You are on page 1of 44

REFLEKSI KASUS

SEORANG ANAK 8 TAHUN DENGAN KEJANG DEMAM


KOMPLEKS, CEREBRAL PALSY TIPE DISKINETIK DAN
STATUS GIZI KURUS
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi salah satu syarat dalam
menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung

Oleh :
Puput Praharani Dewi
30101206705

Pembimbing:
dr.Firza Olivia Susan, Sp.A, M.Si, Med.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2017
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama Penderita : An. Y
Umur : 8 tahun 3 bulan 15 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Karangayu, Kendal
Nama Ayah : Bp. A.T.W.
Umur : 30 tahun
Pendidikan : SMU
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Pabrik Gula
Alamat : Karangayu, Kendal
Nama Ibu : Ibu. S.T.
Umur : 28 tahun
Pendidikan : SMU
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Karangayu, Kendal

B. DATA DASAR
Alloanamnesis dengan Ibu penderita dilakukan pada tanggal 14 Agustus
2017 pukul 13.00 WIB di ruang Dahlia RSUD Kendal dan didukung dengan
catatan medis.

KELUHAN UTAMA
Kejang
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
3 hari sebelum masuk rumah sakit anak demam, demam turun sesudah
diberi obat penurun panas lalu demam kembali, tidak menggigil. Kejang (-),
batuk (-) pilek (-) .Sejak 1 hari yang lalu pasien jika diberi makan atau minum
menjadi sulit menelan dan mual, muntah (-).BAB, BAK lancar jumlah cukup
tidak disertai nyeri, tidak ada darah. Pasien biasa mengkonsumsi obat anti
kejang sejak 7 tahun yang lalu, namun sejak 2 hari ini pasien tidak
mengkonsumsi obat tersebut karena sulit menelan.
1 jam sebelum masuk IGD pasien kejang 1 x selama 15 detik, lengan
terasa kaku, lidah menjulur dan tergigit, mata melotot ke atas dan kejang
terjadi seluruh tubuh disertai hilang kesadaran saat kejang. Sebelum dan
sesudah kejang pasien sadar. Setelah pasien dipindah ke bangsal Dahlia,
pasien mengalami kejang 6x dalam semalam. Lama kejang masing-masing
10-15 detik. Saat kejang lengan terasa kaku, lidah menjulur dan tergigit, mata
melotot ke atas dan kejang terjadi seluruh tubuh disertai hilang kesadaran saat
kejang. Sebelum dan sesudah kejang pasien sadar.
Riwayat kejang pertama kali terjadi saat usia 7 bulan, dan setelah itu
pasien mash sering mengalami kejang. Pasien pernah dirawat di RSDK
Semarang untuk melakukan serangkaian pemeriksaan berkaitan dengan kejang
dan gangguan perkembangan. riwayat jatuh dan mendapat benturan di kepala
disangkal. Riwayat tertusuk benda tajam dan kotor disangkal. Luka terjatuh
yang kotor disangkal.
Sampai saat ini pasien memiliki gangguan melihat dan mendengar, serta
belum bisa berdiri dan berjalan sehingga untuk keseharian pasien sangat
bergantung pada orangtua.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Anak pernah mengalami kejang demam sebelumnya. Penyakit lain yang
pernah diderita anak.
Flek/ TB : disangkal Enteritis : disangkal
TonsiloFaringitis : diakui Disentri basiler : disangkal
Pneumonia: disangkal Disentri amoeba : disangkal
Morbili : disangkal Thyp. Abdominalis : disangkal
Pertusis : disangkal Cacingan : disangkal
Varicella : disangkal Operasi : disangkal
Bronkitis : disangkal Trauma : disangkal
Malaria : disangkal Reaksi obat/ alergi : disangkal
Polio : disangkal Riwayat gangguan perkembangan
: diakui
Difteri : disangkal Riwayat batuk,pilek, mencret,
demam : diakui

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Keluarga tidak ada yang sakit seperti ini.

RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Ayah bekerja sebagai karyawan pabrik gula dan Ibu bekerja sebagai ibu
rumah tangga. Berobat dengan fasilitas BPJS non PBI kelas II. Kesan
ekonomi: cukup.

C. DATA KHUSUS
1. Riwayat kehamilan
Pasien merupakan anak pertama. Ibu memeriksakan kehamilan di bidan
secara teratur, sejak mengetahui kehamilan hingga usia kehamilan kurang
lebih 38 minggu. Pemeriksaan dilakukan 1x sebulan dan mendapat imunisasi
tetanus toksoid 1x. Tidak pernah menderita penyakit selama kehamilan.
Riwayat perdarahan saat hamil disangkal. Riwayat trauma saat hamil
disangkal. Riwayat minum obat tanpa resep dokter ataupun minum jamu
disangkal. Obat-obat yang diminum selama kehamilan adalah vitamin dan
tablet tambah darah.

2. Riwayat kelahiran
Lahir aterm (38 minggu), spontan, persalinan ditolong oleh bidan. Berat
badan lahir 2700 gram, panjang badan 49 cm, menangis dan kemerahan.
Kesan : neonatus aterm, CB, SMK, lahir secara spontan.

3. Riwayat Makan Minum


ASI diberikan sejak lahir sampai usia 6 bulan. Sejak usia 6 bulan
diberikan ASI + makanan pendamping berupa nasi tim atau kadang-kadang
diberi bubur instan.
Kesan: Kualitas dan kuantitas cukup.

4. Riwayat Imunisasi Dasar


No Imunisasi Berapa Kali Umur
1. BCG 1x 1 bulan

2. DPT 3x 2,4,6 bulan

3. Polio 4x 0,2,4,6 bulan

4. Hepatitis B 3x 0,1,6 bulan

5. Campak 1x 9 bulan

Kesan : imunisasi dasar lengkap

5. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Riwayat pertumbuhan : pada KMS garis selalu terlihat normal/ diatas garis
merah.
Riwayat Perkembangan: Senyum (usia 1 bulan), mengangkat kepala (usia
7 bulan) miring (usia 9 bulan), tengkurap (usia 12 bulan), duduk (usia 15
bulan), merangkak (belum bisa), berdiri (belum bisa), berjalan (belum
bisa), bubbling (usia 2 bulan), bicara (belum bisa).

Kesan :Pertumbuhan sesuai umur, Developmental Delay


Pemeriksaan Status Gizi
Diketahui:
Umur : 8 tahun 3 bulan 15 hari
BB : 23 kg
TB : 112 cm

IMT/U = Berat Badan-Median = 23 - 15,8 = 7,2 = -3,4


Median SD 15,8 -17,9 -2,1

Kesan : Status Gizi : Kurus

6. Riwayat KB Orang Tua


Ibu memakai KB IUD.

D. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 14 Agustus 2017 jam 13.30WIB
Umur : 8 tahun 3 bulan 15 hari
Berat badan : 23 kg
Panjang badan : 112 cm
Lingkar kepala : 44 cm (kesan : microcephal)
Suhu badan : 36C (axilla)
Nadi : 112 kali/menit, irama regular, isi dan tegangan
cukup, teraba kuat
Frekuensi nafas : 28 kali/menit
SpO2 : 95%

KESAN UMUM
Keadaan Umum
Composmentis, tampak lemas, tidak sesak dan gizi kurus.

