You are on page 1of 11

MODUL PERKULIAHAN

Manajemen
Perpajakan
Pokok Bahasan :Mampu memahami, menjelaskan dan
menerapkan perencanaan pajak untuk PPh Pasal 22,23 ,24 dan
25

Universitas Mercu Buana Meruya

Kode MK
Fakultas Program Studi Tatap Muka Disusun Oleh
84061
Ekonomi dan Bisnis Strata Satu Dra. Rokhanah Murkana Ak, MSi
Akuntansi/PKK
08
Abstract Kompetensi
Tax Planning PPh Pasal 22,23 dan PPh Mampu memahami, menjelaskan, dan
Pasal 24 perlu dilaksanakan agar perusahaan menerapkan Perencanaan PPh Psl.22,23
bisa melaksanakan beban pajak secara effisien dan 24, Perlakuan perpajakannya, pengajuan
dengan cara menguasai perlakuan/ketentuan surat keterangan bebas PPh psl.22,23,kontrak
perpajaka yang berhubungan kontrak,maksimal dengan pihak ke 3 ,pemanfaatan maximal
kredit pajak, sehingga diperoleh hasil yang kredit pajak PPh Pasal 24 dan perlakuan
optimal. perlakuan perencanaan Psl.25 untuk
mengefisiensikan beban pajak.
Perencanaan Pajak untuk Pajak Penghasilan 22
1. Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan. Dalam hal ini Wajib Pajak harus jeli untuk
memperoleh informasi. Untuk memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang
dapat dikreditkan. Sebagai contoh , PPh Pasal 22 atas pembelian solar dari Pertamina
bersifat final jika pembelinya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di bidang penyaluran
migas,tetapi bila pembeliannya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di bidang
pabrikan, maka PPh Pasal 22 tersebut dikreditkan dengan dengan PPh Badan. Pengkreditan
ini lebih menguntungkan dari pada dibebankan sebagai biaya.
2. Mengajukan permohonan pembebasan PPh Pasal 22 Impor apabila perusahaan melakukan
impor. Pengajuan permohonan pembebasan PPh Pasal 22 harus melampirkan :
a. Proyeksi impor setiap bulan selama tahun yang bersangkutan
b. Proyeksi perhitungan laba/rugi tahun yang bersangkutan
c. Proyeksi perhitungan PPh Badan yang terutang dan angsuran PPh Pasal 25, serta PPh
Pasal 22 yang menunjukkan lebih bayar apabila dilakukan pembayaran PPh Pasal 22.
d. Proyeksi neraca pada akhir tahun yang bersangkutan.

Pajak Penghasilan Pasal 22


Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/2001 sebagaiman a telah diubah
terakhir dengan PMK NO. 08/PMK.03/2008, pajak ini menyangkut PPh Pasal 22 impor, PPh
Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD atas pembayaran untuk pembelian dan penyerahan
barang yang dibebankan ke APBN/APBD, PPh Pasal 22 atas kegiatan usaha lain (hasil
penjualan : produksi Pertamina,produksi rokok, semen,otomotif ,baja,kertas, dan lain-lain, PPh
Pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah (PMK No. 253/PMK.3/2008).
Dalam kaitannya dengan masalah PPh Pasal 22 impor menyangkut pemungutan pajak di
sector impor, yang berhubungan dengan penyerahan dan pembayaran barang, serta
pemasukan barang dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean. Kalau perusahaan
mengimpor barang, harus membayar PPh Pasal 22 impor pada saat pembayaran bea
masuk,dan yang memungut adalah Ditjen Bea dan Cukai atau bank devisa. PPh Pasal 22 impor
merupakan kredit pajak yang dapat dikurangkan dari PPh yang terutang di akhir tahun pajak.
Dalam hal impor, tarif PPh Pasal 22 ini bervariasi, tergantung apakah perusahaan punya angka
pengenal impor (API). Atau tidak, dan kalau tidak dikuasai artinya barang tidak bertuan. Kalau
ada API tarifnya 2,5 % dari nilai impor, kalau non API 7,5%, dan untuk barang tidak dikuasai
juga dikenai 7,5% dari harga jual lelang. Persentase tersebut dihitung dari harga barang atau
nilai CIF ditambah BM (Cost Insurance & Freight ditambah Bea Masuk ditambah Bea Masuk
Tambahan, jika ada). Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax planning. Tentu yang
dipikirkan oleh tax planner yang baik akan merekomendasikan impor dengan API.
Rate yang berbeda juga akan mendorong orang untuk lari ke API, bagaimana caranya? Dalam
bisnis kita tidak selalu bisa begitu saja membuat pilihan. Pilihan itu ada bila kita punya akses
masuk kedalam pilihan tersebut, dan ini tidak semua orang bisa melakukannya. Bagaimana
mungkin importer yang punya API mau menerima permintaan pemilik barang yang kurang atau
tidak dikenalnya untuk menggunakan fasilitas API nya. Ini karena resikonya cukup tinggi,
karena bila si pemilik barang tersebut tidak jujur ( barang yang dikeluarkan adalah barang
selundupan, atau barang optic yang harganya sangat mahal tetapi dalam Pemberitahuan
Impor Barang (PIB) dan dokumen impornya dilaporkan sebagai barang pecah belah). Bila
kasus ini terlacak oleh Ditjen Bea Cukai, perusahaan yang punya API, yang benderanya dipakai
untuk mengeluarkan barang, akan dikejar oleh Ditjen Bea dan Cukai , begitu juga pemilik
barang. Sanksinya sangat berat karena ini kasus manipulasi impor, yang termasuk tindak
pidana.
Memfasilitasi penggunaan (peminjam) API tersebut bisa terjadi digunakan oleh unit-unit bisnis
dalam grup perusahaan atau konglomerat yang satu dengan yang lainnya sudah saling kenal
dan berada dalam paying kepemilikan perusahaan yang sama, malah mungkin menjadi suatu
kebijakan bisnis grup nya yang harus dijalankan dan dipatuhi.

