You are on page 1of 7

INFLAMMATORY DISORDERS OF

THE EYELIDS
BLEPHARITIS
It is a subacute or chronic inflammation of the lid
margins. It is an extremely common disease which
can be divided into following clinical types:
Seborrhoeic or squamous blepharitis,
Staphylococcal or ulcerative blepharitis,
Mixed staphylococcal with seborrhoeic blepharitis,
Posterior blepharitis or meibomitis, and
Parasitic blepharitis.
Seborrhoeic or squamous blepharitis
Etiology
.
It is usually associated with seborrhoea of
scalp (dandruff). Some constitutional and metabolic
factors play a part in its etiology. In it, glands of Zeis
secrete abnormal excessive neutral lipids which are
split by
Corynebacterium
acne
into irritating free fatty
acids.
Symptoms
.
Patients usually complain of deposition
of whitish material at the lid margin associated with
mild discomfort, irritation, occasional watering and a
history of falling of eyelashes.
Signs
.
Accumulation of white dandruff-like scales are
seen on the lid margin, among the lashes (Fig. 14.7).
On removing these scales underlying surface is found
to be hyperaemic (no ulcers). The lashes fall out
easily but are usually replaced quickly without
distortion. In long-standing cases lid margin is
thickened and the sharp posterior border tends to be
rounded leading to epiphora.
Treatment
.
General measures
include improvement
of health and balanced diet. Associated
seborrhoea
of the scalp
should be adequately treated.
Local
measures
include removal of scales from the lid margin
with the help of lukewarm solution of 3 percent soda
bicarb or baby shampoo and frequent application of
combined antibiotic and steroid eye ointment at the
lid margin.
Ulcerative blepharitis
Etiology
.
It is a chronic staphylococcal infection of
the lid margin usually caused by coagulase positive
strains. The disorder usually starts in childhood and
may continue throughout life. Chronic conjunctivitis
and dacryocystitis may act as predisposing factors.
Symptoms
.
These include chronic irritation, itching,
mild lacrimation, gluing of cilia, and photophobia. The
symptoms are characteristically worse in the morning.
Signs
(Fig. 14.8). Yellow crusts are seen at the root of
cilia which glue them together. Small ulcers, which
bleed easily, are seen on removing the crusts. In
between the crusts, the anterior lid margin may show
dilated blood vessels (rosettes).
Complications and sequelae
.
These are seen in long-
standing (non-treated) cases and include chronic
conjunctivitis, madarosis (sparseness or absence of
lashes), trichiasis, poliosis (greying of lashes), tylosis
(thickening of lid margin) and eversion of the punctum
leading to epiphora. Eczema of the skin and ectropion
may develop due to prolonged watering. Recurrent
styes is a very common complication.
Treatment
.
It should be treated promptly to avoid
complication and sequelae.
Crusts should be removed
Terjadi penurunan prevalensi kebutaan penduduk umur 6
tahun dari 0,9 persen (2007)
menjadi 0,4 persen (2013), sedangkan prevalensi katarak
semua umur tahun 2013 adalah
1,8 persen, kekeruhan kornea 5,5 persen, serta pterygium 8,3
persen. (riskesdas2013)

prevalensi pterygium, kekeruhan kornea, dan katarak secara


nasional berturut-turut adalah 8,3 persen; 5,5 persen; dan 1,8
persen. Prevalensi pterygium tertinggi ditemukan di Bali (25,2%),
diikuti Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara Barat (17,0%). Provinsi
DKI Jakarta mempunyai prevalensi pterygium terendah, yaitu 3,7
persen, diikuti oleh Banten 3,9 persen. Prevalensi kekeruhan
kornea tertinggi juga ditemukan di Bali (11,0%), diikuti oleh DI
Yogyakarta (10,2%) dan Sulawesi Selatan (9,4%). Prevalensi
kekeruhan kornea terendah dilaporkan di Papua Barat (2,0%) diikuti
DKI Jakarta (3,1%). Prevalensi katarak tertinggi di Sulawesi Utara
(3,7%) diikuti oleh Jambi(2,8%) dan Bali (2,7%).
Prevalensi katarak terendah ditemukan di DKI Jakarta (0,9%) diikuti
Sulawesi Barat (1,1%). Tiga alasan utama penderita katarak belum
dioperasi adalah karena ketidaktahuan (51,6%), ketidakmampuan
(11,6%), dan ketidakberanian (8,1%).
Gambar 3.15. 6 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium nasional
adalah sebesar 8,3 persen dengan prevalensi tertinggi ditemukan di
Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara Barat
(17,0%). Provinsi DKI Jakarta mempunyai prevalensi pterygium
terendah yaitu 3,7 persen, diikuti oleh Banten 3,9 persen.
Prevalensi kekeruhan kornea nasional adalah 5,5 persen dengan
prevalensi tertinggi juga ditemukan di Bali (11,0%), diikuti oleh DI
Yogyakarta (10,2%) dan Sulawesi Selatan (9,4%). Prevalensi
kekeruhan kornea terendah dilaporkan di Papua Barat (2,0%) diikuti
DKI Jakarta (3,1%).
Tabel 3.15.3 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium dan
kekeruhan kornea semakin meningkat dengan bertambahnya umur.
Tidak lazim pterygium terjadi pada anak umur 0-4 tahun, sehingga
data prevalensi pterygium pada anak balita dalam analisis ini dinilai
kurang valid.
Prevalensi kekeruhan kornea yang meningkat seiring bertambahnya
usia mungkin disebabkan karena kurangnya ke ahli an enumerator
dalam melakukan penilaian untuk kekeruhan kornea, sehingga data
yang dikumpulkan cenderung kurang valid. Prevalensi pterygium
dan kekeruhan kornea pada laki-laki cenderung sedikit lebih tinggi
dibanding prevalensi pada perempuan. Prevalensi pterygium dan
kekeruhan kornea yang paling tinggi (16,8% untuk pterygium dan
13,6% untuk kekeruhan kornea) ditemukan pada kelompok
responden yang tidak sekolah. Petani/nelayan/buruh mempunyai
prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea tertinggi (15,8% untuk
pterygium dan 9,7% untuk kekeruhan kornea) dibanding kelompok
pekerja lainnya. Tingginya prevalensi pterygium pada kelompok
pekerjaan tersebut mungkin berkaitan dengan tingginya paparan
matahari yang mengandung sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet
merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkankejadian
pterygium. Prevalensi kekeruhan kornea yang tinggi pada kelompok
pekerjaan petani/nelayan/buruh mungkin berkaitan dengan riwayat
trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata, mengingat
pemakaian alat pelindung diri saat bekerja belum optimal
dilaksanakan di Indonesia

