You are on page 1of 17

Referat

TINEA KAPITIS

Oleh:

Erna Haryanti, S.Ked

04054821618003

Pembimbing:

dr. Sarah Diba, Sp.KK

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
TINEA KAPITIS

Oleh
Erna Haryanti, S.Ked
04054821618003

Pembimbing
dr. Sarah Diba, Sp.KK

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya
RumahSakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 24 Juli 2017 28 Agustus 2017.

Palembang, Juli 2017

Pembimbing,

dr. Sarah Diba, Sp.KK


TINEA KAPITIS
Erna Haryanti, S.Ked
Pembimbing dr. Sarah Diba, Sp.KK
Bagian/ Departemen Dermatologi dan Venereologi
FK UNSRI/ RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang
2017

PENDAHULUAN
Tinea kapitis merupakan salah satu penyakit kelainan rambut dan kulit kepala yang
disebabkan oleh jamur golongan dermatofita seperti spesies Microsporum dan Trychophyton,
dan dikelompokkan ke dalam penyakit dermatofitosis.1,2,3 Dermatofitosis merupakan infeksi
jamur superfisial pada stratum korneum seperti kulit, rambut dan kuku. Berdasarkan tempat
hidupnya dermatofita digolongkan menjadi antropofilik (pada manusia), zoofilik (pada
hewan) dan geofilik (pada tanah).1,2
Tinea kapitis lebih banyak terjadi pada anak-anak berusia 3 14 tahun dan lebih
banyak terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.1,3 Tinea kapitis tersebar di
seluruh dunia, namun insiden yang pasti tidak diketahui. Prevalensi tertinggi terdapat di
Afrika, Asia, dan Eropa Tenggara. Tinea kapitis memiliki empat bentuk yaitu gray patch
ringworm, black dot ringworm, kerion dan tinea favosa.1,2,3
Tinea kapitis memiliki tingkat kompetensi 4A, sehingga dokter umum harus mampu
membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit hingga tuntas.4 Referat
ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman pembaca mengenai tinea kapitis dengan
pembahasan etiopatogenesis, gambaran klinis, diagnosis banding, diagnosis, penatalaksanaan,
prognosis dan komplikasi tinea kapitis.

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi tinea kapitis bervariasi di seluruh dunia (Amerika Serikat 4% dan Afrika
50%) namun insiden pasti belum diketahui.5,6 Prevalensi tertinggi terdapat di Afrika dan Asia,
sedangkan prevalensi terendah terdapat di Amerika Serikat dan Eropa.6,7 Tinea kapitis lebih
banyak terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa.1,3 Hal ini terjadi karena produksi sebum
menurun pada anak-anak.1 Produksi sebum mulai aktif saat baru lahir, kemudian menurun
sampai sebelum pubertas. Saat pubertas terjadi peningkatan produksi sebum sehingga terjadi
perubahan pH kulit kepala dan peningkatan asam lemak sebum yang bersifat fungistatik.1,3
Tinea kapitis lebih sering terjadi pada ras kulit hitam dibandingkan ras kulit putih. 7

3
Penyebaran tinea kapitis meningkat pada higiene yang buruk, daerah padat penduduk, dan
status sosial ekonomi rendah.1,3

ETIOPATOGENESIS
Penyebab tinea kapitis adalah semua dermatofita, kecuali E. floccosum, T.
concentricum dan T. mentagrophytes. Penyebab paling umum di seluruh dunia adalah M.
canis, sedangkan di Amerika Serikat adalah T. tonsurans (>90%), sisanya disebabkan oleh T.
violaceum, M. canis dan T. audounii. 1,3,5
Penyebab tinea kapitis berbeda berdasarkan letak geografis. Di Amerika Serikat
penyebab terbanyak tinea kapitis adalah Trychophyton tonsurans dan Microsporum canis. Di
negara Eropa dan Afrika penyebab terbanyak tinea kapitis adalah Microsporum canis. Di
India dan sebagian Afrika penyebab terbanyak tinea kapitis adalah Trychophyton violaceum,
sedangkan di Jepang, Cina dan Korea penyebab terbanyak tinea kapitis adalah M.
ferrugineum.1,3
Berdasarkan tempat hidup dermatofita dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu jamur
antropofilik, jamur zoofilik dan jamur geofilik (Tabel 1). Jamur antropofilik memiliki tempat
hidup pada manusia, menyebar dari manusia ke manusia baik secara langsung maupun tidak
langsung contoh: T. rubrum, T. tonsurans, T. schoenleinii, T. soundanense, T. violaceum, M.
audouinii dan M. ferrugineum. Jamur zoofilik memiliki tempat hidup pada binatang seperti
kucing, anjing, kelinci, kuda, dll, jamur ini menyebar dari binatang ke manusia, contoh: T.
verrucosum dan M. canis. Jamur geofilik memiliki tempat hidup di tanah, menyebar dari
tanah ke manusia, contoh: M. gypseum.1,6

