You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang

Syok kardiogenik merupakan manifestasi klinis paling berat dari kegagalan ventrikel
kiri dan berhubungan dengan kerusakan ekstensif pada miokardium ventrikel kiri.1 Syok
kardiogenik terjadi sekitar 5-8% pada pasien dengan infark miokard ST elevasi (IMASTE).2
Angka kematian pada syok kardiogenik berkisar 40-50%, tetapi pengobatan yang agresif
dapat memberikan pemulihan total terhadap penderita.3

Secara umum, penatalaksanaan pada syok tidak berubah sepanjang dekade terakhir.
Pengobatan berfokus pada menjaga volume darah, memaksimalkan aliran oksigen ke organ
vital, dan identifikasi serta mengobati penyebab dasar. Syok kardiogenik tergolong unik
diantara tipe syok lainnya karena terkadang membutuhkan dukungan sirkulasi mekanik yang
menghadapkan klinisi terhadap banyak pilihan terapeutik baru. Penggunaan intra-aortic
balloon counterpulsation (IABP), left ventricular assist devices (LVADs) percutaneous
maupun yang dipasang melalui operasi menambah pilihan terapi terhadap penderita syok
kardiogenik berat. Meskipun demikian, angka kematian di rumah sakit akibat syok
kardiogenik tetap tinggi yaitu di atas 40%.4

Setelah beberapa dekade terjadi stasis pada angka kejadian syok kardiogenik,
penurunan insidensi mulai muncul seiring peningkatan penggunaan primary percutaneous
coronary intervention (PCI) untuk infark miokard akut (IMA). Syok kardiogenik akibat
infark miokard akut terjadi sekitar 5-8% pada infark miokard akut ST elevasi (IMASTE) dan
2.5% pada infark miokard akut non ST elevasi (IMANSTE) dengan angka kejadian sekitar
40.000-50.000 kasus per tahun di Amerika Serikat dan 60.000-70.000 di Eropa.2,5 Meskipun
angka kematian akibat syok kardiogenik telah menurun setelah penggunaan revaskularisasi
dini pada infark miokard akut, syok kardiogenik tetap merupakan penyebab kematian sekitar
40-50% pada infark miokard akut.

1
I.2 Tujuan

Tujuan penulisan ini adalah untuk membahas lebih lanjut pengertian, penyebab,
patofisiologi, manifestasi klinis, dan penatalaksanaan dari suatu syok kardiogenik sehingga
dapat memberikan pengetahuan terhadap para klinisi dalam memberikan penanganan yang
terbaik dalam menghadapi kasus-kasus syok kardiogenik yang mungkin dijumpai.

2
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Definisi

Syok kardiogenik adalah fase gagal jantung yang ditunjukkan dengan penurunan
perfusi jaringan akibat kegagalan pompa jantung. Secara klinis, syok kardiogenik
menunjukkan tanda kongesti (dispnoe, ortopnoe, penigkatan tekanan vena jugularis, edema,
ascites) dan perfusi yang buruk (hipotensi, tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, akral
dingin, gangguan kesadaran, oliguria), secara klinis sering disebutkan dengan istilah wet and
cold.

Secara hemodinamik, syok kardiogenik didefinisikan sebagai:

a. Hipotensi persisten
- Tekanan darah sistolik <80-90 mmHg selama 30 menit atau
- Penurunan mean arterial pressure (MAP) 30 mmHg dari nilai dasar
b. Penurunan cardiac index
- <1.81 /min/m2 tanpa bantuan obat-obatan vasoaktif atau alat sirkulasi mekanik atau
- <2.0-2.2 /min/m2 dengan bantuan obat-obatan vasoaktif atau alat sirkulasi mekanik
c. Tekanan pengisian ventrikel kiri yang normal atau meningkat
- Left ventricular end-diastolic pressure (LVEDP) >18 mmHg atau
- Right ventricular end-diastolic pressure (RVEDP) >10-15 mmHg1,6

II.2 Etiologi

Infark miokard akut dengan disfungsi ventrikel kiri merupakan penyebab tersering syok
kardiogenik yang terjadi sekitar 80% dari seluruh kasus, namun penyebab gangguan ventrikel
kiri dan kanan secara akut yang lain dapat mengakibatkan syok kardiogenik. Usia tua, infark
miokard anterior, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit koroner yang multipel, riwayat infark
sebelumnya, tekanan darah sistolik < 120 mmHg, denyut jantung > 90 x/mnt, manifestasi
gagal jantung saat masuk, IMASTE, dan LBBB merupakan prediktor kejadian syok
kardiogenik yang diakibatkan infark miokard.3 Komplikasi mekanik seperti ruptur septum

3
ventrikel (4%), ruptur dinding lateral ventrikel (2%), dan mitral regurgitasi akut (7%) juga
penyebab syok kardiogenik akibat IMA. Syok kardiogenik akibat non-IMA dapat terjadi
akibat penyakit jantung katup dekompensata, miokarditis akut, aritmia, dll dengan pilihan
pengobatan yang berbeda-beda.7

Registri studi SHOCK (Should we emergently revascularize Occluded Coronaries for


cardiogenic ShocK) memberikan gambaran terbaik mengenai penyebab yang bervariasi dari
syok kardiogenik pada IMA dan hasil akhir dari pengobatan yang diberikan. Gambar 1
menunjukkan etiologi syok kardiogenik pada studi ini.

