You are on page 1of 10

Kondisi Investasi Indonesia Pasca Krisis 1998, Efisienkah?

Disusun oleh:

Refi Hasriani Utami 1306452013

Rizky Deco Praha 1306403213

Dosen:

Prof. M. Ikhsan

Mata Kuliah Seminar Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis


Universitas Indonesia
Kondisi Investasi Indonesia Pasca Krisis 1998, Efisienkah?
Refi Hasriani Utami1 dan Rizky Deco Praha2

Abstrak:
Sejak akhir tahun 1970an hingga awal tahun 1990an, Indonesia mengalami performa
ekonomi yang mantap, ditandai dengan besarnya proporsi investasi dan tingkat
pertumbuhan yang rata-rata diatas 6%. Namun, pasca krisis 1997-1998, hal tersebut tidak
lagi dialami Indonesia. Pertumbuhan pasca krisis hanya berkisar rata-rata 4-5%. Inefisiensi
investasi dicurigai menjadi penyebab dari rendahnya pertumbuhan. Dengan menggunakan
metode ekonometrika, didapati bahwa ternyata dugaan tersebut tidak terbukti.
Kata Kunci: Investasi, ICOR

Pendahuluan
Pada akhir tahun 1970 hingga awal 1990an, performa ekonomi Indonesia ditandai
dengan pertumbuhan yang tinggi. Hingga 1997, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia
mencapai lebih dari 6%. Indonesia disebut-sebut sebagai newly industrialized economy, yang
sedang bersiap-siap tinggal landas untuk menjadi negara high income.
Grafik 1

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia


20

10

0
1973

1999
1961
1963
1965
1967
1969
1971

1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997

2001
2003
2005
2007
2009
2011
2013
2015

-10

-20

Belum sempat mengudara, Indonesia harus lebih dulu terjembab. Diawali dari krisis
di Thailand tahun 1997, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami dampak
krisis paling besar. Perekonomian mengalami titik terburuknya dalam 30 tahun, ditandai
dengan minusnya angka pertumbuhan ekonomi. Berbagai upaya akhirnya ditempuh
untuk menyelamatkan perekonomian yang kolaps dalam waktu singkat tersebut. Dimulai

1
NPM: 1306452013
2
NPM: 1306403213
dari ditandatanganinya letter of credits, Indonesia melakukan pembenahan dalam berbagai
aspek, misalnya peningkatan persaingan usaha hingga melepas sistem fixed currency.
sehingga, pertumbuhan ekonomi yang sempat minus saat terjadi krisis, berangsur-angsur
naik kembali.
Namun hingga kini, pertumbuhan ekonomi Indonesia belum pernah mencapai
posisi yang sama dengan saat pra-krisis. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia
sesudah krisis hanya mencapai 4-5%. Pertumbuhan tersebut juga lebih banyak didorong
oleh meningkanya konsumsi, sementara aktivitas investasi cenderung stagnan. Stagnasi
tersebut utamanya terjadi pada 2000-2003. Kemudian, pada pertengahan 2004, investasi
meningkat 8,3%. Pada periode yang sama, terdapat juga peningkatan impor barang modal
(capital goods) sebesar 35%. Meskipun terjadi peningkatan di periode tersebut, ternyata
pertumbuhan ekonomi tidak serta merta melonjak.
Grafik 2

Pertumbuhan PMTDB Indonesia


30
20
10
0
1977

1983

1989

1995

2001
1961
1963
1965
1967
1969
1971
1973
1975

1979
1981

1985
1987

1991
1993

1997
1999

2003
2005
2007
2009
2011
2013
2015
-10
-20
-30
-40

Investasi, yang merupakan proporsi dari pendapatan yang digunakan unuk hal yang
produktif dapat saja tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan
jika investasi tersebut bersifat inefisien. Ketika sebuah perekonomian memiliki karakteristik
investasi yang inefisien, maka diperlukan modal yang lebih besar untuk mendorong
terjadinya pertumbuhan dengan besaran terentu. Saat perekonomian tersebut tidak mampu
mengumpulkan investasi yang cukup, maka pertumbuhan perekonomian tersebut tidak
dapat mencapai tingkat yang diharapkan. Atas dasar itu, melalui tulisan ini, kami
bermaksud unuk menelusuri apakah terjadi inefisiensi investasi di Indonesia pascakrisis
1997-1998, yang menjadi salah satu faktor yang dapat menjelaskan rendahnya pertumbuhan
ekonomi pasca lengsernya orde baru tersebut.

