yang yang
menyokong teori gangguan sel induk ini adalah keberhasilan transplantasi
sumsum tulang pada 60-80% kasus. Hal ini membuktikan bahwa dengan
pemberian sel induk dari luar akan terjadi rekonstruksi sumsum tulang pada
pasien anemia aplastik. Beberapa sarjana menganggap gangguan ini dapat
disebabkan oleh proses imunologik.
Kemampuan hidup dan daya proliferasi serta diferensiasi sel induk
hematopoitik tergantung pada lingkungan mikro sumsum tulang yang terdiri
dari sel stroma yang menghasilkan berbagai sitokin perangsang seperti GM-
CSF,G-CSF dan IL-6 dalam jumlah normal sedangkan sitokin penghambat
seperti interferon- (IFN-), tumor necrosis factor- (TNF-), protein
macrophage inflamatory 1 (MIP-1), dan transforming growth factor 2
(TGF-2) akan meningkat. Sel stroma pasien anemia aplastik dapat
menunjang pertumbuhan sel induk, tapi sel stroma normal tidak dapat
menumbuhkan sel induk yang berasal dari pasien. Berdasar temuan tersebut,
teori kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang sebagai penyebab
mendasar anemia apalstik makin banyak ditinggalkan.1
Kenyataan bahwa terapi immunosupresif memberikan kesembuhan
pada sebagian besar pasien anemia aplastic merupakan bukti meyakinkan
tentang peran mekanisme imunologik dalam patofisiologi penyakit ini.
Pemakaian gangguan sel induk dengan siklosporin atau metilprednisolon
memberi kesembuhan sekitar 75%, dengan ketahanan hidup jangka panjang
menyamai hasil tranplantasi sumsum tulang. Keberhasilan imunosupresi ini
sangat mendukung teori proses imunologik.1
Transplantasi sumsum tulang singeneik oleh karena tiadanya masalah
histokompabilitas seharusnya tidak menimbulkan masalah rejeksi meskipun
tanpa pemberian terapi conditioning. Namun Champlin dkk menemukan 4
kasus transplantasi sumsum tulang singeneik ternyata semuanya mengalami
kegagalan, tetapi ulangan transplantasi sumsum tulang singeneik dengan
didahului terapi conditioning menghasilkan remisi jangka panjang pada
semua kasus. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada anemia aplastic bukan
saja terjadi kerusakan sel induk tetapi juga terjadi immunosupresi terhadap
sel induk yang dapat dihilangkan dengan terapi conditioning.1
9
6. Gejala Klinis dan Hematologis
Gejala yang muncul berdasarkan gambaran sumsum tulang yang berupa:
Aplasia sistem eritropoitik, granulopoitik dan trombopoitik
Aktivitas relatif sistem limfopoitik dan sistem retikulo endothelial
(SRE)
7. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada
tabel 4 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang
sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan
splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan
limfadenopati justru meragukan diagnosis.2
8. Pemeriksaan Penunjang
10
Pemeriksaan Laboratorium
o Apusan Darah Tepi
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu
ditemukan. Jenis anemianya adalah normokrom normositer.
Terkadang ditemukan makrositosis, anisositosis, dan
poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam
darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan
trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada
lebih dari 75% kasus.
Presentase retikulosit umumnya normal atau rendah.
Pada sebagian kecil kasus, persentase retikulosit ditemukan
lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap
beratnya anemia (corrected reticulocyte count) maka diperoleh
persentase retikulosit normal atau rendah juga. Adanya
retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia
aplastik.2
11
dikarenakan trombositopenia. Hasil faal hemostasis lainnya
normal.2
o Biopsi Sumsum Tulang
Seringkali pada pasien anemia aplasti dilakukan
tindakan aspirasi sumsum tulang berulang dikarenakan
teraspirasinya sarang sarang hemopoiesis hiperaktif.
Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang pada setiap
kasus tersangka anemia aplastik. Dari hasil pemeriksaan
sumsum tulang ini akan didapatkan kesesuaian dengan kriteria
diagnosis anemia aplastik.2
o Pemeriksaan Virologi
Adanya kemungkinan anemia aplastik akibat faktor
didapat, maka pemeriksaan virologi perlu dilakukan untuk
menemukan penyebabnya. Evaluasi diagnosis anemia aplastik
meliputi pemeriksaan virus hepatitis, HIV, parvovirus, dan
sitomegalovirus.2
o Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa
Jenis tes ini perlu dilakukan untuk mengetahui adanya
PNH sebagai penyebab terjadinya anemia aplastik.2
o Pemeriksaan Kromosom
Pada pasien anemia aplastik tidak ditemukan kelainan
kromosom. Pemeriksaan sitogenetik dengan fluorescence in
situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik dengan flow
cytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding,
seperti myelodisplasia hiposeluler.2
o Pemeriksaan Defisiensi Imun
12
Adanya defisiensi imun dalam tubuh pasien anemia
aplastik dapat diketahui melalui penentuan titer
immunoglobulin dan pemeriksaan imunitas sel T.2
o Pemeriksaan yang Lain
Pemeriksaan darah tambahan berupa pemeriksaan
kadar hemoglobin fetus (HbF) dan kadar eritropoetin yang
cenderung meningkat pada anemia aplastik anak.2
Pemeriksaan Radiologis
o Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Jenis pemeriksaan penunjang ini merupakan cara
terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan karena dapat
membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang
berlemak akibat anemia aplastik dan sumsum tulang selular
normal.
13
Hitung jenis darah akan menentukan manifestasi klinis. Anemia
menyebabkan kelelahan, dispnea dan jantung berdebar debar.
Trombositopenia menyebabkan pasien mudah mengalami memar dan
perdarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan demam.2
10. Penatalaksanaan
Terapi Suportif
14
Adanya terapi suportif bertujuan untuk mencegah dan
mengobati terjadinya infeksi dan perdarahan. Terapi suportif yang
diberikan untuk pasien anemia aplastik, antara lain:
o Pengobatan terhadap infeksi
Untuk menghindarkan pasien dari infeksi, sebaiknya
pasien dirawat dalam ruangan isolasi yang bersifat suci
hama. Pemberian obat antibiotika hendaknya dipilih yang
tidak memiliki efek samping mendepresi sumsum tulang,
seperti kloramfenikol.1
o Transfusi darah
Gunakan komponen darah bila harus melakukan
transfusi darah. Hendaknya harus diketahui bahwa tidak ada
manfaatnya mempertahankan kadar hemoglobin yang tinggi,
karena dengan transfusi darah yang terlampau sering, akan
timbul depresi terhadap sumsum tulang atau dapat
menyebabkan timbulnya reaksi hemolitik (reaksi transfusi),
akibat dibentuknya antibodi terhadap eritrosit, leukosit dan
trombosit. Oleh karena itu, transfusi darah diberikan atas
indikasi tertentu. Pada keadaan yang sangat gawat, seperti
perdarahan masif, perdarahan otak, perdarahan saluran cerna
dan lain sebagainya, dapat diberikan suspensi trombosit. 1
11. Prognosis
Prognosis penyakit anemia aplastik bergantung pada:
1. Gambaran sumsum tulang hiposeluler atau aseluler.
2. Kadar Hb F yang lebih dari 200mg% memperlihatkan prognosis yang
lebih baik.
3. Jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis yang
lebih baik.
15
4. Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena kejadian
infeksi masih tinggi.
