You are on page 1of 65

PENENTUAN SEBARAN AKUIFER

DENGAN METODE TAHANAN JENIS (RESISTIVITY METHOD)


DI KOTA TANGERANG SELATAN, PROVINSI BANTEN

SKRIPSI

ARLAND ASRA
F44080056

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

iii
PENENTUAN SEBARAN AKUIFER
DENGAN METODE TAHANAN JENIS (RESISTIVITY METHOD)
DI KOTA TANGERANG SELATAN, PROVINSI BANTEN

Oleh
ARLAND ASRA
F44080056

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

iv
DETERMINATION OF AQUIFER DISTRIBUTION USING RESISTIVITY
METHOD IN SOUTH TANGERANG, BANTEN PROVINCE

A. Asra1, RSB. Waspodo2


Department of Civil and Environmental Engineering, Faculty of Agricultural Technology,
Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.
Email: 1Arland.asra@yahoo.com, 2rohsby@yahoo.com

ABSTRACT

Water is a basic requirement for humans being. The population growth can result a higher water
demand. Surface water quality is declining due to human activities that make the usage of
groundwater increased. The excessive exploration of groundwater can result soil subsidence, it is
necessary to study the characteristics of groundwater. This study aimed to identify the lithology of
soil, the position and thickness of aquifer, and to analyze aquifer distribution at the research area.
The resistivity method was used to to identivity the lithology of soil. Analysis results showed that the
depth of unconfined aquifer at the research area was 3,00-44,73 m below soil surface with a
thickness of 2-12 m. Litology of soil was a clay and tufaan sand. The depth of confined aquifer
was 80-130 m below soil surface with a thickness of more than 75 m. Groundwater flow patterns at
the research location headed toward the north.

Keywords: aquifer distribution, geoelectric, lithology, resistivity method, groundwater flow pattern

v
ARLAND ASRA. F44080056. Penentuan Sebaran Akuifer dengan Metode Tahanan Jenis
(Resistivity Method) di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Dibimbing oleh Roh Santoso
Budi Waspodo.

RINGKASAN

Air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk melangsungkan kehidupan dan meningkatkan
kesejahteraannya. Dinamika pembangunan Kota Tangerang Selatan menuju kepada profil Kota
Metropolitan yang sampai saat ini menunjukan trend positif. Dengan begitu kebutuhan akan air akan
meningkat seiring dengan bertambahnya aktivitas masyarakat, dilain pihak terjadi penurunan kualitas
air permukaan akibat aktivitas manusia sehingga mengakibatkan masyarakat beralih menggunakan
airtanah. Pemanfaatan airtanah yang berlebihan dapat mengakibatkan dampak yang negatif bagi
lingkungan, untuk itu perlu adanya kajian karakteristik airtanah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi litologi lapisan tanah, menentukan posisi akuifer
dan ketebalannya, serta menganalisis sebaran akuifer di lokasi penelitian. Salah satu cara untuk
mengetahui adanya lapisan pembawa air adalah dengan metode tahanan jenis (resistivity method),
yakni dengan alat geolistrik beserta peralatan pendukungnya. Penyelidikan geolistrik dilakukan atas
dasar sifat fisika batuan terhadap arus listrik, karena setiap jenis batuan akan memberikan tahanan
jenis yang berbeda pula. Dengan memanfaatkan sifat ini lapisan akuifer yang mengandung airtanah
dapat diduga berdasarkan nilai resistivitasnya.
Penelitian ini dilakukan di tujuh kecamatan Kota Tangerang Selatan yaitu Kecamatan Setu,
Kecamatan Serpong, Kecamatan Serpong Utara, Kecamatan Pondok Aren, Kecamatan Pamulang,
Kecamatan Ciputat dan Kecamatan Ciputat Timur. Pada masing-masing kecamatan ditentukan dua
titik pengukuran geolistrik untuk mendapatkan gambaran umum sebaran akuifer di Kota Tangerang
Selatan, Provinsi Banten.
Berdasarkan hasil interpretasi pendugaan geolistrik pada 14 titik duga setelah dikorelasikan
dengan data geologi dan hidrogeologi setempat, di daerah penyelidikan pendugaan geolistrik ini
bertahanan jenis sebesar 0,64198,13 ohmmeter. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, akuifer
yang berkembang di daerah penelitian Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten berlitologi pasir
lempungan dengan nilai tahanan jenis berkisar antara 2-5 ohmmeter, pasir tufaan dengan nilai tahanan
jenis berkisar antara 6-10 ohmmeter, dan pasir konglomeratan dengan nilai tahanan jenis > 10
ohmmeter.
Akuifer yang berkembang di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten dapat dibedakan menjadi
akuifer dangkal dan akuifer dalam. Ketebalan akuifer dangkal (pada kedalaman < 50 m) di Kota
Tangerang Selatan bervariasi antara 2-12 m pada kedalaman 3-44,73 m di bawah permukaan tanah
(bmt). Akuifer dalam (pada kedalaman > 50 m) berada pada kedalaman 80-130 m di bawah
permukaan tanah dengan ketebalan > 75 m. Sebaran akuifer di wilayah studi merupakan akuifer
endapan aluvial atau endapan permukaan, dan endapan sedimen, dengan sistem aliran airtanah pada
akuifer ini adalah melalui ruang antar butir. Pola aliran airtanah dangkal mengikuti bentuk umum
topografi yaitu mengalir ke arah Utara dimana sebaran akuifer bebas semakin ke Utara semakin
dangkal.

Kata Kunci : sebaran akuifer, geolistrik, litologi, metode tahanan jenis, pola aliran airtanah

vi
PENENTUAN SEBARAN AKUIFER
DENGAN METODE TAHANAN JENIS (RESISTIVITY METHOD)
DI KOTA TANGERANG SELATAN, PROVINSI BANTEN

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar
SARJANA TEKNIK
pada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor

Oleh
ARLAND ASRA
F44080056

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

vii
Judul skripsi : Penentuan Sebaran Akuifer Dengan Metode Tahanan Jenis (Resistivity Method)
Di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten
Nama : Arland Asra
NIM : F44080056

Menyetujui,
Pembimbing Akademik,

(Dr. Ir. Roh Santoso Budi Waspodo, MT)


NIP 19620714 198703 1 004

Mengetahui :
Ketua Departemen.

(Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, Ms)


NIP 19561025 198003 1 003

Tanggal ujian : 21 juni 2012 Tanggal Lulus :

viii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Penentuan Sebaran
Akuifer dengan Metode Tahanan Jenis (Resistivity Method) di Kota Tangerang Selatan, Provinsi
Banten adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik dan belum
diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2012


Yang membuat pernyataan

Arland Asra
F44080056

ix
Hak cipta milik Arland Asra, tahun 2012
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis


dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,
baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

x
BIODATA

Arland Asra. Lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat pada tanggal 11 Mei 1990
dan merupakan anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Bapak
Djanuir dan Ibu Desita Asra. Pada tahun 2002 penulis menyelesaikan
pendidikan di SDN 09 Pakan Kurai, Kota Bukittinggi. Kemudian penulis
melanjutkan pendidikan pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri Enam
(SLTPN6) di Kota Bukittinggi dan lulus tahun 2005. Tahun 2005 penulis
melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas Negeri Lima (SMAN5)
di Kota Bukittinggi dan lulus tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis diterima
sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui SNMPTN di Departemen Teknik Sipil &
Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menjadi mahsiswa penulis aktif mengikuti
seminar-seminar kewirausahaan, selain juga aktif melakukan kegiatan di UKM IPB. Selain itu penulis
sempat aktif di organisasi Ikatan Persatuan Mahasiswa Minang (IPMM). Penulis melakukan kegiatan
Praktek Lapang di PT. Sari Aditya Loka I di Kabupaten Muaro Bungo, Provinsi Jambi dengan topik
Pengolahan Limbah Pabrik Sawit di PT. Sari Aditya Loka I . Selanjutnya penulis melakukan
penelitian di bidang hidrogeologi dengan judul Penentuan Sebaran Akuifer dengan Metode Tahanan
Jenis (Resistivity Method) di Kota Tenggerang Selatan, Provinsi Banten di bawah bimbingan Dr. Ir.
Roh Santoso Budi Waspodo, MT. Penulis menyelesaikan program sarjana pada tahun 2012.

xi
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karuniaNya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam tidak lupa dipanjatkan
kepada Nabi Muhammad SAW atas segala suritauladan yang telah diberikan. Laporan penelitian ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Departemen Teknik Sipil
dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor.
Laporan ini ditulis berdasarkan kegiatan penelitian yang dilaksanakan di Kota Tangerang
Selatan, Provinsi Banten pada bulan November 2011.
Pada kesempatan ini diucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Roh Santoso Budi Waspodo, MT selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak
memberikan saran dan bimbingan dalam bidang akademik, moral, dan spiritual.
2. Dr. Ir. Nora H Panjaitan, DEA dan Dr. Ir. Meiske Widyarti, MEng sebagai dosen penguji atas
segala masukannya untuk kelengkapan skripsi ini.
3. Bapak, ibu, dan keluarga tercinta yang selalu memberikan doa dan dukungan secara moral maupun
spiritual dalam penyusunan skripsi ini.
4. Teman-teman senasib seperjuangan di Teknik Sipil dan Lingkungan 45 dan tim BLH serta bang
Penki Irawan, S.TP, atas bantuan dan dorongan semangatnya selama pelaksanaan studi, penelitian
dan penyusunan skripsi.
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu terlaksananya
penelitian hingga tersusunnya laporan ini.
Disadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu diharapkan saran dan
kritikan sebagai bahan perbaikan laporan ini. Laporan ini diharapkan dapat bermamfaat bagi semua
pihak yang memerlukannya.

Bogor, Juli 2012

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................................... iii


DAFTAR TABEL.................................................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................................vi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 1
1.1 LATAR BELAKANG........................................................................................................... 1
1.2 TUJUAN PENELITIAN ....................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................................. 3
2.1 SIKLUS HIDROLOGI .......................................................................................................... 3
2.2 SUMBER DAYA AIR .......................................................................................................... 4
2.3 AIRTANAH .......................................................................................................................... 5
2.4 GEOFISIKA .......................................................................................................................... 8
2.5 GEOLISTRIK ....................................................................................................................... 9
III. METODOLOGI .......................................................................................................................... 13
3.1 WAKTU DAN TEMPAT ................................................................................................... 13
3.2 ALAT DAN BAHAN ......................................................................................................... 13
3.3 METODE PENELITIAN .................................................................................................... 14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................................... 17
4.1 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN.................................................................... 17
4.2 IDENTIFIKASI AKUIFER DAN PENDUGAAN GEOLISTRIK ..................................... 21
4.3 PENAMPANG TEGAK TAHANAN JENIS PENGUKURAN PRIMER ......................... 22
4.4 SEBARAN AKUIFER ........................................................................................................ 33
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................................... 36
5.1 KESIMPULAN ................................................................................................................... 36
5.2 SARAN ............................................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 37
LAMPIRAN ......................................................................................................................................... 38

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perkiraan jumlah sumber daya air di dunia .............................................................................. 5


Tabel 2. Jenis-jenis metode geofisik. ..................................................................................................... 8
Tabel 3. Keunggulan geolistrik ............................................................................................................ 10
Tabel 4. Nilai tahanan jenis batuan ...................................................................................................... 16
Tabel 5. Banyaknya curah hujan dan hari hujan .................................................................................. 21
Tabel 6. Dugaan tahanan jenis daerah lokasi penelitian ....................................................................... 22
Tabel 7. Hasil interpretasi data geolistrik (GL.1-GL.7) ....................................................................... 29
Tabel 8. Hasil interpretasi data geolistrik (GL.8-GL.14) ..................................................................... 30

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Siklus hidrologi .................................................................................................................... 3


Gambar 2. Kondisi akuifer secara ideal ................................................................................................. 5
Gambar 3. Konfigurasi Wenner ........................................................................................................... 11
Gambar 4. Konfigurasi Schlumberger.................................................................................................. 12
Gambar 5. Nilai tahanan jenis batuan .................................................................................................. 15
Gambar 6. Diagram alir penelitian ....................................................................................................... 16
Gambar 7. Penampang tegak berdasarkan pengukuran geolistrik (GL.1-GL.7) .................................. 31
Gambar 8. Penampang tegak berdasarkan pengukuran geolistrik (GL.8-GL.14) ................................ 32
Gambar 9. Peta pengukuran geolistrik ................................................................................................. 33
Gambar 10. Potongan melintang akuifer arah Selatan-Utara Kota Tangerang Selatan ........................ 37
Gambar 11. Potongan melintang akuifer arah Barat-Timur Kota Tangerang Selata ............................ 38

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta topografi Kota Tangerang Selatan ........................................................................... 42


