You are on page 1of 21

LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki 21 tahun dengan tonsilofaringitis kronik


disertai hipertrofi konka

Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit THT-KL


di RSUD Tugurejo Semarang

Pembimbing :

dr. Yunarti, Sp.THT-KL, M.Si, Med

Disusun oleh :

Ifta Iftati Sadiyah

H2A013015P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL


RSUD TUGUREJO SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Ifta Iftati Sadiyah


NIM : H2A013015P
Fakultas : Kedokteran
Bidang Pendidikan : Ilmu Penyakit THT
Pembimbing : dr. Yunarti, Sp.THT-KL., M.Si, Med

Telah dipresentasikan pada tanggal, 26 Agustus 2017.

Pembimbing

dr. Yunarti, Sp.THT-KL., M.Si, Med


BAB I
PENDAHULUAN

Konka nasalis merupakan salah satu struktur terpenting yang berperan


dalam sistem fisiologi hidung seperti pada proses penyaringan, pemanasan dan
humidifikasi udara yang terinspirasi. Terdapat dua faktor penting yang dapat
berpengaruh terhadap keadaan dari membran mukosa konka yaitu faktor endogen
dan eksogen. Faktor endogen yang berpengaruh yaitu adanya kelainan anatomik
seperti deviasi septum, alergi dan gangguan vasomotor. Faktor eksogen yang
berpengaruh yaitu suhu udara, polusi, kelembapan udara, asap rokok, parfum,
bahan-bahan iritan diketahui dapat merangsang kelenjar-kelenjar di hidung
menjadi lebih hiperaktif sehingga mudah mengalami infeksi berulang dan iritasi.
Mukosa konka yang sering terpapar oleh stimulus eksogen dan endogen akan
menyebabkan kondisi patologis yaitu hipertropi dan atropi.
Hipertrofi konka merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali tahun
1800 yang diartikan sebagai pembesaran konka inferior dan istilah ini masih
dipakai sampai sekarang. Hipertrofi adalah pembesaran dari organ atau jaringan
karena ukuran selnya yang meningkat. Sebaliknya hiperplasia adalah pembesaran
yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah sel. Hiperplasia dan hipertrofi lapisan
mukosa dan tulang dari konka inferior merupakan dua faktor yang dapat
menerangkan terjadinya pembesaran konka inferior.
Berdasarkan data DEPKES RI tahun 2003, penyakit hidung dan sinus
berada pada urutan ke 25 dari 50 penyakit yang sering ditemukan atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan. 8 Menurut suatu penelitian di Eropa, diketahui
bahwa 20% dari penderita sumbatan hidung kronik disebabkan oleh hipertropi
konka. Penatalaksanaan hipertrofi konka dapat dilakukan dengan medikamentosa
dan pembedahan. Pembedahan dilakukan bila medikamentosa gagal.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan radiologi dan rhinomanometry.
Anamnesis yang cermat mengenai riwayat hidung tersumbat sebagai akibat
hipertrofi konka. Keluhan lain dapat berupa sakit kepala, gangguan penghidu, rasa
kering dan kasar pada faring. Keluhan ini dapat diikuti dengan adanya post nasal
drip, sekresi hidung yang berlebih serta gangguan fungsi tuba.
BAB II
LAPORAN KASUS