Kajian Literatur
Ada berbagai penelitian terdahulu yang dilakukan terkait efisiensi investasi dan
pertumbuhan ekonomi. Jun (2003) menemukan bahwa pada periode 1978-2000, Cina dapat
meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa meningkatkan proporsi investasi terhadap
Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) dan peningkatan efisiensi modal (yang diukur dengan
ICOR, Incremental Capital Outpu Ratio). Ditemukan Jun (2003) bahwa Cina dapat meraih
pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan melalui peningkatan investasi, melainkan melalui
industrialisasi pedesaan dan proliferasi usaha-usaha swasta kecil. Dalam penelitian lain,
didapati bahwa tingkat efisiensi teknis negara-negara Asia Timur berpendapatan tinggi
(high performing countries) tidak jauh berbeda dengan rata-rata negara-negara lain di dunia
dalam (Han et. al, 2004). Han et. al (2004) menggunakan dekomposisi dari total factor
productivity (TFP) unuk mengukur tingkat efisiensi teknis.
Foreign Direct Investment (FDI) juga merupakan salah satu indikator yang dapat
digunakan dalam menjelaskan kaitan investasi dengan pertumbuhan ekonomi di suatu
negara. Borensztein et. al. (1995) mengemukakan bahwa FDI memiliki peran yang besar
bagi perekonomian. FDI berperan sebagai kendaraan untuk transfer teknologi, dimana
FDI juga mempunyai kontribusi yang lebih besar daripada investasi domestik (Borensztein
et. al., 1995). Tetapi, kontribusi besar FDI yang ditemukan oleh Borensztein et. al. (1995)
tersebut hanya dapat terjadi jika sebuah perekonomian telah memenuhi batas minimum
dari modal manusia (human capital).

Landasan Teori
Dalam tulisan ini, kami menggunakan ICOR sebagai proxy dari efisiensi investasi.
Ukuran ICOR berasal dari model Harrod-Domar yang menggambarkan hubungan antara
investasi dan output pada suatu perekonomian. Teori Harrod-Domar menekankan
pentingnya pembentukan modal (capital formation) dalam mendukung perekonomian.
Dalam teori ini, diasumsikan bahwa modal mengalami pemanfaatan yang penuh (optimum
utilization). Pemanfaatan modal yang mencerminkan kapasitas produksi ini merupakan
pembentukan modal pada tahun sebelumnya. Pada dasarnya, ICOR memperlihatkan
hubungan dari modal dengan perekonomian. ICOR menggambarkan relasi antara
pembentukan modal dan pertambahan output. ICOR menunjukkan berapa unit tambahan
modal yang dibutuhkan untuk memproduksi tambahan 1 output, sehingga, ICOR yang
lebih tinggi menggambarkan efisiensi kapital yang lebih rendah. Secara sederhana, ICOR
dapat ditulis sebagai berikut:

=
(1)
Dimana K adalah penambahan pembentukan modal bruto dan Y adalah produk domestik
bruto.
Dari notasi (1), ICOR pada periode tertentu dapat dikembangkan dengan
perhitungan yang memasukkan unsur waktu tenggang (lag), sehingga, dengan
mengasumsikan lag sebesar 1 tahun, dapat ditulis bahwa ICOR periode tertentu adalah
adalah:
1

= 11
1
(2)

Dimana t adalah keterangan waku, ti adalah batas awal, tj adalah batas akhir, PMTDB adalah
Pembenukan Modal Tetap Domestik Bruto, dan PDB adalah Produk Domestik Bruto. Dalam
tulisan ini, kami menggunakan ICOR periode 5 tahun dengan lag 1 tahun.
Dengan menggunakan ICOR sebagai ukuran dari efisiensi produksi, ada berbagai
kekurangan yang dapat timbul. Pertama, ICOR hanya mampu melihat bagaimana
hubungan dari investasi yang bersifat fisik dan tetap. Kedua, ICOR tidak memperhitungkan
peranan faktor produksi terhadap produksi yang dihasilkan. Selanjutnya, ICOR tidak dapat
menjelaskan produktivitas suatu faktor apakah disebabkan oleh produktivitasnya atau
penambahan jumlahnya. Terakhir, ICOR dapat terkena bias dari faktor produksi lain yang
tidak termasuk dalam perhitungan, tetapi terefleksi dalam ICOR.
ICOR dipengaruhi oleh berbagai variabel, diantaranya struktur perekonomian,
dimana perekonomian yang bercorak agraris biasanya memiliki ICOR yang lebih rendah,
karena untuk mendapatkan tambahan nilai tambah, diperlukan lebih sedikit kapital (Saleh
et. al, 2008). Kondisi perekonomian juga dapat mempengaruhi besaran ICOR, seperti yang
didapatkan oleh DeMelo (2015), yang mendapati bahwa ICOR yang ditransformasi
merupakan variabel independen dari proporsi utang terhadap PDB, tingkat suku bunga,
dan valuta asing per PDB. ICOR yang juga mengukur kualitas investasi, dipengaruhi juga
keterbukaan finansial (Lynch, 1995) dan keterbukaan pasar (Salahudin & Islam, 2008).