Gambar 1. Etiologi syok kardiogenik pada studi SHOCK8

Pasien yang mengalami gagal jantung kiri akibat IMA sering disebabkan oleh infark
miokard anterior. Infark miokard inferior jarang menyebabkan gagal jantung kiri, tetapi
sering dihubungkan dengan risiko komplikasi mekanik. Penyebab lain syok kardiogenik
selain IMA ditunjukkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Etiologi syok kardiogenik non-infark7

Mekanisme Penyebab
Gangguan pompa jantung Kardiomiopati berat
primer Miokarditis akut
Taku-tsubo
Obstruksi outflow Stenosis aorta
Stenosis mitral
LV outflow tract obstruction (seperti kardiomiopati hipertrofi)
Regurgitasi katup akut Endokarditis
Trauma
Penyakit degeneratif
Bradiaritmia Disfungsi nodus SA atau blok pada jalur konduksi dengan
escape rhythm yang tidak adekuat

4
Takiaritmia Supraventricular Tachycardia (seperti fibrilasi atrium, atrial
flutter, paroxysmal supraventricular tachycardia)
Takikardi ventrikel
Diseksi aorta Efusi perikard hemoragik yang mengakibatkan tamponade
Regurgitasi aorta akut
Penyakit perikardium Konstriksi
Tamponade
Toksisitas Obat Calcium channel blocker
blocker

Pasien mungkin mengalami syok kardiogenik pada awal presentasi, namun syok lebih
sering timbul setelah beberapa jam. Berdasarkan SHOCK trial diperoleh 75% pasien
berkembang menjadi syok kardiogenik dalam 24 jam setelah presentasi awal. Dengan
waktu penundaan rata-rata 7 jam dari onset infark. Hasil dari GUSTO trial juga serupa
yaitu diantara pasien dengan syok, 11% mengalami syok pada presentasi awal dan 89%
mengalami syok setelah tiba dan dirawat.9
Pasien yang mengalami syok kardiogenik umumnya memiliki riwayat infark
sebelumnya, penyakit vaskular perifer, dan penyakit serebrovaskular. Penurunan ejection
fractions dan infark yang luas (dengan bukti level kardiak enzim yang lebih tinggi) juga
merupakan prediktor terjadinya syok kardiogenik. Syok kardiogenik sering dihubungkan
dengan infark miokard anterior. Pada SHOCK trial dilaporkan, 55% infark terjadi di
anterior, 46% di inferior, 21% di posterior, dan 50% di lokasi yang multipel. Bukti
angiografi sering menunjukkan keterlibatan multivessel coronary disease (oklusi left main
pada 29% pasien, three-vessel disease pada 58% pasien, two-vessel disease pada 20%
pasien, dan one-vessel disease pada 22% pasien).9

II.3 Patofisiologi

Syok kardiogenik terjadi akibat gangguan seluruh sistem sirkulasi baik secara temporer
maupun permanen. Kegagalan ventrikel kiri memompa darah merupakan penyebab primer
terjadinya syok kardiogenik, dimana penyebab lain terjadi akibat kompensasi yang tidak
adekuat atau adanya defek tambahan.

a. Ventrikel Kiri
Tingkat disfungsi miokardium yang menginisiasi terjadinya syok kardiogenik sering
sangat berat. Disfungsi ventrikel kiri pada syok menunjukkan adanya kerusakan yang
menetap, iskemik reversibel, dan kerusakan akibat infark sebelumnya. Posisi jantung sebagai

5
organ menjadi sangat unik karena mendapat keuntungan dari tekanan darah rendah akibat
penurunan afterload, tetapi juga menderita karena penurunan aliran darah koroner yang
menyebabkan gangguan hemodinamik terjadi secara bersamaan. Gambar 2 menunjukkan
penurunan cardiac output yang mengakibatkan penurunan perfusi ke jantung dan organ lain.

Gambar 2. Konsep patofisiologi syok kardiogenik2,10

Penurunan perfusi ke koroner mengakibatkan penurunan cardiac output, sehingga


menurunkan perfusi ke jantung dan organ-organ vital lainnya. Hipoperfusi ini menyebabkan
pelepasan katekolamin yang selanjutnya meningkatkan kontraktilitas dan aliran darah perifer,
tetapi katekolamin ini juga menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen miokardium dan
mempunyai efek proaritmia dan miokardiotoksisitas.
Obat inotropik dan vasokonstriktor meningkatkan CO dan perfusi perifer secara
temporer, namun tidak menghentikan proses kerusakan akibat syok tersebut. Penggunaan
intra-aortic balloon pump (IABP) secara dini dapat membantu mengatasi iskemia dan
menyokong sirkulasi secara temporer. Namun, mengatasi sumbatan koroner baik dengan
intervensi koroner perkutan (IKP) maupun pembedahan yang dapat menghalau proses ini dan
menyelamatkan jiwa penderita.
Pada pasien syok, fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) merupakan faktor prognostik.
Setengah dari pasien dengan syok kardiogenik mempunyai ukuran ventrikel kiri yang kecil
ataupun normal, yang menunjukkan kegagalan mekanisme adaptasi akibat dilatasi akut untuk

6
mempertahankan stroke volume pada fase awal infark miokard. Dilatasi ventrikel kiri yang
progresif (remodelling) pada fase kronik dapat bersifat maladaptasi. Ekokardiografi serial
menunjukkan peningkatan sedikit dari volume end diastolic left ventricle pada 2 minggu
pasca syok kardiogenik. Fungsi kontraktilitas dapat dinilai dengan ekokardiografi ataupun
angiografi ventrikel kiri.

