You are on page 1of 104

PENGEMBANGAN ALTERNATIF TEKNOLOGI

BIOPROSES PEMBUATAN BIOETANOL DARI UBI


KAYU MENGGUNAKAN Trichoderma viride,
Aspergillus niger DAN Saccharomyces cerevisiae

I WAYAN ARNATA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :


PENGEMBANGAN ALTERNATIF TEKNOLOGI BIOPROSES
PEMBUATAN BIOETANOL DARI UBI KAYU MENGGUNAKAN
Trichoderma viride, Aspergillus niger DAN Saccharomyces cerevisiae adalah
benar merupakan karya sendiri dibawah arahan Komisi Pembimbing dan belum
pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi telah dinyatakan secara
jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2009

I Wayan Arnata
NRP : F351070111

ii
ABSTRACT

I WAYAN ARNATA. Development of Alternative Bioprocess Technology to


Bioethanol Production from Cassava by Trichoderma viride, Aspergillus niger
and Saccharomyces cerevisiae. Supervised by Dwi Setyaningsih and Nur
Richana.

Cassava (Manihot utilisima) is one of viable feedstock for bioethanol


production that contains starch and fiber. Both components can be hydrolyzed
through the acid and enzymatic processes. T. viride is capable of producing
cellulase useful for cellulose hydrolysis, while A. niger is able to produce
amyloglucosidase for starch hydrolysis. Glucose produced in this step is used by
S. cerevisiae as fermentation substrate to produce ethanol.
This study aimed at increasing the yield of ethanol concentration from
cassava by making bioprocess alternative through mixed culture T. viride, A. niger
and S. cerevisiae at both acid and enzyme hydrolisate.
The experiments were performed in three stages. The first stage was the
cultivation of T. viride and A. niger to determine the stationary phase of maximum
spore yield. The second stage was the determination of the produce time needed
that gave maximum enzyme activity. Enzyme assay was conducted by measuring
the cellulase (CMC-ase, FP-ase) and amyloglucosidase (AMG) activities. The
third stage was the hydrolysis and fermentation processes with six alternatives of
production process and one control. The first treatment (P1) was using acid
hydrolisate and the addition of coculture gradually. The second treatment (P2) was
using acid hydrolisate and the addition of mixed culture simultaneously. The third
treatment (P3) was using enzyme hydrolisate with SFS coculture addition. The
forth treatment (P4) was using enzyme hydrolisate with the addition of crude
cellulase enzyme in the saccharification process. The fifth treatment (P5) was
using enzyme hydrolisate and the addition of mixed culture gradually. The sixth
treatment (P6) was using enzyme hydrolisate with the addition of commercial
cellulase enzyme in the saccharification process. The control process (P7) was
using enzyme hydrolisate and the addition of monoculture S. cerevisiae.
Observations during the fermentation process included changes in the total sugar
concentration (Dubois et al., 1956), pH, concentration of the crude fibre residue
(AOAC, 1984) and the ethanol concentration (Gas Chromatography).
From the experiments, the stationary phase of maximum spore yield
occurred after 7 days of cultivation of T. viride and A. niger with maximum spore
number of 1.51 x 10 9 and 1.26 x 10 9, respectively. Maximum cellulose and
AMG activities obtained after 7 days of fermentation with the CMC-ase activities
of 5.05 0.42 U/ml, FP-ase of 4.77 0.72 U/ml and AMG of 62.77 4.49 U/ml.
With mixed culture T. viride, A. niger and S. cerevisiae in the fermentation
process of the enzyme hydrolisate and SFS for 4 days, ethanol concentration
increased from 5.36 0.63 % (b/v) in the control to 7.41 1.79 % (b/v) or an
increase of 38.29 % compared to that of monoculture S. cerevisiae, while
gradually addition of coculture in the fermentation process was only able to
increase the ethanol concentration of 5.36 0.63 % (b/v) in the control to 6.38
0.83 % (b/v) or increasing 19.06 % compared to that of monoculture S. cerevisiae.

iii
Mixed culture T. viride, A. niger and S. cerevisiae in the fermentation
process of acid hydrolisate either done gradually or with simultaneous
saccarification and fermentation was not able to increase ethanol concentration
when compared to control. However, ethanol concentration increased significantly
with AMG addition of crude and commercial cellulase in the saccharification
process. The ethanol concentration increased from 5.36 0.63 % (b/v) in the
control to 9.29 1.76 % (b/v) (adding crude cellulase) and 8.92 0.73 % (b/v)
(commercial cellulase) or an increase of 73.45 % and 64.42 %, respectively,
compared to that of the monoculture. The experiments resulted that the highest
ethanol concentration is produced from the fourth treatment (P4) that is 9.29
1.76 % (b/v) with yield of 34.77 % (v/b).

Keywords: Bioprocess, Bioethanol, Cassava, Mixed culture.

iv
RINGKASAN
I WAYAN ARNATA. Pengembangan Alternatif Teknologi Bioproses Pembuatan
Bioetanol Dari Ubi Kayu Menggunakan Trichoderma viride, Aspergillus niger
dan Saccharomyces cerevisiae. Dibimbing oleh Dwi Setyaningsih dan Nur
Richana.

Ubi kayu (Manihot utilisima) merupakan salah satu bahan baku pembuatan
bioetanol yang mengandung fraksi pati dan serat. Kedua fraksi ini dapat
dihidrolisis secara asam maupun enzim. Jenis kapang T. viride mampu
menghasilkan selulase yang berguna untuk menghidrolisis serat (selulosa) dan A.
niger mampu menghasilkan amiloglukosidase untuk menghidrolisis pati. Hasil
hidrolisis berupa glukosa dapat dipergunakan oleh S. cerevisiae sebagai substrat
fermentasi untuk menghasilkan etanol.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan alternatif teknologi bioproses
pembuatan bioetanol terbaik dari ubi kayu menggunakan kultur campuran T.
viride, A. niger dan S. cerevisiae baik pada hidrolisat asam maupun enzim.
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama dilakukan kultivasi
pertumbuhan T. viride dan A. niger untuk menentukan fase stasioner yang
menghasilkan jumlah spora maksimal. Tahap kedua dilakukan untuk menentukan
lama proses produksi yang menghasilkan aktivitas enzim maksimal. Pengujian
enzim dilakukan dengan mengukur aktivitas selulase (CMC-ase, FP-ase) dan
amiloglukosidase (AMG). Tahap ketiga dilakukan proses hidrolisis dan
fermentasi dengan enam alternatif proses produksi dan satu proses kontrol.
Pengamatan selama proses fermentasi meliputi perubahan konsentrasi total gula
(Dubois et al. 1956), pH, konsentrasi serat kasar sisa (AOAC,1984) dan
konsentrasi etanol.
Dari hasil penelitian, fase stasioner pertumbuhan spora T. viride dan A.
niger diperoleh setelah kultivasi selama 7 hari dengan jumlah spora maksimum
masing-masing 1,51 x 10 9/ml dan 1,26 x 10 9/ml. Aktivitas selulase dan AMG
maksimum diperoleh setelah fermentasi selama 7 hari dengan aktivitas CMC-ase
5,05 0,42 U/ml, FP ase 4,77 0,72 U/ml dan AMG 62,77 4,49 U/ml.
Penggunaan kultur campuran T. viride, A. niger dan S. cerevisiae pada
proses proses fermentasi substrat hidrolisat enzim secara SFS selama 4 hari dapat
meningkatkan konsentrasi etanol etanol dari 5,36 0,63 % (b/v) menjadi 7,41
1,79 % (b/v) atau meningkat 38,29 % dibandingkan dengan menggunakan kultur
tunggal S. cerevisiae, sedangkan penggunaan kultur campuran yang ditambahkan
secara bertahap pada proses fermentasi hanya mampu meningkatkan konsentrasi
etanol dari 5,36 0,63 % (b/v) menjadi 6,38 0,83 % (b/v) atau meningkat
19,06 % terhadap penggunaan kultur tunggal S. cerevisiae .
Penggunaan kultur campuran T. viride dan S. cerevisiae pada proses
fermentasi substrat hidrolisat asam baik yang dilakukan secara bertahap maupun
secara SFS belum mampu meningkatkan konsentrasi etanol jika dibandingkan
dengan kontrol. Adanya penambahan AMG dengan selulase kasar dan komersial
pada tahap sakarifikasi juga dapat meningkatkan konsentrasi etanol dari 5,36
0,63 % (b/v) menjadi 9,29 1,76 % (b/v) (penambahan selulase kasar) dan 8,92

v
0,73 % (b/v) ( selulase komersial) atau masing-masing meningkat 73,45 % dan
64,42 % terhadap penggunaan kultur tunggal.

vi
Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini
tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruhnya karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

vii
PENGEMBANGAN ALTERNATIF TEKNOLOGI BIOPROSES
PEMBUATAN BIOETANOL DARI UBI KAYU
MENGGUNAKAN Trichoderma viride, Aspergillus niger DAN
Saccharomyces cerevisiae

I WAYAN ARNATA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

viii
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pengembangan Alternatif Teknologi Bioproses


Pembuatan Bioetanol Dari Ubi Kayu Menggunakan
Trichoderma viride, Aspergillus niger dan
Saccharomyces cerevisiae
Nama Mahasiswa : I Wayan Arnata
N RP : F351070111

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si. Dr. Ir. Nur Richana, M.Si.
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi a.n. Dekan Sekolah Pascasarjana


Teknologi Industri Pertanian Sekretaris Program Magister

Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Si.

Tanggal ujian : 1 September 2009 Tanggal lulus :

ix
PRAKATA

Puji syukur penulis pajatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat-nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir penelititan yang
berjudul : Pengembangan Alternatif Teknologi Bioproses Pembuatan
Bioetanol Dari Ubi Kayu Menggunakan Trichoderma viride, Aspergillus niger
dan Saccharomyces cerevisiae tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si. selaku Ketua Komisi
Pembimbing dan Dr. Ir. Nur Richana, M.Si. selaku Anggota Komisi
Pembimbing atas bimbingan dan arahannya.
Ayahanda I Nyoman Kader, Ibunda Ni Made Kedri, Istri Nelly Verawati,
SP dan Kedua putriku Wayan Arlyana Anantha dan Kadek Arlyatha Anantha
tercinta. Keluarga Bapak Petrus Sarijono dan Ibu Lucia Siti Rahayu di Caruban
Madiun. Teman-teman di Perhimpunan Mahasiswa Pasca Sarjana Bali
Puhnawacana DR. drh. Nyoman Suarsana, drh. I Gst Ngurah Sudisma, MSi, drh
Made Rai Yasa, MP, Ni Luh Yulianti, STp. M.Si. Diah STp. M.Si, , drh.Yudi A.
Ibu Suci, SPt dan Gayeng, ST. Teman-teman dan rekan kerja di FTP Udayana
terima kasih atas motivasinya. Seluruh staf pengajar Teknologi Industri Pertanian
dan Staf Laboran, staf administrasi di Lingkungan Fateta IPB dan Teman-teman
Teknologi Industri Pertanian 07 dan tidak lupa juga kepada Yuyun, Jihan, Asep,
Lily, Mbak Fitri dan Yusup terima kasih atas bantuannya.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan agar
dapat memberikan informasi dalam pengembangan karya tulis ini lebih lanjut.

Bogor, September 2009

x
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Ungasan, Kuta Selatan Badung Bali pada


tanggal 20 Juni 1978 sebagai anak tunggal dari I Nyoman Kader dan Ni Made
Kedri. Penulis memasuki jenjang Sekolah Dasar tahun 1984 dan lulus tahun 1990
di SDN 4 Jimbaran, melanjutkan ke jenjang SMP tahun 1990 dan lulus tahun
1993 di SMPN 2 Kuta, jenjang SMA tahun 1993 sampai 1996 di SMAN 5
Denpasar. Penulis melanjutkan kuliah strata 1 tahun 1996 di Program Studi
Teknologi Pertanian Universitas Udayana sampai tahun 2001. Dari tahun 2001
sampai 2005 penulis sempat bekerja sebagai pegawai swasta sebelum menjadi staf
dosen di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana. Pada tahun 2007
melalui dana beasiswa pendidikan BPPS penulis melanjutkan kuliah strata 2 di
Sekolah Pascasarjana, Teknologi Industri Pertanian IPB.

Bogor, September 2009

Penulis

xi
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL............................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xv

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ...................................................................................... 3
1.3 Tujuan........................................................................................................ 3
1.4 Hipotesis .................................................................................................... 3
1.5 Ruang lingkup ........................................................................................... 4
1.6 Kerangka pemikiran .................................................................................. 5

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Ubi Kayu ................................................................................................... 6
2.2 Polisakarida Dalam Ubi Kayu.................................................................... 8
2.3 Bioetanol .................................................................................................... 9
2.4 Hidrolisis Asam.......................................................................................... 13
2.5 Hidrolisis Enzim ....................................................................................... 15
2.6 Sakarifikasi Fermentasi Simultan (SFS) .................................................... 18

III. METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................................... 20
3.2 Bahan dan Alat........................................................................................... 20
3.2.1 Bahan....................................................................................................... 20
3.2.2 Alat.......................................................................................................... 20
3.3 Tahapan Penelitian ..................................................................................... 20
3.3.1 Karakteristik ubi kayu ............................................................................. 21
3.3.2 Persiapan kultur T. viride. ....................................................................... 21

xii
3.3.3 Persiapan kultur A. Niger ........................................................................ 22
3.3.4 Persiapan kultur S. Cerevisiae................................................................. 22
3.3.5 Produksi enzim glukoamilase A. Niger................................................... 22
3.3.6 Produksi enzim selulase T. Viride........................................................... 22
3.3.7 Pembuatan etanol .................................................................................... 23
3.3 Teknik Analisis Data..................................................................................... 24
3.4.1 Produksi enzim selulase ............................................................................ 24
3.4.2 Produksi enzim amiloglukosidase............................................................. 25
3.4.3 Proses hidrolisis ........................................................................................ 26
3.4.2 Proses fermentasi ...................................................................................... 26

IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Komposisi kimia ubi kayu ......................................................................... 28
4.2 Kultivai dan Produksi Enzim ..................................................................... 30
4.2.1 Kultivasi Trichoderma viride................................................................. 31
4.2.2 Produksi enzim selulase .......................................................................... 32
4.2.3 Kultivasi Aspergillus niger dan produksi amiloglukosidase.................. 33
4.3 Proses hidrolisis dan karakteristik hidrolisat ............................................. 35
4.4 Proses fermentasi ....................................................................................... 39

V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 55
5.2 Saran............................................................................................................ 55

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xiii
DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perkembangan produksi ubi kayu Indonesia................................................. 7

2. Sifat fisiko kimia ubi kayu dan tepung ubi kayu .......................................... 8

3. Perbandingan keuntungan dan kelemahan antara


concentrated-acid hydrolisis dengan dilute-acid hydrolisis ......................... 14

4. Kondisi hidrolisis dan fermentasi tahapan proses......................................... 24

5. Hasil analisa komposisi kimia ubi kayu........................................................ 28

6. Karakteristik hasil hidrolisis asam dan enzim............................................... 36

xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ................................................................... 5

2. Struktur selulosa............................................................................................ 9

3. Mekanisme proses glikolisis ......................................................................... 19

4. Tahapan penelitian ........................................................................................ 21

5. Inokulum T. viride dan A. niger ................................................................ 30

6. Kurva pertumbuhan T. viride, aktivitas CMC-ase dan FP-ase...................... 31

7. Kurva pertumbuhan A. niger dan aktivitas glukoamilase ............................ 34

8. Pengaruh hidrolisis terhadap total gula dan gula pereduksi.......................... 37

9. Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P1 ...................................... 41

10. Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P2 ...................................... 41

11. Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P3 ...................................... 42

12. Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P4 ...................................... 43

13. Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P5 ...................................... 44

14. Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P6 ...................................... 45

15. Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P7 ...................................... 46

16. Pengaruh jenis perlakuan fermentasi terhadap


konsentrasi etanol, rendemen dan efisiensi substrat .................................... 48

17. Pengaruh jenis perlakuan fermentasi terhadap


konsentrasi serat kasar sisa dan total gula sisa............................................. 53

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Prosedur Analisa .......................................................................................... 63
2. Alternatif tahapan proses pembuatan bioetanol ............................................ 70
3. Kurva standar DNS dan total gula ................................................................ 75
4. Analisis deskriptif pertumbuhan jumlah spora T. viride dan A. niger......... 76
5. Analisa aktivitas enzim selulase dan glukoamilase ...................................... 77
6. Analisis keragaman hasil hidrolisis tepung ubi kayu.................................... 81
7. Perubahan total gula selama fermentasi........................................................ 83
8. Perubahan pH selama fermentasi .................................................................. 86
9. Hasil produksi etanol .................................................................................... 89
10. Hasil analisis keragaman terhadap produksi etanol ...................................... 91
11. Hasil analisis keragaman serat kasar sisa...................................................... 92

xvi
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ani Suryani, DEA.

xvii
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bioetanol merupakan hasil proses fermentasi glukosa dari bahan yang


mengandung komponen pati atau selulosa. Kedua komponen ini merupakan
homopolimer dari glukosa. Bietanol dapat dipergunakan sebagai salah satu energi
alternatif pensubsitusi bensin yang ramah lingkungan jika dibandingkan dengan bahan
bakar fosil. Berdasarkan data Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (2007),
proyeksi konsumsi etanol untuk mensubsitusi 5 % premium (E5) di Indonesia dari tahun
2007 2010 ditargetkan sekitar 5 % dan tahun 2011 - 2015 ditargetkan sekitar 10 %
atau sekitar 2,78 juta kL dari total konsumsi.
Berbagai jenis sumber bahan baku bioetanol terdapat di Indonesia, seperti ubi
kayu, sagu, ubi jalar dan tetes tebu. Ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol mempunyai
kelebihan yaitu dapat tumbuh pada lahan yang kurang subur, mempunyai daya tahan
tinggi terhadap penyakit dan dapat diatur masa panennya. Perkembangan produksi ubi
kayu di Indonesia mengalami peningkatan sekitar 23 % (16 ton menjadi 20 ton) dari
tahun 2000 - 2008 (Deptan 2008). Ubi kayu mempunyai kadar karbohidrat sekitar 32
35 % yang sebagian besar adalah pati yaitu sekitar 83,8%. Komponen-komponen lain
ubi kayu terdiri dari air, protein, lemak, serat dan abu. Serat pada ubi kayu tersusun dari
selulosa, hemiselulosa, lignin dan protein. Konversi bahan baku pati ubi kayu menjadi
bioetanol menghasilkan rendemen sekitar 16, 67 %, ini berarti setiap pengolahan 1 ton
ubi kayu akan menghasilkan 166,7 liter bioetanol (Nurdyastuti 2005). Rendemen yang
dihasilkan pada proses pembuatan bioetanol dari ubi kayu sangat tergantung pada
kemampuan proses hidrolisis komponen-komponen ubi kayu terutama pati menjadi
glukosa, selanjutnya tinggi rendahnya kandungan glukosa hasil hidrolisis akan
mempengaruhi proses fermentasi dalam pembentukan etanol.
Penggunaan ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol selama ini lebih banyak
hanya memanfaatkan kandungan patinya, sedangkan komponen-komponen biomassa
seperti selulosa dan hemiselulosa yang juga mempunyai potensi menghasilkan bioetanol
belum dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini disebabkan dalam proses hidrolisisnya
hanya menggunakan enzim-enzim amilolitik yang hanya mampu menghidrolisis fraksi
pati.
Hidrolisis pati dan serat dapat dilakukan secara kimiawi atau enzimatik.
Hidrolisis kimiawi biasanya menggunakan asam seperti H2SO4 dan HCl. Dalam
menghasilkan glukosa, hidrolisis dengan asam akan memotong ikatan pada pati dan
serat secara acak. Hidrolisis enzimatik dilakukan dengan menggunakan enzim -amilase
dan amiloglukosidase. Enzim -amilase dapat menghidrolisis molekul pati baik pada
amilosa maupun pada amilopektinnya. Hasil akhir hidrolisis amilosa adalah glukosa dan
maltosa, sedangkan hasil akhir hidrolisis amilopektin menghasilkan campuran limit
dekstrin, maltosa, isomaltosa dan disertai sedikit glukosa. Enzim amiloglukosidase
mampu menghidrolisis pati menjadi molekul-molekul glukosa. Enzim glukoamilase
dapat diperoleh dari strain Aspergillus niger atau Rhizopus (Tjokroadikoesoemo 1986).
Selulosa mempunyai potensi sebagai bahan baku bioetanol karena komponen
selulosa tersusun dari homopolimer D-glukosa. Enzim selulase merupakan kompleks
enzim yang dapat mengkatalisis penguraian selulosa menjadi glukosa. Beberapa spesies
seperti Trichoderma viride dan Fusarium oxysporum dilaporkan mempunyai
kemampuan untuk menghasilkan enzim selulase. Hidrolisis komponen selulosa dan
hemiselulosa dalam ubi kayu dapat dilakukan dengan hidrolisis asam maupun enzim.
Hidrolisis selulosa akan menghasilkan D-glukosa, sedangkan hemiselulosa akan
menghasilkan D-xilosa dan monosakarida lainnya.
Proses pengolahan ubi kayu menjadi bioetanol secara umum dimulai dari proses
pencucian, pemarutan, hidrolisis atau dilikuifikasi dengan menggunakan enzim -milase,
kemudian sakarifikasi dengan enzim amiloglukosidase dan fermentasi menggunakan S.
cerevisiae. Penggunaan enzim -amilase dan amiloglukosidase pada proses produksi
hanya mampu menghidrolisis fraksi pati menjadi glukosa dengan memutus ikatan -1,4
dan -1,6 glikosidik pada fraksi amilosa dan amilopektin, sedangkan fraksi serat atau
selulosa yang mempunyai ikatan -1,4 glikosidik tidak mampu dihidrolisis oleh enzim-
enzim amilolitik (Thomas dan William 1997).
Dalam penelitian ini, tahap hidrolisis yang biasanya dilakukan secara enzimatis
terhadap fraksi pati, akan dicoba dibandingkan dengan hidrolisis secara kimiawi
menggunakan asam terhadap fraksi pati dan serat. Tahap sakarifikasi dan fermentasi
dilakukan secara bertahap dan simultan (SFS) dengan menggunakan kultur campuran T.
virid, A. niger dan S. cerevisiae. SFS dilakukan dengan mengkombinasikan proses
sakarifikasi dan fermentasi pada satu tahap. Dengan cara ini, matrik selulosa yang
melindungi fraksi pati, diharapkan menjadi longgar atau terhidrolisis menjadi glukosa,

2
sehingga dapat meningkatkan konsentrasi glukosa. Dengan meningkatnya konsentrasi
glukosa diharapkan dapat meningkatkan produksi etanol.

