Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan merupakan
bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung
penyelenggaraan upaya kesehatan. Pada hakekatnya rumah sakit berfungsi sebagai tempat
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Fungsi dimaksud memiliki makna
tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam
meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Untuk optimalisasi hasil serta kontribusi
positif tersebut, harus dapat diusahakan masuknya upaya kesehatan sebagai asas pokok
program pembangunan nasional.
Dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 10 ayat (2)
menyebutkan, bangunan rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
terdiri atas ruang: . d. ruang operasi; . . Dalam Bagian Ketiga tentang Bangunan, pasal 9
butir (b) menyebutkan bahwa Persyaratan teknis bangunan Rumah Sakit, sesuai dengan
fungsi, kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan
keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia lanjut.
Ruang operasi rumah sakit merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
penyelenggaraan pelayanan medis di sarana pelayanan kesehatan. Dalam rangka mendukung
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, maka perlu disusun persyaratan
teknis fasilitas ruang operasi rumah sakit yang memenuhi standar pelayanan, keamanan,
serta keselamatan dan kesehatan kerja. Banyak penyakit yang timbul berhubungan dengan
pekerjaan, baik karena kondisi lingkungan tempat kerja maupun jenis aktifitas dalam
pekerjaan. Oleh karena itu dengan adanya UU No.36 tahun 2009 bab XII yang merupakan
upaya kesehatan kerja, ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas
dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Dengan
demikian dapat meminimalkan risiko yang akan terjadi.
1.2.Tujuan
Tujuan Umum :
Tujuan Khusus :
a. Untuk mengetahui tentang faktor hazard yang dialami petugas instrumen di ruang
operasi RS.
b. Untuk mengetahui tentang alat kerja yang digunakan yang dapat mengganggu
kesehatan petugas instrumen di ruang operasi RS.
c. Untuk mengetahui tentang APD yang digunakan petugas instrumen di ruang operasi
RS.
d. Untuk mengetahui tentang ketersedian obat P3K di tempat kerja petugas instrumen di
ruang operasi RS.
e. Untuk mengetahui pemeriksaan kesehatan yang pernah dilakukan sesuai peraturan
(sebelum kerja, berkala, berkala khusus)
f. Untuk mengetahui tentang peraturan pimpinan RS tentang K3 di tempat kerja.
g. Untuk mengetahui keluhan / penyakit yang dialami yang berhubungan dengan
pekerjaan pada petugas instrumen di ruang operasi RS.
BAB II
TIJAUAN PUSTAKA
Perlindungan tenaga kerja meliputi aspek-aspek yang cukup luas, yaitu perlindungan
keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moral kerja serta perlakuan yang sesuai dengan
martabat manusia dan moral agama. Perlindungan tersebut dimaksudkan agar tenaga kerja
secara aman melakukan pekerjaannya sehari-hari untuk meningkatkan produksi dan
produktivitas nasional.
a. Pengurus diwajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik
dan tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan sifat
pekerjaannya yang akan diberikan kepadanya.
d. Pengurus wajib menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja tentang kondisi dan
bahaya yang dapat timbul dalam tempat kerja.
e. Pengurus wajib menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja tentang semua
pengamanan alat pelindung diri yang diharuskan dalam tempat kerjanya.
f. Pengurus wajib menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja tentang alat
pelindung diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan.
g. Pengurus wajib menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja tentang cara-cara
pelindung diri bagi yang bersangkutan.
Kinerja setiap tenaga kerja merupakan hasil dari tiga komponen kesehatan kerja yaitu
kapasitas, beban kerja, dan lingkungan kerja yang dapat mengakibatkan beban tambahan
bagi tenaga kerja. Apabila derajat kesehatan tidak maksimal maka produktivitas tenaga kerja
akan menurun dan apabila derajat kesehatan tenaga kerja tinggi maka produktivitas akan
meningkat. Untuk itu tindakan preventif dan kuratif terhadap penyakit atau gangguan
kesehatan yang diakibatkan oleh faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap
penyakit umum sehingga akan ter cipta derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Sumamur,
1996).
Kesehatan Kerja
Kesehatan Kerja adalah bagian dari ilmu kesehatan sebagai unsur-unsur yang menunjang
terhadap adanya jiwa-raga dan lingkungan kerja yang sehat. Kesehatan kerja meliputi
kesehatan jasmani dan kesehatan rohani.
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang dapat timbul atau terjadi oleh pekerjaan atau
lingkungan kerja. Penyakit ini terjadi karena ulah manusia sendiri (man made disease) dan
umumnya dapat dicegah. Oleh karena itu ada juga yang menggolongkan penyakit artificial
timbul oleh adanya pekerjaan. WHO menyebut sebagai work related disease. Penyakit umum
yang berkaitan dengan pekerjaan atau akibat terpapar oleh lingkungan kerjanya.
Penyebab terjadinya penyakit akibat kerja dibagi menjadi empat golongan yaitu:
1. Golongan fisik, seperti suara bising, radiasi sinar radio aktif, suhu yang terlalu tinggi atau
terlalu rendah, tekanan yang tinggi, dan penerangan lampu yang kurang baik.
2. Golongan kimiawi, seperti debu, uap, gas, larutan, awan atau kabut.
3. Golongan ergonomi, seperti kesalahan konstruksi mesin, sikap badan saat bekerja
yang menyebabkan kelelahan fisik dan perubahan bentuk fisik pekerja.
