You are on page 1of 8
Baliha') 8) SOs PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI SCL ENs AUC) 13942) bE) ene Kemitraan Ce Cee ferry Ee etc Deed eee dle ay Ce ed Strategi Eliminasi Rabies 2020: 28 September - Hari Rabies Sedunia Latar Belakang Rabies juga disebut penyakit anjing gila merupakan penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat (otak) disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini merupakan kelompok penyakit zoonosa (zoonosis) yaitu penyakit infeksi yang ditularkan oleh hewan ke manusia melalui pajanan atau Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) yaitu anjing, kera, musang, anjing liar, kucing. Sebagian besar sumber penularan rabies ke manusia di Indonesia, disebabkan oleh gigitan anjing yang terinfeksi rabies (98%), dan lainnya oleh kera dan kucing. Infeksi rabies baik pada hewan maupun pada manusia yang telah menunjukkan gejala dan tanda klinis rabies pada otak (Encephalomyelitis) berakhir dengan kematian. Hanya terdapat 1 (satu) penderita yang hidup didunia. Sekitar 150 negara di dunia telah terjangkit rabies, dan sekitar 55.000 orang meninggal karena rabies setiap tahun. Lebih dari 15 juta orang yang terpajan/digigit hewan penular rabies di dunia, yang terindikasi mendapatkan pengobatan profilaksis Vaksin Anti Rabies (VAR) untuk mencegah timbulnya rabies. Sekitar 40% dari orang yang digigit hewan penular rabies adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun. Sampai saat ini belum terdapat obat yang efektif untuk menyembuhkan rabies. Akan tetapi rabies dapat dicegah dengan pengenalan dini gigitan hewan penular rabies dan pengelolaan/penatalaksanaan kasus gigitan/pajanan sedini mungkin. Rabies merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia, termasuk Indonesia dimana 24 provinsi endemis rabies dari 34 provinsi dan 10 provinsi bebas rabies. Jumlah kasus rabies pada manusia rata- rata per tahun di beberapa negara Asia antara lain India 20.000 kasus, China 2.500 kasus, Filipina 20.000 kasus, Vietnam 9.000 kasus dan Indonesia 168 kasus. Sepuluh negara yang tergabung dalam ASEAN (termasuk Indonesia) pada Perteruan Menteri Pertanian dan Kehutanan ke 34 (The Thirty Fourth Meeting of The ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry) pada tanggal 27 September tahun 2012 di Vientiane, Lao PDR telah bersepakat dan mendeklarasikan untukbebas rabies pada tahun 2020. Selama kasus rabies pada hewan penular rabies terutama anjing masih ada maka terdapat risiko adanya kasus rabies/Lyssa pada manusia. ‘Terdapat 10 provinsi sebagai daerah bebas rabies, dari 34 provinsi di Indonesia yaitu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DK! Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, Papua dan Kalimantan Barat. ‘Ada tiga indikator yang digunakan dalam memantau upaya pengendalian rabies, yaitu: Kasus GHPR (Gigitan Hewan Penular Rabies), kasus GHPR terindikasi yang diberi Vaksin Anti Rabies (VAR), dan jumlah kasus klinis Lyssa/rabies. 1, Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) Dari Gambar 1 berikut ini menunjukkan dari tahun 2009-2012 jumlah kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) meningkat 86,3% yaitu dari 45.46 kasus (2009) menjadi 84.750 pada tahun 2012. