You are on page 1of 40

MEKANISME IMUNODEFISIENSI

1. MEKANISME IMUNODEFISIENSI
Imunodefisiensi adalah sekumpulan keadaan yang berlainan, dimana sistem kekebalan
tidak berfungsi secara adekuat, sehingga infeksi lebih sering terjadi, lebih sering berulang, luar
biasa berat dan berlangsung lebih lama dari biasanya. Jika suatu infeksi terjadi secara berulang
dan berat (pada bayi baru lahir, anak-anak maupun dewasa), serta tidak memberikan respon
terhadap antibiotik, maka kemungkinan masalahnya terletak pada sistem kekebalan. Gangguan
pada sistem kekebalan juga menyebabkan kanker atau infeksi virus, jamur atau bakteri yang
tidak biasa.
Imunodefisiensi atau defisiensi imun dapat dibagi menjadi :
Defesiensi imun non spesifik yang meliputi defesiensi komplemen, interferon dan lisozim, sel
NK dan sistem fagositosit.
Defesiensi imun spesifik yang meliputi defisiensi kongenital atau primer, defisiensi imun
spesifik fisologik, dan defesiensi imun yang didapat atau sekunder.
A. Defesiensi imun non spesifik
Defek primer pada imunitas non-spesifik
Imunitas humoral spesifik membutuhkan mekanisme efektor non-spesifik untuk kerjanya.
Mikroorganisme yang telah diopsonisasi oleh antibodi IgG siap untuk terikat dan difagosit oleh
sel fagosit. Lisis bakteri yang tergantung komplemen juga membutuhkan jalur komplemen
berfungsi dengan baik, demikian pula pada kompleks antibodi-komplemen.
Defek fungsi neutrofil
Peran utama neutrofil adalah memfagosit, menghancurkan dan mengolah
mikroorganisme yang menginvasi, terutama bakteri dan jamur. Defek pada neutrofil dapat
bersifat kuantitatif (neutropenia) atau kualitatif (disfungsi neutrofil), namun manifestasi klinisnya
sama.
Jumlah neutrofil yang bersirkulasi normalnya melebihi 1,5109/l. Neutropenia ringan
biasanya asimtomatik, namun derajat sedang sampai berat dihubungkan dengan peningkatan
risiko dan keparahan infeksi (infeksi akan mengancam nyawa bila jumlah neutrofil di bawah
0,5109/l). Neutropenia lebih umum ditemukan dibandingkan disfungsi neutrofil, dan penyebab
sekunder neutropenia lebih umum dibandingkan penyebab primernya, namun bentuk primer
(kongenital) ini bersifat fatal (Tabel 28-7). Neutropenia sering terjadi akibat efek samping dari
kemoterapi untuk penyakit keganasan.
Beberapa penyebab neutropenia
a. Penurunan produksi dengan hipoplasia sumsum

1. Primer
o Neutropenia kronik jinak
o Neutropenia siklikal
o Bentuk kongenital lainnya dan neutropenia familial
2. Sekunder

Obat sitotoksik
Leukemia
Anemia aplastik
Infeksi
Reaksi obat
b. Peningkatan destruksi dengan hiperplasia sumsum

1. Hipersplenisme
2. Neutropenia imun
Fungsi neutrofil dapat dibagi dalam beberapa stadium dan defek kualitatif dapat
diklasifikasikan sesuai tahapan fungsi yang terganggu. Pergerakan neutrofil yang menurun dapat
timbul tanpa dikaitkan dengan defek fagositosis dan mekanisme penghancuran. Fungsi
opsonisasi yang kurang karena defisiensi antibodi berat atau kadar C3 yang rendah dapat
meningkatkan kerawanan terhadap infeksi, hal ini diperberat bila neutrofil mempunyai fungsi
fagosit yang buruk, baik primer atau sekunder.
Apabila mekanisme penghancuran intraseluler gagal, bakteri yang difagosit dapat
bertahan dan berproliferasi di dalam lingkungan intraseluler, bebas dari efek antibodi dan
antibiotik. Contohnya adalah sindrom penyakit granulomatosa kronik (chronic granulomatous
disease, CGD), yang timbul akibat kegagalan produksi radikal oksigen bakterisidal selama
proses respiratory burst dalam aktivasi fagositosis. Tipe klasik CGD diturunkan sebagai kelainan
X-linked recessive, dan biasanya muncul dalam 2 bulan pertama, meskipun diagnosis mungkin
baru ditegakkan saat dewasa muda. Komplikasi yang muncul dapat berupa limfadenopati
regional, hepatosplenomegali, abses hepar dan osteomielitis. Tatalaksana CGD meliputi
antibiotik profilaksis (biasanya kotrimoksazol) dan antifungal bila diperlukan.

Defisiensi komplemen
Aktivitas komplemen yang rusak biasanya terjadi sekunder terhadap penyakit yang
menggunakan komplemen melalui jalur klasik atau alternatif. Contohnya adalah penyakit lupus
eritematosus sistemik yang mengkonsumsi jalur klasik kompenen komplemen C1, C4 dan C2
dan mengakibatkan rusaknya kemampuan komplemen untuk melarutkan kompleks imun.
Pada manusia, defisiensi komponen komplemen yang diturunkan dikaitkan dengan
sindrom klinik. Banyak pasien dengan defisiensi C1, C4 atau C2 mempunyai lupus-like
syndrome, seperti ruam malar, artralgia, glomerulonefritis, demam atau vaskulitis kronik dan
infeksi piogenik rekuren. Antinuklear dan antibodi anti-dsDNA dapat tidak ditemukan. Adanya
defisiensi komponen komplenen jalur klasik ini menurunkan kemampuan individu untuk
eliminasi kompleks imun.
Pasien dengan defisiensi C3 dapat terjadi secara primer atau sekunder, contohnya
defisiensi inhibitor C3b, seperti faktor I atau H akan meningkatkan risiko untuk terkena infeksi
bakteri rekuren. Individu biasanya terkena infeksi yang mengancam nyawa, seperti pneumonia,
septikemia dan meningitis.
Terdapat hubungan kuat antara defisiensi C5, C6, C7, C8 atau properdin dengan infeksi
neiseria rekuren. Biasanya pasien mempunyai infeksi gonokokus rekuren, terutama septikemia
dan artritis, atau meningitis meningokukos rekuren.
Defisiensi inhibitor C1 merupakan defisiensi sistem komplemen diturunkan yang paling
sering dan penyebab angioedema herediter.
Contoh dari penyakit yang disebabkan oleh defisiensi sistem komplemen adalah penyakit lupus.
Lupus merupakan penyakit yang menyerang perubahan sistem kekebalan perorangan, yang
sampai kini belum diketahui penyebabnya. Penyakit ini muncul akibat kelainan fungsi sistem
kekebalan tubuh. Dalam tubuh seseorang terdapat antibodi yang berfungsi menyerang sumber
penyakit yang akan masuk dalam tubuh. Uniknya, penyakit Lupus ini antibody yang terbentuk
dalam tubuh muncul berlebihan. Hasilnya, antibodi justru menyerang sel-sel jaringan organ
tubuh yang sehat. Kelainan ini disebut autoimunitas
Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk ke seluruh jaringan dengan dua cara yaitu :
Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh, seperti pada sel-sel
darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur. Inilah yang mengakibatkan penderitanya
kekurangan sel darah merah atau anemia. Kedua, antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat
perangsang pembentukan antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks imun. Gabungan
antibodi dan antigen mengalir bersama darah, sampai tersangkut di pembuluh darah kapiler
akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan normal, kompleks ini akan dibatasi oleh sel-sel
radang (fagosit) Tetapi, dalam keadaan abnormal, kompleks ini tidak dapat dibatasi dengan
baik. Malah sel-sel radang tadi bertambah banyak sambil mengeluarkan enzim, yang
menimbulkan peradangan di sekitar kompleks. Hasilnya, proses peradangan akan
berkepanjangan dan akan merusak organ tubuh dan mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal
ini akan terlihat sebagai gejala penyakit. Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka
panjang fungsi organ tubuh akan terganggu.
Umumnya penderita Lupus mengalami gejala seperti. kulit yang mudah gosong
akibat sinar matahari serta timbulnya gangguan pencernaan. Gejala umumnya penderita
sering merasa lemah, kelelahan yang berlebihan, demam dan pegal-pegal. Gejala ini terutama
didapatkan pada masa aktif, sedangkan pada masa remisi (nonaktif) menghilang. Pada kulit,
akan muncul ruam merah yang membentang di kedua pipi, mirip kupu-kupu. Kadang disebut
(butterfly rash). Namun ruam merah menyerupai cakram bisa muncul di kulit seluruh tubuh,
menonjol dan kadang-kadang bersisik.

B. Defesiensi Imun Spesifik


Klasifikasi defisiensi imun primer
Defisiensi imun humoral (sel B) Hipogamaglobulinemia x-linked (hipogamaglobulinemia
kongenital) Hipogamaglobulinemia transien (pada bayi)
Defisiensi imun tak terklasifikasi, umum, bervariasi (hipogamaglobulinemia didapat)
Defisiensi imun dengan hiperIgM
Defisiensi IgA selektif
Defisiensi imun IgM selektif
Defisiensi sub kelas IgG selektif
Defisiensi sel B sekunder berhubungan dengan obat, kehilangan protein
Penyakit limfoproliferatif x-linked
Defisiensi imun selular (sel T) Aplasia timus kongenital (sindrom DiGeorge) Kandidiasis
mukokutaneus kronik (dengan atau tanpa endokrinopati)
Defisiensi sel T berhubungan dengan defisiensi purin nukleosid fosforilase
Defisiensi sel T berhubungan dengan defek glikoprotein membran
Defisiensi sel T berhubungan dengan absen MHC kelas I dan atau kelas II (sindrom limfosit telanjang)
Defisiensi imun gabungan humoral (sel B) dan selular (sel T) Defisiensi imun berat gabungan
(autosom resesif, x-linked, sporadik)Defisiensi imun selular dengan gangguan sintesis imunoglobulin
(sindrom Nezelof)
Defisiensi imun dengan ataksia teleangiektasis
Defisiensi imun dengan eksim dengan trombositopenia (sindrom Wiskott-Aldrich)
Defisiensi imun dengan timoma
Defisiensi imun dengan short-limbed dwarfism
Defisiensi imun dengan defisiensi adenosin deaminase
Defisiensi imun dengan defisiensi nukleosid fosforilase
Defisiensi karboksilase multipel yang tergantung biotin
Penyakit graft-versus-host
Sindrom defisiensi imun didapat (AIDS)
Disfungsi fagosit Penyakit granulomatosis kronik Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase
Defisiensi mieloperoksidase
Sindrom Chediak-Higashi
Sindrom Job
Defisiensi tuftsin
Sindrom leukosit malas
Peninggian IgE, defek kemotaksis dan infeksi rekuren