Metodologi
Untuk mengukur efisiensi investasi, kami membandingkan antara ICOR yang
sesungguhnya (actual ICOR) dengan ICOR yang didapat dari prediksi model (predicted
ICOR). Jika actual ICOR tidak lebih tinggi daripada predicted ICOR, berarti investasi
tergolong efisien. Sebaliknya, jika actual ICOR lebih tinggi daripada predicted ICOR, berarti
investasi tergolong tidak efisien. Adapun model yang kami gunakan untuk menghitung
predicted ICOR ialah:
= 0 + 1 + 2 + 3 + 4 + (3)
Dimana INTRATE (suku bunga riil, dispersed) adalah tingkat bunga, STOCK adalah
keterbukaan pasar modal (% dari saham terjual terhadap PDB), TRADE (% dari ekspor
impor per PDB) adalah keterbukaan perdagangan, dan AGRIVA (% dari nilai tambah
pertanian terhadap PDB) adalah struktur perekonomian berbasis pertanian. INRATE
diekspektasikan memiliki hubungan positif dengan ICOR, karena semakin tinggi suku
bunga, maka sektor riil semakin tidak diminati investor. STOCK diekspektasikan memiliki
hubungan negatif dengan ICOR, karena sesuai Lynch (1995), investasi cenderung memiliki
proporsi lebih tinggi di perekonomian yang memiliki pasar finansial terbuka. TRADE
diekspektasikan memiliki hubungan negatif dengan ICOR, karena semakin terbuka suatu
negara, semakin mampu negara tersebut untuk menarik investasi dengan proporsi yang
lebih tinggi (Salahudin & Islam, 2008), dan AGRIVA diekspektasikan memiliki hubungan
negatif, karena semakin tinggi kontribusi sektor pertanian suatu negara, maka kapital yang
dibutuhkan akan semakin rendah karena sektor pertanian cenderung tidak capital intensive.
Prediksi model dilakukan pada delapan negara Asia yang terkena dampak krisis
1997-1998, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Singapura, Vietnam, Filipina,
dan Hongkong. Data yang digunakan adalah World Development Indicators tahun 2000-2014.
Model diregresi dengan menggunakan metode pooled regression.

Hasil dan Diskusi


Dari delapan negara yang diobservasi, sebagian besar mengalami tren penurunan
ICOR dalam 15 tahun terakhir. Adapun Singapura, Indonesia, dan Hongkong menjadi
anomali karena menunjukkan tren ICOR yang menurun. Adapun pada grafik 4,
ditunjukkan bahwa ICOR dan pendapatan per kapita memiliki hubungan yang berbanding
lurus. Semakin tinggi PDB per kapita suatu negara, semakin tinggi pula ICOR negara
tersebut. Dalam Banerji (1969), disebutkan berbagai hal yang mungkin dapat menjelaskan
hubungan antara ICOR dan PDB per kapita, yaitu adanya peningkatan marginal product of
capital pada negara-negara yang lebih tinggi PDB per kapitanya, maupun, sebaliknya,
negara-negara yang ber PDB per kapita lebih tinggi, cenderung lebih banyak menghabiskan
investasinya untuk barang kapital. Peningkatan ICOR dapat menggambarnya adanya capital
deepening dari suatu negara. Dalam kasus Indonesia, hal ini dapat mencerminkan adanya
transisi menuju struktur ekonomi yang capital intensive. Namun, kedua hubungan tersebu
sifatnya korelatif, yang belum tentu menggambarkan hubungan kausalitas, sehingga,
interpretasinya tidak tereduksi kepada sebab-akibat.
Grafik 3

