You are on page 1of 12

HUBUNGAN ANTARA KESELAMATAN KERJA DENGAN

SEMANGAT KERJA KARYAWAN BAGIAN PRODUKSI


CAHAYA TIMUR OFFSET YOGYAKARTA

Doni Yulianto Triadityo


Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Jalan Kapas 9, Semaki Yogyakarta 55166
dek_donnie@yahoo.com

Abstract

This research is aimed to know the correlation between works safety and
works spirit. Research subject is production employee at CV. Cahaya Timur
Offset Yogyakarta. Method research in this study is use quantitative approach
by using simple random sampling. Data collection tools in this study used works
safety scale and works spirit scale. Methods of data analysis in this study used
product moment correlation analysis techniques. The result of this research
showed a significant correlation with rxy = 0,585 and p = 0,000 (p < 0.01).
Effective amount donation given by works safety variable to works spirit
variables was 34,2%. The result showed that there is significant positive
correlation between works safety and works spirit of production employee at
CV. Cahaya Timur Offset Yogyakarta. Hypothesis is accepted and showed
that the higher works safety the higher works spirits and the opposite that the
lower safety works, the lower also works spirits. Implementation of safety is
on the medium level and the majority of subjects had a high work spirit in the
high category.

Key words : works safety, works spirit.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara


keselamatan kerja dengan semangat kerja karyawan. Subjek penelitian adalah
karyawan bagian produksi Cahaya Timur Offset Yogyakarta.
Metode penelitian menggunakan metode kuantitatif. Teknik sampling yang
digunakan adalah simple random sampling. Metode pengumpulan data
menggunakan skala yaitu skala keselamatan kerja dan skala semangat kerja.
Metode analisis data dengan menggunakan teknik analisis korelasi product
moment.
Hipotesis diterima dan menunjukkan bahwa semakin tinggi keselamatan
kerja maka akan semakin tinggi semangat kerja, sebaliknya semakin rendah
keselamatan kerja maka akan semakin rendah pula semangat kerja. Diperoleh
dari hasil penelitian yang menunjukkan nilai korelasi sebesar r= 0, 585 dengan
taraf signifikansi sebesar p = 0,000 (p < 0,01). Sumbangan efektif yang diberikan
238 EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
variabel keselamatan kerja terhadap variabel semangat kerja sebesar 34,2 %.
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan
antara keselamatan kerja dengan semangat kerja pada karyawan bagian
produksi Cahaya Timur Offset Yogyakarta. Pelaksanaan keselamatan kerja
pada kategori sedang dan mayoritas subjek mempunyai semangat kerja dengan
kategori tinggi.