Lampiran 2. Peta geologi Kota Tangerang Selatan .............................................................................. 43
Lampiran 3. Peta hidrogeologi akuifer endapan ................................................................................... 44
Lampiran 4. Hasil pengukuran geolistrik pada titik ukur 1 (GL.1) ...................................................... 45
Lampiran 5. Hasil pengukuran geolistrik pada titik ukur 2 (GL.2) ...................................................... 46
Lampiran 6. Gambar lisensi Progress Version 3.0............................................................................... 44
Lampiran 7. Contoh pengolahan data geolistrik dengan Progress Version 3.0 (GL.1)........................ 45
Lampiran 8. Contoh pengolahan data geolistrik dengan Progress Version 3.0 (GL.2)........................ 48

vii
I. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Air adalah zat atau materi atau unsur yang penting bagi semua bentuk kehidupan yang diketahui
sampai saat ini di bumi, tetapi tidak di planet lain dalam Sistem Tata Surya dan menutupi hampir 71
% permukaan bumi (Matthews, 2005). Wujudnya dapat berupa cairan, es (padat) dan uap/gas. Dengan
kata lain karena air, maka Bumi menjadi satu-satunya planet dalam Tata surya yang memiliki
kehidupan (Parker, 2007).
Air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk melangsungkan kehidupan dan meningkatkan
kesejahteraannya. Pembangunan di bidang sumber daya air pada dasarnya adalah upaya untuk
memberikan akses secara adil kepada seluruh masyarakat untuk mendapatkan air agar hidup dengan
cara yang sehat, bersih, dan produktif.
Indonesia yang terletak di daerah tropis merupakan negara yang mempunyai ketersediaan air
yang cukup. Namun secara ilmiah Indonesia menghadapi kendala dalam memenuhi kebutuhan air
karena distribusi yang tidak merata, sehingga air yang dapat disediakan akan selalu sesuai dengan
kebutuhan, baik dalam jumlah maupun mutu.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan air minum juga semakin
meningkat. Peningkatan kebutuhan air minum tersebut tidak diiringi dengan ketersediaan air baku
baik air permukaan, air hujan, maupun airtanah diakibatkan antara lain oleh pembangunan dan
perubahan tata guna lahan yang sering kurang mempertimbangkan kelestarian ekosistem di sekitarnya.
Hal ini diperburuk dengan perubahan iklim global dengan meningkatnya suhu bumi dan semakin
panjangnya musim kemarau di Indonesia. Kondisi ini kemudian mengakibatkan semakin meluasnya
daerah rawan air di sebagian besar wilayah Indonesia pada musim kemarau dan banjir pada musim
penghujan.
Dinamika pembangunan Kota Tangerang Selatan sampai saat ini menuju kepada profile Kota
Metropolitan dimana pertumbuhan jasa dan perdagangan menunjukkan trend positif dan ini bagian
dari visi Kota Tangerang Selatan, yaitu perdagangan dan jasa. Suatu kota yang menuju kepada Kota
Metropolitan, aktivitas dari sektor swasta yang tampak menonjol adalah semaraknya bidang usaha
property yaitu pembangunan gedung-gedung perkantoran, pertokoan, apartemen dan perumahan-
perumahan.
Dengan maraknya aktivitas tersebut, maka kebutuhan akan public goods dan infrastruktur
perkotaan, makin meningkat seperti energi listrik, transportasi, air bersih, dan jasa lainnya. Public
goods dan infrastruktur perkotaan merupakan tanggung jawab pemerintah untuk menyediakannya,
jika tidak tersedia fasilitas tersebut, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam pembangunan dan
dapat menimbulkan konflik sosial ekonomi dalam masyarakat di masa depan. Aktivitas pembangunan
perkotaan baik dari sektor swasta maupun pemerintah tentulah memperhatikan kriteria-kriteria yang
diatur oleh pemerintah agar tidak terjadi masalah di kemudian hari. Faktor regulasi yang
dipersyaratkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan faktor fisik perkotaan menjadi
pedoman, khususnya dalam pembangunan gedung dan infrastruktur lainnya.
Dengan memperhatikan dinamika pertumbuhan pembangunan Kota Tangerang Selatan dewasa
ini, maka dipandang perlu untuk melakukan kajian geohidrologi Kota Tangerang Selatan yang akan
menjadi referensi bagi semua pihak dalam membuat program/kegiatan pembangunan fisik di kota ini.
Kota Tangerang Selatan membutuhkan kajian geohidrologi yang komprehensif untuk pengembangan
wilayah terutama geohidrologi yaitu kondisi permukaan bumi, sumber daya air, sumber daya mineral

1
dan energi, sumber daya bangunan, daya dukung tanah dan batuan untuk pondasi dan antisipasi
berupa gempa.
Informasi dan data tentang kondisi geologi Kota Tangerang Selatan akan dianalisis, sehingga
dapat menghasilkan kajian holistik dengan menyesuaikan kembali penataan ruang dan wilayah yang
termuat dalam dokumen RTRW. Dengan demikian penggunaan lahan untuk kawasan pemukiman,
perdagangan, industri, pertanian dan pariwisata ditetapkan dengan memperhatikan kondisi lingkungan
geologi sebagai faktor pendukung dan mungkin merupakan faktor kendala. Oleh karena itu kajian
geologi untuk pengembangan wilayah sangatlah penting dilakukan karena pembangunan yang
dilaksanakan tanpa perencanaan yang matang dapat menimbulkan masalah di kemudian hari.
Akuifer atau lapisan pembawa air, secara geologi merupakan suatu lapisan batuan yang
mengandung air, dimana batuan pada lapisan tersebut mempunyai sifat-sifat yang khas yang memiliki
permeabilitas dan porositas air yang cukup baik. Biasanya lapisan pasir (Sandstone) atau lapisan
lainnya yang mengandung pasiran (Bowen, 1986). Salah satu cara untuk mengetahui adanya lapisan
pembawa air adalah dengan melakukan metode geofisika geolistrik (Resistivity). Dengan cara ini
lapisan pembawa air dapat diketahui kedalaman, ketebalan, serta penyebarannya.
Kegiatan eksplorasi air dengan geolistrik ini dilakukan di tujuh kecamatan di kota Tangerang
selatan, Provinsi Banten dan dilakukan pada bulan November 2011. Pengukuran resistivitas ini
dilakukan pada 14 titik koordinat, masing-masing kecamatan diwakili dengan dua titik koordinat,
sehingga diperoleh data yang akurat. Beberapa kendala yang terkadang timbul adalah bila terdapat
suatu pengaruh kondisi geologi permukaan, misalnya perubahan dari tanah permukaan berupa
timbunan ataupun adanya gejala geologi yang disebabkan oleh pengaruh struktur yang melalui areal
penyelidikan. Dengan terdapatnya struktur tersebut akan menyebabkan terganggunya potensi lapisan
pembawa air. Kendala lainya adalah lapisan yang kedap air sehingga tingkat kelolosan air kurang
baik, dimana pada jenis batuan ini, kandungan air yang ada kurang memadai sebagai akuifer.

1.2 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah :


1. Mengidentifikasi litologi lapisan tanah.
2. Menentukan posisi akuifer dan ketebalannya.
3. Menganalisis sebaran akuifer di lokasi penelitian.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SIKLUS HIDROLOGI

Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1993) siklus hidrologi adalah air yang menguap ke udara
dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan setelah melalui beberapa proses dan kemudian
jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan.
Siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan
kembali ke atmosfer melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi, dan transpirasi. Menurut Asdak (2002)
air yang jatuh ke permukaan bumi akan tertahan sementara di sungai, danau, atau waduk dan dalam
tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya.
Perjalanan air dimulai dari penguapan air permukaan ke atmosfer melalui proses evaporasi, dari
tumbuhan melalui proses transpirasi dan dari gabungan keduanya melalui proses evapotranspirasi.
Uap air yang terbentuk dari proses evaporasi, transpirasi, dan evapotranspirasi tersebut membentuk
awan setelah mencapai temperatur titik kondensasi dan jatuh ke permukaan bumi sebagai presipitasi.
Sebagian air tersebut mengalir sebagai run off melalui berbagai bentuk badan air seperti sungai,
danau, rawa, dan kemudian masuk ke laut. Sebagian air yang lain mengalami infiltrasi dan perkolasi
membentuk aliran bawah permukaan menjadi aliran tanah. Dengan berbagai cara akhirnya airtanah
mengalir menuju laut (Todd, 1995).
Dalam siklus hidrologi, pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses
siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Energi matahari dan faktor-faktor iklim
lainnya menyebabkan terjadinya evaporasi di permukaan vegetasi dan tanah, laut dan badan air
lainnya. Hasil evaporasi berupa uap air akan terbawa oleh angin melintasi daratan yang bergunung
maupun datar dan pada keadaan atmosfer yang memungkinkan dengan kondisi iklim tertentu,
sebagian dari uap air tersebut akan terkondensasi dan kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk
hujan, salju, hujan batu, hujan es dan salju, hujan gerimis atau kabut.

Sumber : Max Planck Institut For Meteorology, 1999


Gambar 1. Siklus hidrologi

Sebelum mencapai permukaan, air hujan tersebut akan tertahan oleh tajuk vegetasi. Sebagian
dari air hujan tersebut akan tersimpan di permukaan tajuk dan sebagian yang lainnya akan jatuh ke
atas permukaan tanah melalui sela-sela daun (throughfall) atau mengalir melalui permukaan batang
pohon (stemflow). Sebagian air hujan tidak pernah sampai ke permukaan tanah karena terevaporasi
kembali ke atmosfer selama dan setelah berlangsungnya hujan (interception loss).

3
Air hujan yang dapat mencapai permukaan tanah, sebagian akan masuk terserap ke dalam tanah
(infiltration). Sedangkan air hujan yang tidak terserap ke dalam tanah akan tertampung sementara ke
dalam cekungan-cekungan permukaan tanah kemudian mengalir ke tempat yang lebih rendah dan
selanjutnya masuk ke sungai.
Air infiltrasi akan membentuk kelembaban tanah karena tertahan di dalam tanah oleh gaya
kapiler. Apabila tingkat kelembaban airtanah telah cukup jenuh maka air hujan yang baru masuk ke
dalam tanah akan bergerak lateral (horizontal). Pada tempat tertentu air tersebut akan keluar lagi ke
permukaan tanah (subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai.

2.2 SUMBER DAYA AIR

Air dalam kondisi sehari-hari dapat ditemui dalam tiga wujud sekaligus, yaitu cair (air), gas
(uap air), dan padat (es). Air merupakan sumber kehidupan dan merupakan asal-muasal kehidupan itu
berdiri di planet ini. Air ada di mana-mana baik di samudra, padang es, danau, dan sungai. Air
meliputi hampir tiga perempat permukaan bumi dan diperkirakan mencapai 1.350 juta kilometer kubik
air. Di bawah tanah terdapat sekitar 8,3 juta kilometer kubik air lagi dalam bentuk airtanah. Di dalam
atsmofer bumi juga terdapat 12.900 kilometer kubik air yang kebanyakan dalam bentuk uap. Air
adalah material yang paling berlimpah di bumi ini, menutupi sekitar 71 % dari muka bumi ini.
Makhluk hidup hampir seluruhnya tersusun atas air, 50 sampai 97 % dari seluruh berat tanaman dan
hewan hidup dan sekitarnya 70 % dari berat tubuh manusia. Manusia dapat hidup sebulan tanpa
makanan, tapi hanya dapat bertahan 3 hari saja tanpa air (Kashef , 1987).
Air seperti halnya energi, adalah hal yang esensial bagi pertanian, industri, dan hampir semua
sisi kehidupan manusia. Secara filosofis, air merupakan sumber kehidupan dan sekaligus bermakna
bahwa air merupakan zat yang sangat diperlukan bagi kehidupan setiap umat manusia dan seluruh
makluk hidup yang diciptakan Allah SWT. Air bergerak di atas permukaan tanah dengan aliran utama
dan danau, semakin landai lahan semakin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin
besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung
satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan di sekitar daerah
aliran sungai menuju laut. Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau,
waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai
dan berakhir ke laut (Sosrodarsono dan Takeda, 1993).
Banyaknya lahan yang beralih fungsi, yang tadinya merupakan kawasan resapan, menjadi
kawasan pertanian dan pemukiman akan menyebabkan terganggunya daur air kawasan. Dalam abad
21 semakin dirasakan akan adanya keterbatasan alam dalam menyediakan air bagi kehidupan.
Jumlah pasokan air wilayah yang berasal dari hujan relatif tetap, tetapi mulai dirasakan tidak
mengimbangi tingkat kebutuhan. Kelimpahan sumberdaya air yang dimiliki Indonesia tidak menjamin
melimpahnya ketersediaan air di wilayah pada dimensi tepat dan dimensi waktu. Variasi iklim serta
kerentanan sistem sumberdaya air terhadap perubahan iklim akan memperparah status krisis air yaitu
dengan meningkatnya frekuensi banjir dan panjangnya kekeringan, sehingga ketersediaan air semakin
tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan air untuk berbagai penggunaan. Di samping itu
dengan dipacunya pertumbuhan ekonomi, permintaan akan sumberdaya air baik kuantitas maupun
kualitasnya semakin meningkat pula dan di tempat-tempat tertentu melebihi ketersediaannya. Hal ini
menyebabkan sumberdaya air dapat menjadi barang yang langka. Jumlah air di bumi secara
keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya.
Air akan selalu ada karena air tidak pernah berhenti bersikulasi dari atsmofer ke bumi dan
kembali lagi ke atsmofer mengikuti siklus hidrologi. Ketika jumlah penduduk masih terbatas dan alam
masih belum banyak tereksploitasi, air terasa berlimpah sepanjang waktu dengan kualitas yang cukup

4
baik, dan ketika itu pula air serasa belum memiliki nilai yang berarti. Ketika keberadaan air dirasakan
semakin terbatas, baik dari segi kualitasnya maupun kuantitasnya, dan kebutuhan manusia akan air
terasa semakin meningkat untuk memenuhi berbagai keperluan, serta kualitas lingkungan dan
ekosistem mulai terganggu, pada waktu itu nilai air mulai diperhitungkan. Air tidak hanya berfungsi
sosial dan lingkungan tetapi juga memiliki nilai ekonomis (Sosrodarso dan Takeda, 1993).
Menurut Arsyad (2000), konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke
tanah untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran
sehingga tidak terjadi banjir pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Setiap
perlakuan manusia di bumi terhadap pemanfaatan tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat
tersebut. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya air harus dilakukan dengan teratur dan terencana
dengan baik.
Tabel 1. Perkiraan jumlah sumber daya air di dunia
Lokasi Volume Air (km3) %
Air di daratan 37850,00 2,8000
Danau air tawar 125,00 0,0090
Danau air asin dan laut daratan 104,00 0,0080
Sungai 1,25 0,0001
Kelembaban tanah dan air vadose 67,00 0,0050
Airtanah sampai kedalaman 4000 m 8350,00 0,6100
Es dan glaciers 29200,00 2,1400
Air di atmosfir 13,00 0,0010
Air di Lautan 1320000,00 97,2000
Total Air di Dunia 1360000,00 100
Sumber : Fetter, 1997

2.3 AIRTANAH

Airtanah adalah air yang bergerak dalam tanah yang terdapat di dalam ruang-ruang antara butir-
butir tanah yang membentuk itu dan di dalam retak-retak dari batuan (Sosrodarso dan Takeda, 1993).
Menurut Todd (1995), airtanah adalah air yang bergerak di dalam tanah yang terdapat di dalam ruang
antar butir-butir tanah yang meresap ke dalam tanah dan bergabung membentuk lapisan tanah yang
disebut akuifer. Lapisan yang mudah dilalui oleh airtanah disebut lapisan permeable, seperti lapisan
yang terdapat pada pasir dan kerikil, sedangkan lapisan yang sulit dilalui airtanah disebut lapisan
impermeabel, seperti lapisan lempung atau geluh. Lapisan impermeable terdiri dari dua jenis yakni
lapisan kedap air dan lapisan kebal air (aquifuge), sedangkan lapisan yang sulit dilalui airtanah seperti
lapisan lempung disebut lapisan kedap air (aquiclude).