Penyebab defisiensi antibodi primer


Usia (tahun) Anak Dewasa
<2 Transient hypogammaglobulinaemia of infancyX-linked Dapat terjadi, namun jarangD
agammaglobulinaemiaHyper-IgM with immunoglobulin namun jarang
deficiency
3-15 Selective antibody deficienciesCommon variable
immunodeficiencySelective IgA deficiency
16-50 Selective antibody deficiencie
variable immunodeficiencySe
deficiency
> 50 Antibody deficiencies with thy

Transient hypogammaglobulinaemia of infancy


Antibodi IgG maternal secara aktif ditransfer melalui plasenta ke sirkulasi fetal mulai dari
bulan ke-4 gestasional dan mencapai puncaknya saat 2 bulan terakhir. Saat lahir, bayi
mempunyai kadar IgG serum yang sama dengan ibu. Katabolisme IgG maternal hanya
dikompensasi sebagian oleh IgG yang dibentuk bayi. Periode 3-6 bulan merupakan fase
hipogamaglobulinemia fisiologik. Bayi normal tidak terlalu rawan terhadap infeksi karena
masih terdapat antibodi yang berfungsi meskipun kadar IgG rendah.
Namun kadar IgG akan sangat kurang apabila IgG yang didapat dari ibu sedikit, seperti
pada prematuritas. Bayi-bayi yang lahir pada minggu gestasi ke 26-32 mungkin membutuhkan
perawatan intensif agar dapat bertahan hidup, di sisi lain perawatan invasif dapat meningkatkan
risiko infeksi. Terapi pengganti imunoglobulin dapat bermanfaat pada bayi berat lahir rendah di
negara dengan prosedur invasif dan insidens infeksi bakteri cukup tinggi, sampai bayi tersebut
mampu memproduksi antibodi protektif sendiri.
Hipogamaglobulinemia transien juga dapat terjadi bila bayi lambat dalam memproduksi
IgG. Dengan menurunnya kadar IgG serum yang diperoleh dari ibu, bayi lebih rawan mendapat
infeksi piogenik rekuren. Pembentukan IgG secara spontan dapat membutuhkan waktu berbulan-
bulan. Keadaan ini harus dapat dibedakan dari hipogamaglubulinemia patologik, karena ada
perbedaan tatalaksana. Pada sebagian besar bayi, bayi tetap sehat dan tidak memerlukan terapi
spesifik, bahkan jika kadar imunoglobulin di bawah ambang normal. Apabila terjadi infeksi
berat, dapat diberikan antibiotik profilaksis. Hal ini mungkin dibutuhkan dalam jangka waktu 1-2
tahun sampai sintesis IgG endogen mencukupi.
X-linked agammaglobulinaemia (Brutons disease)
Anak laki-laki dengan X-linked agammaglobulinaemia (XLA) biasanya menunjukkan
infeksi piogenik rekuren antara usia 4 bulan sampai 2 tahun, biasanya rawan terhadap infeksi
enterovirus yang dapat mengancam nyawa.
Pada sebagian besar pasien, sel B matur tidak ada namun jumlah sel T normal atau
bahkan meningkat. Tidak ditemukan sel plasma pada sumsum tulang, nodus limfe atau saluran
cerna. Diferensiasi sel pre-B menjadi sel B tergantung pada enzim tirosin kinase (dikenal dengan
Brutons tyrosin kinase, Btk), yang mengalami defisiensi pada pasien XLA (Gambar 28-2). Gen
untuk enzim ini terletak pada lengan panjang kromosom X dan ekspresinya hanya terbatas pada
perkembangan sel B.
Diagnosis berdasarkan pada penemuan kadar semua isotop imunoglobulin serum yang
sangat rendah, tidak adanya limfosit B matur di sirkulasi dan mutasi gen Btk. Identifikasi gen
dapat berguna dalam mengidentifikasi perempuan karier yang asimtomatik, dan dilakukan saat
prenatal. Tatalaksana berupa imunoglobulin pengganti.
Hyper-IgM antibody deficiency
Beberapa anak dengan defisiensi antibodi mempunyai kadar IgM serum yang normal atau
meningkat. Anak-anak tersebut juga mempunyai risiko tambahan terhadap infeksi Pneumocystis
carinii, yang secara normal terjadi pada defek sel T. Hal ini menunjukkan defek pada defisiensi
antibodi ini tidak hanya terbatas pada defek sel B. Penyakit terkait kromosom X ini disebabkan
oleh kegagalan molekul aksesori ligan CD40 pada sel T, yang bereaksi dengan CD40 pada sel B
untuk merangsang perubahan IgM menjadi IgG atau IgA pada sel B yang terstimulasi antigen
(Gambar 28-2). Tatalaksana berupa imunoglobulin pengganti dan uji genetik untuk perempuan
karier.
Common variable immunodeficiency
Common variable immunodeficiency (CVID) merupakan penyakit heterogen yang terjadi
dapat pada anak atau dewasa. Banyak pasien tidak terdiagnosis sampai usia dewasa. Sebagian
besar pasien CVID mempunyai kadar IgG dan IgA serum yang sangat rendah dengan kadar IgM
normal atau sedikit menurun dan jumlah sel B yang normal. Meskipun jarang terjadi, namun
CVID merupakan defisiensi antibodi primer simtomatik yang paling umum terjadi. Terapi
berupa imunoglobulin pengganti.
Selective antibody deficiencies
Defisiensi selektif salah satu atau lebih subklas IgG sering tidak terdeteksi karena
kontribusi IgG1 terhadap IgG total yang relatif besar (70%) sehingga dapat mempertahankan
kadar IgG normal.
Aktivitas utama subklas antibodi menentukan jenis infeksi. Antibodi IgG2 mendominasi
respons antibodi pada anak lebih tua dan dewasa terhadap antigen polisakarida, seperti pada
organisme berkapsul, contohnya Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Oleh
karena itu defisiensi IgG2 menyebabkan individu terpajan terhadap infeksi saluran nafas
berulang, septikemia pneumokokus atau meningitis. Respons antibodi terhadap antigen protein
seperti virus atau toksoid, dikaitkan dengan subklas IgG1 dan IgG3. Pada pasien dengan
defisiensi salah satu subklas IgG, peningkatan kadar subklas IgG lain akan mengkompensasi
untuk menjaga kadar IgG normal.
Anak di bawah 2 tahun tidak berespons terhadap antigen polisakarida dan mempunyai
kadar IgG2 yang rendah. Respons antibodi spesifik IgG2 berkembang perlahan dan mencapai
kadar puncak seperti dewasa pada usia 4-6 tahun. Oleh karena itu, anak usia muda rawan terkena
infeksi oleh organisme berkapsul polisakarida. Defisiensi IgG1 dan IgG3 biasa terjadi
bersamaan, menyebabkan resposn imun yang kurang baik terhadap antigen protein dan dikaitkan
dengan infeksi rekuren. Defisiensi subklas IgG juga dikaitkan dengan defisiensi IgA dan
dikaitkan dengan masalah paru.
Selective IgA deficiencies
Defek ini merupakan defek primer yang sering ditemukan pada imunitas spesifik. Defek
ditandai dengan kadar IgA serum yang sangat rendah atau tidak terdeteksi dengan konsentrasi
IgG dan IgM yang normal. Defisiensi IgA selektif menyebabkan individu terpajan pada infeksi
bakteri rekuren, penyakit autoimun dan intoleransi makanan (susu). Sekitar 1/5 pasien dengan
defisiensi IgA selektif mempunyai antibodi terhadap IgA, sehingga dapat terjadi reaksi simpang
setelah tranfusi darah atau plasma.
Komplikasi defisiensi antibodi
Terdapat berbagai variasi komplikasi pada pasien dengan defisiensi antibodi. Sepsis
kronik pada saluran nafas atas dan bawah dapat menyebabkan otitis media kronik, ketulian,
sinusitis, bronkiektasis, fibrosis pulmonal dan kor pulmonal. Penyakit gastrointestinal ringan
seperti sindrom anemia pernisiosa lebih umun terjadi, namun berbeda dengan anemia pernisiosa
klasik. Pada anemia ini tidak terdapat autoantibodi terhadap sel parietal dan faktor intrinsik serta
terdapat atrofi gastritis pada seluruh lambung tanpa antral sparing. Diare, tanpa atau dengan
malabsorpsi, lebih sering disebabkan oleh infestasi Giardia lamblia, pertumbuhan bakteri
berlebihan di usus kecil atau infeksi persisten oleh Cryptosporidium, Campylobacter, rotavirus
atau enterovirus. Fenomena autoimun merupakan kejadian yang umum, sebanyak 15% muncul
sebagai anemia hemolitik autoimun dan trombositopenia autoimun. Artropati terjadi pada 12%
defisiensi antibodi. Beberapa pasien dapat terkena artritis kronik pada sendi besar dan artritis
monoartikular tanpa terdapat faktor reumatoid.
Pasien dengan X-linked agammaglobulinaemia dan CVID rawan terhadap infeksi kronik
echovirus, dan menyebabkan meningoensefalitis persisten. Pasien dengan defisiensi imun yang
melibatkan imunitas humoral dan/atau seluler mempunyai risiko 10-200 kali lipat untuk terkena
penyakit keganasan.
Kombinasi defisiensi primer sel T dan sel B
Depresi imunitas sel T biasanya disertai dengan variasi abnormalitas fungsi sel B. Hal ini
menunjukkan kerjasama sel T dan B dalam produksi antibodi terhadap sebagian antigen.
Defesiensi imun sekunder
Defisiensi imun spesifik fisiologik dapat berupa kehamilan, usia tahun pertama, dan usia
lanjut. Sedangkan defisiensi imun didapat atau sekunder merupakan defisiensi sekunder yang
paling sering ditemukan. Defisiensi tersebut mengenai fungsi fagosit dan limfosit akibat infeksi,
malnutrisi, terapi sitotoksik, dan lainnya. (tabel selengkapnya dilampirkan)
Malnutrisi. Malnutrisi dan defisiensi besi dapat menimbulkan depresi sistem imun
terutama pada imunitas seluler. Nutrisi buruk untuk jangka waktu lama dapat menghilangkan sel
lemak yang biasanya melepas hormone leptin yang merangsang sistem imun.
Infeksi. Campak dan virus lain dapat menginfeksi tubuh dan menginduksi supresi DTH
sementara. Jumlah sel T dalam sirkulasi dan respons limfosit terhadap antigen dan mitogen
menurun.
Obat, trauma, tindakan kateterisasi dan bedah. Antibiotik dapat menekan sistem imun.
Obat sitotoksik dapat mengganggu kemotaksis neutrofil. Sedangkan steroid dalam dosis tinggi
dapat menekan fungsi sel T dan inflamasi.
Penyinaran. Penyinaran dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, sedangkan dosis
rendah dapat menekan aktivitas sel Ts secara selektif.
Kehilangan immunoglobulin. Defisiensi Ig dapat terjadi akibat kehilangan protein yang
berlebihan seperti pada penyakit ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik ditemukan kehilangan
protein dan penurunan IgG dan IgA yang berarti, sedangkan IgM normal.
2. MEKANISME HIPERSENSITIVITAS
Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi dengan respon
imun berlebihan atau tidak tepat terhadap suatu benda asing. Hipersensitivitas terbagi menjadi 4
kelas (I-IV) :
o Reaksi anafilaksi
o Reaksi sitotoksik
o Reaksi imun kompleks
o Reaksi tipe lambat