4. Golongan mental atau psikologis, seperti hubungan kerja yang tidak baik atau
membosankan.
5. Golongan biologi mencakup mikroorganisme.
Keselamatan Kerja
Keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, alat kerja, bahan,
dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara
melakukan pekerjaan. Keselamatan kerja menyangkut segenap proses produksi dan distribusi,
baik barang maupun jasa. Salah satu aspek penting sasaran keselamatan kerja, mengingat
resiko bahayanya adalah penerapan teknologi, terutama teknologi yang lebih maju dan
mutakhir.
Keselamatan kerja adalah tugas semua orang yang bekerja. Keselamatan kerja adalah
dari, oleh, dan untuk setiap tenaga kerja, dan masyarakat pada umumnya. Kecelakaan, adalah
kejadian yang tak terduga dan tak diharapkan. Tak terduga oleh karena di belakang peristiwa
itu tidak terdapat unsur kesengajaan lebih-lebih dalam bentuk perencanaan. Tidak diharapkan
oleh karena peristiwa kecelakaan disertai kerugian materiil maupun penderitaan dari yang
paling ringan sampai kepada yang paling berat dan tidak diinginkan.
a. Keselamatan kerja adalah sarana utama untuk pencegahan kecelakaan, cacat dan
kematian akibat kecelakaan kerja.
b. Analisa kecelakaan secara nasional berdasarkan angka-angka yang masuk atas dasar
wajib lapor kecelakaan dan data kompensasinya dewasa ini seolah-olah relatif rendah
dibandingkan dengan banyaknya jam kerja tenaga kerja.
c. Potensi-potensi bahaya yang mengancam keselamatan pada berbagai sektor kegiatan
ekonomi jelas dapat diobservasi, misalnya; sektor pertanian, sektor industri, sector
jasa, dan lain sebagainya.
d. Menurut observasi, angka frekuensi untuk kecelakaan-kecelakaan ringan yang tidak
menyebabkan hilangnya satu atau dua jam kerja masih terlalu tinggi. Upaya secara
lebih serentak diperlukan untuk memberantas kecelakaan-kecelakan ringan demikian.
e. Analisa kecelakaan memperlihatkan bahwa untuk setiap kecelakaan ada factor
penyebabnya. Sebab-sebab tersebut bersumber kepada alat-alat mekanik dan
lingkungan serta kepada manusianya sendiri. Untuk mencegah kecelakaan, penyebab-
penyebabnya ini harus dihilangkan.
f. 85 % dari sebab-sebab kecelakaan adalah faktor manusia. Maka dari itu, usaha-usaha
keselamatan selain ditujukan kepada teknik mekanik, juga harus memperthatikan
secara khusus aspek manusiawi. Dalam hal ini pendidikan tentang keselamatan kerja
merupakan sesuatu hal yang sangat penting.
g. Sekalipun upaya-upaya pencegahan telah maksimal, kecelakaan masih mungkin
terjadi dan dalam hal ini , peranan kompensasi kecelakaan sebagai jaminan sosial
diperlukan adanya untuk meringankan beban penderita.
Menurut hasil laporan dari Natonal Safety Council (NSC) tahun 1988 menunjukkan
bahwa terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja pada industri lain. Kasus
yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, tergores/terpotong, dan penyakit infeksi lain. Salah
satu contoh kecelakaan kerja yang paling sering adalah Luka jarum suntik yang umum
terjadi di kalangan petugas di ruang operasi. Sehingga peningkatan strategi pencegahan dan
pelaporan diperlukan untuk meningkatkan keselamatan kerja bagi petugas operasi tersebut.
2. Alat kerja yang dapat digunakan yang dapat mengganggu kesehatan petugas
instrumen di ruang operasi
Alat kesehatan yang digunakan yang dapat mengganggu kesehatan petugas instrumen
diruang operasi adalah benda-benda tajam seperti skalpel dan jarum suntik yang dapat
memberikan resiko terjadinya kecelakaan kerja.
3. Alat pelindung diri (APD) yang digunakan petugas instrumen diruang operasi
Selain membersihkan tangan yang harus selalu dilakukan petugas kesehatan juga
harus mengenakan alat pelindung diri sesuai dengan prosedur yang mereka lakukan dan
tingkat kontak dengan pasien yang diperlukan untuk menghindari kontak dengan darah dan
cairan tubuh. APD untuk keperluan kewaspadaan standar terdiri atas sarung tangan, gaun
pelindung, pelindung mata, dan masker bedah. Peralatan tambahan, seperti penutup kepala
untuk melindungi rambut, tidak dianggap APD, tetapi dapat digunakan demi kenyamanan
petugas kesehatan. Begitu pula, sepatu bot juga dapat digunakan untuk keperluan praktis,
misalnya bila diperlukan sepatu yang tertutup rapat dan kuat untuk menghindari kecelakaan
akibat benda tajam. Bila digunakan dengan benar, APD akan melindungi petugas kesehatan
dari pajanan terhadap jenis penyakit menular tertentu.