Kata kunci : Keselamatan Kerja, Semangat Kerja

PENDAHULUAN

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 rupanya tidak menghalangi
pelaku bisnis untuk mengembangkan usahanya. Terbukti bahwa lebih dari satu dekade sejak
krisis moneter terjadi banyak bermunculan perusahaan-perusahaan baru dengan berbagai jenis
usaha. Salah satu aspek penting yang harus diperhatikan oleh perusahaan baik oleh perusahaan
baru maupun perusahaan yang telah beroperasi selama bertahun-tahun adalah yang berkaitan
dengan sumber daya khususnya sumber daya manusia. Hal ini disebabkan karena perusahaan
tidak mungkin mengoperasikan kegiatan tanpa adanya manusia juga karena faktor tenaga kerja
memegang peranan yang sangat penting dalam pencapaian visi, misi dan tujuan perusahaan.
Djui & Setiasih (2001) mengemukakan bahwa sasaran yang penting dalam pengelolaan
dan pengembangan sumber daya manusia adalah masalah pembinaan dan pemeliharaan semangat
kerja karyawan. Semangat kerja mempunyai dampak atau pengaruh yang cukup berarti dan
kompleks baik bagi karyawan maupun bagi perusahaan. Sutanto & Stiawan (2000)
mengemukakan bahwa semangat kerja dan kegairahan kerja karyawan mempengaruhi
produktivitas kerja karyawan. Kesenangan atau kegairahan kerja yang rendah dapat menimbulkan
kemangkiran, pemogokan, kepura-puraan dan berbagai aksi dan reaksi lainnya. Menurut Moekijat
(Adyani, 2008) semangat kerja menggambarkan perasaan yang berhubungan dengan jiwa,
semangat kelompok, kegembiraan dan kegiatan. Karyawan dapat dikatakan memiliki semangat
kerja yang tinggi apabila tampak merasa senang, optimis mengenai kegiatan dan tugas. Semangat
kerja juga diartikan sebagai suatu kondisi rohaniah atau sikap individu tenaga kerja dan kelompok-
kelompok yang menimbulkan kesenangan yang mendalam pada diri tenaga kerja untuk bekerja
dengan giat dan konsekuen dalam mencapai tujuan yang ditetapkan perusahaan (Sastrohadiwiryo,
2003).
Semangat kerja baik semangat kerja secara individu ataupun dalam tim kerja secara
keseluruhan merupakan faktor penting yang secara langsung mempengaruhi kinerja perusahaan.
Flippo (Febriani & Nurtjahjanti, 2006) menjelaskan bahwa semangat kerja yang tinggi ditandai
dengan adanya kegembiraan individu, kerelaan untuk menyesuaikan diri dengan aturan-aturan
dan perintah dan kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan
organisasi. Semangat kerja karyawan yang tinggi berhubungan dengan tingginya produktivitas
yang secara signifikan membawa keuntungan bagi perusahaan baik dari segi material maupun
non material.
Tuntutan akan tingginya semangat kerja karyawan sebagai aspek yang menunjang performa
yang baik bagi perusahaan nyatanya belum dapat terealisasi sesuai dengan yang diharapkan.
Berdasarkan hasil penelitian Sutanto & Stiawan (2000) pada karyawan (pramuniaga) Toserba
Doni Yulianto Triadityo 239
Sinar Mas Sidoarjo diketahui bahwa sebagian besar karyawan (70,8%) karyawan yang diteliti
mempunyai semangat dan kegairahan kerja rendah. Penelitian lain yang dilakukan oleh Djui &
Setiasih (2001) tentang semangat kerja karyawan bagian administrasi PT. Saka Farma Surabaya
menunjukkan bahwa semangat kerja karyawan rendah yaitu 11 dari 25 (44%) subjek tidak
bersemangat ketika bekerja pada pukul 08.00-09.00 dan 14 dari 25 (56%) subjek tidak
bersemangat ketika bekerja pada pukul 13.00-14.00.
Semangat kerja merupakan gabungan dari kondisi fisik, sikap, perasaan dan sentimen
karyawan (Adyani, 2008). Perusahaan dapat melihat beberapa indikasi untuk mengetahui semangat
kerja yang rendah dengan demikian perusahaan dapat mengetahui faktor-faktor penyebabnya
dan dapat berusaha mengambil suatu tindakan yang lebih dini. Menurut Nitisemito (1992) bahwa
indikator semangat kerja terlihat dari absensi, kerja sama, kepuasan kerja dan kedisiplinan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan 2 orang karyawan dan observasi pada bulan maret 2012
yang dilakukan oleh penulis diketahui bahwa semangat kerja karyawan khususnya karyawan
bagian produksi di Cahaya Timur Offset masih rendah. Di lihat dari absensi yang tinggi, kerjasama
dan kedisiplinan yang rendah.
Tinggi rendahnya semangat kerja karyawan dalam menyelesaikan tugas pekerjaannya
ditentukan oleh banyak faktor, salah satu faktor yang mempengaruhi semangat kerja karyawan
