You are on page 1of 12

Teori Kognitif Sosial dan Aplikasinya dalam Ilmu Kesehatan Ibu dan Anak

1. Definisi Teori Kognitif Sosial


Teori belajar sosial menekankan, bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada
seseorang secara kebetulan; lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh
orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagian besar manusia belajar
melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari teori
pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan permodelan ini merupakan salah satu
langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.
Teori kognitif sosial (SCT), yang digunakan dalam psikologi, pendidikan, dan
komunikasi, berpendapat bahwa sebagian dari pengetahuan seseorang dapat dikaitkan
langsung dengan pengamatan orang lain dalam konteks interaksi sosial, pengalaman, dan
pengaruh media luar. Teori tersebut menyatakan bahwa ketika orang mengamati model yang
melakukan perilaku dan konsekuensi dari perilaku tersebut, mereka mengingat urutan
kejadian dan menggunakan informasi ini untuk memandu perilaku selanjutnya. Mengamati
model juga dapat mendorong pemirsa untuk terlibat dalam perilaku yang telah mereka
pelajari. Dengan kata lain, orang tidak mempelajari perilaku baru semata-mata dengan
mencoba dan berhasil atau gagal, namun, kelangsungan hidup manusia bergantung pada
replikasi tindakan orang lain. Bergantung pada apakah orang diberi imbalan atau dihukum
karena perilaku dan hasil dari perilaku tersebut, pengamat dapat memilih untuk meniru
perilaku yang dimodelkan. Media menyediakan model untuk beragam orang di berbagai
lingkungan (Bandura, 2001).