1.2 Rumusan Masalah

Pembuatan bioetanol dari ubi kayu masih dapat ditingkatkan konsentrasi atau
rendemen etanolnya dengan aplikasi enzim atau kultur campuran. Adanya kendala
harga enzim atau kultur mikroba yang relatif mahal atau sukar didapatkan, maka dalam
penelitian ini akan dicoba dengan aplikasi hidrolisis menggunakan asam. Berdasarkan
latar belakang di atas maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah
mengembangkan alternatif teknologi bioproses pembuatan bioetanol dari ubi kayu
dengan menggunakan kultur campuran T. viride, A. niger dan S. cerevisiae baik pada
substrat hidrolisat asam maupun enzim.

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan alternatif teknologi bioproses


pembuatan bioetanol terbaik dari ubi kayu menggunakan filtrat enzim selulase kasar
dan komersial serta kultur campuran T. viride, A. niger dan S. cerevisiae baik pada
substrat hidrolisat asam maupun enzim.

1.4 Hipotesis

T. viride merupakan jenis kapang yang mampu menghasilkan selulase yang


berguna untuk menghidrolisis selulosa menjadi glukosa, sedangkan A. niger mampu
menghasilkan amiloglukosidase yang berfungsi untuk menghidrolisis fraksi pati
menjadi glukosa.
Filtrat enzim selulase, AMG kasar dan kultur campuran dari T. viride dan A.
niger pada substrat hidrolisat asam maupun enzim dari ubi kayu diharapkan dapat
meningkatkan hidrolisis fraksi serat dan pati menjadi glukosa yang selanjutnya
dipergunakan sebagai substrat fermentasi oleh S. cerevisiae. Dengan demikian
konsentrasi etanol akan meningkat jika dibandingkan dengan substrat yang hanya
melalui hidrolisis menggunakan enzim amilolitik dan kultur tunggal S. cerevisiae.

3
1.5 Ruang lingkup

Untuk mendapatkan hasil yang jelas dan terarah, maka ruang lingkup penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Melakukan kultivasi pertumbuhan T. viride dan A. niger untuk menghasilkan spora
maksimal.
2. Produksi enzim kasar selulase dengan penginduksi onggok oleh T. viride dan
produksi amiloglukosidase dengan penginduksi pati ubi kayu oleh A. niger.
3. Proses hidrolisis dilakukan secara kimiawi menggunakan H2SO4 tanpa pemisahan
fraksi serat dengan pati dan dibandingkan dengan hasil hidrolisis yang dilakukan
secara enzimatis.
4. Proses sakarifikasi dan fermentasi dilakukan dengan sistem batch secara simultan
dan bertahap menggunakan kultur campuran T. viride, A. niger dan S. cerevisiae
untuk menghasilkan etanol.

4
1.6 Kerangka pemikiran

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

5
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ubi Kayu

Ubi kayu (Manihot utilissima pohl) berasal dari Benua Amerika dan Bangsa
Portugis membawanya ke Afrika dan digunakan sebagai bahan makanan. Ubi kayu saat
ini penyebarannya hampir keseluruh dunia dan berkembang di negara-negara yang
terkenal wilayah pertaniannya. Ubi kayu ditanam secara komersial di wilayah Indonesia
sekitar tahun 1810, setelah sebelumnya diperkenalkan orang Portugis pada abad ke-16 ke
Nusantara dari Brasil. Klasifikasi tanaman ubi kayu adalah :

Kingdom : Plantae atau tumbuh-tumbuhan


Divisi : Spermatophyta atau tumbuhan berbiji
Sub Divisi : Angiospermae atau berbiji tertutup
Kelas : Dicotyledoneae atau biji berkeping dua
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Manihot
Spesies : Manihot utilissima Pohl ; Manihot esculenta Crantz sin.
Ubi kayu termasuk tumbuhan berbatang pohon lunak atau mudah patah. Ubi
kayu berbatang bulat dan bergerigi yang terjadi dari bekas pangkal tangkai daun, bagian
tengahnya bergabus dan termasuk tumbuhan yang tinggi. Ubi kayu bisa mencapai
ketinggian 1-4 meter. Ubi kayu mempunyai panjang fisik rata-rata bergaris tengah 2-3
cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis ubi kayu yang ditanam. Daging umbinya
berwarna putih atau kekuning-kuningan. Ubi kayu biasanya diperdagangkan dalam
bentuk masih berkulit. Umbinya mempunyai kulit yang terdiri dari 2 lapis yaitu kulit luar
dan kulit dalam. Daging umbi berwarna putih atau kuning. Di bagian tengah daging umbi
terdapat suatu jaringan yang tersusun dari serat. Antara kulit dalam dan daging umbi
terdapat lapisan kambium.
Ubi kayu menghasilkan umbi setelah tanaman berumur 6 bulan. Setelah tanaman
berumur 12 bulan dapat menghasilkan umbi basah sampai 30 ton per ha. Daun umbi
muda dari jenis yang beracun berguna untuk berbagai macam sayur. Daun yang kering
untuk makanan ternak. Batangnya dapat digunakan untuk kayu bakar dan kadang-kadang
untuk pagar hidup. Salah satu varietas tanaman ini mempunyai daun yang indah
warnanya yang dimanfaatkan sebagai tanaman hias (Syarief 1988).
Ubi kayu mengandung racun yang disebut asam sianida (HCN). Berdasarkan
kandungan asam sianidanya, ubi kayu dapat digolongkan menjadi empat yaitu (a)
golongan tidak beracun, mengandung HCN 50 mg per kg umbi segar yang telah diparut,
(b) beracun sedikit mengandung HCN antara 50 dan 80 mg per kg, (c) beracun,
mengandung HCN antara 80 dan 100 mg per kg dan (d) sangat beracun, mengandung
HCN lebih besar dari 100 mg per kg. Ubi kayu yang tidak beracun dikenal sebagai ubi
kayu manis sedangkan ubi kayu yang beracun disebut ubi kayu pahit.
Ubi kayu memiliki kelebihan sebagai bahan baku bioetanol yaitu dapat tumbuh di
tanah yang kurang subur, memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit, dan dapat
diatur waktu panennya. Potensi pengembangan produksi ubi kayu di Indonesia disajikan
pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan produksi ubi kayu Indonesia


Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)
2000 1.284.040 16.089.020
2001 1.317.912 17.054.648
2002 1.276.533 16.912.901
2003 1.244.543 18.523.810
2004 1.255.805 19.424.707
2005 1.213.460 19.321.183
2006 1.227.459 19.986.640.
2007 1.201.481 19.988.058
2008 1.178.306 20.834.241
Sumber : Departemen Pertanian (2008)

Ubi kayu sebagai bahan baku energi alternatif hanya memiliki kadar karbohidrat
sekitar 32 35 % dan dengan kadar pati sekitar 83,8% setelah diproses menjadi tepung.
Sifat fisiko kimia ubi kayu dan tepung ubi kayu disajikan pada Tabel 2 berikut.

7
Tabel 2. Sifat fisiko kimia ubi kayu dan tepung ubi kayu
Jumlah (%) (b/b)
Komponen
Ubi kayu(a) Ubi kayu(b)
Air 62 65 59,40
Karbohidrat 32 35 38,10*
Protein 0,7 2,6 0,70
Lemak 0,2 0,5 0,20
Serat 0,8 1,3 0,6
Abu 0,3 1,3 1,00
Sumber : a. Kay (1979); b Balagopalan et al.(1988)
Keterangan : *) Dihitung berdasarkan by difference

2.2 Polisakarida Dalam Ubi Kayu

Polisakarida yang menyusun ubi kayu terdiri dari pati, selulosa dan hemiselulosa.
Pati pada tumbuhan dipergunakan sebagai cadangan makanan yang dapat diuraikan
menjadi glukosa dan dikonversikan menjadi energi. Pada saat yang tepat, tubuh tanaman
akan mensintesa -amilase, -amilase dan R-enzim yang secara bersama-sama
dipergunakan untuk memutuskan ikatan-ikatan rantai pati menjadi molekul-molekul
glukosa bebas (Tjokroadikoesoemo 1986).
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Pati terdiri dari
dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas yaitu fraksi amilosa dan amilopektin.
Fraksi amilosa sifatnya larut dalam air panas dan fraksi amilopektin bersifat tidak larut.
Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin
mempunyai cabang dengan ikatan -(1,6)-D-glukosa sebanyak 4 5 % dari berat total
(Winarno 1992). Hidrolisis amilosa menghasilkan maltosa, glukosa dan oligosakarida
lainnya. Pada amilopektin sebagian dari molekul-molekul glukosa di dalam rantai
percabangannya saling berikatan melalui gugus -1,6. Ikatan -1,6 sangat sukar
diputuskan, apalagi jika dihidrolisis menggunakan katalisator asam.
Selulosa merupakan polimer glukosa dengan rantai linier yang terdiri dari satuan
glukosa anhidrida yang saling berikatan melalui atom karbon pertama dan keempat.
Ikatan yang terbentuk disebut dengan ikatan -1,4 glikosidik. Struktur linier

8
menyebabkan selulosa bersifat kristalin, tidak mudah larut dan tidak mudah didegradasi
secara kimia maupun mekanis. Rumus bangun selulosa disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur selulosa

Selulosa bersama-sama dengan hemiselulosa, pektin dan protein berfungsi untuk


membentuk struktur jaringan dinding sel tanaman (Holtzapple 1993). Selulosa dapat
berasosiasi dengan lignin sehingga sering disebut lignoselulosa. Selulosa, hemiselulosa
dan lignin merupakan komponen utama penyusun tanaman yang dihasilkan melalui
proses fotosintesis. Komponen-komponen ini dapat diuraikan menjadi komponen-
komponen yang lebih sederhana oleh aktifitas mikroorganisme dan dipergunakan sebagai
sumber energi (Enari 1983).

2.3 Bioetanol

Bioetanol merupakan etanol atau kependekan dari etil alkohol (C2H5OH) atau
sering juga disebut dengan grain alcohol. Etanol berbentuk cairan tidak berwarna dan
mempunyai bau khas. Berat jenis pada suhu 15oC sebesar 0,7937 dan titik didihnya
78,32 oC pada tekanan 76 mmHg. Sifat lainnya adalah larut dalam air dan eter dan
mempunyai panas pembakaran 328 Kkal.
Etanol dapat diperoleh dari hasil proses fermentasi gula dengan menggunakan
bantuan mikroorganisme. Dalam industri, etanol digunakan sebagai bahan baku industri
turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, dan campuran
bahan bakar untuk kendaraan. Etanol terbagi dalam tiga grade, yaitu grade industri
dengan kadar alkohol 90-94%, netral dengan kadar alkohol 96-99,5% umumnya
digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi dan grade bahan bakar dengan
kadar alkohol diatas 99,5% (Hambali et al. 2007).

9
Bioetanol dapat dipergunakan sebagai bahan bakar alternatif memiliki beberapa
keunggulan yaitu mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18 %, bioetanol merupakan
bahan bakar yang tidak beracun dan cukup ramah lingkungan serta dihasilkan melalui
proses yang cukup sederhana yaitu melalui proses fermentasi menggunakan mikrobia
tertentu. Bioetanol sebagai bahan bakar memiliki nilai oktan lebih tinggi dari bensin
sehingga dapat menggantikan fungsi aditif seperti metil tertiary butyl ether (MTBE) yang
menghasilkan timbal (Pb) pada saat pembakaran. Di Indonesia, minyak bioethanol sangat
potensial untuk diolah dan dikembangkan karena bahan bakunya merupakan jenis
tanaman yang banyak tumbuh di negara ini dan sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan
yang potensial untuk menghasilkan bioetanol adalah tanaman yang memiliki kadar
karbohidrat tinggi atau selulosa, seperti: tebu, nira, sorgum, ubi kayu, garut, ubi jalar,
sagu, jagung, jerami, bonggol jagung, dan kayu.
Tahap inti proses pembuatan bioetanol adalah fermentasi gula baik yang berupa
glukosa, fruktosa maupun sukrosa oleh yeast atau ragi terutama S. cerevisiae dan bakteri
Z. mobilis. Pada proses ini gula dikonversi menjadi etanol dan gas karbon dioksida.
Secara umum proses pembuatan bioetanol meliputi tiga tahapan, yaitu persiapan bahan
baku, fermentasi dan pemurnian. Pada tahap persiapan, bahan baku berupa padatan
terlebih dahulu harus dikonversi menjadi larutan gula sebelum difermentasi menjadi
etanol. Untuk bahan-bahan yang sudah berada dalam bentuk larutan seperti molase dapat
langsung difermentasi. Proses pengecilan ukuran dengan cara menggiling dapat
dilakukan sebelum memasuki tahap pemasakan.
Tahap pemasakan meliputi proses likuifikasi dan sakarifikasi. Pada tahap ini
tepung dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan menjadi gula kompleks. Pada
tahap likuifikasi dilakukan penambahan air dan enzim alpha amilase. Proses ini dilakukan
pada suhu 80-90oC. Berakhirnya proses likuifikasi ditandai dengan parameter cairan
seperti sup. Tahap sakarifikasi dilakukan pada suhu 50 60 oC. Enzim yang ditambahkan
pada tahap ini adalah enzim glukoamilase. Pada tahap sakarifikasi akan terjadi
pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana.
Tahap fermentasi merupakan tahap kedua dalam proses produksi bioetanol. Pada
tahap ini terjadi pemecahan gula-gula sederhana menjadi etanol dengan melibatkan enzim
dan ragi. Fermentasi dilakukan pada kisaran suhu 27 32 oC. Pada tahap ini akan

10
dihasilkan gas CO2 dengan perbandingan stokiometri yang sama dengan etanol yang
dihasilkan yaitu 1 : 1. Setelah melalui proses pemurnian, gas CO2 dapat digunakan
sebagai bahan baku gas dalam pembuatan minuman berkarbonat.
Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia pada substrat organik, baik
karbohidrat, protein, lemak atau lainnya, melalui kegiatan katalis biokimia yang dikenal
sebagai enzim dan dihasilkan oleh jenis mikroba spesifik (Prescott dan Dunn 1981).
Secara biokimia fermentasi juga dapat diartikan sebagai pembentukan energi melalui
senyawa organik. Secara sederhana proses fermentasi alkohol dari bahan baku yang
mengandung gula atau glukosa terlihat pada reaksi berikut:
Glukosa 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP + 5 Kkal
Dari reaksi diatas, 70% energi bebas yang dihasilkan dibebaskan sebagai panas dan
secara teoritis 100% karbohidrat diubah menjadi 51,1% etanol dan 48,9 % menjadi CO2.
Fermentasi menurut jenis medianya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
fermentasi media padat dan media cair. Fermentasi media padat adalah fermentasi yang
subtratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas, tetapi cukup mengandung air
untuk keperluan mikroba. Fermentasi media cair adalah proses fermentasi yang
subtratnya larut atau tersuspensi dalam media cair. Fermentasi media padat umumnya
berlangsung pada media dengan kadar air berkisar antara 60-80 %.
Dalam proses fermentasi, glukosa dapat diubah secara anaerobik menjadi alkohol
oleh bermacam-macam mikroorganisme. Khamir sering digunakan dalam proses
fermentasi etanol, seperti Saccharomyces cerevisiae, S. uvarum, Schizosaccharomyces sp
dan Kluyveromyces sp. Secara umum khamir dapat tumbuh dan memproduksi etanol
secara efisien pada pH 3,5-6,0 dan suhu 28-35oC. Laju awal produksi etanol dengan
menggunakan khamir akan meningkat pada suhu yang lebih tinggi, namun produktifitas
keseluruhan menurun karena adanya pengaruh peningkatan etanol yang dihasilkan.
(Ratledge 1991). Khamir yang sering dipergunakan dalam proses fermentasi etanol
adalah Saccharomyces cereviseae. Khamir ini bersifat fakultatif anaerobik, tumbuh baik
pada suhu 30oC dan pH 4,0 4,5 (Oura 1983).
Produksi etanol dari substrat gula oleh khamir Saccharomyces cereviseae
merupakan proses fermentasi dengan kinetika sangat sederhana karena hanya melibatkan
satu fasa pertumbuhan dan produksi. Pada fase tersebut glukosa diubah secara simultan

11
menjadi biomassa, etanol dan CO2. Terdapat dua parameter yang mengendalikan
pertumbuhan dan methabolisme khamir dalam keadaan anaeorobik, yaitu konsentrasi
gula dan etanol. Secara kinetik glukosa berperan ganda, pada konsentrasi rendah (kurang
dari 1 g/l) merupakan substrat pembatas, sedangkan pada konsentrasi tinggi (lebih dari
300 g/l) akan menjadi penghambat (Mangunwidjaja 1994). Pada permulaan proses
fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Setelah terjadi akumulsi
CO2 dan reaksi berubah menjadi anaerob, alkohol yang terbentuk akan menghalangi
proses fermentasi lebih lanjut setelah konsentrasi alkohol mencapai 13-15 persen volume
dan biasanya maksimum 13 persen volume (Prescott dan Dunn 1981). Selama proses
fermentasi juga menimbulkan panas, bila tidak dilakukan pendinginan, maka suhu akan
terus meningkat sehingga proses fermentasi terhambat (Oura 1983).
Faktor lingkungan seperti suhu, pH, kebutuhan nutrient dan kofaktor perlu
diperhatikan dalam kehidupan khamir. Sejumlah kecil oksigen harus disediakan pada
proses fermentasi oleh khamir karena oksigen merupakan komponen yang diperlukan
dalam biosintesis beberapa asam lemak tidak jenuh. Untuk kebutuhan oksigen dalam
proses fermentasi, biasanya diberikan tekanan oksigen 0,05 0,10 mm Hg. Jika
tekanan oksigen yang diberikan lebih besar dari nilai tersebut, maka konversi akan
cenderung kearah pertumbuhan sel. Kebutuhan relatif nutrien sebanding dengan
komponen utama sel khamir, yaitu mencakup karbon, oksigen, nitrogen dan hidrogen.
Pada jumlah lebih rendah, fosfor, sulfur, potasium dan magnesium juga harus tersedia
untuk sintesis komponen-komponen mineral. Beberapa mineral seperti Mn, Co, Cu dan
Zn serta faktor pertumbuhan organik seperti asam amino, asam nukleat dan vitamin
diperlukan dalam jumlah besar untuk pertumbuhan khamir.

2.4 Hidrolisis Asam

Konversi polisakarida menjadi monomer-monomer dapat dilakukan dengan


proses hidrolisis baik secara enzimatis maupun secara kimiawi. Hidrolisis secara
kimiawi biasanya menggunakan asam. Asam yang sering dipergunakan adalah asam
sulfat, asam klorida dan asam fosfat. Hidrolisis asam pada dasarnya ada 2 jenis, yaitu
hidrolisis pada suhu rendah dengan konsentrasi asam tinggi (concentrated-acid
hydrolisis) dan hidrolisis pada suhu tinggi dengan konsentrasi asam rendah (dilute-acid

12
hydrolisis) (Taherzadeh dan Keikhosro 2007). Pemilihan antara kedua metode kimiawi
ini didasarkan pada pertimbangan laju hidrolisis, tingkat degradasi, produk dan biaya
total produksi. Perbandingan keuntungan dan kelemahan antara concentrated-acid
hydrolisis dengan dilute-acid hydrolisis disajikan pada Tabel 3 berikut ini :

Tabel 3 Perbandingan keuntungan dan kelemahan antara concentrated-acid hydrolisis


dengan dilute-acid hydrolisis
Metode hidrolisis Keuntungan Kelemahan
Hidrolisis pada suhu rendah Dioperasikan pada suhu Konsentrasi asam
dengan konsentrasi asam rendah tinggi
tinggi Rendemen gula tinggi Korosi peralatan
Energi tinggi untuk
pengambilan asam
Hidrolisis pada suhu tinggi Konsentrasi asam rendah Suhu operasi tinggi
dengan konsentrasi asam Waktu tinggal singkat Yield gula rendah
rendah Korosi peralatan
Sumber: Taherzadeh dan Keikhosro (2007).

