You are on page 1of 121

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

DI KECAMATAN NIPAH PANJANG


KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR JAMBI

HAIKAL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Pengelolaan
Ekosistem Mangrove di Kecamatan Nipah Panjang Kabupaten Tanjung Jabung
Timur Jambi adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis
ini.

Bogor, September 2008

Haikal
NRP C251050141
ABSTRACT

HAIKAL, Mangrove Ecosystem Management in Nipah Panjang District Tanjung


Jabung Regency, Province of Jambi. Supervised by KIAGUS ABDUL AZIZ and
ARIO DAMAR.
Nipah Panjang District as one of the coastal zone in the east coast of Jambi
with mangrove resource that supported the live of society near by, this day faced
on the problems of over exploitation rate for various use such as pallet stake and
firewood.
Research about mangrove ecosystem on District of Nipah Panjang aim to
know the condition of mangrove ecosystem and also to find an alternative for
mangrove ecosystem management in this region.
This research took place in mangrove ecosystem of Nipah Panjang District.
The research were done about two month, from May until July 2007. Primary data
were obtained through sampling, field observation, and respondent information.
Secondary data were obtained from study of bibliography and from related
institution. The extent, potency and condition of mangrove ecosystem in Nipah
Panjang District was estimated using geographic information system (GIS)
method and biophysics analysis for vegetation structure. The amount use of pallet
stake and firewood utilitation was estimate by counting the intake frequency for
the use for a year.
The survey and measurement result in the field showed that the extent of
mangrove area in Nipah Panjang District 337 ha. Mangrove ecosystem in this
region had seriously damage with density was 317,50 individual/ha. The pallet
steak and firewood by the society reach (50.600-63.200 log/year), with detail
utilitation was pallet steak was (21.600-29.300 log/year) and firewood was
(29.000-33.900 log/year). The height utilitation of pallet steak and firewood
cause the degradation of the mangrove ecosystem area in the coastal zone of
Nipah Panjang District, with degradation rate are 20 % per year.
Management strategy which can be done in mangrove ecosystem
management in Nipah Panjang District are; Limited the woods taken from the
mangrove forest with allowing number of pallet stake are 5.341 log/year,
equivalent to number of firewood was 16.209 log/year.

Keyword: Nipah Panjang, mangrove ecosystem, management.


RINGKASAN

HAIKAL, Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Nipah Panjang


Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi. Dibimbing oleh KIAGUS
ABDUL AZIZ dan ARIO DAMAR.
Kecamatan Nipah Panjang sebagai salah satu wilayah pesisir pantai timur
Jambi dengan sumberdaya mangrove yang mendukung kehidupan masyarakat
sekitar, dewasa ini dihadapkan pada masalah tingkat eksploitasi berlebihan untuk
berbagai keperluan seperti pengambilan cerucuk dan kayu bakar.
Penelitian tentang pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah
Panjang bertujuan untuk mengetahui kondisi ekosistem mangrove serta mencari
alternatif pengelolaan ekosistem mangrove di wilayah Kecamatan Nipah Panjang
ini.
Penelitian ini bertempat di ekosistem mangrove Kecamatan Nipah Panjang,
penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih dua bulan, mulai dari bulan Mei
sampai dengan bulan Juli 2007. Data primer diperoleh melalui penarikan contoh,
observasi lapangan, serta pengumpulan informasi dari responden. Data sekunder
diperoleh dari studi kepustakaan dan dinas atau instansi terkait. Untuk mengetahui
luas, potensi dan kondisi ekosistem mangrove yang terdapat di Kecamatan Nipah
panjang digunakan metode sistem informasi geografis (SIG), dan analisis biofisik
untuk struktur vegetasi. Untuk mengetahui jumlah pemanfaatan cerucuk dan kayu
dilakukan dengan menghitung frekuensi pengambilan mangrove untuk cerucuk
dan kayu bakar selama 1 tahun.
Hasil survei dan pengukuran di lapangan menunjukan luas ekosistem
mangrove di Kecamatan Nipah Panjang yang tersisa saat ini adalah 337 ha.
Ekosistem mangrove di wilayah ini mengalami kerusakan yang sangat berat
dengan kerapatan 317,50 individu/ha. Pemanfaatan cerucuk dan kayu bakar oleh
masyarakat mencapai (50.600-63.200 batang/tahun), dengan rincian cerucuk
mencapai (21.600-29.300 batang/tahun) dan kayu bakar (29.000-33.900
batang/tahun). Tingginya jumlah pemanfaatan cerucuk dan kayu bakar ini
berakibat pada penurunan luas ekosistem mangrove di wilayah pesisir Kecamatan
Nipah Panjang, dengan laju penurunan mencapai 20 % per tahun.
Strategi pengelolaan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan ekosistem
mangrove di Kecamatan Nipah Panjang antara lain; membatasi jumlah
pengambilan kayu dari hutan mangrove dengan jumlah cerucuk yang boleh
diambil adalah 5.341 batang/tahun, setara dengan kayu bakar sebanyak 16.209
batang/tahun.

Kata Kunci: Nipah Panjang, ekosistem mangrove, pengelolaan.


@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh Karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE
DI KECAMATAN NIPAH PANJANG
KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR JAMBI

HAIKAL

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Judul Tesis : Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Nipah
Panjang Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi

Nama : Haikal

NRP : C251050141

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana


Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian : 15 Agustus 2008 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Puji syukur hanya kepada Allah SWT karena atas segala karuniaNya,
penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Judul dari penelitian ini adalah Pengelolaan
Ekosistem Mangrove di Kecamatan Nipah Panjang Kabupaten Tanjung Jabung
Timur Jambi.
Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc dan Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si selaku
ketua dan anggota komisi pembimbing, atas semua pengorbanannya baik
waktu, tenaga, pikiran, petunjuk serta pengarahan dan dorongan semangat dari
awal hingga berakhirnya penelitian dan penulisan tesis ini.
2. Ayahanda H. Jamaluddin, Ibunda Hj. Rohana, Kakanda Yeni Novita, S.Ag
dan Emilda, S.Pd serta Adinda Elvira atas kasih sayang, doa dan dukungan
semangat maupun materi pada penulis selama studi.
3. Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jambi yang telah memberikan bantuan
dana pendidikan kepada penulis.
4. Dinas Kelautan dan Perikanan dan Balai Konservasi dan Sumberdaya Alam
Provinsi Jambi yang telah banyak membantu dalam penyediaan dan informasi
data dalam penelitian ini.
5. Keluarga besar Program Studi SPL IPB dan khususnya teman-teman SPL
Angkatan XII, Ibuk Ida, Bang Rusman, Uda Indra, Mas Hari, Faiz, Dinan,
Ucup, Angga, Evi, dan Widhi atas dukungan, bantuan, dan doa selama studi
dan penulisan tesis ini.

Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, September 2008

Haikal
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Pauh Mudik, Kabupaten Kerinci Provinsi


Jambi, pada tanggal 10 Juli 1982 dari ayah H. Jamaluddin dan Ibu Hj. Rohana.
Penulis merupakan putra ketiga dari empat bersaudara.
Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1994 di SD Negeri 4
Tanjung Pauh Mudik, SLTP Negeri 3 Keliling Danau pada tahun 1997, SMU
Negeri 2 Sungai Penuh pada tahun 2000. Pada Tahun 2004, penulis berhasil
menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata Satu pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Universitas Bung
Hatta Padang. Tahun 2005 penulis melanjutkan studi pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................. xiii
PENDAHULUAN .................................................................................... 1
Latar Belakang .................................................................................... 1
Perumusan Masalah............................................................................. 2
Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 3

TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4


Terminologi Ekosistem Mangrove ...................................................... 4
Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove........................................... 5
Zonasi dan Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove ............................ 8
Adaptasi Pohon Mangrove .................................................................. 9
Keterkaitan Masyarakat dengan Ekosistem Mangrove......................... 10
Karakteristik Ekosistem Mangrove Pantai Timur Jambi ...................... 11
Karakteristik Masyarakat Pesisir Tanjung Jabung Timur Jambi........... 11
Pengelolaan Ekosistem Mangrove....................................................... 12
Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan ............................... 16
Sistem Informasi Geografis................................................................. 17

KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................................... 19


METODE PENELITIAN.......................................................................... 21
Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 21
Metode Pengumpulan Data dan Penarikan Contoh .............................. 21
Pengumpulan Data........................................................................ 21
Penarikan Contoh.......................................................................... 22
Penarikan Contoh Vegetasi ........................................................... 22
Penarikan Contoh Jumlah Pengambilan Cerucuk dan
Kayu Bakar................................................................................... 23
Analisis Data ...................................................................................... 24
Data Luas Ekosistem Mangrove.................................................... 24
Data Ekologi (Struktur Komunitas Mangrove) .............................. 24
Data Pengambilan Cerucuk dan Kayu Bakar................................. 26
Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove
di Kecamatan Nipah Panjang ........................................................ 27

HASIL...................................................................................................... 28
Gambaran Umum Wilayah Kecamatan Nipah Panjang........................ 28
Batas Administrasi Kecamatan Nipah Panjang .............................. 28
Topografi, Hidrologi dan Iklim ..................................................... 28

ix
Aksesibilitas ................................................................................. 28
Kondisi Ekonomi Masyarakat ....................................................... 29
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat ............................................... 29
Pola Pemilikan dan Penguasaan Lahan.......................................... 30
Pertanian dan Perkebunan ............................................................. 31
Perikanan...................................................................................... 31
Pengelolaan Ekosistem Mangrove
di Kecamatan Nipah Panjang Saat Ini ........................................... 31
Kondisi Ekosistem Mangrove Kecamatan Nipah Panjang ................... 33
Luas Ekosistem Mangrove Kecamatan Nipah Panjang.................. 33
Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove
Kecamatan Nipah Panjang ............................................................ 33
Kerapatan dan Kerapatan Relatif Jenis Mangrove ......................... 35
Frekuensi dan Frekuensi Relatif Jenis Mangrove........................... 36
Penutupan dan Penutupan Relatif Jenis Mangrove ........................ 37
Indeks Nilai Penting ..................................................................... 38
Jumlah Pengambilan Cerucuk dan Kayu Bakar ............................. 39
Keanekaragaman Fauna ................................................................ 39
Kondisi Fisik Ekosistem Mangrove..................................................... 40
Suhu ............................................................................................. 40
Salinitas ........................................................................................ 41
Derajat Keasaman (pH)................................................................. 42
Jenis Tanah................................................................................... 42

PEMBAHASAN....................................................................................... 43

KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 53


Kesimpulan................................................................................... 53
Saran ............................................................................................ 53

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 55


LAMPIRAN ............................................................................................. 60

x
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Jenis vegetasi mangrove yang terdapat


di Kecamatan Nipah Panjang ........................................................... 33

2. Kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenis mangrove


pada setiap tingkatan pohon, pancang, dan semai ............................ 35

3. Frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis mangrove


pada setiap tingkatan pohon, pancang, dan semai ............................ 36

4. Penutupan jenis dan penutupan relatif jenis...................................... 37

5. Indeks nilai penting komunitas mangrove ........................................ 38

6. Jenis-jenis fauna yang ditemukan di ekosistem mangrove


Kecamatan Nipah Panjang ............................................................... 40

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Diagaram alir pendekatan pengelolaan ekosistem


mangrove di Kecamatan Nipah Panjang ...................................... 20

2. Peta lokasi penelitian dan stasiun pengambilan contoh ................ 21

3. Skema penempatan petak contoh ................................................. 23

4. Peta penyebaran mangrove di Kecamatan


Nipah Panjang tahun 1989 dan 2005 ........................................... 34

5. Kerapatan relatif jenis mangrove tingkat pohon


pada setiap jalur pengamatan ....................................................... 35

6. Frekuensi relatif jenis mangrove tingkat pohon


pada setiap jalur pengamatan ....................................................... 37

7. Penutupan relatif jenis mangrove tingkat pohon


pada setiap jalur pengamatan ....................................................... 38

8. Indeks nilai penting komunitas mangrove tingkat pohon


pada setiap jalur pengamatan ....................................................... 39

9. Sebaran suhu pada setiap jalur pengamatan ................................. 41

10. Sebaran salinitas pada setiap jalur pengamatan ............................ 41

11. Sebaran pH pada setiap jalur pengamatan.................................... 42

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Data vegetasi pada setiap jalur pengamatan.................................. 60

2. Perhitungan kerapatan dan kerapatan relatif ................................. 81

3. Perhitungan frekuensi dan frekuensi relatif................................... 82

4. Perhitungan penutupan dan penutupan relatif ............................... 83

5. Perhitungan indeks nilai penting................................................... 94

6. Jumlah pengambilan cerucuk ....................................................... 95

7. Jumlah pengambilan kayu bakar................................................... 97

8. Laju penurunan luas hutan mangrove


Kecamatan Nipah Panjang............................................................ 100