2. Sejarah Teori Kognitif Sosial


Albert Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925,di kota kecil Mundare bagian
selatan Alberta, Kanada. Dia sekolah di sekolah dasar dan sekolah menengah yang sederhana,
namun dengan hasil rata-rata yang sangat memuaskan. Setelah selesai SMA, dia bekerja pada
perusahaan penggalian jalan raya Alaska Highway di Yukon. Dia menerima gelar sarjana
muda di bidang psikologi dari University of British of Columbia tahun 1949. Kemudian dia
masuk University of Iowa, tempat di mana dia meraih gelar Ph.D tahun 1952. Baru setelah itu
dia menjadi sangat berpengaruh dalam tradisi behavioris dan teori pembelajaran.
Waktu dia Iowa, dia bertemu dengan Virginia Varns, seorang instruktur sekolah
perawat. Mereka kemudian menikah dan dikaruniai dua orang puteri. Setelah lulus, dia
menerukan pendidikannya ke tingkat post-doktoral di Wichita Guidance Center di Wichita,
Kansas. Tahun 1953, dia mulai mengajar di Standford University. Di sini, dia kemudian
bekerja sama dengan salah seorang anak didiknya, Richard Walters. Buku pertama hasil kerja
sama mereka berjudul Adolescent Aggression terbit tahun 1959.
Akar konseptual untuk teori kognitif sosial berasal dari buku Edwin B. Holt dan Harold
Chapman Brown tahun 1931 yang berteori bahwa semua aksi hewan didasarkan pada
pemenuhan kebutuhan psikologis "perasaan, emosi, dan keinginan". Komponen yang paling
menonjol dari teori ini adalah bahwa ia memperkirakan seseorang tidak dapat belajar meniru
sampai mereka ditiru.
Pada tahun 1941, Neal E. Miller dan John Dollard mempresentasikan buku mereka
dengan revisi teori pembelajaran sosial dan imitasi Holt. Mereka mengemukakan empat
faktor yang berkontribusi terhadap pembelajaran: dorongan, isyarat, tanggapan, dan
penghargaan. Salah satu yang paling penting adalah motivasi sosial, yang meliputi imitasi,
proses pencocokan tindakan dengan isyarat tepat dimana dan kapan harus melakukan
aksinya. Perilaku ditiru tergantung pada apakah model tersebut menerima konsekuensi
respons positif atau negatif. Miller dan Dollard berpendapat bahwa jika seseorang termotivasi
untuk mempelajari perilaku tertentu, maka perilaku tertentu itu akan dipelajari melalui
observasi yang jelas. Dengan meniru tindakan yang diamati ini, pengamat individual akan
memperkuat tindakan belajar tersebut dan akan diberi imbalan positif.
Proposisi pembelajaran sosial diperluas oleh psikolog Kanada Albert Bandura.
Bandura, bersama dengan para siswa dan koleganya melakukan serangkaian penelitian, yang
dikenal dengan eksperimen boneka Bobo, pada tahun 1961 dan 1963 untuk mengetahui
mengapa dan ketika anak-anak menampilkan perilaku agresif. Studi ini menunjukkan nilai
pemodelan untuk memperoleh perilaku baru. Studi ini membantu Bandura menerbitkan
artikel dan buku pada tahun 1977 yang memperluas gagasan tentang bagaimana perilaku
diperoleh, dan dengan demikian dibangun dari penelitian Miller dan Dollard. Dalam artikel
Bandura tahun 1977, dia mengklaim bahwa Teori Belajar Sosial menunjukkan korelasi
langsung antara self-efficacy dan perubahan perilaku seseorang. Self-efficacy berasal dari
empat sumber: "prestasi kinerja, pengalaman perwakilan, persuasi verbal, dan keadaan
fisiologis".
Pada tahun 1986, Bandura menerbitkan buku keduanya, yang memperluas dan
menamai kembali teori aslinya. Dia menyebut teori baru teori kognitif sosial. Bandura
mengubah namanya untuk menekankan peran utama kognisi bermain dalam pengkodean dan
perilaku berperforma. Dalam buku ini, Bandura berpendapat bahwa perilaku manusia
disebabkan oleh pengaruh pribadi, perilaku, dan lingkungan.
Pada tahun 2001, Bandura membawa SCT ke dalam komunikasi massa dalam artikel
jurnalnya yang menyatakan bahwa teori tersebut dapat digunakan untuk menganalisis
bagaimana "komunikasi simbolis mempengaruhi pemikiran, pengaruh dan tindakan
manusia". Teori ini menunjukkan bagaimana perilaku baru menyebar melalui masyarakat
oleh faktor psikososial yang mengatur perolehan dan penerapan perilaku tersebut.
Pada tahun 2011, Bandura menerbitkan sebuah buku bab - Dampak Sosial dan
Kebijakan Teori Kognitif Sosial - untuk memperluas aplikasi SCT dalam promosi kesehatan
dan isu global yang mendesak, yang memberikan wawasan untuk menangani masalah global
melalui lensa sosial makro, yang bertujuan untuk meningkatkan persamaan individu 'hidup di
bawah lingkup SCT. SCT telah diterapkan pada banyak bidang fungsi manusia seperti pilihan
karir dan perilaku organisasi serta dalam memahami motivasi, pembelajaran, dan prestasi
kelas (Lent, 1994).