Sumber : Todd, 1995


Gambar 2. Kondisi akuifer secara ideal

5
Akuifer adalah salah satu lapisan, formasi, atau kelompok formasi satuan geologi yang
permeabel baik yang terkonsolidasi (misalnya lempung) maupun yang tidak terkonsolidasi (pasir)
dengan kondisi jenuh air dan mempunyai suatu besaran konduktivitas hidrolik (K) yang berfungsi
menyimpan airtanah dalam jumlah besar sehingga dapat membawa air (atau air dapat diambil) dalam
jumlah ekonomis. Dengan demikian, akuifer pada dasarnya adalah kantong air yang berada di dalam
tanah.
Aquiclude (impermeabel layer), adalah suatu lapisan-lapisan, formasi, atau kelompok formasi
satuan geologi yang impermeabel dengan nilai konduktivitas hidrolik yang sangat kecil sehingga tidak
memungkinkan air melewatinya. Dapat dikatakan juga merupakan lapisan pembatas atas dan bawah
suatu confined aquifer.
Aquitard (Semi impervious layer), adalah suatu lapisan-lapisan, formasi, atau kelompok formasi
satuan geologi yang permeabel dengan nilai konduktivitas hidrolik yang kecil namun masih
memungkinkan air melewati lapisan ini walaupun dengan gerakan yang lambat. Dapat dikatakan juga
merupakan lapisan pembatas atas dan bawah suatu semi confined aquifer.
Confined aquifer, merupakan akuifer yang jenuh air yang dibatasi oleh lapisan atas dan
bawahnya merupakan aquiclude dan tekanan airnya lebih besar dari tekanan atmosfer. Pada lapisan
pembatasnya tidak ada air yang mengalir (non-flux).
Semi confined (leaky aquifer), merupakan akuifer yang jenuh air yang dibatasi oleh lapisan atas
berupa aquitard dan lapisan bawahnya merupakan aquiclude. Pada lapisan pembatas di bagian
atasnya karena bersifat aquitard masih ada air yang mengalir ke akuifer tersebut (influx) walaupun
hidrolik konduktivitasnya jauh lebih kecil dibandingkan hidrolik konduktivitas akuifer. Tekanan
airnya pada akuifer lebih besar dari tekanan atmosfer.
Unconfined aquifer, merupakan akuifer jenuh air (saturated). Lapisan pembatasnya, yang
merupakan aquitard hanya pada bagian bawahnya dan tidak ada pembatas aquitard di lapisan atasnya.
Pembatas di lapisan atas berupa muka airtanah. Dengan kata lain merupakan akuifer yang mempunyai
muka airtanah.
Semi unconfined aquifer, merupakan akuifer yang jenuh air (saturated) yang dibatasi hanya
lapisan bawahnya yang merupakan aquitard. Pada bagian atasnya ada lapisan pembatas yang
mempunyai konduktivitas hidrolik lebih kecil dari pada konduktivitas hidrolik dari akuifer. Akuifer
ini juga mempunyai muka airtanah yang terletak pada lapisan pembatas tersebut.
Artesian aquifer, merupakan confined aquifer di mana ketinggian hidroliknya (potentiometrik
surface) lebih tinggi dari pada muka airtanah. Oleh karena itu apabila pada akuifer ini dilakukan
pengeboran maka akan timbul pancaran air (spring), karena air keluar dari pengeboran ini berusaha
mencapai ketinggian hidrolik tersebut.
Asal muasal airtanah digolongkan menjadi 4 tipe yang jelas (Todd, 1995), yaitu air meteorik, air
juvenil, air rejuvenated, dan air konat. Air meteorik adalah airtanah yang berasal dari atmosfer
mencapai zona kejenuhan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung oleh
infiltrasi pada permukaan tanah dan secara tidak langsung oleh permukaan influen (dimana
kemiringan muka airtanah menyusup di bawah arus air permukaan-kebalikan dari efluen) dari danau,
sungai, saluran buatan, dan lautan. Secara langsung dengan cara kondensasi uap air (dapat diabaikan).
Air juvenil adalah airtanah yang merupakan air baru yang ditambahkan pada zona kejenuhan
dari kerak bumi yang dalam. Selanjutnya air ini dibagi lagi menurut sumber spesifikasinya kedalam
air magnetik, air gunung api dan air kosmik (yang dibawa oleh meteor).
Air diremajakan (rejuvenated) adalah air yang untuk sementara waktu telah dikeluarkan dari
siklus hidrologi oleh pelapukan, maupun oleh sebab-sebab lain, kembali ke siklus lagi dengan proses-
proses metamorforsisme, pemadatan atau proses-proses yang serupa (Todd, 1995).

6
Air konat adalah air yang dijebak pada beberapa batuan sedimen atau gunung pada asal
mulanya. Air tersebut biasanya sangat termineralisasi dan mempunyai salinitas yang lebih tinggi dari
pada air laut.
Untuk lebih memahami proses terbentuknya airtanah, pertama kali harus diketahui tentang gaya-
gaya yang mengakibatkan terjadinya gerakan air di dalam tanah. Uraian tentang infiltrasi telah secara
lengkap menunjukkan proses dan mekanisme perjalanan air dalam tanah. Juga telah disebutkan bahwa
semakin dalam, jumlah dan ukuran pori-pori tanah menjadi semakin kecil. Lebih lanjut, ketika air
tersebut mencapai tempat yang lebih dalam, air tersebut sudah tidak berperan dalam proses evaporasi
atau transpirasi. Keadaan tersebut menyebabkan terbentuknya wilayah jenuh di bawah permukaan
tanah yang kemudian dikenal sebagai airtanah.
Untuk usaha-usaha pengisian kembali airtanah melalui peningkatan proses infiltrasi tanah serta
usaha-usaha reklamasi airtanah, maka kedudukan akuifer dapat dipandang dari dua sisi yang berbeda,
yakni zona akuifer tidak jenuh dan zona akuifer jenuh.
Zona akuifer tidak jenuh adalah suatu zona penampung air di dalam tanah yang terletak di atas
permukaan airtanah (water table) baik dalam keadaan alamiah (permanen) atau sesaat setelah
berlangsungnya periode pengambilan airtanah. Zona akuifer jenuh adalah suatu zona penampung
airtanah yang terletak di bawah permukaan airtanah kecuali zona penampung airtanah yang sementara
jenuh dan berada di bawah daerah yang sedang mengalami pengisian airtanah.
Zona akuifer tidak jenuh merupakan zona penyimpanan airtanah yang paling berperan dalam
mengurangi kadar pencemaran airtanah dan oleh karenanya zona ini sangat penting untuk usaha-usaha
reklamasi dan sekaligus pengisian kembali airtanah, sedang zona akuifer jenuh seperti telah diuraikan
di muka lebih berfungsi sebagai pemasok airtanah yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan
zona akuifer tidak jenuh dalam hal akuifer yang pertama tersebut mampu memasok airtanah dalam
jumlah yang lebih besar serta mempunyai kualitas air yang lebih baik.
Akuifer ini dibedakan menjadi akuifer bebas (unconfined aquifer) dan akuifer tertekan (confined
aquifer). Akuifer bebas terbentuk ketika tinggi permukaan airtanah (water table) menjadi batas antara
zona tanah jenuh. Tinggi permukaan airtanah berfluktuasi tergantung pada jumlah dan kecepatan air
(hujan) masuk ke dalam tanah, pengambilan airtanah, dan permeabilitas tanah. Akuifer tertekan juga
dikenal sebagai artesis, terbentuk ketika airtanah dalam dibatasi oleh lapisan kedap air sehingga
tekanan di bawah lapisan kedap air tersebut lebih besar dari pada tekanan atmosfer.
Lebih lanjut, penyebaran airtanah dapat dibedakan berdasarkan daerah penyebarannya menjadi
zona aerasi (zona akuifer tidak jenuh) dan zona jenuh (zona akuifer jenuh). Pada zona akuifer jenuh,
semua pori-pori tanah terisi oleh air di bawah tekanan hidrostatik. Zona ini dikenal sebagai zona
airtanah.
Menurut Todd (1995), zona aerasi dapat dibagi menjadi beberapa bagian wilayah penampungan
airtanah, zona pertengahan, zona kapiler dan zona jenuh. Zona airtanah (soil water zone) merupakan
zona airtanah bermula dari permukaan tanah dan berkembang kedalam melalui akar tanaman.
Kedalaman yang dicapai airtanah ini bervariasi tergantung pada tipe tanah dan vegetasi. Zona airtanah
ini dapat diklasifikasikan menjadi zona air higroskopis, yaitu air yang diserap langsung dari udara di
atas permukaan tanah; air kapiler; dan air gravitasi, yaitu air yang bergerak ke dalam tanah karena
gaya gravitasi bumi.
Zona pertengahan (intermediate zone) umumnya terletak antara permukaan tanah dan
permukaan airtanah dan merupakan daerah infiltrasi. Zona kapiler (capillary zone) merupakan zona
kapiler terbentang dari permukaan airtanah ke atas sampai ketinggian yang dapat dicapai oleh gerakan
air kapiler. Zona jenuh (saturated zone) semua pori-pori tanah terisi oleh air.

7
2.4 GEOFISIKA

Di bawah permukaan tanah terdapat perlapisan batuan yang terbedakan antara yang satu dengan
yang lain karena mempunyai karakteristik fisika tertentu. Dengan metode geofisika dapat diduga jenis
litologi, kedalaman dan struktur lapisan batuan di bawah permukaan tanah. Metode geofisika secara
garis besar terbagi dua yaitu yang bersifat statis dan dinamis (Damtoro, 2007). Pada metode geofisika
statis yang diukur adalah besaran fisika yang sudah ada dalam batuan tanpa pengaruh dari luar,
misalnya metode graviti, magnetik dan paleomagnetik. Pada metode geofisika dinamis dilakukan
perlakuan khusus terhadap perlapisan batuan, sehingga dapat diduga jenis litologinya dari respon yang
terjadi. Jenis-jenis metode geofisik dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis-jenis metode geofisik.


Metode Sifat Dasar Penelitian Hasil
Graviti Statis Berat jenis batuan Gambaran secara umum kontras
berat jenis batuan di bawah
permukaan, untuk daerah yang
sangat luas.
Magnetik Statis Besaran intensitas magnetik Sifat litologi secara umum tentang
dalam batuan kemagnetan batuan di bawah
permukaan. Dilakukan pada
daerah yang relatife luas.
Paleo Statis Arah kutub magnetik bumi Dengan batuan metode radioactive
magnetik yang terekam pada batuan dating, maka laju pergerakan
beku. lempeng tektonik dapat dihitung.
Dilakukan untuk mengetahui arah
dan kecepatan pergerakan benua.
Seismologi Dinamis Gelombang magnetik Secara global sifat umum dan
sewaktu terjadi gempa bumi ketebalan kulit bumi, magma
sampai ke inti bumi.
Seismik Dinamis Penggunaan gelombang Perkiraan ketebalan dan jenis
magnetik buatan. batuan, serta struktur
perlapisannya. Dilakukan untuk
daerah dari ukuran lokal sampai
menengah.
Elektro Dinamis Penggunaan frekuensi Jenis dan kedalaman litologi.
magnetik gelombang elektro magnetik. Dilakukan untuk daerah yang
relatif sempit sampai luas, seperti
pada pencarian kemungkinan
adanya panas bumi. Pada survei
georadar struktur batuan dapat
terlihat jelas pada kedalaman
terbatas.
Geolistrik Dinamis Penggunaan arus listrik Perkiraan ketebalan dan jenis
batuan litologi di bawah permukaan,
untuk daerah dengan ukuran lokal
sampai menengah.
Sumber : Damtoro, 2007

