You are on page 1of 19

KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas KehendakNya

penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Anemia Aplastik. Referat ini dibuat

sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak. Mengingat

pengetahuan dan pengalaman penulis serta waktu yang tersedia untuk menyusun

makalah ini sangat terbatas, penulis sadar masih banyak kekurangan baik dari segi

isi, susunan bahasa maupun sistematika penulisannya. Untuk itu kritik dan saran

pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Pada kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih

kepada Dr. Dyah Kurniati , Sp.A selaku pembimbing Kepaniteraan Ilmu Kesehatan

Anak di RS Angkatan Udara dr. Esnawan Antariksa, sebagai pemberi informasi,

kritikan, dan saran yang membangun saya untuk menjadi lebih baik lagi.

Akhir kata penulis berharap kiranya referat ini dapat menjadi masukan yang

berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain yang terkait

dengan masalah kesehatan pada umumnya.

Jakarta, Mei 2017

Penulis

1
BAB I

Pendahuluan
Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoisis yang ditandai oleh
penurunan produksi eritroid, mieloid, dan megakariosit dalam sumsum tulang dengan
akibat adanya pansitopenia pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya keganasan
sistem hematopoitik ataupun kanker metastatik yang menekan sumsum tulang.
Aplasia ini dapat terjadi hanya pada satu, dua atau ketiga sistem hematopoisis.
Aplasia yang hanya mengenai sistem eritropoitik disebut anemia hipoplastik
(eritroblastopenia), yang hanya mengenai sistem granulopoitik disebut
agranulositosis sedangkan yang hanya mengenai sistem megakariosit disebut Purpura
Trombositopenik Amegakariositik (PTA). Bila mengenai ketiga sistem disebut
panmieloptisis atau lazimnya disebut anemia aplastik. Menurut The International
Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study (IAAS) disebut anemia aplastik bila
didapatkan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin < 10 g/dl atau hematokrit < 30;
hitung trombosit < 50.000/mm3; hitung leukosit < 3.500/mm3 atau granulosit <
1.5x109/l.1

Anemia aplastik relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam


jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia sumsum tulang.
Pansitopenia adalah keadaan defisiensi pada semua elemen sel darah (eritrosit,
leukosit dan trombosit). Terjadinya pansitopenia dikarenakan oleh menurunnya
produksi sumsum tulang atau dikarenakan meningkatnya destruksi perifer.2,3

Kejadian anemia aplastik pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich
pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita
penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan dan hiperpireksia. Pemeriksaan
postmortem terhadap pasien tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposeluler
(tidak aktif). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia
aplastik. Puluhan tahun berikutnya definisi anemia aplastik masih belum berubah dan
akhirnya tahun 1934 timbul kesepakatan pendapat bahwa tanda khas penyakit ini
adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun 1959, Wintrobe membatasi
pemakaian nama anemia aplastik pada kasus pansitopenia, hipoplasia berat atau
aplasia sumsum tulang, tanpa adanya suatu penyakit primer yang menginfiltrasi,
mengganti atau menekan jaringan hemopoietik sumsum tulang.2

2
BAB II

Tinjauan Pustaka
1. Definisi

Anemia aplastik merupakan jenis anemia yang ditandai dengan


kegagalan sumsum tulang dengan penurunan sel sel hematopoietik dan
penggantiannya oleh lemak, menyebabkan pansitopenia, dan sering disertai
dengan granulositopenia dan trombositopenia. Terjadinya anemia aplastik
dapat dikarenakan faktor herediter (genetik), faktor sekunder oleh berbagai
sebab seperti toksisitas, radiasi atau reaksi imunologik pada sel sel induk
sumsum tulang, berhubungan dengan beragam penyakit penyerta, atau faktor
idiopatik.4 Pansitopenia merupakan suatu keadaan dimana terjadi defisiensi
pada semua elemen sel darah, yakni erythropenia, leukopenia, dan
thrombocytopenia. Individu dengan anemia aplastik mengalami pansitopenia.
Penyebab terjadinya pansitopenia dikarenakan :

Menurunnya produksi sumsum tulang akibat aplasia; leukemia akut;


mielodisplasia; mieloma; infiltrasi oleh limfoma, tumor padat,
tuberkulosis; anemia megaloblastik; hemoglobinuria paroksismal
nokturnal; mielofibrosis (kasus yang jarang); sindrom hemofagositik.
Meningkatnya destruksi perifer dengan ditemukannya splenomegali.3,4,5