3. Konsep Teori Kognitif Sosial


Menurut Bandura proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai
model merupakan tindakan belajar. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam
konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh
lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial
jenis ini. Bandura banyak meneliti masalah dunia nyata, seperti masalah fobia, penyembuhan
dari serangan jantung, perolehan kemampuan matematik pada anak-anak. Tujuannya adalah
untuk menyatukan kerangka konseptual yang dapat mencakup berbagai hal yang
mempengaruhi perubahan tingkah laku. Dalam setiap kegiatan, keterampilan dan keyakinan
diri yang menjamin pemakaian kemampuan secara optima diperlukan agar diri dapat
berfungsi sepenuhnya (Bandura, 2001).
Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip prinsip teori belajar perilaku, tetapi
memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat isyarat perubahan perilaku,
dan pada proses proses mental internal. Jadi dalam teori pembelajaran sosial akan
menggunakan penjelasan penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan penjelasan
kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain. Menurut Bandura,
sebagaimana dikutip oleh (Kardi, 1997) bahwa sebagian besar manusia belajar melalui
pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari pembelajaran
sosial adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah
paling penting dalam pembelajaran terpadu. Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan.
Pertama, pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang
lain. Contohnya : seorang pelajar melihat temannya dipuji dan ditegur oleh gurunya karena
perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama
ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang
dialami orang lain.
Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu
tidak mendapatkan penguatan positif atau penguatan negatif saat mengamati itu sedang
memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat
tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas
apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi
kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model (Nur,
M, 1998).
Dasar teoritis dari teori kognitif sosial adalah manusia sebagai agen yang memiliki
kemampuan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dengan istilah langsung dan
simbolis. Teori kognitif sosial diajukan dalam perspektif agen, yang menyarankan bahwa,
alih-alih hanya dibentuk oleh lingkungan atau kekuatan batin, individu mengembangkan
dirinya sendiri, mengatur diri sendiri, mencerminkan dirinya sendiri dan proaktif. Secara
khusus, agen manusia beroperasi dalam tiga mode (Lent, 1994):
a. Agen Perorangan: Pengaruh seseorang terhadap lingkungan;
b. Agen Proxy: Upaya orang untuk mementingkan kepentingan individu;
c. Agen Kolektif: Sekelompok orang bekerja sama untuk mencapai manfaat bersama.
Manusia sebagai agen memiliki empat sifat inti:
a. Intensitas: Keputusan aktif individu untuk terlibat dalam aktivitas tertentu;
b. Pemikiran: Kemampuan individu untuk mengantisipasi hasil tindakan tertentu;
c. Self-reactiveness: Kemampuan individu untuk membangun dan mengatur perilaku
yang sesuai;
d. Refleksi diri: Kemampuan individu untuk mencerminkan dan mengevaluasi kesehatan
kognisi dan perilaku mereka.
Berkembang seiring berjalannya waktu, manusia dilengkapi dengan sistem netral yang
canggih, yang memungkinkan individu memperoleh pengetahuan dan keterampilan dengan
istilah langsung dan simbolis. Empat kemampuan utama dibahas sebagai landasan penting
teori kognitif sosial yakni kemampuan untuk simbolisasi, kemampuan pengaturan diri,
kemampuan refleksi diri, dan kemampuan perwakilan.
a. Kemampuan simbolisasi: Orang tidak hanya terpengaruh oleh pengalaman langsung
tapi juga kejadian tidak langsung. Alih-alih hanya belajar melalui proses coba-coba
yang rumit, manusia dapat secara simbolis melihat kejadian yang disampaikan dalam
pesan, membangun solusi yang mungkin, dan mengevaluasi hasil yang diantisipasi.
b. Kemampuan mengatur diri sendiri: Individu dapat mengatur niat dan perilaku mereka
sendiri. Regulasi sendiri terletak pada sistem umpan balik negatif dan positif, di mana
pengurangan kesenjangan dan produksi ketidaksesuaian dilibatkan. Artinya, individu
secara proaktif memotivasi dan membimbing tindakan mereka dengan menetapkan
tujuan yang menantang dan mereka berusaha untuk memenuhinya. Dengan
melakukannya, individu mendapatkan keterampilan, sumber daya, self-efficacy dan
seterusnya.
c. Kemampuan Refleksi Diri: Manusia dapat mengevaluasi pemikiran dan tindakan
mereka sendiri, yang diidentifikasi sebagai ciri khas manusia lainnya. Dengan
memverifikasi kecukupan dan kesehatan pikiran mereka melalui cara yang enaktif,
beragam, sosial, atau logis, individu dapat menghasilkan gagasan baru, menyesuaikan
pemikiran mereka, dan melakukan tindakan yang sesuai.
d. Kemampuan Kunjungan (Vicarious Capability): Salah satu kemampuan kritis yang
dimiliki manusia adalah mengadopsi keterampilan dan pengetahuan dari informasi yang
disampaikan melalui beragam media. Dengan secara simultan mengamati tindakan
orang lain dan konsekuensinya, individu dapat memperoleh wawasan tentang aktivitas
mereka sendiri. Kemampuan perwakilan sangat bermanfaat bagi perkembangan
kognitif manusia saat ini, di mana sebagian besar informasi yang kami hadapi dalam
kehidupan kami berasal dari media massa daripada proses coba-coba.