Hidrolisis asam dengan konsentrasi rendah (dilute-acid) dilakukan dalam dua


tahap yaitu: pertama, tahap yang melibatkan asam encer untuk menghidrolisis gula dari
golongan pentosa umumnya yang terdapat fraksi hemiselulosa. Tahapan ini biasanya
menggunakan 1% H2SO4 pada suhu 80-120oC selama 30-240 menit. Tahap kedua
menggunakan asam dengan konsentrasi yang lebih tinggi untuk menghidrolisis gula yang
berasal dari golongan heksosa seperti selulosa menjadi glukosa, biasanya dilakukan
dengan konsentrasi asam 5-20 % H2SO4 dengan suhu mendekati 180 oC. Dengan
menggunakan hidolisis bertahap ini, maka kondisi optimum untuk memaksimalkan hasil
glukosa dan miminimumkan hasil samping yang tidak diinginkan (Purwadi 2006). Proses
pemisahan antara fraksi gula dengan fraksi asam dapat dilakukan dengan proses
pertukaran ion dan asam dapat dikonsentrasikan kembali dengan proses evaporasi
(Demirbas 2007).
Hidrolisis asam dengan konsentrasi rendah merupakan proses yang murah dan
cepat untuk memperoleh gula dari bahan lignoselulosa. Namun, proses ini akan
menghasilkan senyawa-senyawa penghambat yang bersifat toksik untuk mikroorganisme
pada proses fermentasi, termasuk yeast. Toksik ini dapat menurunkan hasil produktivitas
dan merusak pertumbuhan sel. Proses hidrolisis asam pada bahan lignoselulosik biasanya

13
akan menghasilkan glukosa, manosa, xilosa atau campuran senyawa-senyawa fenolik.
Selama proses hidrolisis asam gula pentosa akan menghasilkan furfural dan gula heksosa
menghasilkan 5-hidroksimetilfurfural (HMF) (Lopez et al.(2004).
Hidrolisis asam dengan konsentrasi rendah dapat dipergunakan sebagai langkah
perlakuan awal (pretreatment) untuk proses hidrolisis secara enzimatik. Perlakuan awal
hidrolisis enzimatik pada limbah lignoselulosik menggunakan H2SO4 0,1-1 % pada suhu
140-190 oC akan dapat melemahkan ikatan-ikatan selulosa. Pretreatment dapat dilakukan
selama 5 menit pada suhu 180 oC atau 30-90 menit pada suhu 120 oC (Taherzadeh dan
Karimi 2007)

2.5 Hidrolisis Enzim

Enzim adalah satu atau beberapa gugus polipeptida atau protein yang berfungsi
sebagai katalis dalam suatu reaksi kimia. Enzim bekerja dengan cara menempel pada
permukaan molekul zat-zat yang bereaksi sehingga dapat mempercepat proses reaksi.
Percepatan terjadi karena enzim menurunkan energi pengaktifan yang dengan sendirinya
akan mempermudah terjadinya reaksi. Enzim bekerja secara khas, yang artinya setiap
jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini
disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Sebagai contoh,
enzim -amilase hanya dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa.
Hidrolisis pati dapat menggunakan enzim -amilase dan glukoamilase. Enzim -
amilase merupakan endo-enzim yang dapat memecah ikatan -1,4 glikosidik secara acak
dibagian dalam molekul baik pada amilosa maupun pada amilopektinnya. Hasil akhir
hidrolisis amilosa adalah glukosa dan maltosa dengan perbandingan 13 % dan 17 %,
sedangkan hasil akhir hidrolisis amilopektin menghasilkan campuran limit dekstrin
bercabang dan tidak bercabang yang terdiri dari hepta, heksa, penta, tetra dan trisakarida
juga maltosa dan isomaltosa disertai sedikit glukosa.
Hidrolisis pati juga dapat menggunakan enzim glukoamilase. Enzim ini juga
dikenal dengan nama -1,4 glukan glukohidrolase. Enzim glukoamilase mampu
memecah ikatan polimer monosakarida pada bagian luar dan menghasilkan unit-unit
glukosa dari ujung non-pereduksi rantai polimer polisakarida. Enzim glukoamilase dapat
diperoleh dari strain Aspergillus dan Rhizopus. Enzim ini bersifat eksoamilase, yaitu

14
memutuskan rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian non pereduksi,
baik pada ikatan -1,4 dan -1,6 glikosidik (Tjokroadikoesoemo 1986).
Selulosa dapat dikonversi menjadi produk-produk bernilai ekonomi yang lebih
tinggi seperti etanol, glukosa dan pakan ternak dengan jalan menghidrolisis selulosa
dengan bantuan selulase sebagai biokatalisator atau dengan hidrolisis asam atau basa.
Selulase adalah enzim yang dapat mengkatalis terjadinya reaksi hidrolisis selulosa
menjadi glukosa. Keuntungan hidrolisisi ensim dibandingkan dengan hidrolisis asam
adalah kondisi reaksi ringan dan tidak terjadi reaksi samping yang berarti.
Enzim selulase dapat diproduksi oleh mikroorganisme, seperti T.viride atau T.
reesei. Mikroorganisme selulolitik mampu menghasilkan selulase kompleks, yaitu suatu
campuran beberapa jenis selulase yang berbeda. Selulase kompleks mampu
menghidrolisis kristal selulosa menjadi gula-gula terlarut secara efisien. Beberapa
spesies bakteri yang dapat memproduksi enzim selulase dan hemiselulase adalah
Clostridium, Cellumonas, Thermomonospora, Bacillus, Bacteriodes, Ruminococcus,
Erwinia, Acetovibrio, Microbispora dan Streptomyces, dan jamur seperti Tricoderma,
Penicillium, Fusarium, Phanerochaete, Humicola dan Schizophillum spp. Walaupun
enzim selulase dapat diproduksi oleh berbagai macam mikroorganisme, enzim selulase
dari T. reesei atau T viride telah banyak dipelajari dan mempunyai karakteristik yang
paling baik.
Enzim selulase kompleks terdiri dari tiga enzim utama yaitu endoglukanase,
eksoglukanase dan selobiase. Endoglukanase menghidrolisis ikatan 1,4 -glikosidik
secara acak pada daerah amorf selulosa menghasilkan glukosa, selobiosa dan
selodekstrin. Eksoglukanase menghidrolisis selodekstrin dengan memutus unit selobiosa
dari ujung rantai polimer. Selobiase menghidrolisis selobiosa dan selo-oligosakarida
menjadi glukosa ( Wu et al. 2000; Jeewon 1997).
Enzim endoglukonase atau endoselulase menguraikan kristal-kristal penyusun
serat selulosa dan melepaskan ikatan pada rantai kristal membentuk selulosa tunggal.
Selulosa tunggal tersebut diurai oleh eksoglukonase atau eksoselulase menjadi unit-unit
selobiase yang merupakan disakarida. Selobiase diuraikan menjadi glukosa oleh -
glukosidase.

15
Faktor-faktor yang berpengaruh pada proses hidrolisis enzim diantaranya yaitu
kualitas dan konsentrasi substrat, metode perlakuan awal yang diaplikasikan, aktivitas
enzim selulase dan kondisi proses hidrolisis seperti suhu dan pH. Suhu dan pH optimum
merupakan fungsi dari bahan, sumber enzim dan waktu hidrolisis. Suhu dan pH optimum
pada enzim selulase umumnya pada 40 50 oC dan pH 4 5, sehingga waktu yang
digunakan tergantung pada kondisi tersebut.
Hidrolisis enzimatik tongkol jagung yang diberi perlakuan awal H2SO4 1% pada
suhu 180 oC kemudian dihidrolisis dengan enzim selulase kasar T. viride dan enzim
glukoamilase kasar A.niger yang dilakukan pada suhu 50 oC, pH 4,8 selama 60 jam
menghasilkan 45,7 g/L etanol melalui sistem produksi fed batch (Chen et al. 2007)
Salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh dan
kecepatan hidrolisis enzimatis adalah substrat. Konsentrasi substrat yang tinggi dapat
menyebabkan penghambat yang memperlambat proses hidrolisis. Terjadinya penghambat
oleh substrat tergantung pada perbandingan antara banyaknya enzim terhadap banyaknya
substrat. Masalah pengadukan dan perpindahan panas juga akan timbul pada substrat
yang berkonsentrasi tinggi. Banyaknya enzim yang ditambahkan pada substrat sangat
berpengaruh terhadap kecepatan proses hidrolisis. Semakin banyak enzim yang
ditambahkan akan semakin cepat proses hidrolisis yang terjadi dan hasil yang diperoleh
juga semakin banyak, tetapi semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan. Banyaknya
enzim yang ditambahkan pada substrat biasanya 5 35 FPU/gram substrat. Pengurangan
biaya untuk penyediaan enzim pada proses hidrolisis enzim dapat dilakukan dengan daur
ulang enzim selulase. Bercampurnya enzim dalam hidrolisat dan terbentuknya sisa proses
yang berupa padatan (kemungkinan lignin) mempersulit proses pemisahan enzim.
Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan aplikasi
imobilisasi enzim selama proses.

2.6 Trichoderma viride

T. viride termasuk dalam genur Trichoderma, famili Moniliaceae dan ordo


Moniliales. Kapang ini mudah dilihat karena penampakannya berserabut seperti kapas,
namun jika spora telah timbul akan tampak berwarna hijau tua. T. viride mampu
memproduksi komplek enzim selulase yang lengkap yaitu endoselulase dan eksoselulase

16
yang dapat menghidrolisis selulosa kristalin dan selulosa non kristalin. Pada enzim
selulase dapat terjadi sinergisme antara eksoselulase dengan endoselulase, melainkan
juga antar eksoselulase.
Pertumbuhan T. viride optimal pada pH sekitar 4,0, sedangkan untuk produksi
enzim selulase mendekati ph 3,0. Selama produksi enzim, pH harus dipertahankan dalam
kisaran 3,0 4,0 karena inaktivasi enzim akan terjadi di bawah pH 2,0. Suhu optimum
pertumbuhan sekitar 32 35 oC dan untuk produksi enzim sekitar 25 28 oC.
Karakteristik dari enzim selulase T. viride adalah memiliki pH optimum 4,0 dan akan
tetap stabil pada pH 3 7. suhu optimum adalah 50 oC dan aktivitasnya akan menurun
jika suhunya lebih dari 50 oC.
T. viride selain mampu memproduksi enzim selulase, juga dapat menghasilkan
enzim endo-1,4--xilanase yang dapat mendegradasi xilan. Berat molekul xilanase yang
dihasilkan dari T. viride adalah sebesar 22.000 dalton ( Ujiie et al. 1991; Tholudur
1999). Palmvist et al. (1997) dan Larsson et al. (1999), melaporkan Trichoderma
mampu secara simultan melakukan proses detoksifikasi dan produksi enzim secara
simultan pada hidrolisat asam yang mengandung senyawa-senyawa inhibitor seperti
furfural dan HMF. Kapang ini juga mampu memetabolisme gula dari golongan pentosa
maupun heksosa dan tidak terlalu sensitif terhadap material-material lignoselulosik.

2.7 Aspergillus niger

Aspergillus niger termasuk genus Aspergillus, famili Eurotiaceae dan ordo


Eurotiales. Kapang ini mempunyai miselium bercabang dan berseptat. Kapang umumnya
bersifat aerob dan tumbuh baik pada kisaran suhu 25 30 oC, namun genus Aspergillus
dapat tumbuh pada kisaran suhu 35 37 oC. Kapang ini dapat tumbuh dengan baik pada
suhu 30 oC dengan pH optimum 7,0 atau agak asam dan besifat tidak tahan panas. A.
niger dalam media pertumbuhan dapat langsung mengkonsumsi molekul-molekul
sederhana seperti gula dan komponen lain yang larut disekitar hifa, namun untuk
molekul-molekul yang lebih kompleks seperti selulosa, pati dan protein harus dipecah
terlebih dahulu sebelum masuk kedalam sel.
Pembentukan enzim ekstraseluler A. niger berlangsung lebih baik pada suhu
kamar yaitu 25 28 oC dari pada suhu optimum pertumbuhannya (37,8 oC). Sintesis

17
enzim akan menurun pada suhu lebih dari 30 oC karena energi respirasi lebih banyak
dipergunakan untuk pembentukan spora dari pada untuk membentuk miselium.
A. niger dikenal sebagai kapang penghasil asam sitrat, anilin, pektinase, selulase,
-1,4-glikan hidrolase, protease, -amilase, glukoamilase, maltase, -galaktosidase, -
glukosidase, -glukosidase, asam glukonat, glukosa oksidase, asam oksalat,
fosfodiestrase, ribonuklease, pupulan 4- glukanohidrolase, -xilosidase, xilanase dan
lipase. Glukoamilase dari A. niger menunjukkan bobot molekul berkisar 54-112 k D dan
pH optimum berkisar antara 4,0-5,0. Temperatur optimum aktivasi berkisar antara 40
65 oC ( Selvakumar et al. 1996).

2.8 Saccharomyces cerevisiae

Saccharomyces cerevisiae termasuk ke dalam kelas Ascomycetes yang dicirikan


dengan pembentukan askus yang merupakan tempat pembentukan askospora. S.
serevisiae memperbanyak diri secara aseksual yaitu dengan bertunas (Pelezar dan Chan
1986). Dinding sel S. cerevisiae terdiri dari komponen-komonen glukan, manan, protein,
kitin dan lemak (Waluyo 2004).
Saccharomyces cerevisiae sering digunakan dalam fermentasi etanol karena
sangat tahan dan toleran terhadap kadar etanol yang tinggi (12-18% v/v), tahan pada
kadar gula yang cukup tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32 oC. S.
cerevisiae mempunyai aktivitas optimum pada suhu 30 35 oC dan tidak aktif pada suhu
lebih dari 40 oC. S. cerevisiae dapat memfermentasi glukosa, sukrosa, galaktosa serta
rafinosa (Kunkee dan Mardon 1970). Biakan S. cerevisiae mempunyai kecepatan
fermentasi optimum pada pH 4,48 (Harrison dan Graham 1970)
Rendemen alkohol dari heksosa dalam fermentasi menggunakan khamir dari
genus Saccharomyces dapat mencapai 90 % (Boyles 1984). Proses fermentasi oleh
Saccharomyces adalah proses pengubahan sebagian besar energi dari gula ke dalam
bentuk etanol. Efisiensi pengubahan energi tersebut dapat mencapai 97 % (Campbel
1983). Mekanisme pembentukan etanol oleh kamir melalui jalur Embden-Meyerhof-
Parnas Pathway (EMP) atau glikolisis. Hasil dari EMP adalah memecah glukosa
menjadi 2 molekul piruvat. Mekanisme glikolisis disajikan pada Gambar 3.

18
Glukosa

Glukosa-6-P

Fruktosa-6-P

Fruktosa-1,6-di-P

Gliseraldehida-3-P Dihidroksiaseton
fosfat

Gliseraldehida-3-P

1,3-di fosfogliserat

3-fosfogliserat

2-fosfogliserat

Fosfoenolpiruvat

Piruvat

Gambar 3 Mekanisme proses glikolisis

Setelah melalui tahap glikolisis, piruvat yang terbentuk kemudian dirubah menjadi
asetaldehid dan CO2 oleh enzim piruvat decarboksilase, setelah itu oleh enzim alkohol
dehidrogenase dirubah menjadi etanol.

19
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Juli 2009, bertempat di
Laboratorium Mikrobiologi PAU IPB dan Laboratorium Bioindustri Teknologi Industri
Pertanian IPB. Beberapa laboratorium penunjang antara lain Laboratorium
Instrumentasi Teknologi Industri Pertanian IPB dan Laboratorium Dasar dan Ilmu
Terapan Teknologi Industri Pertanian IPB.

3.2 Bahan dan Alat


3.2.1 Bahan

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi kayu varietas Darul
Hidayah yang diperoleh dari Sukabumi. Mikroorganisme yang digunakan untuk
fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae, Trichoderma viride dan Aspergillus niger
yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi PAU IPB. Bahan untuk proses
likuifikasi, sakarifikasi dan fermentasi meliputi: PDA, NPK, ZA , H2SO4, CMC, AMG,
-amilase, selulase komersial. Bahan kimia untuk keperluan analisa meliputi: HCl 1 N,
larutan schroll H2SO4 25%, Na2S2O3 0,1 N, fenol 5%, H2SO4.

3.2.2 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah oven, mixer, timbangan


analitik, incubator, otoklaf, termometer, erlenmeyer, pH meter, gelas ukur, alat distilasi,
kertas saring, mikropipet, spektrofotometer dan GC (Gas Chromatography)

3.3 Tahapan Penelitian

Penelilian ini dilaksanakan dalam 4 tahap, yaitu tahap pertama karakterisasi


bahan baku. Tahap kedua, kultivasi jumlah spora T. viride dan A. niger. Tahap ketiga
produksi enzim selulase dan AMG kasar. Tahap keempat hidrolisis dan fermentasi.
Diagram alir tahapan penelitian disajikan pada Gambar 4.
3.3.1 Karakteristik ubi kayu

Karakterisasi ubi kayu dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik


bahan baku yang meliputi analisis kadar air, lemak, protein, pati, abu, selulosa,
hemiselulosa dan serat kasar. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.3.2 Persiapan kultur T. viride.

Kultur T. viride sebelum dipergunakan disegarkan supaya dapat memproduksi


selulase dengan optimal. T. viride digoreskan dalam media PDA (Potato Dextrose
Agar) yang dibuat miring pada tabung reaksi dan dibiarkan tumbuh dalam inkubator
pada suhu 28 oC. Pertumbuhan maksimal T. viride ditentukan dengan membuat kurva
pertumbuhan jumlah spora yang diamati setiap hari selama 7 hari. Jumlah spora
maksimal yang diperoleh selanjutnya dipergunakan untuk memproduksi enzim selulase.

Gambar 4 Tahapan penelitian

21
3.3.3 Persiapan kultur A. niger

Isolat A. niger diperbanyak dan diremajakan dengan menginokulasikannya ke


dalam media padat aagr miring PDA, kemudian diinkubasi pada suhu kamar 25 28 oC
selama 5 hari. Media padat dibuat dengan cara diambil 3,9 gram media PDA dilarutkan
dalam 100 ml air kemudian disterilisasi pada suhu 121 oC selama 15 menit.

3.3.4 Persiapan kultur S. cerevisiae

Isolat yeast Saccharomyces cerevisiae diremajakan pada media PDA dan


diinkubasi selama 2 hari. Setelah itu isolat ditumbuhkan lagi pada 50 ml media YMGP
yang terdiri dari ekstrak yeast 5 g/l, malt 5 g/l, glukosa 10 g/l dan pepton 5 g/l di dalam
erlenmeyer 200 ml. Inkubasi dilakukan pada shaker berkecepatan 125 rpm dengan suhu
30C selama 24 jam.

3.3.5 Produksi enzim glukoamilase A. niger

Isolat A. niger yang telah diremajakan disuspensikan dengan larutan buffer


fosfat 10 ml untuk setiap tabung agar miring. Larutan spora yang diperoleh dimasukkan
ke dalam media fermentasi yang telah disterilkan dengan konsentrasi 10 %. Media
fermentasi cair yang dipergunakan terdiri dari substrat tapioka dan larutan mineral.
Produksi dilakukan dalam erlenmeyer 250 ml dengan volume kerja 100 ml. Media
produksi kemudian ditutup dengan kapas dan disterilisasi dalam otoklaf suhu 121 oC
selama 15 menit. Larutan mineral terdiri dari 1 % tapioka, 0,14 % (NH4)2SO4, 0,01 %
MgSO4. 7H2O, 0,60 % KH2PO4, 0,20 % K2HPO4, 0,50 ekstrak yeast dan 0,20 pepton.
Inkubasi dilakukan pada inkubator goyang dengan kecepatan 100 rpm selama 7 hari
pada huhu 30 oC. Pada masa akhir inkubasi dilakukan pengukuran aktivitas enzim
glukoamilase (Gomes et al. 2005).

3.3.6 Produksi enzim selulase T. viride

Media yang dipergunakan untuk memproduksi enzim selulase adalah modifikasi


media Andreoti (Jenie, 1990). Media mengandung 14 ml (NH4)2SO4 10 %, 15 ml
KH2PO4 1M, 3 ml urea 10 %, 3 ml CaCl2 10 %, 3 ml MgSO4. 7H2O 10 %, 1 ml stok
unsur kelumit dan 2 ml Tween 80, kemudian dijadikan 1 liter. Unsur kelumit terdiri dari
495 ml aquades, 5 ml HCl pekat, 2,5 gram FeSO4, 0,89 gram MnCl2. 4H2O, 1,76 gr

22
ZnSO4.H2O, 1,25 gr Co(NO3)2. 6H2O. Untuk produksi selulase ditambahkan 5 -10 gr
onggok dan 0,5-1,0 gr polipepton untuk 1 liter media.
o
Proses produksi dilakukan pada suhu 30 C dan pH 4,0 (Jenie, 1990).
Kemampuan untuk menghasilkan enzim selulase diamati dengan mengukur antivitas
FP-ase dan CMC-Ase setiap 24 jam selama 7 hari. Kurva aktivitas enzim dibuat dan
dipergunakan untuk melihat waktu tercapainya aktivitas maksimum T. viride untuk
menghasilkan selulase.

3.3.7 Pembuatan etanol

Tahapan pembuatan etanol dalam penelitian dilakukan melalui sistem batch


dengan tujuh perlakuan proses fermentasi (Lampiran 2). Proses hidrolisis dilakukan
secara asam dan enzimatik. Penggunaan kultur campuran T. viride, A. niger dan S.
cerevisiae dilakukan dengan dua cara yaitu secara SFS dan secara bertahap. Kultur yang
ditambahkan sebanyak 10 % dari total volume substrat. Kondisi hidrolisis dan
fermentasi tujuh alternatif tahapan proses disajikan pada Tabel 4.
Masing-masing alternatif proses diulang tiga kali dan diamati secara periodik selama
4 hari terhadap perubahan total gula dan pH selama fermentasi. Pada akhir fermentasi
dianalisa kadar etanol dan sisa serat kasar. Dari data yang diperoleh dihitung efisiensi
fermentasi, rendemen dan efisiensi penggunaan substrat. Pemilihan proses produksi
terbaik didasarkan pada produksi etanol tertinggi. Efisiensi fermentasi merupakan
persentase perbandingan antara konsentrasi etanol yang diperoleh secara aktual dengan
konsentrasi etanol secara teoritis berdasarkan jumlah gula yang dikonsumsi. Rendemen
merupakan persentase perbandingan volume etanol yang diperoleh dengan bobot tepung
yang dipergunakan.

Volume etanol yang diperoleh secara aktual


Rendemen (% v/b) = x 100 %
Bobot tepung ubi kayu

So - S
Efisiensi substrat (ds/s) = x 100 %
So

Konsentrasi etanol yang diperoleh secara aktual


Efisiensi fermentasi = x 100 %
Konsentrasi etanol secara teoritis

23
Tabel 4 Kondisi hidrolisis dan fermentasi tujuh alternatif tahapan proses.
Perlakuan Hid. asam Likuifikasi Sakarifikasi Fermentasi
P1 Bahan H2SO4 - T. viride S.cerevisiae
Konsentrasi 0,4 M 10 % 10 %
Suhu 121oC, 1 atm 28-30 oC 28-30 oC
pH - 5,0 5,0
Waktu 10 menit 48 jam 96 jam
P2 Bahan H2SO4 - SSF (T. viride, S .cerevisiae)
Konsentrasi 0,4 M 1 : 1 (masing-masing 10 %)
Suhu 121oC, 1 atm 28-30 oC
pH - 5,0
Waktu 10 menit 96 jam
P3 Bahan - -amilase SSF(T. viride, S. .cerevisiae A.niger)
Konsentrasi 1 ml/kg pati 1 : 1 :1 ( masing-masing 10 %)
Suhu 90 oC 28-30 oC
pH 4,8 5,0
Waktu 1 jam 96 jam
P4 Bahan - -amilase AMG, selulase kasar S.cerevisiae
Konsentrasi 1 ml/kg pati 1,2/kg pati, 10 % 10 %
Suhu 90 oC 50 oC 28-30 oC
pH 4,8 4,8 5,0
Waktu 1 jam 48 jam 96 jam
P5 Bahan - -amilase (T. viride, A.niger) S.cerevisiae
Konsentrasi 1 ml/kg pati 1 : 1 (10 %) 10 %
Suhu 90 oC 28-30 oC 28-30 oC
pH 4,8 5,0 5,0
Waktu 1 jam 48 jam 96 jam
P6 Bahan - -amilase AMG, selulase komrsial S.cerevisiae
Konsentrasi 1 ml/kg pati 1,2/kg pati, 15 U/ g 10 %
Suhu 90 oC 50 oC 28-30 oC
pH 4,8 4,8 5,0
Waktu 1 jam 48 jam 96 jam
P7* Bahan - -amilase AMG S.cerevisiae
Konsentrasi 1 ml/kg pati 1,2/kg pati 10 %
Suhu 90 oC 50 oC 28-30 oC
pH 4,8 4,8 5,0
Waktu 1 jam 48 jam 96 jam
* Kontrol

3.4 Teknik Analisis Data

3.4.1 Produksi enzim selulase

Untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi terhadap besarnya aktivitas


selulase, maka dilakukan Uji F dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal.
Faktornya adalah lama fermentasi dengan tujuh taraf perlakuan yaitu 1 hari, 2 hari, 3
hari, 4 hari, 5 hari, 6 hari dan 7 hari. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Apabila
perlakuan lama fermentasi berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Duncan.
Parameter yang diamati adalah aktivitas selulase yang meliputi aktivitas FP-ase dan
CMC-ase.