9. Jenis satwa liar yang sering dijumpai


di pantai timur Jambi.................................................................... 101

10. Jenis burung di Kabupaten Tanjung Jabung Timur ....................... 102

11. Kayu yang boleh diambil ............................................................ 104

12. Waktu yang diperlukan untuk penambahan


luas hutan seperti tahun 1989....................................................... 105

13. Waktu yang diperlukan untuk penambahan luas 835 ha


(pertengahan antara 337 ha dan 1447 ha)...................................... 106

14. Jumlah mangrove yang harus ditanam.......................................... 107

xiii
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Wilayah pesisir merupakan salah satu sistem ekologi yang produktif,
beragam dan kompleks. Wilayah ini berfungsi sebagai penyangga, pelindung, dan
penyaring antara daratan dan lautan, juga merupakan pemusatan penduduk
sehingga memberikan tekanan yang semakin berat terhadap ekosistem di wilayah
pesisir ini. Tekanan ini semakin berat karena kebijakan pemerintah yang belum
banyak menunjukkan kepedulian terhadap sumberdaya wilayah pesisir dan lautan.
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove dan mampu berkembang pada
daerah pasang surut, terutama pantai berlumpur seperti jenis Rhizophora,
Avicennia, Bruguiera, dan Sonneratia dimana jenis-jenis ini berasosiasi dengan
jenis lain seperti Nipah, dan tumbuhan bukan mangrove lainnya. Peranan penting
ekosistem mangrove dari sudut pandang ekologi adalah sebagai jalur hijau yang
berfungsi untuk menjaga garis pantai dari abrasi, menjadi penyangga terhadap
perembesan air laut, pengolahan limbah, sebagai daerah pemijahan, daerah
asuhan, dan daerah penyedia makanan bagi berbagai jenis ikan serta biota laut
lainnya. Ekosistem mangrove juga berperan dalam perekonomian sebagai sumber
bahan makanan dan bahan baku beberapa industri.
Hutan mangrove Pantai Timur Jambi mengalami penurunan luas yang
sangat drastis, yaitu dari 6.500 ha (SK Menteri Pertanian tahun 1981) menjadi
3.800 ha menurut hasil tata batas INTAG tahun 1996, bahkan menurut penelitian
Gunarso (1998) dalam Santosa (1999), luas hutan mangrove ini hanya tinggal
1.900 ha. Penurunan luas hutan mangrove di pantai Timur Jambi ini antara lain
disebabkan tingginya pemanfaatan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
cerucuk dan kayu bakar. Sehingga terjadinya penurunan kualitas maupun
kuantitas ekosistem mangrove yang ada di Kecamatan Nipah Panjang pada saat
ini.
Penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah
Panjang berdampak pada penurunan fungsi kawasan sebagai daerah penyangga
dari gempuran ombak atau angin badai, terjadinya penurunan hasil tangkapan
2

nelayan, dan penurunan keanekaragaman flora dan fauna yang berada dalam
ekosistem tersebut. Sebagai contoh, hilangnya sebagian ekosistem mangrove di
beberapa wilayah Indonesia seperti, Pantai Utara Jawa, Aceh dan lain-lain, telah
mengalami kerusakan sampai melewati pada tingkat daya dukung lingkungan
untuk mentolerirnya, seperti ekploitasi mangrove untuk pertambakan di Pantai
Utara Jawa mengakibatkan hilangnya bibit Bandeng atau Nener yang dulunya
banyak terdapat di daerah ini. Demikian juga halnya yang terjadi di Aceh, karena
hilangnya sebagian besar mangrove yang terdapat di daerah pesisir pantai
mengakibat banyaknya korban jiwa pada waktu terjadinya tsunami, hal ini
disebabkan oleh hilangnya fungsi mangrove sebagai peredam gelombang.
Kerusakan dan kehilangan hutan mangrove di pantai Timur Jambi yang
semakin meluas, menimbulkan permasalahan lingkungan (terjadinya abrasi) yang
harus dihadapi oleh masyarakat pesisir Tanjung Jabung Timur terutama
masyarakat di Kecamatan Nipah Panjang. Sebagai langkah awal dari upaya
pemulihan dan pelestarian ekosistem mangrove agar pemanfaatannya dapat
berkelanjutan perlu dilakukan suatu kajian potensi ekosistem mangrove yang
masih tersisa.

Perumusan Masalah
Meningkatnya pertambahan penduduk dan pembangunan serta kurangnya
lapangan kerja, nampaknya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
penurunan luas hutan mangrove yang ada di Kecamatan Nipah Panjang.
Penurunan luas hutan mangrove ini sebagian besar disebabkan oleh pemanfaatan
kayu mangrove sebagai bahan bangunan (untuk pancang alas atau cerucuk), dan
sumber energi (kayu bakar).
Pemanfaatan hutan mangrove untuk cerucuk ini telah berlangsung cukup
lama. Hal ini disebabkan oleh kondisi topografi Kecamatan Nipah Panjang yang
terletak di pinggir sungai dengan kondisi tanah yang berawa sehingga dalam
membangun rumah atau jembatan diawali dengan pemasangan cerucuk atau
pancang alas sebagai pondasi. Hal di atas diperparah lagi dengan belum adanya
keinginan masyarakat untuk mendatangkan jenis kayu alternatif selain mangrove
sebagai kayu pengganti cerucuk karena cerucuk yang berasal dari kayu mangrove
3

mudah didapatkan dan tahan lama. Sementara itu, kebutuhan kayu bakar yang
terus meningkat disebabkan oleh tingginya pertumbuhan penduduk di daerah ini
dan belum adanya alternatif penggganti kayu bakar selain mangrove.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah utama yang dihadapi
dalam upaya memulihkan dan menjamin kelestarian ekosistem mangrove di
Kecamatan Nipah Panjang Kabupaten Tanjung Jabung Timur ini adalah masih
rendahnya tingkat pemahaman masyarakat tentang arti pentingnya pengelolaan
dan pemanfaatan ekosistem mangrove secara lestari serta belum diterapkannya
alternatif pengelolaan ekosistem mangrove yang dapat menjamin kesinambungan
pemanfaatan kayu mangrove di wilayah pesisir ini.

Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji kondisi ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah Panjang yang
mencakup luas, kerapatan jenis, frekuensi jenis, penutupan jenis, dan indeks
nilai penting jenis komunitas mangrove.
2. Mencari alternatif pengelolaan ekosistem mangrove tersebut agar terwujud
kesinambungan pemanfaatannya.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi upaya
pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Kecamatan Nipah
Panjang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi dimasa mendatang.
4

TINJAUAN PUSTAKA

Terminologi Ekosistem Mangrove


Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu
komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam
atau salinitas, dan kedua sebagai individu spesies. Supaya tidak rancu, komunitas
tumbuhan hutan mangrove ini juga sering diistilahkan dengan perkataan hutan
bakau, sebenarnya tumbuhan bakau merupakan salah satu dari jenis tumbuh-
tumbuhan yang hidup di hutan pasang surut tersebut (Supriharyono, 2000).
Mangrove adalah tipe hutan yang khas yang terdapat di sepanjang pantai
atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove
adalah hutan yang selalu atau secara teratur tergenang air laut, tetapi tidak
terpengaruh oleh iklim. Komunitas ini sering pula disebut dengan hutan pantai,
hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Untuk menghindari
kekeliruan, perlu dipertegas bahwa istilah bakau hendaknya digunakan hanya
untuk jenis-jenis tumbuhan tertentu saja yakni dari marga Rhizophora. Sedangkan
istilah mangrove digunakan untuk segala tumbuhan dalam hutan ini yang saling
berinteraksi dengan lingkungannya, baik yang bersifat biotik maupun yang
abiotik.
Beberapa ahli mendefinisikan istilah mangrove secara berbeda-beda,
namun pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Mangrove didefinisikan baik
sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut maupun sebagai
kumunitas (Tomlinson, 1986). Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi
tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai tropis dan sub tropis yang terlindung
(Saenger, 1983).
Menurut Macnae (1968), kata mangrove merupakan kombinasi antara
bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove, dalam bahasa Inggris kata
mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah
jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang
menyusun komunitas tumbuhan tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata
mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, dan kata
mangal untuk menyatakan komunitas.
5

Menurut Bengen (2004), hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi


pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang
mampu berkembang dan tumbuh pada daerah pasang surut dengan pantai
berlumpur. Soemodihardjo dan Soerianegara (1987), mendefinisikan bahwa hutan
mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada lumpur aluvial di daerah pantai dan
muara sungai, yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan ditumbuhi oleh
beberapa jenis pohon mangrove seperti Avicennia, Rhizophora, Ceriops,
Lumnitzera, Excoecoria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora, dan Nypa.
Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove,
meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44
jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tumbuhan tersebut, 43 jenis
(diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan hanya pada
habitat mangrove (true mangrove), sementara jenis lain ditemukan di sekitar
mangrove ikutan (mangrove associate) (Noor et al., 1999).

Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove


Ekosistem mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam tropika yang
memiliki fungsi dan manfaat yang luas ditinjau dari aspek ekologi dan ekonomi.
Fungsi ekologi mangrove dapat dilihat dari aspek fisik, kimia, biologi (Bengen
1998). Menurut Liyanage (2004), nilai keuntungan (manfaat) tidak langsung dari
ekosistem mangrove dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan manfaat
langsungnya. Nilai penting ekosistem mangrove antara lain; menurunkan tingkat
erosi di pantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut,
menurunkan tingkat polusi (pencemaran) produksi bahan organik, sebagai sumber
makanan, sebagai daerah asuhan, pemijahan, dan mencari makan untuk berbagai
jenis biota laut.
Menurut Dahuri et al. (1996), nilai pakai tidak langsung dari ekosistem
mangrove adalah dalam bentuk fungsi ekologi yang vital, termasuk pengendalian
terhadap erosi pantai, stabilisasi sedimen, perlindungan bagi terumbu karang di
dekatnya terhadap padatan-padatan tersuspensi, perlindungan bagi tata guna lahan
di wilayah pantai dari terpaan badai dan tsunami, pencegahan terhadap intrusi
garam, pemurnian alami perairan pantai terhadap polusi.
6

Fungsi fisik hutan mangrove adalah sebagai peredam gelombang dan angin
badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen. Mangrove
terbukti memainkan peran penting dalam melindungi pesisir dari gempuran badai.
Fungsi perlindungan pantai dilakukan melalui sistem perakaran mangrove yang
rapat dan terpancang sebagai jangkar, dapat meredam gelombang laut, dan
mengurangi kecapatan arus sehingga pantai terhindar dari abrasi (Khazali, 2001).
Sistem perakaran mangrove juga efektif dalam menangkap dan mengendapkan
partikel-partikel tanah yang berasal dari erosi di hulu, sehingga lama-kelamaan
akan terjadi penambahan lahan baru ke arah laut. Sebagai contoh, di daerah sungai
Musi Banyuasin Sumatera Selatan ditemukan garis pantai maju sekitar 20 m/tahun
(Chambers dan Sobur, 1977). Fungsi biologi hutan mangrove adalah sebagai
sumber kesuburan perairan, tempat perkembangbiakan dan daerah asuhan
berbagai jenis biota laut, tempat bersarangnya burung-burung (khususnya burung
air), habitat berbagai satwa liar dan sumber keanekaragaman hayati (Khazali,
2001). Kontribusi yang paling penting dari hutan mangrove dalam kaitannya
dengan ekosistem pantai adalah serasah daunnya.
Kemudian Menurut Bengen (2001), sebagai suatu ekosistem khas wilayah
pesisir, hutan mangrove memiliki beberapa fungsi ekologi penting, yakni :
1. Sebagai penghasil sejumlah besar detritus, turutama yang berasal dari daun dan
dahan pohon mangrove yang rontok. Sebagian dari detritus ini dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi hewan pemakan detritus, dan
sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang
berperan dalam penyuburan perairan.
2. Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding
ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) berbagai macam biota
perairan (ikan, udang, dan kerang-kerangan) baik yang hidup di perairan
maupun yang hidup dilepas pantai.
3. Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi,
penahan lumpur, dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air
permukaan.
Fungsi kimia hutan mangrove adalah kemampuan ekosistem ini dalam
melakukan proses kimia dan pemulihan (Self purification). Pertama, hutan
7

magrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar, khususnya bahan


organik. Kedua, hutan mangrove sebagai energi bagi lingkungan perairan
sekitarnya. Ketersediaan berbagai jenis makanan yang terdapat pada ekosistem
mangrove telah menjadikannya sebagai sumber energi bagi berbagai biota yang
bernaung di dalamnya, seperti ikan, udang, kepiting, burung, kera, dan biota
lainnya yang telah menjadi mata rantai makanan yang sangat kompleks, sehingga
terjadi pengalihan energi dari tingkat tropik yang lebih rendah ke tingkat tropik
yang lebih tinggi. Ketiga, hutan mangrove merupakan pensuplai bahan organik
bagi lingkungan perairan. Di dalam ekosistem mangrove terjadi mekanisme
sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya. Daun mangrove yang
gugur diuraikan menjadi partikel-partikel detritus dan menjadi sumber makanan
bagi bermacam hewan laut. Disamping itu, hutan mangrove sebagai suatu
ekosistem di daerah pasang surut, kehadirannya sangat berpengaruh terhadap
ekosistem lain yang berada di daerah tersebut (Bengen, 1998).
Menurut Nikijuluw (1999), hutan mangrove sebagai ekosistem yang sangat
berkaitan dengan perairan laut adalah potensi alam yang belum dikelola dengan
baik. Fungsi utama mangrove adalah sebagai penyangga ekosistem pantai dari
gempuran ombak dan gelombang laut. Hutan mangrove juga memasok unsur hara
ke perairan laut yang dapat dimanfaatkan organisme laut. Dengan bentuknya yang
khas, hutan mangrove juga berfungsi sebagai daerah pemijahan dan asuhan bagi
berbagai jenis ikan.
Selanjutnya Saenger et al. (1983), menyebutkan hampir 83% dari seluruh
jenis ikan laut yang dikonsumsi manusia dijumpai di ekosistem mangrove. Selain
itu, kayu tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan
kayu bakar, bahan tekstil dan penghasil tanin, bahan dasar kertas, keperluan
rumah tangga, obat dan minuman (Sudarmadji 2001).
Lebih lanjut Sugiarto dan Ekayanto (1996), menambahkan bahwa secara
fisik hutan mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung. Sistem perakaran
yang khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus dan ombak,
sehingga menjaga garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan (abrasi).
Selain itu juga sebagai penyangga daratan dari rembesan air laut serta penghalang
angin. Ekosistem mangrove sebagai jalur hijau berfungsi sebagai penyaring
8

berbagai jenis polutan yang dibawa oleh sungai atau aliran air lainnya yang masuk
ke ekosistem mangrove (Abdullah, 1988).
Peranan hutan mangrove yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh
ekosistem lain adalah kedudukannya sebagai mata rantai yang menghubungkan
kehidupan antara ekosistem laut dan daratan, kemampuannya untuk menstimulir
dan meminimalisasi terjadinya pencemaran logam berat dengan menangkap dan
menyerap logam berat tersebut (Salim, 1986 dalam Hilmi 1998).
Menurut Subing (1995), hutan mangrove juga berfungsi untuk menopang
kehidupan manusia, baik dari sudut ekologi, fisik, maupun sosial ekonomi
misalnya untuk menahan ombak, menahan intrusi air laut ke darat, dan sebagai
habitat bagi biota laut tertentu untuk bertelur dan pemijahannya. Hutan mangrove
dapat pula dikembangkan sebagai wilayah baru dan untuk menambah penghasilan
petani tambak dan nelayan, khususnya di bidang perikanan dan garam.

Zonasi dan Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove


Menurut Noor (1999), mangrove pada umumya tumbuh dalam 4 (empat)
zona yaitu, pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai
berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang memiliki air
tawar. Lebih jelasnya masing-masing zona diuraikan sebagai berikut :
a) Mangrove Terbuka, berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.
Komposisi floristic dari komunitas di zona terbuka sangat tergantung pada
substratnya. Contoh tanamannya adalah Sonneratia alba yang mendominasi
daerah berpasir sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata
cenderung untuk mendominasi daerah yang berlumpur.
b) Mangrove tengah, terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini
biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Jenis-jenis penting lainnya yang
ditemukan adalah Bruguiera gymnorrhiza, Excoecoria agallocha, Rhizophora
mucronata, Xylocarpus granatum dan X. moluccensis.
c) Mangrove payau, berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir
tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia.
Di jalur lain biasanya ditemukan tegakan Nypa fruticans yang bersambung
dengan vegetasi yang terdiri atas Cerbera sp., Gluta renghas, Stenochlaena
9

palustris, dan Xylocarpus granatum, kearah pantai campuran komunitas


Sonneratia-Nypa lebih sering ditemukan.
d) Mangrove daratan, berada di zona perairan payau atau hampir tawar di
belakang jalur hijau mangrove sebenarnya. Zona ini memiliki kekayaan jenis
yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Jenis-jenis yang umum
ditemukan pada zona ini adalah Ficus microcarpus, F. retusa, Intsia bijuga,
Nypa fruticans, Lumnitzera racemoza, Pandanus sp., dan Xylocarpus
moluccensis.

Adaptasi Pohon Mangrove


Pada dasarnya karakteristik dari ekosistem mangrove adalah berkaitan
dengan keadaan tanah, salinitas, penggenangan air, pasang surut, dan kandungan
oksigen tanah. Adapun adaptasi dari tumbuhan mangrove terhadap habitat
tersebut tampak pada fisiologi dan komposisi struktur tumbuhan mangrove
(Istomo, 1992).
Keistimewaan lain dari ekosistem mangrove adalah resisten terhadap kadar
garam yang biasa terdapat di daerah pasang surut, baik tropis maupun sub-tropis.
Mangrove terdapat pada lingkungan dengan kadar salinitas berkisar antara
perairan payau (2-22 0/00) hingga mencapai asin (38 0/00). Hutan mangrove tidak
bergantung pada iklim, melainkan pada kondisi tanah. Berbeda dengan ekosistem
hutan tropika yang komposisi tanahnya berlapis-lapis, ekosistem mangrove hanya
mempunyai satu lapisan tanah saja (single strata). Karena adanya titik temu antara
daratan dengan lautan, maka ekosistem mangrove menjadi sangat rumit karena
terikat oleh ekosistem darat maupun ekosistem lepas pantai (Supriharyono, 2000).
Menurut Bengen (2001), hutan mangrove pada umumnya didominasi oleh
empat genera (Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, dan Bruguiera), memiliki daya
adaptasi yang khas untuk dapat hidup dan berkembang pada substrat berlumpur
yang sering bersifat asam anoksik. Daya adaptasi ini meliputi:
1. Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah
Pohon mangrove memiliki sistem perakaran yang khas bertipe cakar ayam
dan penyangga. Sistem perakaran cakar ayam yang menyebar luas di permukaan
substrat, memiliki sederet cabang akar berbentuk pinsil yang tumbuh tegak lurus
di permukaan substrat. Cabang akar ini disebut pneumatofora dan berfungsi untuk
10

