You are on page 1of 12

KOMODIFIKASI PERTUNJUKAN FESTIVAL REOG PONOROGO

(Dinamika Perubahan Pertunjukan Reog Ponorogo dalam Industri Pariwisata)

Andhika Dwi Yulianto


Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya Malang

ABSTRAK

Andhika Dwi Y. (2013), Commodification of Reog Traditional Culture Art Performance with
Reog for Festival (A Case Study of The Change of Reog Culture Art Group in the Tourism Industry
at Ponorogo District). Advisors: Arief Budi Nugroho and Andini Setyla Karlina.

The problem about commodification of Reog Ponorogo festival performance because of the
presence of tourism industry is examined within this research. It is true that tourism industry has
brought commodification into the realm of Reog Ponorogo practitioners. This commodification
process is then producing a change within Reog Ponorogo performance.

Buck Morsss theory is used as the analysis tool to understand what the change is within
Reog performance after commodification process. Various concepts such as tourism, art, Reog
Ponorogo, representation and awareness are also used to discuss the problem.

Commodification process within Reog performance cannot be separable from the role of
agent causing this change. Based on Buck Morsss commodification theory, agents who involve
within commodification process within Reog Ponorogo festival performance are mostly Reog
practitioners (such as artists, tourism performers, and privates).

Commodification of Reog festival performance in the tourism industry is occurred when the
story line within Reog performance is patented, when scene esthetic is introduced, and when
arrangements, instruments, makeup and signage of Reog performance, are redefined. By then, Reog
is then becoming a commodity that is available to be sold in market, and it is commodified to allow
it to be preserved and accepted by wider communities. Being realized or not, people of Ponorogo
have maintained this culture as their ethnical identity and positioned this culture as the commodity.

Research reveals that commodification process in Reog performance has triggered


groupings, which one group is Reog Obyog (traditional Reog) and Reog for Festival. Reog Obyog
has a very simple structure, while Reog for festival has more complex structure. Indeed, the change
within Reog performance has increased the importance of the preservation of Reog Ponorogo and
also the popularity of Reog Ponorogo into wider community.