Reaksi Hipersentivitas Tipe I

Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun
yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu
sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui
bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat
(reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan
lainnya.
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi
anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular
yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan
dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.
Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan
sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein.
Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan
gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala
rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE.
Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat
anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai
komplemen).
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of
anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang
sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF =
neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit
asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase
lambat.
Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya
terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam
beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan
basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik
reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi


hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast
masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi
alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat
membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat
terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan
permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.
Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat
dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan
sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan
sel lain.
Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) afau
eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik,
sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil
adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat
dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan
menarik sel lain, terutama eosinofil.
Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti telah diuraikan di atas
bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang
terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu
mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator
yang terbentuk kemudian (newly formed mediator). Menurut asalnya mediator ini juga
dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator
primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator
sekunder).
Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of
anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).
1. Histamin
Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin
dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada
dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah
kurang dari 1 ng/L akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/L setelah uji provokasi dengan
alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa
rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas
vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal,
hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan
kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi
gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang
usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat
mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.
Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat
(anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan
alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu
timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan
ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam
keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga
histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2
diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.
2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)
Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi
radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan
tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada
basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).
Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang
terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit
alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A
dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.
3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)
NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru
manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit
dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya
urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan
cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan
pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di
tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.
Mediator yang terbentuk kemudian
Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor
aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur
siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang
berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3).
1. Produk siklooksigenase
Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan
satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta
tromboksan A2 (TxA2).
Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk
PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi
trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama
reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).
Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat
bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan
kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali
PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin
menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan
pada alergi belum diketahui.
2. Produk lipoksigenase
Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang
membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan
kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang
dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta
merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi.
Slow reacting substance of anaphylaxis
Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama
dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua
jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari
histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari
histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi
mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat,
yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.
Faktor aktivasi trombosit (PAF = Platelet activating factor)
Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF
dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain
itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas
vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE.

Serotonin
Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna.
Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi
alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit
melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah.
Sitokin Dalam Regulasi Reaksi Alergi
Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa
sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi. Pada individu yang cenderung
untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE
(lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian
besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari
(pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya
penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik dapat
alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat
dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada
protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering
disebut sebagai alergen.
Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan
menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel
plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan
memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan
menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar
genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.
Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2.
Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNF, serta GM-CSF tetapi tidak
memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC)
yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian
memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata
sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga
mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan
dapat langsung dari sel mast atau dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast.
Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit
B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fc (FcRII) pada sel limfosit B.
Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor).
Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNF, tetapi dihambat oleh IFN, IFN,
TGF, PGE2, dan IL-I0
Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat
menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel
basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama pada sel
mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated upon
activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor)
yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi
pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen.
Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi
eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan
komplemen C5a, LTB4 dan PAF. Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang
terjadinya reaksi peradangan pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF
(nerve growth factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan
diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-
sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang
ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini
lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada
percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila
diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).
Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik yang diinduksi oleh kompleks komplemen
dengan antibodi sitotoksik IgM atau IgG. Reaksi ini terjadi sebagai respon terhadap obat yang
mengubah membran permukaan sel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan
oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin. Obat lain
yang bekerja melalui mekanisme ini antara lain sefalosporin, sulfonamida dan rifampis. Di sini
antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM dengan adanya komplemen
akan diberikan dengan antigen, sehingga dapat mengakibatkan hancurnya sel tersebut. Reaksi ini
merupakan reaksi yang cepat menurut Smolin (1986), reaksi allografi dan ulkus Mooren
merupakan reaksi jenis ini.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks imun.
Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat menyebabkan terjadinya
peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah kecil.
Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis herpes simpleks, keratitis karena
bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes
simpleks. Pada reaksi tipe III iini terdapat periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul,
yaitu periode yang dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang dapat mengaktivasi
komplemen. Reaksi terkadang baru timbul setelah obat dihentikan. Reaksi tersebut dapat pula
berupa reaksi setempat yang dikenal sebagai reaksi Arthus. Terdapat pembengkakan dan
kemerahan setempat pada tempat antigen berada, misalnya pada vaksinasi. Reaksi setempat ini
terjadi oleh karena penderita telah mempunyai kadar antibodi yang tinggi sehingga terjadi
presipitasi pada tempat masuk antigen yang terjadi dalam waktu 2 sampai 5 jam setelah
pemberian. Manifestasi utama berupa demam, ruam, urtikaria, limfadenopati dan artralgia.
Contoh obat tersebut antara lain penisilin, salisilat, sulfonamida, klorpromazin, tiourasil, globulin
antilimfositik dan fenitoin.
Penyakit oleh antibodi dan kompleks antigen-antibodi
(reaksi hipersensitivitas tipe ii dan iii)

Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target
antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II)
atau dengan membentuk kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi
hipersensitivitas tipe III)
Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated)
merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi
terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang
sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya
spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah
pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus
ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan
suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis.
Sindrom klinik dan pengobatan
Beberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau berhubungan
dengan autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan pengobatan
ditujukan terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi dan kerusakan jaringan
yang diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada kasus yang berat, digunakan
plasmapheresis untuk mengurangi kadar autoantibodi atau kompleks imun yang beredar dalam
darah.
Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringan
Penyakit Antigen target Mekanisme Manifestasi
klinopatolog
Anemia hemolitik Protein membran eritrosit (antigen Opsonisasi dan fagositosis Hemolisis, an
autoimun golongan darah Rh) eritrosit
Purpura trombositopenia Protein membran platelet Opsonisasi dan fagositosis platelet Perdarahan
autoimun (idiopatik) (gpIIb:integrin IIIa)
Pemfigus vulgaris Protein pada hubungan interseluler Aktivasi protease diperantarai Vesikel kulit
pada sel epidermal (epidemal antibodi, gangguan adhesi
cadherin) interseluler
Sindrom Goodpasture Protein non-kolagen pada membran Inflamasi yang diperantarai Nefritis, perd
dasar glomerulus ginjal dan alveolus komplemen dan reseptor Fc
paru
Demam reumatik akut Antigen dinding sel streptokokus, Inflamasi, aktivasi makrofag Artritis, miok
antibodi bereaksi silang dengan
antigen miokardium
Miastenia gravis Reseptor asetilkolin Antibodi menghambat ikatan Kelemahan o
asetilkolin, modulasi reseptor
Penyakit Graves Reseptor hormon TSH Stimulasi reseptor TSH Hipertiroidis
diperantarai antibodi
Anemia pernisiosa Faktor intrinsik dari sel parietal Netralisasi faktor intrinsik, Eritropoesis
gaster penurunan absorpsi vitamin B12 anemia

Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV


Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas
humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas
seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan
terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton-
jungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan keratitis diskiformis. ada reaksi hipersensitivitas
tipe lambat, limfosit bereaksi langsung dengan antigen, misalnya pada dermatitis kontak. Obat
topikal yang secara antigenik biasanya berbentuk hapten, bila berikatan dengan protein jaringan
kulit yang bersifat sebagai karier dapat merangsang sel limfosit T yang akan tersensitisasi dan
berproliferasi. Pada pajanan berikutnya, sel T yang sudah tersensitisasi akan teraktivasi dan
mengeluarkan sitokin yang menarik sel radang ke tempat antigen berada sehingga terjadi reaksi
inflamasi. Contoh obat yang sering menimbulkan reaksi tipe IV antara lain benzil alkohol,
derivat merkuri, neomisin, nikel, antibiotik topikal, krim steroid, antihistamin topikal, anestesi
lokal, serta beberapa zat aditif yang sering terdapat pada obat topikal seperti parabens atau
lanolin.
Penyakit Oleh Limfosit T (Reaksi Hipersensitivitas Tipe Iv)
Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal
dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih
ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.

Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun.
Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang
distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell
mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat
sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi
mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M.
tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi.
Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat
infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi
sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi
menyebabkan kerusakan jaringan hepar.
Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat
disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+
atau sel lisis oleh CD8+ CTLs
Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T
untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap
antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan
mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari
makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang
berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh
sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan
keduanya berperan pada kerusakan jaringan.
3. IMUNOLOGI INFEKSI
Berbagai bentuk mikroorganisme penyebab infeksi dapat menimbulkan penyakit, yang
bila dibiarkan berkembang biak, bahkan dapat membunuh pejamu. Respons imun yang
dibutuhkan sangat bervariasi. Letak infeksi serta tipe patogen akan menentukan respons imun
mana yang efektif. Di antara patogen terdapat yang dapat mengadakan invasi ke dalam sel
pejamu. Manifestasi penyakit infeksi bukan hanya merupakan akibat langsung ulah
patogenrobial, namun juga interaksinya dengan sistem imun pejamu. Respons imun terhadap
patogen ekstraselular dan intraseluler berbeda. Sistem imun pada patogen ekstraselular ditujukan
untuk menghancurkan patogen serta menetralisir produknya, pada patogen intraseluler sel T
dapat menghancurkan sel yang terinfeksi, dalam kata lain sitotoksik, atau dapat mengaktivasi sel
untuk menghadapi patogen. Pada infeksi bakteri antibiotik digunakan secara luas sebagai obat-
obat bakteriostatik atau bakteriosidik, namun infeksi bakteri intraseluler belum dapat tertangani
dengan mantap. Hal ini ini sebagian berasal dari ketidak-mampuan obat untuk mencapai
organisme penyebab dan/atau bekerja secara efektif dalam lingkungan intraseluler.
Bakteri Intraseluler
Secara umum bakteri yang dapat masuk dan tetap hidup dalam sel eukariositik terlindung
dari antibodi humoral dan hanya dapat dieliminasi oleh respons imun seluler. Bakteri ini harus
memiliki mekanisme khusus untuk memproteksi dirinya dari dampak ensim- ensim lisosomal
dalam sel. Terdapat 3 kelompok bakteri dipandang dari sisi kemampuan invasi ke dalam sel
eukariositik yaitu bakteri intraseluler fakultatif, bakteri intraseluler obligat, dan bakteri
ekstraseluler. Termasuk dalam kelompok intraseluler fakultatif adalah Salmonella spp, Shigella
spp, Legionella pneumophili, Invasive Escherichia coli, Neisseria spp Mycobacterium spp,
Listeria monocytogenes, Bordetella pertussis. Dalam kelompok intraseluler obligat termasuk
Rickettsia spp, Coxiella burnetti, Chlamydia spp. Sebagai contoh bakteri ekstraseluler adalah
Mycoplasma spp, Pseudomonas aeruginosa, Enterotoxigenic Escherichia coli, Vibrio cholerae,
Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Haemophylus influenzae, Bacillus anthracis.
Respons Pejamu Terhadap Infeksi
Pertahanan tubuh terhadap infeksi dengan mikroorganisme patogen terjadi dengan
berbagai cara. Pertama, pertahanan non-spesifik (innate) dengan mengeluarkan agen infeksi atau
membunuhnya pada kontak pertama. Bilamana patogen menimbulkan infeksi, berbagai respons
non-adaptif dini penting untuk mengendalikan infeksi dan mempertahankan pengawasan
terhadapnya, sampai terbentuk respons imun adaptif. Respons imun adaptif memerlukan waktu
beberapa hari, mengingat limfosit T dan B harus menemukan antigen spesifik untuk mengadakan
proliferasi, dan berdiferensiasi menjadi sel efektor. Respons sel B yang tergantung pada sel T (T-
cell dependent B-cell responses) tidak akan dapat dimulai sebelum sel mempunyai kesempatan
untuk mengadakan proliferasi dan diferensiasi. Terdapat perbedaan mendasar antara respons
imun terhadap patogen ekstraselular dan intraseluler. Bagi patogen ekstraselular sistem imun
ditujukan untuk menghancurkan pathogen-nya sendiri serta menetralisir produknya. Dalam
merespons patogen intraseluler terdapat 2 pilihan, sel T dapat bersifat sitotoksik menghancurkan
sel yang terinfeksi, atau dapat mengaktivasi sel untuk menghadapi patogen tersebut. Sebagai
contoh, adalah sel penolong T (helper T cells) melepas sitokin yang akan mengaktivasi makrofag
untuk menghancurkan organisme yang telah mengalami endositosis. Banyak patogen memiliki
fase infeksi intraseluler dan ekstraselular, dan mekanisme respons imun yang efektif akan
berbeda dari waktu ke waktu. Berikut akan dibicarakan sekilas tentang respons imun secara
umum.
Imunitas Non-Spesifik (Innate Immune Response)
Respons ini terjadi segera tanpa memerlukan kontak dengan mikroba sebelumnya;
dengan kata lain merupakan pertahanan pertama bagi tubuh. Respons innate tidak spesifik, dan
berlaku bagi setiap patogen. Respons terhadap bakteri yang mengadakan invasi disertai proses
inflamasi pada tempat infeksi dimana cairan, sel, bahan-bahan yang terlarut merembes keluar
dari darah menuju jaringan. Kejadian ini disertai kemerahan setempat, pembengkakan, serta
demam. Inflamasi bertujuan memusatkan agen pertahanan tubuh ke lokasi yang membutuhkan.
Selama inflamasi sel-sel fagosit seperti neutrofil dan makrofag, meninggalkan aliran darah dan
bermigrasi menuju tempat infeksi sebagai respons tehadap kemikal (chemoattractants) yang
dilepaskan di tempat tersebut. Sesampainya pada tempat tersebut, sel-sel fagosit mengenali,
menelan (engulf), serta menghancurkan patogen. Darah juga mengandung rangkaian protein
terlarut yang dinamakan komplemen, yang dapat melubangi membran plasma sel bakteri, dengan
akibat lisis dan kematian sel. Respons imun innate terutama efektif terhadap bakteri tertentu,
yang pada dinding selnya terdapat polisakharida unik sehingga segera dikenali sel pejamu
sebagai asing. Pada respons innate terhadap patogen intraseluler, seperti virus, sasaran utama
adalah sel-sel yang sudah terinfeksi. Sel terinfeksi virus tertentu dikenali oleh limfosit non-
spesifik, disebut sel natural killer (NK). Sesuai dengan namanya, sel NK mengakibatkan
kematian sel yang terinfeksi dengan menginduksi sel terinfeksi menuju apoptosis. Sel NK juga
membunuh sel kanker tertentu (in vitro) dan melengkapi dengan mekanisme menghancurkan sel
sebelum sel berkembang menjadi tumor. Sel normal (tidak terinfeksi dan tidak ganas)
mengandung molekul permukaan yang melindungi terhadap serangan sel NK. Respons antivirus
lain dimulai dalam sel yang terinfeksi sendiri. Sel terinfeksi virus ini memproduksi interferon-
(IFN-) yang disekresi ke dalam ruang ekstraseluler, dimana akan terikat pada permukaan sel
yang tidak terinfeksi sehingga kebal terhadap infeksi berikutnya. Cara kerja interferon ini adalah
dengan cara mengaktivasi suatu sinyal transduction pathway dengan akibat phosphorilasi yang
diikuti translasi faktor elF2. Sel yang mengalami respons ini tidak dapat mensintesa protein virus
yang diperlukan untuk replikasi virus.