Tabel 1. Jamur penyebab tinea kapitis1,6,11


Ektrotriks Endotriks Favus
Antropofilik M. audouinii T. schoenleinii T. schoenleinii
M. ferrugineum T. soundanense T. violaceum
T. rubrum T. tonsurans
T. violaceum
T. rubrum

Zoofilik M. canis
T. verrucosum

Geofilik M. gypseum M. gypseum

4
Secara umum patogenesis infeksi dermatofita melalui tiga proses yaitu perlekatan,
invasi/ penetrasi dan respon penjamu.1,6
Perlekatan
Perlekatan arthroconidia pada jaringan keratin dimediasi oleh keratinase, yang
diproduksi dinding terluar dermatofita, yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi
pertumbuhan jamur di stratum korneum.1,6 Pada epidermomikosis (Gambar 1a) atau infeksi
jamur pada epidermis, dermatofita memasuki stratum korneum dan menyebabkan respon
radang berupa eritema, papul dan vasikulasi. Sedangkan pada trikomikosis (Gambar 1b) atau
infeksi jamur pada batang rambut, dermatofita menyebabkan rambut rusak dan patah. Jika
infeksi berlanjut sampai ke folikel rambut maka akan memberikan respon radang berupa
nodul, pustul, folikel dan abses.1,6,7

Gambar 1. (a) Epidermomikosis (b) Trikomikosis.7

Invasi/ penetrasi
Setelah perlekatan akan terjadi invasi/ penetrasi. Spora tumbuh dan menembus stratum
korneum dengan kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan
sekresi proteinase, lipase dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan
waktu 46 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada
keratin.8,9,10 Jamur memproduksi molekul yang secara langsung merusak atau memasuki
pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau protease. Jamur mensintesis katalase,
mensekresi protease yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan proses
invasi oleh jamur. Kemampuan spesies dermatofita menginvasi stratum korneum bervariasi
dan dipengaruhi oleh daya tahan penjamu yang dapat membatasi kemampuan dermatofita
dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum.1,7,10

5
Respon penjamu
Setelah invasi/ penetrasi akan terjadi respon penjamu. Respon penjamu adalah proses
inflamasi yang berhubungan dengan sistem imunitas penjamu dan jenis organisme. Derajat
inflamasi dipengaruhi oleh imunitas penjamu dan organisme yang terlibat. Reaksi
hipersensitivitas tipe IV (delayed type hypersensitivity) memiliki peran penting dalam
melawan dermatofita.10,11 Pada pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita
sebelumnya, infeksi primer menyebabkan inflamasi minimal dan Trichophyton test
menunjukkan hasil negatif. Trichophyton test merupakan uji sensitivitas kulit terhadap alergi
Trichophyton. Pemeriksaan dilakukan secara intradermal (intradermal skin test) dengan
mengukur cell-mediated immunity. Pada tahap infeksi terjadi eritema disertai skuama akibat
peningkatan keratinisasi.1,7,10
Infeksi tinea kapitis terjadi melalui tiga jenis invasi rambut yaitu invasi rambut
ektotriks, endotriks, dan favus.1,3,5
Ektotriks
Invasi rambut ektotriks yaitu perkembangan arthroconidia dalam bentuk selubung
pada permukaan batang rambut (Gambar 2). Pada tipe ini kutikula hancur sehingga pada
gambaran dengan lampu Wood akan tampak fluorosensi kuning-kehijauan. Penyebab paling
sering adalah M. canis dan M. gypseum.1,3,6