Status Present :
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Kepala : microcephale
Kulit : tidak sianosis, Ptechie (-), Turgor baik
Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-),
Visus ODS (1/,1/,), katarak (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), secret (+), epistaksis (-), mucosa
Hyperemis (-/-)
Telinga: discharge (-/-), ADS (SNHL << SNHL)
Mulut : gusi berdarah (-), lidah kotor (-), sianotik (-), bibir kering (-),
caries dentis (+)
Tenggorokan : faring hiperemis (+), tonsil hiperemis (+), T2-T2
Leher : simetris, pembesaran kelenjar getah bening (-), kaku kuduk (-)

Thorax
Paru-paru :
Inspeksi : Hemithorax dextra sama dengan sinistra
Auskultasi : SD Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-),Ronkhi (-/-)
Palpasi : Strem femitus dextra dan sinistra simetris
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat, tidak melebar
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II regular, bising (-)
Perkusi : Konfigurasi batas-batas jantung dbn

Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar, simetris
Auskultasi : Peristaltik (+), Normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-), pembesaran organ (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Genitalia : perempuan, tidak ada kelainan
Extremitas : Atas (ka/ki) Bawah (ka/ki)
Capilary refill : < 2 < 2
Akral dingin : -/- -/-
R. Fisiologis : +/+ +/+
R. Patologis : -/- -/-
Kekuatan otot : 3/3 3/3
Tonus : hipotoni/hipotoni hipotoni/hipotoni

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 11 Agustus 2017 :
Darah rutin

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hb 13,1 g/l 11,5 - 16,5 g/dl

Leukosit 14.000 /uI 4000-10.000 /uI

Trombosit 247.000 / uI 150.000 - 500.000/uI

Hematokrit 39,3% 35 - 49%

Pemeriksaan laboratorium tanggal 15 Agustus 2017 :


Darah rutin

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hb 10,6 g/l 11,5 - 16,5 g/dl

Leukosit 5600 /uI 4000-10.000 /uI


Trombosit 275.000 / uI 150.000 - 500.000/uI

Hematokrit 34,8% 35 - 49%

E. ASSESMENT
Diagnosis Banding
1. Kejang Demam komplek
2. Kejang Demam Sederhana

Diagnosis kerja
1. Kejang demam Kompleks
2. Cerebral palsy tipe disginetik
3. Gizi kurus

1. Assesment : kejang demam kompleks


DD : Kejang demam simpleks

Initial plans :
Kejang demam Kompleks
Ip Dx
pemeriksaan kaku kuduk, pemeriksaan tanda rangsang
meningeal ( tes kaku kuduk, Burdzinski I-II)
Pemeriksaan Laboratorium Darah rutin, elektolit
EEG
CT-Scan
MRI

Ip Tx :
Infus RL 20 tpm
Inj cefotaxim 3 x 70 mg
Inj Ranitidin 2 x 25 mg
Inj Fenobabital 3 x 20 mg
Infus Paractamol 3 x 200 mg (k/p)

Ip Mx : KU, TTV, kejang ulangan


Ip Ex :
Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang
kembali
Memberitahukan cara penanganan kejang
Memberitahukan agar anak jangan sampai terlewat minum
obat.
Jika kejang beri diazepam per rektal dosis 0,5-0,75 mg/kg.
bila tetep kejang segera bawa rumah sakit.
Saat pasien kejang :
Tetap tenang dan tidak panic
Semua pakaian ketat dilonggarkan terutama sekitar
leher
Bila tidak sadar, posisikan anak telentang dengan
kepala penderita miring, mencegah aspirasi isi
lambung
Bersihkan muntahan atau lender di mulut dan
hidung jika ada
Mengusahakan jalan nafas agar bebas. Walaupun
ada resiko lidah tergigit, jangan masukkan apapun
ke dalam mulut
Ukur suhu tubuh, catat lama dan bentuk atau sifat
kejangnya
Tetap bersama anak selama kejang
Berikan diazepam per rektal. Jangan diberikan jika
kejang telah berhenti
Bawa ke dokter atau rumah sakit jika kejang
berlangsung lebih dari 5 menit

2. Assessment : Cerebral Palsy Tipe Diskinetik


DD : Cerebral Palsy Tipe Spastik

Initial plans Cerebral Palsy Tipe Diskinetik


Ip Dx :
Analisis Kromosom
Tyroid Function test
EEG
EMG
MRI kepala
CT scan kepala
Ip Tx :
Fisioterapi
Obat Anti Konvulsan
Konsul Sp.M untuk low vision
Konsul Sp.THT untuk SNHL
Ip Mx :
4 sektor perkembangan anak (motorik halus, motorik
kasar, bahasa, personal sosial)
Ip Ex :
Menjelaskan kepada orangtua tentang penyakit
Memberikan motivasi kepada orangtua untuk tetap
melatih perkembangan anak dirumah

3. Assessment : Gizi kurus


DD : Gizi kurus
Gizi buruk

Initial plans Gizi kurus


Ip Dx : S : kualitas dan kuantitas makan sehari-hari
O : berat badan pasien, IMT/U
Ip Tx : Kebutuhan kalori anak usia 8 tahun 3 bulan 15 hari, berat
badan 23kg
Kebutuhan kalorinya
( 22,7 x 23 kg ) + 495 = 1017,1
Yang terdiri dari :
- Karbohidrat : 60 % x 1017,1 = 610,26
kkal
- Lemak : 35 % x 1017,1 = 356 kkal
- Protein : 5 % x 1017,1= 50,8 kkal
Ip Mx :
Penimbangan BB secara rutin dan teratur
Pengukuran TB setiap bulan
Ip Ex :
Makan teratur
Asupan makanan yang bergizi seimbang

Prognosis
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad malam
Ad Sanationam : Dubia ad malam
FOLLOW UP PASIEN DI RUMAH SAKIT

tgl SOAP
14/8/ S Tidak mau minum
17
O KU : tampak lemas
Kesadaran : composmentis
HR : 112x/mnt
RR : 28x/mnt
Suhu : 35,2
Sp02 : 95%

Kepala : microcephal
Mata : ca (-/-) si (-/-)
Cor : BJ I-II reguler
Pulmo : sdv (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : nyeri tekan (-), BU (+) N
Kulit : ikterik (-), sianosis (-)
Ekstremitas sup, inf : AD (-/-),(-/-). OE (-/-),(-/-)
A KDK, Cerebral Palsy

P Inf RL 20 tpm
Inj Cefotaxim 3 x 750mg
Inj Ranitidin 2 x 25 mg
Pamol infus 200mg (k/p)

15/8/ S Demam (-), BAB/K lancar, Kejang (-)


17
O KU : tampak lemas
Kesadaran : composmentis
HR : 130x/mnt
RR : 30x/mnt
Suhu : 36,3
Sp02 : 92%

Kepala : microcephal
Mata : ca (-/-) si (-/-)
Cor : BJ I-II reguler
Pulmo : sdv (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : nyeri tekan (-), BU (+) N
Kulit : ikterik (-), sianosis (-)
Ekstremitas sup, inf : AD (-/-),(-/-). OE (-/-),(-/-)
A KDK , Cerebral Palsy

P Inf RL 20 tpm
Inj Cefotaxim 3 x 750mg
Inj Ranitidin 2 x 25 mg
Pamol infus 200mg (k/p)
Po. I Kalep 3 x 1 cth

16/8/ S Panas (-), kejang (-)


17
O KU : tampak lemas
Kesadaran : composmentis
HR : 120x/mnt
RR : 28x/mnt
Suhu : 36,5
Sp02 : 94%
Kepala : microcephal
Mata : ca (-/-) si (-/-)
Cor : BJ I-II reguler
Pulmo : sdv (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : nyeri tekan (-), BU (+) N
Kulit : ikterik (-), sianosis (-)
Ekstremitas sup, inf : AD (-/-),(-/-). OE (-/-),(-/-)
A KDK, Cerebral Palsy

P Inf RL 20 tpm
Inj Cefotaxim 3 x 750mg
Inj Ranitidin 2 x 25 mg
Pamol infus 200mg (k/p)
Po. I Kalep 3 x 1 cth
BLPL
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. KEJANG DEMAM KOMPLEKS


1. Definisi kejang demam
Kejang demam berdasarkan definisi dari The International League
Againts Epilepsy (Commision on Epidemiology and Prognosis, 1993)
adalah kejang yang disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38,4 oC
tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit akut
pada anak berusia di atas 1 bulan tanpa riwayat kejang tanpa demam
sebelumnya.
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 38C) yang disebabkan oleh suatu
proses ekstra kranium.
Ismael S. KPPIK-XI, 1983
Soetomenggolo T. Buku Ajar Neurologi Anak.1999.
Umur 6 bulan- 5 tahun.
Pernah kejang tanpa demam lalu kejang demam tidak termasuk kejang
demam.
Kejang demam pada umur < 1 bulan tidak termasuk kejang demam.
Kejang demam pada umur < 6 bln atau > 5 th pikirkan infeksi SSP,
Epilepsi disertai demam.
KD 2-4% populasi anak 6 bln -5 thn.