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2009-2012 terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) rabies di Bali. Dengan upaya intensifikasi penanggulangan KLB terpadu semua pemangku kepentingan di Bali yang berhasil menurunkan GHPR di Bali maka memberi konstribusi penurunan GHPR nasional yaitu menurun 18,4%, dari 84.750 (2012) menurun menjadi 69.136 gigitan pada tahun 2013. Gambar 1. GHPR, VAR dan LYSSA di Indonesia Tahun 2009-2013 =e 45466 if ‘al Sumber: Subdit, Pengendalian Zoonosts, Dit. PBB, Ditlen PP& PL, Kemenkes RI, 2014 Gambar 2 di bawah ini menggambarkan 5 peringkat terbesar GHPR tertinggi per provinsi dari tahun 2009-2013, Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Utara selalu berada pada posisi 5 terbesar GHPR Nasional dengan Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur menduduki peringkat 1 dan2. Provinsi Bali menunjukkan penurunan kontribusi jumlah GHPR nasional dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 berurutan sebagai berikut: 47,96% (2009), 77,2% (2010), 62,65% (2011), 65,88% (2012), 56,94% (2013). Penurunan ini sebagai hasil upaya intensif penanggulangan terpadu KLB rabies di Bali. Gambar 2. Persentase Lima Besar Provinsi dengan Jumlah GHPR Tahun 2009-2013 ‘Sumber :Subdit. PengendalianZoonosis, Dit. PPBB, Ditjen PP& PL, Kemenkes Rl, 2014 2, Pencegahan Pasca Pajanan/GHPR (Post Exposure Treatment) Disebut pencegahan karena melakukan tindakan imunisasi dengan menggunakan Vaksin Anti Rabies yang diberikan kepada setiap kasus GHPR terindikasi secara dini, dengan dosis standar agar terbentuk zat kebal (antibodi) untuk mencegah terjadinya kasus Lyssa atau rabies. Dari diagram alur (flowchart) penatalaksanaan kasus gigitan hewan tersangka/rabies, setiap gigitan hewan penular rabies terindikasi, harus mendapatkan Vaksin Anti Rabies. ° Gambar 3. Diagram Alur Penatalaksanaan Kasus Gigitan Tersangka/Rabies ‘Sumber :Subdit. PengendalianZoonosis, Dit. PPBB, Ditjen PPE PL, Kemenkes Rl, 2014 Gambar 4 di bawah menunjukkan dari tahun 2009-2012 terdapat kecenderungan peningkatan upaya pencegahan dengan pemberian VAR sesuai dengan pola kecenderungan peningkatan jumlah GHPR. Pada tahun 2012 terdapat peningkatan pemberian VAR sebesar 110,5% dari 35.316 (2009) menjadi 74,331 pada tahun 2012, dan menurun 27,3% pada tahun 2013 dengan pemberian VAR sebanyak 54,059 pada GHPR terindikasi. Pada gambar 4 di bawah juga tampak bahwa persentase VAR terhadap GHPR terindikasi dari tahun 2009-2012 terus mengalami peningkatan yaitu tahun 2009 sebesar 77,7% dan tahun 2012 sebesar 87,7%. Dan pada tahun 2013 terjadi penurunan 79,2%. Gambar 4. Persentase Pemberian VAR Terhadap GHPR tahun 2009 ~ 2013 ‘Sumber :Subdit. Pengendalian Zoonosis, Dit. PPBB, Ditjen PP& PL, Kemenkes Rl, 2014 3. Kasus Lyssa/Rabies Pemberian imunisasi dengan pemberian VAR merupakan upaya pencegahan primer yang sangat efektif untuk mencegah terjadinya kasus Lyssa/rabies pada manusia. Pada Gambar 1 dan 4 dapat kita lihat kecenderungan peningkatan pemberian VAR (absolut atau persentase VAR terhadap GHPR) diikuti dengan kecederungan penurunan kasus Lyssa dari tahun 2009-2013. Puncak tertinggi kasus Lyssa pada tahun 2010 berjumlah 206 menurun sebesar 43,3% dibanding jumlah kasus Lyssa pada tahun 2013 yg berjumlah 119. Penurunan kasus Lyssa ini karena salah satunya keberhasilan imunisasi dengan VAR pada GHPR dalam intensifikasi penanggulangan terpadu KLB rabies di Bali dan pemberian VAR di provinsilainnya. Tabel 1 menggambarkan distribusi jumlah kasus Lyssa menurut provinsi dimana pada tahun 2010 terdapat 5 provinsi tertinggi kasus Lyssa dengan kisaran 10 kasus Lyssa di Sulawesi Utara, 21 kasus Lyssa di Maluku, 25 kasus Lyssa di Nusa Tenggara Timur, 35 kasus Lyssa di Sumatera Utara dan tertinggi di Bali dengan 82 kasus Lyssa. Dari 5 provinsi tersebut terdapat kecenderungan penurunan jumlah kasus Lyssa di 4 provinsi secara berurutan yaitu Bali dari 82 (2010) menjadi 1 kasus (2013), Sumatera Utara dari 35 (2010) menjadi 5 (2013), Nusa Tenggara Timur dari 25 (2010) menjadi 6 kasus (2013), Maluku dari 21 (2010) menjadi 11 kasus pada tahun 2013, sedangkan Sulawesi Utara terdapat kenaikan kasus Lyssa dari tahun 2010-2012 meningkat berurutan dari 10, 26, dan 35 kasus Lyssa pada tahun 2012, dan pada tahun 2013 menurun menjadi 30 kasus Lyssa Tabel 1. Distrubusi Kasus Lyssa Menurut Daerah Provinsi Tahun 2010 ~ 2013 No Provinsi 2010 200 202 2013 1. Aceh ° 2 ° 1 2 Sumatera Utara 35 3 8 5 3 Sumatera Barat 5 7 4 8 4. Riau 2 6 ° 2 5. Jambi 3 o ° ° 6 Sumatera Selatan 2 ° 1 ° 7 Bengkul ° 6 3 3 8 Lampung 3 ° 1 ° 9, Banten o ° ° ° 10, Jawa Barat 1 o 1 ° i Bali 82 23 8 1 12 Nusa Tenggara Timur 25 2 7 6 13 Sulawesi Utara 0 26 35 30 14 Gorontalo B 3 6 8 15 Sulawesi Tengah 3 2 4 8 16 Sulawesi Tenggara ° 5 3 2 17 Sulawesi Selatan 4 ° 9 6 18 Sulawesi Barat 5 ° ° 1 19 Kalimantan Selatan ° z ° ° 20. Kalimantan Tengah 1 2 5 ° 21 Kolimantan Timur ° 1 ° 2 22 Maluku Utara 1 6 3 5 23 Maluku 21 3 9 0 Jumlah 206 184 37 ng ‘Sumber : Subdit Pengendalian Zoonosis, Dit. PPBB, Ditjen PP& PL, Kemeenkes Rl, 2014 © Klinis Kasus Lyssa/Rabies 1, Gejala dan tanda penderita/kasus Lyssa/rabies yaitu Demam Mual Rasa nyeri di tenggorokan, sehingga takut untuk minum Gelisah Takut air (hidrofobia) Takut cahaya (fotofobia) Liur yang berlebihan (hipersalivas/) 2, Masa inkubasi (masa tunas) dan cara penularan. Inkubasi (masa tunas) dari virus rabies masuk melalui gigitan sampai timbul gejala Klinis berkisar antara 2 minggu sampai 2 tahun, pada umumnya 3-8 minggu. Menurut WHO rata rata 30-90 hari. Variasi masa inkubasi ini dipengaruhi oleh letak luka gigitan semakin dekat dengan otak seperti di atas bahu gejala klinis akan cepat muncul, juga kedalaman luka, jenis virus dan jumlah virus yang masuk. Oleh karena timbulnya gejala sakit yang bervariasi ini dan kurangnya pengetahuan masyarakat di daerah endemis menyebabkan pencarian pertolongan ke fasilitas kesehatan menjadi terlambat sehingga timbullah kasus Lyssa, Karenanya perlu peningkatan/peluberan komunikasi risiko di daerah ‘endemis dengan prioritas jumlah kasus Lyssa yang tinggi. 3. Penularan Penularan Lyssa/rabies pada manusia ataupun pada hewan lainnya terjadi melalui GHPR yang terinfeksi rabies, jilatan pada kulit yg lecet, cakaran, selaput lendir mulut, hidung, mata, anus dan genitalia terutama oleh anjing (98 persen), kera/monyet, dan kucing. Penularan dari orang ke orang (langsung) dapat terjadi melalui saliva/cairan ludah penderita rabies/Lyssa mengenai/masuk mukosa/selaput lendir oranglain. 4, Pengenalan gejala dan tanda rabies pada hewan (anjing) Perubahan perilaku hewan tak mengenal pemiliknya, tak menuruti perintah pemiliknya, mudah terkejut. Mudah berontak bila ada provokasi, selanjutnya takut pada sinar/cahaya sehingga anjing bersembunyi di kolong tempat tidur, meja, kursi, gelisah, mengunyah benda-benda di sekitarnya, berjalan mondar mandir bila dikandang, beringas, menyerang terhadap obyek yang bergerak terjadi kelumpuhan tenggorokan, dan kelumpuhan kaki belakang dan dalam 10-14 hari akan mati karena rabies. 5, Pertolongan pertama pada jilatan/ gigitan hewan penular rabii + Cuciluka gigitan memakai sabun/deterjen dengan air mengalir selama 10-15 menit + Beri anti septik pada luka gigitan (povidoneiodine, alkoho! 70%, dll) + Segera ke puskesmas/rumah sakit/Pusat Pelayanan Rabies (Rabies Center) untuk mendapatkan pertolongan selanjutnya. 