1. Identitas pasien
a. Nama : Tn. A
b. Usia : 21 Tahun
c. Jenis kelamin : Laki-laki
d. Alamat : Semarang
e. Pekerjaan : Mahasiswa
f. Agama : Islam
g. Tanggal periksa : 22 Agustus 2018
2. Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis di Poli THT RSUD Tugurejo pukul 11.00
WIB.
a. Keluhan utama : pilek
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poli THT untuk kontrol. Pilek dirasakan sejak 1
minggu yang lalu, dirasakan secara tiba-tiba, hilang timbul dan sedikit
mengganggu aktivitas. Pilek dengan ingus berwarna putih encer tetapi
sedikit. Berkurang jika diberikan obat.
Gejala penyerta lain seperti sakit kepala, nyeri telan dan kadang
merasakan sesak, seperti demam (-), bersin-bersin (-), tenggorokan
kering (-), nafas bau (-), badan lemas (-), batuk (-), tidur mengorok (-),
nyeri telinga (-), keluar cairan dari telinga (-), berdenging (+) dan
penurunan pendengaran (-).
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat sakit serupa : diakui
Riwayat masuk RS dengan sakit serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat tonsilitis : diakui, sejak tahun 2014.
Riwayat bronkitis : disangkal
Riwayat sakit gigi : disangkal
d. Riwayat keluarga
Riwayat sakit serupa : diakui
Riwayat tonsilitis : diakui, ibu pasien
Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat pribadi dan kebiasaan
Merokok : disangkal
Sering terpapar debu : diakui
Kebiasaan memakai masker : disangkal
Mengkonsumsi alkohol : disangkal
f. Riwayat sosial ekonomi
Pasien menggunakan BPJS Non PBI. Kesan ekonomi cukup.
3. Pemeriksaan fisik
Status Generalisata
a. Keadaan umum : baik
b. Kesadaran : compos mentis
c. Tanda vital :
TD : 120/78 mmHg
Nadi : 87 x/menit
RR : tidak dilakukan
Suhu : tidak diukur
d. Status gizi
BB : 60 kg
TB : 168 cm
IMT : 21,2 (normoweight)
e. Kepala : mesosephal
f. Wajah : simetris

g. Mata : konjungtiva anemis (-/-), konjungtiva hiperemis (-/-),


sklera ikterik (-/-), reflek pupil (+/+).
h. Leher : pembesaran kelenjar getah bening submandibula (-).
Status Lokalis
Mulut dan Tenggorok
Bagian Kelainan Keterangan
Mulut Bibir Stomatitis (-), hiperemis (-), krusta (-),
ulkus (-)
Gigi geligi Karies (-), gangren (-), missing teeth (-)
Gusi Gingivitis (-)
Lidah Simetris, hiperemis (-), atrofi (-),
stomatitis (-)
Mukosa buccal Merah muda, hiperemis(-), stomatitis (-),
massa (-) edema (-)
Palatum durum Merah muda, hiperemis (-), ulkus (-)
Palatum mole Merah muda, hiperemis (-), ulkus (-)
Uvula Ditengah, hiperemis (-), ulkus (-)
Tonsil Ukuran T2 T 2
Warna Hiperemis (-/-)
Permukaan rata kanan dan kiri
Kripte Melebar kanan dan kiri
Detritus (-/-)
Faring Mukosa Hiperemis (-), hipertrofi (-), atrofi (-)
Granulasi (+)
Post nasal drip (-)

Hidung
Pemeriksaan hidung luar Kanan Kiri

Bentuk hidung Dbn Dbn


Warna Kulit Dbn Dbn
Massa pada hidung luar - -
Nyeri tekan pada proyeksi - -
sinus paranasal
Nyeri ketok pada proyeksi - -
sinus paranasal
Sekret yang keluar - -
RINOSKOPI ANTERIOR
Mukosa
a. hiperemis - -
b. pucat - -
Septum deviasi - -
Konka hipertrofi + +
Sekret (serous, mukoid, - -
purulen)
Massa - -
Korpal - -
Krusta - -

Telinga
Pemeriksaan telinga Kanan Kiri

Fistel preaurikula - -
Mikrotia - -
Hemangioma - -
Tanda peradangan/sikatriks - -
bekas operasi
Radang, abses, fistel - -
retroaurikula
Nyeri tekan tragus - -
Nyeri tarik aurikula - -
Nyeri ketok mastoid - -
Sekret yang keluar dari - -
telinga
CAE
Radang liang telinga
a. Furunkel - -
b. Granulasi - -
c. radang difus - -
d. jamur - -
Korpal/ serangga - -
Discharge (serous, mucous, - -
purulen, sanguineus)
Seruman (cair, lunak, padat, - -
keras)
MT
Intak/perforasi Intak Intak
Intak
a. hiperemis - -
b. reflek cahaya (+) jam 5 (+) jam 7
c. bulging - -
d. retraksi - -
Perforasi - -
a. central/marginal
b. total/subtotal
c. jumlahnya
4. Pemeriksaan penunjang
-