Keywords: Commodification, Tourism, Art, Reog Ponorogo


PENDAHULUAN Kabupaten Ponorogo, sehingga reog obyog
Reog Ponorogo merupakan salah satu adalah induk dari reog yang difestivalkan.
kesenian yang terkenal di Indonesia yang Reog di Kabupaten Ponorogo pada
mempertunjukan keperkasaan seorang awalnya bernuansakan mistis dan berbahaya
pembarong dalam mengangkat dadak merak kemudian wajah-wajah sangar dari Warok
seberat sekitar 50 kilogram dengan kekuatan yang berpakaian hitam bertali kolor putih
gigitan gigi sepanjang pertunjukan reog melilit dipinggang yang konon mempunyai
berlangsung. Pertunjukan Reog pemainnya kesaktian dan para Warok selalu disegani oleh
terdiri dari Warok, Pembarong, masyarakat, sehingga sebagai upaya
Bujangganong, Klono Sewandono, kuda melestarikan reog dibuatlah festival yang
kepang yang biasa disebut dengan Jathilan. tetap menjaga nilai etika dan estetika serta
Adapun alat-alat yang dimainkan sebagai pakem yang menjaga reog sampai sekarang,
pengiringnya, yaitu Gamelan yang terdiri dari dan festival reog tersebut juga diupayakan
Kendang, Kempul, Ketuk-kenong, Terompet, untuk menjadikan Ponorogo sebagai kota
Ketipung, dan Angklung. wisata.
Reog Ponorogo yang dahulu Pementasan Reog saat ini bernaung
digunakan sebagai sarana untuk penggerak dibawah pariwisata sehingga pemerintah
masa dan saluran efektif dengan penguasa Ponorogo dalam melestarikan reog telah
yang pada waktu itu terdapat dalam versi memperkenalkan estetika seni panggung dan
Suryongalam yang menceritakan tentang gerakan-gerakan koreografis, maka jadilah
pemberontakan Ki Ageng Kutu kepada Raja reog ponorogo dengan format festival seperti
Majapahit yakni Prabu Brawijaya yang dalam sekarang. Ada alur cerita, urut-urutan siapa
roda pemrintahanya tunduk dan dikendalikan yang tampil lebih dulu, yaitu Warok,
oleh permaisurinya. Selanjutnya kesenian kemudian jatilan, Bujangganong, Klono
Reog terus berkembang dengan seiringnya Sewandana, barulah Barongan atau Dadak
perkembangan zaman, reog menjadi menyalur Merak di bagian akhir. Saat salah satu unsur
dari ciptaan Ki Ageng Mirah dan diteruskan tersebut beraksi, unsur lain ikut bergerak atau
dari cerita mulut ke mulut dari generasi ke menari meski tidak menonjol (Pemerintah
generasi. Kabupaten Daerah Tingkat II, 1996:26).
Kemudian Reog versi kedua dari reog Berbagai pengenalan nilai etika,
Ponorogo adalah versi Bantarangin yang estetika panggung dan gerakan-gerakan
dalam pertunjukannya menceritakan tentang koreografis yang membuat reog semakin
usaha prabu Klono Sewandono yang terjaga sampai sekarang, sehingga reog dalam
mengikuti sayembara untuk mendapatkan festival bukan melainkan hanya bersifat
putri cantik yang berasal dari kerajaan Kediri, hiburan semata, melainkan pertunjukan yang
yakni Dewi Songgolangit. Versi ini muncul diupayakan agar reog tetap terjaga dan
karena ketakutan Ki Ageng Mirah yang takut menjadikan reog terus berkembang ke
akan hilangnya kesenian barongan (Reog) generasi berikutnya, karena saat ini reog
sehingga dibuatlah cerita Bantarangin lengkap obyog telah dikomodifikasi sehingga reog
dengan rajanya. merupakan sebuah komoditas yang siap dijual
Seiring dengan perkembangannya ke pasar dalam industri pariwisata di
Reog Ponorogo, reog yang dapat membuat Kabupaten Ponorogo.
orang tertarik dan sekaligus dapat menarik Akibat dari komodifikasi dalam
wisatawan adalah versi Bantarangin pertunjukan Reog yang terjadi di Kabupaten
(Percintaan) sehingga versi Bantarangin yang Ponorogo, telah mengakibatkan perubahan
diresmikan digunakan untuk difestivalkan dari pertunjukan reog. Dari koflik tersebut
dalam setiap tahunya di Kabupaten Ponorogo. perubahan yang terjadi dalam pertunjukan
Reog yang digunakan untuk festival pada reog, perubahan tersebut mencoba
dasarnya adalah reog obyog yang meyakinkan masyarakat bahwa komodifikasi
pertunjukannya sudah menjadi tradisi di dapat memberikan harapan kebaikan bagi
praktisi reog dan menjadi keharusan dalam
membentuk sejarah bagaimana sejarah adalah proses komersialisasi dari
manusia di masa mendatang yang memaksa hubungan pengunjung dengan
manusia untuk menerima dan tidak yang dikunjungi. Pengunjung,
mempertanyakan kembali munculnya industri terutama wisatawan asing diberi
pariwisata. status dan peranan sementara di
Terlihat dari proses yang terjadi dalam masyarakat yang dikunjungi, yang
industri pariwisata di Kabupaten Ponorogo kemudian diperhitungkan secara
dengan mengenalkan nilai etika, estetika komersial. Pendekatan ini sesuai
panggung, gerak-gerak koreografis, tata rias, untuk menganalisis dinamika
dan aransemennya. Sehingga dalam hubungan guest, termasuk
pertunjukan Reog Ponorogo sekarang berbagai konflik yang muncul
merupakan sebuah bentuk kesenian yang serta berbagai institusi yang
merupakan sebuah perjalanan panjang yang menangani.
banyak mengandung nilai historis dan 2. Tourisme as a democratised
legendaris. travel, bahwa pariwisata
dipandang sebagai perilaku
PARIWISATA perjalanan wisatawan dengan
Azarya Victor melihat bahwa industri berbagai karakternya. Pariwisata
pariwisata menyebabkan terjadinya dipandang sebagai demokratisasi
permarjinalan kebudayaan pada masyarakat dari perjalanan, yang pada masa
lokal sebagai akibat dari industri pariwisata lalu dimonopoli oleh kaum