adalah keselamatan kerja. Menurut Abidin, dkk (2008) keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
merupakan suatu upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang aman, dapat memberi iklim
semangat kerja yang optimal untuk mencapai produktivitas setinggi-tingginya, oleh karena itu K3
mutlak untuk dilaksanakan pada setiap jenis bidang pekerjaan tanpa terkecuali. Upaya K3
diharapkan dapat mencegah dan mengurangi risiko terjadinya kecelakaan maupun penyakit akibat
melakukan pekerjaan. Asnawi & Bachroni (1999) mengemukakan bahwa kesehatan dan
keselamatan kerja (K3) pada hakekatnya merupakan suatu pengetahuan yang bertalian dengan
dua kegiatan. Pertama berkaitan dengan upaya keselamatan terhadap keberadaan tenaga kerja
yang sedang bekerja. Kedua berkaitan dengan kondisi kesehatan sebagai akibat adanya penyakit
dalam bekerja. Oleh karena itu hal yang paling hakiki dari K3 ini adalah cara agar tenaga kerja
dapat melaksanakan tugas pekerjaannya dengan tanpa mengalami kecelakaan atau menderita
sakit yang dimungkinkan sebagai akibat dari pelaksanaan tugas atau keterlibatannya dalam
pekerjaannya itu. Rasa aman yang dirasakan oleh karyawan dalam bekerja inilah yang akan
memicu tingginya semangat karyawan dalam menyelesaikan tugas pekerjaannya. Pernyataan ini
sejalan dengan pendapat Sutanto & Stiawan (2000) yang mengemukakan bahwa salah satu cara
yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk memelihara semangat dan kegairahan kerja karyawan
adalah dengan memperhatikan rasa aman menghadapi masa depan lewat upaya yang menjamin
keselamatan kerja pegawai.
Muchinsky (2002) mengatakan bahwa semangat kerja adalah kondisi seseorang yang
menunjang dirinya melakukan pekerjaan lebih cepat dan lebih baik. Suasana kerja pada umumnya
menjadi faktor penentu yang dapat membangkitkan semangat kerja karyawan. Misalnya saja,
terciptanya suasana kekeluargaan diantara sesama rekan kerja, dan juga suasana ruang kerja
yang kondusif. Hal tersebut dapat memberikan reaksi positif bagi karyawan untuk membangkitkan
semangat dan kegairahan kerja.
Nitisemito (1992) mendefinisikan bahwa semangat kerja adalah kondisi seseorang yang
menunjang dirinya untuk melakukan pekerjaan lebih cepat dan lebih baik di dalam sebuah
perusahaan. Semangat kerja merupakan keadaan psikologis seseorang. Semangat kerja dianggap
sebagai keadaan psikologis yang baik bila dapat menimbulkan kesenangan yang mendorong
seseorang untuk bekerja lebih giat dan konsekuen (Siswanto, 2000).
240 EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
Sutanto & Stiawan (2000) mengemukakan bahwa semangat kerja adalah dorongan
yang menyebabkan melakukan pekerjaan secara lebih giat sehingga dengan demikian pekerjaan
akan diharapkan lebih cepat dan lebih baik. Yoder (Djui & Setiasih, 2001) mendefinisikan
semangat kerja sebagai suatu kondisi mental yang mencerminkan kegairahan, keteguhan hati dan
rasa persatuan dengan kelompok yang mempengaruhi seseorang untuk bekerja sama.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa semangat kerja yaitu kondisi
mental individu yang mendorong untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik, lebih cepat dan
konsekuen secara pribadi maupun berkelompok.
Nitisemito (1992) mengungkapkan empat aspek semangat kerja yaitu: 1) Absensi, absensi
menunjukkan ketidakhadiran karyawan dalam tugasnya. Tingkat absensi karyawan dapat
dijadikan sebagai indikator untuk mengetahui semangat kerja karyawan. 2) Kerjasama, kerjasama
adalah bentuk tindakan seseorang terhadap orang lain. Kerjasama dapat dilihat dari kesediaan
karyawan untuk bekerja sama dengan rekan kerja atau dengan atasan mereka berdasarkan
untuk mencapai tujuan bersama. 3) Kepuasan kerja, kepuasan kerja merupakan keadaan
emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan melalui cara pandang karyawan terhadap
pekerjaan mereka. 4) Kedisiplinan, kedisiplinan adalah suatu sikap dan tingkah laku yang sesuai
dengan peraturan organisasi dalam bentuk tertulis maupun tidak.
Gulon (Febriani & Nurtjahjanti, 2006) mengemukakan bahwa aspek-aspek semangat
kerja adalah: 1) Perasaan senang atau bahagia, berkaitan dengan perasaan senang atau bahagia
yang dialami karyawan ketika bekerja sehingga pekerjaan tidak membosankan, pekerjaan dengan