5. Resume
Pasien datang ke poli THT untuk kontrol. Pilek dirasakan sejak 1
minggu yang lalu, dirasakan secara tiba-tiba, hilang timbul dan sedikit
mengganggu aktivitas. Pilek dengan ingus berwarna putih encer tetapi
sedikit. Berkurang jika diberikan obat.
Gejala penyerta lain seperti sakit kepala, nyeri telan dan kadang
merasakan sesak, seperti demam (-), bersin-bersin (-), tenggorokan kering
(-), nafas bau (-), badan lemas (-), batuk (-), tidur mengorok (-), nyeri
telinga (-), keluar cairan dari telinga (-), berdenging (+) dan penurunan
pendengaran (-).
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan hidung : konka hipertrofi.
Tonsil ukuran T2-T2, kripte melebar dan terdapat granulasi.
6. Diagnosis banding
a. Hidung
- Hipertrofi konka
- Rhinitis alergi
b. Tenggorokan
- Tonsilofaringitis kronik
- Tonsilofaringitis kronik eksaserbasi akut
7. Diagnosis kerja
Tonsilofaringitis kronik dengan hipertrofi konka
8. Penatalaksanaan
Medikamentosa
R/ Metilprednisolon tab 4 mg No. X
2 dd 1 tab
R/ Rhinofed tab No. XV
2 dd 1 tab

Non medikamentosa
- Menghindari faktor pemicu
- Memakai masker
- Istirahat yang cukup
9. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad sanam : Dubia ad bonam
Qou ad functionam : Dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipertrofi konka

1. Anatomi dan histologi hidung


Kavum nasi atau yang sering disebut sebagai rongga hidung
memiliki bentuk seperti terowongan yang dipisahkan oleh septum nasi
pada bagian tengahnya sehingga akan menjadi kavum nasi kanan dan
kiri. Setiap kavum nasi ini mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding
lateral, medial, superior dan inferior.
Kavum nasi berbatasan secara lateral dengan dinding lateral
hidung. Struktur-struktur penting terdapat pada dinding lateral ini yaitu
konka nasalis, ostium sinus dan orifisium duktus lakrimal. Konka
nasalis terdiri dari konka inferior, konka media, konka superior dan
suprema. Konka suprema ini rudimenter. Diantara ketiganya yang
terbesar adalah konka inferior.
Secara embriologi konka inferior berasal dari prominens
maksilofasial. Panjangnya kira-kira 50-60 mm dengan tinggi 7,5 mm
dan lebar 3,8 mm. Sementara itu konka media berkembang dari
etmoturbinal kedua. Panjang konka ini 40 mm, dengan tinggi rata-rata
14,5 mm dan tinggi 7 mm. Konka superior berasal dari etmoturbinal
ketiga dan konka suprema dari etmoturbinal kelima.
Konka nasalis mempunyai segmen yang terbagi atas 3 segmen
yaitu segmen anterior atau head, segmen media atau body dan segmen
posterior atau tail. Konka suprema, superior dan media merupakan
bagian dari labirin etmoid. Konka inferior merupakan tulang tersendiri
yang melekat pada labirin etmoid dan tulang maksila. Diantara tiap
konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga kecil atau yang
sering disebut sebagai meatus. Berdasarkan letaknya terdapat tiga
macam meatus yaitu meatus superior, media dan inferior. Meatus
superior merupakan muara dari sinus etmoidalis posterior dan sinus
sfenoidalis. Meatus media merupakan muara dari sinus frontalis, sinus
maksilaris dan sinus etmoidalis anterior, sedangkan meatus inferior
merupakan muara dari duktus nasolakrimalis
Konka mempunyai peran penting dalam fisiologi hidung. Hal ini
dikarenakan struktur konka yang terdiri atas lapisan mukosa pada
bagian luar dan lapisan tulang pada bagian dalam. Bagian medial lebih
tebal dari bagian lateral. Lapisan mukosa konka merupakan mukosa
respiratory (mukosa pernapasan) yang tersusun atas epitel kolumnar
pseudostratifed bersilia dengan sel goblet dan banyak mengandung
pembuluh darah dan kelenjar lendir. Epitel dipisahkan dengan lamina
propria oleh lamina basalis. Lamina propria bagian medial lebih tebal
dari bagian lateral. Mukosa ini berisi jaringan penunjang yang
mengandung sedikit limfosit, kelenjar seromukus, banyak sinus
venosus pada dinding lateral yang tipis dan sedikit arteri.
Lapisan tulang terdiri dari tulang cancellous. Tulang bagian
anterior lebih tebal dari bagian posterior. Rata-rata tulang ini tebalnya
1,2 mm secara histologi. Bagian paling anterior dari konka tidak
mengandung pembuluh darah sehingga reseksi pada bagian ini tidak
direkomendasikan karena menghilangkan obstruksi hidung.
2. Definisi
Istilah hipertropi konka pertama kali diperkenalkan pada tahun
1800 yang diartikan sebagai pembesaran mukosa hidung pada konka.
Hal ini berkaitan dengan bertambahnya ukuran sel mukosa konka.
Hiperplasia konka berkaitan dengan bertambahnya jumlah sel mukosa
konka. Hipertropi konka dapat terjadi secara unilateral atau bilateral.
Hipertropi konka unilateral berhubungan dengan deviasi
kongenital atau deviasi septum kontralateral sebagai kompensasi untuk
melindungi mukosa hidung dari pengeringan akibat aliran udara
berlebih. Hipertropi konka bilateral disebabkan oleh peradangan
hidung sebagai akibat dari alergi dan non-alergi, pemicu lainnya
adalah lingkungan (seperti debu dan tembakau) dan kehamilan.
3. Etiologi
Terdapat dua faktor penting yang dapat berpengaruh terhadap
keadaan dari membran mukosa konka yaitu faktor endogen dan
eksogen. Faktor endogen yang berpengaruh yaitu adanya kelainan
anatomik seperti deviasi septum, alergi dan gangguan vasomotor.
Faktor eksogen antara lain yaitu suhu udara, polusi, kelembapan udara,
asap rokok, parfum, bahan-bahan iritan diketahui dapat merangsang
kelenjar-kelenjar di hidung menjadi lebih hiperaktif sehingga mudah
mengalami infeksi berulang dan iritasi.
4. Patogenesis