mengambil oksigen. Sistem perakaran penyangga tumbuh berbeda dengan sistem


perakaran cakar ayam, dimana akar-akar penyangga tumbuh dari batang pohon
menembus permukaan substrat. Pada akar penyangga ini tidak ditemukan
pneumatofora seperti pada cakar ayam, tapi mempunyai lobang-lobang kecil yang
disebut lentisel yang juga berfungsi melewatkan udara (mendapatkan oksigen).
2. Adaptasi terhadap kadar garam tinggi
Kepekaan garam adalah karakteristik yang sangat penting dari lingkungan
mangrove, dan pada umumnya menyerap ion-ion Na dan Cl. Air laut mengandung
kira-kira 35 gr garam per liter, dan air tanah dalam keadaan lebih rendah dari satu
(lebih kearah negatif). Pada kenyataannya bahwa mangrove mampu tumbuh
dalam substrat dengan salinitas yang tinggi dan pada kondisi tersebut, mangrove
dapat tumbuh lebih baik (Hutchings dan Saenger, 1987). Lebih lanjut ia
berpendapat bahwa komunitas mangrove mampu mengontrol garam yang masuk
untuk mempertahankan keseimbangan air yang diterima secara fisiologis.
Berdaun tebal dan kuat yang mengandung kelenjar-kelenjar garam untuk
dapat mengekskresi garam. Mempunyai jaringan internal penyimpanan air untuk
mengatur keseimbangan garam. Daunnya memiliki struktur stomata khusus yang
berfungsi untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut
Mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk
jaringan horizontal yang lebar, disamping untuk memperkokoh pohon, akar
tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.

Keterkaitan Masyarakat dengan Ekosistem Mangrove


Masyarakat yang mendiami wilayah pesisir, khususnya yang berkaitan
dengan hutan mangrove secara turun-temurun telah melaksanakan berbagai
praktek pemanfaatan hutan mangrove sebagai sumber ekonominya, sehingga
masyarakat tersebut berusaha agar hutan tersebut tetap lestari. Masyarakat sering
kali mengembangkan cara dan sarana pengelolaan khusus terhadap sumberdaya
ini, dan seringkali mempunyai kekuasaan yang nyata terhadap sumberdaya hayati
yang lebih besar dari pemerintah (Macnae, 1968).
Interakasi antara masyarakat dengan hutan mangrove dipengaruhi oleh
pengembangan sektor ekonomi formal, subsitusi di dalam dan di luar ekosistem
11

mangrove dan kondisi sosial ekonomi. Menurut Ruitenbeek (1992),


mengembangkan pembangunan ekonomi yang memperluas upah disektor
ekonomi akan menurunkan tingkat ketergantungan masyarakat pada hutan
mangrove. Disisi lain substitusi kegiatan di dalam ekosistem mangrove menjadi
peruntukan lain, berakibat pada hilangnya produktivitas pantai sehingga akan
meningkatkan tekanan terhadap perikanan lepas pantai.
Selanjutnya menurut Alikodra (1995), suatu proses interaksi antara
masyarakat dengan hutan mangrove adalah suatu proses dimana masyarakat sejak
beberapa generasi telah hidup dari pemanfaatan hasil hutan kawasan tersebut. Hal
ini secara implisit terdapat pada sistem hukum dan adat masyarakat, dimana
dalam pemahaman sistem hukum adat tanah masyarakat tersebut bisa diperoleh
interaksi yang jelas dan terus meningkat.

Karakteristik Ekosistem Mangrove Pantai Timur Jambi


Habitat utama kawasan pesisir Tanjung Jabung Timur sebagaimana kawasan
pesisir Sumatera bagian timur adalah berupa vegetasi hutan mangrove. Ekosistem
mangrove yang ada di sepanjang kawasan pesisir pantai Kabupaten Tanjung
Jabung Timur selalu tergenang air walaupun pada saat air surut. Hal ini sangat
menguntungkan bagi anakan ikan (juvenile) sebagai tempat berlindung. Vegetasi
yang dominan yang terdapat di pantai timur Jambi adalah jenis Api-api atau
Bakau hitam (Avicennia sp.), Bakau merah (Rhizophora sp.), Pidada (Sonneratia
sp.) dan Tanjang (Bruguiera sp.). Di sepanjang pantai diduduki oleh jenis Pidada
(Sonneratia sp.), kemudian pada daerah dengan genangan pasang agak rendah
diduduki oleh jenis Api-api dan Tanjang, selanjutnya pada kedalaman pasang
tertinggi diduduki oleh jenis tumbuhan bakau serta pada sisi kanan dan sisi kiri
sungai. Disepanjang sungai dan tempat-tempat tertentu di pantai ditumbuhi oleh
jenis nipah yang diselingi oleh pidada dan bakau (BKSDA Jambi, 2004).

Karakteristik Masyarakat Pesisir Tanjung Jabung Timur


Jauh sebelum abad 20 penduduk kawasan Pantai Timur Jambi adalah
penduduk Melayu yang umumnya tinggal secara tradisional di pinggir-pinggir
sungai. Selain penduduk Melayu, juga terdapat suku minoritas yang dikenal
dengan orang laut atau suku Bajau. Etnis Bajau ini masih tetap ada di kawasan
12

pantai timur Jambi, namun sebagian mereka telah berbaur atas hasil asimilasi
perkawinan dan suku-suku pendatang seperti Bugis dan Banjar.
Kelompok etnis yang saat ini terdapat khusus di daerah pantai, lebih spesifik
di sepanjang pesisir pantai terdiri dari etnis Bugis, Melayu, Banjar dan Jawa.
Melayu merupakan penduduk asli sedangkan Bugis, Banjar dan Jawa merupakan
pendatang. Suku Bugis merupakan transmigran sejak tahun 1950 dari Sulawesi
Selatan, umumnya mereka bermukim pada muara-muara sungai di sekitar pesisir
pantai atau pada muara-muara parit drainase yang dibuat sendiri. Kelompok etnis
ini mempunyai matapencaharian bertani padi dan kelapa serta sebagai nelayan.
Suku Banjar sebagian besar bermukim di Muara Sabak dan Kuala Tungkal,
mereka merupakan transmigran dari Kalimantan, matapencaharian mereka adalah
bertani sawah pasang surut dan kelapa.
Matapencaharian penduduk Kabupaten Tanjung Jabung Timur sesuai
dengan kondisi wilayah yang merupakan daerah pantai, pada umumnya adalah
petani yang bekerja disektor perikanan laut, budidaya ikan dan udang, perkebunan
kelapa dan pertanian (sawah,kebun,ladang).
Potensi sumberdaya alam meliputi perikanan, pertanian, perkebunan,
peternakan, hutan dan sumberdaya minyak serta gas alam. Pemanfaatan
sumberdaya alam tersebut merupakan modal dasar dalam menunjang kehidupan
masyarakat dengan tetap harus dijaga dan dilestarikan melalui pemanfaatan yang
seimbang (BKSDA Jambi, 2004).