Tidak disebut kejang demam, bila terjadi kejang demam disertai :


a. Infeksi susunan saraf pusat
b. Gangguan elektrolit akut
c. terjadi pada anak berusia< 1 bulan
d. pernah kejang tanpa demam, kemudian menderita kejang demam
Faktor predisposisi timbulnya bangkitan kejang demam berhubungan dengan
1. Riwayat keluarga
2. Riwayat kehamilan dan persalinan
3. Gangguan perkembangan otak
4. Infeksi berulang

2. Klasifikasi
Kejang demamdi klasifikasikan menjadi:
Kejang demam sederhana Kejang demam kompleks
Berlangsung singkat, <15 menit Kejang lama >15 menit
Kejang umum tonik dan atau klonik, Kejang fokal atau parsial satu sisi,
umumnya berhenti sendiri, tanpa atau kejang umum didahului
gerakan fokal kejang parsial
Tidak berulang dalam waktu 24 jam Berulang dalam waktu 24 jam

Jika kejang demam berlangsung lebih dari 30 menit (baik kejang


tunggal maupun kejang berulang) tanpa pulihnya kesadaran di antara
kejang, diklasifikasikan sebagai febrile status epilepticus.
Klasifikasi kejang demam umumnya dibagi menjadi 2 golongan. Kriteria
di bawah ini dikemukakan oleh berbagai pakar dimana terdapat perbedaan
kecil dalam hal penggolongan tersebut.
Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan yaitu :
a. Kejang demam sederhana
b. Epilepsi yang dicetuskan oleh demam
Ciri kejang demam sederhana menurut Livingston yaitu kejang
bersifat sederhana, lama kejang berlangsung singkat ( < 15 menit ), usia
waktu kejang demam pertama muncul < 6 tahun, frekuensi serangan 1 4
kali dalam satu tahun, EEG normal. Kejang demam yang tidak sesuai
dengan ciri-ciri tersebut oleh Livingston disebut sebagai epilepsi yang
dicetuskan oleh demam.

Sedangkan menurut Fukuyama, kejang demam dibagi menjadi :


a. Kejang demam sederhana
b. Kejang demam kompleks
Kejang demam sederhana menurut Fukuyama harus memenuhi semua
kriteria berikut yaitu :
1. Di keluarga penderita tidak ada riwayat epilepsi
2. Sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun
3. Serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6 bulan 6
tahun
4. Lamanya kejang berlangsung tidak lebih dari 20 menit
5. Kejang tidak bersifat fokal
6. Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang
7. Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologis atau
abnormalitas perkembangan
8. Kejang tidak berulang dalam waktu singkat
Bila tidak memenuhi kriteria di atas, maka digolongkan ke dalam
kejang demam komplek.

3. Insiden
Dari penelitian oleh berbagai pakar didapatkan bahwa sekitar 2,2 5
% anak pernah mengalami kejang demam sebelum mereka mencapai usia
5 tahun.
Insiden kejang demam sering dijumpai pada anak laki-laki daripada
perempuan dengan perbandingan berkisar antara 1,4 : 1 dan 1,2 : 1.
Berdasarkan penelitian Lumbantobing pada 297 anak dengan kejang
demam, sebanyak 165 adalah anak laki-laki dan 132 anak perempuan
dengan perbandingan 1,25 : 1.

4. Etiologi demam pada kejang demam


Beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang
demam adalah :
1. Demam itu sendiri
2. Efek produk toksik dari mikroorganisme (kuman atau virus) terhadap
otak
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
5. Ensefalitis viral yang ringan yang tidak diketahui
6. Gabungan semua faktor tersebut di atas

DIAGNOSIS KEJANG DEMAM


Anamnesis
- Adanyakejang, jeniskejang, kesadaran, lama kejang
- Suhusebelum/saatkejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan
anak pasca kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf
pusat (gejala infeksi saluran napas akut/ISPA, infeksi saluran
kemih/ISK, otitis media akut/OMA, dansebagainya)
- Riwayat perinatal, riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan
epilepsy dalamkeluarga
Pemeriksaan Fisik
- Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran, suhu tubuh: apakah
terdapat demam
- Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Brudzinski I dan II, Kernique
- Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun-ubunbesar (UUB)
membonjol, papil edema
- Tanda infeksi di luar SSP: ISPA, ISK, OMA, dan sebagainya
- Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflekfisiologis, refleks
patologis7
PemeriksaanPenunjang
- Dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab demam atau
kejang. Pemeriksaan dapat meliputi darah rutin, gula darah, elektrolit,
urinalisis dan biakan darah, urin, atau feses.
- Pemeriksaan cairan serebro spinal untuk menegakkan/ menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk
menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena tanda
rangsang meningeal jarang ditemukan.
Usia kurang dari 12 bulan: sangat dianjurkan
Usia 12-18 bulan: dianjurkan
Usia>18 bulan tidak rutin dilakukan.
Dipikirkan meningitis jikaditemukan:
- Kejang demam pertama kali pada anak berusia<6 bulan
- Anak berusia<2 tahun: kejang demam kompleks, iritabel, letargi,
salah satu tanda/gejala meningitis, menurunnya kesadaran setelah
kejang lama/ terdapat defisit neurologis.8
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, tapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi atau mencari
penyebab, seperti darah perifer, elektrolit dan gula darah.
2. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas secara klinis,
oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:
a. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
b. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
c. Bayi >18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal.
3. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulang kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi
pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam
yang tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia
lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
4. Pencitraan
Foto X-ray kepala dan neuropencitraan seperti CT atau MRI jarang
sekali dikerjakan, tidak rutin dan atas indikasi, seperti a. kelainan
neurologik fokal yang menetap (hemiparesis) b. parese nervus VI c.
Papiledema

5. Penatalaksanaan
a. Terapi pada fase akut
- Penderita dimiringkan agar jangan terjadi aspirasi ludah atau
lendir dari mulut
- Jalan nafas dijaga agar tetap terbuka, bila perlu beri oksigen
- Monitor tanda vital, keadaan umum dan kesadaran
- Bila penderita belum sadar dan berlangsung lama, perhatikan
kebutuhan dan keadaan cairan, kalori dan elektrolit
- Suhu yang tinggi harus diturunkan dengan kompres hangat
- Selimut dan pembungkus badan harus dibuka agar pendinginan
badan berlangsung dengan baik
- Berikan obat penurun demam
- Berikan obat antikonvulsan
b. Pengobatan profilaksis terhadap kambuhnya kejang demam
- Profilaksis intermiten, pada waktu demam
- Profilaksis terus menerus dengan obat antikonvulsan tiap hari
- Mengatasi segera bila terjadi serangan kejang

Antikonvulsan pada saat kejang demam


Pemberian diazepam rektal pada saat kejang sangat efektif dalam
menghentikan kejang. Diazepam rektal diberikan segera saat kejang
berlangsung, dan dapat diberikan di rumah. Diazepam rektal yang
dianjurkan adalah 0,3-0,5mg/kgBB. Untuk memudahkan dapat digunakan
dosis: 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 kg, 10 mg untuk berat badan
lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak di
bawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun.
Kejang yang belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila
2 kali dengan diazepam masih kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dan
disini dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-05 mg/kgBB.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1
mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari, yaitu 12 jam setelah dosis awal.
Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus
dirawat di ruang intensif (ICU).

Pemberian obat pada saat demam


Pemberian antipiretik saat demam dianjurkan, walaupun tidak
ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko
terjadinya kejang demam. Antipiretik diberikan setelah kejang teratasi.
Dosis acetaminofen adalah 10-15 mg/kgBB/kali, diberikan 4x sehari dan
max pemberian 5x. Dosis ibuprofen adalah 5-10 mg/kgBB/kali, diberikan
3-4x sehari
Pemberian Anti Konvulsan dengan diazepam oral dosis 0,3
mg/kgBB setiap 8 jam saat demam dapat menurunkan resiko berulangnya
kejang, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgBB setiap 8
jam pada suhu > 38,5 C.