2. Epidemiologi
Ditemukan lebih dari 70% anak-anak menderita anemia aplastik derajat
berat pada saat didiagnosis. Tidak ada perbedaan secara bermakna antara laki dan
perempuan, namun dalam beberapa penelitian insidens pada laki-laki lebih banyak
dibanding wanita.1
Penyakit ini termasuk penyakit yang jarang dijumpai di negara barat dengan
insiden 1-3 per 1 juta pertahun. Namun di negara Timur seperti Thailand, negara
Asia lainnya termasuk Indonesia, Taiwan Cina, insidensnya jauh lebih tinggi.
Penelitian pada tahun 1991 di Bangkok didapatkan insidens 3.7/1 juta tahun.
Perbedan insidens ini diperkirakan oleh karena adanya faktor lingkungan seperti
pemakaian obat-obat yang tidak pada tempatnya, pemakaian pestisida serta insidens
virus hepatitis yang lebih tinggi.1

3
3. Etiologi

Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan


kimia.Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang
berarti penyebabnya tidak diketahui.1,4 Anemia aplastik dapat juga terkait dengan
infeksi virus dan dengan penyakit lain (Tabel 2).

Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)


Anemia aplastik sekunder
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Efek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang
didapat)
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond

4
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)

Tabel 1. Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik


Secara etiologik penyakit anemia aplastik ini dapat dibagi menjadi 2
golongan besar, yaitu:
1. Anemia aplastik herediter atau anemia aplastik yang diturunkan
Merupakan faktor kongenital yang ditimbulkan sindrom kegagalan
sumsum tulang herediter antara lain : sindroma Fanconi (anemia Fanconi)
yang biasanya disertai dengan kelainan bawaan lain seperti mikrosefali,
strabismus, anomali jari, dan kelainan ginjal; diskeratosis kongenital;
sindrom Shwachman-Diamond; dan trombositopenia amegakaryositik.
Kelainan kelainan ini sangat jarang ditemukan dan juga jarang
berespons terhadap terapi imunosupresif. Kegagalan sumsum tulang
herediter biasanya muncul pada usia sepuluh tahun pertama dan kerap
disertai anomali fisik (tubuh pendek, kelainan lengan, hipogonadisme,
bintik-bintik caf-au-lait pada anemia Fanconi (sindroma Fanconi).
Beberapa pasien mungkin mempunyai riwayat keluarga dengan sitopenia.
Dalam kelompok ini, anemia Fanconi (sindroma Fanconi) adalah
penyakit yang paling sering ditemukan. Anemia Fanconi (sindroma
Fanconi) merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh defek
pada DNA repair dan memiliki predisposisi ke arah leukemia dan tumor
padat. Pada pasien anemia Fanconi (sindroma Fanconi) akan ditemukan
gangguan resesif langka dengan prognosis buruk yang ditandai dengan
pansitopenia, hipoplasia sumsum tulang, dan perubahan warna kulit yang
berbercak bercak coklat akibat deposisi melanin (bintik bintik caf-
au-lait).1,2
Diskeratosis kongenital adalah sindrom kegagalan sumsum tulang
diwariskan secara klasik yang muncul dengan triad pigmentasi kulit
abnormal, distrofi kuku, dan leukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki
heterogenitas dan manifestasi klinik yang beragam. Terdapat bentuk
bentuk X-linked recessive, autosomal dominan, dan autosomal resesif.
Bentuk X-linked recessive diakibatkan oleh mutasi pada gen DKC1, yang