bukan pada permarjinalan kebudayaan pada aristokrat, tetapi sekarang sudah
masa lokal yang ada di negara berkembang dapat dilakukan oleh siapa saja.
namun, dengan adanya industri pariwisata 3. Tourisme as a modern leisure
kaum minoritas yang termarjinalkan yang activity, yaitu difokuskan pada
dianggap sebagai suatu yang unik sebagai aset wisatawan dipandang sebagai
pariwisata tetap dipertahankan dan dibatasi orang yang santai, yang
ruang gerak mereka. Mereka ditampilkan melakukan perjalanan, bebas dari
sebagai peninggalan dari masa lalu, atau berbagai kewajiban. Modernitas
sebuah ilustrasi warna lokal dan dalam hal ini ditandai oleh rasa
keanekaragaman, sehingga mereka dapat alienasi, fragmentasi, dan
menarik pameran pariwsita. Marjinalisasi superfisialitas. Untuk
mereka disimpan sehingga dapat menghilangkan kondisi semacam
dikomersialisasikan dalam konteks globalisasi ini wisatawan mengunjungi daerah
(Azarya, 2006:961). Dalam industri yang mampu memberikan
pariwisata yang terjadi di Kabupaten autentism. Pariwisata dipandang
Ponorogo, para praktisi reog adalah yang sebagai suatu institusi yang
dianggap unik sebagai aset pariwisata yang berfungsi khusus dalam
tetap dijaga seperti pertunjukan reog dalam masyarakat modern, yaitu
versi obyog. Kemudian dalam mengembalikan masyarakat
pengembanganya, reog dikomodifikasi yang kepada situasi. Harmoni dan
dalam pertunjukannya dibatasi oleh ruang keseimbangan.
gerak mereka, seperti rambu-rambu dalam 4. Tourism as a modern variety of a
penyajian reog Ponorogo, mulai dari alur traditional pilgrimage, yaitu
cerita sampai pada instrumen dan pariwisata diasosiasikan dengan
aransemennya. ziarah keagamaan yang biasa
Dalam pendekatan sosiologi dilakukan masyarakat tradisional,
sebagaimana dikembangkan Erik Cohen atau merupakan bentuk lain dari
dalam Pitana (2005:32) pariwisata dapat sacred journey. Pendekatan ini
dilihat berdasarkan beberapa konsep, yakni: menganalisis maka struktural yang
1. Tourism as acommercialised lebih dalam dari perjalanan wisata.
hospitality, bahwa pariwisata Dalam hal ini atraksi wisata yang
dinikmati wisatawan sekarang Dalam penelitian ini salah satu motif
adalah persamaan dari simbol- pariwisata yang paling relevan adalah motif
simbol keagamaan pada wisata atau perjalanan yang dilakukan atas
masyarakat primitif. dasar keinginan untuk memperluas pandangan
5. Tourism as an expression of basic hidup seseorang dengan jalan mengadakan
cultural themes, yaitu bersifat kunjungan ketempat lain yang dalam
emik yang merupakan lawan dari penelitian ini ke Kabupaten Ponorogo,
etik, dengan melihat pemaknaan mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan adat
perjalanan dari pihak pelaku istiadat mereka, budaya, dan seni mereka
perjalanan tersebut. Dengan yang dalam hal ini adalah reog Ponorogo.
pendekatan ini, dapat ditemukan Dalam kaitannya dengan penelitian ini, reog
berbagai klasifikasi perjalanan dari merupakan wisata budaya yang dijadikan
pihak pelaku perjalanan, yang sebagai komoditas dalam proses komodifikasi
sangat ditentukan oleh budaya dalam dinamika perubahan pertunjukan reog
pelaku pariwisata. Ponorogo dalam industri pariwisata di
6. Tourism as an aculturation Kabupaten Ponorogo.
process, yaitu pendekatan yang
memfokuskan pada proses KESENIAN
akulturasi, sebagai akibat dari Kesenian sebagai karya atau hasil
interaksi host guest yang berlatar simbolisasi manusia merupakan sesuatu yang
belakang budaya yang berbeda. misterius. Namun demikian, secara universal
7. Tourism as a type of etnic jika berbicara masalah kesenian, orang akan
relations, yaitu pendekatan yang langsung terimaginasi dengan istilah indah.
memperhatikan pada hubungan Sanskrit Dictionary by Macdinell mengatakan
host guest dan mengaitkannya bahwa kata seni berasal dari kata sani
dengan teori-teori etnisitas dan dalam bahasa Sansekerta yang berarti
hubungan antar etnis, atau pemujaan, pelayanan, permintaan dengan
dampak-dampak yang timbul hormat dan jujur.
terkait dengan identitas etnik. Reog Ponorogo sebagai hasil karya seni
8. Tourism as a form of neo- yang merupakan sistem komunikasi dari
colonialism, yaitu depedensi atau bentuk dan isi. Bentuk yang berupa realitas
ketergantungan yang merupakan gerak, musik, busana, property, dan peralatan
salah satu masalah yang menjadi (ubarampen) secara visual tampak oleh mata,
fokus kajian. Pariwisata dipandang oleh Lavi Strauss ini dinamakan struktur lahir
sangat berperan di dalam atau surface structure (Ahimsa, 2001:61-63).
mempertajam hubungan Namun, isi yang berupa tujuan, harapan, dan
metropolis, periferi, karena negara cita-cita adalah komunikasi maya yang hanya
penghasil wisatawan akan menjadi dapat dipahami oleh masyarakat pendukung
dominan, sedangkan negara budayanya. Hal itu disebabkan simbol-simbol
penerima akan menjadi satelit atau visualnya hanya dimengerti atau disepakati
periperal, dan hubungan ini oleh masyarakat setempat pendukung
merupakan pengulangan budayanya. Simbol-simbol yang disampaikan
kolonialisme atau imperialisme, melalui komunikasi maya itu oleh paham
yang pada muaranya akan strukturalisme dinamakan struktur batin atau
menghasilkan dominasi dan deep structure.
keterbelakangan struktural. Sehubungan dengan hal tersebut,