P3K merupakan pertolongan pertama yang harus segera diberikan kepada korban
yang mendapatkan kecelakaan atau penyakit mendadak dengan cepat dan tepat sebelum
korban dibawa ke tempat rujukan. P3K sendiri ditujukan untuk memberikan perawatan
darurat pada korban, sebelum pertolongan yang lebih lengkap diberikan oleh dokter atau
petugas kesehatan lainnya.
Dalam upaya pengawasan P3K maka perlu tersedia fasilitas dan personil P3K.
Fasilitas dapat berupa kotak P3K, isi kotak P3K, buku pedoman, ruang P3K, perlengkapan
P3K (alat perlindungan, alat darurat, alat angkut dan transportasi). Personil terdiri dari
penanggung jawab: dokter pimpinan P3K, ahli K3, petugas P3K yang telah menerima
sertifikat pelatihan P3K di tempat kerja.
Rekomendasi minimum failitas yang tersedia dalam kotak P3K tipe I yaitu kasa steril
terbungkus, perban (lebar 5 cm), perban (lebar 7,5 cm), plester (lebar 1,25 cm), plester cepat,
kapas (25 gram), perban segitiga/mettela, gunting, peniti, sarung tangan sekali pakai, masker,
aquades (100 ml lar saline), povidon iodin (60 ml), alkohol 70%, buku panduan P3K umum,
buku catatan, daftar isi kotak. Sedangkan pada kotak P3K tipe II terdiri dari kasa steril
terbungkus, perban (lebar 5 cm), perban (lebar 7,5 cm), plester (lebar 1,25 cm), plester cepat,
kapas (25 gram), perban segitiga/mettela, gunting, peniti, sarung tangan sekali pakai, masker,
bidai, pinset, lampu senter, sabun, kertas pembersih (Cleaning Tissue), aquades (100 ml lar
saline), povidon iodin (60 ml), alkohol 70%, buku panduan P3K umum.
Secara umum penentuan jenis dan jumlah kotak yang disediakan tergantung dari
jumlah pekerja.
Untuk jumlah personil P3K sendiri ditentukan oleh faktor risiko bahaya di tempat
kerja dan jumlah pekerja.
Upaya K3 di RS menyangkut tenaga kerja, cara/metode kerja, alat kerja, proses kerja
dan lingkungan kerja. Upaya ini meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan
pemulihan. RS harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai keberhasilan
penerapan sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur. Perencanaan
K3 di RS dapat mengacu pada standar Sistem Manajemen K3 di RS diantaranya self
assesment akreditasi K3RS dan SMK3.
Perencanaan meliputi:
Jenis kecelakaan dan PAK yang mungkin dapat terjadi. Sumber bahaya yang ada
di RS harus diidentifikasi dan dinilai untuk menentukan tingkat resiko yang
merupakan tolak ukur kemungkinan terjadinya kecelakaan dan PAK.
Adalah proses untuk menentukan ada tidaknya risiko dengan jalan melakukan
penilaian bahaya potensial yang menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan.
2. Membuat peraturan
4. Indikator kinerja
Indikator harus dapat diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 yang sekaligus
merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian SMK3 RS.
5. Program K3
6. Keluhan atau penyakit yang dialami yang berhubungan dengan pekerjaan pada
petugas instrumen di ruang operasi.
Para peneliti menyatakan bahwa di dalam kamar operasi terkandung kadar eter yang
signifikan ketika the open drop technique digunakan. Dan diketahui bahwa paparan obat
anastesi inhalasi seperti diethyl eter, nitrous oxide dan cloroform lebih mengarah tentang
infertilitas dan aborsi spontan, insidensi kelainan kogenital, kanker, penyakit hematopoietik,
penyakit liver, dan penyakit saraf seperti psikomotor dan tingkah laku sebagai akibat paparan
gas anastesi.
1.1. Hasil
a. Faktor Kebisingan
Faktor kebisingan yang berlangsung di ruang operasi RS yaitu berasal dari alat suction,
alat bor tulang, dan alat kauter. Bising yang timbul dari alat-alat tersebut muncul jika pintu
ruang operasi yang sedang beroperasi terbuka. Selain bising bersumber dari peralatan
kesehatan, bising juga berasal dari bunyi deringan telepon serta suara televisi yang menyala
pada ruang dokter. Bising dari suara televisi yang muncul diakibatkan dua pintu yang
menghubungkan ruang operasi dan ruang dokter tidak ditutup. Sumber-sumber bising
tersebut menjadi polusi udara dan dapat di dengar sampai ke ruang ganti staf.
b. Faktor Pencahayaan
Pencahayaan umum yang terdapat di ruang operasi berasal dari lampu yang di pasang di
langit-langit. Terdapat pencahayaan alami seperti sinar matahari di ruangan namun tidak
terlalu dominan, karena sedikitnya ventilasi yang ada. Terdapat juga bantuan pencahayaan
dari lampu operasi yang berwarna putih kebiruan.
c. Faktor Getaran
Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap getaran pada bangunan ruang operasi
rumah sakit, pengelola bangunan ruang operasi rumah sakit harus mempertimbangkan jenis
kegiatan, penggunaan peralatan, atau sumber getar lainnya baik yang berada pada bangunan
ruang operasi rumah sakit maupun di luar bangunan ruang operasi rumah sakit. Terdapat
beberapa alat yang digunakan yang dapat menyebabkan getaran. Alat tersebut adalah bor dan
suction.