Gambar 2. Gambaran Ektotriks dan Endotriks pada Infeksi Dermatofita di Folikel Rambut.1

Endotriks
Infeksi rambut endotriks terjadi ketika arthroconidia terbentuk di dalam batang
rambut (Gambar 2). Pada tipe ini kutikula tidak rusak sehingga tidak terdapat perubahan
fluorosensi pada pemeriksaan lampu Wood. Penyebab pada tipe ini adalah T. tonsurans dan T.
violaceum. Hifa dapat menginvasi batang rambut pada kedua tipe invasi tersebut, namun
belum terdapat banyak bukti invasi hifa pada tipe endotriks. Hal ini dapat terjadi karena hifa

6
superfisial dari invasi endotriks secara cepat menjadi bentuk artrospora dan menghancurkan
keratin batang rambut. Ketika rambut dicabut, rambut akan terputus dari tempat timbul dan
meninggalkan artrospora.1,3,6
Favus
Infeksi favus ditandai krusta kekuningan menyerupai honeycomb. Infeksi ini
merupakan infeksi kronik dermatofita, salah satu penyebab utama favus adalah T.
schoenleinii. Kehilangan rambut pada favus terjadi perlahan dan terjadi atrofi kulit kepala.1,3,6

GAMBARAN KLINIS
Secara klinis tinea kapitis terbagi menjadi 4 jenis yaitu gray patch ringworm, black
dot ringworm, kerion dan tinea favosa.
Gray Patch Ringworm
Tinea kapitis tipe non inflamasi ini disebabkan oleh Microsporum dan sering
ditemukan pada anak. Karakteristik berupa papul melebar dan membentuk bercak pucat
berskuama, disertai gatal (Gambar 3). Warna rambut menjadi abu-abu dan tidak mengkilat.
Rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya sehingga mudah dicabut tanpa nyeri. Semua
daerah rambut kepala yang terserang jamur disebut gray patch.1,3,7 Pada pemeriksaan dengan
lampu wood dapat dilihat flouresensi hijau kekuning-kuningan pada rambut yang sakit hingga
melampaui batas gray patch tersebut. Tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsporum
audouini umumnya disertai tanda peradangan ringan dan kadang terjadi kerion. Tipe ini biasa
disebut tipe seborroik karena bentuk skuamanya.1,3,7

Gambar 3. Tinea kapitis tipe gray patch ringworm.1

7
Black Dot Ringworm
Tinea kapitis tipe black dot ringworm umumnya disebabkan oleh Trichophyton
tonsurans dan Trichophyton violaceum. Gambaran klinis menyerupai kelainan yang
disebabkan oleh genus Microsporum. Umumnya pasien datang dengan keluhan gatal dan
rambut mudah patah. Penyakit ini dimulai dengan papul merah kecil di sekitar rambut
(Gambar 4). Papul ini melebar dan membentuk bercak, yang menjadi pucat dan bersisik.
Warna rambut menjadi abu-abu dan tidak mengkilat. Rambut mudah patah dan terlepas dari
akarnya, sehingga mudah dicabut tanpa rasa nyeri, bisa membentuk alopesia setempat. Ujung
rambut yang hitam di dalam folikel rambut ini memberikan gambaran khas, yaitu black dot.
Sisa ujung rambut yang patah, tertinggal di bawah permukaan kulit sehingga untuk kebutuhan
biakan jamur perlu dilakukan pengerokan atau irisan kulit.1,3,7

Gambar 4. Tinea kapitis tipe black dot ringworm.1

Kerion
Kerion merupakan reaksi peradangan berat pada tinea kapitis, berupa
pembengkakan dengan sebaran sel radang disekitarnya (Gambar 5). Folikel terlihat
mengeluarkan pus yang akan menjadi krusta.1,3,7 Pasien dengan kerion biasanya mengeluh
nyeri. Rambut tidak patah namun mudah tercabut tanpa terasa sakit.7 Kerion biasanya hanya
mengenai satu area namun dapat juga mengenai beberapa area kulit kepala.7 Umumnya
disebabkan oleh Microsporum canis dan Microsporum gypseum. Keterkaitan bakteri patogen
dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kerion.6 Kelainan ini menyebabkan
jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap.1,3,7