Adanya ketimpangan ekonomi kesenian sebagai unsur kebudayaan tidak
yang besar ke negara-negara maju hanya dilihat sebagai hasil ciptaan berupa
menyebabkan pariwisata, pada benda, produk manusia, tetapi dalam hal ini
dasarnya menjadi wahana baru lebih dipandang sebagai suatu simbol,
bagi munculnya neokolonialisme lambang yang mengatakan sesuatu tentang
(Pitana, 2005:32). sesuatu, sehingga berhadapan dengan makna
dan pesan. Karya seni adalah hasil simbolisasi difestivalkan dalam setiap tahunya menjelang
manusia maka prinsip penciptaan seni awal bulan suro menurut kalender jawa.
merupakan pembentukan simbol dan
pembentukan simbol bersifat abstraksi (Hadi,
2006:25).
Penampilan kesenian reog saat REOG PONOROGO
ini sekarang tidaklah bisa dikatakan kesenian reog mempunyai beraneka
sepenuhnya sebagai bentuk ragam bentuk sajian seni dalam bentuk lima
kesenian tradisional. Meskipun pada versi namun hanya dua versi besar yang
awalnya adalah sebagai jenis berada di ponorogo saat ini. Menurut
kesenian rakyat tradisional yang penuturan dari salah satu seniman reog
berfungsi sebagai alat penggerak ponorogo bahwa beranekaragaman aliran
masa, ritual untuk meminta dalam kesenian reog tersebut dikarenakan
diberikan keselamatan dan kesenian tradisional ini sanggat lentur
sebagainya dengan disertainya terhadap perubahan zaman. Kelenturan reog
perlengkapan berupa seperangkat terhadap perubahan zaman tersebut lebih
gamelan jawa dan tarian seadanya, dikarenakan jenis kesenian tradisional ini baik
namun pada masa sekarang ciri dalam hal penampilan maupun struktur
tersebut sudah beralih menjadi kelembagaan yang ada di dalamnya selalu
kesenian yang mengalami masa menuruti permintaan pasar. Pasar disini yang
transisi dimana kesenian reog tetap dimaksutkan adalah masyarakat umum yang
menjaga unsur tradisional namun ada di Kabupaten Ponorogo yaitu tempat
juga memadukan unsur modern. dimana para praktisi reog berasal dan
Reog Ponorogo dalam keseharianya kemudian beratraksi dalam jenis tarian dan
dapat ditampilkan dalam berbagai acara selanjutnya juga dipersembahkan kepada
misalnya acara hajatan, hal ini merupakan masyarakat kembali.
sudah menjadi tradisi yang sudah lama Reog Ponorogo merupakan salah satu
dilakukan di dalam masyarakat Kabupaten seni yang diwariskan oleh nenek moyang
Ponorogo. Penyelenggaraan seni reog dalam wujud seni tradisional yang merupakan
Ponorogo dalam setiap acara hajatan sampai kesenian rakyat yang tidak dapat diukur
difestivalkan menimbulkan implikasi bahwa dengan kadar dan bobotnya serta besar nilai-
seni reog merupakan kesenian budaya yang nilai yang terkandung di dalamnya.
tetap dijaga dan berkembang di Kabupaten Perkembangan selanjutnya merupakan
Ponorogo dari dulu sampai sekarang. tontonan yang memberikan tuntunan
Keunikan karakteristik seni reog di sekaligus tuntutan kepada masyarakat pemilik
Kabupaten Ponorogo bukan suatu hal yang kesenian itu sebagai pendorong minat
terberi, tetapi lahir secara proses mulai zaman sehingga memiliki kebanggaan khas dan
prasejarah dan zaman sejarah yang seni merupakan ciri sendiri bagi masyarakat
budaya reog dahulu merupakan representasi Ponorogo.
dari usaha Ki Ageng kutu yang bermaksut
menyindir raja Brawijaya dengan sebuah REPRESENTASI
barongan yang digambarkan dengan kepala Representasi memiliki karakteristik
macan dan diatasnya terdapat burung merak. merujuk pada sesuatu diluar dirinya, namun
Untuk melestarikan barongan tersebut terkadang representasi menjadi realitas baru
dibuatlah cerita oleh Ki Ageng Mirah dengan dan beralih menjadi apa yang
menceritakan usaha Prabu Klono Sewandono direpresentasikannya. Representasi dan
dalam mengikuti sayembara untuk makna budaya memiliki materialitas tertentu,
mendapatkan Dewi Songgolangit dari mereka melekat pada bunyi, prasasti, objek,
Kerajaan Kediri, dan untuk melestarikan hal citra, buku, majalah, dan program televisi.
tersebut reog dipentaskan dalam setiap acara Mereka diproduksi, ditampilkan, digunakan
hajatan dan saat ini seni reog sampai dan dipahami dalam konteks sosial tertentu
(Barker, 2004:09).
Reog Ponorogo dalam pertunjukannya Kabupaten Ponorogo. Komodifikasi yang
merupakan representasi dari adanya reog versi terjadi pada reog obyog dengan reog yang
Suryongalam dengan versi Bantarangin. difestivalkan sebagai industri pariwisata pada
Kemudaian dalam kesehariannya reog akhirnya bisa mengalir ke arah pelestarian
ditampilkan dalam berbagai acara hajat dan reog dari waktu ke waktu tergantung situasi
difestivalkan setiap tahunnya menjelang awal yang sedang berlangsung di Kabupaten
bulan suro menurut kalender Jawa di Ponorogo.
Kabupaten Ponorogo. Pertunjukan Reog
biasanya mengandung unsur supranatural, METODE PENELITIAN
tergantung kelompok reog tersebut bagaimana Metode yang digunakan dalam
mengemas koreografinya (Hartono, 1980:71- penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu
72). sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
TEORI KOMODIFIKASI (BUCK tertulis atau lisan dari orang-orang dan
MORSS) perilaku yang dapat diamati. Penelitian
Komodifikasi memiliki makna yang kualitatif adalah upaya untuk menyajikan
luas dan tidak hanya menyangkut masalah dunia sosial dan prespektifnya di dalam dunia,