d. Faktor Biologis
Penerapkan cuci tangan tujuh langkah sebelum melakukan tindakan dan setelah
melakukan tindakan. Bahkan diadakan pelatihan untuk prosedur cuci tangan para petugas
medis maupun petugas non medis di ruangan operasi. Selain itu terdapat pula ruang
tempat cuci tangan beserta dengan sabun serta larutan antiseptik.
e. Faktor Ergonomi
Selama proses pembedahan berlangsung, para petugas medis berada dalam posisi
berdiri yang cukup lama sampai operasi selesai. Sedangkan dari faktor kebersihan dan
kerapian, ruang operasi RS harus tampak bersih dan rapi.
f. Faktor Psikososial
Jadwal jam dinas yang diterapkan pada ruang operasi yaitu dimulai pukul 07.00 -
4.00. Sedangkan jadwal jaga dibagi menjadi dua shift yaitu shift siang (14.00-21.00) dan
shift malam (21.00-07.00). Hubungan para petugas harus terlihat cukup harmonis dan saling
menghargai tugas masing-masing. Petugas di ruang operasi harus mampu melakukan
tugasnya masing-masing dengan baik.
Dari segi peralatan medis yang ada di Ruang Operasi RS harus memenuhi kriteria
dari Permenkes No. 340 Tahun 2010. Alat kerja yang digunakan adalah alat-alat operasi,
masker, mesin anestesi ventilator, electric suction, kauter, dan monitor.
Keselamatan dan kesehatan kerja bagi pekerja di rumah sakit sangatlah perlu di
perhatikan. Demikian pula penanganan faktor potensi berbahaya yang ada di rumah sakit
serta metode pengembangan program keselamatan dan kesehatan kerja perlu dilaksanakan,
seperti misalnya perlindungan baik terhadap penyakit infeksi maupun non-infeksi. Strategi
yang penting untuk mengurangi risiko pajanan patogen dan penularan infeksi yang berkaitan
dengan pelayanan kesehatan meliputi pengendalian administratif, pengendalian teknis dan
lingkungan, serta yang tak kalah pentingnya yaitu penggunaan APD.
Penggunaan APD pada ruang operasi berupa tutup kepala, masker, handscoon steril,
pakaian OK, celemek, dan sepatu boot. Persediaan APD cukup harus memadai dan teratur
sehingga tidak pernah terjadi kekurangan atau ketiadaan APD. APD dikenakan sesuai
prosedur yang pernah didapatkan petugas dalam pelatihan.
4. Pemeriksaan Kesehatan
Tidak ada pemeriksaan kesehatan secara berkala, namun petugas tetap yang bekerja
diberi jaminan kesehatan sebesar Rp.1.500.000,00 dan juga jaminan sosial tenaga kerja
(JAMSOSTEK). Pemeriksaan dilakukan bila petugas mengalami keluhan dan memeriksakan
dirinya.
6. Keluhan Kesehatan/Sakit
Keluhan yang paling sering dialami oleh petugas berupa nyeri pinggang dan batuk.
Apabila petugas sakit maka petugas akan berobat dengan menggunakan jaminan yang
dimilikinya sehingga petugas tidak mengeluarkan biaya administrasi untuk berobat. Petugas
tetap diberikan wewenang untuk mengambil cuti yaitu selama 12 hari jam kerja.
7. Upaya K3 lainnya
3.1. Pembahasan
Ruang Operasi Rumah Sakit merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
penyelenggaraan pelayanan medik di sarana pelayanan kesehatan. Dalam rangka mendukung
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, maka perlu disusun persyaratan
teknis fasilitas ruang operasi rumah sakit yang memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta
keselamatan dan kesehatan kerja.
Ruang Operasi adalah suatu unit khusus di rumah sakit yang berfungsi sebagai daerah
pelayanan kritis yang mengutamakan aspek hirarki zonasi sterilitas. Oleh karena itu
kegagalan dalam pembedahan jangan sampai disebabkan oleh faktor perencanaan dan
perancangan fisik bangunan dan utilitasnya yang tidak memenuhi persyaratan teknis.
a. Bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit, harus dilindungi terhadap bahaya kebakaran
dengan sistem proteksi pasif dan proteksi aktif.
b. Penerapan sistem proteksi pasif didasarkan pada fungsi/klasifikasi, risiko kebakaran,
geometri ruang, bahan bangunan terpasang, dan/ atau jumlah dan kondisi penghuni dalam
bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit.
c. Penerapan sistem proteksi aktif didasarkan pada fungsi, klasifikasi, luas, ketinggian,
volume bangunan, dan/atau jumlah dan kondisi penghuni dalam bangunan Ruang Operasi
Rumah Sakit.
Sistem proteksi aktif yang terdiri dari :
- Hidran halaman
- Sistem sprinkler otomatis
- APAR
- Sistem deteksi dan alarm kebakaran
- Sistem pencahayaan darurat
- Sistem peringatan bahaya
- Tanda penunjuk arah
d. Apabila terjadi kebakaran di ruang operasi, peralatan yang terbakar harus segera
disingkirkan dari sekitar sumber oksigen dan mesin anestesi atau outlet pipa yang
dimasukkan ke ruang operasi untuk mencegah terjadinya ledakan.
e. Api di ruang operasi harus dipadamkan, jika dimungkinkan, dan pasien harus segera
dipindahkan dari tempat berbahaya. Peralatan pemadam kebakaran harus dipasang
diseluruh rumah sakit. Semua petugas harus memahami ketentuan tentang cara-cara
proteksi kebakaran. Mereka harus mengetahui persis tata letak kotak alarm kebakaran dan
mampu menggunakan alat pemadam kebakaran tersebut.
f. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan
sistem proteksi pasif dan proteksi aktif mengikuti :
1) SNI 03 3988 19950, atau edisi terakhir, Pengujian kemampuan pemadaman dan
penilaian alat pemadam api ringan.