8
Gambar 5. Tinea kapitis tipe kerion.1

Tinea Favosa
Bentuk tinea kapitis ini jarang ditemukan, terutama disebabkan oleh Trichophyton
violaceum dan Trichophyton gypseum. Tinea favosa merupakan proses lanjut dari kerion
disertai hancurnya batang rambut. Kelainan pada kepala dimulai dengan bintik-bintik kecil
berwarna merah kekuningan di bawah kulit yang kemudian berkembang menjadi krusta
berwarna kuning (Gambar 6).1,3,6 Lesinya berbau seperti tikus atau sering disebut mousy
odor, yang merupakan gejala khas tinea favosa. Setelah sembuh lesi meninggalkan jaringan
parut dan menyebabkan alopesia permanen.1,7

Gambar 6. Tinea Favosa.1

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis
tinea kapitis yaitu sebagai berikut.
9
Pemeriksaan Lampu Wood
Rambut dengan infeksi jamur Microsporum canis, Microsporum audouinii dan
Microsporum ferrugineum memberikan fluoresen berwarna hijau terang karena adanya bahan
pteridin. Sedangkan Trichophyton schoenleinii penyebab tinea favosa memberi fluoresen
berwarna hijau gelap. Bahan fluoresen diproduksi oleh jamur yang tumbuh aktif pada rambut
terinfeksi. Prosedur pemeriksaan lampu Wood adalah dengan menyorotkan cahaya pada lesi
di dalam ruangan gelap.8,9,14

Pemeriksaan KOH
Kalium hidroksida (KOH) membantu dalam visualisasi hifa dan konfirmasi diagnosis
dermatofita dengan cara mengambil spesimen dari kerokan kulit kepala maupun rambut yang
lepas pada lokasi lesi (Gambar 7). Letakan rambut pada object glass dan tambahkan
beberapa tetes KOH 20%. Pada pemeriksaan di bawah mikroskop akan ditemukan infeksi
rambut endotriks atau ektotriks (Gambar 8).8,9,14

Gambar 7. Gambaran KOH black dot demonstrasi hifa dan spora.12

Gambar 8. Gambaran KOH dermatofita.11

10
Biakan
Untuk mengetahui spesies jamur penyebab tinea kapitis perlu dilakukan kultur.
Prosedur meliputi mencabut sedikit rambut atau menusuk lesi yang berisi nanah. Gosokkan
swab kapas steril pada lesi untuk mengambil nanah. Hasil didapatkan setelah 2-3 pekan.3
Konfirmasi lebih lanjut untuk melihat hasil kultur bakteri adalah biakan pada agar dekstrosa
sabouraud (SDA). Biakan SDA dapat dipakai untuk menumbuhkan jamur dan kuman tertentu
sehingga ditambahkan antibiotik pada medium ini. Antibiotik yang digunakan adalah
kloramfenikol dan sikloheksimid. Dermatophyte Test Medium (DTM) merupakan media
khusus untuk menumbuhkan dermatofita. Positif bila ada perubahan warna dari kuning
menjadi merah karena pengaruh metabolit dermatofita.8,9,14

DIAGNOSIS BANDING
Beberapa diagnosis banding tinea kapitis adalah sebagai berikut (Tabel 2).

Tabel 2. Diagnosis Banding8,13


Gambaran Klinis Diagnosis Banding
Gray patch ringworm Alopesia areata
Trichotillomania
Black dot ringworm Dermatitis seboroik
Dermatitis atopik
Dermatitis kontak
Psoriasis
Systemic lupus erythematosus (SLE)
Kerion Pioderma
Neoplasia
Furunkel
Karbunkel
Tinea favosa Psoriasis
Pytirasis amiantacea
Impetigo

11
Alopesia Areata
Gejala klinis alopesia areata ditandai dengan bercak berbentuk bulat atau lonjong dan
terjadi kerontokan rambut pada kulit kepala, alis, janggut, dan bulu mata. Tepi lesi dapat
eritema pada stadium awal penyakit tetapi warna kembali normal pada stadium selanjutnya.
Terdapat tanda exclamation hair mark, yakni rambut bila dicabut terlihat bulbus yang atrofi,
sisa rambut terlihat seperti tanda seru dimana batang rambut yang ke arah pangkal makin
halus sedangkan rambut disekitarnya tampak normal tetapi mudah dicabut. Etiologi alopesia
areata belum diketahui, sering dihubungkan dengan adanya infeksi lokal, kelainan endokrin
dan stress emosional. 1,12

Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit autoimun yang bersifat kronik dan residif, ditandai dengan
bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis dan transparan, disertai
fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Koebner. Penyakit ini mengenai semua umur. Lebih
sering terjadi pada laki-laki dan dewasa. Predileksi psoriasis adalah scalp, ekstremitas bagian
ekstensor terutama siku dan lutut, serta lumbosacral. Alopesia yang terjadi bukan disebabkan
oleh psoriasis melainkan alopesia androgenetik. 1,2,12
Seborrhiasis atau dikenal juga dengan sebutan psoriasis seboroik (sebopsoriasis)
merupakan kondisi kulit yang memiliki gambaran klinik gabungan antara psoriasis dengan
dermatitis seboroik. Gambaran klinis ditandai dengan plak tertutup skuama tebal yang
biasanya kering menjadi agak berminyak dan agak lunak pada hair line dan scalp. 1,2,12

Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik merupakan kelainan kulit yang berhubungan erat dengan
keaktifan glandula sebasea. Manifestasi klinis khas, yaitu pada kulit kepala terdapat skuama
halus dan kasar, berminyak dan kekuningan di area seboroik, serta batasnya tidak tegas.
Rambut pada penderita dermatitis seboroik cenderung rontok, di bagian vertex dan frontal,
meluas ke dahi, glabela, telinga dan leher.1,12

Furunkel dan Karbunkel


Furunkel merupakan radang folikel rambut dan sekitarnya biasanya disebabkan oleh
Staphylococcus aureus. Sedangkan karbunkel adalah kumpulan dari furunkel. Gejala klinis

12
biasanya pasien mengeluh nyeri, lesi berupa nodus eritematosa, ditengahnya terdapat pustul.
Terdapat di tempat yang banyak mendapat gesekan, misalnya aksila dan bokong. 1,12

Impetigo
Impetigo merupakan pioderma superfisialis (terbatas pada epidermis). Terdapat 2
bentuk impetigo yakni impetigo krustosa dan impetigo bulosa. Predileksi impetigo krustosa di
muka, sekitar lubang hidung dan mulut, berupa eritema, vesikel cepat pecah sehingga tampak
krusta tebal warna kuning seperti madu. Predileksi impetigo bulosa di aksila, dada dan
punggung, berupa eritema, bula, dan bula hipopion.1,12

DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis tinea kapitis dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, keluhan subjektif adalah gatal. Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan papul eritema di sekitar kulit kepala. Setelah beberapa hari
papul eritematosa berubah menjadi pucat dan keabuan, kusam, dan rapuh. Rambut bisa
menjadi patah beberapa milimeter dari permukaan kulit kepala sehingga terjadi alopesia
setempat. Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis tinea kapitis. Pada pemeriksaan dengan
lampu Wood, dapat terlihat fluoresensi pada rambut yang terinfeksi jamur sehingga dapat
ditentukan jenis jamur yang menginfeksi. Pada pemeriksaan KOH dapat terlihat visualisasi
hifa pada spesimen rambut dan kulit kepala. Pada pemeriksaan biakan dapat diketahui spesies
jamur yang menginfeksi.1,3,6

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan umum yang utama adalah mencari penyebab infeksi tinea kapitis dan
memberikan edukasi kepada pasien agar tidak menggunakan sisir, sikat rambut, topi, handuk,
dan sarung bantal bersama-sama. Mencuci barang-barang, seperti sisir rambut, sikat rambut,
handuk, pakaian, dan sarung bantal pasien dengan air panas dan sabun. Memberikan edukasi
ke pasien bahwa rambut akan tumbuh kembali secara perlahan, sekitar 3-6 bulan. Bila ada
kerion dapat terjadi beberapa sikatrik dan alopesia permanen.1,3,14