4. Komponen Teori (Bandura, 1961)


1. Pemodelan
Teori kognitif sosial berkisar pada proses perolehan pengetahuan atau
pembelajaran yang berkorelasi langsung dengan pengamatan model. Modelnya bisa
berupa tiruan interpersonal atau sumber media. Pemodelan yang efektif mengajarkan
aturan dan strategi umum untuk menghadapi situasi yang berbeda.
Untuk menggambarkan bahwa orang belajar dari menonton orang lain, Albert
Bandura dan rekan-rekannya membuat serangkaian eksperimen menggunakan
boneka Bobo. Pada percobaan pertama, anak-anak terpapar model agresif atau non-
agresif dari jenis kelamin yang sama atau lawan jenis seperti anak itu. Ada juga
kelompok kontrol. Model agresif dimainkan dengan boneka Bobo secara agresif,
sementara model non-agresif dimainkan dengan mainan lainnya. Mereka
menemukan bahwa anak-anak yang terpapar pada model agresif melakukan tindakan
agresif terhadap boneka Bobo sesudahnya, dan bahwa anak laki-laki lebih cenderung
melakukannya daripada anak perempuan (Badura, 1961).
Setelah studi tersebut, Albert Bandura menguji apakah hal yang sama berlaku
untuk model yang dipresentasikan melalui media dengan membuat eksperimen yang
disebutnya Bobo Doll Behavior: A Study of Agrgress. Dalam percobaan ini Bandura
mengekspos sekelompok anak ke sebuah video yang berisi tindakan kekerasan dan
agresif. Setelah video dia kemudian menempatkan anak-anak di sebuah ruangan
dengan boneka Bobo untuk melihat bagaimana mereka berperilaku dengannya.
Melalui percobaan ini, Bandura menemukan bahwa anak-anak yang telah
menyaksikan video kekerasan tersebut memperlakukan boneka tersebut pada
perilaku yang lebih agresif dan penuh kekerasan, sementara anak-anak yang tidak
terpapar video tidak melakukannya. Percobaan ini menampilkan teori kognitif sosial
karena menggambarkan bagaimana orang menghidupkan kembali perilaku yang
mereka lihat di media. Dalam kasus ini, anak-anak dalam percobaan ini
menghidupkan kembali model kekerasan yang mereka pelajari langsung dari video
tersebut (Badura, 1961).
Tahapan dalam pengamatan harus mencakup:
a) Fase Perhatian
Fase pertama dalam pembelajaran pengamatan ialah memberikan perhatian
pada orang yang ditiru. Pada umumnya, seseorang memberikan perhatian pada
panutan yang memikat, berhasil, menarik, dan popular. Sebagai pengamat
orang tidak dapat belajar melalui observasi kecuali kaku ia memperhatikan
kegiatan-kegiatan yang diperagakan oleh model itu sendiri dan benar-benar
memahaminya. Ini tergantung seberapa besar dan menjolok mata perilaku
yang diperagakan itu. Perilaku yang sederhana dan menjolok mata lebih
mudah diperhatikan daripada yang tidak jelas. Juga tergantung pada apakah si