2) SNI 03 1736 2000, atau edisi terakhir, Tata cara perancangan sistem proteksi pasif
untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung,
3) SNI 03 1745 2000, atau edisi terakhir,Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem
pipa tegak dan slang untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
4) SNI 03 3985 2000, atau edisi terakhir,Tata cara perencanaan, pemasangan dan
pengujian sistem deteksi dan alarm kebakaran untuk pencegahan bahaya kebakaran pada
bangunan gedung.
5) SNI 03 3989 2000, atau edisi terakhir, Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem
springkler otomatik untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
6) atau pedoman dan standar teknis lain yang berlaku.
3. Sistem kelistrikan.
Semua petugas harus menyadari bahwa kesalahan dalam pemakaian listrik membawa
akibat bahaya sengatan listrik, padamnya tenaga listrik, dan bahaya kebakaran. Kesalahan
dalam instalasi listrik bisa menyebabkan arus hubung singkat, tersengatnya pasien, atau
petugas. Bahaya ini dapat dicegah dengan :
1) Memakai peralatan listrik yang dibuat khusus untuk kamar operasi. Peralatan harus
mempunyai kabel yang cukup panjang dan harus mempunyai kapasitas yang cukup
untuk menghindari beban lebih.
2) Peralatan jinjing (portabel), harus segera diuji dan dilengkapi dengan sistem
pembumian yang benar sebelum digunakan.
3) Segera menghentikan pemakaian dan melaporkan apabila ada peralatan listrik yang
tidak benar.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan
pemeliharaan sistem kelistrikan pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit
mengikuti Permenkes 2306/Menkes/per/XI/2011 tentang Persyaratan Teknis
Prasarana Instalasi Elektrikal RS.
4. Sistem gas medik dan vakum medik.
a. Vakum, udara tekan medik, oksigen, dan nitrous oksida disalurkan dengan pemipaan ke
ruang operasi. Outlet-outletnya bisa dipasang di dinding, pada langit-langit, atau
digantung di langit-langit.
b. Bilamana terjadi gangguan pada suatu jalur, untuk keamanan ruang-ruang lain, sebuah
lampu indikator pada panel akan menyala dan alarm bel berbunyi, pasokan oksigen dan
nitrous oksida dapat ditutup alirannya dari panel-panel yang berada di koridor-koridor,
Bel dapat dimatikan, tetapi lampu indikator yang memonitor gangguan/kerusakan yang
terjadi tetap menyala sampai gangguan/kerusakan teratasi.
c. Selama terjadi gangguan, dokter anestesi dapat memindahkan sambungan gas medisnya
yang semula secara sentral ke silinder-silinder gas cadangan pada mesin anestesi.
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan
sistem gas medik dan vakum medik pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit
mengikuti Pedoman Teknis Instalasi Gas Medik dan Vakum Medik di RS yang
disusun oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan,
Direktorat Jendeal Bina Upaya Kesehan, Kenterian Kesehatan RI, Tahun 2011.
C. Persyaratan kesehatan bangunan.
1. Sistem ventilasi.
a. Ventilasi di ruang operasi harus pasti merupakan ventilasi tersaring dan terkontrol.
Pertukaran udara dan sirkulasi memberikan udara segar dan mencegah pengumpulan
gas-gas anestesi dalam ruangan.
b. Dua puluh lima kali pertukaran udara per jam di ruang operasi yang disarankan.
c. Filter microbial dalam saluran udara pada ruang operasi tidak menghilangkan limbah
gas-gas anestesi. Filter penyaring udara, praktis hanya menghilangkan partikel-
partikel debu.
d. Jika udara pada ruang operasi disirkulasikan, kebutuhan sistem scavenger untuk gas
(penghisapan gas) adalah mutlak, terutama untuk menghindari pengumpulan gas
anestesi yang merupakan risiko berbahaya untuk kesehatan anggota tim bedah.
e. Ruang operasi menggunakan aliran udara laminair.
h. Tekanan dalam setiap ruang operasi harus lebih besar dari yang berada di koridor-
koridor, ruang sub steril dan ruang pencucian tangan (;scrub-up) (tekanan positif).
i. Tekanan positif diperoleh dengan memasok udara dari diffuser yang terdapat pada
langit-langit ke dalam ruangan. Udara dikeluarkan melalui return grille yang berada
pada + 20 cm diatas permukaan lantai.
j. Organisme-organisme mikro dalam udara bisa masuk ke dalam ruangan, kecuali
tekanan positip dalam ruangan dipertahankan.
k. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan
pemeliharaan sistem ventilasi alami dan mekanik/buatan pada bangunan Ruang
Operasi Rumah Sakit mengikuti Pedoman Teknis Sistem Tata Udara pada
Bangunan Rumah Sakit yang disusun oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang
Medik dan Sarana Kesehatan, Direktorat Jendeal Bina Upaya Kesehan, Kenterian
Kesehatan RI, Tahun 2011.