24
Persamaan model rancangannya sebagai berikut:

Yij i ij

dimana :
Yij : Parameter pengamatan pada perlakuan lama fermentasi ke-i dan ulangan ke-j
: Nilai rata-rata umum
i : Pengaruh perlakuan lama fermentasi ke-i
ij : Galat percobaan akibat perlakuan lama fermentasi ke-i dan ulangan ke-j
i : Taraf lama fermentasi (1, 2,...,7 hari)
j : Ulangan (1, 2, 3)

3.4.2 Produksi enzim amiloglukosidase

Untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi terhadap besarnya aktivitas AMG,


maka dilakukan Uji F dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal.
Faktornya adalah lama fermentasi dengan tujuh taraf perlakuan yaitu 1 hari, 2 hari, 3
hari, 4 hari, 5 hari, 6 hari dan 7 hari. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Apabila
perlakuan lama fermentasi berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Duncan.
Parameter yang diamati adalah aktivitas AMG. Persamaan model rancangannya sebagai
berikut:

Yij i ij

dimana :
Yij : Parameter pengamatan pada perlakuan lama fermentasi ke-i dan ulangan ke-j
: Nilai rata-rata umum
i : Pengaruh perlakuan lama fermentasi ke-i
ij : Galat percobaan akibat perlakuan lama fermentasi ke-i dan ulangan ke-j
i : Taraf lama fermentasi (1, 2,...,7 hari)
j : Ulangan (1, 2, 3)

25
3.4.3 Proses hidrolisis

Untuk mengetahui pengaruh jenis proses hidrolisis terhadap besarnya


konsentrasi total gula dan gula pereduksi, maka dilakukan Uji F dengan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal. Faktornya adalah jenis proses hidrolisis dengan
empat taraf perlakuan yaitu :
1. Hidrolisis menggunakan asam (H2SO4 0,4 M)
2. Hidrolisis menggunakan enzim -amilase dan amiloglukosidase
3. Hidrolisis menggunakan enzim -amilase, AMG komersial dan selulase kasar
4. Hidrolisis menggunakan enzim -amilase, AMG komersial dan selulase komersial.
Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Apabila perlakuan lama fermentasi
berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Duncan. Parameter yang diamati
adalah konsentrasi total gula dan gula pereduksi. Persamaan model rancangannya
sebagai berikut:

Yij i ij

dimana :
Yij : Parameter pengamatan pada perlakuan jenis proses hidrolisis ke-i dan ulangan
ke-j
: Nilai rata-rata umum
i : Pengaruh perlakuan jenis proses hidrolisis ke-i
ij : Galat percobaan akibat perlakuan lama fermentasi ke-i dan ulangan ke-j
i : Taraf jenis proses hidrolisis (1, 2, 3,4)
j : Ulangan (1, 2, 3)

3.4.4 Proses fermentasi

Untuk mengetahui pengaruh alternatif proses fermentasi terhadap konsentrasi


etanol dan serat kasar sisa, maka dilakukan Uji F dengan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) faktor tunggal. Faktornya adalah alternatif proses fermentasi dengan tujuh taraf
perlakuan (Tabel 4, Lampiran 2). Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Apabila
perlakuan alternatih proses fermentasi berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan Uji
Duncan. Parameter yang diamati adalah konsentrasi etanol dan konsentrasi serat kasar
sisa.

26
Persamaan model rancangannya sebagai berikut:

Yij i ij

dimana :
Yij : Parameter pengamatan pada perlakuan alternatif proses fermentasi ke-i dan
ulangan ke-j
: Nilai rata-rata umum
i : Pengaruh perlakuan alternatif proses fermentasi ke-i
ij : Galat percobaan akibat perlakuan alternatif proses fermentasi ke-i dan
ulangan ke-j
i : Taraf alternatif proses fermentasi (P1, P2,...,P7)
j : Ulangan (1, 2, 3)

27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi Kimia Ubi Kayu

Ubi kayu yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah ubi kayu varietas Darul
Hidayah yang diperoleh dari Daerah Sukabumi, Jawa Barat. Ubi kayu sebelum
dipergunakan sebagai substrat fermentasi terlebih dahulu dijadikan tepung dengan
ukuran 40 mesh kemudian dianalisis komposisi kimianya, yang meliputi kadar air, abu,
lemak, protein dan karbohidrat. Hasil analisis komposisi kimia tepung ubi kayu
disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil analisis komposisi tepung kimia ubi kayu.


Komposisi (% bb)
Parameter
Tepung a Tepung gaplekb
1. Kadar air 8,65 0,10 13,10 0,07
2. Kadar abu 2,55 0,14 2,26 0,52
3. Kadar lemak 6,54 0,02 0,27 0,04
4. Kadar protein 1,81 0,03 2,07 0,61
5. Serat kasar 2,69 0,04
6. Selulosa 0,36 0,01
7. Hemiselulosa 1,88 0,03
8. Lignin 0,02 0,01
9. Pati 62,54 0,00
Data : rerata standar deviasi (n = 2)
a
Analisis proksimat (2009), b Richana et al. (1990).

Kandungan air dalam bahan berpengaruh terhadap kesegaran dan daya simpan.
Kandungan air ini dipengaruhi oleh varietas, umur tanam, unsur hara tanah dan iklim.
Kandungan air dalam ubi kayu segar sekitar 60,30 % (Padonou et al. 2005).
Berdasarkan hasil pengukuran kadar air bahan baku tepung ubi kayu yang dipergunakan
mengandung sekitar 8,65 0,10 % (bb), sedangkan menurut Richana et al. (2004) yaitu
sekitar 13,10 0,07 %.
Kadar abu dalam bahan berkaitan dengan kandungan mineral-mineral anorganik
sisa pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550 oC (Apriyantono et al. 1988).
Berdasarkan hasil pengamatan, kadar abu pada bahan adalah 2,55 0,14 % (bb). Kadar
abu ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Richana et al. (2004) yaitu
sekitar 2,26 0,52 %.
Kadar lemak dan protein pada bahan masing-masing sebesar 6,54 0,02 % (bb)
dan 1,81 0,03 % (bb). Kadar lemak pada bahan yang dipergunakan konsentrasinya
lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lemak yang dilaporkan oleh Richana et al.
(2004) yaitu sekitar 0,27 0,04 %, sedangkan menurut Padonou et al. (2005), kadar
lemak tepung ubi kayu sekitar 0,56 % (bb). Kandungan lemak dan protein dalam
bahan berpengaruh terhadap karakteristik gelatinisasi dan kekentalan bahan pada saat
diolah. Lemak pada bahan yang mengandung pati dapat mengganggu proses gelatinisasi
karena dapat membentuk kompleks dengan amilosa sehingga menghambat keluarnya
amilosa dari granula pati, sedangkan protein dapat menyebabkan kekentalan pati
menurun (Mohamed 2003).
Karbohidrat terdiri dari fraksi pati dan serat kasar. Kedua fraksi ini merupakan
bagian penting yang akan dipergunakan sebagai substrat fermentasi. Fraksi serat kasar
terutama terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pati dan selulosa merupakan
homopolimer glukosa yang jika dihidrolisis akan menghasilkan glukosa, sedangkan
hemiselulosa akan menghasilkan campuran gula yang terdiri dari glukosa, xilosa,
galaktosa, arabinopiranosa, arabinofuranosa dan manosa. Glukosa, manosa dan
galaktosa merupakan gula dari golongan heksosa, sedangkan xylosa dan arabinosa
merupakan gula dari golongan pentosa (Demirbas 2005; Irawadi 1990). Dari hasil
analisis komposisi kimia menunjukkan bahwa ubi kayu yang dipergunakan sebagai
bahan dalam penelitian ini mengandung karbohidrat 80,45 0,23 % (bb) dengan
kandungan pati 62,35 0,00 % dan serat kasar 2,69 0,04 % (bb). Fraksi serat kasar
mengandung selulosa 0,36 0,01 % (bb), hemiselulosa 1,88 0,03 % (bb) dan lignin
0,02 0,01 % (bb). Menurut Richana et al. (2004), kadar karbohidrat dalam tepung ubi
kayu adalah 82,30 0,31 %. Perbedaan dalam komposisi karbohidrat ubi kayu dapat
disebabkan oleh adanya perbedaan varietas, umur panen dan musim panen. Wargiono
et al. (2006) menyatakan bahwa hasil ubi segar dan pati ubi kayu dengan umur panen 8
bulan dapat mencapai 16,19 ton/ha dengan hasil pati 2,31 ton/ha, sedangkan pada umur
panen 18 bulan dapat mencapai 45,25 ton/ha dengan hasil pati 9,19 ton/ha.
Serat kasar (crude fiber) merupakan bagian dari karbohidrat yang tidak dapat
dihidrolisis oleh asam dan basa kuat. Asam dan basa kuat yang biasa dipergunakan
untuk analisa kadar serat kasar adalah H2SO4 1,25 % dan NaOH 1,25 %. Selulosa
mempunyai bagian yang mudah dihidrolisis disebut bagian amorf dan bagian yang sulit

29
dihidrolisis disebut bagian kristalin. Selulosa mempunyai sifat mengembang (sweeling)
jika direaksikan dengan hidroksi logam alkali, garam-garam dalam larutan basa kuat
dan senyawa amina. Dari sekian senyawa itu, NaOH paling lazim dipergunakan untuk
mengembangkan ikatan selulosa (Irawadi 1990)
Kandungan karbohidrat yang cukup tinggi menunjukkan ubi kayu mempunyai
potensi sebagai sumber glukosa dalam substrat fermentasi. Kadar lignin dalam ubi kayu
ini relatif kecil. Kandungan serat kasar dapat menurunkan efisiensi hidrolisis sehingga
meningkatkan dosis enzim yang diperlukan, sedangkan kandungan lignin yang tinggi
dapat menghambat proses hidrolisis karena membentuk kompleks dengan selulosa dan
hemiselulosa.

4.2 Kultivasi dan Produksi Enzim

Kurva pertumbuhan sangat penting dipergunakan untuk menggambarkan


karakteristik pertumbuhan mikroba, sehingga memudahkan proses kultivasi dalam suatu
media. Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, pH,
aktivitas air, adanya oksigen dan ketersediaan nutrisi makanan.

T. viride A.niger T. viride A.niger T. viride A.niger


Hari ke-2 Hari ke-4 Hari ke-7

Gambar 5 Inokulum T. viride dan A. niger pada media PDA

30
4.2.1 Kultivasi Trichoderma viride

Kultivasi pertumbuhan dilakukan untuk menentukan waktu yang diperlukan oleh


T. viride untuk menghasilkan spora maksimum yang selanjutnya akan dipergunakan
sebagai kultur dalam media produksi selulase. Kultivasi kultur dilakukan dengan
menghitung jumlah spora yang terbentuk setiap hari selama 7 hari.
Pada awal inokulasi terdapat rata-rata jumlah spora 7,08 x 107/ml. Pada akhir
hari ke-1 jumlah spora mengalami penurunan yang cukup signifikan karena spora
diduga telah mengalami germinasi membentuk miselium berwarna putih (Gambar 5).
Pada hari berikutnya mulai terbentuk spora berwarna putih dengan jumlah rata-rata 1,02
x 108/ml. T. viride mengalami fase untuk menghasilkan spora dengan cepat mulai dari
hari ke-1 hingga hari ke-3.
Setelah hari ke-3, T. viride mulai menunjukkan fase pembentukan spora relatif
lambat. Pada fase ini miselium dan spora yang dihasilkan masih berwarna putih
kehijauan. Perubahan warna miselium dan spora dari putih menjadi hijau mulai
terbentuk setelah kultivasi selama 6 hari. Jumlah spora maksimum dengan rata-rata
spora 1,58 x 109/ml terjadi pada hari ke-6. Kurva pertumbuhan T. viride disajikan pada
Gambar 6.

6 2,E+09

5
Jumlah spora (per ml)

2,E+09
Aktivitas CMC-ase
FP-ase (U/ml)

4
1,E+09
3
8,E+08
2

1 4,E+08

0 0,E+00
0 1 2 3 4 5 6 7
Lama fermentasi (hari)

CMC-ase (U/ml) PF-ase (U/ml) Jml spora

Gambar 6 Kurva pertumbuhan T. viride, aktivitas CMC-ase dan FP-ase

31
4.2.2 Produksi enzim selulase

Pada penelitian ini produksi enzim selulase menggunakan Media Andreoti yang
dimodifikasi (Jenie 1990). Modifikasi dilakukan dengan mengganti selulosa murni
sebagai bahan penginduksi selulase menggunakan onggok ubi kayu. Onggok dapat
dipergunakan sebagai bahan penginduksi selulase karena mengandung serat kasar
terutama selulosa yang dapat dipergunakan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan
mikroba. Selain itu, selulosa juga merupakan senyawa penginduksi sintesis enzim
selulase. Kandungan serat kasar onggok rata-rata 6,58 0,08 % (b/b). Konsentrasi
onggok yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah 10 g/L. Menurut Richana et al.
(2004), kadar serat kasar onggok adalah 9,7 % yang terdiri dari lignin 1,3 %, xilan 5,8
% dan selulosa 2,61 %.
Penentuan pengaruh lama fermentasi yang menghasilkan aktivitas paling tinggi
dilakukan dengan mengukur besarnya aktivitas enzim kasar setiap hari selama 1
minggu. Pengukuran antivitas enzim ini meliputi CMC-ase dan FP-ase. Dari hasil
analisis keragaman diperoleh bahwa lama fermentasi memberi pengaruh nyata terhadap
besarnya aktivitas CMC-ase dan FP-ase (p-value<0,05) (Lampiran 5)
Pada Gambar 5 menunjukkan bahwa pada awal fermentasi terjadi penurunan
aktivitas CMC-ase sampai hari ke-4. Setelah itu aktivitas enzim CMC-ase cenderung
mengalami peningkatan dan aktivitas maksimal sebesar 5,05 0,42 U/ml diperoleh
setelah fermentasi selama 7 hari atau 1 minggu, namun berdasarkan uji lanjut Duncan,
aktivitas CMC-ase ini tidak berbeda nyata pada fermentasi selama 6 hari.
Hal serupa juga ditunjukkan pada besarnya aktivitas FP-ase, dimana pada awal
fermentasi juga terjadi penurunan aktivitas sampai hari ke-3 dan pada hari berikutnya
mengalami peningkatan. Aktivitas maksimal sebesar 4,77 0,72 U/ml juga diperoleh
setelah fermentasi selama 7 hari, namun berdasarkan uji lanjut Duncan, aktivitas FP-ase
ini tidak berbeda nyata pada fermentasi selama 6 hari. Jenie (1990) memproduksi
selulase kasar dari T. reesei selama 9 hari menggunakan substrat onggok diperoleh
besarnya aktivitas CMC-ase 12,7 U/ml dan FP-ase sebesar 0,88 U/ml.
Terjadinya peningkatan aktivitas enzim selulase (CMC-ase dan FP-ase)
menunjukkan T. viride telah melakukan degradasi terhadap fraksi selulosa yang terdapat
pada substarat untuk menghasilkan glukosa yang akan dipergunakan untuk metabolisme

32
sel. Suhartono (1992) menjelaskan bahwa sintesis enzim ekstraseluler dalam jumlah
terbesar secara normal terjadi pada saat sebelum sporulasi, yaitu pada akhir fase
eksponensial dan awal fase stasioner. Keadaan tersebut diduga karena pada masa
transisi fase eksponensial diikuti dengan penurunan jumlah sumber karbon dalam
medium, sehingga sintesis enzim selulase mulai meningkat.
Terjadinya peningkatan aktivitas enzim pada proses fermentasi diduga
disebabkan oleh adanya perubahan pH dari pH awal 4,0 menjadi 3,28 pada hari ke-7
Enari (1983) menyebutkan bahwa pH optimal untuk pertumbuhan Trichoderma sekitar
4,0, sedangkan untuk produksi selulase mendekati 3,0. Selama produksi enzim, pH
harus dipertahankan dalam kisaran 3,0-4,0 karena inaktivasi enzim akan terjadi jika pH
berada dibawah 2,0. Penurunan pH yang terjadi pada produksi selulase berhubungan
langsung dengan adanya konsumsi karbohidrat yang terdapat pada onggok. Pola
perubahan pH selama fermentasi untuk produksi enzim selulase disajikan pada
Lampiran 5.

4.2.3 Kultivasi Aspergillus niger dan produksi amiloglukosidase

Kultivasi kultur A. niger juga dilakukan selama 7 hari dengan melakukan


perhitungan jumlah spora yang terbentuk setiap hari. Pada awal inokulasi terdapat rata-
rata jumlah spora 3,47 x 106/ml. Pada akhir hari ke-1 spora mengalami penurunan
karena diduga spora mengalami germinasi membentuk miselium berwarna hitam
(Gambar 5). Pada hari berikutnya mulai terbentuk spora dengan jumlah rata-rata 3,45 x
108/ml. Mikroba menghasilkan spora dengan cepat mulai hari ke-1 hingga hari ke-4
dengan spora berwarna hitam. Setelah hari ke-4 laju pembentukan spora relatif lambat
dan jumlah spora maksimum mulai terjadi pada hari ke-6 dengan jumlah rata-rata spora
1,33 x 109/ml. Kurva pertumbuhan A. niger disajikan pada Gambar 7.
Pada pengukuran aktivitas enzim kasar amiloglukosidase menunjukkan bahwa
variasi lama fermentasi berpengaruh nyata terhadap aktivitas enzim (p-value<0,05),
dimana pada awal fermentasi terjadi penurunan aktivitas enzim sampai pada hari ke-3
dan selanjutnya mengalami peningkatan sampai hari ke-7. Aktivitas maksimal sebesar
62,77 4,49 U/ml diperoleh pada lama fermentasi 7 hari dan berdasarkan uji lanjut

33
Duncan, aktivitas ini berbeda nyata dengan semua perlakuan lama fermentasi (Lampiran
5).

A k tiv ita s A M G (U /m l)
80 1,90E+09

J m l s p o ra (p e r m l)
60 1,40E+09
40 9,00E+08
20 4,00E+08
0 -1,00E+08
0 1 2 3 4 5 6 7
Lama fermentasi (Hari)
AMG spora

Gambar 7 Kurva pertumbuhan A. niger dan aktivitas glukoamilase

Dari Gambar 7 terlihat bahwa aktivitas enzim glukoamilase pada fermentasi


hari ke-1 sampai hari ke-3 mengalami penurunan dari 32,41 U/ml -26,47 U/ml, hal ini
dapat disebabkan enzim dalam masa penyesuaian, sedangkan pada hari ke-4 sampai hari
ke-7 aktivitas enzim semakin meningkat. Ini menunjukkan semakin lama difermentasi
aktivitas glukoamilase semakin besar dalam menghidrolisis pati menjadi monomer
glukosa.
Perbedaan aktivitas enzim dengan variasi waktu fermentasi dapat disebabkan
meningkatnya aktivitas glukoamilase I pada kompleks glukoamilase A. niger pada
kondisi waktu fermentasi yang lebih lama. Hal ini dapat pula disebabkan oleh adanya
perubahan pH selama fermentasi (Kombong 2004)
Enzim glukoamilase I merupakan komponen kompleks glukoamilase yang aktif
menghidrolisis ikatan -1,6 glikosidik pada rantai cabang pati dan glukoamilase II aktif
menghidrolisis ikatan -1,4 glikosidik pada rantai lurus pati menjadi monomer glukosa.
Selama proses fermentasi terjadi penurunan pH awal dari 4,0 sampai 2,68 pada
hari ke-3. Penurunan pH berhubungan dengan konsumsi karbohidrat oleh mikroba. Bila
karbohidrat atau glukosa telah habis dikonsumsi, aktivitas glukoamilase dan pH akan
meningkat kembali. Meningkatnya pH berhubungan dengan dihasilkannya senyawa
amoniak atau dengan dikonsumsinya asam yang terbentuk dalam siklus pertumbuhan

34
segera setelah semua karbohidrat dikonsumsi. Perubahan pH selama fermentasi
produksi enzim glukoamilase dapat dilihat pada Lampiran 5.

4. 3 Proses Hidrolisis dan Karakteristik Hidrolisat

Proses pembuatan hidrolisat dilakukan dengan menghidrolisis fraksi pati dan


serat yang terkandung pada bahan. Hidrolisis dilakukan dengan tujuan untuk
menyediakan glukosa yang akan dipergunakan sebagai substrat S. cerevisiae dalam
proses fermentasi. Pada dasarnya prinsip hidrolisis adalah memutuskan rantai polimer
bahan menjadi unit-unit monomer yang lebih sederhana. Pemutusan rantai polimer
tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi
ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar
dibandingkan hidrolisis secara kimiawi dan fisik dalam hal spesifitas pemutusan rantai
polimer bahan. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan memutus rantai polimer secara
acak, sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutus rantai polimer secara spesifik pada
percabangan tertentu.
Dalam penelitian ini, pembuatan hidrolisat dilakukan dengan 2 cara yaitu
hidrolisis menggunakan asam dan enzim. Asam yang dipergunakan adalah H2SO4 0,4 M
dengan waktu hidrolisis 10 menit pada suhu 121 oC, tekanan 1 atm. Penggunaan H2SO4
0,4 M diharapkan hanya menghidrolisis fraksi pati tanpa menghidrolisis fraksi seratnya.
Hidrolisis enzimatik mempunyai beberapa keuntungan, yaitu menghasilkan
produk yang lebih spesifik sesuai dengan yang diinginkan, kondisi proses dapat
dikontrol dan lebih sedikit menghasilkan produk samping. Enzim yang dipergunakan
meliputi -amilase, amiloglukosidase komersial (AMG), selulase komersial dan selulase
kasar dari T. viride. Enzim -amilase dan AMG dipergunakan untuk menghidrolisis
fraksi pati menjadi glukosa, sedangkan selulase komersial dan selulase kasar
dipergunakan untuk menghidrolisis fraksi serat atau selulosa menjadi glukosa atau gula-
gula sederhana lainnya yang merupakan monosakarida.
Proses hidrolisis secara enzimatik meliputi proses likuifikasi dan sakarifikasi.
Pada tahap ini tepung dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan gula
kompleks. Pada tahap likuifikasi dilakukan penambahan enzim -amilase untuk
memotong ikatan -1,4 glikosida pati menjadi dekstrin. Proses ini dilakukan pada suhu

35
90 oC selama 1 jam. Dosis enzim yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah 1
ml/kg pati (Budiyanto et al. 2005 ). Likuifikasi merupakan proses pencairan pati yang
telah mengalami gelatinisasi. Gelatinisasi dapat dilakukan dengan melakukan
pemanasan pati di dalam air sehingga granula pati mulai mengembang sehingga
kekentalannya meningkat (Thomas dan Atwell 1997). Adanya proses gelatinisasi
menyebabkan ikatan-ikatan antar molekul pati lebih lemah sehingga kerja enzim dapat
lebih mudah.
Tahap sakarifikasi dilakukan pada suhu 50 oC selama 48 jam. Enzim yang
ditambahkan pada tahap ini adalah AMG yang berfungsi untuk memutuskan rantai pati
menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian non pereduksi, baik pada ikatan -1,4
maupun -1,6 glikosida dan menghasilkan unit-unit glukosa. Dosis AMG yang
dipergunakan sebesar 1,2 ml/kg pati (Budiyanto et al. 2005 ). Beberapa perlakuan
hidrolisis pada tahap sakarifikasi ditambahkan enzim selulase baik yang komersial
maupun filtrat enzim selulase kasar. Enzim selulase yang ditambahkan pada tahap
sakarifikasi ini diharapkan dapat menghidrolisis fraksi serat terutama selulosa yang
mempunyai ikatan -1,4 glikosida untuk menghasilkan glukosa. Karakteristik hasil
hidrolisis asam dan enzim disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Karakteristik hasil hidrolisis asam dan enzim


Total gula Gula reduksi DE
Hidrolisis
(% b/v) (% b/v) (%)
Asam (H2SO4 0,4 M) 38,93 8,09 22,04 4,31 56,63
-amilase, AMG 34,93 10,28 19,50 3,65 55,82
-amilase, AMG, selulase kasar 35,59 11,32 21,11 1,94 59,32
-amilase, AMG, selulase komersial 36,62 22,23 26,43 2,60 72,17
AMG : Amiloglukosidase komersial, Data : Rerata standar deviasi (n = 3)

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan jenis hidrolisis tepung


ubi kayu berpengaruh nyata terhadap total gula yang dihasilkan (Lampiran 6). Hasil uji
lanjut Duncan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara hidrolisis asam
dengan hidrolisis yang hanya menggunakan enzim amilolitik (-amilase, AMG), namun
perlakuan asam ini tidak bebeda nyata dengan perlakuan hidrolisis yang menggunakan
enzim amilolitik dan selulase. Total gula tertinggi diperoleh dari hasil hidrolisis asam
yaitu sebesar 389,25 8,09 g/L.