Grafik 4
Hubungan antara Pendapatan Per Kapita dengan ICOR

Dari model yang dispesifikasikan pada (3), kami melakukan regresi pooled. Hasil dari
regresi tersebut didapati seluruh variabel dependen signifikan pada tingkat 95%, kecuali
variabel INTRATE yang tidak signifikan. Ketidaksignifikansi INTRATE dapat dijelaskan
karena efek dari suku bunga sudah tercermin pada variabel lainnya, yaitu STOCK dan
TRADE, sehingga, ketika dilakukan regresi multivariabel, INTRATE menjadi tidak
signifikan (meskipun ketika dilakukan regresi tunggal, INTRATE signifikan). Adapun arah
seluruh variabel sesuai dengan yang diekspektasikan, kecuali pada variabel STOCK.
Keterbukaan pasar finansial ternyata mempunyai hubungan yang positif dengan ICOR. Hal
ini dapat dijelaskan dengan negara yang cenderung memiliki keterbukaan pasar finansial,
biasanya memiliki struktur finansial yang market-based. Negara-negara market-based,
cenderung memiliki PDB per kapita yang lebih tinggi daripada negara-negara yang bank-
based, hal ini berdasarkan pada temuan (Levine, 1999) yang mendapati bahwa makin kaya
suatu negara, maka makin aktif pula pasar modal di negara tersebut.
Dari hasil koefisien yang tertera pada tabel 1 atas regresi model (3), didapati
perbandingan antara predicted ICOR dan actual ICOR yang tertera pada tabel 2. Berdasarkan
pemodelan tersebut, didapati bahwa ternyata Indonesia tidak termasuk negara yang
mengalami inefisiensi investasi. Dari delapan negara yang diobservasi, negara yang
mengalami inefisiensi investasi adalah Thailand dan Korea. Thailand dan Korea dikatakan
mengalami inefisiensi investasi karena memiliki actual ICOR yang lebih tinggi daripada
predicted ICOR.
Tabel 1
Hasil regresi
COEF t
INTRATE -0,109 -1,39
STOCK -0,003 3,57***
TRADE -0,007 -5,82***
AGRIVA -0,142 -5,68***
_CONS 8,138 16,56***

Tabel 2
Hasil Estimasi Efisiensi Investasi
Country Actual Predicted
ICOR ICOR
Indonesia 5,5 6,3
Singapore 4,3 6,1
Thailand 6,7 6,2
Malaysia 4,2 6,4
Philippines 3,2 6,3
Korea, 8,1 6,3
Rep.
Vietnam 5,0 6,6
Hong Kong 6,2 6,6
Karena hasil estimasi menunjukkan bahwa Indonesia tidak mengalami inefisiensi
investasi, berarti tidak tingginya pertumbuhan ekonomi pasca krisis tidak dapat dijelaskan
oleh inefisiensi investasi. Meskipun begitu, ICOR Indonesia tetap tergolong tinggi. ICOR
Indonesia cenderung lebih tinggi daripada ICOR sebelum krisis. Meskipun ICOR yang
tinggi tidak dapat dikatakan sebagai pasti buruk, namun hal ini mengindikasikan bahwa
Indonesia masih dapat meningkatkan efisiensi kapitalnya lagi. Di sisi lain, ICOR yang
tinggi dapat juga menggambarkan proses transformasi perekonomian Indonesia. Sejak
tahun 2014, Indonesia sedang giat melaksanakan pembangunan infrastruktur fisik, sehingga
tidak mengherankan kalau ICOR saat ini tinggi atau bahkan, cenderung meningkat.

Kesimpulan
Pasca krisis 1997-1998, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah
dibandingkan saat sebelum krisis. Disamping itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga
didorong utamanya dari konsumsi, sementara investasi mengalami stagnansi. Inefisiensi
investasi dicurigai memiliki peran dalam rendahnya pertumbuhan ekonomi pasca krisis,
tetapi, dari hasil yang didapatkan, ternyata tidak terbukti bahwa Indonesia mengalami
inefisiensi investasi. Diluar hal tersebut, ditemukan bahwa ICOR Indonesia tergolong tinggi.
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut apakah tingginya ICOR dalam kasus Indonesia
merupakan indikasi yang positif atau negatif bagi pertumbuhan ekonomi.
Referensi
Banerji, R. (1969). An Experiment with Incremental Capital-Output Ratio. Weltwirtschaftliches
Archiv, 274-277.

Borensztein et. al. (1995). How Does Foreign Direct Investment Affec Economic Growth?
Cambridge, MA: NBER Working Paper.

DeMelo, J. (2015). Developing Countries in the World Economy. Geneva: World Scientific.

Han et. al. (2004). Productivity, Efficiency and Economic Growth: East Asia and the Rest of
the World. The Journal of Developing Areas, 99-118.

Jun, Z. (2003). Investment, investment efficiency, and economic growth in China. Journal of
Asian Economics, 713-734.

Levine, R. (1999). Bank-Based and Market-Based Financial Systems: Cross-Country Comparisons.


America: World Bank Policy Research Working Paper.

Lynch, D. (1995). DOES FINANCIAL SECTOR DEVELOPMENT MATTER TO


INVESTMENT? Savings and Development, 29-60.

Salahudin, M., & Islam, M. R. (2008). Factors Affecting Investment in Developing Countries:
A Panel Data Study. The Journal of Developing Areas, 21-37.

Saleh et. al. (2008). Investigation the Potential of Investment in Agricultural Sector of Iran.
American-Eurasian Journal of Agriculture and Environment, 108-112.

You might also like