Respons Imun Adaptif


Respons imun adaptif memerlukan waktu agar dapat mempersiapkan sistem imun untuk
menghadapi agen asing. Respons ini sangat spesifik, dan hanya ditujukan untuk molekul-
molekul yang spesifik pada bahan-bahan asing. Sebagai contoh, darah seseorang yang baru
sembuh dari sakit campak mengandung antibodi yang mengadakan reaksi dengan virus campak.
Berbeda dengan imunitas innate terhadap mikroba dan parasit yang dimiliki oleh semua
binatang, hanya vertebrata yang dapat membentuk imunitas adaptif. Respons imun didapat
dibagi dalam 2 kategori yaitu imunitas humoral, yang dilaksanakan oleh antibodi (protein dalam
darah yang tergolong dalam superfamili imunoglobulin), dan imunitas dimediasi sel, yang
dilaksanakan oleh sel. Kedua tipe imunitas didapat ini dimediasi oleh limfosit, yaitu leukosit
berinti, yang beredar di antara darah dan organ limfoid. Imunitas humoral dimediasi oleh sel-B
(limfosit-B), yang setelah diaktivasi mengsekresi antibodi. Antibodi ditujukan terutama pada
pada bahan asing di luar sel pejamu. Termasuk disini komponen protein dan polisakharida
dinding sel bakteri, toksin bakteri, dan protein sampul virus. Dalam beberapa kasus antibodi
dapat terikat pada toksin bakteri atau partikel virus, sekaligus mencegah nya umtuk masuk ke
dalam sel pejamu. Selain itu antibodi dapat berfungsi sebagai molecular tags yang terikat pada
patogen yang masuk dan menandainya untuk dimusnahkan. Sel bakteri yang dilapisi molekul
antibodi cepat dicerna oleh makrofag yang berkeliling (wandering) atau dihancurkan molekul
komplemen yang diangkut dalam darah. Antibodi tidak efektif untuk patogen intraseluler,
sehingga diperlukan sistem senjata tipe ke dua. Imunitas dimediasi sel dilaksanakan oleh
limfosit T (sel-T), yang bila teraktivasi dapat secara spesifik mengenal serta membunuh sel
terinfeksi (atau asing).
Sel Penolong T 1 (T Helper 1) / Sel Penolong T 2 (T Helper 2)
Berikut akan dibahas sekilas tentang sel-sel T yang berperan sebagai penghantar
imunitas yang dimediasi sel dalam respons imun adaptif yang digunakan untuk mengontrol
patogen intraseluler serta meregulasi respons sel B. Dalam proses ini termasuk aktivasi sel imun
lainnya dengan pelepasan sitokin. Terdapat 2 subset utama limfosit, yang dibedakan dengan
keberadaan molekul (petanda) permukaan CD4 dan CD8. Limfosit T yang mengekspresikan
CD4 juga dikenal sebagai sel T penolong, penghasil sitokin terbanyak. Subset ini dibagi lagi
menjadi Th1 dan Th2, dan sitokin yang dihasilkan disebut sebagai sitokin tipe Th1 dan sitokin
tipe Th2. Sitokin tipe Th1 cenderung menghasilkan respons proinflamatori yang bertanggung
jawab terhadap killing parasit intraseluler dan mengabadikan respons autoimun. Termasuk dalam
sitokin tipe Th1 ini terutama interferon gamma, selain interleukin-2, serta limfotoksin- yang
merangsang imunitas tipe 1, ditandai aktivitas fagositik yang kuat. Respons proinflamatori yang
berlebihan akan mengakibatkan kerusakan jaringan yang tidak terkontrol. Tubuh mempunyai
suatu mekanisme untuk menetralkan aksi mikrobisidal berlebih yang dimediasi Th1 ini, yaitu
dengan respons Th2. Sitokin yang termasuk dalam mekanisme Th2 ini adalah interleukin 4, 5, 9,
dan 13, yang disertai IgE dan respons eosinofilik dalam atopi, dan juga interleukin-10, dengan
respons yang lebih bersifat anti-inflamatori. Imunitas tipe 2 yang distimulasi Th2 ditandai
dengan kadar antibodi tinggi. Bagi kebanyakan infeksi, imunitas tipe 1 bersifat protektif, sedang
respons tipe 2 membantu resolusi inflamasi yang dimediasi sel. Stres sistemik yang berat,
imunosupresi, atau inokulasi mikrobial yang berlebihan (overwhelming) mengakibatkan sistem
imun meningkatkan respons tipe 2 terhadap infeksi yang seyogyanya dikendalikan oleh imunitas
tipe 1. Apakah prekursor sel-T penolong akan menjadi sel tipe 1 atau tipe 2 tergantung pada
beberapa faktor, yaitu yang dipandang dari sudut patogen seperti sifat dan kuantitas patogen,
route infeksi, pengaruh komponen imunomodulator serta infeksi bersamaan, serta factor pejamu
termasuk predisposisi genetik, jumlah sel-T yang merespon, kompleks histokompatiliti mayor
haplotype individu, sifat sel yang mempresentasikan antigen, serta lingkungan sitokin sel-T
selama dan pasca aktivasi.
Cytokine-Signaling pada Respons Imun
Sitokin diproduksi selama aktivasi imunitas innate dan didapat (adaptif), dan merupakan
alat komunikasi antar sel yang prinsipiil tentang adanya invasi bakteri. Sitokin yang memulai
repons inflamatori dan menentukan besaran serta sifat respons imun yang didapat. Pada
penderita sakit berat respons terhadap injuri / patogen yang mengadakan invasi sebagian besar
tergantung pada pola sitokin yang diproduksi. Respons imun bervariasi dari respons
proinflamatori yang hebat, ditandai dengan meningkatnya produksi TNF-, interleukin-1,
interferon-, dan, IL-12, sampai keadaan anergi, ditandai peningkatan produksi sitokin Th2,
seperti IL-10 dan IL-4.
Regulasi cytokine signaling pada respons imun dapat diringkas sebagai berikut: Respons
imun spesifik diklasifikasikan berdasar komponen sistem imun yang memediasi: imunitas
humoral dimediasi limfosit B, dan imunitas dimediasi sel terutama dimediasi limfosit T.
Selanjutnya sel T efektor dibagi menjadi sel T sitotoksik (CD8+) atau sel T helper (CD4+). Sel
CD8+ melakukan killing terhadap sel sasaran (target) yang terinfeksi dengan cara melepas lytic
granula (perforin, granzymes) atau dengan cara induksi produksi (FasL) atau TNF-, yang
melalui ikatan dengan reseptornya memulai suatu kaskade bunuh diri sel menuju apoptosis sel
sasaran. Sel-sel CD4+ dapat berdiferensiasi menjadi 2 tipe sel efektor: Th1 dan Th2, tergantung
pada pola pelepasan sitokin. Sel Th2 mengsekresi IL-4, IL-5, dan IL-10, kesemuanya
mengaktivasi proliferasi sel B serta memacu respons imun humoral. Di sisi lain sel Th1
mengsekresi IFN-, yang merupakan sitokin macrophage-activating primer
Infeksi Bakteri Intraseluler
Bagaimana pejamu merespons terhadap patogen intraseluler antara lain tergantung pada
lokasi bermukimnya patogen tersebut. Setelah terjadi fagositosis oleh makrofag, bakteri berada
dalam fagosom, namun kejadian selanjutnya tergantung pada strategi untuk mempertahankan
hidup bagi bakteri masing-masing. Penyesuaian aktivasi sel pejamu yang diinduksi oleh efek
mikrobisidal dapat berakibat bakteri intraseluler bertahan hidup atau mati. Berbagai
imunomodulator, yaitu sitokin, dapat meningkatkan kemampuan antimicrobial fagosit, sehingga
pembersihan bakteri intraseluler tejadi secara efisien dan cepat. Dalam hal bakteri tidak
mempunyai mekanisme survival, fagosom yang mengandung bakteri akan mengadakan fusi
dengan kompartemen lisosom, dan bakteri dicerna dalam waktu 15-30 menit. Berbagai bakteri
memiliki strategi yang berbeda-beda untuk memagari diri terhadap intracellular killing oleh
fagosit yang tidak teraktivasi (resting phagocytes). Patogen dapat mengadakan replikasi dalam
sitoplasma (cytosolic pathogens), termasuk di sini adalah Listeria. Selain itu terdapat patogen
yang berada dalam endosom (endosomal pathogens), seperti Legionella pneumophila,
Mycobacterium tuberculosis, Salmonella typhimurium,Listeria monocytogenes.
Intracellular Killing
Aktivitas antimikrobial fagosit dimediasi oleh mediator-mediator yang bervariasi secara
luas, dan dapat dikelompokkan dalam mekanisme oksidatif dan non-oksidatif. Mekanisme
oksidatif dimediasi oleh produksi reactive oxygen intermediates (ROIs) dan reactive nitrogen
intermediates (RNIs). Produksi ROIs dan RNIs membekali fagosit dengan aktivitas sitostatik
atau sitotoksik terhadap virus, bakteri, jamur, cacing, dan sel tumor. Dalam mekanisme non-
oksidatif termasuk asidifikasi fagosomal, perampasan nutrien (nutritional deprivation ) dan
perlakuan polipeptida mikrobisid (hidrolase lisosomal dan defensin). Jalur oksidatif dan non-
oksidatif ini dapat berjalan sendiri-sendiri atau bersamaan demi terwujudnya suatu lingkungan
yang tidak menunjang bagi kehidupan patogen selanjutnya. Fagosit harus diaktivasi, sedikitnya
oleh sitokin, agar dapat mengekspresikan satu atau lebih di antara mediator-mediator tersebut
untuk mengendalikan infeksi intraseluler. Berbagai sitokin dan faktor-faktor terlarut yang
dimediasi sitokin memegang peran penting dalam mengendalikan atau membunuh patogen
intraseluler oleh fagosit, dalam pertahanan dini pejamu. Cara kerja sitokin pada lalu lintas bakteri
intraseluler belum diketahui dengan jelas. Sitokin-sitokin tertentu dapat menyebabkan Listeria
monocytogenes, Mycobacterium avium, Legionella pneumophila, dan Chlamydia spp tidak dapat
lolos dari sasaran dalam lisosom. Sebagai contoh, interferon- menghalangi L. monocytogenes
untuk melarikan diri ke dalam Bordetella pertussis, Rickettsia prowazekii, Mycobacterium
avium, Pseudomonas aeruginosa, serta patogen fungi. Sitokin lain seperti TNF-,(19) IL-12,(10)
TNF-,(21) IL-21, granulocyte colony- stimulating factor dan granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor dapat meningkatkan kadar produk oksigen reaktif dan NO yang dilepaskan
oleh sel-sel fagositik. Di sisi lain, sitokin Th2 memegang peran penting dalam supresi oxidative
burst dalam fagosit, sehingga menunjang pertumbuhan patogen dalam sel serta patogenesis
penyakit infeksi. Sebagai contoh, IL-4 menghambat produksi anion hidrogen peroksida dan
superoksida dalam monosit (yang telah diaktivasi dengan IFN- atau TNF-), dan menekan
aktivitas antifungal lekosit mononuklear terhadap Candida albicans. Interleukin-4 dan IL-13
meningkatkan fagositosis yang dimediasi reseptor mannose,14 mekanisme yang dianut patogen
untuk menyelamatkan diri dari ancaman intracellular killing. Interleukin-10 merupakan sitokin
lain yang meniadakan aktivasi makrofag, menghambat pembebasan hidrogen peroksida,
mengurangi imunitas antimycobacterial dan antilisterial, meningkatkan pertumbuhan Legionella
pneumophila dalam fagosit manusia dan membalik efek protektif interferon- terhadap patogen
ini. Interleukin-10 juga menekan aktivitas bakterisidal monosit manusia terhadap Staphylococcus
aureus dan C. albicans. Sitokin penghambat tersebut penting karena mengurangi oxidative burst
agar jaringan normal terlindung dari kerusakan yang disebabkan ROIs serta RNIs yang toksik,
namun dapat pula meningkatkan replikasi bakteri.
Respons Imun Selular Dalam Klinik
Dalam klinik respons imun selular ini dapat kita lihat berupa hipersensitivitas kulit tipe
lambat, imunitas selular pada penyakit infeksi mikroorganisme intraselular (bakteri, virus, jamur)
serta penyakit parasit dan protozoa, imunitas selular pada penyakit autoimun, reaksi graft versus
host, penolakan jaringan transplantasi, dan penolakan sel tumor.