5
menghasilkan protein dyskerin, yang penting untuk stabilisasi telomerase.
Gangguan telomerase menyebabkan terjadinya pemendekan telomer lebih
cepat, kegagalan sumsum tulang, dan penuaan dini (premature aging).
Diskeratosis kongenital autosomal dominan disebabkan oleh mutasi gen
TERC (yang menyandi komponen RNA telomerase) yang pada akhirnya
mengganggu aktivitas telomerase dan pemendekan telomer abnormal.
Sejumlah kecil pasien (kurang dari 5%) yang dicurigai menderita anemia
aplastik memiliki mutasi TERC.1,2
Trombositopenia amegakaryositik diwariskan merupakan kelainan
yang ditandai oleh trombositopenia berat dan tidak adanya megakaryosit
pada saat lahir. Sebagian besar pasien mengalami missense atau nonsense
mutations pada gen C-MPL. Banyak diantara penderita trombositopenia
amegakaryositik diwariskan mengalami kegagalan sumsum tulang
multilineage.1,2
Sindrom Shwachman-Diamond adalah kelainan autosomal resesif
yang ditandai dengan disfungsi eksokrin pankreas, disostosis metafiseal,
dan kegagalan sumsum tulang. Seperti pada anemia Fanconi (sindroma
Fanconi), penderita sindrom Shwachman-Diamond juga mengalami
peningkatan resiko terjadinya myelodisplasia atau leukemia pada usia
dini. Belum ditemukan lesi genetik yang dianggap menjadi penyebabnya,
tetapi mutasi sebuah gen di kromosom 7 telah dikaitkan dengan penyakit
ini. 1,2

2. Anemia aplastik didapat


Timbulnya anemia aplastik didapat pada seorang anak dapat
dikarenakan oleh :
- Penggunaan obat, anemia aplastik terkait obat terjadi karena
hipersensitivitas atau penggunaan dosis obat yang berlebihan. Obat
yang paling banyak menyebabkan anemia aplastik adalah
kloramfenikol. Obat obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah
fenilbutazon, senyawa sulfur, anti-rematik, anti-tiroid, preparat emas
dan antikonvulsan, obat obatan sitotoksik seperti mileran atau
nitrosourea.
- Senyawa kimia berupa benzene yang paling terkenal dapat
menyebabkan anemia aplastik. Dan juga insektisida (organofosfat).

6
- Penyakit infeksi yang bisa menyebabkan anemia aplastik sementara
atau permanen, yakni virus Epstein-Barr, virus Haemophillus
influenza A, tuberkulosis milier, Cytomegalovirus (CMV) yang dapat
menekan produksi sel sumsum tulang melalui gangguan pada sel sel
stroma sumsum tulang, Human Immunodeficiency virus (HIV) yang
berkembang menjadi Acquired Immuno-Deficiency Syndrome (AIDS),
virus hepatitis non-A, non-B dan non-C, infeksi parvovirus.
Infeksi parvovirus B19 dapat menimbulkan Transient Aplastic Crisis.
Keadaan ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kelainan hemolitik
yang disebabkan oleh berbagai hal. Pemeriksaan dengan mikroskop
elektron akan ditemukan virus dalam eritroblas dan dengan pemeriksaan
serologi akan dijumpai antibodi virus ini. DNA parvovirus dapat
mempengaruhi progenitor eritroid dengan mengganggu replikasi dan
pematangannya.
- Terapi radiasi dengan radioaktif dan pemakaian sinar Rontgen.
- Faktor iatrogenik akibat transfusion associated graft-versus-host
disease.1,2

Jika pada seorang pasien tidak diketahui penyebab anemia


aplastiknya, maka pasien tersebut akan digolongkan ke dalam kelompok
anemia aplastik idiopatik. 1,2

4. Klasifikasi
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut:
Klasifikasi menurut kausa:
Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50%
kasus.
Sekunder : bila kausanya diketahui.
Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya
anemia Fanconi2

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat tabel 1).


Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik
didapat diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat atau sangat berat.
Risiko morbiditas dan mortalitas lebih berkorelasi dengan derajat
keparahan sitopenia daripada selularitas sumsum tulang. Angka
kematian setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja untuk

7
pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80% dengan
infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan penyebab kematian
utama. Anemia aplastik tidak berat jarang mengancam jiwa dan
sebagian besar tidak membutuhkan terapi.2

Anemia aplastik berat - Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan
<30% sel hematopoietik residu, dan

- Dua dari tiga kriteria berikut :

netrofil < 0,5x109/l


trombosit <20x109 /l
retikulosit < 20x109 /l
Sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil
Anemia aplastik sangat berat
<0,2x109/l

Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia aplastik


Anemia aplastik bukan berat berat atau sangat berat; dengan sumsum tulang yang
hiposelular dan memenuhi dua dari tiga kriteria berikut :