Pemberian obat rumatan


Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan resiko berulangnya kejang. Obat pilihan saat ini adalah
asam valproat meskipun dapat menimbulkan hepatitis namun insidennya
kecil.
Dosis asam valproat 15-40 mg/kgbb/hari dalam 2-3 dosis,
fenobarbital 3-4 mg/kgbb/hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan rumat hanya
diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah
satu):
- Kejang lama lebih dari 15 menit
- Adanya kelainan neurologist yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis,cerebral palsy, retardasi mental, hidrosephalus
- Kejang fokal.
- Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :
o Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
o Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
o Kejang demam 4x atau lebih per tahun.
Lama pengobatan rumat
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan
secara bertahap selama 1-2 bulan.
6. Edukasi
- Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya dapat teratasi
-Memberikan cara penanganan kejang
a. Tetap tenang dan tidak panik
b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama sekitar leher
c. Bila tidak sadar posisikan terlentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Jangan
masukkan
sesuatu ke dalam mulut
d. Ukur suhu, catat berapa lama dan bentuk kejang
e. Tetap bersama pasien selama kejang
f. Beri diazepam rektal hanya saat kejang
g. Bawa ke dokter atau pelayanan kesehatan lain bila kejang > 5 menit.
h. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali.
2. CEREBRAL PALSY
2.1 Definisi
Cerebral palsy merupakan kumpulan gejala kelainan perkembangan
motorik dan postur tubuh yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak
sejak dalam kandungan atau di masa kanak-kanak. Kelainan tersebut biasanya
disertai dengan gangguan sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi, tingkah laku,
epilepsi, dan masalah muskuloskeletal. Cerebral berarti bahwa penyebab
kesulitannya berada di otak, bukan di otot. Palsy dapat berarti memiliki kesulitan
dengan pergerakan dan postur tubuh.
Gejala cerebral palsy mulai dapat diamati pada anak-anak di bawah umur
3 tahun, yaitu manifestasi berupa hipotonia awal pada 6 bulan pertama hingga 1
tahun dan umumnya diikuti spastisitas. Cerebral palsy merupakan penyakit yang
tidak progresif. Pengaruh gangguan otak terhadap pergerakan dan postur tidak
hilang. Namun, efeknya pada tubuh bisa menjadi lebih atau kurang jelas seiring
berjalannya waktu. Misalnya pada penderita cerebral palsy yang dapat menjadi
semakin lebih baik dalam mengelola kesulitan mereka sebagai hasil dari
intervensi terapi.2, 4

2.2 Epidemiologi
Prevalensi cerebral palsy secara global berkisar antara 1-1,5 per 1.000
kelahiran hidup dengan insiden meningkat pada kelahiran prematur. Di negara
maju, prevalensi cerebral palsy dilaporkan sebesar 2-2,5 kasus per 1.000
kelahiran hidup sedangkan di negara berkembang berkisar antara 1,5-5,6 kasus
per 1.000 kelahiran hidup.2
Beberapa instansi kesehatan di Indonesia sudah mulai bisa mendata kasus
cerebral palsy, antara lain yaitu YPAC (Yayasan Pendidikan Anak Cacat) cabang
Surakarta jumlah anak dengan kondisi cerebral palsy pada tahun 2001 berjumlah
313 anak, tahun 2002 berjumlah 242 anak, tahun 2003 berjumlah 265 anak, tahun
2004 berjumlah 239 anak, sedangkan tahun 2005 berjumlah 118 anak, tahun 2006
sampai dengan bulan Desember berjumlah 112 anak, sedangkan tahun 2007
sampai dengan bulan Desember yaitu berjumlah 198 anak. Pada klinik tumbuh
kembang Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang sepanjang tahun 2005 mencatat
kunjungan pasien anak dengan diagnosis cerebral palsy sebanyak 2,16%.

2.3 Etiologi dan faktor resiko


Penyebabnya dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu prenatal, perinatal, dan
pascanatal.
1. Prenatal
Infeksi terjadi dalam masa kandungan menyebabkan kelainan pada
janin, misalnya oleh lues, toksoplasmosis, rubella, dan penyakit inklusi
sitomegalik. Kelainan yang mencolok biasanya gangguan pergerakan dan
retardasi mental. Anoksia dalam kandungan, terkena radiasi sinar x, dan
intoksikasi kehamilan dapat menimbulkan cerebral palsy.
2. Perinatal
a. Anoksia/hipoksia
Penyebab yang terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah
trauma kepala. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya anoksia.
Hal ini terdapat pada keadaan presentasi bayi abnormal, disproporsi
sefalo-pelvik, partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus
menggunakan instrumen tertentu, dan lahir dengan seksio kaesar.
b. Perdarahan otak
Perdarahan dan anoksia dapat terjadi bersama-sama sehingga sukar
membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak,
mengganggu pusat pernapasan, dan peredaran darah sehingga terjadi
anoksia. Perdarahan dapat terjadi di ruang subarakhnoid akan
menyebabkan penyumbatan cairan serebrospinal sehingga
mengakibatkan hidrosefalus. Perdarahan di ruang subdural dapat
menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spatis.
c. Prematuritas
Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan
otak lebih banyak dibandingkan bayi cukup bulan karena pembuluh
darah, enzim, faktor pembekuan darah, dan lain-lain masih belum
sempurna.
d. Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan
otak yang kekal akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya
pada kelainan inkompatibilitas golongan darah.
e. Meningitis purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat
pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa cerebral palsy.
3. Pascanatal
Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan
dapat menyebabkan cerebral palsy. Misalnya pada trauma kapitis,
meningitis, ensefalitis, dan luka parut pada otak pasca-operasi.7
Faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin
besar antara lain adalah: 2
a. Letak sungsang.
b. Proses persalinan sulit.
Masalah vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan merupakan
tanda awal yang menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak
bayi tidak berkembang secara normal. Komplikasi tersebut dapat
menyebabkan kerusakan otak permanen.
c. Apgar score rendah.
Apgar score yang rendah hingga 10-20 menit setelah kelahiran.
d. BBLR dan prematuritas.
Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir <2500gram dan
bayi lahir dengan usia kehamilan <37 minggu. Resiko akan meningkat
sesuai dengan rendahnya berat lahir dan usia kehamilan.
e. Kehamilan ganda.
f. Malformasi SSP.
Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan
malformasi SSP yang nyata, misalnya lingkar kepala abnormal
(mikrosefali). Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah telah terjadi pada
saat perkembangan SSP sejak dalam kandungan.
g. Perdarahan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir
kehamilan. Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan
dan peningkatan jumlah protein dalam urine berhubungan dengan
peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi
h. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.
Kejang pada bayi baru lahir

2.4 Klasifikasi
a. Berdasarkan keterlibatan alat gerak atau ekstremitas, yaitu:
1. Monoplegia, hanya satu anggota tubuh yang terserang (jarang
terjadi).
2. Hemiplegia, yang terserang adalah tangan dan kaki tetapi hanya satu
sisi.
3. Triplegia, menyerang lengan pada kedua sisi tubuh dan salah satu
kaki.
4. Diplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang tetapi lebih berat
pada bagian di bawah pinggang.
5. Quadriplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang semuanya.