b. Ventrikel kanan
Disfungsi ventrikel kanan dapat menyebabkan syok kardiogenik. Syok akibat ventrikel
kanan berkisar 5% dari kasus syok kardiogenik akibat infark miokard. Gagal jantung kanan
dapat membatasi pengisian ventrikel kiri melalui penurunan CO dan ataupun ventricular
interdependence. Penatalaksanaan pasien dengan disfungsi ventrikel kanan dan syok berfokus
pada tekanan pengisian ventrikel kanan yang adekuat untuk mempertahankan CO dan preload
ventrikel kiri, namun pasien dengan syok kardiogenik akibat disfungsi ventrikel kanan
mempunyai tekanan end diastolic ventrikel kanan yang sangat tinggi, biasanya > 20 mmHg.
Peningkatan tekanan end diastolic ventrikel kanan ini dapat mengakibatkan pergeseran
septum intraventrikular ke arah ventrikel kiri, yang akan meningkatkan tekanan atrium kiri
dan mengganggu pengisian ventrikel kiri karena efek mekanis dari pergeseran septum
tersebut. Perubahan ini selanjutnya dapat mengganggu fungsi sistolik dari ventrikel kiri. Oleh
karena itu resusitasi cairan yang agresif pada syok akibat disfungsi ventrikel kanan bisa
berakibat buruk. Terapi inotropik diindikasikan pada gagal jantung kanan jika syok
kardiogenik menetap walaupun tekanan end diastolik ventrikel kanan sudah optimal. Tekanan
end diastolic ventrikel kanan sekitar 10-15 mmHg berhubungan dengan output yang lebih
tinggi dibandingkan tekanan end diastolic yang lebih rendah atau lebih tinggi.

c. Pembuluh darah perifer, neurohormon, dan Inflamasi.


Hipoperfusi pada ekstremitas dan organ-organ vital merupakan tanda khas dari syok
kardiogenik. Penurunan CO akibat infark miokard merangsang pelepasan katekolamin yang
menyebabkan vasokonstriksi arteriol perifer untuk mempertahankan perfusi pada organ vital.
Kadar Vasopressin dan Angiotensin II meningkat pada keadaan infark miokard dan syok,
yang memperbaiki perfusi perifer dan koroner, tetapi meningkatkan afterload sehingga
mengganggu fungsi miokardium. Aktivasi dari kaskade neurohormonal ini merangsang
retensi air dan garam, yang dapat memperbaiki perfusi namun mengakibatkan edema paru.
Sementara mekanisme refleks meningkatkan resistensi sistemik perifer (SVR) tidak terlalu
efektif.

7
Infark miokard dapat menyebabkan systemic inflammatory response syndrome (SIRS)
dan menyebabkan vasodilatasi yang tidak adekuat sehingga mengganggu perfusi ke saluran
intestinal, dan dapat menyebabkan transmigrasi bakteri dan sepsis. SIRS lebih sering terjadi
pada syok yang berlangsung lama. Kadar sitokin akan meningkat secara dramatis dalam 24-
72 jam pasca infark miokard. TNF- dan IL-6 memiliki efek myocardial depressant. TNF-
juga menginduksi disfungsi endotel koroner yang dapat mengurangi aliran koroner.

d. Syok kardiogenik akibat iatrogenik


Sekitar tiga perempat pasien dengan syok kardiogenik akibat infark miokard akut
mengalami syok setelah masuk ke rumah sakit. Beberapa obat yang dapat menyebabkan syok
pada pengobatan IMA adalah blocker, ACEI, dan morfin, meskipun risiko untuk kejadian
syok kardiogenik kecil. Diuretik dapat menyebabkan syok pada infark miokard akut seperti
yang terlihat pada gambar 3. IMA dapat menyebabkan edema pulmonal meskipun tanpa
penurunan CO, karena efek paling awal dari iskemia adalah penurunan compliance ventrikel
kiri. Redistribusi volume intravaskular ke paru menurunkan volume plasma. Ketika diuretik
dosis tinggi diberikan, volume plasma akan semakin menurun. Pemberian volume cairan
yang berlebihan pada infark ventrikel kanan juga dapat menyebabkan syok.2

Gambar 3. Syok Iatrogenik

8
II.4 Diagnosis

Evaluasi inisial terhadap pasien dengan kecurigaan syok meliputi inspeksi tanda
hipoperfusi jaringan dan penilaian status volume. Pemeriksaan fisik sering sulit membedakan
syok kardiogenik dengan tipe syok yang lain (Tabel 2).

Tabel 2. Pemeriksaan fisik pada berbagai tipe syok

Perubahan status mental dan oliguria tidak spesifik terhadap syok kardiogenik. Adanya
tanda akral dingin sebagai tanda vasokonstriksi perifer bisa membantu membedakan syok
kardiogenik dengan syok akibat vasodilatasi. Auskultasi jantung bisa menunjukkan suara
jantung tiga atau empat, atau murmur yang mengarahkan kepada penyakit jantung katup atau
komplikasi mekanik dari infark miokard akut. Tanda lain yang juga dapat menunjukkan syok
kardiogenik adalah kongesti paru, edema perifer, dan peningkatan tekanan vena jugularis.
Pada pasien yang sudah didiagnosis dengan gagal jantung dan datang dalam keadaan
dekompensata, penatalaksanaan berfokus pada dua hal yaitu: penilaian perfusi jaringan
(warm or cold) dan status volume (dry or wet).
EKG dapat menunjukkan adanya infark miokard akut atau kronik, infark ventrikel
kanan, posterior, dan tamponade jantung yang ditunjukkan dengan low voltage, depresi
interval PR, dan electrical alternans. Foto toraks harus dilakukan pada semua pasien. Tidak
adanya tanda-tanda kongesti pada foto toraks awal tidak mengeksklusikan diagnosis gagal
jantung dekompensata.
Ekokardiografi dapat digunakan untuk menilai adanya tamponade yang ditunjukkan
dengan kolaps atrium kanan dan ventrikel kanan, serta dilatasi vena cava inferior (IVC).
Penilaian status volume juga dapat menggunakan ekokardiografi dengan mengukur diameter
IVC dan persentase kolaps IVC (caval index). Selain itu, ekokardiografi juga dapat menilai
fungsi ventrikel, evaluasi katup dan kemungkinan komplikasi mekanik akibat infark miokard
akut.7

9
II.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan syok kardiogenik yang akan dibahas dalam makalah ini meliputi
penatalaksaan hemodinamik, farmakologi, dukungan sirkulasi mekanik, dan penalataksaan
penyebab dasar.