Perencanan Pajak PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final.


Dalam praktek , kewajiban memotong, menyetor, dan melaporak PPh sesuai dengan
mekanisme withholding tax pada umumnya memiliki kuantitas yang cukup besar. Apalagi sejak
adanya perluasan objek withholding tax sejak tahun 2000.

Tax Planning PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final


Dalam praktik, kewajiban memotong, menyetor dan melaporkan PPh sesuai mekanisme
withholding tax pada umumnya memiliki kuantitas yang cukup besar. Apalagi sejak adanya
perluasan objek withholding tax sejak tahun 2000.
Beberapa hal krusial dalam penanganan PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final :

1. Masalah Pembuatan Kontrak


Pada transaksi yang merupakan objek PPh Pasal 23/26/Final, hal pokok yang harus
diperhatikan adalah masalah pembuatan kontrak. Kontrak bisa dikatakan sebagai cikal
bakal terjadinya transaksi antara pihak-pihak terkait. Jika kontrak tidak ada, dapat
digantikan oleh SPK (Surat Perintah Kerja), atau PO (Purchase Order). Oleh karena itu
kesepakatan yang dibuat di dalam kontrak harus mencakup kesepakatan yang
memengaruhi hak dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak.
Jika dalam kontrak jelas disebutkan nilai jasa dan nilai materialnya, maka PPh Pasal 23/26
hanya akan dikenakan atas jasa yangdiberikan saja, kecuali untuk jasa konstruksi dan jasa
katering (termasuk nilai materialnya). Sebaliknya, jika di dalam kontrak tidak ada pemisahan
antara nilai jasa dan nilai material, maka PPh Pasal 23 dikenakan atas keseluruhan nilai
kontrak.
Di samping itu juga harus terdapat lekejelasan atas hak dan kewajiban masing-masing
pihak agar dalam implementasinya tidak menimbulkan masalah perbedaan penafsiran.
Makin jelas dan detail pengaturan klausul perpajakannya, akan makin baik karena akan
mendukung implementasi kewajiban perpajakannya. Jadi kata kuncinya adalah Ingat
withholding tax, ingat kontrak