b. Berdasarkan karakteristik disfungsi neurologis, yaitu


1. Spastik
Spastik merupakan bentuk terbanyak (70-80%). Otot mengalami
kekakuan dan secara permanen akan menjadi kontraktur. Jika tungkai
mengalami spastisitas, maka pada saat berjalan akan akan tampak bergerak
kaku dan lurus.
2. Atetosis
Kondisi ini melibatkan sistem ekstrapiramidal. Karakteristik yang
ditampakkan adalah gerakan-gerakan yang involunteer dengan ayunan
yang melebar. Atetosis dibagi menjadi:
a. Distonik, umumnya menyerang kaki dan lengan bagian proksimal.
Gerakan yang dihasilkan lambat dan berulang-ulang.
b. Diskinetik, didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan-
gerakan involunteer, tidak terkontrol, berulang-ulang, dan biasanya
melakukan gerakan stereotype.
3. Ataksia
Kondisi ini melibatkan cerebellum dan yang berhuungan dengannya.
Cerebral palsy tipe ini mengalami abnormalitas bentuk postur tubuh
dan/atau disertai dengan abnormalitas gerakan.
4. Campuran
Cerebral palsy campuran menunjukkan manifestasi spastik dan
atetosis.8
c. Gross Motor Function Classification System (GMFCS)
GMFCS terdiri dari 5 level yang menggambarkan gerak motorik kasar
pada anak-anak dengan cerebral palsy.
Level 1
Mampu berjalan di dalam dan luar rumah serta menaiki tangga tanpa
hambatan. Anak-anak juga bisa berlari dan melompat namun kecepatan,
keseimbangan, dan koordinasinya terganggu.
Level 2
Anak-anak mampu berjalan di dalam dan luar rumah serta menaiki
tangga dengan berpegangan pada alat bantu tetapi memiliki
keterbatasan berjalan di permukaan yang tidak rata maupun pada
tempat yang ramai atau sempit. Anak-anak tersebut memiliki
kemampuan yang minimum untuk berlari dan melompat.
Level 3
Mampu berjalan di dalam dan luar rumah menggunakan alat bantu,
menaiki tangga dengan berpegangan, dan bisa menggunakan kursi roda
sendiri atau ditransportasikan pada jarak yang jauh dan di luar rumah
pada permukaan yang tidak rata.
Level 4
Anak-anak bisa berjalan pada jarak yang dekat dengan menggunalan
walker atau dengan kursi roda di rumah, sekolah, dan komunitas.
Level 5
Memiliki pergerakan yang sangat terbatas dan kemampuan untuk
mempertahankan postur kepala dan badan terganggu. Semua fungsi
motorik terganggu. Anak-anak ini tidak bisa bergerak sendiri dan harus
ditransportasikan.9
d. Berdasarkan derajat kemampuan fungsional.
1. Ringan
Penderita masih bisa melakukan pekerjaan aktifitas sehari- hari
sehingga sama sekali tidak atau hanya sedikit sekali membutuhkan
bantuan khusus.
2. Sedang
Aktifitas sangat terbatas. Penderita membutuhkan bermacam-
macam bantuan khusus atau pendidikan khusus agar dapat mengurus
dirinya sendiri, dapat bergerak atau berbicara. Dengan pertolongan
secara khusus, diharapkan penderita dapat mengurus diri sendiri,
berjalan atau berbicara sehingga dapat bergerak, bergaul, hidup di
tengah masyarakat dengan baik.
3. Berat
Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak
mungkin dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan atau
pendidikan khusus yang diberikan sangat Sedikit hasilnya. Sebaiknya
penderita seperti ini ditampung dalam rumah perawatan khusus.
Rumah perawatan khusus ini hanya untuk penderita dengan retardasi
mental berat, atau yang akan menimbulkan gangguan sosial-
emosional baik bagi keluarganya maupun lingkungannya

2.5 Patofisiologi
Presentasi klinik yang tampak dapat disebabkan oleh abnormalitas
struktural yang mendasar pada otak; cedera yang terjadi pada prenatal awal,
perinatal atau postnatal karena vascular insufficiency; toksin atau infeksi risiko
risiko patofisiologi dari kelahiran prematur. Buktibukti yang ada menunjukkan
bahwa faktorfaktor prenatal berperan dalam 70 80 % kasus cerebral palsy.
Dalam banyak kasus, penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi hampir
sebagian besar kasus disebabkan oleh multifaktor. Selama periode prenatal,
pertumbuhan yang abnormal dapat terjadi kapan saja (dapat karena abnormalitas
yang bersifat genetik, toksik atau infeksi, atau vascular insufficiency).
Menurut Volpe, dalam perkembangan otak manusia terdapat beberapa
waktu penting, dan waktuwaktu puncak terjadinya, sebagai berikut:
1. Primary neurulation terjadi pada 3 4 minggu kehamilan.
2. Prosencephalic development terjadi pada 2 3 minggu kehamilan.
3. Neuronal proliferation penambahan maksimal jumlah neuron terjadi
pada bulan ke 3 4 kehamilan.
4. Organization pembentukan cabang, mengadakan sinaps, kematian sel,
eliminasi selektif, proliferasi, dan diferensiasi sel glia terjadi bulan ke 5
kehamilan sampai beberapa tahun setelah kelahiran.
5. Myelination penyempurnaan selsel neuron yang terjadi sejak
kelahiran sampai beberapa tahun setelah kelahiran.
Karena kompleksitas dan kerentanan otak selama masa perkembangannya,
menyebabkan otak sebagai subjek cedera dalam beberapa waktu. Cerebral
ischemia yang terjadi sebelum minggu ke20 kehamilan dapat menyebabkan
defisit migrasi neuronal, antara minggu ke24 sampai ke34 menyebabkan
periventricular leucomalacia (PVL) dan antara minggu ke34 sampai ke40
menyebabkan focal atau multifocal cerebral injury.
Cedera otak akibat vascular insufficiency tergantung pada berbagai faktor
saat terjadinya cedera, antara lain distribusi vaskular ke otak, efisiensi aliran darah
ke otak dan sistem peredaran darah, serta respon biokimia jaringan otak terhadap
penurunan oksigenasi.
Kelainan tergantung pada berat ringannya asfiksia yang terjadi pada otak.
Pada keadaan yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel atau iskemik
yang menyeluruh. Pada keadaan yang lebih ringan terjadi patchy necrosis di
daerah paraventrikular substansia alba dan dapat terjadi atrofi yang difus pada
substansia grisea korteks serebri. Kelainan dapat lokal atau menyeluruh
tergantung tempat yang terkena.
Stres fisik yang dialami oleh bayi yang mengalami kelahiran prematur
seperti imaturitas pada otak dan vaskularisasi serebral merupakan suatu bukti
yang menjelaskan mengapa prematuritas merupakan faktor risiko yang signifikan
terhadap kejadian cerebral palsy. Sebelum dilahirkan, distribusi sirkulasi darah
janin ke otak dapat menyebabkan tendensi terjadinya hipoperfusi sampai dengan
periventrikular white matter. Hipoperfusi dapat menyebabkan haemorrhage pada
matrik germinal yang berhubungan dengan kejadian diplegia spastik.
Pada saat di mana sirkulasi darah ke otak telah menyerupai sirkulasi otak
dewasa, hipoperfusi kebanyakan merusak area batas air korteks (zona akhir dari
arteri cerebral mayor), yang selanjutnya menyebabkan fenotip spastik
quadriplegia. Ganglia basal juga dapat terpengaruh dengan keadaan ini, yang
selanjutnya menyebabkan terjadinya ekstrapiramidal (seperti koreoatetoid atau
distonik). Kerusakan vaskular yang terjadi pada saat perawatan seringkali terjadi
dalam distribusi arteri serebral bagian tengah yang menyebabkan terjadinya
fenotip spastik hemiplegia.
Tidak ada halhal yang mengatur di mana kerusakan vaskular akan terjadi,
dan kerusakan ini dapat terjadi lebih dari satu tahap dalam perkembangan otak
janin. Autoregulasi peredaran darah serebral pada neonatal sangat sensitif
terhadap asfiksia perinatal yang dapat menyebabkan vasoparalysis dan cerebral
hyperemia. Terjadinya kerusakan yang meluas diduga berhubungan dengan
vaskular regional dan faktor metabolik, serta distribusi regional dari rangsangan
pembentukkan sinaps.
Pada waktu antara minggu ke-26 sampai dengan minggu ke-34 masa
kehamilan, area periventricular white matter yang dekat dengan lateral ventricles
sangat rentan terhadap cedera. Apabila area ini membawa fiber yang bertanggung
jawab terhadap kontrol motorik dan tonus otot pada kaki, cedera dapat
menyebabkan spastik diplegia (yaitu spastisitas utama dan kelemahan pada kaki,
dengan atau tanpa keterlibatan lengan dengan derajat agak ringan). Saat lesi yang
lebih besar menyebar sebelum area fiber berkurang dari korteks motorik, hal ini
dapat melibatkan centrum semiovale dan corona radiata, yang dapat
menyebabkan spastisitas pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah.
Suatu pengetahuan tentang urutan fase embrionik dan perkembangan otak
janin, dapat ditentukan kapan waktu terjadinya kerusakan otak. Suatu penemuan
tentang kelainan migrasi (disordered migration), seperti lissencephaly atau
heterotopia grey matter, mengindikasikan bahwa kerusakan yang terjadi sebelum
22 minggu masa gestasi akan mengganggu migrasi neuronal normal.
Periventricular leucomalacia (PVL) menunjukkan kerusakan pada white matter.
PVL pada umumnya simetris dan diduga disebabkan oleh iskemik white matter
pada anakanak prematur. Cedera asimetrik pada periventrikular white matter
dapat menyebabkan salah satu sisi tubuh lebih kuat daripada yang lainnya.
Keadaan ini menyebabkan gejala yang menyerupai spastik hemiplegia tetapi
karakteristiknya lebih menyerupai spastik diplegia. Matriks kapiler germinal
dalam daerah periventrikular, sebagian rentan terhadap cedera akibat hipoksik-
iskemik. Hal ini disebabkan karena lokasinya yang terletak pada zona batas
vaskular di antara zona akhir striate dan arteri thalamik.
Kerentanan otak janin terhadap PVL bervariasi tergantung pada usia
gestasi, mencapai puncak pada usia gestasi 22 minggu dengan satu langkah
penurunan pada awal kematian postnatal dan setelah PVL. PVL akan tampak
sebagai diplegia dan sekitar 70% bayi yang mengalami cerebral palsy dilahirkan
sebelum usia gestasi mencapai 32 minggu dan 30% bayi yang mengalami
cerebral palsy lahir tepat waktu (cukup bulan).
Volpe mengklasifikasikan sistem tingkatan untuk periventricular-
intraventricular hemorrhages, sebagai berikut :
a. Grade I adalah hemorrhage yang berdampak hanya perdarahan pada
subependymal (<10% dari area periventrikular terisi dengan darah).
b. Grade II adalah hemorrhage yang melibatkan 10 50% area
periventrikular.
c. Grade III adalah hemorrhage yang melibatkan >50% area
periventrikular
d. Beberapa ahli lain mengemukakan grade IV, yaitu ada tidaknya darah
parenchymal. Hal ini diduga tidak berhubungan dengan ekstensi
pendarahan ventrikular. Tetapi sebaliknya, hemorrhagic infarction dapat
berhubungan dengan periventricular-intraventricular hemorrhage.
Hiperbilirubin encephalopathy akut dapat menyebabkan bentuk cerebral
palsy diskinetik (atau ekstrapiramidal) yang dapat terjadi baik pada bayi lahir
cukup bulan yang ditandai dengan hiperbilirubinemia atau pada bayi prematur
tanpa ditandai hiperbilirubinemia. Kern ikterus mengacu pada encephalopathy
dari hiperbilirubinemia yang termasuk di dalamnya noda kelompok nuclear yang
spesifik dan nekrosis neuronal. Efekefek ini utamanya melibatkan ganglia
basalia, sebagian globus pallidus dan subthalamic nucleus; hippocampus;
substantia nigra; beberapa nervus cranial nuclei sebagian oculomotor,
vestibular, cochlear dan facial nerve nuclei; saraf batang otak seperti formasi
retikular pada pons; saraf olivary inferior, saraf cerebellar seperti pada dentate
dan horn cells anterior dari tulang belakang.
Halhal yang memberikan distribusi kerusakan dalam kernikterus,
kehilangan pendengaran dan kelainan gerakan (terutama koreoathetosis atau
distonia) adalah ciriciri utama hiperbilirubin encephalopathy. Dengan perbaikan
dalam manajemen awal hiperbilirubinemia, banyak kasus cerebral palsy
diskinetik (atau ekstrapiramidal) tidak berhubungan dengan riwayat
hiperbilirubinemia tetapi sebaliknya diduga berhubungan dengan hypoxic injury
pada ganglia basal. Dalam ketidakhadiran hiperbilirubinemia, prematuritas, atau
hipoksia, kemungkinan suatu kelainan metabolik atau neurodegeneratif sebagai
dasar fenotip perlu dipertimbangkan.
Cerebral palsy diskinetik berjumlah kurang lebih 10% dari semua bentuk
cerebral palsy, umumnya terjadi pada bayi cukup bulan. Kernikterus akibat
haemolitik pada bayi baru lahir terjadi akibat Rhesus isoimmunisation yang
menjelaskan peningkatan insiden pada dekade terakhir. Sosialisasi kebijakan
antenatal untuk memberikan antibodi anti-D pada ibu dengan Rhesus negatif
setelah kelahiran bayi dengan Rhesus positif telah menunjukkan eradikasi pada
seluruh bentuk cerebral palsy.
Status marmoratus adalah suatu akibat neuropatologi yang ditimbulkan
oleh neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy dan diduga lebih banyak terjadi
pada bayi cukup bulan daripada bayi prematur. Lesi ini adalah keadaan khusus
munculnya gumpalan karena suatu abnormalitas pembentukan myelin. Lesi ini
merusak ganglia basal dan thalamus yang menyebabkan fenotip cerebral palsy
diskinetik.