13
Penatalaksanaan Khusus
Prinsip penatalaksanaan tinea kapitis terdiri dari terapi sistemik, terapi topikal dan
tindakan preventif. Tujuan terapi adalah untuk mencegah penyebaran dan mencapai
kesembuhan secepat mungkin.2,9
Terapi Topikal
Sampo
Sampo digunakan untuk mempercepat penyembuhan, mencegah kekambuhan,
mencegah penularan, membuang skuama dan membasmi spora, sampo diberikan sampai
sembuh secara klinis. Sampo yang digunakan adalah sampo selenium sulfit 1% atau 2,5%
atau sampo ketokonazol 2%, dipakai 2-3 kali/minggu, didiamkan selama 5 menit kemudian
dibilas. Pilihan lain adalah sampo povidine iodine dipakai 2-3 kali/minggu, didiamkan selama
5 menit kemudian dibilas.12,13

Terapi Sistemik
Tablet Griseofulvin (gold standard)
Tablet microsize (125, 250, 500 mg) dengan dosis 20 mg/kgBB/hari, 1-2 kali/hari
selama 6-12 minggu, sedangkan tablet ultramicrosize (330 mg) 15 mg/kgBB/hari, 1-2
kali/hari selama 6-12 minggu. Tablet griseofulvin dapat diminum bersama susu atau es krim
karena absorbsinya dipercepat dengan makanan berlemak. Seluruh terapi tersebut efektif
untuk Microsporum dan Trichophyton.3,12,14
Obat diberikan selama 2 minggu, setelah itu dilakukan pemeriksaan lampu Wood,
KOH dan biakan. Bila masih positif sebaiknya dosis dinaikkan. Bila hasil biakan negatif
sebaiknya obat diteruskan hingga 4-6 minggu. Pemeriksaan laboratorioum rutin tidak
diperlukan. Kegagalan pengobatan tinea kapitis dengan griseofulvin dapat disebabkan dosis
tidak adekuat (sebab tersering). Sebaiknya, dosis dinaikkan hingga 25 mg/kgBB/hari terutama
untuk kasus sulit sembuh, pasien tidak patuh, gangguan absorbsi pencernaan. Interaksi obat,
seperti digunakan bersamaan dengan obat phenobarbital, dapat mengurangi absorbsi
griseofuvin sehingga menyebabkan kegagalan terapi.3,12,14
Kapsul Itrakonazol
Kapsul itrakonazol (100 mg) dapat diberikan dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari selama
4-6 minggu atau dosis 5 mg/kgBB/hari selama 1 minggu, dengan bebas terapi 2
minggu/siklus. Bila belum sembuh dapat diulang dapat sampai 2-3 siklus. Kapsul itrakonazol
bersifat fungisidal sekunder. Obat ini efektif untuk Microsporum canis dan Trichophyton.

14
Tidak boleh diminum bersama antasida. Bila diberikan bersama phenytoin akan meningkatkan
kadar kedua obat tersebut. Sedangkan bila diberikan bersamaan rifampisin, isoniazid dan
karbamazepin akan menurunkan kadar itrakonazol. Monitor fungsi hepar dan darah lengkap
diperlukan bila pemakaian lebih dari 4 minggu. 3,12,14
Tablet Flukonazol
Tablet flukonazol diberikan dengan dosis 6 mg/kgBB/minggu selama 2-3 minggu.
Obat ini efektif untuk Microsporum dan Trichophyton. Tablet flukonazol dapat digunakan
untuk terapi tinea kapitis, tapi tidak lebih efektif dibandingkan obat lain. Tablet flukonazol
lebih diindikasikan untuk infeksi kandidiasis mukosa dan sistemik kriptokokosis, terutama
pada pasien immunocompromised. Flukonazol lebih cepat resisten dibanding obat lain,
sebaiknya flukonazol digunakan hanya pada kasus tertentu.3,12,14
Tablet Terbinafin
Tablet terbinafin bersifat fungisidal primer terhadap dermatofita. Tablet terbinafin
(250 mg) dosis 3-6 mg/kgBB/hari selama 1-4 minggu. Bila infeksi disebabkan Microsporum
canis sebaiknya diberikan selama 6-8 minggu karena jamur ini lebih sulit untuk dibasmi
dibandingkan Trichophyton. Monitor fungsi hati dan darah lengkap diperlukan bila
pemakaian lebih dari 6 minggu. 3,12,14