6. Pencegahan rabies: + Pemeliharaan hewan piaraan/hobi dilaksanakan penuh rasa tanggumg jawab dan memperhatikan kesejahteraan hewan, jangan diliarkan atau diumbar keluar pekarangan rumah tanpa pengawasan dan kendaliikatan. + Berikan vaksinasi anti rabies pada hewan peliharaan anda secara berkala di Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan), dinas kesehatan hewan atau dinas peternakan, atau ke dokter hewan. + Segera melapor ke puskesmas/rumah sakit terdekat apabila digigit oleh hewan tersangka rabies untuk mendapatkan Vaksin Anti Rabies (VAR) sesuai indikasi. + Apabila melihat binatang dengan gejala rabies, segera laporkan kepada Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan), dinas peternakan/yang membawahi bidang peternakan atau dinas kesehatan hewan. Upaya Pengendalian Rabies Pemerintah mempunyai komitmen dalam pengendalian zoonosis prioritas (Rabies, Flu Burung, Leptospirosis, Antraks, Pes dan Brusellosis) ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2011 tentang pengendalian zoonosis dan dibentuknya Komnas Pengendalian Zoonosis di pusat dan di daerah (Komda Pengendalian Zoonosis Provinsi, Komda Pengendalian Zoonosis Kabupaten dan Kota). Komnas dan Komda ini merupakan wadah koordinasilintas sektor seluruh pemangku kepentingan dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta perumusan kebijakan pengendalian zoonosis terpadu sesuai dengan pendekatan “Satu Kesehatan” (One Health) dalam pengendalian zoonosis. Khusus untuk pengendalian rabies Pemerintah Indonesia sebagai anggota Asean bersama 9 negara ASEAN lainnya menandatangani deklarasi ASEAN Bebas Rabies pada tahun 2020, pada Pertemuan Menteri Pertanian dan Kehutanan ASEAN ke-34 pada September 2012 di Vientiane, Lao POR. ‘Sasaran pengendalian rabies Menuju Eliminasi Rabies 2020 pada manusi + Cakupan Profilaksis Pra Pajanan /P PraP (Pre Exposure Prophilaxis) pada kelompok isiko tinggi: 100%. + Cakupan Profilaksis Paska Paparan /P PasP (Post Exposure Prophilaxis): 100 % kasus gigitan terindikasi yang dilaporkan. 1, Tujuan Eliminasi Rabies 2020 Dalam rangka pelaksanaan komitmen nasional dan komitmen ASEAN dalam pengendalian rabies, maka tujuan pengendalian rabies di Indonesia yaitu: + Indonesia tereliminasi rabies pada tahun 2020. + Mencegah kematian dan menurunkan pada manusia akibat gigitan dan atau pajanan hewan penular rabies selama proses menuju bebas rabies. + Mempertahankan daerah bebas rabies berkelanjutan agar tetap bebas rabies. 2. Strategi Eliminasi Rabies 2020 Untuk mencapai tujuan percepatan Indonesia Eliminasi Rabies Tahun 2020, diterapkan strategi terpadu dengan pendekatan prinsip "Satu Kesehatan” (One Health) sebagai berikut: + Advokasidan sosialisasi + Penguatan peraturan perundangan dan kebijakan. + Komunikasirisiko + Peningkatan kapasitas + Imunisasi massal pada GHPR anjing (Kementerian Pertanian) + Manajemen populasi GHPR anjing (Kementerian Pertanian) + Profilaksis pra dan paska pajanan/gigitan dengan VAR dan tatalaksana kasus pada manusia + Penguatan surveilans dan respons terpadu * Penelitian operasional + Kemitraan (pelibatan dukungan masyarakat, LSM, tokoh agama, perusahaan, dan internasional). Dari 10 strategi menuju Eliminasi Rabies 2020 ini, masing-masing dirinci dalam pelaksanaan kegiatan Eliminasi Rabies 2020 terdiri atas 2 tahap yaitu: + Tahap!_ :tahun 2014-2017, merupakan tahap operasional + Tahapll_ : tahun 2018-2020, yaitu kegiatan terkait dengan 2 tahun terakhir tereliminasinya kasus rabies tak adanya kasus rabies pada hewan dan manusia dengan sistem surveilans berjalan dengan baiksesuai standar sebagai persyaratan eliminasi rabies 2020. Renee een PUSAT DATA DAN INFORMASI JH Rasuna Said Blok X5 Kay. 4-9 Lantai 6 Blok C ain Xe y

You might also like