Penyebab umum dari terjadinya hipertropi konka inferior adalah


infeksi berulang pada hidung dan sinus serta iritasi kronis mukosa
hidung yang disebabkan oleh asap rokok dan bahan iritan industri.
Rhinitis alergi, rhinitis non alergi atau yang sering disebut sebagai
rinitis vasomotor, dan penggunaan tetes hidung yang berkepanjangan
juga dapat menyebabkan terjadinya penyakit hipertropi konka inferior.
Kasus septum deviasi, pada sisi hidung kontralateral dapat terjadi
hipertropi konka inferior dan media. Hal ini merupakan suatu
mekanisme kompensasi untuk memperkecil luasnya rongga hidung.
Rangsangan yang berlangsung berulang dan lama terhadap
membran mukosa hidung akan mengakibatkan penebalan pada mukosa
konka dan pelebaran pada pembuluh darah mukosa terutama pleksus
kavernosus konka. Struktur lapisan epitel mukosa konka akan berubah
menjadi kuboid bertingkat, silia menghilang dan jumlah sel goblet
meningkat apabila hal tersebut dibiarkan dalam jangka waktu panjang.
Lapisan submukosa akan terjadi edema, infiltrasi sel plasma, sel bulat
dan fibroblas serta pleksus kavernosus konka mengalami pelebaran
sementara otot polosnya mengalami atrofi.
5. Patofisiologi
Hipertropi konka merupakan suatu istilah yang menunjukkan
adanya perubahan mukosa hidung pada konka inferior. Penyebabnya
adalah peradangan kronik yang disebabkan oleh infeksi bakteri primer
dan sekunder. Penyebab non bakteri seperti sebagai lanjutan dari
rhinitis alergi, rhinitis vasomotor dan kompensasi septum deviasi
kontralateral juga dapat menyebabkan hipertropi konka inferior.
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit peradangan yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sudah tersensitasi
alergen sebelumnya dan dimediasi oleh suatu mediator kimia ketika
terjadi infeksi berulang dengan alergen tersebut. Perjalanan penyakit
dari rhinitis alergi ini diawali dengan tahap sensitisasi dan kemudian
dilanjutkan dengan tahap provokasi atau reaksi alergi. Tahap provokasi
atau reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak
kontak pertama dengan alergen hingga 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang terjadi
selama 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam setelah terpapar alergen (fase
hiperreaktivitas) dan dapat terjadi selama 24-48 jam.