36
Penggunaan H2SO4 menghasilkan total gula lebih tinggi dibandingkan dengan
hidrolisis secara enzimatik, hal ini diduga karena hidrolisis menggunakan asam akan
memecah secara acak polisakarida pati maupun non pati seperti selulosa dan
hemiselulosa dalam jumlah yang lebih besar. Proses hidrolisis kulit ubi kayu dengan
menggunakan H2SO4 dengan konsentrasi 0,01-0,25 M pada suhu 135 oC, tekanan 15 lb/
inch2, selama 90 menit diperoleh hasil 199 mg gula pereduksi/gram bahan (bk) dengan
komposisi 37 % glukosa, 4,8 % xilosa dan 4,1 % ramnosa (Kongkiattikajorn dan
Kalaya 2006).
Analisis keragaman terhadap gula pereduksi menunjukkan perbedaan perlakuan
hidrolisis berpengaruh nyata terhadap gula pereduksi, dan dari uji lanjut Duncan
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan, dimana gula pereduksi
tertinggi diperoleh dari hasil hidrolisis menggunakan kombinasi -amilase, AMG,
selulase komersial yaitu sebesar 264, 28 2,60 g/L (Gambar 8 dan Lampiran 6).

500

400
Konsentrasi (g/L)

300

200

100

0
Asam H2SO4 -amilase, AMG -amilase, AMG, -amilase, AMG,
selulase komersial selulase kasar
Jenis hidrolisis

Total gula Gula pereduksi

Gambar 8 Pengaruh hidrolisis terhadap total gula dan gula pereduksi

Angka pereduksi atau dextrose equivalent (DE) menunjukkan jumlah gula


pereduksi dari pati atau turunannya yang dihitung sebagai nilai dekstrosa (Wurzburg
1989). Nilai DE sesungguhnya memberikan sedikit gambaran tentang kandungan gula
pereduksi dalam suatu larutan, namun besaran ini dapat dipergunakan secara tidak

37
langsung untuk mengukur jenis dan kuantitas gula-gula yang ada di dalam larutan atau
spektrum gula (Tjokroadikoesoemo 1986).
Pada hidrolisis secara enzimatik, terlihat bahwa adanya penambahan enzim
selulase komersial dan enzim kasar dapat meningkatkan kandungan gula pereduksi yang
ada pada bahan jika dibandingkan dengan perlakuan yang hanya menggunakan enzim -
amilase, AMG. Angka pereduksi tertinggi 72,166 % diperoleh dari proses sakarifikasi
dengan AMG yang ditambahkan selulase komersial 15 Unit/g serat kasar, diikuti oleh
proses sakarifikasi dengan AMG yang ditambahkan selulase kasar sebesar 59,315 %
dan hidrolisis tanpa penambahan enzim selulase sebesar 57,154 %. Adanya
peningkatan konsentrasi gula pereduksi dengan penambahan enzim selulase jika
dibandingkan dengan hanya menggunakan enzim amilolitik diduga enzim selulase
mampu menghidrolisis selulosa pada fraksi serat untuk menghasilkan lebih banyak
glukosa. Selain itu, diduga enzim selulase mampu melonggarkan dan menghidrolisis
ikatan-ikatan pada serat sehingga kinerja enzim AMG dapat lebih maksimal untuk
menghidrolisis fraksi pati menghasilkan glukosa.
Peningkatan konsentrasi gula pereduksi dapat disebabkan oleh serangan
selulase secara sinergis antara endoglukonase, selobiohidrolase dan -glukosidase.
Pada tahap awal endoglukonase menghidrolisis ikatan 1,4 secara acak dan bekerja pada
bagian amorf dari serat selulosa. Selanjutnya selobiohidrolase menghidrolisis ujung
rantai selulosa menghasilkan selobiosa, dimana selobiosa ini dihidrolisis oleh -
glukosidase menjadi glukosa ( Dewi 2002; Reezey et al. 1996)
Menurut Sriroth et al. (2000), untuk meningkatkan hasil hidrolisis singkong
yang mengandung fraksi pati dan serat dapat dilakukan dengan menggunakan
campuran enzim selulase, xilanase, ,D-glukosidase, amilase, AMG dan pektinase.
Dengan adanya campuran enzim akan dapat meningkatkan efisiensi ekstraksi pati
dengan meregangkan atau menghidrolisis struktur polisakarida yang mengikat pati.
Penggunaan selulase 15 U/g substrat dan pektinase 122,5 U/g substrat untuk
menghidrolisis tepung ubi kayu selama 1 jam dapat meningkatkan perolehan pati 40 %.
Obalua (2007), melaporkan bahwa hidrolisis onggok ubi kayu dengan
menggunakan selulase dan pektinase pada suhu 28 oC selama 1 jam, diikuti dengan
hidrolisis -amilase pada suhu 100 oC selama 2 jam dam kemudian dihidrolisis dengan
AMG pada suhu 60 oC selama 4 jam menghasilkan 12,24 % (b/v) gula pereduksi.

38
Peningkatan konsentrasi gula pereduksi disebabkan oleh adanya sinergi antara selulase,
-amilase, AMG dan adanya penambahan pektinase dapat mengurangi kekentalan
substrat sehingga kinerja enzim lebih efektif.
Srinorakutara et al. (2004) menyatakan bahwa hidrolisis onggok ubi kayu
dengan menggunakan H2SO4 0,6 M pada suhu 120 oC selama 30 menit menghasilkan
gula pereduksi maksimum 6,09 % (b/v). Hidrolisis dengan menggunakan enzim -
amilase dan AMG menghasilkan konsentrasi gula pereduksi 4,23 % (b/v). Hidrolisis
dengan kombinasi enzim selulase, -amilase dan AMG menghasilkan konsentrasi gula
pereduksi 4,74 % (b/v). Hidrolisis dengan menggunakan enzim pektinase, selulase, -
amilase dan AMG menghasilkan 4,98 % (b/v) gula pereduksi.

4.4 Proses Fermentasi

Pembuatan etanol pada umumnya dilakukan melalui proses fermentasi.


Fermentasi merupakan proses untuk mengkonversi glukosa menjadi etanol dan CO2.
Fermentasi etanol adalah perubahan 1 mol gula menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2.
Pada proses fermentasi etanol, khamir terutama akan memetabolisme glukosa dan
fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-
Parnas (EMP), sedangkan asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi
asetaldehida yang kemudian mengalami dehidrogenasi menjadi etanol.
Khamir yang sering digunakan dalam fermentasi etanol adalah S. cerevisiae,
karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap etanol yang cukup tinggi (12-
18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi
pada suhu 4-32 oC (Harrisson dan Graham 1970).
Proses produksi etanol ini dilakukan melalui fermentasi secara batch atau nir
sinambung dengan tujuh perlakuan alternatif tahapan proses produksi. Proses
fermentasi menggunakan erlenmeyer 1000 ml dengan volume substrat 500 ml. Kondisi
fermentasi dilakukan pada suhu ruang, dimana pada 24 jam awal dilakukan proses
agitasi dengan kecepatan 150 rpm. Proses ini bertujuan untuk mempermudah difusi
oksigen ke dalam medium sehingga kontak antara substrat dan inokulum makin banyak
dan homogen. Menurut Hollaender (1981), agitasi dapat memperlancar difusi oksigen
sehingga kadar oksigen terlarut dalam medium akan cukup mendukung untuk

39
pertumbuhan sel secara aerobik. Setelah jam ke-24 agitasi dihentikan untuk
memperoleh kondisi anaerob, sehingga proses produksi etanol dapat berjalan lebih
optimal. Substrat diatur pH awalnya sampai mencapai 5,0 dengan menggunakan HCl
1N.
Proses fermentasi dilakukan selama 96 jam dan diamati perubahan total gula dan
pH secara periodik. Pada akhir fermentasi dianalisis kandungan serat kasar sisa, total
gula sisa dan kadar etanol yang dihasilkan. Etanol yang dihasilkan akan dihitung
efisiensi fermentasinya berdasarkan jumlah substrat yang dikonsumsi oleh khamir untuk
menghasilkan etanol secara teorits. Perhitungan didasarkan pada metabolisme glukosa
menjadi etanol melalui jalur EMP. Secara sederhana proses fermentasi alkohol dari
bahan baku glukosa terlihat pada persamaan reaksi berikut:

C6 H12O6 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP + 5 Kkal

Dari reaksi diatas, secara teoritis 100 % karbohidrat diubah menjadi 51,1% etanol dan
48,9 % menjadi CO2. Efisiensi fermentasi merupakan persentase perbandingan antara
konsentrasi etanol yang diperoleh (aktual) dengan konsentrasi etanol secara teoritis.
Yield atau rendemen produk adalah persentase etanol yang terbentuk per substrat tepung
ubi kayu yang dipergunakan. Efisiensi pemanfaatan substrat (ds/s) merupakan
perbandingan jumlah substrat glukosa yang dikonsumsi dengan substrat awal yang
tersedia.

Perlakuan pertama (P1), proses hidrolisis dilakukan dengan menggunakan asam


yaitu H2SO4 0,4 M selama10 menit. Hasil hidrolisis berupa hidrolisat glukosa yang
masih bercampur dengan serat. Hidrolisat kemudian didetoksifikasi dan dinetralisasi
dengan cara menambahkan NH4OH 10 % hingga pH mencapai 10,0 dan dibiarkan
selama 30 menit, setelah itu diatur pH-nya menjadi 5,0 dengan menambahkan HCl 1 N
(Alriksson et al. 2005) . Hidrolisat ini kemudian ditambahkan kultur T. viride (1,58 x
109/ml) sebanyak 10 % dari volume substrat dan diinkubasi selama 48 jam. Setelah
inkubasi dilakukan proses fermentasi dengan menambahkan kultur S. cerevisiae
sebanyak 10 % dari volume substrat. Penambahan kultur T. viride dimaksudkan untuk
menghidrolisis fraksi serat yang terdapat pada hidrolisat terlebih dahulu untuk
menghasilkan glukosa, kemudian glukosa yang terbentuk dimanfaatkan oleh S.

40
cerevisiae untuk memproduksi etanol. Perubahan total gula dan pH substrat selama
fermentasi disajikan pada Gambar 9.

6,00 500
5,00 400

Total Gula (g/L)


4,00
300
pH

3,00
200
2,00
1,00 100

0,00 0
0 6 12 18 24 36 48 72 96
Lama fermentasi (Jam)

pH Total gula

Gambar 9 Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P1

Perlakuan kedua (P2), proses hidrolisis dan netralisasi dilakukan sama halnya
seperti pada perlakuan P1, hanya saja hidrolisat asam yang masih mengandung serat
setelah dinetaralisasi dan diatur pH-nya sampai 5,0 kemudian ditambahkan kultur
campuran T. viride (1,58 x 109/ml) dan S. cerevisiae secara simultan dengan
perbandingan 1:1 yaitu masing-masing 10 % dari volume substrat. Penambahan kultur
campuran ini dimaksudkan agar T. viride dapat menghidrolisis serat dan hasilnya
langsung dimanfaatkan oleh S. cerevisiae untuk memproduksi etanol.

6,00 500
5,00
Total Gula (g/L)

400
4,00
300
pH

3,00
200
2,00
1,00 100
0,00 0
0 6 12 18 24 36 48 72 96
Lama fermentasi (Jam)

pH Total gula
Gambar 10 Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P2

41
Selama proses fermentasi pada perlakuan P2 (Gambar 10) terjadi penurunan
konsentrasi total gula dan pH. Penurunan konsentrasi total gula terjadi dari 383,08
3,70 g/L menjadi 277,94 17,29 g/L, sedangkan penurunan pH awal terjadi dari 5,01
0,01 menjadi 4,27 0,02. Penurunan total gula dan pH terjadi secara cepat pada awal
fermentasi sampai jam ke-24 (Gambar 14). Pada fase ini diduga mikroba lebih banyak
mengkonsumsi substrat untuk menghasilkan etanol dibandingkan dengan waktu setelah
jam ke-24 sampai jam ke-96. Selama proses fermentasi diperoleh etanol dengan
konsentrasi 3,92 0,31 % (b/v) dan rendemen 15,99 % (v/b). Efisiensi fermentasi dan
penggunaan substrat masing-masing 49,48 % dan 40,49 %.
Perlakuan ketiga (P3) menggunakan proses SFS, dimana pada tahap awal
dilakukan proses hidrolisis enzimatik melalui proses likuifikasi menggunakan enzim -
amilase. Enzim ini hanya berfungsi untuk mencairkan pati yang telah tergelatinisasi dan
hanya menghidrolisis fraksi amilosa yang mempunyai ikatan pada pati -1,4 glikosidik,
sedangkan fraksi amilopektin yang juga mempunyai ikatan -1,6 glikosidik dan fraksi
serat terutama selulosa yang mempunyai ikatan -1,4 glikosidik tidak akan terhidrolisis.
Setelah likuifikasi dilakukan proses sakarifikasi dan fermentasi secara simultan dengan
menambahkan kultur campuran A. niger (1,33 x 109/ml), T. viride (1,58 x 109/ml) dan
S. cerevisiae dengan perbandingan 1:1:1 yaitu masing-masing 10 % dari volume
substrat. Pemberian kultur campuran dilakukan dengan menambahkan supernatan dan
miselium yang telah diproduksi selama 7 hari ( Kovacs et al. 2009).

6,00 400
5,00 350
Total Gula (g/L)

300
4,00 250
pH

3,00 200
2,00 150
100
1,00 50
0,00 0
0 6 12 18 24 36 48 72 96
Lama fermentasi (Jam)

pH Total gula

Gambar 11 Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P3

42
Penambahan kultur A. niger dimaksudkan agar enzim AMG yang dihasilkan
oleh A. niger akan langsung menghidrolisis fraksi amilopektin untuk menghasilkan
glukosa, begitu juga dengan penambahan T. viride diharapkan enzim selulase yang
dihasilkan akan mampu menghidrolisis fraksi selulosa pada fraksi serat kasar untuk
menghasilkan glukosa. Glukosa yang dihasilkan dari kultur campuran ini secara
simultan dimanfaatkan oleh S. cerevisiae untuk memproduksi etanol.
Selama proses fermentasi pada perlakuan P3 terjadi penurunan konsentrasi total
gula dari 340,29 10,49 g/L menjadi 24,81 7,09 g/L dan penurunan pH awal dari
5,01 0,01 menjadi 3,93 0,10 terjadi sampai jam ke-48. Setelah jam ke-48, terjadi
peningkatan pH akhir fermentasi menjadi 4,01 0,170. Penurunan konsentrasi total
gula secara cepat terjadi mulai jam ke-18 sampai jam ke-24, setelah itu, penurunan
konsentrasi total gula relatif lambat (Gambar 11). Selama proses fermentasi diperoleh
etanol dengan konsentrasi 7,41 1,79 % (b/v) dan rendemen 32,76 % (v/b). Efisiensi
fermentasi dan penggunaan substrat masing-masing 46,05 % dan 92,709 %.
Perlakuan keempat (P4), Proses hidrolisis dilakukan secara enzimatik melalui
proses likuifikasi dengan enzim -amilase dan proses sakarifikasi menggunakan
campuran enzim AMG dan filtrat enzim selulase kasar dari hasil produksi menggunakan
kultur T.viride. Setelah proses sakarifikasi dilakukan fermentasi dengan penambahan S.
cerevisiae 10 % dari volume substrat.

6,00 400
5,00 350
Total Gula (g/L)

300
4,00 250
pH

3,00 200
2,00 150
100
1,00 50
0,00 0
0 6 12 18 24 36 48 72 96
Lama fermentasi (Jam)

pH Total gula

Gambar 12 Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P4

43
Perubahan total gula dan pH juga terjadi pada perlakuan P4. Pada Gambar 12
terlihat bahwa selama proses fermentasi terjadi penurunan konsentrasi total gula dari
377,74 4,67 g/L menjadi 20,69 2,78 g/L. Penurunan pH awal dari 4,96 0,05
menjadi 3,05 0,39 terjadi sampai jam ke-24. Setelah itu, terjadi peningkatan pH akhir
fermentasi menjadi 3,17 0,42. Penurunan konsentrasi total gula secara cepat terjadi
mulai jam ke-6 sampai jam ke-24, setelah melewati jam ke-24 penurunan konsentrasi
total gula relatif lambat. Penurunan pH awal terjadi sangat cepat dari awal fermentasi
sampai jam ke-18. Setelah melewati jam ke-18 pH substrat relatif konstan. Dengan
menggunakan perlakuan ini, konsentrasi etanol yang diperoleh sebesar 9,29 1,76 %
(b/v) dengan rendemen 34,77 % (v/b). Efisiensi fermentasi dan penggunaan substrat
masing-masing 51,03 % dan 94,52 %.
Perlakuan kelima (P5), proses hidrolisis dilakukan secara enzimatik. Hasil
hidrolisis pada tahap likuifikasi berupa hidrolisat glukosa yang masih bercampur dengan
serat, kemudian ditambahkan kultur A. niger (1,33 x 109/ml) dan T. viride (1,58 x
109/ml) dengan perbandingan 1:1 yaitu masing-masing sebanyak 10 % dari volume
substrat dan diinkubasi selama 48 jam. Setelah inkubasi dilakukan proses fermentasi
dengan menambahkan kultur S. cerevisiae sebanyak 10 % dari volume substrat.

6,00 400
5,00 Total Gula (g/L)
300
4,00
pH

3,00 200
2,00
100
1,00
0,00 0
0 6 12 18 24 36 48 72 96
Lama fermentasi (Jam)

pH Total gula

Gambar 13 Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P5

Selama proses fermentasi pada perlakuan P5, terjadi penurunan konsentrasi total
gula dari 335,76 12,85 g/L menjadi 32,05 4,51 % g/L, sedangkan penurunan pH dari
5,10 0,10 menjadi 4,12 0,12. Penurunan konsentrasi total gula secara cepat terjadi

44
mulai dari jam ke-18 sampai jam ke-24 dan penurunan pH terjadi pada jam ke-6 sampai
jam ke-18 (Gambar 13). Konsentrasi etanol yang dihasilkan dari perlakuan ini sebesar
6,38 0,66 % (b/v) dengan rendemen 28,21 % (v/b). Efisiensi fermentasi dan
penggunaan substrat masing-masing 41,18 % dan 90,45 %.
Perlakuan keenam (P6) pada dasarnya dilakukan dengan cara yang sama dengan
perlakuan P4. Perbedaan hanya terjadi pada proses sakarifikasi, dimana perlakuan P6
menggunakan campuran AMG dengan selulase komersial.

6,00 400
5,00

Total Gula (g/L)


300
4,00
pH

3,00 200
2,00
100
1,00
0,00 0
0 6 12 18 24 36 48 72 96
Lama fermentasi (Jam)

pH Total gula

Gambar 14 Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P6

Penurunan total gula selama proses fermentasi P6 terjadi dari konsentrasi 380,21
17,03 g/L menjadi 22,75 0,69 g/L dan penurunan pH terjadi dari 5,01 0,09
menjadi 3,40 0,65. Penurunan konsentrasi total gula secara cepat terjadi mulai pada
jam ke-12 sampai jam ke 24, sedangkan penurunan pH terjadi mulai awal sampai jam
ke-18 (Gambar 14). Konsentrasi etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi ini 8,92
0,56 % (b/v) dengan rendemen 33,36% (v/b). Efisiensi fermentasi dan penggunaan
substrat masing-masing 48,80 % dan 94,210 %.
Perlakuan kontrol (P7), proses hidrolisis dilakukan secara enzimatik melalui
proses likuifikasi dengan enzim -amilase dan proses sakarifikasi menggunakan enzim
AMG. Hasil hidrolisat yang masih mengandung serat kemudian difermentasi selama 96
jam dengan menambahkan S. cerevisiae sebanyak 10 % dari volume substrat. Selama
proses fermentasi pada perlakuan kontrol terjadi penurunan konsentrasi total gula dari
376,91 15,17 g/L menjadi 24,11 1,42 g/L, sedangkan penurunan pH terjadi mulai
4,91 0,11 menjadi 3,07 0,59 (Gambar 15). Penurunan konsentrasi total gula tejadi

45
secara cepat mulai jam ke-12 sampai jam ke- 36 , sedangkan penurunan pH mulai
terjadi dari awal fermentasi sampai jam ke-24. Konsentrasi etanol yang dihasilkan dari
perlakuan ini 5,34 0,63 % (b/v) dengan rendemen 20,05 % (v/b). Efisiensi fermentasi
dan penggunaan substrat masing-masing 30,05 % dan 93,603 %.