a. Penatalaksanaan hemodinamik
Kateterisasi Swan-Ganz (PA) sering digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis syok
kardiogenik, untuk memastikan tekanan pengisian yang adekuat dan pedoman untuk
perubahan dalam penatalaksaannya. Keuntungan dari penggunaan kateter ini adalah untuk
mendapatkan hubungan antara tekanan pengisian dengan cardiac output pada setiap pasien.
Data hemodinamik berupa cardiac power dan stroke work index memiliki nilai prognostik
jangka pendek. Alat ini direkomendasikan pada pasien dengan hipotensi berat akibat infark
miokard, namun beberapa sentra lebih memilih untuk tidak menggunakan alat tersebut karena
adanya ekokardiografi sebagai monitor alternatif. Tekanan arteri pulmonal sistolik dan
tekanan kapiler paru dapat diestimasi secara akurat dengan Doppler dan mitral deceleration
time yang pendek (140 ms) merupakan prediktor terhadap tekanan kapiler paru 20 mmHg
pada syok kardiogenik.2

b. Penalataksanaan Farmakologik
Inotropik dan vasopressor meningkatkan kontraktilitas miokardium dan juga akan
memodifikasi tonus vaskuler melalui aktivasi jalur adrenergik. Efeknya cukup bervariasi
tergantung interaksi dengan reseptor spesifik pada miokardium dan otot polos pembuluh
darah (Gambar 4).

Obat inotropik secara tradisional digunakan untuk meningkatkan Cardiac output


(Stroke volume) dan memperbaiki perfusi organ vital dan perifer pada keadaan curah jantung
yang rendah yang mengancam jiwa. Kombinasi dari obat-obat inotropik dan vasopressor juga
dapat digunakan dalam penatalaksanaan syok kardiogenik. Masing-masing obat memiliki
karakteristik tersendiri. Tabel 2 menunjukkan obat-obat inotropik dan vasopresor yang
digunakan pada syok kardiogenik.

10
Gambar 4. Skema mekanisme kerja intraseluler pada agonis dan 11

11
Tabel 2. Inotropik dan vasopresor pada syok kardiogenik.6,12

12
Dobutamine
Dobutamine merupakan agonis 1 adrenergik dengan aktivitas 2 dan yang lemah
sehingga obat ini merupakan inotropik poten dengan aktivitas kronotropik yang lemah. Pada
pasien gagal jantung, dobutamine juga meningkatkan denyut jantung, stroke volume dan CO
dengan menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri dan resistensi sistemik vaskular (SVR).
Efek positif terhadap CO dan tekanan pengisian membuat dobutamine ideal terhadap
pengobatan syok kardiogenik. Akan tetapi, kekurangan dobutamin adalah peningkatan denyut
jantung dan konsumsi oksigen miokardium, yang dapat mencetuskan terjadinya takiaritmia
dan memperburuk iskemik miokard serta meningkatkan mortalitas. Dosis rekomendasi adalah
2-15 g/kgBB/mnt dan tanpa penyesuaian dosis pada gangguan ginjal. Dobutamin sampai
dosis 15 g/kgBB/mnt meningkatkan kontraktilitas jantung tanpa mempengaruhi resistensi
perifer. Vasokonstriksi progresif mendominasi pada dosis tinggi. Dobutamin adalah terapi
utama jika tekanan darah sistolik antara 70-100 mmHg tanpa adanya gejala dan tanda
syok.6,11

Milrinone
Milrinone adalah inhibitor fosfodiesterase-3 yang mencegah degradasi cyclic adenosine
monophosphate (cAMP). Pada miokardium, peningkatan cAMP mengaktifkan protein kinase
A yang meningkatkan influks kalsium ke kardiomiosit dan merangsang kontraktilitas. Pada
otot polos, cAMP menyebabkan dilatasi arteri dan vena. Pada pasien gagal jantung,
Milrinone meningkatkan denyut jantung, stroke volume, dan CO. Obat ini juga menurunkan
mean arterial pressure (MAP), SVR, dan tekanan pengisian ventrikel kiri. Milrinone dapat
meningkatkan konsumsi oksigen miokardium tetapi tidak sebanyak dobutamine. Inotropik ini
direkomendasikan hanya pada syok kardiogenik refrakter dengan dosis 0.375-0.75
g/kgBB/mnt dan harus disesuaikan pada gangguan ginjal. Dosis loading adalah 50 g/kgBB
untuk mempercepat onset kerja obat tersebut.

Calcium sensitizers
Levosimendan adalah calcium-sensitizing agent yang mengikat troponin C jantung
sehingga menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah dengan membuka kanal
adenosine triphosphate-sensitive potassium. Studi pada 1327 pasien dengan gagal jantung
dekompensata yang membandingkan penggunaan levosimendan dengan dobutamin
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna terhadap mortalitas, namun pada studi dengan

13
placebo, levosimendan menunjukkan perbaikan gejala klinis, serum BNP yang lebih rendah,
dan lama rawatan yang lebih pendek. Penggunaan levosimendan pada syok kardiogenik tidak
jelas. Dosis yang direkomendasikan adalah 0.05-0.2 g/kgBB/mnt, tetapi tidak dianjurkan
penggunaannya jika tekanan dasah sistolik < 90mmHg.

Epinefrin
Epinefrin adalah agonis reseptor dan yang kuat dengan meningkatkan tekanan darah
sistemik melalui efek inotropik dan kronotropik serta vasokontriksi pada kapiler ginjal dan
kulit. Epinefrin meningkatkan stroke volume dan CO serta menurunkan SVR dengan
merangsang reseptor 2 pada otot polos skeletal. Obat ini juga meningkatkan resistensi
vaskular paru dan afterload ventrikel kanan. Karena epinefrin meningkatkan konsumsi
oksigen miokardium, penggunaannya sangat jarang diberikan pada kasus gagal jantung
dekompensata. Obat ini sering digunakan pasca operasi jantung untuk mengatasi myocardial
stunning dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Dosis awal yang direkomendasikan
adalah 0.01-0.03 g/kgBB/mnt sampai dosis maksimal 0.1-0.3 g/kgBB/mnt.