2. Konflik dalam withholding tax


Jika perusahaan memiliki transaksi yang menimbulkan kewajiban untuk memungut
withholding tax, maka penting bagi perusahaan untuk melaksanakan kewajibannya ini
sebaik-baiknya. Konflik dalam withholding tax akan terjadi jika penerima penghasilan tidak
bersedia dipotong pajaknya atau adanya perbedaan penafsiran mengenai jenis pajak dan
besarnya tarif pajak yang akan dipotong. Celakanya konflik ini juga sering terjadi antara
bagian keuangan atau pajak dengan bagian lain dalam suatu perusahaan.
Oleh karena kewajiban pemotongan, penyetoran, dan pelaporan ada pada pemberi
penghasilan maka konflik dapat diatasi dengan cara negosiasi ulang dengan pihak pemberi
jasa. Jika pemberi jasa tetap tidak bersedia dipotong pajaknya, maka perusahaan dapat
melakukan salah satu dari dua cara berikut ini, membayarkan sendiri pajak yang terutang
(PPh ditanggung) atau melakukan gross up atas nilai kontrak (diberikan tunjangan PPh).
Jika perusahaan membayarkan sendiri pajak yang terutang, maka pajak tersebut tidak
boleh dikurangkan. Sementara itu jika perusahaan melakukan gross up maka pajak yang
terutang boleh dibiayakan, kecuali dividen, dan PPh final. Gross up sebaiknya dimulai dari
kontrak perjanjian, invoice, FP, dan dokumen lain yang terkait agar terdapat kesesuaian
antara penerima dan pemberi jasa.
3. Rekonsiliasi Objek Withholding Tax dengan Laporan Keuangan
Kewajban wajib pajak dalam kedudukan sebagai pemotong atau pemungut (withholder)
perlu mendapat perhatian serius dari perusahaan. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengendalian perpajakan (tax control) untuk memastikan bahwa seluruh objek withholding
tax sudah dilakukan pemotongan atau pemungutannya.
Caranya adalah melalui rekonsiliasi atau ekualisasi antara SPT Masa dengan objek PPh
yang terdapat dalam laporan keuangan komersial.
Dalam hal ini terdapat akun-akun yang sepenuhnya merupakan objek withholding tax dapat
langsung diperbandingkan. Akan tetapi atas akun-akun yang didalamnya hanya terdapat
sebagian saja yang merupakan objek withholding tax, maka pelu dilakukan pemisahan
antara yang objek dan yang bukan objek withholding tax. Bila diperlukan dapat dibuat buku
pembantu untuk mencatat rincian objek withholding tax dikaitkan dengan buku besarnya,
mulai dari nama akun, tanggal transaksi, nomor journal voucher, jenis transaksi, jumlah
objek, masa pelaporan, dan nomor serta tanggal bukti pemotongan PPh yang dibuat.
4. Klausul Kontrak dengan WPLN
Di samping harus mengatur klausul perpajakan secara jelas dan rinci, khusus kontrak
dengan Wajib Pajak Luar Negeri harus memperhatikan beberapa hal, antara lain :
Negara asal WPLN tersebut, sehingga perusahaan mengetahui apakah perlu melihat
pada ketentuan tax treaty atau tidak.
Jika kontrak dilakukan dengan WPLN di negara treaty partner, perlu diperhatikan agar
WPLN memberikan CRT (Certificate of Residence Taxpayer) kepada perusahaan
sebelum dilakukan pembayaran atau penagihan. Dalam hal ini diakomodasi di dalam
kontrak dengan WPLN tersebut.

Tax Planning Pajak Penghasilan Pasal 25 Orang Pribadi


Sesuai Per-Menkeu No.225/PMK.03/2008, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25
untuk wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (wajib pajak orang pribadi pengusaha
tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa
tempat-Ref.Per-Dirjen Pajak No.35/PJ/2009), ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh
lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha
tersebut.
Sedangkan untuk wajib pajak masuk bursa dan wajib pajak lainnya yang berdasarkan
ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah sebesar Pajak penghasilan
yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan
keuangan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pasal 24 yang dibayar atau
terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).
Hanya karena kealpaan tax planner yang tidak menghitung atau merencanakan angsuran PPh
Pasal 25 dengan benar, khususnya untuk wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu yang
mestinya didasarkan pada laporan keuangan berkala, akan bisa berimplikasi pada timbulnya
lebih bayar pajak SPT Tahunan PPh Badan yang ujung-ujungnya akan mengakibatkan
perusahaan menghadapi pemeriksaan pajak oleh fiskus. Dampaknya tax planning harus
disesuaikan kembali karena terganggu oleh pemeriksaan pajak (bila efeknya signifikan
terhadap jumlah pajak yang harus dibayar perusahaan).