- netrofil < 1,5x109/l


- trombosit < 100x109/l
- hemoglobin <10 g/dl

Tabel 2. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan

5. Patofisiologi

Walaupun banyak penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini,


patofisiologi anemia aplastik belum diketahui secara tuntas. Ada 3 teori yang
dapat menerangkan patofisiologi penyakit ini yaitu :
1. kerusakan sel hematopoitik
2. kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang
3. proses imunologik yang menekan hematopoisis
Keberadaan sel induk hematopoitik dapat diketahui lewat petanda sel
yaitu CD 34, atau dengan biakan sel. Dalam biakan sel padanan induk
hematopoitik dikenal sebagai, longterm culture-initiating cell (LTC-IC), long-
term marrow culture (LTMC), jumlah sel induk/ CD 34 sangat menurun
hingga 1-10% dari normal. Demikian juga pengamatan pada cobble-stone

8
area forming cells jumlah sel induk sangat menurun. Bukti klinis yang yang
menyokong teori gangguan sel induk ini adalah keberhasilan transplantasi
sumsum tulang pada 60-80% kasus. Hal ini membuktikan bahwa dengan
pemberian sel induk dari luar akan terjadi rekonstruksi sumsum tulang pada
pasien anemia aplastik. Beberapa sarjana menganggap gangguan ini dapat
disebabkan oleh proses imunologik.
Kemampuan hidup dan daya proliferasi serta diferensiasi sel induk
hematopoitik tergantung pada lingkungan mikro sumsum tulang yang terdiri
dari sel stroma yang menghasilkan berbagai sitokin perangsang seperti GM-
CSF,G-CSF dan IL-6 dalam jumlah normal sedangkan sitokin penghambat
seperti interferon- (IFN-), tumor necrosis factor- (TNF-), protein
macrophage inflamatory 1 (MIP-1), dan transforming growth factor 2
(TGF-2) akan meningkat. Sel stroma pasien anemia aplastik dapat
menunjang pertumbuhan sel induk, tapi sel stroma normal tidak dapat
menumbuhkan sel induk yang berasal dari pasien. Berdasar temuan tersebut,
teori kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang sebagai penyebab
mendasar anemia apalstik makin banyak ditinggalkan.1
Kenyataan bahwa terapi immunosupresif memberikan kesembuhan
pada sebagian besar pasien anemia aplastic merupakan bukti meyakinkan
tentang peran mekanisme imunologik dalam patofisiologi penyakit ini.
Pemakaian gangguan sel induk dengan siklosporin atau metilprednisolon
memberi kesembuhan sekitar 75%, dengan ketahanan hidup jangka panjang
menyamai hasil tranplantasi sumsum tulang. Keberhasilan imunosupresi ini
sangat mendukung teori proses imunologik.1
Transplantasi sumsum tulang singeneik oleh karena tiadanya masalah
histokompabilitas seharusnya tidak menimbulkan masalah rejeksi meskipun
tanpa pemberian terapi conditioning. Namun Champlin dkk menemukan 4
kasus transplantasi sumsum tulang singeneik ternyata semuanya mengalami
kegagalan, tetapi ulangan transplantasi sumsum tulang singeneik dengan
didahului terapi conditioning menghasilkan remisi jangka panjang pada
semua kasus. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada anemia aplastic bukan
saja terjadi kerusakan sel induk tetapi juga terjadi immunosupresi terhadap
sel induk yang dapat dihilangkan dengan terapi conditioning.1

9
6. Gejala Klinis dan Hematologis
Gejala yang muncul berdasarkan gambaran sumsum tulang yang berupa:
Aplasia sistem eritropoitik, granulopoitik dan trombopoitik
Aktivitas relatif sistem limfopoitik dan sistem retikulo endothelial
(SRE)

Aplasia sistem eritropoitik dalam darah tepi akan terlihat sebagai


retikulositopenia yang disertai dengan merendahnya kadar hemoglobin,
hematokrit dan hitung eritrosit serta MCV (Mean Corpuscular Volume).
Secara klinis pasien tampak pucat dengan berbagai gejala anemia lainnya
seperti anoreksia, lemah, palpitasi, sesak karena gagal jantung dan
sebagainya. Oleh karena sifatnya aplasia sistem hematopoitik, maka
umumnya tidak ditemukan ikterus, pembesaran limpa (splenomegali), hepar
(hepatomegali) maupun kelenjar getah bening (limfadenopati).1

7. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada
tabel 4 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang
sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan
splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan
limfadenopati justru meragukan diagnosis.2