Sistem indera merupakan salah satu sistem yang sangat berperan


dalam mengoptimalkan
proses perkembangan setiap individu. Sejak bayi sistem indera
merupakan alat utama manusia
untuk mengumpulkan berbagai informasi visual, audio, olfaktoris,
rasa, dan fisik. Informasi visual
ditangkap oleh mata (indera penglihatan), informasi audio ditangkap
oleh telinga (indera
pendengaran), informasi olfaktoris diterima oleh hidung (indera
penciuman), informasi rasa
ditangkap oleh lidah (indera perasa) dan informasi fisik diterima
melalui permukaan kulit (indera
peraba). Sekitar 90 persen informasi berupa informasi visual dan
audio, yang dikumpulkan
melalui indera penglihatan dan pendengaran. Pengukuran fungsi
indera yang lazim dilakukan
secara objektif adalah pengukuran fungsi penglihatan (tajam
penglihatan/visus) dan fungsi
pendengaran (tajam pendengaran).

Prevalensi severe low vision pada usia produktif (15-54 tahun)


sebesar 1,49 persen dan prevalensi kebutaan sebesar 0,5 persen.
Prevalensi severe low vision dan kebutaan meningkat pesat pada
penduduk kelompok umur 45 tahun keatas dengan rata-rata
peningkatan sekitar dua sampai tiga kali lipat setiap 10 tahunnya.
Prevalensi severe low vision dan kebutaan tertinggi ditemukan pada
penduduk kelompok umur 75 tahun keatas sesuai peningkatan
proses degeneratif pada pertambahan usia.

Konjungtiva
Konjungtiva adalah membrane mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaa anterior
sclera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi
palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat
ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada
forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva
bulbaris.

Angka keja-
dian pterigium di Desa Waai tahun 2013 sebesar
36,8% serta adanya hubungan antara paparan sinar
matahari ditinjau dari faktor pekerjaan dan lama
aktifitas diluar ruangan.
Etiologi pterygium belum diketahui secara pasti. Tapi penyakit ini lebih sering terjadi pada
orang yang hidup di daerah beriklim panas. Oleh karena itu, pandangan yang paling diterima
adalah respons terhadap efek lingkungan yang berkepanjangan seperti paparan sinar matahari
(Sinar ultraviolet), panas kering, angin kencang dan kelimpahan debu. (comprehensive)
Patologi
Patologis pterygium adalah kondisi degeneratif dan hiperplastik
penghubung. Jaringan subconjuncternal mengalami degenerasi elastotik dan berproliferasi
sebagai jaringan granulasi vaskularisasi di bawah epitel, yang akhirnya mengganggu kornea.
Epitel kornea, lapisan Bowman dan stroma superfisial dihancurkan.

Pembagianpterigiumberdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu progresif

dan regresif :

Progresifpterigium: tebal dan banyak pembuluh darah dengan beberapa infiltrat di depan

kepala pterigium(disebut cap pterigium).

Regresifpterigium: tipis, atrofi, sedikit pembuluh darah. Akhirnya membentuk membrane,

tetapi tidak pernah hilang.

Jenis.
Bergantung pada perkembangannya, pterygium progresif atau regresif.
Pterygium progresif bersifat kental, berdaging dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea, di
depan kepala pterygium (disebut pterygium).

Pterygium regresif bersifat tipis, atrofik, dilemahkan dengan vaskularitas sangat sedikit. Tidak ada topi
Akhirnya itu menjadi membran tapi tidak pernah hilang

Etiologi
Secara histologis pterygium identik dengan pinguecula.However, itu berbeda
Itu bisa tumbuh ke kornea; Kepala kelabu pterygium akan tumbuh secara bertahap menuju pusat kornea
Perkembangan ini diduga akibat adanya gangguan pada lapisan kornea Bowman, yang memberikan
substrat pertumbuhan yang diperlukan untuk pterygium. (opthalmologi)

Pterigium juga dibagi dalam 4 derajat yaitu :

1. Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea


2. Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus cornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati Kornea
3. Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil
mata ,dalam keadaan cahaya normal ( pupil dalam keadaan normal sekitar 3 4 mm)
4. Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.
Tesis langkat

Pembagian pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu progresif
dan regresif :

Progresif pterigium: tebal dan banyak pembuluh darah dengan beberapa infiltrat di depan
kepala pterigium(disebut cap pterigium).

Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit pembuluh darah. Akhirnya membentuk membrane,
tetapi tidak pernah hilang. (comprehensive)

You might also like