Tahap sensitisasi terjadilah kontak pertama antara tubuh dengan


alergen. Alergen yang terinspirasi bersama dengan udara pernapasan
akan terdeposit di permukaan mukosa hidung kemudian akan di fagosit
oleh makrofag atau monosit yang berfungsi sebagai sel penyaji antigen
antigen presenting cell (APC), selanjutnya di dalam endosom antigen
diproses membentuk fragmen peptida yang berukuran pendek dan
berikatan dengan molekul (human lupus antibody) HLA kelas II
membentuk kompleks major histocompatibility complex (MHC) kelas
II yang dipresentasikan oleh sel T helper (Th0), kemudian sitokin akan
dilepaskan oleh sel penyaji seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk melakukan proses proliferasi menjadi Th1
dan Th2.
Sel Th2 akan memproduksi berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4,
IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 akan mengaktifkan sel limfosit B
dengan pengikatan oleh reseptor yang berada di permukaan sel limfosit
B sehingga immunoglobulin E (IgE) dapat diproduksi. IgE yang
terdapat pada sirkulasi darah akan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mediator (sel mastoid atau sel basofil) dan menjadikan
kedua sel tersebut aktif. Proses ini menghasilkan sel mediator
tersensitisasi yang terpapar oleh alergen yang sama sehingga disebut
sebagai tahap sensitisasi. Hal ini berarti bahwa individu tersebut telah
menjadi hipersensitif terhadap alergen tertentu.
Mukosa yang telah tersensitisasi tersebut apabila terpapar
kembali oleh alergen yang sama, maka kedua rantai IgE tersebut akan
mengikat alergen spesifik dan menyebabkan terjadinya degranulasi sel
basofil dan mastosit. Hal ini mengakibatkan mediator kimia yang
sudah terbentuk preformed mediators seperti histamin menjadi
terlepas. Selain itu, terdapat pula newly formed mediators seperti
prostaglandin D2 (PGD2), leukotrient C4 (LTC4), leukotrient D4
(LTD4), berbagai sitokinin (IL 3, IL 4, IL 5, IL 6), bradikinin,
granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF), platelet
activating factor (PAF) dan lain sebagainya. Proses pelepasan histamin
tersebut inilah yang kemudian disebut sebagai reaksi alergi fase cepat
(RAFC).
Histamin yang terlepas akan merangsang mukosa pada dinding
lateral hidung (konka) dan terjadi pengeluaran inter cellular adhesion
molecule 1 (ICAM 1) sehingga menyebabkan penebalan mukosa atau
sering disebut sebagai hipertropi. Histamin juga akan merangsang
reseptor histamin 1 (H1) yang terdapat pada ujung saraf vidianus
sehingga menyebabkan munculnya gejala bersin dan sensasi rasa gatal
(pruritus) pada hidung. Histamin juga menyebabkan hipersekresi dan
peningkatan permeabilatas kapiler pada kelenjar mukosa dan sel goblet
sehingga sekresi hidung (lendir) berlebihan atau disebut sebagai
rhinorrhea. Akibat dari sekresi hidung yang berlebihan akan
menimbulkan obstruksi saluran napas. Obstruksi saluran napas akan
mempengaruhi fungsi penghidu, menyebabkan lendir jatuh ke
tenggorokan (post nasal drip) dan kesulitan bernapas saat tidur
sehingga akan menyebabkan gangguan pola tidur. Adanya lendir pada
saluran napas dapat membawa alergen masuk kedalam tuba eustacius
sehingga menyebabkan gangguan fungsi tuba.
Rhinitis vasomotor merupakan penyakit idiopatik yang bersifat
non-alergi yang disebakan oleh karena kelainan neuro vaskuler
pembuluh darah pada mukosa hidung. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya rhinitis vasomotor adalah faktor fisik,
endokrin, psikis dan obat-obatan. Mukosa hidung yang terus terpapar
oleh faktor-faktor tersebut akan mengakibatkan adanya reaksi
hipersensitivitas.
Serabut saraf parasimpatis berasal dari nukleus salivatori
superior menuju ganglion sphenopalatina kemudian membentuk
n.Vidianus yang akan menginervasi kapiler darah dan kelenjar
eksokrin, apabila terdapat rangsangan maka akan terjadi pelepasan
vasoaktif intestinal peptida dan ko-transmitter asetilkolin yang
mengakibatkan dilatasi arteriola dan kapiler darah serta sekresi hidung
berlebihan (rhinorrhea) sehingga terjadi kongesti hidung. Rhinitis
vasomotor juga bisa disebabkan oleh karena ketidakseimbangan dari
impuls sarat otonom di mukosa hidung yang mengakibatkan
peningkatan aktivitas sistem parasimpatis.
6. Manifestasi klinis