2.6 Manifestasi klinis


Manifestasi klinisnya tampak gangguan motorik berupa kelainan fungsi
dan lokalisasi serta kelainan bukan motorik yang menyulitkan gambaran klinis
cerebral palsy. Kelainan fungsi morik terdiri dari:
1. Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus
dan refleks Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap
dan tidak hilang meskipun penderita dalam keadaan tidur. Peninggian
tonus ini tidak sama derajatnya pada suatu gabungan otot, karena itu
tampak sikap yang khas dengan kecenderungan terjadi kontraktur,
misalnya lengan dalam adduksi, fleksi pada sendi siku, dan pergelangan
tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari
melintang di telapak tangan. Tungkai dalam sikap adduksi, fleksi pada
sendi paha dan lutut, kaki dalam plantar fleksi, dan telapak kaki berputar
ke dalam. Tonic neck reflex dan refleks neonatal menghilang pada
waktunya. Kerusakan biasanya terletak di traktus kortikospinalis.
Golongan spastisitas ini meliputi penderita cerebral palsy.
Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung pada letak dan besarnya
kerusakan, yaitu:
Monoplegia/monoparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi salah satu anggota
gerak lebih hebat dari yang lainnya.
Hemiplegia/hemiparesis
kelumpuhan lengan dan tungkai di sisi yang sama.
Diplegia/diparesis
kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat
daripada lengan.
Tetraplegia/tetraparesis
kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi lengan lebih atau sama
hebatnya dibandingkan dengan tungkai.