cepat berlalu dan karyawan betah bekerja. 2) Konflik dalam bekerja, hal ini lebih ditujukan pada
tidak adanya konflik dalam diri sendiri terutama antara perasaan suka atau tidak suka terhadap
pekerjaan, sesama karyawan, atasan maupun terhadap sistem. 3) Penyesuaian perseorangan
yang baik, kemampuan karyawan dalam mengerti, memahami, dan menyesuaikan diri baik dengan
keadaan, pekerjaan maupun hubungan interpersonal dalam lingkungan kerja. 4) Kepaduan
kelompok, kemampuan antar anggota kelompok untuk bekerja sama termasuk di dalamnya
mampu bekerja sama antara atasan dengan bawahan maupun antar sesama karyawan. 5)
Keterlibatan ego individu terhadap pekerjaannya, individu menganggap pekerjaannya sebagai
bagian dari dirinya, penyalur motivasi dan bukan hanya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan
melainkan sudah menjadi kebutuhan itu sendiri. Cara individu melibatkan diri dan perasaannya
dalam melaksanakan pekerjaannya sehingga ada kemauan untuk melaksanakan tugasnya. 6)
Sekumpulan sikap karyawan yang berhubungan dengan pekerjaannya, berkaitan dengan
penerimaan individu terhadap keseluruhan hasil pekerjaannya yaitu cara individu bersikap terhadap
semua aspek yang ada dalam kerja baik mengenai pekerjaan itu sendiri maupun aspek-aspek
lain dalam bekerja. 7) Adanya penerimaan individu terhadap tujuan kelompok, berkaitan dengan
kesesuaian antara tujuan perusahaan dengan tujuan individu. Sejauh mana individu memahami,
mengerti, menerima tujuan perusahaan serta adanya keinginan untuk mencapai tujuan.
Nawawi (2003) mengemukakan bahwa semangat kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu: 1) Minat seseorang terhadap pekerjaan yang dilakukan. Seseorang yang berminat dalam
mengerjakan pekerjaannya akan dapat meningkatkan semangat kerja. 2) Faktor gaji atau upah
yang tinggi akan meningkatkan semangat kerja seseorang. 3) Status sosial pekerjaan. Pekerjaan
yang memiliki status sosial yang tinggi dan memberi posisi yang tinggi dapat menjadi faktor penentu
semangat kerja. 4) Suasana kerja atau hubungan dalam pekerjaan. Penerimaan dan penghargaan
dapat meningkatkan semangat kerja. 5) Tujuan pekerjaan. Tujuan pekerjaan yang mulia dapat
mendorong semangat kerja seseorang.
Tiffin & Mc Cormick (Djui & Setiasih, 2001) mengungkapkan beberapa faktor yang
mempengaruhi tinggi rendahnya semangat kerja yaitu: 1) Tugas atau jabatan karyawan, kenaikan
Doni Yulianto Triadityo 241
jabatan biasanya diikuti dengan meningkatnya semangat kerja karyawan. 2) Kesuksesan
karyawan, sikap positif yang dimiliki oleh karyawan terhadap pekerjaannya akan menimbulkan
semangat kerja demikian pula sebaliknya. 3) Pengawasan, sikap dan perilaku atasan terhadap
bawahannya sedikit banyak akan mempengaruhi sikap karyawan terhadap pekerjaannya 4) Faktor
sosial dalam kelompok kerja, penelitian Mayo menunjukkan bahwa dengan menimbulkan perasaan
diterima dalam kelompok seorang karyawan akan menunjukkan semangat kerja yang tinggi. 5)
Kondisi kerja, kondisi kerja yang menyenangkan dan lingkungan kerja yang harmonis merupakan
syarat timbulnya kegairahan kerja karyawan. 6) Tinjauan terhadap salary dan penghargaan,
karyawan akan merasa senang apabila mendapatkan penghargaan dan kenaikan gaji secara
teratur. 7) Metode penggajian, Timbulnya keluhan dari karyawan mengenai upah biasanya berasal
dari metode penggajian yang ditetapkan oleh perusahaan.
Menurut Zainun (1991) faktor-faktor yang mempengaruhi semangat kerja adalah 1)
Hubungan harmonis antara pimpinan dengan bawahan terutama antara pimpinan kerja sehari-
hari langsung berhubungan dan berhadapan dengan para bawahan. 2) Kepuasan para petugas
terhadap tugas dan pekerjaannya karena memperoleh tugas yang disukai sepenuhnya. 3) Terdapat
suasana dan iklim kerja yang bersahabat dengan anggota organisasi, apabila dengan mereka
yang sehari-hari banyak berhubungan dengan pekerjaan. 4) Rasa pemanfaatan bagi tercapainya
tujuan organisasi yang juga merupakan tujuan bersama mereka yang harus diwujudkan secara
bersama-sama pula. 5) Adanya tingkat kepuasan ekonomis dan kepuasan nilai lainnya yang
memadai sebagai imbalan yang dirasakan adil terhadap jerih payah yang telah diberikan kepada
organisasi. 6) Adanya ketenangan jiwa, jaminan kepastian serta perlindungan terhadap segala
sesuatu yang dapat membahayakan diri pribadi dan karir dalam pekerjaannya.