Pengajuan SKB PPh Pasal 22


Sesuai dengan keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat mengajukan
permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain
kepada Direktur Jenderal Pajak karena :
a. Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang Pajak
Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal.
b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang kerugian tersebut
jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan.
c. Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan
terutang.
Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat ditujukan permohonan Surat
Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi criteria,seperti yang dimaksud
dalam keputusan Dirjen Pajak di atas, dan tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan
momentum kapan permohonan SKB PPh Pasal 22 tersebut diajukan agar tidak terjadi lebih
bayar pajakpenghasilan.
Ketentuan Pasal 22 UU No. 36 Tahun 2008, menyatakan bahwa menteri keuangan dapat
menetapkan bendahara pemerintah untuk memungut pajak, sehubungan dengan pembayaran
atas penyerahan barang, badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari wajib pajak yang
melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain ,dari wajib pajak badan
tertentu utuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat
mewah.
Ketentuan mengenai dasar pemungutan, criteria,sifat, dan besarnya pungutan pajak, diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan. Ketentuan Menteri Keuangan mengenai pengenaan PPh
Pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK
No. 08/PMK.03/2008.
Secara garis besar PPh Pasal 22 Impor (API)
1. PPh Pasal 22 Impor
a. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API)
- Atas impor kedelai,gandum, dan tepung terigu oleh importer, dikenai tariff sebesar
0,5 % dari nilai impor.
- Selain impor gandum dan tepung terigu oleh importer yang memiliki API tetap dienai
2,5 % dari nilai impor.
b. Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5 % dari nilai impor.
c. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% dari harga jual lelang.
Catatan :
- Nilai impor : Harga Patokan Impor (Nilai CIF) ditambah bea masuk ditambah bea masuk
tambahan (jika ada ).
- Kurs yang digunakan untuk menghitung nilai impor adalah kurs berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan.

PPh Pasal 22 impor tersebut di atas dipungut oleh Ditjen Bea dan Cukai atau bank devisa pada
saat pembayaran bea masuk. PPh Pasal 22 impor merupakan kredit pajak yang dapat
dikurangkan dari PPh terutang di akhir tahun pajak.

Impor barang untuk kegiatan yang dikenakan PPh Final


- Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas imbalannya semata-
mata dikenakan PPh Final, tidak dikenai PPh Pasal 22 impor.
- Wp dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang yang bersangkutan.
- Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidak digunakan untuk kegiatan yang
tidak dikenakan PPh Final, maka PPh Pasal 22 yang terutang akan ditagih beserta dengan
sanksi bunganya.
2. PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD
Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang dibebankan ke APBN/D,
besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah sebesar 1,5% dari harga beli yang
dipungut pada saat pembayaran. Pemungutan dilakukan oleh Ditjen Anggaran, Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), atau BUMN/D yang dananya berasal dari
APBN/D.
PPh Pasal 22 tersebut merupakan kredit pajak bagi wajib pajak penjual dan harus disetor
oleh pemungut dengan menggunakan SSP atas nama Wajib Pajak yang dipungut (penjual).