Pengelolaan Ekosistem Mangrove


Saenger et al. (1983), menyatakan pengelolaan hutan mangrove harus
mencakup wilayah yang lebih luas dari ekosistem tersebut sehingga secara ideal
merupakan bagian dari pengelolaan wilayah pesisir. Aspek sosial dan ekonomi
menghendaki setiap bentuk manfaat yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya
alam diprioritaskan kepada daerah dan masyarakat lokal tempat sumberdaya alam
itu berada. Pengelolaan hutan mangrove dengan demikian tidak boleh
mengucilkan masyarakat setempat, namun harus membukakan akses kepada
masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara langsung maupun tidak
langsung. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat menyadari arti penting
13

pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan menjamin kelestarian


sumberdaya tersebut.
Menurut Bengen (2001), menyebutkan bahwa pelestarian hutan mangrove
merupakan suatu unit usaha yang kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan
tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap pihak-pihak terkait baik
yang berada di sekitar maupun di luar kawasan. Kegiatan pelestarian mangrove
pada dasarnya dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan.
Sifat akomodatif tersebut akan lebih dirasakan manfaatnya bila keberpihakan pada
institusi yang rentan terhadap sumberdaya mangrove, diberikan porsi yang lebih
besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai
komponen penggerak pelestarian hutan mangrove.
Kemudian Dahuri et al. (1996), menjelaskan bahwa pengelolaan multiguna
mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk kepentingan banyak pihak secara
seimbang sehingga terhindar dari orientasi tunggal yang sempit dan berjangka
pendek. Pengelolaan multiguna juga akan membawakan jangkauan kegiatan yang
beragam, sehingga membuka pilihan yang lebih luas bagi masyarakat lokal untuk
terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove.
Selanjutnya menurut Sudarmadji (2001), keberhasilan dalam pengelolaan
(rehabilitasi) hutan mangrove akan memungkinkan peningkatan penghasilan
masyarakat pesisir khususnya para nelayan dan petani tambak karena kehadiran
hutan mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu kelimpahan ikan atau
berbagai biota laut lainnya.
Kerangka dasar dalam pengelolaan mangrove, terdapat dua konsep utama
yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan hutan
mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove. Kedua konsep ini pada dasarnya
memberikan legitimasi dan pengertian bahwa sangat memerlukan pengelolaan
dalam perlindungan agar dapat terus lestari (Bengen,2001).
Lebih lanjut Bengen (2001), menjelaskan bahwa salah satu cara yang dapat
dilakukan dalam rangka upaya perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove
adalah dengan menetapkan suatu kawasan hutan mangrove sebagai kawasan hutan
konservasi, dan sebagai suatu bentuk sabuk hijau disepanjang pantai dan tepi
14

sungai. Bentuk perlindungan hutan mangrove seperti ini cukup efektif dilakukan
dan membawa hasil yang lebih baik.
1) Perlindungan Hutan Mangrove
Perlindungan terhadap hutan mangrove merupakan salah satu upaya
pengelolaan berkelanjutan terhadap ekosistem ini. Wujud nyata perlindungan
dimaksud dapat dilakukan melalui penetapan suatu kawasan konservasi sebagai
suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Konservasi adalah
merupakan pemanfaatan biosfir oleh manusia sehingga dapat memberikan
manfaat yang sangat besar bagi generasi sekarang, juga menjaga potensinya agar
bisa digunakan dan bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Konservasi bersifat
positif yang mencakup pengawetan, pemeliharaan, pemanfaatan yang lestari,
pemulihan dan peningkatan lingkungan alami. Secara fungsional, konservasi
merupakan suatu proses dimana spesies dan habitat dikelola guna mendukung
ekploitasi lestari dan spesies tertentu tanpa melenyapkan kualitas atau
biodiversitas habitat (Carter, 1994).
Upaya perlindungan ini berkaitan erat dengan Surat Keputusan Bersama
Menteri Pertanian dan Kehutanan Nomor: KB.550/264/Kpts/1984 dan Nomor:
082/Kpts-II/1984, tanggal 30 april 1964, dimana diantaranya disebutkan lebar
sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat keputusan bersama ini dibuat,
selain dengan tujuan utama untuk memberikan legitimasi terhadap perlindungan
hutan mangrove, juga dibuat menyelaraskan peraturan mengenai areal
perlindungan hutan mangrove diantara instansi-instansi terkait.
Penentuan lebar sabuk hijau di atas dikuatkan lagi dengan Keputusan
Presiden No.32 Tahun 1990 tentang pengelolaan hutan lindung. Dalam Keppres
tersebut ditetapkan bahwa perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan
untuk melindungi pantai dari kegiatan yang dapat menggangu kelestarian fungsi
pantai. Kriteria sempadan pantai yang dimaksud adalah daratan sepanjang tepian
yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 m dari
titik pandang ke arah darat. Selanjutnya peraturan mengenai konservasi ini
dituangkan dalam Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
15

Dahuri (1998), menyatakan bahwa dalam pengembangan wilayah pantai


yang lestari harus diperhatikan aspek daya dukung. Untuk itu dalam
pengembangan kegiatan ekonomi di wilayah pesisir secara lestari perlu dilakukan
penzonasian dalam pemanfaatannya.
Hal ini dipertegas lagi oleh Aksornkoae (1993), zonasi mangrove
merupakan salah satu langkah pertama untuk pengawasan dan pengelolaan
ekosistem mangrove secara berkelanjutan. Menurut persetujuan internasional
terhadap zonasi mangrove, terdapat 3 zona utama yaitu:
a) Zona Pemeliharaan (Preservation zone), merupakan zona yang kaya akan
hutan mangrove, tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang menyediakan
sumber makanan dan daerah berbiak bagi biota laut. Zona ini juga melindungi
daerah pantai dari angin, badai, dan erosi tanah.
b) Zona Perlindungan (Conservation zone), merupakan zona dengan hutan
mangrove yang sedikit. Biasanya ditanam untuk tujuan tertentu dari
pemerintah, ditebang dan dibiarkan hutan mangrove tersebut regenerasi. Pada
zona ini juga biasa digunakan sebagai tempat pemancingan oleh masyarakat
lokal.
c) Zona Pengembangan (Development zone), merupakan zona dengan penutupan
mangrove yang sangat kecil (kerusakan parah) dan dibutuhkan penghijauan
kembali atau pengelolaan untuk kepentingan lain.
Sebagai layaknya kawasan konservasi di daratan, konservasi di wilayah
pesisir dan laut menerapkan prinsip dan kondisi yang sama, perbedaannya adalah
pada kawasan pesisir dan laut ada dua dimensi fisik yang cukup berbeda, yaitu
tanah (pantai) dan air (laut) dengan meliputi segenap flora dan fauna ikutannya.
2) Rehabilitasi Hutan Mangrove
Rehabilitasi merupakan kegiatan/upaya, termasuk di dalamnya pemulihan
dan penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih
stabil. Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem
atau memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian,
rehabilitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove
atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang
memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman pada level ekosistem.
16