8
2.5 GEOLISTRIK

Penggunaan geolistrik pertama kali dilakukan oleh Conrad Schlumberger pada tahun 1912
(Damtoro, 2007). Geolistrik merupakan salah satu metode geofisika untuk mengetahui perubahan
tahanan jenis lapisan batuan di bawah permukaan tanah dengan cara mengalirkan arus listrik DC
(Direct Current) yang mempunyai tegangan tinggi ke dalam tanah. Injeksi arus listrik ini
menggunakan dua buah elektroda arus A dan B yang ditancapkan ke dalam tanah dengan jarak
tertentu. Semakin panjang jarak elektroda AB akan menyebabkan aliran arus listrik dapat menembus
lapisan batuan lebih dalam.
Dengan adanya aliran arus listrik tersebut maka akan menimbulkan tegangan listrik di dalam
tanah. Tegangan listrik yang terjadi di permukaan tanah diukur dengan menggunakan multimeter yang
terhubung melalui 2 buah elektroda tegangan M dan N yang jaraknya lebih pendek dari pada jarak
elektroda AB. Bila posisi jarak elektroda AB diubah menjadi lebih besar maka tegangan listrik yang
terjadi pada elektroda MN ikut berubah sesuai dengan informasi jenis batuan yang ikut terinjeksi arus
listrik pada kedalaman yang lebih besar.
Dengan asumsi bahwa kedalaman lapisan batuan yang dapat ditembus oleh arus listrik ini sama
dengan separuh dari jarak AB yang dapat disebut AB/2 (bila digunakan arus listrik DC murni), maka
diperkirakan pengaruh dari injeksi aliran arus listrik ini berbentuk setengah bola dengan jari-jari AB/2.
Umumnya metode geolistrik yang sering digunakan adalah yang menggunakan empat buah elektroda
yang terletak dalam satu garis lurus serta simetris terhadap titik tengah, yaitu dua buah elektroda arus
(AB) di bagian luar dan dua buah elektroda tegangan (MN) di bagian dalam.
Kombinasi dari jarak AB/2, jarak MN/2, besarnya arus listrik yang dialirkan serta tegangan
listrik yang terjadi akan didapat suatu harga tahanan jenis semu (Apparent Resistivity). Disebut
tahanan jenis semu karena tahanan jenis yang terhitung tesebut merupakan gabungan dari banyak
lapisan batuan di bawah permukaan yang dilalui arus listrik.
Bila satu set hasil pengukuran tahanan jenis semu dari jarak AB terpendek sampai yang
terpanjang tersebut digambarkan pada grafik logaritma ganda dengan jarak AB/2 sebagai sumbu X
dan tahan jenis semu sebagai sumbu Y, maka akan didapat suatu bentuk kurva data geolistrik. Dari
kurva data tersebut dapat dihitung dan diduga sifat lapisan batuan di bawah permukaan.
Mengetahui karakteristik lapisan batuan bawah permukaan sampai kedalaman sekitar 300 m
sangat berguna untuk mengetahui kemungkinan adanya lapisan akuifer yaitu lapisan batuan yang
merupakan lapisan pembawa air. Umumnya yang dicari adalah Confined aquifer yaitu lapisan akuifer
yang diapit oleh lapisan batuan kedap air (misalnya lapisan lempung) pada bagian bawah dan bagian
atas. Confined aquifer ini mempunyai recharge yang relatif jauh, sehingga ketersediaan airtanah di
bawah titik bor tidak terpengaruh oleh perubahan cuaca setempat (Damtoro, 2007).
Geolistrik ini dapat untuk mendeteksi adanya lapisan tambang yang mempunyai kontras
resistivitas dengan lapisan batuan pada bagian atas dan bawahnya. Dapat juga untuk mengetahui
perkiraan kedalaman bedrock untuk fondasi bangunan.
Metode geolistrik juga dapat digunakan untuk menduga adanya panas bumi (geotermal) di
bawah permukaan. Hanya saja metode ini merupakan salah satu metode bantu dari metode geofisika
yang lain untuk mengetahui secara pasti keberadaan sumber panas bumi di bawah permukaan.
Penentuan besaran akuifer dan pola aliran tanah dengan metode tahanan jenis memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan metode yang lain (Damtoro, 2007). Keunggulan pengukuran tahanan jenis
dengan alat geolistrik memiliki keunggulan baik di bidang teknik pengukuran, pengolahan data
maupun secara ekonomi yang dapat dilihat pada Tabel 3.

9
Tabel 3. Keunggulan geolistrik
Item Keunggulan
Harga peralatan Relatif murah
Biaya Survei Relatif murah
Waktu yang dibutuhkan Relatif sangat cepat, dapat mencapai 4 titik,
pengukuran atau lebih perhari.
Beban pekerjaan Peralatan yang kecil dan ringan sehingga
mudah untuk mobilisasi.
Kebutuhan personal Sekitar 5 orang, terutama dibutuhkan untuk
konfigurasi Schlumberger.
Analisis data Secara global dapat langsung diprediksi saat
dilapangan dan kesalahan pengukuran dapat
segera diketahui.

Metode geolistrik terdiri dari beberapa konfigurasi, misalnya yang ke 4 buah elektrodanya
terletak dalam suatu garis lurus dengan posisi elektroda AB dan MN yang simetris terhadap titik pusat
pada kedua sisi yaitu konfigurasi Wenner dan Schlumberger (Damtoro, 2007). Setiap konfigurasi
mempunyai metode perhitungan tersendiri untuk mengetahui nilai ketebalan dan tahanan jenis batuan
di bawah permukaan. Metode geolistrik konfigurasi Schlumberger merupakan metode favorit yang
banyak digunakan untuk mengetahui nilai ketebalan dan tahanan jenis batuan di bawah permukaan.
Metode geolistrik konfigurasi Schlumberger merupakan metode favorit yang banyak digunakan untuk
mengetahui karakteristik lapisan batuan bawah permukaan dengan biaya survey yang relatif murah.
Umumnya lapisan batuan tidak mempunyai sifat homogen sempurna, seperti yang
dipersyaratkan pada pengukuran geolistrik. Untuk posisi lapisan batuan yang terletak dekat dengan
permukaan tanah akan sangat berpengaruh terhadap hasil pengukuran tegangan dan ini akan membuat
data geolistrik menjadi menyimpang dari nilai sebenarnya. Hal yang dapat mempengaruhi
homogenitas lapisan batuan adalah fragmen batuan lain yang menyisip pada lapisan, faktor
ketidakseragaman dari pelapukan batuan induk, material yang terkandung pada jalan, genangan air
setempat, perpisahan dari bahan logam yang dapat menghantar arus listrik, pagar kawat yang
terhubung ke tanah dan sebagainya.
Spontaneus Potensial yaitu tengangan listrik alami yang umumnya terdapat pada lapisan batuan
disebabkan oleh adanya larutan penghantar yang secara kimiawi menimbulkan perbedaan tegangan
pada mineral-mineral dari lapisan batuan yang berbeda juga akan menyebabkan ketidak homogenan
lapisan batuan. Perbedaan tegangan listrik ini umumnya relatif kecil, tetapi bila digunakan konfigurasi
Schlumberger dengan jarak elektroda AB yang panjang dan jarak MN yang relatif pendek, maka ada
kemungkinan tegangan listrik alami tersebut ikut menyumbang pada hasil pengukuran tegangan listrik
pada elektroda MN, sehingga data yang terukur menjadi kurang benar.
Untuk mengatasi adanya tegangan listrik alami ini hendaknya sebelum dilakukan pengaliran
arus listrik, multimeter diset pada tegangan listrik alami tersebut dan kedudukan awal dari multimeter
dibuat menjadi nol. Dengan demikian alat ukur multimeter akan menunjukkan tegangan listrik yang
benar-benar diakibatkan oleh pengiriman arus pada elektroda AB. Multimeter yang mempunyai
fasilitas seperti ini hanya terdapat pada multimeter dengan akurasi tinggi.

2.5.1 Konfigurasi Wenner

Jarak MN pada konfigurasi Wenner selalu sepertiga dari jarak AB. Bila jarak AB diperbesar,
maka jarak MN juga harus diubah sehingga jarak MN tetap sepertiga jarak AB (Damtoro, 2007).

10
Gambar 3. Konfigurasi Wenner

Keunggulan dari konfigurasi Wenner ini adalah ketelitian pembacaan tegangan pada elektroda
MN yang relatif dekat dengan elektroda AB. Disini dapat digunakan alat ukur multimeter dengan
impedansi yang relatif lebih kecil.
Sedangkan kelemahannya adalah tidak dapat mendeteksi homogenitas batuan di dekat
permukaan yang dapat berpengaruh terhadap hasil perhitungan. Data yang didapat dari cara
konfigurasi Wenner, sangat sulit untuk menghilangkan faktor non homogenitas batuan, sehingga hasil
perhitungan menjadi kurang akurat.

2.5.2 Konfigurasi Schlumberger

Pada konfigurasi Schlumberger idealnya jarak MN dibuat sekecil-kecilnya, sehingga jarak MN


secara teoritis tidak berubah. Tetapi karena keterbatasan kepekaan alat ukur, maka ketika jarak AB
sudah relatif besar maka jarak MN hendaknya dirubah. Perubahan jarak MN hendaknya tidak lebih
besar dari 1/5 jarak AB.
Kelemahan dari konfigurasi Schlumberger ini adalah pembacaan tegangan pada elektroda MN
adalah lebih kecil terutama jika jarak AB yang relatif jauh, sehingga diperlukan alat ukur multimeter
yang mempunyai karakteristik high impedence dengan akurasi tinggi yaitu yang dapat menampilkan
tegangan minimal 4 digit atau 2 digit di belakang koma. Atau dengan cara lain diperlukan peralatan
pengiriman arus yang mempunyai tegangan listrik DC yang sangat tinggi.
Sedangkan keunggulan konfigurasi Schlumberger ini adalah kemampuan untuk mendeteksi
adanya non-homogenitas lapisan batuan pada permukaan, yaitu dengan membandingkan nilai
resistivitas semu ketika terjadi perubahan jarak elektroda MN/2.
Agar pembacaan tegangan pada elektroda MN dapat dipercaya, maka ketika jarak AB relatif
besar hendaknya jarak elektroda MN juga diperbesar. Pertimbangan perubahan jarak elektroda MN
terhadap jarak elektroda AB yaitu ketika pembacaan tegangan listrik pada multimeter sudah demikian
kecil, misalnya 1.0 miliVolt.
Umumnya perubahan jarak MN dapat dilakukan bila telah tercapai perbandingan antara jarak
MN berbanding jarak AB = 1:20. Perbandingan yang lebih kecil misalnya 1:50 dapat dilakukan bila
mempunyai alat utama pengirim arus yang mempunyai keluaran tegangan listrik DC sangat besar,
katakanlah 1000 Volt atau lebih, sehingga beda tegangan yang terukur pada elektroda MN tidak lebih
kecil dari 1.0 miliVolt.
Contoh penggunaan jarak MN/2 terhadap jarak AB/2
Untuk jarak AB/2 dari 2.5 m sampai 10 m, gunakan jarak MN/2 = 0.5 m
Untuk jarak AB/2 dari 10 m sampai 40 m, gunakan jarak MN/2 = 2.0 m
Untuk jarak AB/2 dari 40 m sampai 160 m, gunakan jarak MN/2 = 8.0 m
Untuk jarak AB/2 dari 160 m sampai 500 m, gunakan jarak MN/2 = 30 m
Contoh di atas tidak mengikat dan dapat juga digunakan pasangan harga yang lain apabila dirasa
perlu.

11
Gambar 4. Konfigurasi Schlumberger.

Menurut Damtoro (2007), untuk menghitung nilai resistivitas semu, diperlukan suatu bilangan
faktor geometri (K) yang tergantung pada jenis konfigurasi, jarak AB/2 dan MN/2. Perhitungan
bilangan konstanta (K) ini berdasarkan rumus :

Apparent Resistivity :

Schlumberger & Wenner :

Keterangan rumus :
AM = Jarak antara elektroda arus (A) dan tegangan (M) (meter)
BM = Jarak antara elektroda arus (B) dan tegangan (M) (meter)
AN = Jarak antara elektroda arus (A) dan tegangan (N) (meter)
BN = Jarak antara elektroda arus (B) dan tegangan (M) (meter)
= 3.141592654
a = Apparent Resistivity (Ohm meter)
K = Faktor geometri (meter)
V = Tegangan listrik pada elektroda MN (mV, milliVolt)
I = Arus listrik yang diinjeksikan melalui elektroda AB (mA)

Agar cepat dalam menghitung tahanan jenis semu sewktu survey, hendaknya faktor geometri (K)
ini dicetak pada kertas data di samping angka jarak AB/2 dan MN/2. Bila menggunakan kalkulator
yang mempunyai fasilitas programming, rumus perhitungan faktor geometri ini dapat dimasukkan
sebagai langkah program untuk menghitung tahanan jenis semu.
Interprestasi dari pengukuran ini dapat dilakukan dengan asumsi bahwa :
Di bawah permukaan tanah terdapat sejumlah lapisan batuan dengan ketebalan terbatas.
Lapisan batuan dibawah permukaan dalam posisi horizontal.
Setiap lapisan batuan mempunyai sifat homogen (jenis litologi sama) dan secara kelistrikan
bersifat isotropik (diukur dari berbagai arah akan memberikan harga yang sama).

12
III. METODOLOGI

3.1 WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian ini dilakukan dari bulan November 2011 sampai Mei 2012 di tujuh kecamatan di kota
Tangerang Selatan, Provinsi Banten.

3.2 ALAT DAN BAHAN

Survei geolistrik dimaksudkan untuk mengetahui nilai tahanan jenis batuan di bawah permukaan
tanah.
Beberapa peralatan lapangan yang diperlukan pada suatu survei geolistrik antara lain ;
1. Resistivity meter
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Earth Resistivity Metre tipe SAZ 3000
G100. Alat ini menggunakan input power dari accu 12V, 45A dengan output yang dihasilkan
mulai dari 5-500 A.
2. Elektroda
Elektroda yang dipergunakan dapat dibuat dari logam alumunium, tembaga, ataupun baja tahan
karat. Elektroda tersebut ditancapkan ke dalam tanah dengan kedalaman beberapa senti hingga 40
cm sesuai kebutuhan. Elektroda yang dipergunakan terdiri dari dua buah elektroda arus dan dua
buah elektroda potensial.
3. Kabel penghubung
Untuk menghubungkan elektroda dengan alat pengukur diperlukan kabel yang memiliki hambatan
rendah dan terisolasi dengan baik. Kabel yang dibutuhkan sepanjang 500 m sebanyak dua unit
untuk elektroda arus dan kabel sepanjang 300 m sebanyak dua unit untuk elektroda potensial.
4. Ohmmeter
Alat ini dipergunakan untuk mengecek apakah sambungan antara kabel dengan elektroda sudah
baik atau belum. Pengecekkan harus selalu dikerjakan sebelum dilakukan pengukuran.
5. Kompas geologi
Dipergunakan untuk mengetahui posisi pengukuran (jika tidak terdapat alat ukur GPS) dan
azimuth lintasan yang dibuat terhadap arah utara geografis.
6. Komputer
Komputer digunakan untuk mengolah data hasil pengukuran geolistrik dengan menggunakan
bantuan software (Progress Version 3.0).
7. Alat-alat penunjang
Terdiri dari GPS yang berfungsi untuk mengetahui koordinat lokasi pengukuran, Handy talky
sebanyak tiga unit, palu sebanyak empat unit, dan rol meter sepanjang 50 m sebanyak empat unit.