3. PPh Pasal 22 atas Kegiatan Usaha Lain


4. PPh Pasal 22 atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.

Pajak Penghasilan Pasal 23


Tidak jarang terjadi dispute dalam bisnis tentang kewajiban memungut PPh Pasal 23, dima
perusahaan pemilik proyek atau penerima jasa mengharuskan adanya pemungutan atau
pemotongan PPh Pasal 23 dari pihak ketiga, sedangkan pihak pemberi jasa (kontraktor) tidak
bersedia dipotong pajaknya karena tidak ada pasal pemotongannya dalam kontrak perjanjian.
Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 23, dan transaksi ini ditemukan
oleh fiskus pada saat dilakukan pemeriksaan pajak, maka perusahaan pemilik proyek akan
dikenai kewajiban untuk membayar PPh Pasal 23 (withholding tax) yang terutang ditambah
denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.
Solusinya :
1. Nilai transaksi harus di gross up, misalnya sewa bangunan Rp. 72 juta, di gross up menjadi
100/90XRp 72.juta = Rp 80 juta. Bila jumlah transaksi dalam kontrak sudah termasuk pajak
yang harus dipungut, maka atas jumlah pajak yang dibayarkan ( Rp 80 juta-Rp 72 juta = Rp
8 juta) boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh final dan dividen.
2. Namun bila Perusahaan pemilik proyek membayarkan sendiri PPh Pasal 23 yang terutang
(PPh ditanggung) tanpa di gross up ( jadi 10% X Rp 72 juta = Rp 7,2 juta, maka pajak yang
dibayarkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Tapi apakah hal itu akan diakui fiskus? Jelas tidak, karena cara ini baru dilakukan secara
sepihak oleh perusahaan pemilik gedung. Agar biaya sewa bangunan tersebut bisa dibiayakan,
termasuk pajaknya (deductible), maka kontrak perjanjian tersebut harus diubah dulu, termasuk
mengubah invoice, faktur pajak, dan dokumen lain yang mengakomodir pemotongan pajak PPh
Pasal 23 atas tarnsaksi pembayaran sewa bangunan tersebut, agar terdapat kesesuaian antara
penerima dan pemberi jasa. Jadi kontrak perjanjian harus direvisi dengan mencantumkan nilai
sewa bangunan setelah di gross up sebesar Rp 80 juta, dan setelah itu pemilik gedung
memotong PPh Pasal 4 (2) final 10%X Rp 80 juta = Rp 8 juta , dan menyetorkannya ke kas
negara.
Pengajuan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23
Untuk beberapa jenis withholding tax seperti PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 dapat diajukan
Permohonan Surat keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi criteria dibawah
ini. Permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau Pemungutan Pajak Penghasilan tidak
berlaku terhadap pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan diberikan Dirjen Pajak
melalui Surat Keterangan Bebas. (PER Dirjen Pajak No.1/PJ./2011)
Beberapa criteria yang harus dipenuhi oleh wajib pajak adalah :
1. Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak
Penghasilan karena:
a. Wajib pajak yang mengalami kerugian fiskal berhak melakukan kompensasi kerugian
fiskal.
b. Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar lebih besar dari pajak penghasilan yang
akan terutang, dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau
pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
2. Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final.
3. Surat Keterangan Bebas diberikan kepada :
a. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan tentang
Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal dalam hal :
1) Wajib pajak baru berdiri dan masih dalam tahap investasi
2) Wajib pajak belum sampai pada tahap produksi komersial
3) Wajib pajak mengalami peristiwa yang berada di luar kemampuannya (force majeur).
b. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang
Pajak Penghasilan karena berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal dengan
memperhitungkan besarnya kerugian tahun-tahun pajak sebelumnya yang masih dapat
dikompensasikan yang tercantum dalam SPT Pajak Penghasilan atau surat ketetapan
pajak.
c. Wajib pajak yang dapat membuktikan Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar
lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang.
d. Wajib pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final.

Permohonan pembebasan pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan diajukan


secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar dengan
syarat :
a. Telah menyampaikan SPT Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir sebelum tahun
diajukannya permohonan kecuali untukk wajib pajak yang baru berdiri dan masih dalam
tahap investasi.
b. Permohonan diajukan untuk setiap pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 21, Paal 22, Pasal 22 impor, dan atau Pasal 23 dengan menggunakan formulir yang
telah disediakan.
c. Permohonan harus dilampiri penghitungan Pajak Penghasilan yang diperkirakan akan
terutang untuk tahun pajak diajukannya permohonan untuk Wajib Pajak.

Mengangsur atau Menunda Pembayaran Pajak


Wajib pajak diberi hak mengajukan permohonan mengangsur atau menunda pembayaran pajak
untuk semua jenis ketetapan pajak, baik berupa SKP maupun SPT Pasal 19 ayat (1) KUP NO.
28 tahun 2007 mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga, dalam hal apa wajib
pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Alternatif mana yang lebih
menguntungkan wajib pajak, langsung melunasi, mangangsur, atau menunda pembayaran
pajak.itu tegantung pada wajib pajak.

Rekonsiliasi /Ekualisasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 23


Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 23 berkaitan dengan prosedur
pengecekan yang dilakukan oleh KPP terhadap jumlah biaya sewa, bunga, dividen, royalty, dan
jasa lainnya yang harus dipotong PPh Pasal 23 pada SPT PPh Badan dengan jumlah Dasar
Pengenaan Pajak SPT PPh Pasal 23, apakah jumlahnya telah sama. Jika terdapat material
yang bukan objek PPh Pasal 23, perlu dilakukan pemisahan antara nilai jasa dan materialnya.
Daftar Pustaka :
1. Erly Suandi, 2011, Perencanaan Pajak, Penerbit Salemba Empat (ES)
2. Drs.Chairil Anwar Pohan, MSi, MBA, 2013, Manajemen Perpajakan, Strategi Perencanaan
Pajak dan Bisnis, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
3. Primandita F, dkk, 2009, Kompilasi UU pajak, Penerbit Salemba Empat (PF)
4. Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Kep. Ditjen Pajak dan peraturan
perpajakan lainnya

You might also like