produksi komoditas tentang barang dan jasa dari segi konsep, perilaku, konsep dan
yang diperjual belikan. Permasalahan persoalan tentang manusia yang diteliti.
bagaimana barang dan jasa tersebut Pendekatan penelitian kualitatif yang
didistribusikan dan dikonsumsi juga termasuk digunakan pada penelitian ini adalah studi
didalamnya. kasus. Studi kasus berarti memilih suatu
Buck Morss (1983) dalam Mike kejadian atau gejala untuk diteliti dengan
Featherstone (2001:55) yang mengungkapkan menerapkan berbagai metode. Scharmm
bahwa proses-proses industri baru menyebutkan esensi studi kasus,
memberikan kesempatan bagi seni untuk kecenderungan utama dari semua jenis studi
berubah ke arah industri, yang melihat kasus adalah mencoba menjelaskan
perluasan pekerjaan dalam periklanan, keputusan-keputusan tentang mengapa studi
marketing, desain industri dan pertunjukan tersebut dipilih, bagaimana
komersial untuk menghasilkan pemandangan mengimplementasikannya dan apa hasilnya
perkotaan baru yang bersifat etetis. (Yin, 1998:09).
Berkaitan dengan industri pariwisata Sedang tipe kasus yang digunakan
yang terjadi di Kabupaten Ponorogo, dalam penelitian ini adalah tipe studi kasus
komodifikasi telah menjadikan reog Intrinsik. Yaitu studi untuk mendapatkan
mengalami penyederhanaan versi yang pemahaman yang lebih baik dari kasus yang
awalnya terdapat dua versi besar yakni versi khusus, hal ini disebabkan karena seluruh
Suryongalam dengan versi Bantarangin kekususan dan keluarbiasaan kasus itu sendiri
menjadi versi Bantarangin yang dipatenkan, menarik perhatian (Creswell, 2004,70).
pematenan versi Bantarangin yang digunakan
dalam festival telah melahirkan rambu-rambu Fokus penelitian ini adalah berusaha
yang harus ditaati dalam setiap pentas reog. untuk mengetahui proses komodifikasi
Pengenalan estetika panggung, koreografi, pertunjukan Reog untuk festival sebagai
tata rias, dan sebagainya merupakan dampak akibat adanya industri pariwisata. Dalam hal
yang muncul dari proses komodifikasi yang ini ada lima komponen utama yang penting
pada akhirnya reog dapat diterima oleh dalam studi kasus yakni pertanyaan-
audiens yang lebih luas dan memungkinkan pertanyaan penelitian, proporsi jika ada, unit-
kreativitas untuk ke arah keserbaragaman unit analisisnya, logika yang mengkaitkan
objek yang diproduksi secara masal. data dengan proporsi tersebut, dan kriteria
Pariwisata merupakan sesuatu yang untuk menginterpretasi temuan (Yin,
dapat ditukarkan dengan ekonomi, karena 2012:29). Kelima komponen yang ada
pariwisata memberikan masukan finansial tersebut harus terpenuhi agar ketika
bagi masyarakat, begitu juga yang terjadi di dilapangan tetap berfokus pada tujuan
penelitian sehingga tidak mengalami menganalisis data studi kasus dengan cara
kebingungan. Kelima komponen tersebut bila membuat suatu eksplanasi tentang kasus yang
dideskripsikan adalah sebagai berikut: bersangkutan. Pembuatan yang bertahap dari
1. Pertanyaan-pertanyaan penelitian suatu eksplanasi sama dengan proses
merupakan panduan utama dalam perbaikan serangkaian gagasan, di mana suatu
memberikan pandangan tentang aspek pentingnya adalah mempertimbangkan
fenomena yang diteliti. Fenomena eksplanasi-eksplanasi yang diakui atau
yang diteliti adalah proses tandingan. Jika pendekatan ini diaplikasikan
komodifikasi maka harus ada kepada studi-studi multikasus, maka hasil
substansi mengenai proses proses pembuatan eksplanasi tersebut juga
komodifikasi. merupakan kreasi suatu analisis lintas kasus
2. Fokus penelitian diambil adalah dan bukan sekedar suatu analisis masing-
komodifikasi pertunjukan reog masing kasus secara sendiri-sendiri.
untuk festival sebagai akibat Dalam penelitian ini terdapat beberapa
industri pariwisata yang dikaji kasus sehingga bukan hanya satu kasus
dengan konsepsi komoditas. Maka melainkan multikasus yang saling terkait.
proposisi yang dibangun harus Dari kasus pengembangan reog yang
mengarah pada komodifikasi yang dijadikan sebuah festival dalam industri
dalam pembahasan ini reog menjadi pariwisata oleh Pemkab Kabupaten Ponorogo
sebuah komoditas yang siap dijual. kemudian berdampak pada bagaimana
3. Unit analisis yang dipilih adalah komodifikasi dari seni reog, karena reog
para praktisi seni reog Ponorogo hingga saat ini tetap berada di masyarakat
karena tema yang dipilih adalah Ponorogo yang bertujuan untuk
proses komodifikasi dalam seni reog mempertahankan warisan budaya luhur,
ponorogo. kemudian reog menjadi komoditas yang dapat
4. Logika yang mengaitkan data dijual kepasar sebagai daya tarik wisata.
dengan proposi yang telah dibuat Kesadaran para praktisi reog yang
harus berkaitan untuk menjaga mengikuti festival berdampak pada
konsistensi penelitian. pemahaman mereka terhadap tentang
5. Temuan-temuan yang didapatkan bagaimana mereka dalam memaknai reog,
harus sesuai dengan kriteria seperti nilai etika dan nilai estetika yang
berdasarkan fokus penelitian yang menjaga reog hingga saat ini. Maka dari itu
diambil sehingga dalam dalam penelitian ini membutuhkan
menginterpretasikan pada tulisan penjelasan-penjelasan secara terperinci yang
tidak mengalami kebingungan (Yin, akurat dari data-data yang diperoleh.
2012: 29).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam mengumpulkan data digunakan Komodifikasi Reog dalam Industri