Keselamatan Kerja

Winarsunu (2008) mengemukakan bahwa keselamatan kerja adalah tingkah laku individu
dalam berinteraksi dengan lingkungan kerja yang secara khusus berhubungan dengan terbentuknya
perilaku aman yang dapat meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja dan terbentuknya
perilaku tidak aman dalam bekerja yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja.
Keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan
dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya dan manusia
pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan makmur
(Mangkunegara, 2001).
Sumamur (2001) mendefinisikan keselamatan kerja sebagai rangkaian usaha untuk
menciptakan suasana kerja yang aman dan tenteram bagi para karyawan yang bekerja di
perusahaan yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa keselamatan kerja adalah
rangkaian usaha untuk menciptakan perlindungan meliputi suasana dan lingkungan kerja yang
aman untuk menjamin kesejahteraan jasmani dan rohani tenaga kerja.
Sebaik apapun rangkaian usaha keselamatan kerja yang diberikan oleh perusahaan tidak
berpengaruh secara langsung terhadap karyawan karena kondisi ini masih objektif, akan
berpengaruh jika perusahaan dapat menerapkan program keselamatan kerja yang secara langsung
dirasakan oleh karyawan karena hal itu merupakan hasil dari persepsi karyawan dan karyawanlah
yang merasakan secara langsung program keselamatan kerja tersebut.
Sarwono (2002) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pencarian informasi untuk
dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan,
242 EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
pendengaran, peraba dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran
atau kognisi. Rivai (2003) mendefinisikan persepsi sebagai proses yang ditempuh individu untuk
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera agar memberikan makna bagi lingkungan
individu. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan yaitu
merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses
sensoris namun proses ini tidak berhenti begitu saja melainkan stimulus tersebut diteruskan dan
proses selanjutnya merupakan proses persepsi (Walgito, 2003).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keselamatan kerja adalah persepsi
karyawan terhadap rangkaian program perusahaan dalam menciptakan perlindungan meliputi
suasana dan lingkungan kerja yang aman untuk menjamin kesejahteraan jasmani dan rohani tenaga
kerja.

Aspek-aspek Keselamatan Kerja

Mangkunegara (2001) mengemukakan bahwa aspek-aspek keselamatan kerja adalah:


a. Keadaan tempat lingkungan kerja yang meliputi:
1) Penyusunan dan penyimpanan barang-barang yang berbahaya yang kurang
diperhitungkan keamanannya.
2) Ruang kerja yang terlalu padat dan sesak.
3) Pembuangan kotoran dan limbah yang tidak pada tempatnya.
b. Pemakaian peralatan kerja yang meliputi:
1) Pengaman peralatan kerja yang sudah usang atau rusak.
2) Penggunaan mesin, alat elektronik tanpa pengaman dan pengaturan penerangan yang
baik.
Sumamur (2001) menyatakan bahwa aspek-aspek keselamatan kerja adalah:
a. Tempat kerja
Tempat kerja adalah lokasi tempat karyawan melakukan aktivitas kerjanya.
b. Mesin dan peralatan
Mesin dan peralatan adalah bagian dari kegiatan operasional dari proses produksi
yang biasanya berupa alat-alat berat dan alat ringan.
Garvin (Wibowo, 2007) mengungkapkan beberapa aspek yang digunakan untuk menilai
kualitas suatu produk, program K3 perusahaan merupakan program yang dicanangkan dan
dilaksanakan oleh perusahaan untuk melindungi karyawan sebagai aset utama perusahaan,
sehingga dengan kata lain program K3 perusahaan merupakan produk perusahaan yang digunakan
karyawan.
Aspek-aspek yang dikemukakan oleh Garvin (Wibowo, 2004) tersebut adalah: 1) Aspek
kinerja (performance), yaitu berhubungan dengan pelaksanaan program K3 perusahaan misalnya,
sistem pengolahan limbah perusahaan. 2) Aspek kelengkapan (features), yaitu berhubungan
dengan kelengkapan, kesiapan dan kondisi alat serta perlengkapan K3 termasuk sumber daya
manusianya. 3) Aspek kehandalan (reliability), yaitu berhubungan dengan tingkat keberhasilan
program K3 seperti tingkat karyawan merasakan manfaat dari program K3 dalam mengurangi
suatu resiko kecelakaan kerja. 4) Aspek kesesuaian (conformance), yaitu berhubungan dengan
kesesuaian pelaksanaan program K3 dengan prosedur yang berlaku, misalnya penggunaan masker
atau kaus tangan sesuai dengan standar keamanan yang berlaku dan tidak mengganggu
kenyamanan karyawan dalam bekerja. 5) Aspek daya tahan (durability), yaitu berhubungan
dengan kontinuitas pelaksanaan program K3 dan behubungan juga dengan kemampuan program
Doni Yulianto Triadityo 243
K3 untuk mewujudkan keselamatan dan kesehatan kerja dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. 6) Aspek serviceability, yaitu berhubungan dengan pelayanan perusahaan terhadap
karyawan dalam bidang K3.