Gejala utama dari hipertropi konka inferior adalah sumbatan


hidung kronik, sekret hidung yang berlebihan, kental dan
mukopurulen. Biasanya sekret hidung mukopurulen ditemukan didasar
rongga hidung dan diantara konka inferior dan septum. Beberapa
penderita hipertropi konka inferior juga mengeluhkan gangguan
penghidu, adanya sakit kepala, kepala terasa berat, rasa kering pada
faring, adanya post nasal drip, gangguan fungsi tuba dan penurunan
produktivitas kerja.
Konka akan tampak membengkak dan berwarna merah pada
tahap awal pemeriksaan, kemudian apabila sudah terdiagnosis terjadi
hipertropi konka maka mukosa konka menebal dan apabila ditekan
tidak melekuk. Hipertropi konka dapat terjadi sebagian ataupun
seluruh bagian dari konka inferior. Hipertropi dapat pula terjadi pada
konka media namun jarang.
7. Diagnosis

Penderita hipertropi konka inferior dapat didiagnosis dengan


cara melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan radiologi dan rhinomanometry.
Anamnesis yang dilakukan haruslah cermat terutama untuk
mengetahui adakah riwayat sumbatan hidung sebagai akibat dari
hipertropi konka serta untuk mengetahui keluhan lainnya.
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan rinoskopi anterior dan
posterior. Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat menilai ukuran
pembesaran konka dengan melihat septum nasi dan dinding lateral
hidung. Obat vasokonstriktor lokal dapat diberikan bila diperlukan
supaya memperluas jangkauan pandangnya. Pemeriksaan rinoskopi
posterior dapat menilai batas pemisah antara konka kanan dan kiri serta
ujung posterior konka media dan konka inferior.
Berdasarkan letaknya, ukuran pembesaran konka anterior
terbagi atas tiga yaitu:
a) pembesaran konka inferior mencapai garis yang terbentuk antara
middle nasal fosa dengan lateral hidung.
b) pembesaran konka inferior melewati sebagian dari kavum nasi.
c) pembesaran konka inferior mencapai nasal septum.
Berdasarkan derajatnya, ukuran pembesaran konka terbagi atas
empat yaitu:
a) Normal, apabila konka inferior tidak ada kontak dengan septum
atau dasar hidung.
b) Hipertropi ringan, apabila terjadi kontak dengan septum.
c) Hipertropi sedang, apabila terjadi kontak dengan septum dan dasar
hidung.
d) Hipertropi berat apabila terjadi kontak dengan septum, dasar
hidung dan kompartemen superior sehingga akan terjadi sumbatan
hidung total.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita
hipertropi konka inferior yaitu pemeriksaan radiologi, rhinomanometry
dan pemeriksaan peak nasal inspiratory flow (PNIF). Pemeriksaan
radiologi tidak harus dilakukan untuk menilai sumbatan hidung.
Pemeriksaan rhinomanometry dan PNIF dapat gunakan untuk
menentukan besarnya aliran udara dan tahanan dalam rongga hidung.
8. Penatalaksanaan
a) Medikamentosa