beberapa teknik, yaitu dokumentasi, rekaman Pariwisata di Kabupaten Ponorogo
arsip, wawancara dan observasi langsung. Adanya industri pariwisata di
Kemudian jenis dan sumber data yang Kabupaten Ponorogo telah menjadikan Reog
digunakan adalah data primer (data yang menjadi kesenian rakyat yang bersifat dinamis
diperoleh langsung peneliti dari sumber utama dan terus berkembang dari waktu ke waktu.
penelitian, berupa hasil wawancara, catatan Dari zaman ke zaman akhirnya membuat reog
penelitian ketika di lapangan, dokumentasi, mengalami komodifikasi, sehingga reog
dsb), yang kedua adalah data sekunder (data mengalami pengelompokan yang pada
yang diperoleh secara tidak langsung oleh akhirnya membuat reog semakin kompleks di
peneliti melalui pihak pertama atau yang Kabupaten Ponorogo. Dari pengelompokan
dapat disebut dengan data pendukung reog obyog dengan kelompok reog festival,
penelitian). kelompok reoglah yang banyak mengalami
Teknik menganalisis data dengan proses komodifikasi sehingga reog menjadi
menggunakan Eksplanasi. Tujuannya adalah
sebuah komoditas dan reog festival tersebut reog obyog sampai reog yang difestivalkan
telah berhasil menarik wisatawan. tersebut mendapat sambutan baik oleh
Penyederhanaan versi Reog Ponorogo masyarakat serta praktisi reog di Kabupaten
merupakan hasil dari proses komodifikasi Ponorogo, terbukti dari keikut sertaan
sebagai akibat adanya industri pariwisata di peserta festival dari berbagai propinsi di
Kabupaten Ponorogo. Penyederhanaan dari Pulau Jawa maupun luar pulau, bahkan
adanya dua versi besar reog di Kabupaten pernah datang pula peserta dari Suriname.
Ponorogo menjadi satu versi yakni Namun, semenjak ditingkatkan menjadi
Bantarangin menunjukan peralihan ragam festival tingkat nasional terjadi pula sebuah
hias reog dahulu menjadi reog festival. Dari awal arus balik terhadap pembakuan format
munculnya pematenan versi dalam festival pertunjukan reog Ponorogo.
reog telah memberikan gambaran kepada Kemudian Reog Ponorogo diadu
konsumen tentang bagaimana pertunjukan dengan kelompok-kelompok dari luar
festival reog dalam mewarnai industri Kabupaten Ponorogo dan dinilai oleh dewan
pariwisata di Kabupaten Ponorogo. juri yang umumnya berlatar-belakang
Komodifikasi dalam pertunjukan Reog pendidikan formal seni tari, kelompok-
di Kabupaten Ponorogo telah menyebabkan kelompok reog wakil Kabupaten Ponorogo
munculnya pedoman dasar yang baku, ternyata jarang menempati posisi juara
tersusun dan bersumber dari proses pertama. Secara agak konsisten, dari tahun
perkembangan reog Ponorogo dalam setiap ke tahun para pemenang p ertama festival
pentas, baik dalam versi tanggapan (obyog) adalah kelompok-kelompok yang datang
maupun festival nasional. Reog Ponorogo dari Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta.
dalam festival berpedoman bahwa dalam Dalam kaitannya dengan
pementasan reog harus memperhatikan komodifikasi reog festival dalam industri
rambu-rambu yang harus ditaati, mulai dari pariwisata di Kabupaten Ponorogo, para
alur cerita, seni, tari, tata rias, instrumen, seniman tidak lagi mempertanyakan kembali
aransemen, dan peralatan lainnya. Perjalanan posisi mereka sebagai seniman dan sekaligus
reog Ponorogo dalam versi obyog sampai sebagai duta wisata bagi Kabupaten Ponorogo
difestivalkan menunjukan reog berkembang dalam setiap pertunjukan yang diberikannya.
sejak dahulu hingga sekarang yang konon Jadi tidak ada esensi bagi simbolisasi etnik
mengandung nilai-nilai historis, dan yang perlu dicari, namun kesenian reog terus
legendaris dan bentuk reog sekarang menerus diproduksi di dalam ranah kemiripan
merupakan bentuk akhir dari perjalanan dan perbedaan. kesenian bukanlah esensi
panjang reog Ponorogo. Sehingga melainkan posisi yang terus menerus berubah,
pertunjukan reog mencerminkan nilai-nilai dan titik perbedaan di sekitar kesenian reog
asli daerahnya yakni Kabupaten Ponorogo. bisa membentuk kesenian reog menjadi
Dari pertunjukan festival reog seperti saat ini beragam dan berkembang sampai seperti
merupakan proses pembaruan dari reog yang sekarang, mulai dari adanya reog obyog
menampilkan kelompok reog dari berbagai sampai dengan adanya reog yang digunakan
penjuru dalam ranah industri pariwisata. untuk festival.
Reog Ponorogo saat difestivalkan Proses komodifikasi memiliki makna
dapat berkembang dan dapat diterima dan yang luas dan tidak hanya menyangkut
dijual ke pasar, maka sejak itulah reog telah masalah produksi komoditas. Permasalahan
mengalami komodifikasi di Kabupaten tentang bagaimana reog dikomodifikasi yang
Ponorogo. Sehingga dalam pertunjukan didistribusikan dan dikonsumsi sebagai proses
festival reog, komodifikasi telah berusaha komodifikasi yang telah melibatkan domain-
menjaga prestise dari reog Ponorogo, dan domain dan institusi-institusi sosial yang
secara bersamaan juga komodifikasi juga perhatiannya tidak hanya memproduksi
mempopulerkan reog Ponorogo agar dapat komoditas dalam pengertian ekonomi yang
lebih diterima oleh masyarakat secara lebih sempit melainkan bagaimana diorganisasikan
luas. dan dikonseptualisasikan dari segi produksi,
Peningkatan ruang lingkup dari distribusi, dan konsumsi komoditas. Dalam