6,00 400
5,00 350

Total Gula (g/L)


300
4,00 250
pH

3,00 200
2,00 150
100
1,00 50
0,00 0
0 6 12 18 24 36 48 72 96
Lama fermentasi (Jam)

pH Total gula

Gambar 15 Perubahan pH dan total gula selama fermentasi P7

Diskusi

Pada semua perlakuan menunjukkan adanya korelasi searah antara penurunan


total gula dengan pH yaitu penurunan konsentrasi total gula diikuti dengan penurunan
pH substrat. Hal ini berkaitan dengan adanya konsumsi glukosa melalui proses
glikolisis dan akumulasi senyawa asam-asam organik yang terbentuk selama proses
fermentasi. Senyawa asam-asam organik dapat berupa asam asetat, laktat dan asam
piruvat. Asam piruvat merupakan senyawa yang terbentuk selama proses glikolisis pada
siklus EMP. Selama proses glikolisis, setiap satu mol glukosa akan dipecah menjadi
dua mol asam piruvat dan melepaskan dua mol ion H+. Adanya ion H+ ini diduga dapat
menurunkan pH larutan fermentasi. Secara keseluruhan proses glikolisis dapat dilihat
dari persamaan reaksi berikut ini:

Glukosa + 2 ADP + 2 NAD+ + 2 Pi 2 Piruvat + 2 ATP + 2 NADH + 2 H+

Asam piruvat yang terbentuk kemudian dirubah menjadi asetaldehid dan CO2
oleh enzim piruvat dekarboksilase yang selanjutnya dirubah menjadi alkohol oleh enzim
alkohol dehidrogenase. Adanya penumpukan asam diduga karena S. cerevisiae kurang

46
mampu untuk mengubah asam piruvat menjadi etanol sehingga terjadi penumpukan
asam.
Penurunan pH selama proses fermentasi dapat juga disebabkan oleh adanya
proses ionisasi H+ dan penggunaan (NH4)2SO4 sebagai sumber nitrogen untuk
pertumbuhan sel. (NH4)2SO4 jika berada di dalam larutan akan terionisasi menjadi ion
NH4+ dan SO42-. Dalam proses pembentukan massa sel, mikroba akan mengkonsumsi
NH4+ untuk membentuk R-NH3+. Pembentukan R-NH3+ oleh NH4+ yang semakin
banyak akan meningkatkan pelepasan ion H+ ke dalam larutan substrat, sehiggan pH
menjadi semakin menurun.
Pada fermentasi menggunakan substrat hidrolisat asam, laju fermentasi lebih
lambat dari pada fermentasi menggunakan substrat hidrolisat enzim. Hal ini dilihat dari
laju konsumsi glukosa yang berlangsung secara lambat pada tahap awal dan mulai
menurun secara cepat setelah jam ke-18 (P1 dan P2). Lambatnya laju fermentasi diduga
disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa penghambat yang terbentuk selama proses
hidrolisis asam seperti senyawa furfural, HMF, asam karboksilat dan komponen-
komponen fenol (Mussatto dan Roberto 2004). Fase awal yang lambat menunjukkan
mikroorganisme memerlukan fase adaptasi (lag phase) yang lebih lama. Kondisi ini
diduga disebabkan oleh adanya proses sintesis enzim atau koenzim baru oleh
mikroorganisme untuk menguraikan furfural ( Boyer et al. 1992). Palvist dan Hagerdal
(2000b) menyatakan bahwa adanya fase adaptasi berkaitan dengan adanya sintesis
enzim baru untuk merubah furfural menjadi furfural alkohol, dan proses ini melibatkan
enzim alkoholdehidrogenase (ADH) yang sebenarnya berfungsi untuk merubah
asetaldehid menjadi etanol. Sanchez dan Bautista (1988) menyatakan bahwa HMF pada
konsentrasi 2 g/L akan memperpanjang waktu lag fase pada kultivasi mikroba.
Taherzadeh et al. (1999) melaporkan bahwa furfural dapat menyebabkan
lambatnya laju pertumbuhan spesifik dan laju produksi etanol baik pada kondisi anaerob
maupun aerob pada sistem kultivasi dan fermentasi menggunakan kultur S. cerevisiae
CBS 8066 secara batch. Pada konsentrasi furfural 4 g/L dapat menurunkan laju
pembentukan CO2 sekitar 35 %. Penurunan laju pembentukan CO2 ini terjadi secara
cepat pada fase awal kultivasi dan fermentasi. Laju pertumbuhan spesifik mikroba
menurun dari 0,4 sampai 0,03 0,02 /jam, sedangkan laju produktivitas etanol menurun
dari 1,6 0,1 g/g jam menjadi 0,5 0,2 g/g jam. Laju pertumbuhan spesifik dan

47
produktivitas akan segera meningkat setelah furfural dikonversi menjadi furfural
alkohol dengan laju konversi 0,6 0,03 g (furfural)/ g (biomassa) jam.
Kondisi fermentasi menggunakan hidrolisat enzim menunjukkan pola penurunan
konsentrasi total gula dan pH yang berbeda dengan fermentasi menggunakan hidrolisat
asam. Pada fermentasi hidrolisat enzim, laju fermentasi yang ditandai dengan laju
penurunan konsentrasi gula terjadi lebih cepat pada fase-fase awal sampai memasuki
jam ke-24 dan umumnya setelah jam ke-24 laju penurunan konsentrasi gula relatif
lambat. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya akumulasi etanol, asam yang cukup
tinggi dan semakin terbatasnya konsentrasi substrat. Etanol dapat menghambat proses
fermentasi dengan mekanisme penghambatan produk, sedangkan asam dapat
menurunkan pH substrat sehingga khamir tidak dapat tumbuh dengan optimal (You et
al. 2003; Pampulha dan Dias 1989) . Clark dan Mackie (1984) melaporkan bahwa pada
konsentrasi etanol 1-2 % (b/v) sudah cukup menghambat pertumbuhan dan pada
konsentrasi etanol 10 % (b/v) laju pertumbuhan hampir berhenti.
Berdasarkan hasil produksi etanol dari masing-masing perlakuan, setelah
dilakukan analisis ragam diperoleh bahwa perlakuan jenis proses fermentasi
berpengaruh nyata terhadap konsentrasi etanol yang dihasilkan (p-value < 0,05) dan dari
uji lanjut Duncan terlihat bahwa konsentrasi etanol tertinggi diperoleh dari perlakuan P4
yaitu 9,29 1,76 % (b/v), namun konsentrasi etanol yang dihasilkan tidak berbeda
nyata dengan konsentrasi etanol dari perlakuan P6 (Lampiran 10).

100
Ef.pemanfaatan substrat (%)
Konsentrasi etanol (%b/v)

80
Rendemen (% v/b)

60

40

20

0
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7
Perlakuan
Rendemen efisiensi substrat konsentrasi etanol

Gambar 16 Pengaruh jenis perlakuan fermentasi terhadap konsentrasi etanol, rendemen


dan efisiensi substrat

48
Rendemen pembuatan etanol dari tepung ubi kayu tertinggi juga diperoleh dari
perlakuan P4 yaitu sebesar 34,77 % (v/b). Hal ini berarti untuk menghasilkan 1 liter
etanol dibutuhkan sekitar 2,88 Kg tepung ubi kayu (Lampiran 9). Nurdyastuti (2005)
melaporkan bahwa konversi bahan baku pati ubi kayu menjadi bioetanol menghasilkan
rendemen sekitar 16, 67 %. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya penambahan enzim
selulase pada perlakuan P4 dan P6 mampu melonggarkan dan menghidrolisis ikatan-
ikatan selulosa, sehingga S. cerevisiae lebih mudah memanfaatkan glukosa hasil
hidrolisis untuk menghasilkan etanol. Zhang dan Lynd (2004); Reezey et al. (1996)
melaporkan bahwa selulase dapat menghidrolisis selulosa dengan adanya sinergisme 3
komponen enzim selulase yang terdiri dari endoglukonase, selobiohidrolase dan -
glukosidase.
Efisiensi pemanfaatan substrat pada proses P3 dan P5 yang menggunakan kultur
campuran memberikan nilai yang relatif tinggi yaitu masing-masing 92,71 % dan 90,45
%, namun memberikan konsentrasi etanol yang lebih rendah dibandingkan dengan
proses P4 dan P6 yang hanya menggunakan kultur tunggal S. cerevisiae. Hal ini diduga
disebabkan oleh semakin banyaknya mikroba yang dipergunakan, maka semakin besar
jumlah kubutuhan glukosa sebagai sumber karbon yang diperlukan untuk pembentukan
biomassa sel. Adanya efisiensi pemanfaatan substrat (ds/s) yang tinggi, sedangkan
efisiensi fermentasi yang relatif kecil dapat juga disebabkan oleh konsentrasi total gula
dalam substrat tidak sepenuhnya terkonversi menjadi etanol, melainkan dipergunakan
untuk pertumbuhan sel mikroba, atau asam piruvat yang terbentuk pada proses glikolisis
belum mampu sepenuhnya dirubah menjadi etanol oleh S. cerevisiae. Adanya
penumpukan asam piruvat ini ditandai dengan adanya penurunan pH selama proses
fermentasi.
Secara umum hasil-hasil fermentasi dari hidrolisat enzimatik menghasilkan
konsentrasi etanol yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi etanol dari
hidrolisat asam. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa inhibitor
sebagai hasil samping dari proses hidrolisis asam yang menggunakan suhu dan tekanan
yang relatif tinggi yaitu sekitar 121 oC dan 15 Psi. Pada suhu dan tekanan yang tinggi
komponen-komponen gula hasil hidrolisis akan terdegradasi lebih lanjut. Gula-gula dari
golongan pentosa seperti xilosa dan arabinosa didegradasi menjadi furfural, sedangkan
gula dari golongan heksosa seperti glukosa akan terdegradasi menjadi HMF (Sjostrom

49
2003). Hidroksimetil furfural akan dapat terus bereaksi untuk membentuk asam-asam
organik seperti asam levulinat dan asam format yang dapat berpengaruh terhadap
penurunan pH substrat. Furfural dan HMF dapat bersifat toksik bagi mikrooganisme
fermentatif baik pada kapang, khamir maupun bakteri (Chandel et al. 2007; Horvarth et
al. 2003). Furfural juga dilaporkan bersifat lebih toksik dari pada HMF dalam
metabolisme S. cerevisiae. Konsentrasi furfural 1 g/L dapat menurunkan laju
metabolisme CO2 dan menurunkan laju pertumbuhan sel pada fase awal pertumbuhan
(Purwadi 2006; Taherzadeh et al. 2000; Modig 2002).
Dari Gambar 16 dapat diketahui bahwa penggunakan kultur campuran T. viride,
A. niger dan S. cerevisiae terhadap hidrolisat enzimatik pada perlakuan P3 dan P5
menghasilkan konsentrasi etanol dan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan kontrol (P7). Penggunaan proses SFS pada perlakuan P3 dapat meningkatkan
hasil etanol 38,26 % terhadap kontrol (P7), sedangkan dengan menggunakan kultur
campuran yang ditambahkan secara bertahap (P5) ada kecenderungan meningkatkan
hasil fermentasi hingga 19,056 % terhadap kontrol. Hal sebaliknya terjadi pada
penggunakan kultur campuran T. viride dan S. cerevisiae pada hidrolisat asam (P1 dan
P2) yang menunjukkan hasil produksi etanol yang relatif lebih kecil dari pada perlakuan
kontrol, namun mempunyai rendemen yang lebih besar dari pada kontrol. Hal ini
disebabkan oleh masih banyaknya sisa substrat yang tidak bisa dikonversi oleh mikroba
menjadi etanol dan kemungkinan adanya senyawa-senyawa inhibitor sebagai hasil
samping dari proses hidrolisis asam yang menyebabkan proses konversi menjadi
lambat. Keadaan ini dapat dilihat dari penurunan total gula yang terjadi secara cepat
pada masa-masa akhir proses fermentasi.
Penggunaan kultur campuran Fusarium oxisporum dan S. cerevisiae melalui
proses SFS untuk memproduksi etanol dengan menggunakan substrat hidrolisat sorgum
menghasilkan 33,2 g/L etanol dengan efisiensi fermentasi 68,60 % dari etanol teoritis
(Christakopoulus et al . 1993). Produksi etanol selama 48 jam menggunakan kultur
campuran khamir amilolitik S. diastaticus dan S. cerevisiae pada substrat pati mampu
meningkatkan rendemen 48 % dibandingkan dengan menggunakan kultur tunggal S.
diastaticus dengan efisiensi fermentasi 93 % dari etanol teoritis (Verma 2000).
Dalam proses SFS, kamir secara langsung memfermentasi produk gula yang
dihasilkan dari proses hidrolisis oleh kompleks enzim selulolitik, sehingga laju

50
sakarifikasi dan rendemen etanol yang dihasilkan akan lebih tinggi. Selain itu, efek
penghambatan selobiosa dan glukosa pada enzim dapat diminimalkan dengan
mengurangi konsentrasi gula pada media (Koesnandar 2001). Konsentrasi glukosa yang
terlalu tinggi dapat menyebabkan depresi pada sistem metabolisme mitokondria dan
sintesis enzim sel atau sering disebut dengan glucose effect (Petrik et al. 1982). Gaur
(2006) menyatakan bahwa pertumbuhan biomassa S. cerevisiae mengalami
peningkatan sampai konsentrasi glukosa 20 % (b/v) dan pada konsentrasi 25 % (b/v)
biomassa sel mengalami penurunan sekitar 30 %. Menurut Ballesteros et al. (2004),
proses SFS dapat lebih banyak menghasilkan rendemen etanol dibandingkan dengan
proses hidrolisis dan fermentasi secara terpisah serta lebih sedikit membutuhkan enzim
untuk hidrolisis. Resiko kemungkinan terjadinya kontaminasi dalam proses SFS lebih
rendah dibandingkan dengan hidrolisis dan fermentasi terpisah karena adanya etanol
yang langsung dihasilkan dari proses SFS (Ohgren et al. 2006).
Penggunaan enzim selulase baik filtrat kasar maupun komersial yang
ditambahkan secara simultan pada tahap sakarifikasi ternyata dapat meningkatkan
produksi etanol. Penggunaan filtrat enzim selulase kasar pada perlakuan P4 dapat
meningkatkan konsentrasi etanol dari 5,36 0,63 % (b/v) menjadi 9,29 1,76 % (b/v)
atau meningkat 73,45 % terhadap kontrol, sedangkan dengan penambahan selulase
komersial konsentrasi etanol meningkat dari 5,36 0,63 % (b/v) menjadi 8,92 0,73 %
(b/v) atau meningkat 66,42 % terhadap kontrol.
Sree et al. (2000) menyebutkan bahwa pada proses produksi etanol pada suhu
30 oC selama 48 jam menggunakan S. cerevisiae US3 dengan konsentrasi glukosa yang
berbeda-beda, diperoleh konsentrasi etanol tertinggi 9,30 % (b/v) dari substrat glukosa
20 %, sedangkan pada konsentrasi glukosa 15 % dan 25 % diperoleh konsentrasi etanol
masing-masing sebesar 7,25 % (b/v) dan 8,3 % (b/v). Pada kondisi fermentasi yang
sama, Gaur (2006) melaporkan bahwa kondisi terbaik untuk produksi etanol dari
substrat molases dilakukan pada konsentrasi glukosa 20 % dengan konsentrasi etanol
9,15 % (b/v).
Berdasarkan analisis ragam pengaruh perlakuan proses fermentasi terhadap
konsentrasi serat kasar sisa, diperoleh bahwa perlakuan jenis proses fermentasi
berpengaruh nyata terhadap konsentrasi serat kasar sisa (p-value < 0,05). Dari uji lanjut
Duncan terlihat bahwa perlakuan P1 dengan menggunakan hidrolisis asam yang

51
ditambahkan T. viride dan S. cerevisiae secara bertahap memberikan konsentrasi serat
kasar terkecil yaitu 0,50 0,03 % (b/v). Perlakuan ini berbeda nyata dengan semua
perlakuan yang lainnya (Gambar 17, Lampiran 11).
Konsentrasi serat kasar sisa tertinggi dihasilkan dari perlakuan P7 yaitu 1,04
0,04 % (b/v). Hal ini disebabkan oleh perlakuan P7 dalam proses hidrolisis dan
fermentasinya hanya menggunakan enzim-enzim amilolitik tanpa penambahan enzim
dan mikroba-mikroba selulolitik. Adanya penambahan enzim selulase kasar (P4) dan
komersial (P6) memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan kadar serat kasar sisa
hidrolisis dan fermentasi. Ini diduga serat kasar telah dapat didegradasi oleh enzim
selulolitik untuk meningkatkan konsentrasi glukosa sebagai substrat fermentasi
(Gambar 17).
Penggunaan kultur campuran melalui proses SFS pada perlakuan P3
menghasilkan konsentrasi serat kasar sisa yang tidak berbeda nyata dengan kontrol pada
proses P7. Hal ini diduga mikroba selulolitik belum mampu menghasilkan selulase
secara maksimal karena kondisi fermentasinya berubah dari kondisi aerob menjadi
anaerobik melalui proses agitasi setelah fermentasi selama 24 jam. Jenie (1990)
melaporkan bahwa untuk sintesis selulase diperlukan kondisi. Aktivitas enzim selulase
T. reesei QM9414 sangat dipengaruhi oleh intensitas agitasi. Aktivitas maksimum dari
enzim-enzim FP-ase, CMC-ase dan beta glukosidase diperoleh dibawah kondisi yang
berbeda, yaitu masing-masing pada kecepatan agitasi 200, 300 dan 400 rpm. Agitasi
intensif menyebabkan terjadinya reduksi semua komponen selulase. Pada perlakuan P5,
dimana penambahan kultur campuran dilakukan secara bertahap menunjukkan
konsentrasi serat kasar sisa berbeda nyata dengan kontrol P7. Hal ini diduga pada proses
sakarifikasi yang dilakukan selama 48 jam dan disertai proses agitasi, menyebabkan T.
viride mampu menghasilkan selulase karena kondisi bersifat aerob. Pada proses
fermentasi, ketika terjadi perubahan kondisi aerob menjadi anaerob setelah fermentasi
24 jam, enzim kasar selulase mampu menghidrolisis selulosa menjadi glukosa.

52
3.00
2.50
Tot. gula (10 x % b/v)
serat kasar (% b/v)
2.00
Konsentrasi

1.50
1.00
0.50
0.00
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7
Perlakuan
Serat kasar sisa Tot. gula sisa

Gambar 17 Pengaruh perlakuan jenis fermentasi terhadap konsentrasi serat kasar sisa
dan total gula sisa

Pada Gambar 17 terlihat bahwa perlakuan hidrolisis asam (P1 dan P2)
mempunyai konsentrasi serat kasar sisa relatif rendah yaitu masing-masing 0,50 0,03
% (b/v) dan 0,77 0,04 % (b/v), namun mempunyai konsentrasi total gula sisa tertinggi.
Ini menunjukkan bahwa substrat fermentasi belum dimanfaatkan secara maksimal yang
diduga disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa inhibitor pada proses fermentasi
sebagai hasil dari hidrolisis asam. Adanya hidrolisis asam memungkinkan terjadinya
pemecahan secara acak terhadap fraksi-fraksi serat seperti hemiselulosa. Dalam
konsentrasi yang tidak terlalu tinggi hemiselulosa lebih mudah terhidrolisis dari pada
selulosa.
Untuk mengurangi terbentuknya senyawa-senyawa penghambat yang terbentuk
pada hidrolisis asam karena adanya perbedaan karakteristik hidrolisis antara
hemiselulosa dengan selulosa, maka dapat dilakukan hidrolisis asam secara bertahap
yaitu : pertama, tahap yang melibatkan asam encer untuk menghidrolisis gula dari
golongan pentosa yang terdapat pada fraksi hemiselulosa. Tahapan ini biasanya
menggunakan 1 % H2SO4 pada suhu 80-120 oC selama 30-240 menit. Tahap kedua
menggunakan asam dengan konsentrasi yang lebih tinggi untuk menghidrolisis gula
yang berasal dari golongan heksosa seperti selulosa menjadi glukosa, biasanya
dilakukan dengan konsentrasi H2SO4 5-20 % dengan suhu mendekati 180 oC. Dengan
menggunakan hidolisis bertahap ini, maka diperoleh kondisi optimum untuk
memaksimalkan hasil glukosa dan miminimumkan hasil samping yang tidak diinginkan
(Purwadi 2006; Soderstrom et al. 2003).

53
Taherzadeh dan Karimi (2007) juga melaporkan bahwa hidrolisis limbah
lignoselulosik pada tahap awal dapat menggunakan H2SO4 0,1-1 % selama 5 menit pada
suhu 180 oC atau 30-90 menit pada suhu 120 oC akan dapat menghidrolisis fraksi
hemiselulosa dan hanya akan melonggarkan ikatan-ikatan selulosa. Pada tahap kedua
hidrolisis fraksi selulosa dapat dilakukan pada suhu yang lebih tinggi yaitu 230 oC
Hidrolisis bahan-bahan berlignoselulosik juga dapat dilakukan dengan menggunakan
H2SO4 0,75 % pada suhu awal 50 oC dan kemudian ditingkatkan sampai suhu 190 oC
menyebabkan 80 % hemiselulosa terhidrolisis (Chandel et al. 2007).

54
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Kesimpulan

Alternatif terbaik teknologi bioproses pembuatan bioetanol dari ubi kayu dihasilkan
dari proses fermentasi secara bertahap melalui proses likuifikasi dengan -amilase,
sakarifikasi dengan AMG dan selulase kasar, serta fermentasi menggunakan S. cerevisiae.
Dengan proses ini mampu meningkatkan konsentrasi etanol dari 5,36 0,63 % (b/v)
menjadi 9,29 1,76 % (b/v) atau meningkat 73,45 % terhadap kontrol. Rendemen yang
dihasilkan 34,77 % (v/b) atau untuk menghasilkan 1 liter etanol dibutuhkan sekitar 2,88 kg
tepung ubi kayu, sedangkan efisiensi fermentasi dan pemanfaatan substrat masing-masing
51,03 % dan 94,52 %.
Penggunaan kultur campuran T. viride, A. niger dan S. cerevisiae pada proses
proses fermentasi substrat hidrolisat enzim secara SFS selama 4 hari dapat meningkatkan
konsentrasi etanol etanol dari 5,36 0,63 % (b/v) menjadi 7,41 1,79 % (b/v) atau
meningkat 38,29 % dibandingkan dengan menggunakan kultur tunggal S. cerevisiae,
sedangkan penggunaan kultur campuran yang ditambahkan secara bertahap pada proses
fermentasi hanya mampu meningkatkan konsentrasi etanol dari 5,36 0,63 % (b/v)
menjadi 6,38 0,83 % (b/v) atau meningkat 19,06 % terhadap penggunaan kultur tunggal
S. cerevisiae. Penggunaan kultur campuran T. viride dan S. cerevisiae pada proses
fermentasi substrat hidrolisat asam baik yang dilakukan secara bertahap maupun secara
sakarifikasi fermentasi simultan belum mampu meningkatkan konsentrasi etanol jika
dibandingkan dengan kontrol. Adanya penambahan AMG komersial pada tahap sakarifikasi
dapat meningkatkan konsentrasi etanol dari 5,36 0,63 % (b/v) menjadi 8,92 0,73 %
(b/v) atau meningkat 64,42 % terhadap kontrol.