Jenis Pemeriksaan Fisik %


Pucat 100
Pendarahan 63
Kulit 34
Gusi 26
Retina 20
Hidung 7
Saluran cerna 6
Vagina 3
Demam 16
Hepatomegali 7
Splenomegali 0

Tabel 3. Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik

8. Pemeriksaan Penunjang

10
Pemeriksaan Laboratorium
o Apusan Darah Tepi
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu
ditemukan. Jenis anemianya adalah normokrom normositer.
Terkadang ditemukan makrositosis, anisositosis, dan
poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam
darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan
trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada
lebih dari 75% kasus.
Presentase retikulosit umumnya normal atau rendah.
Pada sebagian kecil kasus, persentase retikulosit ditemukan
lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap
beratnya anemia (corrected reticulocyte count) maka diperoleh
persentase retikulosit normal atau rendah juga. Adanya
retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia
aplastik.2

Gambar 2 Apusan Darah Tepi Anemia Aplastik

o Laju Endap Darah


Hasil pemeriksaan laju endap darah pada pasien
anemia aplastik selalu meningkat. Pada penelitian yang
dilakukan di laboratorium RSUPN Cipto Mangunkusumo
ditemukan 62 dari 70 kasus anemia aplastik (89%) mempunyai
nilai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam satu jam
pertama.2
o Faal Hemostasis
Pada pasien anemia aplastik akan ditemukan waktu
perdarahan memanjang dan retraksi bekuan yang buruk

11
dikarenakan trombositopenia. Hasil faal hemostasis lainnya
normal.2
o Biopsi Sumsum Tulang
Seringkali pada pasien anemia aplasti dilakukan
tindakan aspirasi sumsum tulang berulang dikarenakan
teraspirasinya sarang sarang hemopoiesis hiperaktif.
Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang pada setiap
kasus tersangka anemia aplastik. Dari hasil pemeriksaan
sumsum tulang ini akan didapatkan kesesuaian dengan kriteria
diagnosis anemia aplastik.2

Gambar 3 Sumsum Tulang Normal dan Aplastik

o Pemeriksaan Virologi
Adanya kemungkinan anemia aplastik akibat faktor
didapat, maka pemeriksaan virologi perlu dilakukan untuk
menemukan penyebabnya. Evaluasi diagnosis anemia aplastik
meliputi pemeriksaan virus hepatitis, HIV, parvovirus, dan
sitomegalovirus.2
o Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa
Jenis tes ini perlu dilakukan untuk mengetahui adanya
PNH sebagai penyebab terjadinya anemia aplastik.2
o Pemeriksaan Kromosom
Pada pasien anemia aplastik tidak ditemukan kelainan
kromosom. Pemeriksaan sitogenetik dengan fluorescence in
situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik dengan flow
cytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding,
seperti myelodisplasia hiposeluler.2
o Pemeriksaan Defisiensi Imun

12
Adanya defisiensi imun dalam tubuh pasien anemia
aplastik dapat diketahui melalui penentuan titer
immunoglobulin dan pemeriksaan imunitas sel T.2
o Pemeriksaan yang Lain
Pemeriksaan darah tambahan berupa pemeriksaan
kadar hemoglobin fetus (HbF) dan kadar eritropoetin yang
cenderung meningkat pada anemia aplastik anak.2

Pemeriksaan Radiologis
o Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Jenis pemeriksaan penunjang ini merupakan cara
terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan karena dapat
membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang
berlemak akibat anemia aplastik dan sumsum tulang selular
normal.

o Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning)


Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh
scanning tubuh setelah disuntuk dengan koloid radioaktif
technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum
tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada transferin.
Dengan bantuan pemindaian sumsum tulang dapat ditentukan
daerah hemopoiesis aktif untuk memperoleh sel sel guna
pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel sel induk.2
9. Diagnosis
Penegakan Diagnosis dan Manifestasi Klinis
Penegakan diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis berupa
panas, pucat, perdarahan, tanpa adanya organomegali (hepato
splenomegali). Gambaran darah tepi menunjukkan pansitopenia dan
limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan dengan pemeriksaan
biopsi sumsum tulang yaitu gambaran sel sangat kurang, banyak
jaringan penyokong dan jaringan lemak; aplasia sistem eritropoitik,
granulopoitik dan trombopoitik. Di antara sel sumsum tulang yang
sedikit ini banyak ditemukan limfosit, sel SRE (sel plasma, fibrosit,
osteoklas, sel endotel). Hendaknya dibedakan antara sediaan sumsum
tulang yang aplastik dan yang tercampur darah.1
Anemia aplastik dapat muncul tiba tiba dalam hitungan hari
atau secara perlahan (berminggu minggu hingga berbulan bulan).