Bahan-bahan yang dipergunakan berupa peta topografi, geologi, dan hidrogeologi dengan skala 1 :
75.000. Berdasarkan peta tersebut dapat ditentukan letak titik-titik pengamatan, distribusi titik ukur,
arah bentangan/lintasan, profil topografi lintasan, dan rencana sayatan yang hendak dilakukan serta
untuk mengetahui informasi-informasi litologi dan sebaran akuifer di loksi penelitian.

13
3.3 METODE PENELITIAN

Kegiatan penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan, yakni ; tahap pengumpulan data yang
terdiri dari data primer dan data sekunder, tahap pengolahan data hasil pengukuran di lapangan, dan
tahap analisis data primer dan sekunder yang dikorelasikan dengan tabel tahanan jenis batuan. Setelah
itu dilakukan penyusunan laporan dan presentasi hasil penelitian.

3.3.1 Pengumpulan Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer
merupakan data hasil dari pengukuran menggunakan geolistrik dengan seperangkat perlengkapannya,
sedangkan data sekunder berupa informasi-informasi yang terdapat pada peta topografi, geologi, dan
hidrogeologi. Untuk melakukan pembahasan diperlukan pengumpulan data melalui studi literatur baik
melalui buku-buku, laporan-laporan hasil penelitian sebelumnya serta melalui internet.
Pengukuran menggunakan geolistrik dimulai dengan penentuan titik-titik pengukuran. Untuk
mendapatkan gambaran sebaran akuifer di Kota Tanggerang Selatan, Provinsi Banten maka
pengukuran dilakukan disetiap Kecamatan yang berada di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten
yang terdiri dari Kecamatan Setu, Kecamatan Serpong, Kecamatan Serpong Utara, Kecamatan
Pondok Aren, Kecamatan Pamulang, Kecamatan Ciputat dan Kecamatan Ciputat Timur. Masing-
masing kecamatan diwakili oleh dua titik pengukuran geolistrik.
Pengukuran menggunakan geolistrik pada prinsipnya adalah dengan cara menginjeksikan arus ke
dalam tanah melalui dua elektroda arus (A dan B), dan mengukur hasil beda potensial yang
ditimbulkan pada dua elektroda potensial (M dan N). Dari pengukuran tersebut diperoleh data harga
arus (I) dan beda potensial (V). Dengan menggunakan persamaan konfigurasi Schlumberger maka
diperoleh nilai tahanan jenis litologi batuan penyusun di lokasi penelitian. Contoh data hasil
pengukuran geolistrik dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.

3.3.2 Pengolahan dan Analisis Data

Nilai tahanan jenis yang dihitung bukanlah nilai tahanan jenis bawah permukaan yang
sebenarnya, namun merupakan nilai semu (apparent) yang merupakan tahanan jenis dari bumi yang
dianggap homogen dan memberikan nilai resistensi yang sama untuk susunan elektroda yang sama.
Untuk menentukan nilai tahanan jenis bawah permukaan yang sebenarnya diperlukan proses
perhitungan secara inversi maupun forward dengan menggunakan bantuan komputer (Software
progress Version 3.0). Proses pengolahan data terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap pemasukkan
data, tahap estimasi model parameter, tahap iterasi, dan tahap interpretasi data.
Pada tahap pemasukkan data, data yang dimasukkan berupa data jarak spasing AB/2 dan nilai
tahanan jenis yang diperoleh dari hasil pengukuran geolistrik, perhitungan dilakukan dengan
persamaan konfigurasi Schlumberger.
Tahap estimasi model parameter dilakukan untuk menduga lapisan batuan beserta ketebalannya.
Hal ini dilakukan dengan memperkirakan kedalaman batuan dan nilai tahanan jenis dari hasil
pengukuran geolistrik. Estimasi ini dilakukan pada lembar forward modelling pada Software Progress
3.0. Cara melakukan estimasi adalah dengan memasukkan kedalaman batuan dalam kolom depth dan
nilai tahanan jenisnya dalam kolom resistivity. Nilai kedalaman batuan dan resistivitasnya dimasukkan
dengan cara mendekati titik-titik yang terplotkan pada input data pada lembar observed data. Banyak
lapisan dipilih sebanyak enam lapisan. Setelah data dimasukkan, tombol panah di samping tombol

14
forward modelling diklik, kemudian nilai RMS akan terlihat. Nilai kedalaman dan tahanan jenis
dirubah sampai didapatkan nilai RMS yang terkecil.
Pada tahap iterasi dengan menggunakan Software Progress Version 3.0, dari hasil pengolahan
data akan diperoleh kurva Vertical Electrical Sounding beserta kedalaman litologi batuan dan nilai
tahanan jenisnya, yang disajikan pada lembar interpretasi data. Proses iterasi Dikerjakan pada lembar
invers modelling pada Software Progress Version 3.0. Cara melakukan proses iterasi dengan
mengubah nilai max.iteration dan RMS cut off sampai didapatkan nilai RMS terkecil. Nilai
max.iteration dan RMS cut off dapat diatur dengan cara mengklik tanda panah kebawah di samping
tombol max.iteration maupun melalui tombol Option, kemudian mengatur kolom pada max.iteration
dan RMS cut off.
Interpretasi data atau penerjemaahan data dan hasil pengukuran dilakukan pada lembar
interpreted data pada Software Progress Version 3.0. Setelah data diiterasi dalam lembar invers
modelling, interpretasi data ditampilkan pada kurva hubungan resistivity dan spacing, tabel hasil
interpretasi data, dan legenda yang berisi titik pengukuran, konfigurasi yang digunakan, nilai RMS,
deskripsi simbol dalam grafik dan penampang vertikal titik pengukuran/resistivity log. Pengolahan
data menggunakan Software Progress Version 3.0 dapat dilihat pada Lampiran 7 dan Lampiran 8.
Setelah data hasil pengukuran geolistrik diolah menggunakan Software Progress Version 3.0
maka dapat diketahui jenis tanah penyusun lapisan tersebut beserta kedalaman lapisan batuan.
Analisis dilakukan berdasarkan Gambar 5 dan Tabel 4.

Sumber : Anonim 2012


Gambar 5. Nilai tahanan jenis batuan

Airtanah terdapat pada lapisan akuifer yang memiliki ciri-ciri tersusun atas batuan pasir. Dengan
mengetahui litologi lapisan tanah maka dapat diduga posisi akuifer, ketebalan lapisan akuifer dan
penyebarannya di lokasi penelitian.

15
Tabel 4. Nilai tahanan jenis batuan
Jenis Batuan Nilai Resistivitas
(ohmmeter)
Batuan Beku 100 - 1.000.000
Batuan Ubahan 15 - 1.000.000
Lempung 1 - 11
Serpih Lunak 0,8 - 12
Serpih Keras 2 - 500
Pasir 13 - 1.000
Batupasir 50 - 2.000
Gamping Poros 50 - 2000
Gamping Padat 5.500 - 1.000.000
Sumber : Anonim 2012

Gambar 6. Diagram alir penelitian

16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1.1 Letak, Luas dan Batas wilayah

Kota Tangerang Selatan terletak di bagian timur Provinsi Banten yaitu pada titik koordinat
10638-10647 Bujur Timur dan 06 1330 -062230 Lintang Selatan. Secara administratif,
wilayah Kota Tangerang Selatan terdiri dari tujuh kecamatan, 49 kelurahan dan lima desa dengan luas
wilayah berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang
Selatan adalah seluas 147,19 km2 atau 14.719 ha. Namun berdasarkan hasil digitasi atas peta rupa
bumi bakosurtanal luas wilayah adalah 16.506,8 ha. Untuk kepentingan akurasi pemetaan dan kajian
dalam RTRW ini maka selanjutnya luas ini yang akan digunakan dalam proses analisa hingga
rencana.
Batas administrasi wilayah Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut :
Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang
Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Depok
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang
Wilayah Kota Tangerang Selatan dilintasi oleh Kali Angke, Kali Pasanggrahan dan Sungai
Cisadane sebagai batas administrasi kota di sebelah barat. Letak geografis Kota Tangerang Selatan
yang berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta pada sebelah utara dan timur memberikan peluang pada
Kota Tangerang Selatan sebagai salah satu daerah penyangga provinsi DKI Jakarta. Selain itu,
wilayah ini juga menjadi daerah perlintasan yang menghubungkan Provinsi Banten dengan Provinsi
DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat.
Kota Tangerang Selatan terdiri dari tujuh kecamatan yang dahulunya bagian dari Kabupaten
Tangerang, yaitu: Kecamatan Setu, Kecamatan Serpong, Kecamatan Serpong Utara, Kecamatan
Pondok Aren, Kecamatan Pamulang, Kecamatan Ciputat dan Kecamatan Ciputat Timur.
Kecamatan dengan wilayah paling besar di Kota Tangerang Selatan terdapat di Kecamatan
Pondok Aren dengan luas 2.993 ha atau 20,30% dari luas keseluruhan Kota Tangerang Selatan.
Sedangkan kecamatan dengan luas paling kecil adalah Kecamatan Setu dengan luas 1.696,9 ha atau
10,06%.

4.1.2 Topografi dan Geomorfologi

Sebagian besar wilayah Kota Tangerang Selatan merupakan dataran rendah, dimana sebagian
besar wilayah Kota Tangerang Selatan memiliki topografi yang relatif datar dengan kemiringan tanah
rata-rata 0-3% sedangkan ketinggian wilayah antara 0-25 m dpl.
Untuk kemiringan pada garis besarnya terbagi atas dua bagian, yaitu :
1. Kemiringan antara 0-3% meliputi Kecamatan Ciputat, Kecamatan Ciputat Timur, Kecamatan
Pamulang, Kecamatan Serpong dan Kecamatan Serpong Utara.
2. Kemiringan antara 3-8% meliputi Kecamatan Pondok Aren dan Kecamatan Setu.
Berdasarkan Peta Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu Nomor 1209 tahun 1992 maka Kota
Tangerang Selatan termasuk satuan morfologi dataran pantai dan kipas gunung api Bogor. Dataran
pantai yang dicirikan oleh permukaannya yang nisbi datar dengan ketinggian antara 0-15 m di atas
permukaan laut. Sedangkan kipas gunung api Bogor yang menyebar dari selatan ke utara dengan

17
Bogor sebagai puncaknya. Satuan ini ditempati oleh rempah-rempah gunung api berupa tuf,
konglomerat dan breksi yang sebagian telah mengalami pelapukan kuat, berwarna merah kecoklatan.

4.1.3 Geologi Wilayah

Berdasarkan Peta Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu Nomor 1209 tahun 1992 (Lapmpiran 2)
yang dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Departemen Pertambangan dan Energi, kondisi geologi
Kota Tangerang Selatan pada umumnya terbentuk oleh dua formasi batuan yaitu:
a. Batuan aluvium (Qa) yang terdiri dari aluvial sungai dan rawa yang berbentuk pasir, lempung,
lanau, kerikil, kerakal dan sisa tumbuhan. Jenis tanah ini pada dasarnya merupakan lapisan yang
subur bagi tanaman pertanian.
b. Batuan gunung api yang berupa material lepas yang terdiri dari lava andesit, dasit, breksi tuf dan
tuf. Secara fisik lava andesit berwarna kelabu-hitam dengan ukuran sangat halus, afanitik dan
menunjukkan struktur aliran, dan breksi tuf dan tuf pada umumnya telah lapuk, mengandung
komponen andesit dan desit. Pada umumnya tanah jenis ini digunakan sebagai kebun campuran,
permukiman dan tegalan.
Kota Tangerang Selatan merupakan daerah yang relatif datar. Adapun pada beberapa Kecamatan
terdapat lahan yang bergelombang seperti di perbatasan antara Kecamatan Setu dan kecamatan
Pamulang serta sebagian di Kecamatan Ciputat Timur. Kondisi geologi Kota Tangerang Selatan
umumnya adalah batuan aluvium, yang terdiri dari batuan lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan
bongkah.
Berdasarkan klasifikasi dari United Soil Classification System, batuan ini mempunyai
kemudahan dikerjakan atau workability yang baik sampai sedang, unsur ketahanan terhadap erosi
cukup baik oleh karena itu wilayah Kota Tangerang Selatan masih cukup layak untuk kegiatan
perkotaan.

4.1.4 Hidrogeologi Wilayah

1. Mandala Airtanah

Berdasarkan peta hidrogeologi Kota Tangerang Selatan (Lampiran 3) mandala airtanah dapat
dikelompokkan menjadi dua mandala berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh seperti yang telah
disebutkan di atas, yaitu mandala airtanah perbukitan bergelombang lemah dimana litologi
penyusunan dari mandala airtanah perbukitan bergelombang lemah terdiri endapan tersier dan
endapan kuarter. Endapan tersier berupa batu lempung, tufa dan sisipan batu gamping. Endapan
kuarter terdiri dari batuan volkanik muda dan batuan volkanik tua terdiri dari breksi, lahar, tufa batu
apung di daerah landai. Penyebaran mata air mandala ini sedikit dijumpai dengan debit umum kurang
dari 10 Liter/detik.
Akuifer pada satuan mandala ini umumnya dikelompokkan dalam akuifer produktifitas rendah
terutama pada daerah-daerah dengan lereng tajam yang merupakan pencerminan tingkat kelulusan
batuan yang rendah, sehingga aliran permukaan semakin menonjol dibandingkan dengan tingkat
peresapannya. Tata guna lahan di mandala ini berupa ladang, belukar, sawah, pemukiman, kebun
karet.
Sedangkan yang kedua yaitu mandala airtanah dataran dimana litologi penyusun satuan mandala
airtanah dataran adalah adalah material bersifat lepas berupa endapan aluvial pantai dan rawa
topografinya berupa dataran pantai yang tersusun oleh material, pasir, lanau, lempung dan lumpur.