5.2 Saran

Pada proses fermentasi menggunakan kultur campuran untuk substrat hidrolisat


asam perlu dikaji waktu fermentasi yang lebih lama untuk memaksimalkan hidrolisis fraksi
serat menjadi glukosa.



DaftarPustaka
Tidakada
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisa

a. Kadar Air (AOAC, 1984)


Contoh sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam cawan aluminium yang telah diketahui
bobotnya. Kemudian dikeringkan di dalam oven bersuhu 100 105oC sampai bobot
konstan. Setelah itu didinginkan di dalam deksikator dan ditimbang.
bobot awal bobot akhir
Kadar air 100%
bobot contoh
b. Kadar Abu (AOAC, 1984)
Contoh sebanyak 3 5 g dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui
bobotnya, kemudian diabukan dalam furnace pada suhu 600 oC selama kurang lebih 4 jam
atau sampai diperoleh abu berwarna putih. Setelah itu cawan didinginkan dalam deksikator
sampai suhu ruang dan ditimbang.
bobot abu ( g )
Kadar abu 100
bobot contoh

c. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1984)


Contoh sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 500 ml kemudian
ditambahkan 100 ml H2SO4 0,325 N dan dididihkan selama kurang lebih 30 menit.
Ditambahkan lagi 50 ml NaOH 1,25 N dan dididihkan selama 30 menit. Dalam keadaan
panas disaring dengan kertas Whatman No.40 setelah diketahui bobot keringnya. Kertas
saring yang digunakan dicuci berturut-turut dengan air panas, 25 ml H2SO4 dan etanol
95%. Kemudian dikeringkan di dalam oven bersuhu 100 110 oC sampai bobotnya
konstan. Kertas saring didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
bobot endapan ker ing (g )
Kadar serat kasar (%) 100
bobot contoh (g )

d. Kadar pati
Analisa kadar pati berdasarkan metode Luff Schrool (AOAC, 1971). Glukosa hasil
hidrolisa pati akan mereduksi larutan Luff, CuO dalam Luff direduksi menjadi Cu2O yang
berwarna merah bata. Kelebihan atau sisa CuO dititrasi secara Iodometri.
Larutan Luff Schrool dibuat dengan cara melarutkan CuSO4.5H2O sebanyak 25 g
ke dalam 50 ml air suling, 50 g asam sitrat dilarutkan dalam 50 ml air suling dan 388 g
Na2CO3.10H2O dilarutkan ke dalam 400 ml air suling. Larutan asam sitrat ditambahkan
sedikit demi sedikit pada larutan soda, kemudian campuran ditambahkan
63
larutan terusi dan diencerkan hingga 100 ml pada labu ukur, kemudian ke dalam
erlenmeyer 500 ml dimasukkan 2 gram sampel kering dan ditambahkan 200 ml HCl 3 %
serta batu didih. Erlenmeyer dipasang pada pendingin tegak dan dihidrolisa selama 3 jam.
Larutan kemudian didinginkan dan dinetralkan dengan NaOH dan indikator fenolftalin.
Larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 500 ml, ditambahkan dengan air suling hingga
tanda tera, kemudian disaring. Larutan sebanyak 10 ml dipipet ke dalam erlenmeyer 250
ml dan ditambahkan larutan Luff 25 ml serta 15 ml air suling. Blanko dibuat tanpa larutan
contoh yang dianalisa.
Erlenmeyer dipasang pada pendingin balik, dididihkan selama 10 menit dan segera
didinginkan pada air yang mengalir. Kemudian ditambahkan larutan KI 30 % dan 25 ml
H2SO4 25 %. Setelah reaksi habis segera dititrasi dengan larutan Na2S2O3 sampai larutan
berwarna muda.

0,90 G P
Kadar pati 100 0 0
g
Dimana :
0,90 = faktor pembanding berat molekul satu unit gula dalam molekul
pati
G = glukosa setara dengan ml Na2S2O3 yang dipergunakan untuk
titrasi (mg) setelah gula diperhitungkan
P = pengenceran
g = bobot sampel (mg)

e. Total gula metode Phenol H2SO4 (Dubois et al., 1956)


Sebelum melakukan pengujian sampel maka perlu diketahui kurva standar fenol
yang digunakan. Pembuatan kurva standar fenol adalah sebagai berikut :
2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30, 40 dan 60 g glukosa
masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml larutan fenol 5 %
dan dikocok. Kemudian 5 ml asam sulfat pekat ditambahkan dengan cepat. Biarkan selama
10 menit, kocok lalu tempatkan dalam penanggas air selama 15 menit. Absorbansinya
diukur pada 490 nm. Pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar fenol, hanya
2 ml larutan glukosa diganti dengan 2 ml sampel.

64
f. Total gula pereduksi metode DNS (Miller, 1959)
Prinsip metode ini adalah dalam suasana alkali gulla pereduksi akan mereduksi
asam 3,5 dinitrolisilat (DNS) membentuk senyawa yang dapat diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 550 nm.
Penyiapan Pereaksi DNS
Pereaksi DNS dibuat dengan melarutkan 10,6 g asam 3,5 dinitrolisilat dan 19,8
NaOH ke dalam 1416 ml air. Setelah itu ditambahkan 306 g Na-K Tatrat, 7,6 g fenol
yang dicairkan pada suhu 50 oC dan 8,3 g Na-Metabisulfit. Larutan ini diaduk rata,
kemudian 3 ml larutan ini dititrasi dengan HCl 0,1 N dengan indikator fenolftalein.
Banyaknya titran berkisar 5 6 ml. Jika kurang dari itu harus ditambahkan 2 g NaOH
untuk setiap ml kekurangan HCl 0,1 N.
Penentuan Kurva Standar
Kurva standar dibuat dengan mengukur mengetahui nilai gula pereduksi pada
glukosa pada selang 0,2 0,5 mg/l. Kemudian nilai gula pereduksi dicari dengan
metode DNS. Hasil yang didapatkan diplotkan dalam grafik secaara linear.
Penetapan Total Gula Pereduksi
Pengujian gula pereduksi menggunakan kurva standar DNS adalah sebagai berikut :
1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 3 ml pereaksi
DNS. Larutan tersebut ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit. Biarkan
sampai dingin pada suhu ruang. Ukur absorbansi pada panjang gelombang 550 nm.

g. Kadar selulosa dan hemiselulosa.


Sebanyak sampel a g dan b g masing-masing dimasukkan ke dalam gelas piala
berukuran 500 ml. Sampel a g ditambahkan dengan 50 ml larutan NDS dan sampel b g
ditambahkan dengan 50 ml larutan ADS lalu dipanaskan selama 1 jam di atas penanggas
listrik. Selanjutnya masing-masing sampel tersebut dicuci menggunakan aseton dan air
panas serta disaring menggunakan pompa vakum dan gelas G-3 (c g dan d g). Sampel
dalam gelas G-3 dikeringkan menggunakan oven, didinginkan dengan eksikator dan
ditimbang sebagai e g dan f g.
ec f d
Kadar NDF 100 Kadar ADF 100
a b
Kadar hemiselulosa = kadar NDF kadar ADF

65
Residu ADF (f g) yang berada pada gelas G-3 diletakkan di atas nampan yang
berisi air setinggi 1 cm kemudian ditambahkan H2SO4 72 % setinggi bagian gelas G-3
dan dibiarkan selama 3 jam sambil diaduk-aduk. Selanjutnya sampel tersebut dicuci
menggunakan aseton dan air panas serta disaring menggunakan pompa vakum dan gelas
G-3. Sampel dalam gelas G-3 dikeringkan dengan menggunakan oven, didinginkan dengan
eksikator dan ditimbang sebagai h g.

hf
Kadar selulosa 100
b

h. Kadar Lemak (AOAC, 1995)


Sebanyak 2 gram contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut organic heksan dalam
alat soxlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan pada suhu 105oC. contoh
didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap.

Bobot Lemak (g )
Kadar Lemak (%) 100%
Bobot contoh (g )

i. Kadar Protein (AOAC, 1995)


Sebanyak 0,1 gram contoh dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan 2,5
ml H2SO4 pekat, 1 gram katalis dengan beberapa butir batu didih. Larutan hasil
destruksi dipindahkan kea lat destilasi dan ditambahkan 15 ml Na OH 50 %. Labu
erlenmeyer yang berisi 25 ml HCl 0,02 N dan 2-4 tetes inikatro mengsel (campuran
metal merah 0,02 % dalam alcohol dan metil biru 0,02 % dalam alcohol (2:1)
diletakkan di bawah kondesnsor. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam
Erlenmeyer mencapai 2 kali volume awal. Ujung kondensor dibilas dengan aquades
(ditam[ung dalam Erlenmeyer). Larutan yang berada dalam Erlenmeyer dititrasi
NaOH 0,2 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Setalah itu
dilakukan penetapan blanko.
(a b).N.0,014.6,25.100%
Kadar protein (%) =
W
Keterangan:
a = ml NaOH untuk titrasi blanko b = ml NaOH untuk titrasi contoh
N = Normalitas NaOH W = bobot contoh (g)

66
j. Prosedur analisa aktivitas FP-Ase
1. Pembuatan pereaksi
- Buffer sitrat
Larutan 0,05 M Na-sitrat dicampur dengan larutan 0,05 M asam sitrat
dengan perbandingan 27:23, maka akan diperoleh larutan buffer sitrat dengan pH
4,8 pada konsentrasi 0,05 M
- Pereaksi DNS
10,6 g DNS dan 19,8 g NaOH dilarutkan dalam 1416 ml air, kemudian
ditambahkan 306 gr garam Rochele (Na-K tartarat) dan 7,6 ml fenol serta 8,3
metabisulfit
2. Pengujian aktivitas FP-Ase
Pengujian aktivitas enzim FP-ase dapat mencerminkan aktivitas umum
selulase, karena substrat untuk pengujiannya digunakan serat yang masih bersifat
kristal sehingga melibatkan aktivitas C1 yang berperan sebagai pengaktif selulosa
kristal menjadi selulosa reaktif
Substrat yang dipergunakan untuk pengujian adalah kertas saring Whatman
no 1, sedangkan perekasinya adalah DNS. Sebagai standar dipergunakan larutan
glukosa. Bagan alir pengujian disajikan pada bagan berikut ini:

1 ml ml filtrat enzim 1 ml buffer sitrat pH 4,8 Kertas saring Whatman No. 1

Inkbasi pada suhu 50 oC


selama 30 menit
Ditambahkan 3 ml
peraksi DNS

Ditempatkan dalam air


mendidih selama 5 menit

Dibaca absorbansinya
pada panjang gelombang
550 nm

67
k. Prosedur analisa CMC-Ase
1. Pembuatan pereaksi
- Larutan CMC-Ase
CMC sebanyak 10 g dilarutkan dalam 800 ml air panas sambil dikocok
secara kontinyu, selanjutnya diambil 100 ml buffer sitrat 0,05 M pH 4,8, 10 ml
merthiolat 1 % dan ditepatkan volumenya sampai 1 L. Larutan ini disimpan dalam
lemari pendingin dan dipanaskan (50 oC) sebelum digunakan.
- Pereaksi DNS
10,6 g DNS dan 19,8 g NaOH dilarutkan dalam 1416 ml air, kemudian
ditambahkan 306 gr garam Rochele (Na-K tartarat) dan 7,6 ml fenol serta 8,3
metabisulfit
2. Pengujian aktivitas CMC-ase
Pengujian aktivitas CMC-ase dapat mencerminkan aktivitas enzim
endoglukanase yang menyerang selulosa yang telah diregangkan struktur seratnya
ataupun yang telah disubsitusi. Substrat yang dipergunakan untuk pengujiana ini
adalah larutan CMC 1 % sedangkan pereaksinya adalah DNS, sebagai standar
digunakan larutan glukosa. Bagan alir pengujiannya sebagai berikut:

68
l. Pengujian aktivitas enzim amiloglukosidae

Aktivitas glukoamilase ditentukan dnegan menggunakan substrat soluble starch.


Filtrat enzim hasil ekstraksi diencerkan menggunakan buffer asetat 4,6 dengan factor
pengenceran (fp) kali. Sebanyak 1,9 ml soluble starch sebagai substrat (Vsb) dicampur
dengan 0,1 ml larutan contoh (Vc), kemudian diinkubasi selama 20 menit pada suhu 60 oC.
setelah inkubasi selesai dilakukan pemanasan dengan air mendidih selama 5 menit. Hal
yang sama dilakukan untuk larutan blanko, kemudian diukur gula pereduksinya (Cgr)
dengan metode DNS. Satu unit didefinisikan sebagai banyaknya mol glukosa yang
terbentuk oleh aktivitas enzim per menit pada kondisi percobaan. Perhitungan aktivitas
glukoamilase yang dihasilkan sebagai berikut:
Cgr.(Vc Vsb)
A= fp
BM .t.Vc
A = aktivitas enzim
Cgr = Konsentrasi gula pereduksi dalam sampel (mg/L)
BM = Berat molekul glukosa (180 g/mol)
t = Waktu inkubasi substrat dengan sampel (menit)
Vc = Volume larutan contoh (sampel) (ml)
Vsb = Volume larutan substrat soluble starch (ml)
fp = faktor pengenceran.

69
Lampiran 2. Alternatif tahapan proses pembuatan bioetanol
1. Proses P1

Ubi kayu

Pengupasan dan Pengotor


pencucian dan kulit ari

Penggilingan/
pemarutan

Gelatinisasi Kultur T. viride


Air
T : 60-70 o C

Steam Kultivasi
Hidrolisis asam pertumbuhan
H2SO4

Produksi enzim
NH4OH Netralisasi kasar

Enzim kasar +
Sakarifikasi biomassa

Glukosa

Fermentasi S.cerevisiae
Waktu : 1-4 hari

Etanol

70
2. Proses P2

71
3. Proses P3

4. Proses P4

72
5. Proses P5

6. Proses P6

73
7. Proses P7

74
Lampiran 3 Kurva standar DNS dan total gula

A. Kurva standar gula pereduksi


Kurva gula reduksi y = 0.0033x - 0.1811
R2 = 0.9986
0.9
0.8
Gula prdks 0.7
Absorbansi
(ppm) 0.6

Absorbansi
50 0.0020
0.5
100 0.1390
0.4
150 0.3100
200 0.4730 0.3

250 0.6540 0.2


300 0.8230 0.1
0.0
0 50 100 150 200 250 300 350
Konsentrasi glukosa (ppm )

B. Kurva total gula Kurva standar phenol (Total gula) y = 0.0081x + 0.0057
R2 = 0.9987
0.6

Total Gula 0.5


Absorbansi
(ppm)
10 0.092 0.4
a b s o rb a n s i

20 0.169
0.3
30 0.244
40 0.327 0.2
50 0.408
60 0.501 0.1

0
0 10 20 30 40 50 60 70
Konsentrasi glukosa

75
Lampiran 4 Analisis deskriptif pertumbuhan jumlah spora T. viride dan A. niger

A. Kurva pertumbuhan jumlah spora T. viride

Parameter Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 Hari ke-5 Hari ke-6 Hari ke-7
Rata-rata 7,08E+07 5,18E+06 1,02E+08 8,65E+08 1,17E+09 1,47E+09 1,58E+09 1,51E+09
Standard Error 1,25E+07 2,11E+06 2,97E+07 2,05E+07 7,21E+07 7,40E+07 1,42E+08 1,42E+08
Median 6,58E+07 4,00E+06 1,10E+08 8,65E+08 1,24E+09 1,43E+09 1,60E+09 1,49E+09
Std. Deviation 2,16E+07 3,65E+06 5,14E+07 3,55E+07 1,25E+08 1,28E+08 2,47E+08 2,46E+08
Variance 4,66E+14 1,33E+13 2,64E+15 1,26E+15 1,56E+16 1,64E+16 6,09E+16 6,08E+16
Range 4,23E+07 7,00E+06 1,02E+08 7,10E+07 2,18E+08 2,45E+08 4,93E+08 4,93E+08
Minimum 5,23E+07 2,28E+06 4,65E+07 8,30E+08 1,03E+09 1,37E+09 1,33E+09 1,27E+09
Maksimum 9,45E+07 9,28E+06 1,48E+08 9,01E+08 1,24E+09 1,62E+09 1,82E+09 1,76E+09
Jumlah 2,13E+08 1,56E+07 3,05E+08 2,60E+09 3,51E+09 4,42E+09 4,74E+09 4,52E+09
Ulangan 3 3 3 3 3 3 3 3

B. Kurva pertumbuhan jumlah spora A. niger

Parameter Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 Hari ke-5 Hari ke-6 Hari ke-7
Rata-rata 3,47E+06 2,31E+06 3,45E+08 4,93E+08 9,38E+08 1,18E+09 1,33E+09 1,26E+09
Standard Error 1,33E+05 8,82E+04 4,70E+07 9,78E+07 5,78E+07 9,33E+07 8,63E+07 4,87E+07
Median 3,60E+06 2,28E+06 3,87E+08 4,55E+08 9,65E+08 1,21E+09 1,29E+09 1,30E+09
Std. Deviation 2,31E+05 1,53E+05 8,14E+07 1,69E+08 1,00E+08 1,62E+08 1,50E+08 8,43E+07
Variance 5,33E+10 2,33E+10 6,63E+15 2,87E+16 1,00E+16 2,61E+16 2,24E+16 7,11E+15
Range 4,00E+05 3,00E+05 1,46E+08 3,33E+08 1,95E+08 3,20E+08 2,93E+08 1,55E+08
Minimum 3,20E+06 2,18E+06 2,51E+08 3,45E+08 8,28E+08 1,01E+09 1,20E+09 1,17E+09
Maksimum 3,60E+06 2,48E+06 3,97E+08 6,78E+08 1,02E+09 1,33E+09 1,49E+09 1,32E+09
Jumlah 1,04E+07 6,93E+06 1,04E+09 1,48E+09 2,82E+09 3,54E+09 3,98E+09 3,79E+09
Ulangan 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00

76
Lampiran 5 Analisa aktivitas enzim selulase dan glukoamilase

A. CMC-ase

Lama Ulangan
fermentasi 1 2
1 1,968 0,731
2 1,778 1,587
3 1,460 0,477
4 0,858 1,001
5 2,380 0,921
6 5,187 4,727
7 4,751 5,345

Anova: Faktor tunggal

Lama fermentasi Ulangan Jumlah Rata-rata Variance


1 2 2,699 1,349 0,765
2 2 3,365 1,682 0,018
3 2 1,938 0,969 0,483
4 2 1,858 0,929 0,010
5 2 3,301 1,651 1,064
6 2 9,914 4,957 0,106
7 2 10,096 5,048 0,177

ANOVA
Sumber keragaman JK db KT F P-value F tabel
Perlakuan 39,87042 6 6,6451 17,733 0,001 3,866
Galat 2,623147 7 0,3747
Total 42,49357 13

Uji Lanjut Duncan

Perlakuan Rata-rata selisih Notasi


7 5,05 a
6 4,96 0,09 ns a
2 1,68 3,37 ** 3,27 ** b
5 1,65 3,40 ** 3,31 ** 0,03 ** c
1 1,35 3,70 ** 3,61 ** 0,33 ** 0,30 ns c
3 0,97 4,08 ** 3,99 ** 0,71 ** 0,68 ns 0,38 ns c
4 0,93 4,12 ** 4,03 ** 0,75 ** 0,72 ns 0,42 ns 0,04 ns c

P (p,7) JND 0.05 JND 0.01 BJND 0.05 BJND 0.01


2 3,35 4,49 1,45 1,94
3 3,47 5,22 1,50 2,26
4 3,54 5,37 1,53 2,32
5 3,58 5,45 1,55 2,36
6 3,6 5,53 1,56 2,39
7 3,61 5,61 1,56 2,43
Sy = 0,43286
77
B. FP-ase

Lama Ulangan
fermentasi 1 2
1 2,217 1,801
2 1,634 1,254
3 1,456 0,885
4 1,575 1,622
5 1,741 1,801
6 4,310 4,393
7 5,280 4,262

Anova: faktor tunggal

Lama fermentasi Ulangan Jumlah Rata-rata Variance


1 2 4,0174 2,0087 0,0866
2 2 2,8876 1,4438 0,0724
3 2 2,3405 1,1703 0,1629
4 2 3,1968 1,5984 0,0011
5 2 3,5417 1,7708 0,0018
6 2 8,7032 4,3516 0,0035
7 2 9,5428 4,7714 0,5182

ANOVA
Sumber keragaman JK db KT Fhit P-value F tabel
Between Groups 26,07254 6 4,3454 35,932 6E-05 3,866
Within Groups 0,846544 7 0,1209
Total 26,91908 13

Uji lanjut Duncan

Perlakuan Rata-rata selisih Notasi


7 4,77 a
6 4,35 0,42 ns a
1 2,01 2,76 ** 2,34 ** b
5 1,77 3,00 ** 2,58 ** 0,24 ** c
4 1,60 3,17 ** 2,75 ** 0,41 ** 0,17 ns c
2 1,44 3,33 ** 2,91 ** 0,56 ** 0,33 ns 0,15 ns c
3 1,17 3,60 ** 3,18 ** 0,84 ** 0,60 ns 0,43 ns 0,27 ns c

P (p,7) JND 0.05 JND 0.01 BJND 0.05 BJND 0.01


2 3,35 4,49 1,45 1,94
3 3,47 5,22 1,50 2,26
4 3,54 5,37 1,53 2,32
5 3,58 5,45 1,55 2,36
6 3,6 5,53 1,56 2,39
7 3,61 5,61 1,56 2,43
Sy = 0,2459

78
C. Glukoamilase

Ulangan
Lama fermentasi
1 2
1 33,417 31,406
2 26,604 35,209
3 24,872 28,066
4 38,456 35,348
5 54,574 57,365
6 57,392 58,198
7 59,594 65,943