Norepinefrin
Perbedaan norepinefrin dengan epinefrin hanya pada substitusi methyl pada grup
amino. Obat ini merupakan agonis reseptor yang poten dan juga dapat menstimulasi
reseptor 1. Norepinefrin meningkatkan tekanan darah sistemik, tekanan nadi, resistensi
vaskular sistemik, dan stroke volume. Sebagai respon terhadap pengobatan norepinefrin, CO
tidak berubah atau menurun dengan kompensasi refleks vagal yang menurunkan denyut
jantung.6 Dosis yang direkomendasikan mulai 0.01-0.03 g/kgBB/mnt sampai dosis
maksimal 3 g/kgBB/mnt. Penggunaan norpinefrin yang lama dapat menyebabkan toksik
pada miosit jantung dengan menginduksi apoptosis via aktivasi protein kinase A dan
meningkatkan influx kalsium sitoplasma. Pada tekanan darah di bawah 70 mmHg
norepinefrin direkomendasikan, dan pilihan yang lebih baik dibandingkan epinefrin karena
dapat meningkatkan asidosis laktat dan merangsang trombosis pembuluh darah koroner.11

Dopamine
Dopamin adalah katekolamin endogen dengan efek kardiovaskular berdasarkan
dosisnya. Pada dosis rendah ( 2 g/kgBB/mnt), obat ini menyebabkan vasodilatasi dengan
merangsang reseptor dopaminergik pada otot polos dan menstimulasi reseptor D2 yang
dominan di kapiler splanik dan renal.6 Dopamin juga memiliki efek natriuretik melalui

14
kerjanya di tubulus ginjal.11 Pada dosis sedang, (2-5 g/kgBB/mnt), obat ini menstimulasi
reseptor pada jantung dan neuron vaskular simpatis. Pada dosis tinggi (5-15 g/kgBB/mnt),
stimulasi terhadap reseptor muncul dengan konstriksi pada arteri dan vena. Efek dopamin
pada syok kardiogenik meliputi peningkatan denyut jantung, CO, stroke volume, LVEDP,
dengan penurunan SVR. Satu studi menunjukkan penggunaan dosis kecil pada pasien dengan
gagal jantung akut tidak menurunkan insidensi disfungsi renal atau outcome klinis
dibandingkan dengan plasebo.6 Dopamin direkomendasikan pada keadaan dimana tekanan
darah berkisar 70-100 mmHg dengan adanya gejala dan tanda syok.11

Vasopressin
Vasopressin pada dosis tinggi mengaktivasi otot polos vaskular V1 dan reseptor
oksitosin yang menyebabkan vasokonstriksi. Vasopressin banyak digunakan pada syok septik
berdasarkan penelitian sebelumnya. Pada pasien dengan syok kardiogenik refrakter akibat
komplikasi infark miokard, studi retrospektif menunjukkan adanya peningkatan MAP dari
56-73 mmHg tanpa mempengaruhi tekanan kapiler paru, cardiac index, atau urin output.
Vasopressin dapat dijadikan pilihan vasopresor pada syok kardiogenik yang diakibatkan
gagal jantung kanan karena data eksperimental menunjukkan obat ini tidak meningkatkan
resistensi vaskular sistemik. Kombinasi dengan Milrinone dapat menghambat efek
vasodilator sistemik dari milrinone. Dosis yang direkomendasikan adalah 0.01-0.04
units/mnt.6 Vasopressin efektif pada syok vasodilatas yang resisten terhadap norepinefrin dan
dapat meningkatkan MAP, cardiac index, stroke work index, dan menurunkan kebutuhan
terhadap norepinefrin yang dapat menyebabkan kardiotoksik dan mencetuskan aritmia
malignan.11

Diuretik
Optimalisasi tekanan pengisian akan meningkatkan hemodinamik pada syok
kardiogenik. Hipovolemia harus diterapi dengan resusitasi cairan dengan kristaloid, koloid,
dan produk darah. Syok kardiogenik sering dihubungkan dengan hipervolemia, dan diuretik
digunakan untuk menurunkan tekanan pengisian yang meningkat dan mengatasi edema paru
dan perifer. Gagal jantung akut merupakan komplikasi yang sering terjadi pada syok
kardiogenik akibat infark miokard akut ST segmen elevasi dan menyebabkan resistensi
diuretik dan membutuhkan renal replacement therapy.

15
Furosemide adalah diuretik kuat yang memblok transport natrium-kalium-klorida dan
meningkatkan ekskresi natrium dan klorida pada urin. Furosemide juga dapat meningkatkan
kapasitas vena sistemik secara akut dan menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri,
bioavailabilitas furosemide secara oral akan menurun selama kongesti, sehingga penggunaan
intravena yang direkomendasikan pada syok kardiogenik. Respon furosemide akan berkurang
apabila fungsi ginjal terganggu.
Resistensi diuretik sering terjadi pada gagal jantung berat. Pada syok kardiogenik, hal
ini disebabkan CO yang rendah, tekanan perfusi renal yang menurun, dan acute kidney injury.
Penurunan efikasi loop diuretic dapat terjadi akibat dosis multipel yang digunakan.
Kombinasi loop diuretic dan thiazide meningkatkan sinergi dalam menghambat absorbsi
natrium pada tempat yang berbeda di nefron. Karena risiko hipokalemia dan acute kidney
injury dengan terapi kombinasi, dosis rendah thiazide yang direkomendasikan.6

c. Mechanical Circulation Support


Pengobatan efektif terhadap syok kardiogenik dimulai dengan penilaian sedini
mungkin, intervensi farmakologis yang cepat, dan dukungan respirasi yang adekuat.
Intervensi farmakologis dengan inotropik yang dapat menyebabkan iskemik terus menerus
akibat kebutuhan oksigen miokardium yang meningkat. Oleh karena itu, dukungan sirkulasi
mekanik patut dipertimbangkan secara dini jika inotropik sudah diberikan (Gambar 5).