Hipersensitivitas kulit tipe lambat (reaksi tipe IV) Dalam klinik reaksi tipe IV dapat
kita lihat berupa reaksi pada kulit bila seseorang yang pernah kontak dengan antigen
tertentu (seperti bakteri mikobakterium, virus, fungus, obat atau antigen lainnya)
kemudian dipaparkan kembali dengan antigen tersebut pada kulitnya. Terlihat reaksi
berupa eritema, indurasi pada kulit atau peradangan pada tempat antigen berada setelah
satu sampai beberapa hari kemudian. Secara histologis kelainan kulit ini terdiri atas
infiltrasi sel mononuklear yaitu makrofag, monosit dan limfosit di sekitar pembuluh
darah dan saraf. Reaksi tipe IV ini umumnya dapat terlihat pada respons imun infeksi
mikroorganisme intraselular, juga pada reaksi penolakan jaringan yang memperlihatkan
peradangan pada tempat transplantasi, dan pada reaksi penolakan tumor.
Imunitas selular pada infeksi bakteri Imunitas selular pada infeksi bakteri misalnya
terlihat berupa pembentukan kavitas dan granuloma pada infeksi dengan Mycobacterium
tuberculosis, demikian pula lesi granulomatosa pada kulit penderita lepra. Limfokin yang
dilepaskan sel Td mengakibatkan terjadinya granuloma dan sel yang mengandung antigen
akan mengalami lisis oleh sel Tc dan sel killer lainnya.
Reseptor antigen sel limfosit T (TCR) Molekul TCR terdapat pada membran sel T
berasosiasi dengan molekul CD3, merupakan kompleks glikoprotein transmembran.
Sebagian besar dari molekul ini berada ekstraselular dan merupakan bagian pengenal
antigen. Sedangkan bagian transmembran merupakan tempat berlabuhnya TCR pada
membran sel yang berinteraksi dengan bagian transmembran molekul CD3.
Imunitas selular pada infeksi virus Imunitas selular pada infeksi virus sangat berperan
pada penyembuhan yaitu untuk melisis sel yang sudah terinfeksi. Ruam kulit pada
penyakit campak, lesi kulit pada penyakit cacar dan herpes simpleks juga merupakan
reaksi tipe IV dan lisis oleh sel Tc.
Imunitas selular pada infeksi jamur Peradangan pada infeksi jamur seperti
kandidiasis, dermatomikosis, koksidiomikosis dan histoplasmosis merupakan reaksi
imunitas selular. Sel TC berusaha untuk melisis sel yang telah terinfeksi jamur dan
limfokin merekrut sel-sel radang ke tempat jamur berada.
Imunitas selular pada penyakit parasit dan protozoa Peradangan yang terlihat pada
penyakit parasit dan protozoa juga merupakan imunitas selular. Demikian pula
pembentukan granuloma dengan dinding yang menghambat parasit dari sel host sehingga
penyebaran tidak terjadi.
Imunitas selular pada penyakit autoimun Meskipun dalam ontogeni sel T autoreaktif
dihancurkan dalam timus, dalam keadaan normal diperkirakan bahwa sel T autoreaktif ini
masih tetap ada, tetapi dalam jumlah kecil dan dapat dikendalikan oleh mekanisme
homeostatik. Jika mekanisme homeostatik ini terganggu dapat terjadi penyakit autoimun.
Kunci sistem pengendalian homeostatik ini adalah pengontrolan sel T penginduksi/Th.
Sel T penginduksi/Th dapat menjadi tidak responsif terhadap sel T supresor, sehingga
merangsang sel T autoreaktif yang masih bertahan hidup atau sel Tc kurang sempurna
bekerja dalam penghapusan klon antara lain karena gagalnya autoantigen dipresentasikan
ke sel T. Jika ada gangguan sel T supresor atau gagal menghilangkan sel T autoreaktif
atau gagal mempresentasikan autoantigen pada masa perkembangan, maka dapat terjadi
penyakit autoimun.
Imunitas selular pada reaksi graft versus host Pada reaksi graft versus host, kerusakan
yang terlihat disebabkan oleh sel imunokompeten donor terhadap jaringan resipien.
Reaksi tersebut berupa kelainan pada kulit seperti makulopapular, eritroderma, bula dan
deskuamasi, serta kelainan pada hati dan traktus gastrointestinal. Kelainan yang timbul
juga disebabkan oleh imunitas selular.
Imunitas selular pada penolakan jaringan Pada transplantasi jaringan dapat terlihat
bahwa jaringan yang tadinya mulai tumbuh, setelah beberapa hari berhenti tumbuh. Ini
disebabkan oleh reaksi imunitas selular yang timbul karena adanya antigen asing jaringan
transplantasi. Organ transplantasi menjadi hilang fungsinya. Secara histologis terlihat
adanya infiltrasi intensif sel limfoid, sel polimorfonuklear dan edema interstisial. Dapat
dilihat terjadinya iskemia dan nekrosis. Peradangan ini disebabkan karena sel T resipien
mengenal antigen kelas I dan II donor yang berbeda dengan antigen diri. Pengenalan ini
sama seperti pengenalan antigen asing di antara celah domain molekul MHC. Terjadi lisis
alograft oleh sel TC resipien. Demikian pula limfokin yang dilepaskan sel T akan
merusak alograft dengan merekrut sel radang.
Imunitas selular pada penolakan tumor Imunitas selular pada penolakan tumor sama
dengan imunitas selular pada penolakan jaringan transplantasi. Tentu saja imunitas
selular ini bukanlah satu-satunya cara untuk menghambat pertumbuhan sel tumor,
imunitas humoral juga dapat berperan. Adanya ekspresi antigen tumor akan
mengaktifkan sel Tc host demikian pula interferon yang dilepaskan sel T juga akan
mengaktifkan sel NK (natural killer) untuk melisis sel tumor. Limfokin akan merekrut
sel radang ke tempat tumor berada dan menghambat proliferasi tumor serta melisis sel-sel
tumor.
4. MEKANISME AUTOIMUN
Autoimunitas adalah kegagalan suatu organisme untuk mengenali bagian dari dirinya
sendiri sebagai bagian dari dirinya, yang membuat respon kekebalan melawan sel dan jaringan
miliknya sendiri. Beberapa penyakit yang dihasilkan dari kelainan respon kekebalan ini
dinamakan penyakit autoimun. Contohnya meliputi penyakit Coeliac, diabetes melitus tipe 1,
Systemic Lupus Erythematosus, Sjgren's syndrome, Churg-Strauss Syndrome, Hashimoto's
thyroiditis, Graves' disease, idiopathic thrombocytopenic purpura, dan rheumatoid arthritis (RA).
Kesalahan yang menyebabkan sistem kekebalan melawan suatu individu yang seharusnya
dilindunginya bukanlah hal yang baru. Paul Ehrlich pada awal abad ke 20 mengajukan konsep
horror autotoxicus, di mana jaringan suatu organisme dimakan oleh sistem kekebalannya sendiri.
Semua respon autoimun dulunya dipercaya sebagai hal yang abnormal dan dikaitkan dengan
suatu kelainan. Namun saat ini diketahui bahwa respon autoimun adalah bagian terpisah dari
sistem kekebalan vertebrata, umumnya untuk mencegah terjadinya penyakit yang disebabkan
oleh toleransi imunologikal terhadap antigen milik sendiri. Autoimunitas berbeda dengan
aloimunitas.
Sistem imun tubuh kita telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu mengenal
setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur antigen diri (self antigen), tetapi dapat
saja timbul gangguan terhadap kemampuan pengenalan tersebut sehingga terjadi respons imun
terhadap antigen diri yang dianggap asing. Respons imun yang disebut autoimunitas tersebut
dapat berupa respons imun humoral dengan pembentukan autoantibodi, atau respons imun
selular.
Autoimunitas sebetulnya bersifat protektif, yaitu sebagai sarana pembuangan berbagai
produk akibat kerusakan sel atau jaringan. Autoantibodi mengikat produk itu diikuti dengan
proses eliminasi. Autoantibodi dan respons imun selular terhadap antigen diri tidak selalu
menimbulkan penyakit.
Penyakit autoimun merupakan kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisologik akibat
respons autoimun. Perbedaan ini menjadi penting karena respons autoimun dapat terjadi tanpa
penyakit atau pada penyakit yang disebabkan oleh mekanisme lain (seperti infeksi). Istilah
penyakit autoimun yang berkonotasi patologik ditujukan untuk keadaan yang berhubungan erat
dengan pembentukan autoantibodi atau respons imun selular yang terbentuk setelah timbulnya
penyakit. Penyakit autoimun mempunyai spektrum yang sangat luas, dari yang bersifat organ
spesifik sampai bentuk sistemik atau non-organ spesifik. Pada penyakit autoimun organ spesifik,
umumnya mempengaruhi organ tunggal dan respons autoimun ditujukan langsung pada antigen
di dalam organ tersebut. Sebagian besar kelainan spesifik organ melibatkan satu atau beberapa
kelenjar endokrin. Target antigen dapat berupa molekul yang diekspresikan pada permukaan sel
hidup (terutama reseptor hormon) atau molekul intraseluler (terutama enzim intraseluler).
Sedangkan penyakit autoimun non-organ spesifik mempengaruhi organ multipel dan biasanya
berkaitan dengan respons autoimun terhadap molekul yang tersebar di seluruh tubuh, terutama
molekul intraseluler yang berperan dalam transkripsi dan translasi kode genetik (DNA dan unsur
inti sel lainnya).
Autoimunitas dan toleransi diri
Untuk menghindari penyakit autoimun, pembentukan molekul sel T dan B yang bersifat
autoreaktif harus dicegah melalui eliminasi atau down-regulation. Sel T (terutama CD4+)
mempunyai peran sentral dalam mengatur hampir semua respons imun, sehingga proses toleransi
sel T lebih penting dalam penghindaran autoimunitas dibandingkan toleransi sel B. Selain itu,
sebagian sel B yang autoreaktif juga tidak dapat memproduksi autoantibodi apabila tidak
menerima rangsangan yang tepat dari sel Th.
Toleransi timus
Perkembangan sel T di timus mempunyai peranan penting dalam eliminasi sel T yang
dapat mengenali peptida pada protein diri. Dengan proses positive selection, sel akan bertahan
melalui ikatan dengan molekul MHC. Ikatan ini akan menginduksi sinyal yang mencegah sel
mati. Reseptor sel T yang gagal berikatan dengan molekul MHC di timus akan mati melalui
apoptosis. Sel T yang bertahan dari proses ini akan berikatan dengan molekul MHC dan
kompleks peptida diri yang ada di timus dengan afinitas yang berbeda-beda. Sel T yang
mempunyai afinitas yang rendah akan bertahan dan berpotensial untuk mengikat MHC dan
peptida asing dengan afinitas tinggi serta dapat menginisiasi respons imun protektif nantinya.
Namun sel T yang berikatan dengan MHC dan peptida diri di timus dengan afinitas tinggi
mempunyai potensial untuk pengenalan dengan antigen diri di tubuh, dengan konsekuensi
induksi autoimunitas. Sel-sel dengan afinitas tinggi tersebut dieliminasi melalui proses negative
selection.
Proses-proses diatas disebut edukasi timus. Alasan gagalnya toleransi timus adalah
banyaknya peptida diri yang tidak diekspresikan dengan kadar yang cukup di timus untuk
menginduksi negative selection. Sebagian besar peptida yang berikatan dengan MHC di timus
berasal baik dari protein intraseluler atau terikat membran yang ada dimana-mana, ataupun
protein yang ada di cairan ekstraseluler, sehingga toleransi timus tidak diinduksi terhadap protein
spesifik jaringan.
Toleransi perifer
Terdapat beberapa mekanisme terjadinya toleransi perifer yang merupakan kontrol lini
kedua dalam mengatur sel autoreaktif
Ignorance
Proses immunological ignorance terjadi karena keberadaan antigen terasing di organ
avaskular, seperti humor viterus pada mata. Antigen tersebut secara efektif tidak terlihat oleh
sistem imun. Apabila antigen tersebut lolos dari organ tersebut, maka toleransi perifer aktif akan
berkembang. Proses ini terjadi karena sel T CD4+ hanya mengenali angtigen yang
dipresentasikan melalui molekul MHC II. Dengan distribusi yang terbatas dari molekul tersebut,
maka sebagian besar molekul spesifik organ tidak akan dipresentasikan dengan kadar yang
cukup untuk menginduksi aktivasi sel T
Pemisahan sel T autoreaktif dengan autoantigen
Antigen diri dan limfosit juga terpisah oleh sirkulasi limfosit yang terbatas. Sirkulasi ini
membatasi limfosit naive ke jaringan limfoid sekunder dan darah. Untuk mencegah antigen diri
mempunyai akses ke antigen-presenting cells, debris dari jaringan diri yang rusak perlu
dibersihkan secara cepat dan dihancurkan, melalui apoptosis dan mekanisme pembersihan debris
lainnya, termasuk sistem komplemen dan fagositosis. Defek komplemen dan fagosit berkaitan
dengan perkembangan autoimunitas terhadap molekul intraseluler.
Anergi dan kostimulasi
Mekanisme toleransi perifer yang aktif meliputi delesi sel autoreakitf melalui apoptosis
atau induksi keadaan anergi (tidak respons). Sel T CD4+ naive memerlukan dua sinyal untuk
menjadi aktif dan memulai respons imun. Sinyal pertama berupa sinyal spesifik antigen melalui
reseptor antigen di sel T. Sinyal kedua berupa sinyal non-spesifik ko-stimulasi, biasanya sinyal
oleh CD28 (pada sel T) yang terikat ke salah satu lingkup B7 (CD80 atau CD86) pada
stimulator. Oleh karena itu, meskipun terdapat pengenalan sel T terhadap molekul peptida
spesifik jaringan atau kompleks MHC, namun bila tidak terdapat ikatan dengan molekul ko-
stimulator, maka stimulasi melalui reseptor sel T akan berujung pada anergi atau kematian sel T
melalui apoptosis (Gambar 15-2). Ekspresi molekul ko-stimulator ini sangat terbatas. Sinyal
stimulator juga terbatas pada antigen-presenting cells seperti sel dendritik. Dengan adanya
distribusi yang terbatas dan pola resirkulasi, interaksi sel CD4+ dengan sel dendritik hanya
terjadi di jaringan limfoid sekunder seperti nodus limfe. Ekspresi molekul ko-stimulator dapat
diinduksi melalui beberapa cara, biasanya melalui inflamasi atau kerusakan sel. Namun, dengan
adanya restriksi pola resirkulasi limfosit, maka hanya sel yang telah teraktivasi sebelumnya yang
mempunyai akses ke lokasi perifer.
Sel T teraktivasi juga dapat mengekspresikan molekul permukaan yang mempunyai
struktur serupa dengan molekul ko-stimulator, namun mempunyai efek negatif terhadap aktivasi
sel T, yaitu CTLA-4 yang mempunyai struktur serupa dengan CD28 dan mengikat ligand yang
sama. Ikatan antara CD80 atau CD86 dengan CTLA4 menginduksi anergi atau kematian melalui
apoptosis (Gambar 15-2). Adanya defek genetik pada mekanisme apoptosis dapat berakibat pada
berkembangnya autoimunitas.
Supresi
Mekanisme toleransi perifer termasuk supresi aktif dari sel T autoreaktif melalui
penghambatan populasi sel T yang dapat mengenali antigen yang sama (sel T supresor)
Toleransi sel B
Toleransi sel B bekerja pada sistem perifer. Produksi antibodi autoreaktif dibatasi
terutama oleh kurangnya sel T yang membantu dalam antigen diri. Sel B baru akan terus
dibentuk secara kontinu dari prekursor sumsum tulang dan banyak diantaranya bersifat
autoreaktif. Adanya proses hipermutasi somatik gen imunoglobulin pada sel B matur di pusat
germinal nodus limfe juga dapat menghasilkan autoantibodi. Apabila sel B baru atau hipermutasi
sel B berikatan dengan antigen yang sesuai, namun tidak terdapat bantuan sel T, maka sel B akan
mengalami apoptosis atau anergi.