METODE PENELITIAN

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari satu variabel bebas yaitu keselamatan
kerja dan satu variabel tergantung yaitu semangat kerja.
Subjek penelitian diambil dari semua populasi yaitu 74 orang karyawan bagian produksi di
Cahaya Timur Offset. 34 orang subjek dipakai sebagai data uji coba dan 40 orang subjek dipakai
sebagai data penelitian, subjek diambil dari seluruh karyawan bagian produksi di Cahaya Timur
Offset dengan ciri-ciri subjek yang akan dikenai penelitian yaitu berstatus karyawan yang berjenis
kelamin laki-laki maupun perempuan, berusia 20-45 tahun.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala. Skala adalah
daftar pernyataan yang harus dijawab oleh subjek yang disusun berdasarkan aspek-aspek dari
atribut yang akan diukur. Penelitian ini menggunakan dua (2) buah skala yaitu,
1. Skala Semangat Kerja yang disusun penulis berdasarkan teori dari Gulon (Febriani &
Nurtjahjanti, 2006) yang terdiri dari tujuh (7) aspek.
2. Skala Keselamatan Kerja yang disusun penulis berdasarkan teori Garvin (Wibowo, 2004)
yang terdiri dari enam (6) aspek.
Peneliti menghendaki koefisien reliabilitas (rtt) skala sebesar 0,8 karena alat ukur yang
digunakan untuk kepentingan diagnosis kelompok menghendaki koefisien reliabilitas sebesar
0,75 atau 0,80 dengan menggunakan rumus Spearman-Brown (Suryabrata, 2005). Peneliti
menggunakan indeks daya beda aitem (rit) sebesar 0,4 karena peneliti menaikkan dari minimal
indeks daya beda aitem (rit) sebesar 0,3 atau 0,25 agar dapat mendapatkan kualitas aitem yang
baik (Azwar, 2010).
Penentuan jumlah aitem pada blue print awal Skala Kepuasan Kerja, Skala Komunikasi
Interpersonal dan Skala Pengembangan Karir menggunakan rumus Spearman-Brown (Suryabrata,
2005), dengan rumus:

k rit 2
rtt =
1 + (k 1)rit 2

k 0,4 2
0,8 =
1 + (k 1)(0,4) 2

0,16k
0,8 =
1 + (k 1)(0,16)
244 EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012

0,16k
0,8 =
1 + 0,16k 0,16

0,16 k = 0,8(1 + 0,16 k + 0,84)


0,09 k = 0,672 + 0,128 k

0,032 k = 0,672

0,672
k=
0,032

k = 21

Keterangan :
Koefisien Reliabilitas yang diinginkan (rtt) = 0,8
Indeks Daya Beda Aitem (rit) = 0,4
Jumlah aitem (k) = 21
Pembobotan tiap aspek pada blue print awal ketiga skala ini tidak diperoleh dari teori
atau hasil analisis faktor yang telah dilakukan sebelumnya dan karena tidak juga diperoleh dari
penilaian profesional (professional judgement) berdasarkan kepatutan akal. Oleh karena itu,
karena tidak diperoleh alasan untuk menganggap adanya sebagian komponen yang lebih signifikan
daripada komponen yang lainnya, maka semua komponen diberi bobot yang sama (Azwar,
2010).
Blue print awal Skala Kepuasan Kerja sebelum uji coba dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.
Blue Print Awal Skala Semangat Kerja

No Aspek-aspek Jumlah Bobot (%)


1 Perasaan senang atau bahagia 4 14,29
2 Konflik kerja 4 14,29
3 Penyesuaian perorangan 4 14,29
4 Kepaduan kelompok 4 14,29
5 Keterlibatan ego individu 4 14,29
6 Sikap karyawan 4 14,29
7 Penerimaan individu terhadap tujuan kelompok 4 14,29
Jumlah 28 100
Doni Yulianto Triadityo 245
Tabel 2.
Blue Print Awal Skala Keselamatan Kerja

No Aspek-aspek Jumlah Bobot (%)


1 Kinerja 4 16,7
2 Kelengkapan 4 16,7
3 Kehandalan 4 16,7
4 Kesesuaian 4 16,7
5 Daya tahan 4 16,7
6 Service ability 4 16,7
Jumlah 24 100

Format respon untuk tiga skala di atas menggunakan empat kategori interval kesetujuan
yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Kriteria
penilaian tergantung pada favorable atau unfavorable aitem pada skala.
Distribusi skor Skala Semangat Kerja, Skala Keselamatan Kerja dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3.
Distribusi Skor Skala Semangat kerja dan skala Keselamatan Kerja

No Kategori Respon Favorable Unfavorable


1 Sangat Sesuai (SS) 4 1
2 Sesuai (S) 3 2
3 Tidak Sesuai (TS) 2 3
4 Sangat Tidak Sesuai (STS) 1 4

Validitas dan Reliabilitas

Validitas alat ukur yang digunakan adalah content validity yaituvaliditas yang diestimasi
lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau professional judgement. Estimasi
reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan konsistensi internal
melalui single trial administration yaitu teknik reliabilitas yang diperoleh dari satu kali penyajian
tes kepada sekelompok individu sebagai subjek. Formula yang digunakan dalam metode
konsistensi internal adalah Alpha (Cronbach). Analisis reliabilitas melalui proses komputerisasi
menggunakan bantuan piranti lunak program SPSS 16 for Windows.