2. Tonus otot yang berubah


Bayi pada golongan ini pada usia bulan pertama tampak flaksid dan
berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada
lower motor neuron. Menjelang usia 1 tahun barulah terjadi perubahan
tonus otot dari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak
flaksid dan sikapnya seperti kodok terlentang tetapi bila dirangsang atau
mulai diperiksa tonus ototnya berubah menjadi spastik. Refleks otot yang
normal dan refleks Babinski negatif tetapi yang khas ialah refleks neonatal
dan tonic neck reflex menetap. Kerusakan biasanya terletak di batang otak
dan disebabkan oleh asfiksia perinatal atau ikterus. Golongan ini meliputi
10-20% dari kasus cerebral palsy.
3. Koreo-atetosis
Kelainan yang khas ialah sikap yang abnormal dengan pergerakan yang
terjadi dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama
tampak bayi flaksid tetapi sesudah itu barulah muncul kelainan tersebut.
Refleks neonatal menetap dan tampak adanya perubahan tonus otot. Dapat
timbul juga gejala spastisitas dan ataksia. Kerusakan terletak pada ganglia
basal dan disebabkan oleh asfiksia berat atau ikterus kern pada masa
neonatus. Golongan ini meliputi 5-15% dari kasus cerebral palsy.
4. Ataksia
Ataksia ialah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya
flaksid dan menunjukkan perkembangan motorik yang terlambat.
Kehilangan keseimbangan tampak bila mulai belajar duduk. Mulai
berjalan sangat lambat dan semua pergerakan canggung dan kaku.
Kerusakan terletak di cerebellum. Terdapat kira-kira 5% dari kasus
cerebral palsy.
5. Gangguan pendengaran
Gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nada tinggi
sehingga sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada golongan koreo-
atetosis dan pada 5-10% anak dengan cerebral palsy.
6. Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi mental. Gerakan
yang terjadi dengan sendirinya di bibir dan lidah menyebabkan sukar
mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak sulit membentuk kata-kata
dan sering tampak anak berliur.
7. Gangguan mata
Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan
refraksi. Pada keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak. Hampir
25% penderita cerebral palsy menderita kelainan mata.7
2.7 Diagnosis
Cerebral palsy merupakan diagnosis klinis yang dibuat berdasarkan
kewaspadaan terhadap faktor risiko, screening perkembangan regular pada bayi-
bayi yang berisiko tinggi, dan pemeriksaan neurologis. Seperti dalam semua
kondisi medis, pendekatan yang sistemastis berfokus pada riwayat maternal,
obstetrik, dan perinatal, tinjau perkembangan mental dan fisik anak
(developmental milestones), dan pemeriksaan neurologi seara menyeluruh serta
observasi anak dalam berbagai posisi seperti tengkurap, telentang, duduk, berdiri,
berjalan, dan berlari.
Tidak memungkinkan untuk mendiagnosis cerebral palsy pada bayi
berusia kurang dari 6 bulan kecuali pada kasus yang sangat parah. Pola dari
berbagai bentuk cerebral palsy muncul perlahan-lahan dengan petunjuk awal
adanya keterlambatan dalam perkembangan mental dan fisik anak dan tonus otot
yang abnormal. Pada cerebral palsy, riwayatnya tidak progresif. Milestones sekali
mendapatkan tidak ditemukan adanya regresi pada cerebral palsy. Tonus bisa
hipertonik atau hipotonia. Banyak hipotonia dini berubah menjadi spastisitas atau
distonia pada usia 2-3 tahun.
Tanda-tanda awal meliputi adanya preferensi tangan pada tahun pertama,
kelainan tonus berupa spastisitas atau hipotonia dengan berbagai distribusi,
adanya refleks neonatus yang abnormal, keterlambatan dalam refleks melindungi
dan postural, dan pergerakan yang tidak simetris. Refleks primitif seharusnya
menghilang secara bertahap pada usia 6 bulan. Di antara refleks primitif yang
paling berguna secara klinis adalah Moro, Tonic labyrinthine, dan Asymmetric
Tonic Neck Reflex (ATNR). Pada banyak kasus, diagnosis cerebral palsy tidak
memungkinkan hingga usia 12 bulan.
Pada pemeriksaan lebih lanjut pada anak-anak dengan cerebral palsy, EEG
dilakukan apabila terdapat riwayat epilepsi. Neuroimaging dilakukan jika belum
dilakukan pada masa nenonatus yang mendukung etiologi cerebral palsy. MRI
lebih dianjurkan dibanding CT-scan. Pemeriksaan genetik dan metabolik jika
terdapat bukti kemunduran atau kompensasi metabolik, riwayat keluarga dengan
gangguan neurologis di masa kanak-kanak berhubungan dengan cerebral palsy.
Pemeriksaan untuk menentukan koagulopati pada anak-anak dengan strok juga
penting.
Evaluasi lengkap pada anak dengan cerebral palsy meliputi pemeriksaan
penglihatan, berbicara, pendengaran, sensoris, epilepsi, dan fungsi kognitif.
Evaluasi ortopedi suatu keharusan karena ketidakseimbangan otot dan spastisitas
menyebabkan subluksasi/dislokasi panggul, deformitas equina, kontraktur, dan
skoliosis.11
2.8 Penatalaksanaan
Prinsip terapi:
- Meningkatkan kualitas hidup pada anak-anak yang terkena cerebral
palsy
- Memberikan fasilitas rehabilitasi dini
- Meningkatkan kapasitas fungsional anak untuk menjadi mandiri
- Menurunkan komplikasi cerebral palsy

Intervensi:
- Mengurangi spastisitas otot
- Mengontrol kejang karena kebanyakan resisten terhadap pengobatan
antiepilepsi yang konvensional
- Mencegah masalah ortopedi seperti subluksasi panggul, skoliosis,
deformitas equina, dan lain-lain.
- Meningkatkan kognitif, pembelajaran, dan memori untuk penerimaan
yang lebih baik12
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simptomatik. Pada keadaan ini perlu
kerja sama yang baik dan merupakan suatu tim antara dokter anak, neurolog,
psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, psikolog, fisioterapi,
occupational therapist, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa, dan orang tua
penderita.

Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut membantu
program latihan di rumah untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi
penderita pada waktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan
untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisioterapi ini dilakukan sepanjang
penderita hidup.
Pembedahan
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk
dilakukan pembedahan otot, tendon, atau tulang untuk reposisi kelainan tersebut.
Pembedahan stereotaktik dianjurkan pada penderita dengan pergerakan koreo-
atetosis yang berlebihan.

Pendidikan
Penderita cerebral palsy dididik sesuai dengan tingkat kecerdasannya di
sekolah luar biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak
yang normal. Mereka sebaiknya diperlakukan sama seperti anak yang normal,
yaitu pulang ke rumah dengan kendaraan bersama-sama sehingga mereka tidak
merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi
anak secara berlebihan dan untuk ini pekerja social dapat membantu di rumah
dengan nasehat seperlunya.

Farmakoterapi
Pada penderita dengan kejang diberikan obat antikonvulsan rumat yang
sesuai dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin, dan sebagainya.
Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, obat dari golongan benzodiazepine
dapat menolong, misalnya diazepam, klordiazepoksid (Librium), nitrazepam
(mogadon). Pada keadaan koreoatetosis diberikan artan. Imipramine (tofranil)
diberikan kepada penderita dengan depresi.7

2.9 Pencegahan
Beberapa penyebab CP dapat dicegah atau diterapi, sehingga kejadian CP
pun bisa dicegah. Adapun penyebab CP yang dapat dicegah atau diterapi antara
lain: 3
1. Pencegahan terhadap cedera kepala dengan cara menggunakan alat
pengaman pada saat duduk di kendaraan dan helm pelindung kepala saat
bersepeda, dan eliminasi kekerasan fisik pada anak. Sebagai tambahan,
pengamatan optimal selama mandi dan bermain.
2. Penanganan ikterus neonatorum yang cepat dan tepat pada bayi baru
lahir dengan fototerapi, atau jika tidak mencukupi dapat dilakukan
transfusi tukar. Inkompatibilitas faktor rhesus mudah diidentifikasi dengan
pemeriksaan darah rutin ibu dan bapak. Inkompatibilitas tersebut tidak
selalu menimbulkan masalah pada kehamilan pertama, karena secara
umum tubuh ibu hamil tersebut belum memproduksi antibodi yang tidak
diinginkan hingga saat persalinan. Pada sebagian besar kasus-kasus, serum
khusus yang diberikan setelah kelahiran dapat mencegah produksi antibodi
tersebut. Pada kasus yang jarang, misalnya jika pada ibu hamil antibodi
tersebut berkembang selama kehamilan pertama atau produksi antibodi
tidak dicegah, maka perlu pengamatan secara cermat perkembangan bayi
dan jika perlu dilakukan transfusi ke bayi selama dalam kandungan atau
melakukan transfusi tukar setelah lahir.
3. Rubella, atau campak jerman, dapat dicegah dengan memberikan
imunisasi sebelum
hamil.

2.10 Prognosis
Prognosis penderita dengan gejala motorik yang ringan adalah baik; makin
banyak gejala penyertanya (retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan
penglihatan dan pendengaran) dan makin berat gejala motoriknya, makin buruk
prognosisnya.

3. MALNUTRISI
Malnutrisi adalah suatu keadaan defisiensi, kelebihan atau
ketidakseimbangan protein energi dan nutrien lain yang dapat
menyebabkan gangguan fungsi pada tubuh1 . Secara umum malnutrisi
terbagi atas dua bagian yaitu undernutrisi dan overnutrisi. Undernutrisi
atau keadaan defisiensi terdiri dari marasmus, kwashiorkor, serta
marasmic kwashiorkor. Sedangkan overnutrisi atau kelebiahn nutrisi
lebih dikenal dengan obesitas.
I. Epidemiologi
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih
tinggi. Berdasarkan laporan propinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178
balita mengalami gizi buruk dan data Susenas tahun 2005 memperlihatkan
prevalensi balita gizi buruk sebesar 8.8%. Pada tahun 2005 telah terjadi
peningkatan jumlah kasus gizi buruk di beberapa propinsi dan yang
tertinggi terjadi di dua propinsi yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa
Tenggara Barat. Pada tanggal 31 Mei 2005, Pemerintah Propinsi Nusa
Tenggara Timur telah menetapkan masalah gizi buruk yang terjadi di NTT
sebagai KLB2.