13
Hitung jenis darah akan menentukan manifestasi klinis. Anemia
menyebabkan kelelahan, dispnea dan jantung berdebar debar.
Trombositopenia menyebabkan pasien mudah mengalami memar dan
perdarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan demam.2

Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap


dengan hitung jenis leukosit, hitung retikulosit, dan aspirasi serta
biopsi sumsum tulang. Pemeriksaan flow cytometry darah tepi dapat
menyingkirkan hemoglobinuria nokturnal paroksismal, dan
karyotyping sumsum tulang dapat membantu menyingkirkan sindrom
myelodisplastik. Adanya riwayat keluarga sitopenia dapat
meningkatkan kecurigaan adanya kelainan diwariskan walaupun tidak
ada kelainan fisik yang tampak.2

Anemia aplastik mungkin bersifat asimptomatik dan


ditemukan saat pemeriksaan rutin. Keluhan keluhan pasien anemia
aplastik sangat bervariasi. Perdarahan, badan lemah dan pusing
merupakan keluhan keluhan yang paling sering ditemukan.2

Keluhan Pasien Anemia Aplastik (N=70) (Salonder, 1983)


Jenis Keluhan %
Perdarahan 83
Badan lemah 30
Pusing 69
Jantung berdebar 36
Demam 33
Nafsu makan berkurang 29
Pucat 26
Sesak nafas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdengung 13

10. Penatalaksanaan
Terapi Suportif

14
Adanya terapi suportif bertujuan untuk mencegah dan
mengobati terjadinya infeksi dan perdarahan. Terapi suportif yang
diberikan untuk pasien anemia aplastik, antara lain:
o Pengobatan terhadap infeksi
Untuk menghindarkan pasien dari infeksi, sebaiknya
pasien dirawat dalam ruangan isolasi yang bersifat suci
hama. Pemberian obat antibiotika hendaknya dipilih yang
tidak memiliki efek samping mendepresi sumsum tulang,
seperti kloramfenikol.1

o Transfusi darah
Gunakan komponen darah bila harus melakukan
transfusi darah. Hendaknya harus diketahui bahwa tidak ada
manfaatnya mempertahankan kadar hemoglobin yang tinggi,
karena dengan transfusi darah yang terlampau sering, akan
timbul depresi terhadap sumsum tulang atau dapat
menyebabkan timbulnya reaksi hemolitik (reaksi transfusi),
akibat dibentuknya antibodi terhadap eritrosit, leukosit dan
trombosit. Oleh karena itu, transfusi darah diberikan atas
indikasi tertentu. Pada keadaan yang sangat gawat, seperti
perdarahan masif, perdarahan otak, perdarahan saluran cerna
dan lain sebagainya, dapat diberikan suspensi trombosit. 1

o Transplantasi sumsum tulang


Metode transplantasi sumsum tulang ditetapkan
sebagai terapi terbaik pada pasien anemia aplastik sejak tahun
1970. Donor sumsum tulang terbaik berasal dari saudara
sekandung dengan Human Leucocyte Antigen (HLA) yang
cocok. 1

11. Prognosis
Prognosis penyakit anemia aplastik bergantung pada:
1. Gambaran sumsum tulang hiposeluler atau aseluler.
2. Kadar Hb F yang lebih dari 200mg% memperlihatkan prognosis yang
lebih baik.
3. Jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis yang
lebih baik.