Penatalaksanaan dengan medikamentosa bertujuan untuk


mengatasi faktor etiologi dan sumbatan hidung dengan cara
memperkecil ukuran konka. Sinus venosus akan mengalami
pengisian pada kasus pembesaran konka akut. Pemberian
dekongestan topikal dapat mengurangi pembesaran konka.
Terapi medikamentosa lain yang dapat diberikan antara lain
kortikosteroid, sel mast stabilizer, antihistamin, dan
imunoterapi.
Pemberian dekongestan baik secara lokal maupun sistemik
efektif dalam mengobati sumbatan hidung karena hipertropi
konka, namun penggunaan dekongestan sistemik oral dapat
menimbulkan efek samping berupa palpitasi dan kesulitan tidur.
Penggunaan dekongestan topikal dalam jangka waktu panjang
dapat menyebabkan terjadinya rinitis medikamentosa (rebound
nasal congestion) dan takifilaksis.
Pemberian kortikosteroid juga efektif dalam mengobati
sumbatan hidung, namun dapat menyebabkan terjadinya hidung
berdarah, krusta dan mukosa hidung mengering. Kortikosteroid
juga dapat mengurangi hiperresponsif saluran respirasi dan
menekan terjadinya perdarahan tetapi proses mekanisme dan
target seluler belum dapat diketahui
b) Operatif
Jaringan ikat telah terbentuk pada kasus kronik. Hal ini
disebabkan oleh proses inflamasi kronik yang tidak dapat tertangani
oleh terapi medikamentosa setelah 2 bulan pengobatan. Tindakan
operatif atau pembedahan sangat dianjurkan apabila hal tersebut
terjadi.
Teknik pembedahan reduksi konka secara garis besar terbagi
atas dua kelompok yaitu turbinoplasty dan turbinectomy.
Turbinopasty adalah teknik reduksi konka yang mempertahankan
agar mukosa hidung tetap utuh, sedangkan turbinektomi adalah
teknik reduksi konka yang memotong bagian konka yang mengalami
pembesaran. Teknik reduksi konka yang menjadi pilihan saat ini
adalah teknik turbinoplasty dengan menggunakan teknik
mikrodebrider dan teknik termal seperti dengan radiofrekuensi atau
koblasi. Keunggulan dari teknik pembedahan reduksi konka
radiofrekunsi adalah mukosa tetap utuh, dapat dilakukan dalam
anastesi lokal dan suhu panas yang dihasilkan pada lapisan
submukosa berkisar antara 60-90C.
Tujuan utama dilakukannya tindakan operatif ini yaitu untuk
menghilangkan sumbatan hidung dan mempertahankan fungsi
fisiologis hidung. Teknik pembedahan yang ideal memang tidak ada,
setiap teknik memiliki keunggulan dan kelemahan seperti adanya
kompilkasi jangka pendek dan panjang. Komplikasi jangka panjang
yaitu perdarahan dan rinitis atropi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Former SEJ, Eccles R. Chronic inferior turbinate enlargement and


implications for surgical intervention. Rhinology 2006; 44:234-8.

2. Mangunkusumo E, Rifki N. Infeksi hidung. In: Soepardi EA, Iskandar N


(Ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-5. Balai Penerbit FK UI:
Jakarta; 2001.p.111-2.

3. Ginros G, Kartas I, Balatsauras D, Kandilaros, Mathos AK.


Mucosal change in chronic hypertrophic rhinitis after surgical
turbinate reduction. Eur Arch Otorhinolaryngol 2009; 266:1409-16.
4. Fradis M, Golz A, Danino J, et al. Inferior turbinectomy versus
submucosal diathermy for inferior turbinate hypertrophy. Annals of
Otology Rhinology & Laryngology 2000;109:1040-5

5. Quinn FB, Ryan MW, Reddy SS. Turbinate dysfunction: focus on the role
of the inrferior turbinates in nasal airway obstruction. Grand Rounds
Presentations UTMB, Dept of Otolaryngol 2003:1-11.

6. Lufti H, Mangunkusumo E, Soetjipto D. Pematahan multipel tulang konka


submukosal pada hipertrofi konka inferior. In: Kumpulan Naskah
Ilmiah Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis
Telinga, Hidung, Tenggorok Indonesia. Batu-Malang; 1999.p.715-9

You might also like