Intra-aortic balloon pump (IABP)


Intra-aortic balloon pump (IABP) adalah alat sirkulasi mekanik yang paling sering
digunakan. Alat ini terdiri dari balloon catheter dan pompa yang mengembangkan balloon
dengan helium. Balloon catheter diletakkan di aorta dengan ujung distal berada di arteri
subklavian kiri. Balloon akan mengembang selama diastol untuk meningkatkan tekanan
diastol. Saat sistole, balloon akan kembali menguncup untuk mengurangi afterload dan
membantu pengosongan ventrikel kiri. Pada syok kardiogenik, efek yang diharapkan adalah
penurunan kebutuhan oksigen miokardium, peningkatan aliran darah koroner, dan
meningkatkan CO. Penggunaan IABP dikontraindikasikan pada regurgitasi aorta berat,
diseksi aorta, dan aneurisma luas.

16
Gambar 5. Diagram untuk menginisiasi dukungan sirkulasi mekanik13

Sebelum tahun 2012 dan 2013, penggunaan IABP pada syok kardiogenik di guidelines
Amerika dan Eropa merekomendasikan kelas I. Namun, berdasarkan metaanalisis,
rekomendasi menurun menjadi kelas IIb B pada Guidelines ESC 2012 dan IIa B pada
Guidelines AHA 2013.14,15 Pada studi IABP-SHOCK II, yang melibatkan 600 pasien dengan
syok kardiogenik akibat infark miokard yang menjalani revaskularisasi dini menunjukkan
tidak dijumpai perbedaan bermakna pada mortalitas dalam 30 hari, maupun secondary
endpoints berupa serum laktat, fungsi ginjal, dosis katekolamin, atau lama rawatan di ruang
intensif pada grup IABP maupun tidak.16

Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO)


Adanya bukti aliran oksigen yang tidak adekuat ke jaringan meskipun sudah
menggunakan IABP, ventilasi invasif, dan inotropik, penggunaan alat sirkulasi mekanik
penuh perlu dipertimbangkan. ECMO dapat menggantikan fungsi jantung dan paru. Darah
yang terdeoksigenasi dikeluarkan dari tubuh, dipompa melalui oksigenator artifisial dan
kembali ke sirkulasi.

17
ECMO memiliki 2 tipe yaitu veno-venous ECMO (VV-ECMO) dan veno-arterial
ECMO (VA-ECMO). VV-ECMO hanya digunakan pada gagal nafas, sedangkan VA-ECMO
digunakan pada syok kardiogenik. Waktu kapan ECMO dapat digunakan masih
kontroversial, karena tidak dijelaskan dalam guidelines. Satu literatur merekomendasikan
penggunaan ECMO jika pasien masih terus dalam keadaan hipoperfusi meskipun telah
mendapat terapi inotropik, dukungan ventilasi adekuat, dan IABP.

Ventricular Assist Devices (VAD)


VAD pertama kali digunakan pada manusia pada tahun 1966. Ada tiga tipe VAD
yang digunakan yaitu: left ventricular assist (LVAD), right ventricular assist (RVAD), atau
biventricular assist (BVAD). LVAD paling sering digunakan pada syok kardiogenik akibat
komplikasi infark miokard. VAD ada yang digunakan secara perkutaneous, dan dipasang
melalui operasi seperti: extracorporeal dan implantable.13
Pada saat sistole, darah diaspirasi dari ventrikel kiri melalui kateter lumen ke membran
pompa. Saat diastole, pompa akan memompa darah kembali ke kateter, membuka katup
kateter dan mengalirkan darah ke aorta ascending melalui bagian outflow dan menghasilkan
denyut jantung ekstra (extra heart beat).5

d. Penatalaksanaan penyebab dasar

Mencari dan menangani penyebab dasar dari syok kardiogenik adalah hal yang sangat
penting dalam tatalaksana syok dan setiap klinisi harus mampu menegakkan penyebab dari
syok kardiogenik untuk mendapatkan outcome yang lebih baik pada pasien.

Infark Miokard Akut


Revaskularisasi dini seperti yang ditunjukkan pada studi SHOCK merupakan strategi
pengobatan yang paling penting pada syok kardiogenik akibat komplikasi IMA.17
Berdasarkan panduan dari ESC tahun 2012, revaskularisasi dini dengan intervensi koroner
perkutan (IKP) atau bedah jantung pintas koroner memiliki rekomendasi kelas 1B.14 IKP pada
lesi kulprit merupakan standar pengobatan, tetapi manajemen optimal pada lesi non-kulprit
masih kontroversial. Panduan ini juga menyebutkan IKP multivessel pada stenosis yang kritis
atau lesi yang tidak stabil sebagai tambahan terhadap IKP pada lesi kulprit memiliki
rekomendasi kelas IIa B.18 Jika tidak dijumpai kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus
diberikan kepada penderita dengan IMA-STE dengan syok kardiogenik yang tidak sesuai
sebagai kandidat untuk mendapatkan terapi PCI atau CABG. (Kelas I, Level B).19

18
A B

Gambar 6. Contoh alat sirkulasi mekanik (A. IABP; B. VAD; C. ECMO)

Komplikasi mekanik dari infark miokard akut sering terjadi pada 24 jam pertama
sampai satu minggu. Mitral regurgitasi akut berat akibat IMASTE paling sering terjadi karena
ruptur muskulus papilaris posterior. Mitral valve replacement sering dibutuhkan dan
berhubungan dengan angka kematian sebesar 20%. Ruptur septum ventrikel sering terjadi
dalam 24 jam pertama pada pasien yang diterapi dengan fibrinolitik. Operasi segera sangat
diperlukan dan angka kematian sangat tinggi terutama pada pasien dengan syok kardiogenik
berkisar 20-87%. Risiko kematian lebih tinggi pada pasien dengan defek inferior basal
dibandingkan defek anterior-apikal. Ruptur dinding lateral sering dipresentasikan dengan
nyeri dada berulang dan perubahan segmen ST dan gelombang T. Perubahan hemodinamik

19
yang progresif, disosiasi elektromekanik, dan kematian sering terjadi. Operasi segera harus
dipertimbangkan pada kasus pseudoaneurisma dengan ruptur dan tamponade.