pengamat siap untuk memperhatikan perilaku-perilaku yang diperagakan itu
terutama ketika banyak hal lain yang bersaing untuk mendapatkan perhatian si
pengamat. Proses memberikan perhatian tergantung pada kepada kegiatan apa
dan siapa modelnya yang bersedia untuk diamati, misalnya jika anak-anak
dibesarkan dalam rumah tangga yang selalu bertengkar maka kemungkinan
besar mereka akan mudah bertindak kasar dan agresif pula, perilaku yang
demikian akan lebih akan lebih menarik perhatian dari anak tersebut. Menurut
Panen (2005:) menyatakan bahwa, untuk menerapkan teori belajar sosial dan
memastikan siswa memberi perhatian yang lebih pada prilaku yang
dimodelkan, maka guru sebaiknya mengusahakan untuk: (1) menekankan
bagian-bagian penting dari perilaku yang dipelajari untuk memusatkan
perhatian siswa, (2) membagi-bagi kegiatan besar menjadi bagian-bagian
kecil, (3) memperjelas ketrampilan-ketrampilan yang menjadi komponen-
komponen prilaku, (4) memberi kesempatan untuk siswa mempraktikkan hasil
pengamatan mereka begitu mereka selesai dengan satu topik.
b) Fase Pengingatan (retensi)
Agar dapat mengambil manfaat dari perilaku orang lain yang telah diamati,
seorang pengamat harus dapat mengingat apa yang yang telah dilihatnya. Dia
harus mengubah informasi yang diamatinya menjadi bentuk gambaran mental,
atau mengubah simbol-simbol verbal, dan kemudian menyimpan dalam
ingatannya. Akan sangat membantu apabila kegiatan yang ditiru segera
diulanginya atau dipraktekkan setelah pengamatan selesai. Pengamat tidak
perlu melakukan pengulangan atau mempraktekkan secara fisik tetati dapat
saja secara kognitif, yaitu: membayangkan, memvisualisasikan perilaku
tersebut dalam pikirannya.
c) Reproduksi
Komponen ketiga dalam proses peniruan adalah mengubah ide gambaran, atau
ingatan menjadi tindakan. Umpan balik terhadap hasil belajar dalam bentuk
perilaku yang diperlihatkan oleh pengamat dapat menjadi alat bantu yang
penting dalam proses ini. Umpan balik ini dapat dilakukan lewat observasi diri
dan masukan dari pelatih, guru, dan modelnya sendiri.
d) Fase Motivasi
Tahap terakhir dalam proses pembelajaran pengamatan ialah motivasi. Orang
tidak akan memperagakan atau melaksanakan setiap hal yang dipelajarinya
lewat proses pengamatan. Pengamat akan meniru orang yang ditiru karena
mereka percaya bahwa tindakan seperti itu akan meningkatkan peluang
mereka sendiri dikuatkan. Umumnya seorang pengamat akan cenderung untuk
memperagakan perilaku yang ditirunya jika hal tersebut menghasilkan hal
yang berharga atau diiinginkan oleh pengamat terebut. Pengamat cenderung
tidak memperagakan perilaku yang mengakibatkan munculnya hukuman atau
bila ia tidak mendapat hadiah dari perbuatan tersebut.