Penyebab Autoimunitas
Etiologi
Interaksi antara genetik dan faktor lingkungan penting dalam penyebab penyakit
autoimun.
Faktor genetik
Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan autoimun yang bersifat
subklinis lebih umum terdapat dalam anggota keluarga dibandingkan penyakit yang nyata. Peran
genetik dalam penyakit autoimun hampir selalu melibatkan gen multipel, meskipun dapat pula
hanya melibatkan gen tunggal. Beberapa defek gen tunggal ini melibatkan defek pada apoptosis
atau kerusakan anergi dan sesuai dengan mekanisme toleransi perifer dan kerusakannya.
Hubungan antara gen dengan autoimunitas juga melibatkan varian atau alel dari MHC.
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang diidentifikasi sebagai kemungkinan penyebab antara lain
hormon, infeksi, obat dan agen lain seperti radiasi ultraviolet.
Hormon
Observasi epidemilogi menunjukkan penyakit autoimun lebih sering terjadi pada
perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar penyakit autoimun mempunyai puncak usia
onset dalam masa reproduktif, dengan beberapa bukti klinis dan eksperimental menyebutkan
estrogen sebagai faktor pencetus. Mekanisme yang mendasarinya belum jelas, namun bukti
menunjukkan estrogen dapat menstimulasi beberapa respons imun. Contohnya insidens penyakit
LES pada wanita pasca pubertas 9 kali lebih tinggi daripada pria. Belum ada penjelasan tentang
hal ini tetapi studi klinis dan eksperimental pada manusia dan hewan percobaan memperlihatkan
bahwa kecenderungan tersebut lebih ditentukan oleh hormon sel wanita daripada gen kromosom
X. Hewan betina, atau jantan yang dikastrasi, memperlihatkan kadar imunoglobulin dan respons
imun spesifik yang lebih tinggi daripada jantan normal. Stimulasi estrogen kronik mempunyai
peran penting terhadap prevalensi LES pada wanita. Walaupun jumlah estrogen pada penderita
tersebut normal, aktivitas estradiol dapat meningkat akibat kelainan pola metabolisme hormon
wanita. Pada wanita penderita LES terdapat peninggian komponen 16-hidroksil dari 16-
hidroksiestron dan estriol serum dibandingkan dengan orang normal. Hormon hipofisis prolaktin
juga mempunyai aksi imunostimulan terutama terhadap sel T.

Infeksi
Hubungan infeksi dengan autoimun tidak hanya berdasar pada mekanisme molecular
mimicry, namun juga terdapat kemungkinan lain. Infeksi pada target organ mempunyai peran
penting dalam up-regulation molekul ko-stimulan yang bersifat lokal dan juga induksi perubahan
pola pemecahan antigen dan presentasi, sehingga terjadi autoimunitas tanpa adanya molecular
mimicry. Namun, sebaliknya, autoimun lebih jarang terjadi pada area dengan angka kejadian
infeksi yang tinggi. Mekanisme proteksi autoimun oleh infeksi ini masih belum jelas.
Virus sering dihubungkan dengan penyakit autoimun. Infeksi yang terjadi secara
horizontal atau vertikal akan meningkatkan reaksi autoimun dengan berbagai jalan, antara lain
karena aktivasi poliklonal limfosit, pelepasan organel subselular setelah destruksi sel, fenomena
asosiasi pengenalan akibat insersi antigen virus pada membran sel yang meningkatkan reaksi
terhadap komponen antigen diri, serta gangguan fungsi sel Ts akibat infeksi virus. Virus yang
paling sering dikaitkan sebagai pencetus autoimunitas adalah EBV, selain miksovirus, virus
hepatitis, CMV , virus coxsackie, retrovirus, dan lain-lain.
Obat
Banyak obat dikaitkan dengan timbulnya efek samping idiosinkrasi yang dapat
mempunyai komponen autoimun di dalam patogenesisnya. Sangat penting untuk membedakan
respons imunologi dari obat (hipersensitivitas obat), baik berasal dari bentuk asli maupun
kompleks dengan molekul pejamu, dengan proses autoimun asli yang diinduksi oleh obat. Reaksi
hipersensitivitas biasanya reversibel setelah penghentian obat sedangkan proses autoimun dapat
berkembang progresif dan memerlukan pengobatan imunosupresif.
Mekanisme autoimun yang diinduksi obat kemungkinan mengikuti mekanisme molecular
mimicry, yaitu molekul obat mempunyai struktur yang serupa dengan molekul diri, sehingga
dapat melewati toleransi perifer. Beberapa obat (seperti penisiliamin) dapat terikat langsung
dengan peptida yang mengandung molekul MHC dan mempunyai kapasitas langsung untuk
menginduksi respons abnormal sel T. Kerentanan yang berbeda tersebut terutama ditentukan
oleh genetik. Variasi genetik pada metabolisme obat juga berperan, adanya defek pada
metabolisme mengakibatkan formasi konjugat imunologi antara obat dengan molekul diri. (Pada
SLE yang diinduksi obat, asetilator kerja lambat lebih rawan menyebabkan SLE). Obat juga
mempunyai ajuvan intrinsik atau efek imunomodulator yang mengganggu mekanisme toleransi
normal.
Agen fisik lain
Pajanan terhadap radiasi ultraviolet (biasanya dalam bentuk sinar matahari) merupakan
pemicu yang jelas terhadap inflamasi kulit dan kadang keterlibatan sistemik pada SLE, namun
radiasi ini lebih bersifat menyebabkan flare dalam respons autoimun yang sudah ada
dibandingkan sebagai penyebab. Radiasi ultraviolet memperberat SLE melalui beberapa
mekanisme. Radiasi dapat menyebabkan modifikasi struktur pada antigen diri sehingga
mengubah imunogenitasnya. Radiasi tersebut juga dapat menyebabkan apoptosis sel dalam kulit
melalui ekspresi autoantigen lupus pada permukaan sel, yang berkaitan dengan fotosensitivitas
(dikenal dengan Ro dan La). Permukaan Ro dan La kemudian dapat berikatan dengan
autoantibodi dan memicu kerusakan jaringan. Variasi genetik yang mengkode gen glutation-S-
transferase juga dikaitkan dengan peningkatan antibodi anti-Ro pada SLE. Pemicu lain yang
diduga berkaitan dengan penyakit autoimun antara lain stres psikologis dan faktor diet.
Patogenesis
Berbagai teori telah diajukan oleh para peneliti tentang patogenesis autoimunitas tetapi
tampaknya masing-masing mempunyai kebenaran dan kelemahan sendiri.
Berbagai teori patogenesis autoimunitas
Pelepasan antigen sekuesterPenurunan fungsi sel T
supresor
Peningkatan aktivitas sel Th, pintas sel T
Defek timus
Klon abnormal, defek induksi toleransi
Sel B refrakter terhadap sinyal supresor
Defek makrofag
Defek sel stem
Defek jaringan idotip-antiidiotip
Gen abnormal: gen respons imun, gen
imunoglobulin
Faktor virus
Faktor hormon