2. Sistem pencahayaan.
a. Pencahayaan Umum.
1) Bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit harus mempunyai pencahayaan alami dan/atau pencahayaan
buatan, termasuk pencahayaan darurat sesuai dengan fungsinya.
2) Ruang fasilitas / akomodasi petugas dan ruang pemulihan sebaiknya dibuat untuk memungkinkan
penetrasi cahaya siang langsung/tidak langsung.
3) Pencahayaan buatan harus direncanakan berdasarkan tingkat iluminasi yang dipersyaratkan sesuai
fungsi ruang dalam bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit dengan mempertimbangkan efisiensi,
penghematan energi, dan penempatannya tidak menimbulkan efek silau atau pantulan.
4) Pencahayaan buatan yang digunakan untuk pencahayaan darurat harus dipasang pada
bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit dengan fungsi tertentu, serta dapat bekerja secara
otomatis dan mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman.
5) Semua sistem pecahayaan buatan, kecuali yang diperlukan untuk pencahayaan darurat,
harus dilengkapi dengan pengendali manual, dan/atau otomatis, serta ditempatkan pada
tempat yang mudah dibaca dan dicapai, oleh pengguna ruang.
Lampu sebaiknya dilengkapi dengan kontrol intensitas. Dokter bedah akan meminta
cahaya agar lebih terang jika diperlukan. Lampu cadangan harus tersedia.
h) Lampu operasi harus mudah dibersihkan. Track (jalur) yang masuk ke dalam langit-langit
dapat mengurangi akumulasi debu. Track yang tergantung atau suatu fixture/armatur
yang terpasang terpusat, harus mempunyai permukaan-permukaan yang halus yang
mudah dicapai untuk pembersihan.
i) Ikuti peraturan keselamatan instalasi listrik untuk lokasi anestesi.
3) Suatu lampu tambahan mungkin diperlukan untuk lokasi kedua di tempat operasi/bedah.
Beberapa rumah sakit memiliki unit lampu satelit yang menjadi bagian dari armature
lampu gantung.
Lampu ini hanya bisa dipakai untuk lokasi kedua kalau pembuatnya menyatakan bahwa
intensitas tambahannya masih dalam batas radiant energi yang aman jika digunakan
bersamaan dengan sumber cahaya utama.
4) Suatu sumber cahaya yang berasal dari sirkit yang berlainan harus ada yang dapat
dipergunakan pada saat sumber listrik utama terganggu.
Ini memerlukan sumber daya listrik darurat yang terpisah. Terbaik jika lampu operasi
dilengkapi sedemikian rupa sehingga suatu sakelar otomatik dipasang untuk sumber daya
lampu darurat tersebut, jika sumber listrik yang normal terganggu.
5) Umumnya dokter bedah menyukai bekerja dalam kamar yang digelapkan dengan hanya
pencahayaan yang kuat di tempat operasi/bedah.
Kondisi ini terutama untuk dokter bedah dengan instrumen endoscopy dan mikroskop operasi.
6) Jika ruangannya berjendela, tirai yang tidak tembus cahaya boleh ditutup untuk
menggelapkan ruangan jika peralatan tersebut sedang dipergunakan. Kemungkinan
jatuhnya debu bisa terjadi pada rumah sakit yang mempunyai jendela dengan tirai-tirai
tersebut.
7) Meskipun kondisi ruang operasi digelapkan, perawat atau dokter anestesi harus dapat
dengan baik mengenali warna kulit pasien dan memonitor kondisinya. Jika pembiusan
hanya menggunakan zat anestesi yang tidak mudah terbakar, semacam lampu tambahan
bisa dipasang di lantai.
8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan
sistem pencahayaan pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit mengikuti:
a) SNI 03 2396 2001, Tata cara perancangan sistem pencahayaan alami pada bangunan
gedung,
b) SNI 03 6575 2001, Tata cara perancangan sistem pencahayaan buatan pada bangunan
gedung,
c) SNI 03 6574 2001, Tata cara perancangan sistem pencahayaan darurat, tanda arah dan
tanda peringatan,
d) atau pedoman dan standar teknis lain yang berlaku.
3. Sistem Sanitasi.
Untuk memenuhi persyaratan sistem sanitasi, setiap bangunan Ruang Operasi Rumah
Sakit harus dilengkapi dengan sistem air bersih, sistem pembuangan air kotor dan/atau
air limbah, kotoran dan sampah, serta penyaluran air hujan.
a. Sistem air bersih.
1) Sistem air bersih harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbang kan sumber air
bersih dan sistem distribusinya.
2) Sumber air bersih dapat diperoleh dari sumber air berlangganan dan/atau sumber air
lainnya yang memenuhi persyaratan kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
3) Perencanaan sistem distribusi air bersih dalam bangunan rehabilitasi medik harus
memenuhi debit air dan tekanan minimal yang disyaratkan.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan,
sistem air bersih pada bangunan rehabilitasi medik mengikuti SNI 03 6481 2000 atau
edisi terakhir, Sistem Plambing 2000, atau pedoman dan standar teknis lain yang berlaku.
b. Sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah.
1) Sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah harus direncanakan dan dipasang dengan
mempertimbangkan jenis dan tingkat bahayanya.