18
Sistem akuifer pada mandala airtanah dataran ini adalah sistem aliran antar butir tipologi akuifer
batuan sedimen dan endapan aluvial. Pada umumnya masyarakat mendapatkan air bersih dengan
membuat sumur dangkal pada mandala airtanah dataran tersebut.

2. Tipologi Akuifer

Tipologi akuifer di wilayah studi merupakan sistem akuifer endapan aluvial atau endapan
permukaan, dan endapan sedimen, dengan sistem aliran airtanah pada akuifer ini adalah melalui ruang
antar butir, aliran airtanah dangkal mengikuti bentuk umum topografi yaitu mengalir ke arah utara.

3. Sebaran Dan Sistem Akuifer

Menurut peta hidrogeologi regional lembar Jakarta (Lampiran 3), Pusat Geologi Lingkungan
tahun 1993, memetakan hidrogeologi berdasarkan lapisan akuifer endapan permukaan dan lapisan
akuifer batuan dasar. Sistem akuifer endapan permukaan didasarkan pada telaah penyebaran aluvial
sungai, kipas aluvial, ketebalan endapan permukaan diperoleh dari pengamatan pada sumur gali
dengan kedalaman mencapai sekitar 15 m. Pada umumnya sistem akuifer endapan permukaan
dijumpai pada endapan kuarter dan di beberapa bagian dijumpai di daerah pelapukan batuan tersier.
Dari peta geohidrogeologi regional Jakarta untuk endapan permukaan di wilayah studi kisarannya
antara 15-20 m.

4. Akuifer Endapan Permukaan

Akuifer endapan permukaan pada umumnya menempati daerah dataran aluvial sungai dan
endapan vulkanik muda. Berdasarkan pada telaah morfologi dan geologi secara ringkas hidrogeologi
endapan permukaan di wilayah studi terbagi menjadi dua yaitu luah sumur 1-5 l/det dan luah sumur <
1 l/det.
Wilayah luah sumur 15 l/det persebarannya cukup luas, berada di wilayah utara dan timur
wilayah serpong yaitu mulai dari Rawa Mekarjaya dan Cilenggang, sedangkan yang diselatan yaitu di
Rawakalo dan Pengasinan. Batuan penyususn wilayah tersebut adalah batuan endapan permukaan
berupa kerikil dan pasir lempungan dengan ketebalan kurang dari 10 m. Tipe akuifernya adalah
akuifer bebas (unconfined), sistem akuifer melalui ruang antar butir, dengan debit mencapai < 5
l/detik.
Wilayah luah sumur < 1 lt/det persebarannya di bagian tengah wilayah studi memanjang ke arah
utara di sepanjang sungai Cisadane, terutama pada daerah dengan morfologi perbukitan
bergelombang. Sebarannya berada di sebelah barat Serpong sampai wilayah Bogor. Batuan penyusun
wilayah tersebut adalah batuan endapan permukaan berupa pasir lempungan dan sedikit kerikil
dengan ketebalan kurang dari 7 m dan tidak menerus. Tipe akuifernya adalah akuifer bebas
(unconfined), sistem akuifer melalui ruang antar butir, dengan debit mencapai 0,2 l/detik, dengan
kedalaman muka airtanah 10 m di bawah muka tanah
Sistem aliran airtanah pada akuifer ini melalui ruang antar butir, umumnya dimanfaatkan melalui
sumur gali dengan diameter kurang dari 2 m dengan kedalaman sumur sampai 15 m. Akuifer
umumnya terdiri dari beberapa lapisan, ketebalannya kurang dari 4 m dengan selingan lapisan
lempung.

19
5. Akuifer Batuan Dasar

Berdasarkan pembagian lapisan akuifer endapan batuan dasar, wilayah Jakarta terbagi menjadi
tiga satuan dengan luah sumur yaitu : luah sumur lebih dari 25 l/detik, luah sumur 5-25 l/det, luah
sumur < 5 l/det, persebaran masing masih satuan seperti pada Lampiran 3 (peta hidrogeologi batuan
dasar).
Wilayah luah sumur > 25 l/det persebarannya tidak luas setempat-setempat, berada di wilayah
utara Jakarta sepanjang pantai, yaitu antara muara Ancol dan muara Angke, dan dari pantau Dadap
sampai wilayah barat pantai Jakarta berbatasan dengan Tangerang. Batuan penyususn wilayah tersebut
adalah dengan batuan berupa batu gamping koral dan batu gamping pasiran. Tipe akuifernya adalah
akuifer bebas (unconfined), sistem akuifer aliran melalui celah, rekahan dan saluran pelarutan
persebarannya setempat melalui ruang antar butir, dengan debit mencapai 10 l/detik.
Wilayah luah sumur 5-25 l/det persebarannya sangat luas hampir seluruh wilayah berada pada
wilayah dengan luah sumur 5-25 l/det. Batuan penyusun wilayah tersebut adalah batuan sedimen
kuarter belum termampatkan sehingga sangat poros, berupa batu pasir dengan ketebalan antara 3-18
m, dijumpai sisipan lempung sehingga dibeberapa tempat dapat ditemukan sumur artesis pada
kedalaman antara 3-21 m di bawah muka tanah. Tipe akuifernya adalah akuifer bebas (unconfined),
dan kuifer tertekan (confined) sistem akuifer aliran melalui ruang antar butir, dan setempat dijumpai
melalui rekahan.
Berdasarkan pembagian lapisan akuifer endapan batuan dasar, wilayah studi yaitu daerah
Serpong dan sekitarnya hanya terdiri dari satu kelompok luah sumur yaitu luah sumur < 5 l/det.
Persebaran masing-masing satuan seperti terlihat pada Lampiran 3 peta hidrogeologi batuan dasar.
Batuan penyususn wilayah tersebut adalah sebagian kecil batuan sedimen kuarter belum
termampatkan sehingga sangat poros, berupa batu pasir dan breksi, dan sebagian berupa batuan tersier
berupa breksi, batu gamping pasiran dengan ketebalan antara 3-20 m, kedalaman antara 60-250 m di
bawah muka tanah. Tipe akuifernya adalah akuifer bebas (unconfined), dan akuifer tertekan (confined)
sistem akuifer aliran melalui ruang antar butir, dan setempat dijumpai melalui rekahan dan saluran
pelarutan.

4.1.5 Iklim dan Curah Hujan

Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan
tanaman, oleh karena itu iklim merupakan salah satu data yang sangat diperlukan dalam perencanaan
wilayah terutama keperluan pertanian.
Dari analisis data pada Tabel 5 yang diperoleh dari Stasiun Geofisika Klas I Tangerang,
diketahui bahwa hujan rata-rata tahunan 145,3 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari,
yaitu 664 mm, sedangkan rata-rata curah hujan dalam setahun adalah 145,3 mm. Hari hujan tertinggi
terjadi pada bulan Februari yaitu sebanyak 28 hari.

20
Tabel 5. Banyaknya curah hujan dan hari hujan
Bulan Curah Hujan Hari Hujan
(mm) (Hari)
Januari 138 13
Februari 664 28
Maret 98 12
April 198 14
Mei 55 7
Juni 141 8
Juli 1 1
Agustus 48 8
September 2 2
Oktober 81 11
November 174 13
Desember 144 20
Rata-Rata 145,3 11,4
Sumber : Stasiun Geofisika Klas I Tangerang-BMKG, 2009

4.1.6 Jenis Tanah

Secara umum penyebaran dan sifat-sifat tanah berkaitan erat dengan keadaan landform-nya. Hal
ini terjadi karena hubungannya dengan proses genetis dan sifat batuan atau bahan induk serta
pengaruh sifat fisik lingkungan. Landform sebagai komponen lahan dan tanah sebagai elemennya
sangat tergantung pada faktor-faktor tersebut.
Dilihat dari data jenis tanah berdasarkan keadaan geologi, di wilayah Kota Tangerang Selatan
sebagian besar terdiri dari batuan endapan hasil gunung api muda dengan jenis batuan kipas aluvium
dan aluvium/aluvial. Sedangkan dilihat dari sebaran jenis tanahnya, pada umumnya di Kota
Tangerang Selatan berupa asosiasi latosol merah dan latosol coklat kemerahan. Oleh karena itu secara
umum lahan cocok untuk pertanian/perkebunan. Jenis tanah yang sangat sesuai dengan kegiatan
pertanian tersebut makin lama makin berubah penggunaannya untuk kegiatan lainnya yang bersifat
non-pertanian. Sedangkan untuk sebagian wilayah seperti di Kecamatan Serpong dan Kecamatan Setu
jenis tanahnya ada yang mengandung pasir khususnya untuk daerah yang dekat dengan Sungai
Cisadane.

4.2 IDENTIFIKASI AKUIFER DAN PENDUGAAN GEOLISTRIK

Pada titik pengukuran pertama (GL.1), sebelum dilakukan iterasi pada invers modelling nilai
RMS-nya sebesar 14,17 %, setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS Cut off-nya 1,
nilai RMS-nya menjadi 5,63%. Pada GL.2 nilai RMS sebesar 15,62 % sebelum dilakukan iterasi dan
berubah menjadi 12.61 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1.
Pada GL.3 nilai RMS sebesar 6,97 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 4,04 % setelah
dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.4 nilai RMS sebesar 11,21
% sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 8,19 % setelah dilakukan iterasi dengan
max.iteration 10 dan RMS Cut Off-nya 1. Pada GL.5 nilai RMS sebesar 17,28 % sebelum dilakukan
iterasi dan berubah menjadi 13,14 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut
off-nya 1. Pada GL.6 nilai RMS sebesar 7,39 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 7,24
% setelah dilakukan iterasi dengan max. iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.7 nilai RMS
sebesar 13,69 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 11,33 % setelah dilakukan iterasi
dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.8 nilai RMS sebesar 10,23 % sebelum
dilakukan iterasi dan berubah menjadi 8,41 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan

21
RMS cut off-nya 1. Pada GL.9 nilai RMS sebesar 12,47 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah
menjadi 7,14 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off- nya 1. Pada GL.10
nilai RMS sebesar 10,50 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 7,24 % setelah dilakukan
iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.11 nilai RMS sebesar 5,22 %
sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 4,65 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration
10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.12 nilai RMS sebesar 8,49 % sebelum dilakukan iterasi dan
berubah menjadi 4,99 % setelah dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1.
Pada GL.13 nilai RMS sebesar 7,20 % sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 5,13 % setelah
dilakukan iterasi dengan max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1. Pada GL.14 nilai RMS sebesar 7,67
% sebelum dilakukan iterasi dan berubah menjadi 5,81 % setelah dilakukan iterasi dengan
max.iteration 10 dan RMS cut off-nya 1.
Dari hasil pengukuran pada 14 lokasi setelah dikorelasikan dengan data geologi dan hidrogeologi
setempat, diperoleh hasil pendugaan geolistrik sebesar 0,64-198,13 ohmmeter. Berdasarkan kisaran
harga tahanan jenis tersebut secara umum dapat dikelompokan seperti disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Dugaan tahanan jenis daerah lokasi penelitian

Tahanan Jenis (Ohmmeter) Perkiraan Litologi Sifat Hidrogeologi


0,64-198,13 Tanah penutup Permeabilitas rendah
2-5 Pasir lempungan Akuifer
<2 Lempung Nir Akuifer
6-10 Pasir tufaan Akuifer
>10 Pasir Konglomeratan Akuifer

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai keadaan lapisan batuan bawah tanah secara
vertikal maka penampang tegak lapisan tanah tahanan dari setiap titik pengukuran geolistrik dapat
digambarkan.

4.3 PENAMPANG TEGAK TAHANAN JENIS PENGUKURAN PRIMER

Berdasarkan hasil intersepsi geolistrik secara kuantitatif yang dikorelasikan dengan data geologi
dan data hidrogeologi setempat, maka diperoleh beberapa perbedaan tahanan jenis yang ditafsirkan
sebagai perubahan lapisan batuan. Hasil interpretasi data geolistrik dapat dilihat pada Tabel 7 dan
Tabel 8.

4.3.1 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.1

Penampang tegak tahanan jenis pada GL.1 terdiri dari enam kontras tahanan jenis secara vertikal
yang dapat ditafsir menjadi enam jenis lapisan. Keenam kontras tahanan tersebut sebagai enam lapisan
batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut:
Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis
sebesar 3,16 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,3 m.
Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 2,25 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir
lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 4 meter. Kedalaman
akuifer ini diperkirakan mencapai 5,3 m dibawah permukaan tanah setempat (bmt).
Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 1,37 ohm meter. Lapisan ini ditafsir
sebagai lapisan lempung. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 8 m dengan kedalaman
mencapai 13,7 m bmt.

22
Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 2,57 Ohm meter yang ditafsir sebagai pasir
lempungan (diduga akuifer) dengan ketebalan 15 m.
Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 6,56 Ohm meter. Lapisan ini diduga
sebagai lapisan pasir tufaan (diduga akuifer). Kedalaman ini diduga mencapai kedalaman 80 m
bmt.
Kontras tahanan jenis keenam adalah 12,53 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir
konglomeratan (akuifer dalam). Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman > 120 m
bmt.

4.3.2 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.2

Penampang tegak tahanan jenis pada GL.2 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal
yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan
batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut:
Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis
sebesar 18,65 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,25 m.
Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 8,27 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir
tufaan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 5 meter. Kedalaman
akuifer ini diperkirakan mencapai 5,25 m bmt.
Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 19,93 ohm meter. Lapisan ini ditafsir
sebagai lapisan pasir konglomeratan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 7 m dengan
kedalaman mencapai 14 m bmt.
Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 4,8 Ohm meter yang ditafsir sebagai pasir
lempungan (diduga akuifer) dengan ketebalan 12 m.
Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 29,38 Ohm meter. Lapisan ini diduga
sebagai laisan pasir konglomeratan (akuifer dalam). Ketebalan lapisan diduga > 90 m mencapai
kedalaman > 120 m bmt.