15
4. Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena kejadian
infeksi masih tinggi.
Gambaran sumsum tulang merupakan parameter yang terbaik untuk
menentukan prognosis.1
Remisi anemia aplastik biasanya terjadi beberapa bulan setelah
pengobatan (dengan oksimetolon setelah 2-3 bulan), mula mula terlihat
perbaikan pada sistem eritropoitik, kemudian sistem granulopoitik dan
terakhir sistem trombopoitik. Kadang kadang remisi terlihat pada sistem
granulopoitik lebih dahulu lalu disusul oleh sistem eritropoitik dan
trombopoitik. Untuk melihat adanya remisi hendaknya diperhatikan
jumlah retikulosit, granulosit/leukosit dengan hitung jenisnya dan jumlah
trombosit. Pemeriksaan sumsum tulang sebulan sekali merupakan
indikator terbaik untuk menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial
telah tercapai, yaitu timbulnya aktivitas eritropoitik dan granulopoitik,
bahaya perdarahan yang fatal masih tetap ada, karena perbaikan sistem
trombopoitik terjadi paling akhir. Sebaiknya pasien dibolehkan pulang
dari rumah sakit setelah hitung trombosit mencapai 50.000
100.000/mm3.1
Prognosis buruk dari penyakit anemia aplastik ini dapat berakibat
pada kematian yang seringkali disebabkan oleh keadaan penyerta berupa:
1. Infeksi, biasanya oleh bronchopneumonia atau sepsis. Harus waspada
terhadap tuberkulosis akibat pemberian kortikosteroid (prednison)
jangka panjang.
2. Timbulnya keganasan sekunder akibat penggunaan imunosupresif.
Pada sebuah penelitian yang dilakukan di luar negeri, dari 103 pasien
yang diobati dengan ALG, 20 penderita yang diterapi jangka panjang,
berubah menjadi leukemia akut, mielodisplasia, PNH, dan adanya
risiko terjadi hepatoma. Kejadian ini mungkin merupakan riwayat
alamiah penyakit anemia aplastik, namun komplikasi ini jarang
ditemukan pada penderita yang telah menjalani transplantasi sumsum
tulang.
3. Perdarahan otak atau abdomen, yang dikarenakan kondisi
trombositopenia.

16
BAB III

KESIMPULAN
Anemia aplastik merupakan jenis anemia yang ditandai dengan kegagalan
sumsum tulang dengan penurunan sel sel hematopoietik dan penggantiannya oleh
lemak, menyebabkan pansitopenia, dan sering disertai dengan granulositopenia dan
trombositopenia.

17
Secara etiologik, anemia aplastik dibagi menjadi dua, yaitu anemia aplastik
herediter dan anemia aplastik didapat. Jika tidak diketahui penyebab timbulnya
anema aplastik dalam tubuh seorang pasien, dapat dicurigai sebagai anemia aplastik
idiopatik.

Tidak ada perbedaan secara bermakna antara anak laki laki dan perempuan
yang menderita anemia aplastik, namun dalam beberapa penelitian tampak insidens
pada anak laki laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan.

Gejala gejala klinik yang tampak pada tubuh seorang pasien anemia aplastik
berupa tampak pucat, adanya tanda tanda perdarahan dan disertai dengan demam.

Penegakan diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan gejala klinis berupa


panas, pucat, perdarahan, tanpa adanya organomegali (hepato splenomegali), adanya
gambaran darah tepi yang menunjukkan pansitopenia dan limfositosis relatif.
Diagnosis pasti ditentukan dengan pemeriksaan biopsi sumsum tulang yaitu
gambaran sel sangat kurang, banyak jaringan penyokong dan jaringan lemak; aplasia
sistem eritropoitik, granulopoitik dan trombopoitik.

Pemberian terapi secara suportif pada pasien anemia aplastik berupa pengobatan
infeksi, pemberian transfusi darah dan tindakan transplantasi sumsum tulang dengan
HLA saudara kandung yang cocok.

Prognosis pasien anemia aplastik bergantung pada gambaran sumsum tulang


hiposeluler atau aseluler, kadar Hb F yang lebih dari 200mg% memperlihatkan
prognosis yang lebih baik, jumlah granulosit lebih dari 2000/mm 3 menunjukkan
prognosis yang lebih baik dan pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia
karena kejadian infeksi masih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

18
1. Permono H B, Sutaryo, Ugrasena, IDG, Windyastuti E, Abdulsalam
M.Anemia Aplastik. Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak IDAI.Cetakan
Keempat.Badan Penerbit IDAI.Jakarta.2012.Hal:10-15.
2. Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder.Anemia Aplastik.Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.Edisi IV.Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.Jakarta.2006.Hal:627-633.
3. A.V. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss.Anemia Aplastik dan Kegagalan
Sumsum Tulang.Kapita Selekta Hematologi.Edisi IV.EGC.Jakarta.2006.Hal:
83-87.
4. Kamus Kedokteran Dorland.Edisi ke 27.Jakarta:EGC.2005
5. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Volume I.Edisi VI.EGC.Jakarta.2006.Hal: 258-260.

19

You might also like