2) Pertimbangan jenis air kotor dan/atau air limbah diwujudkan dalam bentuk pemilihan
sistem pengaliran/pembuangan dan penggunaan peralatan yang dibutuhkan.
3) Pertimbangan tingkat bahaya air kotor dan/atau air limbah diwujudkan dalam bentuk
sistem pengolahan dan pembuangannya.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan,
sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah pada bangunan rehabilitasi medik
mengikuti SNI 03 6481 2000 atau edisi terakhir, Sistem Plambing 2000, atau pedoman
dan standar teknis lain yang berlaku.
c. Sistem pembuangan kotoran dan sampah.
1) Sistem pembuangan kotoran dan sampah harus direncanakan dan dipasang dengan
mempertimbangkan fasilitas penampungan dan jenisnya.
2) Pertimbangan fasilitas penampungan diwujudkan dalam bentuk penyediaan tempat
penampungan kotoran dan sampah pada bangunan rehabilitasi medik, yang diperhitungkan
berdasarkan fungsi bangunan, jumlah penghuni, dan volume kotoran dan sampah.
3) Pertimbangan jenis kotoran dan sampah diwujudkan dalam bentuk penempatan pewadahan
dan/atau pengolahannya yang tidak mengganggu kesehatan penghuni, masyarakat dan
lingkungannya.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pengolahan
fasilitas pembuangan kotoran dan sampah pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit
mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.
d. Sistem penyaluran air hujan.
1) Sistem penyaluran air hujan harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan
ketinggian permukaan air tanah, permeabilitas tanah, dan ketersediaan jaringan drainase
lingkungan/kota.
2) Setiap bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit dan pekarangannya harus dilengkapi dengan
sistem penyaluran air hujan.
3) Kecuali untuk daerah tertentu, air hujan harus diserapkan ke dalam tanah pekarangan
dan/atau dialirkan ke sumur resapan sebelum dialirkan ke jaringan drainase
lingkungan/kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4) Bila belum tersedia jaringan drainase kota ataupun sebab lain yang dapat diterima, maka
penyaluran air hujan harus dilakukan dengan cara lain yang dibenarkan oleh instansi yang
berwenang.
5) Sistem penyaluran air hujan harus dipelihara untuk mencegah terjadinya endapan dan
penyumbatan pada saluran.
6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan
mengikuti SNI 03 6481 2000 atau edisi terakhir, Sistem Plambing 2000, atau pedoman
dan standar teknis lain yang berlaku.
D. Persyaratan kenyamanan.
1. Sistem pengkondisian udara.
a. Untuk mendapatkan kenyamanan kondisi udara ruang di dalam bangunan Ruang Operasi
Rumah Sakit, pengelola bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit harus mempertimbang kan
temperatur dan kelembaban udara.
b. Untuk mendapatkan tingkat temperatur dan kelembaban udara di dalam ruangan dapat
dilakukan dengan pengkondisian udara dengan mempertimbangkan :
1) fungsi ruang, jumlah pengguna, letak, volume ruang, jenis peralatan, dan penggunaan
bahan bangunan.
2) kemudahan pemeliharaan dan perawatan, dan
3) prinsip-prinsip penghematan energi dan kelestarian lingkungan.
c. Sistem ini mengontrol kelembaban yang dapat menyebabkan terjadinya ledakan.
Kelembaban relatip yang harus dipertahankan adalah 45% sampai dengan 60%, dengan
tekanan udara positif pada ruang operasi.
d. Uap air memberikan suatu medium yang relatip konduktif, yang menyebabkan muatan
listrik statik bisa mengalir ke tanah secapat pembangkitannya. Loncatan bunga api dapat
terjadi pada kelembaban relatip yang rendah.
3. Getaran.
a. Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap getaran pada bangunan Ruang Operasi
Rumah Sakit, pengelola bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit harus mempertimbang
kan jenis kegiatan, penggunaan peralatan, dan/atau sumber getar lainnya baik yang
berada pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit maupun di luar bangunan Ruang
Operasi Rumah Sakit.
b. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan tingkat kenyamanan terhadap
getaran pada bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit mengikuti pedoman dan standar
teknis yang berlaku.
E. Persyaratan kemudahan.
1. Kemudahan hubungan horizontal.
a. Setiap bangunan rumah sakit harus memenuhi persyaratan kemudahan hubungan
horizontal berupa tersedianya pintu dan/atau koridor yang memadai untuk
terselenggaranya fungsi bangunan Ruang Operasi Rumah Sakit tersebut.
b. Jumlah, ukuran, dan jenis pintu, dalam suatu ruangan dipertimbangkan berdasarkan
besaran ruang, fungsi ruang, dan jumlah pengguna ruang.
c. Arah bukaan daun pintu dalam suatu ruangan dipertimbangkan berdasarkan fungsi ruang
dan aspek keselamatan.
d. Ukuran koridor sebagai akses horizontal antar ruang dipertimbangkan berdasarkan fungsi
koridor, fungsi ruang dan jumlah pengguna.
e. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan pintu dan koridor mengikuti
pedoman dan standar teknis yang berlaku.