4.3.3 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.3

Penampang tegak tahanan jenis pada GL.3 terdiri dari empat kontras tahanan jenis secara
vertikal yang dapat ditafsir menjadi empat jenis lapisan. Kempat kontras tahanan tersebut sebagai
empatlapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan
sebagai berikut:
Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis
sebesar 5,59 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,5 m
Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 0,51 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan lempung
dengan ketebalan mencapai 23 meter dengan kedalaman mencapai 25 m bmt.
Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 4,5 ohm meter. Lapisan ini ditafsir sebagai
lapisan pasir lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 18 m
dengan kedalaman mencapai 44 m bmt.
Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 7,51 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan
pasir tufaan (diduga akuifer) dengan ketebalan > 75 m mencapai kedalaman > 120 m bmt.

23
4.3.4 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.4

Penampang tegak tahanan jenis pada GL.4 terdiri dari empat kontras tahanan jenis secara
vertikal yang dapat ditafsir menjadi empat jenis lapisan. Keempat kontras tahanan tersebut sebagai
empat lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan
sebagai berikut:
Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis
sebesar 14,66 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,6 m
Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 78,68 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir
konglomeratan dengan ketebalan mencapai 20 meter dengan kedalaman mencapai 21,6 m bmt.
Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 4,82 ohm meter. Lapisan ini ditafsir
sebagai lapisan pasir lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai
3 m dengan kedalaman mencapai 24 m bmt.
Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 25,99-78,68 Ohmmeter yang ditafsir sebagai
lapisan pasir konglomeratan (diduga akuifer) dengan ketebalan > 90 m mencapai kedalaman > 120
m bmt.

4.3.5 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.5

Penampang tegak tahanan jenis pada GL.5 terdiri dari enam kontras tahanan jenis secara vertikal
yang dapat ditafsir menjadi enam jenis lapisan. Keenam kontras tahanan tersebut sebagai enam lapisan
batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut:
Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis
sebesar 1,52 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,1 m.
Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 2,15 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir
lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 1,5 meter.
Kedalaman akuifer ini diperkirakan mencapai 2,6 m bmt.
Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 7,92 ohm meter. Lapisan ini ditafsir
sebagai lapisan pasir tufaan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 8 m dengan kedalaman
mencapai 11 m bmt.
Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 1,52 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan
lempung dengan ketebalan 15 m.
Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 9,9 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai
lapisan pasir tufaan (diduga akuifer) dengan ketebalan 34 m dan kedalaman diduga mencapai
kedalaman 62 m bmt.
Kontras tahanan jenis keenam adalah 2,07 Ohmmeter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir
lempungan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 60 m mencapai kedalaman > 120
m bmt.

4.3.6 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.6

Penampang tegak tahanan jenis pada GL.6 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal
yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan
batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut:
Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis
sebesar 0,64 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,25 m.

24
Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 1,70 ohmmeter, ditafsir sebagai lapisan lempung
dengan ketebalan mencapai 1,8 m.
Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 3,38 ohm meter. Lapisan ini ditafsir
sebagai lapisan pasir lempungan diduga sebagai akuifer dangkal. Lapisan ini memilki ketebalan
mencapai 2 m dengan kedalaman mencapai 6,2 m bmt.
Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 1,73 Ohmmeter yang ditafsir sebagai lempung
dengan ketebalan 73,8 m.
Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 6,13 Ohmmeter. Lapisan ini diduga
sebagai lapisan pasir tufaan (akuifer dalam). Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai
kedalaman > 120 m bmt.

4.3.7 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.7

Penampang tegak tahanan jenis pada GL.7 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal
yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan
batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut:
Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis
sebesar 63,10 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,3 m.
Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 17,56 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir
konglomeratan diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan 4 m dan kedalaman 5,7 m bmt.
Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 2,28 ohm meter. Lapisan ini ditafsir
sebagai lapisan pasir lempungan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 25 m dengan kedalaman
mencapai 33,33 m bmt.
Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 8,52 Ohm meter yang ditafsir sebagai pasir
tufaan diduga akuifer dengan ketebalan 40 m dan kedalaman 75 m.
Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 4,62 Ohm meter. Lapisan ini diduga
sebagai lapisan pasir tufaan (akuifer dalam). Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai
kedalaman > 120 m bmt.

4.3.8 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.8

Penampang tegak tahanan jenis pada GL.8 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal
yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan
batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut:
Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis
sebesar 198,13 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,7 m.
Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 6,14 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir
tufaan diduga akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 6 m dan kedalaman 8,3 m.
Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 3,38 ohm meter. Lapisan ini ditafsir
sebagai lapisan pasir lempungan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 3 m dengan kedalaman
mencapai 12 m bmt.
Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 0,9 Ohm meter yang ditafsir sebagai lempung
dengan ketebalan 25 m.
Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 7,53 Ohm meter. Lapisan ini diduga
sebagai lapisan pasir tufaan (akuifer dalam). Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai
kedalaman > 120 m bmt.

25
4.3.9 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.9

Penampang tegak tahanan jenis pada GL.4 terdiri dari empat kontras tahanan jenis secara
vertikal yang dapat ditafsir menjadi empat jenis lapisan. Keempat kontras tahanan tersebut sebagai
empat lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan
sebagai berikut:
Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis
sebesar 3,84 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,7 m
Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 4,64 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir
lempungan diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan 5 meter dengan kedalaman mencapai
6 m bmt.
Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 1,22 ohm meter. Lapisan ini ditafsir
sebagai lapisan lempung dengan ketebalan mencapai 65 m dengan kedalaman 72 m bmt.
Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 8,81 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan
pasir tufaan (diduga akuifer) dengan ketebalan > 45 m mencapai kedalaman > 120 m bmt.

4.3.10 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.10

Penampang tegak tahanan jenis pada GL.10 terdiri dari enam kontras tahanan jenis secara
vertikal yang dapat ditafsir menjadi enam jenis lapisan. Keenam kontras tahanan tersebut sebagai
enam lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan
sebagai berikut:
Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis
sebesar 15,57 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,5 m.
Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 2,74 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir
lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 6 meter. Kedalaman
akuifer ini diperkirakan mencapai 6,6 m bmt.
Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 7,32 ohm meter. Lapisan ini ditafsir
sebagai lapisan pasir tufaan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 5,5 m dengan kedalaman
mencapai 10 m bmt.
Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 1,12 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan
lempung dengan ketebalan 15 m.
Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 3,22 Ohm meter. Lapisan ini diduga
sebagai lapisan pasir lempungan (diduga akuifer) dengan ketebalan 35 m dan kedalaman diduga
mencapai kedalaman 65 m bmt.
Kontras tahanan jenis keenam adalah 7,8 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir
tufaan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman > 120 m
bmt.

4.3.11 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.11

Penampang tegak tahanan jenis pada GL.11 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal
yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan
batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut:
Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis
sebesar 2,8 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,6 m.

26
Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 2,1 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir
lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan mencapai 8 meter. Kedalaman
akuifer ini diperkirakan mencapai 10 m bmt.
Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis 0,38 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan
lempung dengan ketebalan 30 m.
Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis sebesar 4,25 Ohm meter. Lapisan ini diduga
sebagai lapisan pasir lempungan (diduga akuifer) dengan ketebalan 30 m dan kedalaman diduga
mencapai kedalaman 78 m bmt.
Kontras tahanan jenis kelima adalah 8,3 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasiran
tufaan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman > 120 m
bmt.

4.3.12 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.12

Penampang tegak tahanan jenis pada GL.12 terdiri dari enam kontras tahanan jenis secara
vertikal yang dapat ditafsir menjadi enam jenis lapisan. Keenam kontras tahanan tersebut sebagai
enam lapisan batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan
sebagai berikut:
Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis
sebesar 2,26 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,3 m.
Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 5,4 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir
lempungan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan 2 meter. Kedalaman akuifer ini
diperkirakan mencapai 3,7 m bmt.
Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis sebesar 8,95 ohm meter. Lapisan ini ditafsir
sebagai lapisan pasir tufaan. Lapisan ini memilki ketebalan mencapai 6 m dengan kedalaman
mencapai 10,3 m bmt.
Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis 4,4 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan pasir
lempungan diduga sebagai akuifer dengan ketebalan 30 m dan kedalaman 40 m bmt.
Kontras tahanan jenis kelima : bertahanan jenis sebesar 1,13 Ohm meter. Lapisan ini diduga
sebagai lapisan lempung dengan ketebalan 30 m dan kedalaman diduga mencapai kedalaman 74 m
bmt.
Kontras tahanan jenis keenam adalah 53,33 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasir
konglomeratan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 40 m mencapai kedalaman >
120 m bmt.

4.3.13 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.13

Penampang tegak tahanan jenis pada GL.13 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal
yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan
batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut:
Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis
sebesar 22,08 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,2 m.
Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 9,75 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan pasir
tufaan yang diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan 3 meter. Kedalaman akuifer ini
diperkirakan mencapai 4,8 m bmt.
Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan 4,41 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan pasir
lempungan dengan ketebalan 8,2 m.

27
Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis sebesar 1,16 Ohm meter. Lapisan ini diduga
sebagai lapisan lempung dengan ketebalan 70 m dan kedalaman diduga mencapai kedalaman 86 m
bmt.
Kontras tahanan jenis kelima adalah 5,25 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasiran
tufaan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 30 m mencapai kedalaman > 120 m
bmt.

4.3.14 Penampang Tegak Tahanan Jenis GL.14

Penampang tegak tahanan jenis pada GL.14 terdiri dari lima kontras tahanan jenis secara vertikal
yang dapat ditafsir menjadi lima jenis lapisan. Kelima kontras tahanan tersebut sebagai lima lapisan
batuan yang berbeda tahanan sifat fisiknya, dimana sifat fisiknya dapat diuraikan sebagai berikut:
Kontras tahanan jenis pertama : merupakan tahanan jenis tanah penutup dengan tahanan jenis
sebesar 2,04 ohm meter. Lapisan tanah penutup ini setebal 1,2 m.
Kontras tahanan jenis kedua : bertahanan jenis 1,5 ohm meter, ditafsir sebagai lapisan lempung
dengan ketebalan mencapai 8,8 meter.
Kontras tahanan jenis ketiga : bertahanan jenis 3,30-5,5 Ohm meter yang ditafsir sebagai lapisan
pasir lempungan diduga sebagai akuifer dangkal dengan ketebalan 25 m dan kedalaman 33 m bmt.
Kontras tahanan jenis keempat : bertahanan jenis sebesar 1,19 Ohm meter. Lapisan ini diduga
sebagai lapisan lempung dengan ketebalan 30 m dan kedalaman diduga mencapai kedalaman 68 m
bmt.
Kontras tahanan jenis kelima adalah 8,39 Ohm meter. Lapisan ini diduga sebagai lapisan pasiran
tufaan (akuifer dalam) dengan Ketebalan lapisan diduga > 50 m mencapai kedalaman > 120 m
bmt.

Data yang dihasilkan dari pengukuran menggunakan alat geolistrik di lokasi penelitian
mengandung beberapa data yang error. Kesalahan data tersebut berupa nilai tahan jenis yang terlalu
tinggi ataupun terlalu rendah. Kesalahan data tersebut berpengaruh terhadap interpretasi data untuk
memperkirakan posisi lapisan akuifer berada. Besarnya nilai kesalahan data ditunjukkan dengan
istilah RMS (Root Mean Square) dalam perangkat lunak Progress Version 3.0. kesalahan-kesalahan
tersebut diakibatkan oleh kondisi lingkungan daerah penelitian dan teknis pengukuran, yakni :
hubungan elektroda arus AB dengan tanah tidak terkontak dengan baik sehingga arus listrik tidak
stabil, injeksi arus belum optimal dan kondisi lapisan tanah yang terbentuk akibat timbunan maupun
adanya tumpukan sampah. Bila harga apparent resistivity menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya,
kemungkinan ada kebocoran arus pada kabel atau menancapkan elektroda AB pada jarak yang lebih
pendek dari yang seharusnya, atau jarak elektroda tegangan MN lebih panjang dari yang seharusnya.
Bila harga apparent resistivity terlalu rendah, ada kemungkinan elektroda arus ditancapkan pada jarak
yang lebih jauh dari yang seharusnya atau jarak elektroda tegangan MN lebih pendek dari yang
seharusnya.