Tamponade Jantung
Tamponade terjadi akibat akumulasi cairan di rongga perikardium yang menyebabkan
tekanan intraperikardium meningkat sehingga menurunkan tekanan transmural miokardium,
ruang jantung akan semakin kecil, dan peregangan ventrikel saat diastol berkurang
mengakibatkan penurunan CO dan tekanan darah. Perikardiosintesis merupakan penanganan
yang menyelamatkan jiwa pada tamponade jantung (Kelas 1, Level B).

Regurgitasi Aorta
Penyebab tersering regurgitasi aorta akut adalah endokarditis dan diseksi aorta.
Diseksi aorta thorakalis akut termasuk aorta ascending harus dievaluasi dengan operasi
segera karena berisiko tinggi terhadap komplikasi yang mengancam jiwa (Kelas 1, Level B).
Pengobatan untuk regurgitasi aorta akut berat adalah aortic valve repair dan replacement.
Penggunaan IABP dikontraindikasikan pada regurgitasi aorta berat karena inflasi balloon
pada saat diastole akan memperburuk regurgitasi.

Emboli Paru Masif


Emboli paru masif didefinisikan sebagai obstruksi aliran darah ke segmen yang
multipel pada paru dan menyebabkan hemodinamik yang tidak stabil karena kegagalan
mempertahankan tekanan darah tanpa bantuan. Emboli paru masif memiliki ciri-ciri hipotensi
menetap (tekanan darah sistolik < 90 mmHg selama minimal 15 menit) atau hipotensi yang
memerlukan dukungan inotropik (dimana penyebab aritmia, hipovolemia, sepsis, disfungsi
ventrikel kiri, bradikardia berat telah disingkirkan).

Pengobatan antikoagulan dengan LMWH subkutan, UFH intravena atau subkutan,


atau fondaparinux subkutan harus diberikan pada pasien yang telah dikonfirmasi menderita
emboli paru tanpa kontraindikasi (Kelas I, Level A). Terapi dengan trombolitik sebaiknya
dipertimbangkan untuk pengobatan emboli paru masif (Kelas IIa, Level B). Embolektomi
dengan operasi atau melalui kateter merupakan strategi efektif pada emboli paru masif atau
submasif dengan disfungsi ventrikel kanan yang memiliki kontraindikasi untuk trombolitik.
(Kelas IIa, Level C).

20
Guideline di Eropa tahun 2008 sedikit berbeda dengan Amerika, dimana trombolitik
merupakan terapi pertama pada pasien emboli paru dengan syok kardiogenik dan atau
hipotensi persisten di Eropa (Kelas I, Level A). Embolektomi surgikal direkomendasikan
sebagai terapi alternatif pada pasien dengan risiko tinggi emboli paru dimana trombolitik
merupakan kontraindikasi absolut atau tidak berhasil (Kelas I, Level C). Embolektomi
melalui kateter atau fragmentasi memiliki rekomendasi kelas IIb C.

Takutsubo Cardiomyopathy
Kardiomiopati ini sering disebut dengan sindroma stress atau broken heart dengan
karakteristik adanya ballooning pada apeks ventrikel kiri yang reversibel tanpa adanya
penyakit obstruktif koroner. Meskipun mekanismenya masih belum jelas, aktivitas simpatis
yang meningkat merupakan prinsip dalam patogenesisnya. Kardiomiopati ini sering terjadi
pada wanita usia tua atau postmenopause dengan gangguan stress emosional atau penyakit
medis akut. Meskipun syok kardiogenik jarang terjadi pada kardiomiopati jenis ini, namun
dukungan inotropik yang transien masih diperlukan pada keadaan syok.3

Infark Miokard Ventrikel Kanan


Infark miokard ventrikel kanan terjadi sekitar 30% dari kasus infark inferior dan
posterior. Angka mortalitas pada infark inferior dengan infark miokard ventrikel kanan
tergolong tinggi yaitu 25%, dimana angka mortalitas infark inferior hanya 6%. Secara klinis,
infark miokard ventrikel kanan ditandai dengan peningkatan tekanan vena jugular, hipotensi,
dan clear lung dengan dijumpai ST segmen elevasi pada V3R atau V4R pada EKG. Dari
hasil pemeriksaan ekokardiografi, tekanan atrium kanan > 10 mmHg merupakan tanda
sensitif dan spesifik untuk infark tersebut.
Penatalaksanaan infark miokard ventrikel kanan terdiri dari menjaga preload ventrikel
kanan dengan substitusi cairan dan mencegah penggunaan nitrat dan diuretik.20 Cairan
intravena yang diberikan secara berlebihan dapat meningkatkan tekanan atrium kanan > 15
mmHg dan menaikkan preload dependent ventrikel kanan sehingga mengganggu kerja
ventrikel kiri melalui penekanan septum. Dobutamin dapat meningkatkan kerja miokardium
pada kondisi tersebut.11 Sinkronisitas AV juga harus terjaga baik dengan pacu jantung pada
blok AV derajat tinggi maupun kardioversi pada SVT dengan hemodinamik tidak stabil.
Penurunan afterload ventrikel kanan dapat dilakukan dengan penggunaan IABP. Reperfusi
dengan trombolitik, primary PCI, dan bedah jantung pintas koroner juga harus dilakukan
dalam menangani kasus infark miokard ventrikel kanan.20,21

21
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Syok kardiogenik ditandai dengan adanya penurunan curah jantung dan bukti
hipoperfusi jaringan pada keadaan volume intravaskular yang memadai. Kriteria
hemodinamik antara lain adanya hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg sedikitnya 30
menit) dan adanya penurunan cardiac index ( < 2.2 L/menit/m2) dengan peningkatan PCWP (
> 15 mmHg).