2. Kemudahan hubungan vertikal.
a. Setiap bangunan rumah sakit bertingkat harus menyediakan sarana hubungan vertikal
antarlantai yang memadai untuk terselenggaranya fungsi bangunan rumah sakit tersebut
berupa tersedianya tangga, ram, lif, tangga berjalan/eskalator, dan/atau lantai
berjalan/travelator.
b. Jumlah, ukuran dan konstruksi sarana hubungan vertikal harus berdasarkan fungsi
bangunan rumah sakit, luas bangunan, dan jumlah pengguna ruang, serta keselamatan
pengguna bangunan rumah sakit.
c. Setiap bangunan rumah sakit yang menggunakan lif, harus menyediakan lif kebakaran.
d. Lif kebakaran dapat berupa lif khusus kebakaran atau lif penumpang biasa atau lif barang
yang dapat diatur pengoperasiannya sehingga dalam keadaan darurat dapat digunakan
secara khusus oleh petugas kebakaran.
e. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan
lif, mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.
3. Sarana evakuasi.
a. Setiap bangunan rumah sakit, harus menyediakan sarana evakuasi yang meliputi sistem
peringatan bahaya bagi pengguna, pintu eksit, dan jalur evakuasi yang dapat dijamin
kemudahan pengguna bangunan rumah sakit untuk melakukan evakuasi dari dalam
bangunan rumah sakit secara aman apabila terjadi bencana atau keadaan darurat.
b. Penyediaan sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu eksit, dan jalur evakuasi
disesuaikan dengan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung, jumlah dan kondisi
pengguna bangunan rumah sakit, serta jarak pencapaian ke tempat yang aman.
c. Sarana pintu eksit dan jalur evakuasi harus dilengkapi dengan tanda arah yang mudah
dibaca dan jelas.
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan sarana evakuasi mengikuti
pedoman dan standar teknis yang berlaku.
4. Aksesibilitas.
a Setiap bangunan rumah sakit harus menyediakan fasilitas dan aksesibilitas untuk
menjamin terwujudnya kemudahan bagi penyandang cacat dan lanjut usia masuk ke dan
ke luar dari bangunan rumah sakit serta beraktivitas dalam bangunan rumah sakit secara
mudah, aman nyaman dan mandiri.
b. Fasilitas dan aksesibilitas sebagaimana dimaksud meliputi toilet, telepon umum, jalur
pemandu, rambu dan marka, pintu, ram, tangga, dan lif bagi penyandang cacat dan lanjut
usia.
4. Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas disesuaikan dengan fungsi, luas dan ketinggian
bangunan rumah sakit.
5. Ketentuan tentang ukuran, konstruksi, jumlah fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang
cacat mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
1. Ada beberapa faktor hazard yang dialami petugas instrumen di ruang operasi RS berupa:
b. Faktor Kimia yang terdapat di ruang operasi RS berasal dari obat-obat anastesi dan bahan
disinfektan.
c. Faktor biologi yang terdapat pada tempat sampah yang masih belum ada tulisan pembeda
antara sampah medis dan sampah non medis.
d. Faktor ergonomik yaitu proses pembedahan yang pada umumnya memakan waktu cukup
lama membuat petugas harus berada dalam posisi berdiri yang cukup lama.
2. Alat-alat yang digunakan di ruang operasi meliputi benda-benda tajam, beahan kimia dan
juga alat yang berhubungan dengan listrik sehingga dibutuhkan kehati-hatian dalam
pengoperasiannya.
3. Alat pelindung diri yang diterapkan pada petugas yang bekerja di ruang operasi telah
memenuhi standar.
4. Ada tempat P3K di ruang operasi yang berada pada ruang penyimpanan obat-obatan.
5. Petugas di ruang operasi tidak ada pemeriksaan kesehatan berkala, namun mereka
diberikan jaminan kesehatan sebesar Rp.1.500.000,00 dan juga JAMSOSTEK ataupun
ASKES pada petuga tetap.
6. Ada peraturan dari pihak rumah sakit mengenai K3 namun petugas tidak mengetahui
secara detail isi dari peraturan K3 tersebut.
7. Keluhan yang sering muncul pada petugas ruang operasi yaitu nyeri punggung belakang
dan juga batuk.
8. Penyuluhan dan juga pelatihan mengenai K3 telah diberikan pada petugas ruang operasi.
9. Petugas di ruang operasi memahami cara pengoperasian tabung pemadam api serta lokasi
penyimpanan dari tabung tersebut. Petugas juga mengetahui arah evakuasi apabila terjadi
keadaan darurat.
Saran
Agar tercapainya kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang lebih terjamin, maka kami
menyarankan agar usaha K3 yang dilakukan di rumah sakit khususnya di ruang operasi agar
lebih di tingkatkan dan melengkapi peralatan ruang operasi baik alat bedah, mesih sterilisasi
maupun tempat sampah medis dan non medis, serta memperhatikan dalam hal perawatan
alat bedah dan penyimpanannya. Karena mengadakan sebuah fasilitas lebih mudah
dibandingkan menjaga dan melakukan perawatan.
Daftar Pustaka
5. Supari S.F. Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit.
Jakarta : 2007.
6. Makary M.A, Al-attar A, Holzmueller C.G, Sexton J.B, Syin D, Gilson M.M, Sulkowski
M.S, Pronovost P.J. Needlestick Injuries among Surgeons in Training. NEJM. 2007. p.
2693
10. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Teknis Ruang Operasi Rumah Sakit. Jakarta : 2012
LAMPIRAN