28
Tabel 7. Hasil interpretasi data geolistrik (GL.1-GL.7)

Titik
Kedalaman Tahanan Jenis
Pendugaan Penafsiran
(m) (Ohm meter)
Geolistrik
0 1,3 3,16 Tanah penutup
1,3 5.3 2,25 Pasir lempungan (diduga akuifer)
5,3 13,7 1,37 Lempung
GL.1
13,7 31,5 2,57 Pasir lempungan (diduga akuifer)
31,5 80 6,56 Pasir Tufaan
80 - 12,53 Pasir konglomeratan (diduga akuifer)
0 1,25 0,01 18,65 Tanah penutup
1,25 5,25 8,27 Pasir tufaan (diduga akuifer)
GL.2 5,25 15,75 19,93 Pasir konglomeratan
15,75 28,25 4,8 Pasir lempungan (diduga akuifer)
28,25 - 29,38 Pasir konglomeratan (diduga akuifer)
0 1,5 5,59 Tanah penutup
1,5 26,27 0,51 Lempung
GL.3
26,27 44,73 4,5 Pasir lempungan (diduga akuifer)
44,73 - 7,51 Pasir tufaan (diduga akuifer)
0 1,6 14,66 Tanah penutup
1,6 21,6 78,68 Pasir konglomeratan (diduga akuifer)
GL.4
21,6 24,4 4,82 Lempung
24,4 25,9978,68 Pasir konglomeratan (diduga akuifer)
0 1,1 1,52 Tanah penutup
1,1 2,6 2,15 Pasir lempungan (diduga akuifer)
2,6 11,79 7,92 Pasir tufaan (diduga akuifer)
GL.5
11,79 15,11 1,52 Lempung
15,11 62,55 9,9 Pasir tufaan (diduga akuifer)
62,55 2,07 Pasir lempungan (diduga akuifer)
0 1,25 0,64 Tanah penutup
GL.6 1,25 1,8 1,7 Lempung/tuf
1,8 6,2 3,38 Pasir lempungan (diduga akuifer)
6,2 73,8 1,73 Lempung/tuf
73,8 - 6,13 pasir tufaan (diduga akuifer)
0 1,3 63,10 Tanah penutup
1,3 5,7 17,56 Pasir konglomeratan (diduga akuifer)
GL.7 5,7 33,33 2,28 Pasir lempungan
33,33 75 8,52 Pasir tufaan (diduga akuifer)
75 - 4,62 Pasir lempungan

29
Tabel 8. Hasil interpretasi data geolistrik (GL.8-GL.14)

Titik
Kedalaman Tahanan Jenis
Pendugaan Penafsiran
(m) (Ohm meter)
Geolistrik
0 1,7 198,13 Tanah penutup
1,7 8,3 6,14 Pasir tufaan (diduga akuifer)
GL.8 8,3 12,7 3,38 Pasir lempungan (diduga akuifer)
12,7 35,3 0,9 Lempung
35,3 7,53 Pasir Tufaan (diduga akuifer)
0 1,7 3,84 Tanah penutup
1,7 6,3 4,64 Pasir lempungan (diduga akuifer)
GL.9
6,3 72,6 1,22 Lempung
72,6 8,81 Pasir tufaan (diduga akuifer)
0 1.5 15,57 Tanah penutup
1,5 6,6 2,74 Pasir lempungan (diduga akuifer)
6,6 10,4 7,32 Pasir tufaan (diduga akuifer)
GL.10
10,4 15,6 1,12 lempung
15,6 65,4 3,22 Pasir lempungan (diduga akuifer)
65,4 - 7,8 Pasir tufaan (diduga akuifer)
0 1,6 14,66 Tanah penutup
1,6 10,4 2,1 Pasir lempungan (diduga akuifer)
GL.11 10,4 42,6 0,73 Lempung
42,6 78,4 4,25 Pasir lempungan (diduga akuifer)
78,4 - 8,3 Pasir tufaan (diduga akuifer)
0 1,3 2,26 Tanah penutup
1,3 3,7 5,4 Pasir lempungan (diduga akuifer)
3,7 10,3 8,95 Pasir tufaan (diduga akuifer)
GL.12
10,3 40,7 4,4 Pasir lempungan
40,7 74,3 1,13 lempung
74,3 53,33 Pasir tufaan (diduga akuifer)
0 1,2 22,08 Tanah penutup
GL.13 1,2 4,8 9,75 Pasir tufaan (diduga akuifer)
4,8 8,2 4,41 Pasir lempungan (diduga akuifer)
8,2 70,8 1,16 Lempung
70,8 - 5,25 Pasir lempungan (diduga akuifer)
0 1,2 2,04 Tanah penutup
1,2 8,8 1,5 lempung
GL.14 8,8 33,2 3,30 5,5 Pasir lempungan (diduga akuifer)
33,2 68,8 1,19 Lempung
68,8 - 8,39 Pasir tufaan (diduga akuifer)

30
m (bmt)

Top soil Pasir Tufaan

Pasir Konglomeratan
Lempung

Pasir Lempungan

Gambar 7. Penampang tegak berdasarkan pengukuran geolistrik (GL.1-GL.7)

31
m (bmt)

Top Soil Pasir Tufaan

Lempung Pasir Konglomeratan

Pasir Lempungan

Gambar 8. Penampang tegak berdasarkan pengukuran geolistrik (GL.8-GL.14)

32
4.4 SEBARAN AKUIFER

Akuifer yang berkembang di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten secara administratif
berlitologi pasir lempungan, pasir tufan, dan pasir konglomeratan dan dapat dibedakan berdasarkan
kedalamannya menjadi akuifer dangkal dan akuifer dalam. Akuifer dangkal dibatasi hanya untuk
akuifer-akuifer yang terdapat hingga kedalaman sampai 50 m di bawah permukaan tanah (bmt), dan
akuifer dalam adalah akuifer yang terdapat pada kedalaman lebih dari 50 m bmt.
Ketebalan akuifer dangkal (pada kedalaman < 50 m) di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten
bervariasi antara 2-12 m pada kedalaman 3-44,73 m, hingga ketebalan > 75 m untuk akuifer dalam
(pada kedalaman > 50 m). Akuifer dangkal (pada kedalaman < 50 m) adalah akuifer tak tertekan dan
pada tempat yang semakin dalam berubah menjadi akuifer semitertekan. Sedangkan akuifer dalam
(pada kedalaman > 50 m) merupakan akuifer tertekan yang dibatasi oleh dua lapisan kedap air
(impermeable layer) pada bagian atas dan bawahnya. Potongan melintang pada Gambar 14 dan
Gambar 15 merupakan suatu contoh sebaran dalam kaitannya dengan sifat dan ketebalan akuifer di
Kota Tanggerang Selatan, Provinsi banten.
Sebaran akuifer di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten diduga dengan memetakan hasil
pengukuran pada peta topografi (Gambar 9) sehingga didapatkan potongan melintang akuifer menurut
arah Selatan-Utara dan Barat-Timur. Dimana akuifer bebas dari arah selatan ke utara semakin
dangkal. Hal ini disebabkan keadaan topografi Kota Tangerang yang semakin rendah ke bagian utara.

Gambar 9. Peta pengukuran geolistrik

33
Elevasi ( m dpl)

Jarak (km)

Gambar 10. Potongan melintang akuifer arah Selatan-Utara Kota Tangerang Selatan

37
Elevasi (m dpl)

Jarak (km)
Gambar 11. Potongan melintang akuifer arah Barat-Timur Kota Tangerang Selata

38
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan seluruh rangkaian penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :

1. Litologi batuan penyusun terbentuk oleh dua formasi batuan geologi yaitu batuan aluvium yang
terdiri dari aluvial sungai dan rawa yang berbentuk pasir lempungan, lanau, kerikil, keraka, dan
batuan gunung api yang berupa material lepas yang terdiri dari lava andesit, dasit, breksi tuff,
pasir tuffan dan pasir konglomeratan.
2. Lapisan akuifer dangkal berada pada kedalaman 3-44,73 m di bawah permukaan tanah (bmt)
dengan ketebalan beragam mulai dari 2-12 m. litologi yang berkembang pada lapisan tersebut
didominisasi oleh pasir lempungan dan pasir tufaan dengan nilai tahanan jenis berkisar antara 2-
10 ohm meter. Sedangkan lapisan akuifer dalam berada pada kedalaman 80-130 m di bawah
permukaan tanah (bmt) dengan ketebalan > 75 m. Litologi yang berkembang pada lapisan
tersebut berupa pasir tufaan dan pasir konglomeratan dengan nilai tahanan jenis > 10 ohm meter.
3. Sebaran akuifer di wilayah studi merupakan akuifer endapan aluvial atau endapan permukaan,
dan endapan sedimen, dengan sistem aliran airtanah pada akuifer ini adalah melalui ruang antar
butir. Aliran airtanah dangkal mengikuti bentuk umum topografi yaitu mengalir ke arah utara
dimana sebaran akuifer bebas semakin ke utara semakin dangkal. Pada akuifer dalam sebarannya
relatif merata dengan ketebalan > 75 meter sehingga mempunyai potensi untuk dimanfaatkan.

5.2 SARAN

1. Sebelum pengukuran, sebaiknya dilakukan survei lapangan untuk menentukan lokasi-lokasi


pengukuran geolistrik sehingga dapat menghemat waktu pelaksanaan pengukuran di
lapangan.
2. Pengukuran geolistrik pada dua lokasi per kecamatan tidak cukup untuk menggambarkan
sebaran akuifer di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten yang luasnya > 14.719 ha
sehingga hasil pendugaan sebaran akuifer kurang teliti.
3. Perlu adanya data hasil pengeboran daerah sekitar titik pengukuran geolistrik sehingga dapat
diketahui seberapa besar akurasi dari alat geolistrik atau metode tahanan jenis yang telah
dilakukan.

36
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Kabupaten Tangerang Dalam Angka Tahun 2007. Biro Pusat Statistik Kabupaten
Tangerang.

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor.

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengolahan Air Sungai. Gajah Mada Univesity Press, Yogyakarta.

Bowen, R. 1986. Groundwater. Elsevier Applied science Publishers. London and New York.

Damtoro, J. 2007. Metode Geofisika. Blok Damtoro Juswonto. Diakses 22 Januari 2012 di
http : // www.beavo3x.com/Damtoro/geofisik.htm.

Fetter, PG dan Yeh. WWG. 1998. Management Model For Conjunctive Use of Coastal Surface
Water and Groundwater. Journal of Water Resource Planning and Management,
American Society of Civil Engineers,124 (3), 129.

Kashef, AAI. 1987. Groundwater Engineering, Me Graw-Hill Book Co, Singapore.

Matthews, R. 2005. Planet Bumi. Topik Paling Seru, alih bahasa oleh Damaring Tyas Wulandari.
Jakarta: Erlangga.

Parker, S. 2007. Tata Surya Just the Facts. Penerjemah Soni Astranto, S.Si. Erlangga for Kids,
Penerbit Erlangga.

Rusmana, E dan Sukardi, P. 2001. Peta Geologi Lembar Jakarta Skala 1:100000. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung

Seyhan, E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Singh, VP. 1992. Elementary Hidrology. Prentince Hall Inc, USA.

Sosrodarso, S dan Takeda, K. 1993. Hidrologi Untuk Pengairan. Pradnya Paramita, Jakarta.

Suripin, 2001. Pelestarian Sumberdaya Air dan Tanah. Penerbit Andi, Yogyakarta.

Todd, DK. 1995. Groundwater Hydrology. Second Edition. John Wiley & Sons, Singapore.

Ward, AD dan Elliot. WJ. 1995. Environmental Hydrology. CRC Press Inc, Florida.

37
LAMPIRAN

38
Lampiran 1. Peta topografi Kota Tangerang Selatan

Sumber : BLH Kota Tanggerang Selatan

42
Lampiran 2. Peta geologi Kota Tangerang Selatan

Sumber : BLH Kota Tanggerang Selatan

43
Lampiran 3. Peta hidrogeologi akuifer endapan

Sumber : BLH Kota Tanggerang Selatan

44
Lampiran 4. Hasil pengukuran geolistrik pada titik ukur 1 (GL.1)

AB/2 K MN/2 I (mA) V (mV) -A AB/2 K MN/2 I (mA) V (mV) -A


(meter) (meter) (meter) (ohmeter) (meter) (meter) (meter) (ohmeter)
1.5 6.28 0.5 611 295.7 3.04
2.5 18.9 0.5 640 80.7 2.38
4 49.5 0.5 690 29.4 2.11
6 112 0.5 613 8.18 1.49
8 200 0.5 574 2.7 0.94
10 313 0.5 627 3 1.50
12 452 0.5 592 1.8 1.37
15 706 0.5 692 1.1 1.12 15 52.8 5 780 8.2 0.56
20 1260 0.5 20 117.8 5 465 2.8 0.71
25 1960 0.5 25 188.5 5 501 1.9 0.71
30 125.7 10 577 3 0.65 30 274.9 5 579 1.4 0.66
40 236.6 10 642 2.7 1.00 40 495 5
50 377 10 701 1.4 0.75 50 778 5
60 549.8 10 645 1.8 1.53 60 1120 5
75 867.9 10 550 1.3 2.05 75 1760 5
75 314.1 25 627 2.5 1.25
100 1550 10 100 589 25 734 1.1 0.88
125 942.8 25 597 1.6 2.53
125 2440 10 125

45
Lampiran 5. Hasil pengukuran geolistrik pada titik ukur 2 (GL.2)

AB/2 K MN/2 I (mA) V (mV) -A AB/2 K MN/2 I (mA) V (mV) -A


(meter) (meter) (meter) (ohmeter) (meter) (meter) (meter) (ohmeter)
1.5 6.28 0.5 72 157.1 13.70
2.5 18.9 0.5 104 48.8 8.87
4 49.5 0.5 70 11.8 8.34
6 112 0.5 71 4.5 7.10
8 200 0.5 73 3.4 9.32
10 313 0.5 106 2.8 8.27
12 452 0.5 103 2.3 10.09
15 706 0.5 76 2.6 24.15 15 52.8 5 71 6.9 5.13
20 1260 0.5 20 117.8 5 70 3.5 5.89
25 1960 0.5 25 188.5 5 62 2.6 7.90
30 125.7 10 66 2.2 4.19 30 274.9 5 66 2.4 10.00
40 236.6 10 107 4.1 9.07 40 495 5
50 377 10 140 7.4 19.93 50 778 5
60 549.8 10 104 4.3 22.73 60 1120 5
75 867.9 10 130 4.4 29.38 75 1760 5
75 314.1 25 127 8.5 21.02
100 1550 10 100 589 25 113 2.9 15.12
125 942.8 25 142 2.5 16.60
125 2440 10 125

46
Lampiran 6. Gambar lisensi Progress Version 3.0

44
Lampiran 7. Contoh pengolahan data geolistrik dengan Progress Version 3.0 (GL.1)

a. Input Data Geolistrik

b. Forward Modelling

45
Lampiran 16. Lanjutan

c. Invers Modelling (sebelum dilakukan iterasi)

d. Invers Modelling (Setelah dilakukan Iterasi)

46
Lampiran 16. Lanjutan

e. Interpretasi Data

47
Lampiran 8. Contoh pengolahan data geolistrik dengan Progress Version 3.0 (GL.2)

a. Input Data Geolistrik

b. Forward Modelling

48
Lampiran 17. Lanjutan

c. Invers Modelling (Sebelum Iterasi)

d. Invers Modelling (Setelah Iterasi)

49
Lampiran 17. Lanjutan

e. Interpretasi Data

50
54

You might also like