Berdasarkan karakteristik penyakit autoimun organ spesifik maka timbul dugaan adanya
antigen sekuester dalam suatu organ, yang karena tidak pernah berkontak dengan sistem
limforetikular maka apabila suatu saat terbebas akan dianggap asing dan menimbulkan
pembentukan autoantibodi. Contohnya adalah autoantibodi terhadap sperma setelah vasektomi,
lensa mata setelah trauma mata, otot jantung setelah infark miokard, atau jaringan lain yang bila
terbebas akan menimbulkan pembentukan autoantibodi.
Seperti telah kita ketahui maka aktivasi sistem imun akan diikuti oleh mekanisme
pengatur yang meningkatkan atau menekan dan menghentikan respons imun. Gangguan pada
mekanisme supresi, baik jumlah maupun fungsi sel Ts, akan meningkatkan pembentukan
autoantibodi bila respons imun tersebut sel ditujukan terhadap autoantigen. Respons imun
hampir selalu membutuhkan kerjasama sel T dan sel B, dan telah diketahui bahwa mekanisme
toleransi ditentukan oleh sel T. Bila sel T toleran tersebut teraktivasi oleh faktor nonspesifik atau
antigen silang yang mirip dengan antigen diri, maka sel B yang bersifat tidak toleran akan
membentuk autoantibodi. Timus dan sel mikronya sangat penting untuk diferensiasi sel T. Bila
terjadi gangguan maka akan terjadi defek sistem imun yang akan mempercepat proses autoimun.
Produksi autoantibodi dilakukan oleh sel B, dan gangguan imunitas selular, baik peningkatan sel
Th atau penekanan sel Ts, akan meningkatkan aktivitas sel B.
Selain itu dapat juga terjadi kelainan pada sel B yang bersifat intrinsik, misalnya terdapat
klon sel B autoreaktif yang hiperresponsif terhadap berbagai stimuli, atau kelainan ekstrinsik
berupa aktivasi sel B oleh mitogen endogen atau eksogen yang disebut aktivator poliklonal. Sel
B dapat bereaksi dengan autoantigen melalui berbagai reseptornya yang mempunyai aviditas
rendah sampai tinggi, sementara sel T tetap toleran. Aktivator poliklonal yang terdiri dari
produk bakteri, virus, atau komponen virus, parasit, atau substansi lainnya dapat langsung
merangsang sel B tersebut untuk memproduksi autoantibodi (lihat Gambar 15-3). Hal ini dapat
terlihat dengan terdeteksinya faktor rheumatoid dan antinuklear, antilimfosit, antieritrosit, serta
anti-otot polos setelah infeksi parasit, bakteri, atau virus. Selain itu terbukti pula bahwa
lipopolisakarida bakteri dapat menginduksi limfosit tikus untuk memproduksi berbagai
autoantibodi seperti anti DNA, antiglobulin ,antitimosit, dan antieritrosit.
Makrofag mempunyai fungsi penting untuk memproses dan mempresentasikan antigen
pada limfosit, serta memproduksi berbagai sitokin untuk aktivasi limfosit. Fungsi penting lainnya
adalah sebagai fagosit untuk mengeliminasi berbagai substansi imunologik yang tidak
diinginkan, misalnya kompleks imun. Pada penderita penyakit autoimun diduga bahwa eliminasi
kompleks imun tidak berfungsi dengan baik karena jumlah reseptor Fc dan CR1 (C3b, imun
adherens) pada makrofag berkurang, tetapi hasil penelitian tentang fungsi makrofag pada
penyakit autoimun masih belum konsisten.
Autoimunitas dapat juga terjadi karena defek pembentukan toleransi yang telah dibuktikan pada
hewan percobaan, akibat gangguan sel T atau sel B, atau keduanya. Gangguan toleransi ini hanya
terjadi untuk antigen tertentu saja. Sampai sejauh ini masih belum dapat diambil kesimpulan
komprehensif dari penelitian tentang peran defek toleransi tersebut.
Cara terbaik untuk membuktikan peran humoral, selular, lingkungan mikro atau virus terhadap
autoimunitas adalah uji transfer autoimunitas dengan jaringan atau ekstrak jaringan hewan
percobaan yang mempunyai predisposisi genetik autoimun ke resipien tanpa defek tersebut.
Dengan cara ini maka terlihat bahwa defek sel stem, terutama prekursor sel B, lebih berperan
untuk timbulnya autoimunitas daripada sel B matang.
Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor yang datang dari sel T. Pada
penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B aktif dan yang memproduksi
antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini disebabkan oleh defek sel B terhadap kebutuhan
sinyal, produksi faktor proliferasi, diferensiasi, dan maturasi oleh sel T yang berlebih, atau
respons sel B yang tidak normal terhadap faktor-faktor tersebut. Akibatnya akan terjadi
hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, alih imunoglobulin menjadi autoantibodi
subkelas patologik, dan akhirnya penyakit autoimun sistemik.
Para penulis sepakat bahwa peran faktor genetik terhadap angka kejadian, awitan, dan
perjalanan penyakit autoimun sangat besar. Gen yang bertanggung jawab terhadap predisposisi
autoimun ini bukanlah lokus tunggal, dan dihubungkan dengan gen yang menentukan respons
imun terhadap antigen, yaitu gen MHC dan gen imunoglobulin. Hal ini terlihat dari adanya
hubungan antara suatu antigen HLA dengan penyakit tertentu yang dinyatakan dengan risiko
relatif.
Sel B dan sel T serta produknya dapat mengekspresikan determinan idiotip atau anti-
idiotip yang ikut berfungsi sebagai regulator sistem imun. Antibodi anti-idiotipik dapat menekan
atau merangsang respons imun. Pada umumnya autoantibodi anti-idiotipik akan menekan
respons imun terhadap idiotip. Seperti halnya antibodi biasa, autoantibodi merupakan produk
respons imun terhadap antigen/autoantigen, atau terhadap Ab2 (anti-idiotip) yang menyerupai
antigen. Oleh karena itu dapat diduga bahwa autoimunitas dapat terjadi akibat defek regulasi
sistem imun yang menyebabkan penekanan atau rangsangan produksi antibodi anti-idiopatik
(lihat Gambar 15-4). Defek tersebut dapat menyebabkan produksi autoantibodi atau stimulasi
Ab1 (idiotip) yang tidak terkontrol walaupun tidak ada antigen lagi. Diduga bahwa defek ini
berhubungan erat dengan sirkuit sel B-Th-Ts dan idiotip serta anti-idiotipnya.
Tidak satu pun dari teori tersebut dapat memberikan penjelasan tunggal yang memuaskan,
sehingga disimpulkan bahwa semua faktor tersebut berperan pada patogenesis autoimunitas.
Mekanisme rusaknya toleransi
Mengatasi toleransi perifer
Keadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya berkaitan dengan infeksi dan
kerusakan jaringan yang non-spesifik. Pembalikan anergi dapat terjadi oleh paparan sitokin
tertentu, terutama IL-2. Penyakit autoimun yang bertambah berat terlihat pada terapi dengan IL-2
pada keganasan. Pembalikan supresi oleh sel T baru dapat dilihat pada hewan yang kehilangan
sitokin imunosupresif.
Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang tidak tepat pada
antigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-stimulator yang tidak tepat atau perubahan
cara molekul diri dipresentasikan ke sistem imun. Hal-hal tersebut terjadi saat inflamasi atau
kerusakan jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik. Inflamasi lokal akan
meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe (dan juga ke antigen-presenting cells) dan juga
menginduksi ekspresi molekul MHC dan molekul ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim
proteolitik pada lokasi inflamasi juga dapat menyebabkan kerusakan protein intraseluler dan
ekstraseluler, menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi tinggi dipresentasikan ke sel T
yang responsif, peptida tersebut dinamakan cryptic epitopes. Peptida diri juga dapat diubah oleh
virus, radikal bebas dan radiasi ion, dan akhirnya melewati toleransi yang telah ada sebelumnya.
Kemiripan molekul
Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari mikroorganisme juga dapat
memicu respons autoimun. Peptida diri dengan konsentrasi rendah dan tanpa akses ke antigen-
presenting cells dapat bereaksi silang dengan peptida mikrobial yang memiliki struktur serupa.
Hal ini mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang responsif yang dapat mengenali peptida diri,
apabila kondisi lokal (seperti kerusakan jaringan) menyebabkan presentasi peptida tersebut dan
akses sel T ke jaringan tersebut .
Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang terlibat
Antigen mikrobial Antigen diri Penyakit yang diduga
akibat molecular mimicry
Protein grup A streptokokus Antigen di otot jantung Demam reumatik
M
Bacterial heat shock proteins Self heat shock proteins Terkait dengan penyakit
autoimun berat namun belum
terbukti
Protein inti Coxsackie B4 Glutamat dekarboksilase sel Diabetes melitus dependen
pulau pankreas insulin
Glikoprotein Campylobacter Gangliosida dan glikolipid Sindrom Guillain-Barre
jejuni terkait mielin
Heat shock protein dari Subtipe rantai HLA-DR Artritis reumatoid
Eschericia coli mengandung epitop
bersama artritis reumatoid

Sekali toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inflamasi berlanjut pada presentasi peptida
lainnya dan respons imun akan meluas dan menghasilkan percepatan kerusakan jaringan lokal.
Proses domino ini disebut epitope spreading.
Sel T yang belum pernah terpajan dengan antigen (sel T naive) memerlukan ko-stimulasi
melalui CD28 unutk dapat berperan dalam respons imun. Namun, sel T yang sebelumnya sudah
teraktivasi dapat diinduksi untuk proliferasi dan produksi sitokin melalui variasi sinyal ko-
stimulasi yang lebih luas, dicetuskan oleh molekul adesi yang diekspresikan di sel tersebut. Oleh
karena itu, sel autoreaktif yang telah teraktivasi sebelumnya tidak hanya resirkulasi secara bebas
di jaringan yang terinflamasi (karena adanya peningkatan ekspresi molekul adesi) namun juga
lebih mudah mengaktivasi setelah sampai di jaringan yang mengandung peptida diri/kompleks
MHC yang sesuai. Hal ini menandakan sekali barier toleransi rusak, respons autoimun akan lebih
mudah bertahan dan menyebabkan proses patogenik autoreaktif yang lama pula.
Mekanisme kerusakan jaringan
Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun diperantarai oleh antibodi (hipersensitivitas
tipe II dan III) atau aktivasi makrofag oleh sel T CD4+ atau sel T sitotoksik (hipersensitivitas
tipe IV). Mekanisme kerusakan dapat tumpang tindih antara kerusakan yang diperantarai
antibodi dengan sel T.
Selain kerusakan jaringan yang diperantarai oleh mekanisme hipersensitivitas,
autoantibodi juga dapat menyebabkan kerusakan dengan terikat pada lokasi fungsional dari
antigen diri, seperti pada reseptor hormon, reseptor neurotransmiter dan protein plasma.
Autoantibodi tersebut dapat menyerupai atau menghambat aksi ligand endogen dari antigen diri,
sehingga menyebabkan abnormalitas fungsi tanpa adanya inflamasi atau kerusakan jaringan.
Kerusakan yang diperantarai antibodi pada autoimunitas terjadi bila autoantibodi mengenali
antigen yang bebas di cairan ekstraseluler atau diekspresikan pada permukaan sel.

You might also like