kaitanya dengan pengembangan Reog, maka D. Proses industri pariwisata dalam reog
diadakan festival yang pada akhirnya Ponorogo telah melahirkan kelas antar
menjadikan reog menjadi semakin kompleks, pemain, dimana pemain reog
tetap lestari dari generasi ke generasi dan tergabung dalam paguyuban yang
sekaligus menjadikan Kabupaten Ponorogo fokus dalam festival dengan pemain
menjadi kota wisata. yang tergabung dalam paguyuban reog
obyog yang tampil saat acara
PENUTUP (tanggapan) hajatan di Kabupaten
Kesimpulan Ponorogo.
Perubahan yang terjadi dalam E. Munculnya industri pariwisata dalam
pertunjukan reog dari reog obyog sampai reog telah memunculkan kreasi-kreasi
dengan reog yang digunakan untuk festival, antara kelompok reog dengan
merupakan sebuah hasil komodifikasi yang kelompok reog lain, agar kelompok
terjadi karena industri pariwisata yang terjadi reog dalam kelompoknya berbeda
di Kabupaten Ponorogo. Dalam hal ini dengan kelompok reog yang lain.
perubahan dalam pertunjukan reog tidak lepas Sehingga dalam setiap pertunjukannya
dari peran seniman reog, masyarakat reog menjadi semakin menarik dan
Ponorogo, pemerintah (Dinas Kebudayaan, dikenal oleh masyarakat luas dengan
Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga) untuk adanya festival. Dari festival reog
terlibat dalam pengkomodifikasian reog di tersebut pertunjukannya dapat
Kabupaten Ponorogo. Hasil dari komodifikasi menjadikan Ponorogo menjadi kota
pertunjukan reog yang setidaknya peneliti wisata dengan datangnya para
lihat disini adalah : wisatawan di Kabupaten Ponorogo.
A. Kehadiran komodifikasi di Kabupaten Saran
Ponorogo telah menjadikan Saran akademis :
keberadaan reog menjadi semakin 1. Kajian tentang reog Ponorogo
terkenal, dapat diterima oleh dapat dianalisis dengan
masyarakat lebih luas, yang awal menggunakan konsep kebudayaan
mulanya reog dalam pertunjukannya hybrid atau kebudayaan
hanya sebagai pertunjukan yang biasa merupakan sebuah persilangan di
ditampilkan dalam acara tanggapan dalam hubungan dunia global,
(hajatan) saat ini menjadi sebuah yang dimiliki oleh Kabupaten
festival yang rutin dipentaskan dalam Ponorogo. Dalam kaitannya
setiap tahun di Kabupaten Ponorogo. dengan hal tersebut, dalam
B. Komodifikasi dalam pertunjukan reog penelitian selanjutnya yang akan
telah memunculkan penyederhanaan dilaksanakan dengan thema yang
versi besar reog, dari adanya reog sama yakni tentang pertunjukan
versi Suryongalam dengan reog versi reog akan lebih baik jika
Bantarangin menjadi versi menggunakan sudut pandang yang
Bantarangin yang dipatenkan dalam dikemukakan oleh Homi K.
pertunjukan festival reog. Bhabha tentang hybriditas budaya.
C. Reog Ponorogo yang telah mengalami Saran praktis :
komodifikasi menjadi semakin terjaga 1. Reog merupakan sebuah warisan
dengan munculnya rambu-rambu yang budaya luhur yang diberikan oleh
harus ditaati dalam setiap pementasan nenek moyang kepada masyarakat
reog, mulai dari alur cerita, seni tari, Kabupaten Ponorogo. Reog
tata rias, instrumen, aransemen, dan merupakan salah satu wisata
peralatan lainnya. Sehingga dalam budaya yang dapat berkembang
pertunjukannya terdapat sanksi jika dan diterima oleh masyarakat.
pertunjukan reog tidak sesuai dengan Keberadaan Dinas Kebudayaan,
peraturan yang sudah ditentukan Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga
sebelumnya. yang dianggap sebagai
representasi pemerintah dalam 2. Perkembangan dalam reog
mengayomi keberadaan reog, Ponorogo telah mengalami
namun apa yang dilakukan Dinas berbagai perubahan, namun
Kebudayaan, Pariwsiata, Pemuda, alangkah lebih baiknya jika para
dan Olahraga dirasa masih kurang praktisi reog akan tetap menjaga
oleh para praktisi reog. Maka dan membawa karakteristik khas
alangkah lebih baiknya jika Dinas dari reog yang berasal dari
Kebudayaan, Pariwsiata, Pemuda, Kabupaten Ponorogo kususnya
dan Olahraga dapat lebih dan Kabupaten Ponorogo pada
mengembangkan dan melestarikan umumnya dalam setiap
keberadaan reog dengan berbagai penampilan mereka dimanapun
potensi yang dimiliki oleh reog dan kapanpun dengan cara lebih
dengan cara mewajibkan memperhatikan rambu-rambu
memberikan cerita awal mula yang harus ditaati dalam setiap
terbentuknya reog serta menampilkan kelompoknya seperti
dinamikanya sampai sekarang alur cerita, seni tari, tata rias,
yang diharapkan generasi aransemen, dan peralatan lainnya.
berikutnya dalam mengembangkan Selain melihat tentang rambu-
reog tetap menjaga nilai etika dan rambu pertunjukan reog para
estetika serta pakem yang menjaga praktisi reog harus ingat tentang
reog sampai saat ini. Hal tersebut nilai historis dan legendaris
perlu diperhatikan karena sejak sehingga nilai-nilai filosofis,
adanya festival reog sampai saat religius dan edukatif akan tetap
ini reog dari Ponorogo (Pemilik terlihat. Dan terakhir reog
Reog) masih belum bisa menjadi merupakan pentas kesenian bangsa
pemenang saat diadakannya sehingga penampilan atau atraksi
festival, sehingga reog dari reog mencerminkan nilai-nilai asli
Kabupaten Ponorogo masih belum daerahnya yaitu Kabupaten
bisa menjadi tuan rumah yang baik Ponorogo.
di rumah sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. 1981. Di Sekitar Komunikasi Ilmu dan Seni. Analisis Kebudayaan 2. Yogyakarta:
Kanisius.