Metode Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik dengan teknik
korelasi product moment dari Pearson. Keseluruhan analisis data penelitian akan dihitung dengan
menggunakan bantuan fasilitas komputer program Statistical Product and Service Solution 16
for windows.
246 EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
HASIL DAN PEMBAHASAN

SkalaSemangat Kerja hasil analisis uji coba dan seleksi aitem diperoleh 21 aitem valid,
memiliki koefisien reliabilitas Alpha () sebesar alpha 0,904 dengan rentang indeks daya beda
aitem terendah pada aitem nomor 44 sebesar 0,895 dan aitem tertinggi pada aitem nomor 29
sebesar 0,907 dan rerata indeks daya beda aitem sebesar 0.900.
Skala Keselamatan Kerja hasil analisis uji coba dan seleksi aitem, didapatkan 18 aitem
valid dengan koefisien korelasi aitem total (rit) terendah 0,895 pada aitem nomor 13, koefisien
korelasi aitem total (rit) tertinggi 0,998 pada aitem nomor 3 dan 27 serta rerata indeks daya beda
aitem sebesar0.902.
Hasil analisis regresi ganda R = 0,585 dengan taraf signifikansi (p) = 0,000 (p < 0,01),
artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara keselamatan kerja dengan semangat
kerja. Semakin tinggi keselamatan kerja maka akan semakin tinggi semangat kerja, sebaliknya
semakin rendah keselamatan kerja maka akan semakin rendah pula semangat kerja karyawan.
Berdasarkan hasil ketegorisasi variabel semangat kerja diketahui bahwa dari 40 subjek
penelitian tidak ada subjek yang memiliki semangat kerja pada kategori rendah, 6 (15%) subjek
memiliki semangat kerja pada kategori sedang dan sisanya yaitu sebanyak 34 (85%) subjek
memiliki semangat kerja pada kategori tinggi.Hal ini dapat diartikan bahwa subjek penelitian
pada umumnya menunjukkan rasa kegairahan yang tinggi dalam melaksanakan pekerjaannya
dan mendorong karyawan untuk bekerja secara lebih baik dan produktif. Majorsy (2007)
mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki semangat kerja yang tinggi akan melakukan
tugasnya sepenuh hati karena semangat kerja berkaitan dengan ketulusan seseorang dalam
melaksanakan tugasnya dengan baik.

Tabel 4.
Kategorisasi Tiap Aspek Skala Keselamatan Kerja

Aspek Kategori f %
Kinerja Baik 19 47,5%
Sedang 21 52,5%
Buruk - 0
Kelengkapan Baik 22 55%
Sedang 18 45%
Buruk - 0
Kehandalan Baik 31 77,5%
Sedang 9 22,5%
Buruk - 0
Kesesuaian Baik 28 70%
Sedang 12 30%
Buruk - 0
Daya tahan Baik 37 92,5%
Sedang 3 7,5%
Buruk 0 0
Service ability Baik 20 50%
Sedang 20 50%
Buruk - 0
Doni Yulianto Triadityo 247
Hasil kategorisasi pada variabel keselamatan kerja menunjukkan bahwa 17 (42,5%) subjek
menganggap bahwa keselamatan kerja dilakukan oleh perusahaan pada kategori baik dan 23
(57,5%) subjek menganggap bahwa keselamatan kerja pada kategori sedang. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa mayoritas subjek penelitian menganggap bahwa keselamatan kerja di
perusahaan berkisar antara sedang cenderung baik, sehingga perlu dibuat kategorisasi dari masing-
masing aspek untuk mengetahui kecenderungan pelaksanaan keselamatan kerja pada tiap aspek
keselamatan kerja. Kategorisasi dan kecenderungan pelaksanaan keselamatan kerja pada masing-
masing aspek Keselamatan Kerja disajikan dalam Tabel 4.
Berdasarkan kategorisasi tiap aspek skala Keselamatan Kerja diketahui bahwa aspek
kinerja 52,5% pada kategori sedang dan 47,5% pada kategori baik. Aspek kelengkapan 45%
pada kategori sedang dan 55% pada kategori baik. Aspek kehandalan 22,5% pada kategori
sedang dan 77,5% pada kategori baik. Aspek kesesuaian 30% pada kategori sedang dan 70%
pada kategori baik. Aspek daya tahan 7,5% pada kategori sedang dan 92,5% pada kategori
baik. Aspek service ability 50% pada kategori sedang dan 50% pada kategori baik. Dapat
disimpulkan bahwa aspek yang memiliki peranan terbesar dalam pelaksanaan keselamatan kerja
yaitu aspek daya tahan dengan mayoritas 92,5% pada kategori baik.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan terhadap hasil penelitian, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara keselamatan kerja
dengan semangat kerja karyawan yang artinya semakin tinggi penerapan pelaksanaan keselamatan
kerja pada perusahaan maka akan disertai peningkatan semangat kerja pada karyawan,
sebaliknya semakin rendah penerapan keselamatan kerja pada perusahaan maka akan disertai
pula dengan penurunan semangat kerja pada karyawan.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z., Tjiptono, T. W.,& Dahlan, I. (2008). Hubungan perilaku keselamatan kerja dan
kesehatan kerja dengan dosis radiasi pada pekerja reaktor kartini. Seminar Nasional
IV SDM Teknologi Nuklir Yogyakarta, 25-26 Agustus 2008. 67-76.