Untuk mendapatkan hasil yang baik dibutuhkan penegakan diagnosis yang cepat dan
terapi insiasi yang tepat untuk menjaga tekanan darah dan curah jantung. Kateterisasi jantung
emergensi dan revaskularisasi dengan angioplasti atau CABG merupakan standar terapi pada
syok kardiogenik akibat komplikasi infark miokard akut. Pemberian terapi farmakologis dan
penggunaan alat sirkulasi mekanik diharapkan dapat menyelamatkan jiwa penderita syok
kardiogenik. Pengawasan terhadap hemodinamik juga sangat penting untuk penentuan
strategi pengobatan pada syok kardiogenik.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Antman EM, Morrow DA. St-segment elevation myocardial infarction:


management.In: Bonow Robert O, Mann DL, Zipes DP, Libby Peter,ed. Braunwalds
Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 9th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2012:1044.
2. Reynold HR, Hochman JS. Cardiogenic shock: Current concepts and improving
outcomes. Circulation. 2008;117:686-697.
3. Throhman RG. Current concepts in the management of cardiogenic shock. Research
Reports in Clinical Cardiology. 2014;5:145-154.
4. Klein T, Ramani GV. Assessment and management of cardiogenic shock in the
emergency department. Cardiol Clin. 2012;30:651-664.
5. Thiele H, Ohman EM, Desch S, Eitel I, Waha S. Management of cardiogenic shock.
Eur Heart J. 2015(Review) doi:10.1093/eurheartj/ehv051.
6. Nativi-Nicolau J, Selzman CH, Fang JC, Stehlik J. Pharmacologic therapies for acute
cardiogenic shock. Curr Opin Cardiol. 2014;29:250-257.
7. Klein T, Ramani GV. Assessment and management of cardiogenic shock in the
emergency department. Cardiol Clin. 2012;30:651-664.
8. Hochman JS, Buller CE, Sleeper LA, et al. Cardiogenic shock complicating acute
myocardial infarction-etiologies, management and outcome: a report from the
SHOCK Trial Registry. Should we emergently revascularize Occluded Coronaries for
cardiogenic shocK? J Am Coll Cardiol. 2000;36(3Suppl A):1063-1070).
9. Hollenberg, Steven M; Kavinsky, Clifford J; Parrillo, Joseph E. Cardiogenic Shock :
Review. Ann Intern Med. 1999;131:47-59.
10. Antman EM. St-segment elevation myocardial infarction: pathology,
pathophysiology, and clinical features.In: Bonow Robert O, Mann DL, Zipes DP,
Libby Peter,ed. Braunwalds Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine.
9th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012:1098.
11. Overgaard CB, Dzavik V. Inotropes and vasopressors: review of physiology and
clinical use in cardiovascular disease. Circulation. 2008;118:1047-1056
12. Poole-Wilson PA, Opie LH. Digitalis, acute inotropes, and inotropic dilators. Acute
and Chronic heart failure.In: Opie Lionel H, Gersh Bernard J,ed. Drugs for the
Heart.6th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005: 162.

23
13. Cove ME, MacLaren G. Clinical review: mechanical circulatory support for
cardiogenic shock complicating acute myocardial infarction. Critical Care.
2010;14:235.
14. Steg PG, James SK, Atar D, Badano LP, Lundqvist CB, Borger MA, Di Mario C, et
al. ESC guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation. Eur Heart J. 2012;33:2569-2619.
15. OGara PT, Kushner FG, Aschelm DD, Casey DE, Chung MK, de Lemos JA, et al.
2013 ACCF/AHA Guideline for the management of ST-elevation myocardial
infarction: A report of the American College of Cardiology Foundation/ American
Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation. 2013;127:e362-
e425.
16. Thiele H, Zeymer U, Neumann FJ, Ferenc M, Olbrich HG, Hausleiter J, et al.
Intraaortic balloon support for myocardial infarction with cardiogenic shock. N Eng J
Med. 2012;367:1287-1296.
17. Bouki K, Pavlakis G, Papasteriadis E. Cardiogenic shock complicating acute coronary
syndromes. Hellenic J Cardiol.2003;44:392-399.
18. Windecker S, Kolh P, Alfonso F, Collet JP, Cremer J, Falk V, et al. 2014
ESC/EACTS Guidelines on myocardial revascularization: The Task Force on
Myocardial Revascularization of the European Society of Cardiology (ESC) and the
European Association for Cardio-Thoracic Surgery (EACTS) Developed with the
special contribution of the European Association of Percutaneous Cardiovascular
Interventions (EAPCI). Eur Heart J 2014;35:25412619.
19. OGara P.T; Kushner F.G; Ascheim D.D; Casey Jr D.E; Chung M.K; de Lemos J.A;
et al. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial
Infarction. J Am Coll Cardiol. 2013;61:e78-140.
20. Panja M, Mandal S, Kumar D. Cardiogenic shock management. Medicine updates.
2010;20:301-308.
21. Williams SG, Wright DJ, Tan LB. Management of cardiogenic shock complicating
acute myocardial infarction: towards evidence based medical practice. Heart.
2000;83:621-626.

24

You might also like