Gambar 1. Tahapan dalam Pengamatan


Sumber: Bastable, S.B., 2002, Perawat sebagai pendidik: prinsip-prinsip pengajaran dan pembelajaran, EGC,
Jakarta

Pemodelan tidak membatasi hanya demonstrasi langsung tapi juga perilaku lisan
dan tertulis dapat bertindak sebagai bentuk pemodelan tidak langsung. Pemodelan
tidak hanya memungkinkan pengamat untuk belajar perilaku yang harus mereka
ulangi tapi juga untuk menghambat perilaku tertentu.
2. Ekspektasi Hasil
Untuk mempelajari perilaku tertentu, orang harus mengerti apa akibat potensial jika
mereka mengulangi perilaku itu. Pengamat tidak mengharapkan penghargaan aktual
atau hukuman yang ditimbulkan oleh model, namun mengantisipasi hasil yang serupa
saat meniru perilaku (disebut ekspektasi hasil), oleh karena itu pemodelan berdampak
pada kognisi dan perilaku. Ekspektasi ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana
pengamat tumbuh; Sebagai contoh, konsekuensi yang diharapkan untuk sebuah DUI di
Amerika Serikat adalah denda, dengan kemungkinan waktu penjara, sedangkan biaya
yang sama di negara lain dapat menyebabkan kematian hukuman mati.
3. Self-efficacy
Teori kognitif sosial mengemukakan bahwa pembelajaran kemungkinan besar
terjadi jika ada identifikasi dekat antara pengamat dan model dan jika pengamat juga
memiliki banyak self-efficacy. Self-efficacy adalah sejauh mana seseorang percaya
bahwa mereka dapat menguasai keterampilan tertentu. Keyakinan self-efficacy
berfungsi sebagai seperangkat determinan proksimal yang paling penting dari motivasi,
pengaruh, dan tindakan manusia, yang beroperasi pada tindakan melalui proses
intervensi motivasional, kognitif, dan afektif.
Menurut Bandura, self-efficacy adalah "kepercayaan akan kemampuan seseorang
untuk mengatur dan melaksanakan tindakan yang dibutuhkan untuk mengelola situasi
yang prospektif". Bandura dan peneliti lainnya telah menemukan self-efficacy individu
memainkan peran utama dalam bagaimana tujuan, tugas, dan tantangan didekati.
Individu dengan self-efficacy tinggi cenderung percaya bahwa mereka dapat menguasai
masalah yang menantang dan mereka dapat pulih dengan cepat dari kemunduran dan
kekecewaan. Individu dengan self-efficacy rendah cenderung kurang percaya diri dan
tidak percaya bahwa mereka dapat berkinerja baik, yang menyebabkan mereka
menghindari tugas yang menantang. Oleh karena itu, self-efficacy memainkan peran
sentral dalam kinerja perilaku. Pengamat yang memiliki tingkat self-efficacy tinggi
cenderung mengadopsi perilaku belajar observasional. Self-efficacy dapat
dikembangkan atau ditingkatkan dengan:
1. Penguasaan pengalaman, yaitu proses yang membantu seseorang mencapai tugas
sederhana yang mengarah pada tujuan yang lebih kompleks.
2. Pemodelan sosial memberikan model yang dapat diidentifikasi yang menunjukkan
proses yang menyelesaikan perilaku.
3. Memperbaiki keadaan fisik dan emosional mengacu pada memastikan seseorang
beristirahat dan santai sebelum mencoba perilaku baru. Semakin santai, semakin
sedikit pasien, semakin besar kemungkinan mereka tidak akan mencapai tingkah
laku tujuan.
4. Bujukan verbal memberikan dorongan bagi seseorang untuk menyelesaikan suatu
tugas atau mencapai suatu perilaku tertentu. [18]
Self-efficacy juga telah digunakan untuk memprediksi perilaku dalam berbagai
situasi terkait kesehatan seperti penurunan berat badan, berhenti merokok, dan
pemulihan dari serangan jantung. Dalam kaitannya dengan ilmu olahraga, self-efficacy
telah menghasilkan beberapa hasil yang paling konsisten yang menunjukkan
peningkatan partisipasi dalam latihan.
4. Identifikasi
Identifikasi memungkinkan pengamat merasakan kesamaan satu-ke-satu dengan
model, dan dengan demikian dapat menyebabkan kesempatan yang lebih tinggi bagi
pengamat yang mengikuti melalui aksi bermodel. Orang cenderung mengikuti perilaku
yang dimodelkan oleh seseorang yang dengannya mereka dapat mengidentifikasi.
Semakin banyak kesamaan atau keterikatan emosional yang dirasakan antara pengamat
dan model, semakin besar kemungkinan pengamat belajar dan menghidupkan kembali
perilaku model.