Ahimsa-Putra, H.S. 2001. Strukturalisme Lavi Staruss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta:
Galang Press.

Azarya, Victor. (2004). Globalization and International Tourism in Developing


Countries : Marginality as a Comercial Comodity. In Curent Sociology (Vol 52(6): 949-967).
London SAGE Publication.

Barker, Chris. (2004). Cultural Studies : Theori dan Praktik. (Nurhadi, Penerjemah). Yogyakarta :
Kreasi Wacana.

Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke
Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Creswell, J. W. (2009). Researchdesign: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches


(3rd Edition ed). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Danandjaja, James. (2002). Folklore Indonesia.Jakarta. PT Pustaka Grafiti.

Dinas Kebudayan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga. 2008. Profil Dinas Kebudayaan, Pariwisata,
Pemuda, dan Olahraga. Pemerintah Kabupaten tingkat II Ponorogo.

Featherstone, Mike. (2001). Posmodernisme dan Budaya Konsumen : (Misbah Zulfa Elizabeth,
Penerjemah). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Giddens, Anthony. (1979). Central Problem in Social Theory. London : McMilian.

Giddens, Anthony. (1993). News Rules of Sociological Method. Cambridge : Polity Press (2nd
Edition).

Hadi, Y.S. 2006. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Buku Pustaka.

Hartono. (1980). Reyog Ponorogo. (Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Ponorogo).

Yin, Robert. (1998). Study Kasus Desain & Metode. Jakarta. Rajawali Pers.

Moelyadi. (1986). Ungkapan Sejarah Kerajaan Wengker dan Reyog Ponorogo. (Dewan Pimpinan
Cabang Pemuda Panca Marga).

Moleong, L. J. (2004). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. Remaja Rosydakarya.

Muis, Muhammad Departemen Pendidikan dan Kebudayaan . 1988 . Kamus Besar Bahasa
Indonesia.

Noeng Muhadjir. (2000). Metode Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Yogyakarta. Rake Sarasin.
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Ponorogo. 1996. Pedoman Dasar Kesenian Reog
Ponorogo Dalam Pentas Budaya Bangsa.

Pitana, I Gde. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta.

Ritzer, George dan Dauglas J. Goodman. (2004) Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana.

Salim, Agus. (2006). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta. Tiara Wacana.

Subarki, Asmyta, Analisis Pariwisata (Komodifikasi Budaya Dalam Pariwisata), Komodifikasi


Budaya Populer Dalam Pariwisata (Denpasar : Fakultas Pariwisata Universitas Udayana.

Sugiono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung. Alfabeta.

Sulistyo, H.E.R. 2005. Kaji Dini Pendidikan Seni. Surakarta: LPP UNS dan UNS. Press.

Suparyogo. (2001). Metodologi Penelitian Agama. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

You might also like