Adyani, I. G. A. D. (2008). Membina semangat kerja untuk meningkatkan produktivitas kerja


karyawan. Jurnal Buletin Studi Ekonomi, 13(2), 203-209.

Asnawi, S.& Bachroni, M. (1999). Semangat kerja dan kepemimpinan. Jurnal Binaniaga,
(22), 86-92.

Azwar, S. (2003). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2003). Metodologi penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2005). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Chaplin, J. P. (2008). Dictionary of psychology. Penerjemah: Kartono, K. Jakarta: Pustaka


Binaman Pressindo.

Djui, T. & Setiasih. (2001). Pengaruh musik pengiring kerja terhadap semangat kerja karyawan
248 EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
bagian administrasi. Anima Indonesian Psychological Journal, 16(3), 290-299.

Febriani, R. & Nurtjahjanti, H. (2006). Hubungan keadilan organisasi dalam merit pay dengan
semangat kerja karyawan PT (Persero) angkasa pura I kantor cabang bandara ahmad
yani semarang. Sukma, 3(1), 43-53.

Hadi, S. (2000). Metode research I. Yogyakarta: Andi Offset.

Majorsy, U. (2007). Kepuasan kerja, semangat kerja dan komitmen organisasional pada staff
pengajar universitas gunadarma. Jurnal Psikologi, 1(1), 64-74.

Mangkunegara, A. A. (2001). Manajemen sumber daya manusia perusahaan. Bandung: PT


Remaja Rosda Karya.

Muchinsky, P.M. (2002). Applied pscychology to work: an introduction to industrial and


organizational psychology. Chicago: The Dorsey Press.

Nawawi, H. (2003). Manajemen strategik non profit bidang pemerintahan. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press.

Nitisemito, A. S. (1992). Manajemen personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Rosidah & Sulistyani. (2003). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Graha Ilmu.

Sarwono, S. (2002).Pengantar psikologi umum. Jakarta: Rajawali Press.

Schuler, R. S.& Jackson, S. E. (1996). Manajemen sumber daya manusia menghadapi abad
ke-21. Jakarta: PT. Erlangga.

Suryabrata, S. (2005). Pengembangan alat ukur psikologis. Yogyakarta: PT. Andi Offset.

Sutanto, E.S & Stiawan, B. (2000). Pengaruh gaya kepemimpinan yang efektif dalam upaya
meningkatkan semangat kerja dan kegairahan kerja karyawan di toserba sinar mas sidoarjo.
Jurnal Manajemen & Kewirausahaan, 2(2), 29-43.

Walgito, B. (2003). Pengantar psikologi umum. Yogyakarta: Andy.

Wibowo, A. T. (2007). Hubungan antara kualitas pelaksanaan program keselamatan dan


kesehatan kerja (K3) dengan komitmen karyawan terhadap organisasi pada
karyawan bagian produksi PT. Cambrics Primissima. Skripsi(tidak diterbitkan).
Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.

Winarsunu, T. (2008). Psikologi keselamatan kerja. Malang: UPT Penerbitan Universitas


Muhammadiyah Malang.

Zainun, B. (1991). Administrasi dan manejemen kepegawaian pemerintah negara indonesia.


Jakarta: Gunung Agung.

You might also like