5. Kelebihan dan Kelemahan Teori Kognitif Sosial


a. Kelemahan
Teori belajar sosial Bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan dalam teori
behavioristik. Ini karena teknik pemodelan Albert Bandura adalah mengenai peniruan
tingkah laku dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan pengulangan dalam
mendalami sesuatu yang ditiru.
Selain itu juga, jika manusia belajar atau membentuk tingkah lakunya dengan hanya
melalui peniruan (modeling), sudah pasti terdapat sebagian individu yang
menggunakan teknik peniruan ini juga akan meniru tingkah laku yang negatif, termasuk
perlakuan yang tidak diterima dalam masyarakat.
Dalam serial program TV, menurut teori kognitif sosial, perilaku yang diberikan
karakter yang disukai seharusnya diikuti oleh pemirsa, sementara perilaku yang
dihakimi seharusnya dihindari oleh konsumen media. Namun, dalam kebanyakan
kasus, tokoh protagonis di acara TV cenderung tidak mengalami konsekuensi jangka
panjang dan konsekuensi negatif yang disebabkan oleh perilaku berisiko mereka, yang
berpotensi merusak hukuman yang disampaikan oleh media, yang mengarah pada
pemodelan perilaku berisiko.
b. Kelebihan Teori Albert Bandura
Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya, karena
itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui system
kognitif orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata -
mata reflex atas stimulus (S-R bond), melainkan juga reaksi yang timbul akibat
interaksi antara lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri.
Pendekatan teori belajar sosial lebih ditekankan pada perlunya conditioning
(pembiasan merespon) dan imitation (peniruan). Selain itu pendekatan belajar sosial
menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak -
anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan anak - anak,
faktor sosial, dan kognitif.
6. Aplikasi Teori Kognitif Sosial pada Ilmu Kesehatan Ibu dan Anak
Perilaku Konsumsi Sayur dan Buah pada Anak Usia Sekolah
a) Fase Perhatian
Pada umumnya, anak memberikan perhatian pada panutan yang memikat, berhasil,
menarik, dan popular. kebiasaan menonton iklan-iklan suplemen sayur dan buah dari
televise, poster di sekolah dan lainnya sehingga anak-anak mulai menaruh perhatian pada
konsumsi sayur dan buah. Selain itu, Perilaku makan sayur dan buah orang tua di rumah,
merupakan hal yang dapat menjadi prediksi dari konsumsi sayur dan buah pada anak. Ada
persamaan antara konsumsi sayur dan buah orang tua dengan konsumsi sayur dan buah anak.
Anak yang melihat orang lain khususnya orang tua mengonsumsi makanan akan menjadi contoh
sehingga dapat meningkatkan keinginan anak-anak untuk mengonsumsi sayur dan buah.
b) Fase Pengingatan (retensi)
Agar dapat mengambil manfaat dari perilaku orang lain yang telah diamati, seorang anak
harus dapat mengingat apa yang yang telah dilihatnya. Dia harus mengubah informasi
yang diamatinya menjadi bentuk gambaran mental, atau mengubah simbol-simbol verbal,
dan kemudian menyimpan dalam ingatannya. Anak tidak perlu melakukan pengulangan
atau mempraktekkan secara fisik tetapi dapat juga secara kognitif, yaitu: membayangkan,
memvisualisasikan perilaku tersebut dalam pikirannya. Seorang anak akan mengingat-
ingat sayur dan buah apa yang sering dikonsumsi oleh orang tuanya, berapa porsi
konsumsinya, dan manfaat apa yang didapatkan oleh orang tua setelah mengkonsumsi
sayur dan buah.
c) Reproduksi
Komponen ketiga dalam proses peniruan adalah mengubah ide gambaran, atau ingatan
menjadi tindakan. Umpan balik terhadap hasil belajar dalam bentuk perilaku yang
diperlihatkan oleh pengamat dapat menjadi alat bantu yang penting dalam proses ini. Pada
proses ini, anak sudah mulai mencoba untuk menyukai sayur dan buah. Untuk pertama
kalinya, mungkin mereka akan lebih sering mengkonsumsi satu atau dua jenis sayur dan
buah yang mereka paling sukai, dan akan mencoba jenis sayur dan buah yang lain seiring
berjalannya waktu. Umpan balik ini dapat dilakukan lewat observasi diri dan masukan dari
pelatih, orang tua, guru, dan modelnya sendiri. Disini peran orang tua sangat penting yakni
memberikan masukan kepada anak agar bisa mencoba mengkonsumsi jenis sayur dan
buah yang mereka tidak sukai.
d) Fase Motivasi
Tahap terakhir dalam proses pembelajaran pengamatan ialah motivasi. Orang tidak
akan memperagakan atau melaksanakan setiap hal yang dipelajarinya lewat proses
pengamatan. Pengamat akan meniru orang yang ditiru karena mereka percaya bahwa
tindakan seperti itu akan meningkatkan peluang mereka sendiri dikuatkan. Umumnya
seorang pengamat akan cenderung untuk memperagakan perilaku yang ditirunya jika
hal tersebut menghasilkan hal yang berharga atau diiinginkan oleh pengamat terebut.
Pengamat cenderung tidak memperagakan perilaku yang mengakibatkan munculnya
hukuman atau bila ia tidak mendapat hadiah dari perbuatan tersebut. Ketika orang tua
menjanjikan reward untuk anak apabila si anak mau mengkonsumsi sayur dan buah
secara teratur, maka anak akan semakin termotivasi untuk mengkonsumsi sayur dan
buah.

You might also like