PROGNOSIS
Proses penyebaran spora dermatofita mungkin bertahan beberapa bulan meskipun
sedang dilakukan terapi, oleh karena itu sangat perlu untuk terus memantau keadaan pasien.
Penyebab kegagalan terapi yaitu reinfeksi, organisme jamur yang relatif tidak sensitif
terhadap obat, absorbsi obat yang tidak terlalu optimal dan kurang kepatuhan pasien karena
pengobatan yang lama. T. tonsurans dan Microsporum adalah spesies jamur yang sering
persisten terhadap terapi. Jika jamur masih dapat diisolasi dari lesi pada kulit yang telah
diterapi dengan maksimal, tetapi secara klinis ada perbaikan, direkomendasikan untuk terus
memberikan terapi yang sama selama satu bulan lagi. Jika diterapi adekuat, prognosis tinea
kapitis baik.6,12

KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada tinea kapitis dengan pengobatan tidak
adekuat adalah scarring, alopesia permanen dengan jaringan sikatriks, infeksi sekunder
(impetigo), perubahan warna kulit, hingga terjadi hipersensitivitas dermatitis tipe papular.11

15
Kerion celci merupakan salah satu komplikasi tinea kapitis yang dapat menyebabkan scarring
dan alopesia permanen.12,13

RINGKASAN
Tinea kapitis dibagi menjadi empat jenis yaitu gray patch ringworm, black dot
ringworm, kerion dan tinea favosa. Penegakan diagnosis tinea kapitis dapat dilakukan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran klinis, dan pemeriksaan penunjang
menggunakan lampu Wood, KOH dan kultur. Diagnosis banding tinea kapitis adalah
psoriasis, dermatitis seboroik, alopesia areata, furunkel, karbunkel dan impetigo. Tatalaksana
pasien secara umum adalah dengan KIE, tatalaksana khusus berupa obat sistemik antifungal
dan obat topikal. Prognosis pasien tinea kapitis baik dengan pengobatan adekuat.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Schieke SM, Garg A. Superficial fungal infection. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchress
BA, Paller AS, Lefel DJ, Wolff K, eds. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine
Volume 2. 8th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2012. p.2277-97.

2. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p.89-105.

3. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Disease of the Skin Clinical Dermatology.
12th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. p.285-318.

4. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: 2012


[accesed on July 27, 2017]. Available from: http://pd.fk.ub.ac.id/wp-
content/uploads/2014/12/SKDI-disahkan.pdf

5. Elewski BE, Hughey LC, Soebra, JO, Hay R. Fungal disease. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,
Schaffer JV, eds. Dermatology Volume 1. 3rd ed. Philadelphia: Elsevier; 2012. p.1251-84.

6. Hay RJ, Ashbee HR. Mycology. In: Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffiths C, eds.
Rooks Textbook of Dermatology Volume 2. 8th ed. London: Wiley-Blackwell; 2010.
p.1657-1750.

7. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology.
6th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2009. p.692-759.

8. Michaels BD, Rosso JQ. Tinea capitis in infants, recognition, evaluation, and management
suggestions. J Clin Aesthet Dermatol. 2012; 5(2):49-59.

9. Pai VV, Hanumanthayya K, Tophakhane RS, Nandihal NW, Kikkeri NS. Clinical study of
tinea capitis in Northern Karnataka: a three year experience at a single institute. Indian
Dermatol Online J. 2013; 4(1):22-6.

10. Underhill DM. Escape mechanisms from the immune respons. In: Brown GD, Nitea MG,
eds. Immunology of Fungal Infection. Netherlands: Springer; 2007. p.42942.

11. Atzori L, Aste N, Pau M. Tinea capitis in adults. J Symptoms and Signs. 2014; 3(5):392-
8.

12. Kelly BP. Superficial fungal infections. Pediatrics. 2012; 33(4):22-37.

13. Moriarty B, Hay R. The diagnosis and management of tinea. BMJ. 2012; 345:1-10.

14. Fuller LC, Barton RC, Mohd MF, Proudfoot LE, Punjabi SP, Higgins EM. Management
of tinea capitis. Br J Dermatol. 2014; 171(3):454-63.

17

You might also like