Gambaran sumsum tulang merupakan parameter yang terbaik untuk
menentukan prognosis.1
Remisi anemia aplastik biasanya terjadi beberapa bulan setelah
pengobatan (dengan oksimetolon setelah 2-3 bulan), mula mula terlihat
perbaikan pada sistem eritropoitik, kemudian sistem granulopoitik dan
terakhir sistem trombopoitik. Kadang kadang remisi terlihat pada sistem
granulopoitik lebih dahulu lalu disusul oleh sistem eritropoitik dan
trombopoitik. Untuk melihat adanya remisi hendaknya diperhatikan
jumlah retikulosit, granulosit/leukosit dengan hitung jenisnya dan jumlah
trombosit. Pemeriksaan sumsum tulang sebulan sekali merupakan
indikator terbaik untuk menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial
telah tercapai, yaitu timbulnya aktivitas eritropoitik dan granulopoitik,
bahaya perdarahan yang fatal masih tetap ada, karena perbaikan sistem
trombopoitik terjadi paling akhir. Sebaiknya pasien dibolehkan pulang
dari rumah sakit setelah hitung trombosit mencapai 50.000
100.000/mm3.1
Prognosis buruk dari penyakit anemia aplastik ini dapat berakibat
pada kematian yang seringkali disebabkan oleh keadaan penyerta berupa:
1. Infeksi, biasanya oleh bronchopneumonia atau sepsis. Harus waspada
terhadap tuberkulosis akibat pemberian kortikosteroid (prednison)
jangka panjang.
2. Timbulnya keganasan sekunder akibat penggunaan imunosupresif.
Pada sebuah penelitian yang dilakukan di luar negeri, dari 103 pasien
yang diobati dengan ALG, 20 penderita yang diterapi jangka panjang,
berubah menjadi leukemia akut, mielodisplasia, PNH, dan adanya
risiko terjadi hepatoma. Kejadian ini mungkin merupakan riwayat
alamiah penyakit anemia aplastik, namun komplikasi ini jarang
ditemukan pada penderita yang telah menjalani transplantasi sumsum
tulang.
3. Perdarahan otak atau abdomen, yang dikarenakan kondisi
trombositopenia.
16
BAB III
KESIMPULAN
Anemia aplastik merupakan jenis anemia yang ditandai dengan kegagalan
sumsum tulang dengan penurunan sel sel hematopoietik dan penggantiannya oleh
lemak, menyebabkan pansitopenia, dan sering disertai dengan granulositopenia dan
trombositopenia.
17
Secara etiologik, anemia aplastik dibagi menjadi dua, yaitu anemia aplastik
herediter dan anemia aplastik didapat. Jika tidak diketahui penyebab timbulnya
anema aplastik dalam tubuh seorang pasien, dapat dicurigai sebagai anemia aplastik
idiopatik.
Tidak ada perbedaan secara bermakna antara anak laki laki dan perempuan
yang menderita anemia aplastik, namun dalam beberapa penelitian tampak insidens
pada anak laki laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan.
Gejala gejala klinik yang tampak pada tubuh seorang pasien anemia aplastik
berupa tampak pucat, adanya tanda tanda perdarahan dan disertai dengan demam.
Pemberian terapi secara suportif pada pasien anemia aplastik berupa pengobatan
infeksi, pemberian transfusi darah dan tindakan transplantasi sumsum tulang dengan
HLA saudara kandung yang cocok.
DAFTAR PUSTAKA
18
1. Permono H B, Sutaryo, Ugrasena, IDG, Windyastuti E, Abdulsalam
M.Anemia Aplastik. Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak IDAI.Cetakan
Keempat.Badan Penerbit IDAI.Jakarta.2012.Hal:10-15.
2. Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder.Anemia Aplastik.Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.Edisi IV.Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.Jakarta.2006.Hal:627-633.
3. A.V. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss.Anemia Aplastik dan Kegagalan
Sumsum Tulang.Kapita Selekta Hematologi.Edisi IV.EGC.Jakarta.2006.Hal:
83-87.
4. Kamus Kedokteran Dorland.Edisi ke 27.Jakarta:EGC.2005
5. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Volume I.Edisi VI.EGC.Jakarta.2006.Hal: 258-260.
19