Lama fermentasi Ulangan Jumlah Rata-rata Variance


1 2 64,823 32,411 2,0212
2 2 61,813 30,907 37,019
3 2 52,938 26,469 5,1022
4 2 73,804 36,902 4,8313
5 2 111,94 55,97 3,8949
6 2 115,59 57,795 0,3255
7 2 125,54 62,769 20,156

ANOVA
Sumber keragaman JK db KT Fhit P-value Ftabel
Between Groups 2692,033 6 448,67 42,818 4E-05 3,866
Within Groups 73,35002 7 10,479
Total 2765,383 13

Uji lanjut Duncan

Perlakuan Rata-rata selisih Notasi


7 62,77 a
6 57,79 4,97 ** b
5 55,97 6,80 ** 1,83 * c
4 36,90 25,87 ** 20,89 ** 19,07 ** d
1 32,41 30,36 ** 25,38 ** 23,56 ** 4,49 ** e
2 30,91 31,86 ** 26,89 ** 25,06 ** 6,00 ** 1,50 * f
3 26,47 36,30 ** 31,33 ** 29,50 ** 10,43 ** 5,94 ** 4,44 ** g

P (p,7) JND 0.05 JND 0.01 BJND 0.05 BJND 0.01


2 3,35 4,49 1,45 1,94
3 3,47 5,22 1,50 2,26
4 3,54 5,37 1,53 2,32
5 3,58 5,45 1,55 2,36
6 3,6 5,53 1,56 2,39
7 3,61 5,61 1,56 2,43

Sy = 2,28895

79
D. Perubahan pH selama fermentasi produksi enzim Selulase

Ulangan
Hari Jumlah Rata-rata Stdev
1 2
0 4 4 8,00 4,00 0,00
1 4,03 3,99 8,02 4,01 0,03
2 4,01 3,98 7,99 4,00 0,02
3 4,02 4,01 8,03 4,02 0,01
4 3,88 3,83 7,71 3,86 0,04
5 3,66 3,55 7,21 3,61 0,08
6 3,49 3,55 7,04 3,52 0,04
7 3,32 3,23 6,55 3,28 0,06

E. Perubahan pH selama fermentasi produksi enzim AMG

Ulangan
Hari Jumlah Rata-rata Stdev
1 2
0 4 4 8,00 4,00 0,00
1 2,9 2,91 5,81 2,91 0,01
2 2,78 2,9 5,68 2,84 0,08
3 2,62 2,73 5,35 2,68 0,08
4 2,74 2,92 5,66 2,83 0,13
5 3,09 3,02 6,11 3,06 0,05
6 3,23 3,1 6,33 3,17 0,09
7 3,39 3,4 6,79 3,40 0,01

80
Lampiran 6 Analisis keragaman hasil hidrolisis tepung ubi kayu

A. Total gula

Ulangan Rata Stdev


Perlakuan
1 2 3 rata
Asam H2SO4 380,617 396,667 390,494 389,259 8,096
-amilase, AMG 341,111 346,049 360,864 349,342 10,280
-amilase, AMG, selulase komersial 350,988 355,926 391,728 366,214 22,234
-amilase, AMG, selulase kasar 346,049 353,457 368,272 355,926 11,315

Anova: Faktor tunggal

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata Variance


Asam H2SO4 3 1167,778 389,259 65,539
-amilase, AMG 3 1048,025 349,342 105,675
-amilase, AMG, selulase komersial 3 1098,642 366,214 494,335
-amilase, AMG, selulase kasar 3 1067,778 355,926 128,029

ANOVA
Sumber keragaman JK db KT Fhit P-value Ftabel
Perlakuan 2752,121 3 917,374 4,624 0,037 4,066
Galat 1587,156 8 198,395
Total 4339,278 11

Uji Lanjut Duncan

Perlakuan Rata-rata selisih Notasi


Asam H2SO4 389,26 a
-amilase, AMG, selulase komersial 366,21 23,05 ns ab
-amilase, AMG, selulase kasar 355,93 33,33 ns 10,29 ns ab
-amilase, AMG 349,34 39,92 * 16,87 ns 6,58 ns b

P (3,8) JND 0.05 JND 0.01 BJND 0.05 BJND 0.01


2 4,50 8,26 36,59 67,17
3 4,50 8,50 36,59 69,12
4 4,50 8,60 36,59 69,94

Sy = 8,13213

81
B. Gula pereduksi

Ulangan Rata Stdev


Perlakuan
1 2 3 rata
Asam H2SO4 219,727 216,697 224,879 220,434 4,136
-amilase, AMG 199,121 193,667 192,203 194,997 3,646
-amilase, AMG, selulase komersial 266,727 264,576 261,545 264,283 2,603
-amilase, AMG, selulase kasar 209,121 211,242 212,991 211,118 1,938

Anova: Faktor tunggal

SUMMARY
Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata Variance
Asam 3 661,303 220,434 17,110
Enzim amilolitik 3 584,991 194,997 13,293
Enzim amilolitik +selulase komersial 3 792,848 264,283 6,777
Enzim amilolitik + selulase kasar 3 633,355 211,118 3,755

ANOVA

Sumber keragaman JK db KT Fhit P-value Ftabel


Perlakuan 7907,583 3 2635,861 257,563 0,000 4,066
Galat 81,871 8 10,234
Total 7989,454 11

Uji Lanjut Duncan

Perlakuan Rata-rata selisih Notasi


-amilase, AMG, selulase kasar 264,28 a
Asam H2SO4 220,43 43,85 ** b
-amilase, AMG 211,12 53,16 ** 9,32 * c
-amilase, AMG, selulase komersial 195,00 69,29 ** 25,44 ** 16,12 ** d

P (3,8) JND 0.05 JND 0.01 BJND 0.05 BJND 0.01


2 4,50 8,26 8,31 15,26
3 4,50 8,50 8,31 15,70
4 4,50 8,60 8,31 15,88

Sy = 1,84697

Lampiran 7 Perubahan total gula selama fermentasi


82
Perlakuan P1

Total Gula (g/L) Rata-


Jam ke- %-ase Stdev
1 2 3 rata
0 390,494 396,667 380,617 389,259 38,926 8,095603
6 381,852 371,975 374,444 376,091 37,609 5,139916
12 374,444 367,037 370,741 370,741 37,074 3,703704
18 350,988 339,877 358,395 349,753 34,975 9,320783
24 347,284 337,407 342,346 342,346 34,235 4,938272
36 290,494 250,988 271,975 271,152 27,115 19,76594
48 210,247 199,136 217,654 209,012 20,901 9,320783
72 183,086 178,148 191,728 184,321 18,432 6,873783
96 159,630 162,099 170,741 164,156 16,416 5,83434

Perlakuan P2

Total Gula (g/L) Rata-


Jam ke- %-ase Stdev
1 2 3 rata
0 386,790 383,086 379,383 383,086 38,309 3,703704
6 383,086 359,630 371,975 371,564 37,156 11,73381
12 369,506 348,519 359,630 359,218 35,922 10,49988
18 323,827 344,815 346,049 338,230 33,823 12,48888
24 246,049 301,605 263,333 270,329 27,033 28,43082
36 242,346 281,852 260,864 261,687 26,169 19,76594
48 238,642 269,506 250,988 253,045 25,305 15,53464
72 234,938 260,864 246,049 247,284 24,728 13,00698
96 213,951 247,284 222,593 227,942 22,794 17,29864

Perlakuan P3

Total Gula (g/L) Rata-


Jam ke- %-ase Stdev
1 2 3 rata
0 336,173 332,469 352,222 340,288 34,029 10,49988
6 320,123 291,728 309,012 306,955 30,695 14,30892
12 315,185 231,235 285,556 277,325 27,733 42,57619
18 257,160 226,296 258,395 247,284 24,728 18,18632
24 101,519 98,062 97,815 99,132 9,913 2,07074
36 83,741 67,321 75,840 75,634 7,563 8,21181
48 62,383 42,753 59,914 55,016 5,502 10,69191
72 31,272 21,519 33,247 28,679 2,868 6,279328
96 21,025 20,407 33,000 24,811 2,481 7,098855

Perlakuan P4
83
Total Gula (g/L) Rata-
Jam ke- %-ase Stdev
1 2 3 rata
0 383,086 375,679 374,444 377,737 37,774 4,673999
6 358,395 346,049 350,988 351,811 35,181 6,213856
12 294,198 304,074 311,481 303,251 30,325 8,67132
18 123,642 95,593 58,926 92,720 9,272 32,4535
24 68,704 58,679 36,457 54,613 5,461 16,50346
36 32,506 32,753 35,099 33,453 3,345 1,430892
48 29,543 31,765 30,778 30,695 3,070 1,113395
72 28,679 27,815 29,543 28,679 2,868 0,864198
96 23,494 17,938 20,654 20,695 2,070 2,778006

Perlakuan P5

Total Gula (g/L) Rata-


Jam ke- %-ase Stdev
1 2 3 rata
0 321,358 346,049 339,877 335,761 33,576 12,84979
6 290,494 279,383 295,432 288,436 28,844 8,220158
12 265,802 271,975 268,272 268,683 26,868 3,106928
18 252,222 260,864 264,568 259,218 25,922 6,33531
24 115,000 91,543 120,556 109,033 10,903 15,39914
36 96,086 87,815 98,062 93,988 9,399 5,436306
48 80,407 77,074 89,543 82,342 8,234 6,455661
72 53,000 58,062 55,593 55,551 5,555 2,531115
96 27,568 36,580 32,012 32,053 3,205 4,506314

Perlakuan P6

Total Gula (g/L) Rata-


Jam ke- %-ase Stdev
1 2 3 rata
0 392,963 386,790 360,864 380,206 38,021 17,03227
6 360,864 348,519 355,926 355,103 35,510 6,213856
12 358,395 320,123 336,173 338,230 33,823 19,21859
18 257,160 237,407 259,630 251,399 25,140 12,17996
24 76,457 54,358 80,160 70,325 7,033 13,95135
36 45,222 34,852 36,704 38,926 3,893 5,530809
48 34,975 34,728 36,086 35,263 3,526 0,723391
72 28,309 33,000 23,864 28,391 2,839 4,568457
96 21,395 21,889 22,753 22,012 2,201 0,687378

Perlakuan P7
84
Total Gula (g/L) Rata-
Jam ke- %-ase Stdev
1 2 3 rata
0 388,025 383,086 359,630 376,914 37,691 15,17062
6 376,914 374,444 354,691 368,683 36,868 12,17996
12 370,741 341,111 343,580 351,811 35,181 16,44032
18 247,284 239,877 234,938 240,700 24,070 6,213856
24 99,049 97,568 99,790 98,802 9,880 1,1315
36 31,519 40,901 37,568 36,663 3,666 4,756426
48 27,321 28,309 27,815 27,815 2,781 0,493827
72 27,074 25,716 26,086 26,292 2,629 0,702005
96 25,222 24,605 22,506 24,111 2,411 1,423773

Lampiran 8 Perubahan pH selama fermentasi


85
Perlakuan P1

pH Rata-
Jam ke- Stdev
1 2 3 rata
0 5,02 5,00 5,00 5,01 0,012
6 4,99 5,00 4,98 4,99 0,010
12 4,40 4,47 4,46 4,44 0,038
18 4,14 4,21 4,19 4,18 0,036
24 4,15 4,20 4,18 4,18 0,025
36 4,15 4,19 4,18 4,17 0,021
48 4,15 4,18 4,18 4,17 0,017
72 4,14 4,19 4,17 4,17 0,025
96 4,15 4,19 4,16 4,17 0,021

Perlakuan P2

pH Rata-
Jam ke- Stdev
1 2 3 rata
0 5,00 5,01 5,01 5,01 0,006
6 5,00 5,00 5,01 5,00 0,006
12 4,70 4,70 4,79 4,73 0,052
18 4,27 4,28 4,31 4,29 0,021
24 4,26 4,28 4,30 4,28 0,020
36 4,25 4,30 4,28 4,28 0,025
48 4,25 4,31 4,28 4,28 0,030
72 4,27 4,30 4,27 4,28 0,017
96 4,27 4,29 4,26 4,27 0,015

Perlakuan P3

pH Rata-
Jam ke- Stdev
1 2 3 rata
0 5,01 5,00 5,00 5,00 0,006
6 4,74 4,12 4,44 4,43 0,310
12 4,33 4,00 4,26 4,20 0,174
18 4,12 3,95 4,04 4,04 0,085
24 4,10 3,85 3,96 3,97 0,125
36 4,07 3,85 3,96 3,96 0,110
48 4,05 3,86 3,89 3,93 0,102
72 4,14 3,91 3,90 3,98 0,136
96 4,21 3,92 3,91 4,01 0,170

Perlakuan P4
86
pH Rata- Stdev
Jam ke- 1 2 3 rata
0 4,90 4,98 5,01 4,96 0,057
6 4,37 4,21 4,32 4,30 0,082
12 3,74 3,90 3,81 3,82 0,080
18 2,70 3,46 3,07 3,08 0,380
24 2,67 3,45 3,02 3,05 0,391
36 2,74 3,54 3,01 3,10 0,407
48 2,73 3,58 3,12 3,14 0,425
72 2,73 3,58 3,15 3,15 0,425
96 2,76 3,60 3,15 3,17 0,420

Perlakuan P5

pH Rata-
Jam ke- Stdev
1 2 3 rata
0 5,11 5,20 5,00 5,10 0,100
6 5,02 5,19 4,97 5,06 0,115
12 4,60 4,28 4,54 4,47 0,170
18 4,44 4,05 4,25 4,25 0,195
24 4,33 4,04 4,20 4,19 0,145
36 4,20 4,01 4,11 4,11 0,095
48 4,19 4,05 4,09 4,11 0,072
72 4,21 4,09 3,99 4,10 0,110
96 4,24 4,11 4,00 4,12 0,120

Perlakuan P6

pH Rata- Stdev
Jam ke- 1 2 3 rata
0 4,93 5,10 5,00 5,010 0,085
6 4,30 4,31 4,24 4,283 0,038
12 4,22 2,85 3,55 3,540 0,685
18 3,78 2,76 3,30 3,280 0,510
24 3,77 2,68 3,23 3,227 0,545
36 3,90 2,69 3,44 3,343 0,611
48 3,98 2,69 3,37 3,347 0,645
72 3,99 2,71 3,36 3,353 0,640
96 4,05 2,76 3,39 3,400 0,645

Perlakuan P7
87
pH Rata- Stdev
Jam ke- 1 2 3 rata
0 4,80 4,90 5,03 4,910 0,115
6 4,35 3,94 4,85 4,380 0,456
12 3,80 3,90 4,18 3,960 0,197
18 3,63 2,46 3,75 3,280 0,713
24 3,66 2,40 2,98 3,013 0,631
36 3,70 2,50 2,98 3,060 0,604
48 3,72 2,50 3,02 3,080 0,612
72 3,72 2,50 3,01 3,077 0,613
96 3,69 2,50 3,02 3,070 0,597

Lampiran 9 Hasil produksi etanol


88
% EtOH dl substrat (v/v) % EtOH dl substrat (b/v) Rata2 Rata2 Stdev Stdev
Perlakuan
1 2 3 1 2 3 (v/v) %(b/v) (v/v) (b/v)
P1 5,343 7,487 7,492 4,216 5,907 5,912 6,774 5,345 1,239 0,978
P2 4,659 4,827 5,403 3,676 3,808 4,263 4,963 3,916 0,390 0,308
P3 11,257 10,047 6,865 8,882 7,927 5,417 9,390 7,408 2,268 1,790
P4 10,978 14,295 10,060 8,661 11,279 7,937 11,777 9,292 2,228 1,758
P5 8,756 7,155 8,341 6,909 5,646 6,581 8,084 6,379 0,831 0,655
P6 11,953 11,441 10,505 9,431 9,027 8,288 11,300 8,915 0,734 0,579
P7 5,906 7,438 7,029 4,660 5,869 5,546 6,791 5,358 0,793 0,626

a. Konsentrasi etanol % (b/v)

Etanol Konsumsi Efisiensi Etanol Efisiensi


Perlakuan
% (b/v) glukosa (g/L) substrat (%) teoritis (%) Fermentasi (%)
P1 5,345 225,103 57,829 11,480 46,557
P2 3,916 155,144 40,498 7,912 49,488
P3 7,408 315,477 92,709 16,089 46,045
P4 9,292 357,041 94,521 18,209 51,032
P5 6,379 303,708 90,453 15,489 41,181
P6 8,915 358,193 94,210 18,268 48,804
P7 5,358 349,593 92,751 17,829 30,053
Keterangan
S = Konsentrasi total gula akhir (sisa) (gram/liter)
So = Konsentrasi total gula awal ( gram/ liter)

Konsentrasi etanol yang diperoleh


Eff. Fermentasi = x 100 %
Konsentrasi etanol secara teoritis

Konsentrasi etanol yang diperoleh


Yp/s = x 100 %
Konsentrasi total gula yg konsumsi

So - S
ds/s = x 100 %
So
Konsumsi glukosa = S - So

b. Perhitungan rendemen berdasarkan basis konsentrasi etanol % (b/v)


89
Konsentrasi etanol yang diperoleh
Rendemen (b/b) = x 100 %
Bobot tepung ubi kayu

Total vol substrat % Etanol Vol Etoh dlm Berat tepung


Perlakuan
(ml) (b/v) substrat (g) dl substrat (gr)
P1 966,286 5,345 51,647 300
P2 966,286 3,916 37,837 300
P3 1046,809 7,408 77,551 300
P4 885,762 9,292 82,309 300
P5 1046,809 6,379 66,772 300
P6 885,762 8,915 78,969 300
P7 885,762 5,358 47,462 300

Rendemen Rendemen Kebutuhan Singkong


Perlakuan
(% b/b)* (% v/b)** tepung (kg)*** segar ( kg)
P1 17,216 21,820 4,583 11,02
P2 12,612 15,985 6,256 15,04
P3 25,850 32,764 3,052 7,34
P4 27,436 34,773 2,876 6,91
P5 22,257 28,209 3,545 8,52
P6 26,323 33,362 2,997 7,21
P7 15,821 20,051 4,987 11,99
* gr Etoh/gr tepung
** vol Etoh/gr tepung
*** untuk 1 Lt Etoh (Kg)
P1 = 805,238 substrat + 80,52 ml T. viride + 80,52 S. cerevisiae
P2 = 805,238 substrat + 80,52 ml T. viride + 80,52 S. cerevisiae
P3 = 805,238 substrat + 80,52 ml T. viride + 80,52 ml A.niger + 80,52 S. cerevisiae
P4 =805,238 substrat + 80,52 S. cerevisiae
P5 = 805,238 substrat + 80,52 ml T. viride + 80,52 ml A.niger + 80,52 S. cerevisiae
P6 = 805,238 substrat + 80,52 S. cerevisiae
P7 = 805,238 substrat + 80,52 S. cerevisiae

Lampiran 10 Hasil analisis keragaman terhadap produksi etanol

90
Ulangan Rata-rata
Perlakuan Stdev
1 2 3 % (b/v)
P1 4.216 5.907 5.912 5.345 0.978
P2 3.676 3.808 4.263 3.916 0.308
P3 8.882 7.927 5.417 7.408 1.790
P4 8.661 11.279 7.937 9.292 1.758
P5 6.909 5.646 6.581 6.379 0.655
P6 9.431 9.027 8.288 8.915 0.579
P7 4.660 5.869 5.546 5.358 0.626

Anova: Faktor tunggal

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata Variance


P1 3 16.035 5.345 0.956
P2 3 11.747 3.916 0.095
P3 3 22.225 7.408 3.203
P4 3 27.877 9.292 3.091
P5 3 19.136 6.379 0.430
P6 3 26.746 8.915 0.335
P7 3 16.075 5.358 0.392

Sumber Keragaman JK df KT Fhit P-value Ftabel


Perlakuan 70.832 6 11.805 9.721 0.000 2.848
Galat 17.002 14 1.214
Total 87.834 20

Uji Lanjut Duncan

Perlakuan Rata-rata selisih Notasi

P4 9.29 a
P6 8.92 0.38 ns a
P3 7.41 1.88 ns 1.51 ns ab
P5 6.38 2.91 ** 2.54 * 1.03 ns bc
P7 5.36 3.93 ** 3.56 ** 2.05 * 1.02 ns cd
P1 5.34 3.95 ** 3.57 ** 2.06 * 1.03 ns 0.01 ns cd
P2 3.92 5.38 ** 5.00 ** 3.49 ** 2.46 * 1.44 ns 1.43 ns d

P (6,14) JND 0.05 JND 0.01 BJND 0.05 BJND 0.01


2 2.95 4.02 1.88 2.56
3 3.10 4.22 1.97 2.68
4 3.18 4.33 2.02 2.75
5 3.25 4.40 2.07 2.80
6 3.30 4.47 2.10 2.84
7 3.37 4.53 2.14 2.88
Sy = 0.63625

Lampiran 11 Hasil analisis keragaman konsentrasi serat kasar sisa.


91
Perlakuan Ulangan Rata2 Stdev
1 2 3 (b/b)
P1 0,53 0,47 0,5 0,500 0,030
P2 0,77 0,75 0,8 0,773 0,025
P3 1,08 0,96 1,03 1,023 0,060
P4 0,89 0,83 0,88 0,867 0,032
P5 0,88 0,99 0,93 0,933 0,055
P6 0,69 0,57 0,62 0,627 0,060
P7 1,01 1,08 1,03 1,040 0,036

Anova: Single factor

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata Variance


P1 3 1,500 0,500 0,001
P2 3 2,320 0,773 0,001
P3 3 3,070 1,023 0,004
P4 3 2,600 0,867 0,001
P5 3 2,800 0,933 0,003
P6 3 1,880 0,627 0,004
P7 3 3,120 1,040 0,001

ANOVA
Sumber Keragaman SS db KT Fhit P-value Ftabel
Perlakuan 0,740 6 0,123 60,936 0,000 2,848
galat 0,028 14 0,002
Total 0,768 20

Uji Lanjut Duncan

Perlakuan Rata-rata selisih Notasi


P7 1,04 a
P3 1,02 0,02 ns a
P5 0,93 0,11 * 0,09 * b
P4 0,87 0,17 ** 0,16 ** 0,09 * c
P2 0,77 0,27 ** 0,25 ** 0,19 ** 0,09 * d
P6 0,63 0,41 ** 0,40 ** 0,33 ** 0,24 ** 0,15 ** e
P1 0,50 0,54 ** 0,52 ** 0,46 ** 0,37 ** 0,27 ** 0,13 ** f

P (6,14) JND 0.05 JND 0.01 BJND 0.05 BJND 0.01


2 2,95 4,02 0,08 0,10
3 3,10 4,22 0,08 0,11
4 3,18 4,33 0,08 0,11
5 3,25 4,40 0,08 0,11
6 3,30 4,47 0,09 0,12
7 3,37 4,53 0,09 0,12
Sy = 0,026

92

You might also like