II. Etiologi
a. Marasmus4
Secara garis besar sebab-sebab marasmus ialah sebagai berikut:
- Pemasukan kalori yang tidak cukup. Marasmus terjadi akibat
masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai
dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si
anak.
- Kebiasaan makan yang tidak tepat.
- Kelainan metabolik. Misalnya: renal asidosis, idiopathic
hypercalcemia, galactosemia, lactose intolerance.
- Malformasi kongenital. Misalnya: penyakit jantung bawaan,
penyakit Hirschprung, deformitas palatum, palatoschizis,
micrognathia, stenosis pilorus, hiatus hernia, hidrosefalus, cystic
fibrosis pankreas.
b. Kwashiorkor5
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein
yang berlangsung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan
kwashiorkor antara lain.
1. Pola makan
Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak
untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan
mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan mengandung
protein/ asam amino yang memadai. Bayi yang masih menyusui
umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya,
namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein dari sumber-sumber
lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan.
Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak
berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa
peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.
2. Faktor sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi,
keadaan sosial dan politik tidak stabil ataupun adanya pantangan
untuk menggunakan makanan tertentu dan sudah berlangsung turun-
turun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
3. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak
tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi
kebutuhan proteinnya.
4. Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP
dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi.
Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan
menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi.
c. Marasmic kwashiorkor6
Penyebab marasmic kwashiorkor dapat dibagi menjadi dua
penyebab yaitu malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder.
Malnutrisi primer adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh
asupan protein maupun energi yang tidak adekuat. Malnutrisi
sekunder adalah malnutrisi yang terjadi karena kebutuhan yang
meningkat, menurunnya absorbsi dan/atau peningkatan kehilangan
protein maupun energi dari tubuh.
d. Obesitas7
Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas
adalah suatu penyakit multifaktorial yang diduga bahwa sebagian besar
obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan
faktor lingkungan, antara lain aktifitas, gaya hidup, sosial ekonomi dan
nutrisional yaitu perilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu
dini pada bayi.
1. Faktor Genetik
Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperanan
besar. Bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi
obesitas; bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas
menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi
menjadi 14%. Mekanisme kerentanan genetik terhadap obesitas
melalui efek pada resting metabolic rate, thermogenesis non
exercise, kecepatan oksidasi lipid dan kontrol nafsu makan yang
jelek. Dengan demikian kerentanan terhadap obesitas ditentukan
secara genetik sedang lingkungan menentukan ekspresi fenotipe.
2. Faktor lingkungan
- Aktivitas fisik
Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara
aktifitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu
dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko
peningkatan berat badan sebesar = 5 kg. Penelitian terhadap
anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama
menunjukkan bahwa mereka yang nonton TV = 5 jam perhari
mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar
dibanding mereka yang nonton TV = 2 jam setiap harinya.
- Faktor nutrisional
Peranan faktor nutrisi dimulai sejak dalam kandungan
dimana jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi
berat badan ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak
dipengaruhi oleh : waktu pertama kali mendapat makanan padat,
asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak serta kebiasaan
mengkonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi.
Makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat sehingga
akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi
konsumsi yang berlebihan.
Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat
berlebihan, maka kelebihan energi dari karbohidrat sekitar 60-
80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai
kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan
lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga
sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak.
- Faktor sosial ekonomi
Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup,
pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi
pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Suatu
data menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir terlihat
adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan
aktifitas fisik, seperti: ke sekolah dengan naik kendaraan dan
kurangnya aktifitas bermain dengan teman serta lingkungan
rumah yang tidak memungkinkan anak-anak bermain diluar
rumah, sehingga anak lebih senang bermain komputer / games,
nonton TV atau video dibanding melakukan aktifitas fisik.
Selain itu juga ketersediaan dan harga dari junk food yang
mudah terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas.
III. Patofisiologi
Kekurangan energi protein (KEP) adalah manifestasi dari
kurangnya asupan protein dan energi, dalam makanan sehari-hari yang
tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG), dan biasanya juga diserta
adanya kekurangan dari beberapa nutrisi lainnya. Disebut malnutrisi
primer bila kejadian KEP akibat kekurangan asupan nutrisi, yang pada
umumnya didasari oleh masalah sosial ekonomi, pendidikan serta
rendahnya pengetahuan dibidang gizi. Malnutrisi sekunder bila kondisi
masalah nutrisi seperti diatas disebabkan karena adanya penyakit utama,
seperti kelainan bawaan, infeksi kronis ataupun kelainan pencernaan dan
metabolik, yang mengakibatkan kebutuhan nutrisi meningkat, penyerapan
nutrisi yang turun dan/meningkatnya kehilangan nutrisi.Makanan yang
tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan makanan
untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai dengan
pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein
dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stres katabolik (infeksi)
maka kebutuhan akan protein akan meningkat, sehingga dapat
menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada
saat status gizi masih diatas -3 SD (-2SD--3SD), maka terjadilah
kwashiorkor (malnutrisi akut/decompensated malnutrition). Pada
kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila stres
katabolik ini terjadi pada saat status gizi dibawah -3 SD, maka akan
terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus
dapat teradaptasi sampai dibawah -3 SD maka akan terjadilah marasmik
(malnutrisikronik/compensated malnutrition). Dengan demikian pada
malnutrisi dapat terjadi : gangguan pertumbuhan, atrofi otot, penurunan
kadar albumin serum, penurunan hemoglobin, penurunan sistem kekebalan
tubuh, penurunan berbagai sintesa enzim6
Sedangkan Obesitas terjadi karena adanya kelebihan energi yang
disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Gangguan keseimbangan energi
ini dapat disebabkan oleh faktor eksogen (obesitas primer) sebagai akibat
nutrisional (90%) dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat adanya
kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik (meliputi 10%).
IV. Manifestasi Klinik

Marasmus8 Kwshiorkor8 Obesitas7


Pertumbuhan Perubaha waja
berkurang atau n mental sampai h bulat dengan
berhenti apatis pipi tembem dan
Terlihat Anemia dagu rangkap
sangat kurus Perubaha leher
Penampil n warna dan tekstur relatif pendek
an wajah seperti rambut, mudah dada
orangtua dicabut / rontok membusung
Perubaha Gangguan dengan
n mental sistem gastrointestinal payudara
Cengeng Pembesar membesar
Kulit an hati - perut membuncit
kering, dingin, Perubaha dan striae
mengendor, keriput n kulit abdomen
Lemak Atrofi - pada anak laki-
subkutan menghilang otot laki : Burried
hingga turgor kulit Edema penis,
berkurang simetris pada kedua gynaecomastia
Otot punggung kaki, dapat - pubertas dini
atrofi sehingga kontur sampai seluruh tubuh. - genu valgum
tulang terlihat jelas (tungkai
Vena berbentuk X)
superfisialis tampak dengan kedua
jelas pangkal paha
Ubun bagian dalam
ubun besar cekung saling menempel
tulang dan bergesekan
pipi dan dagu yang dapat
kelihatan menonjol menyebabkan
mata laserasi kulit
tampak besar dan
dalam
Kadang
terdapat bradikardi
Tekanan
darah lebih rendah
dibandingkan anak
sebaya
*Manifestasi klinis dari marasmic-kwashiorkor merupakan campuran
gejala marasmus dan kwashiorkor

V. Diagnosis
1. Kekurangan Energi Protein:
Diagnosis ditegakkan dengan berdasarkan tanda dan gejala klinis
serta pengukuran antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila:
- BB/TB < -3 SD atau , 70 % dari median (marasmus)
- Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh
(kwashiorkor: BB/TB > - 3 SD atau marasmic kwashiorkor:
BB/TB < -3SD).
Jika BB/TB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak
tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai
jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat,
paha, tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa adanya edema.
Anak anak dengan BB/U <60% belum tentu gizi buruk, karena
mungkin anak tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus.
Anak seperti itu tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit,
kecuali jiak ditemukan penyakit lain yang berat.

VI. Penatalaksanaan

Tatalaksana umum malnutrisi energi protein:


Penilaian triase anak dengan gizi buruk dengan tatalaksana syok
pada anak dengan gizi buruk
- Penanganan umum meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 3 fase yaitu:
fase stabilisasi, fase transisi, fase rehabilitasi dan fase tindak lanjut.

You might also like