Selain itu, untuk alasan ekonomi usaha pemulihan kembali ekosistem mangrove
sering kali terbatas pada jenis-jenis tertentu dari mangrove (2 atau 3 jenis spesies).
Hal ini menyebabkan perubahan terhadap habitat dan penurunan fungsi ekologi
ekosistem mangrove tersebut karena sifatnya yang homogen dibandingkan dengan
yang alami (heterogen dan banyak spesies), yang merupakan biodiversitas dalam
kaitannya dengan kekayaan genetik (Macintosh et al., 2002).
Upaya penghutanan kembali daerah tepi sungai dan tepi pantai telah
dilakukan oleh masyarakat Tongke-Tongke Sulawesi Selatan dengan melibatkan
masyarakat secara langsung, selain itu pengelolaan mangrove dilakukan dengan
cara mengembangkan daerah wisata seperti yang telah dilakukan di daerah
Cilacap, Sukamandi, Ciklong (Jawa Barat). Keterlibatan masyarakat ini
memberikan hasil yang posistif terhadap kelestarian ekosistem mangrove dan
peningkatan pendapatan masyarakat yang berada di sekitar ekosistem mangrove
yang dikelola (Gunarto, 2004).

Pemanfaatan Hutan Mangrove Berkelanjutan


Menurut Kusmana et al. (2005), secara garis besar ada tiga bentuk
pemanfaatan hutan mangrove yang berkelanjutan yang dapat dilakukan oleh
masyarakat:
(1) Tambak
a. Tambak Tumpangsari
Tambak tumpangsari ini merupakan unit tambak yang di dalamnya
mengkombinasikan bagian lahan untuk pemeliharaan kepiting/ikan dan
bagian lahan untuk penanaman mangrove.
b.Model Tambak Terbuka
Model tambak yang dimaksud merupakan kolam pemeliharaan ikan yang
sama sekali tidak ada tanaman mangrovenya (kolam tanpa tanaman
mangrove). Untuk memperbaiki lingkungan tambak, tanaman mangrove
dapat ditanam di sepanjang saluran primer dan sekunder pinggir sungai
maupun di sepanjang pantai.
17

(2) Hutan Rakyat


Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk pemanfaatan mangrove yang dapat
dikelola secara berkelanjutan yang mana hasil utamanya berupa kayu bakar
atau arang atau serpih kayu (chips).
(3) Budidaya mangrove untuk mendapatkan hasil selain kayu
Bentuk pemanfaatan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil hutan ikutan
(hasil hutan bukan kayu), misalnya madu, tanin, pakan ternak, dan lain-lain.
(4) Bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove secara simultan untuk mendapatkan
berbagai jenis produk sekaligus, misalnya untuk memperoleh pakan ternak,
ikan/kepiting, madu, dan kayu bakar/arang.

Sistim Informasi Geografis


Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang
dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau koordinat
geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem data base dengan
kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan
seperangkat operasi kerja. Intinya SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang
berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non spasial (Star
dan Estes, 1990 dalam Barus dan Wiradisastra, 1997).
Gunawan (1998), menyebutkan sistem informasi geografis (SIG) meliputi
dua pengertian yaitu, sebagai sebuah tool untuk pengelolaan data dan sebagai
sebuah sistem informasi spasial. Sebagai sebuah tool, SIG memiliki kemampuan
untuk mengelola, menyimpan, mengambil dan menganalisa serta menampilkan
informasi spasial dengan menghubungkan atribut non-spasial. Sebagai sebuah
sistem, SIG merupakan suatu proses komunikasi antara kelompok masyarakat
ilmuan, pengelola sumberdaya, dan perencana.
Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, SIG dapat memaparkan kondisi
spasial saat ini, baik menyangkut fisik pesisir, dan lingkungan masyarakat
meliputi; struktur, fungsi, dan dinamika yang terjadi. Sebagai contoh kondisi
lingkungan fisik pesisir yaitu; bathimetri, morfologi, tutupan lahan, arus,
sedimentasi, erosi, dan perubahan bentuk pantai, serta iklim. Untuk lingkungan
manusia, SIG dapat digunakan untuk menerangkan berbagai informasi mendasar
seperti; batas administrasi, distribusi populasi, dan distribusi jaringan transportasi
18

serta berbagai macam informasi menyangkut ciri-ciri sosial lainya (Gunawan,


1998).
Menurut Nurwajedi (1995), keuntungan pemakaian SIG dalam pengelolaan
sumberdaya alam, seperti areal konservasi dan budidaya adalah: (i) mampu
mengintegrasi data dalam berbagai format (grafik, teks) dari berbagai sumber, (ii)
mampu bertukar data diantara berbagai disiplin ilmu dan lembaga, (iii) mampu
memproses dan menganalisa data secara lebih efesien dan efektif, (iv) mampu
melakukan pemodelan, pengujian dan perbandingan beberapa alternatif kegiatan
sebelum diaplikasikan di lapangan (v) mampu melakukan pembaruan data secara
efesien terutama grafik, dan mampu menampung data mampu menampung data
dalam jumlah besar.
19

KERANGKA PEMIKIRAN

Kecamatan Nipah Panjang merupakan salah satu kecamatan yang terletak di


kawasan pesisir, secara administratif Kecamatan Nipah Panjang termasuk ke
dalam Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Propinsi Jambi. Hutan mangrove di
Kecamatan Nipah Panjang sebagian besar merupakan kawasan cagar alam hutan
bakau pantai timur dengan luas 918 ha (Bapedalda Propinsi Jambi, 2003).
Permasalahan yang ada pada ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah
Panjang adalah penurunan luasan (kuantitas) maupun jenis (kualitas). Hal ini
dikarenakan adanya pemanfaatan oleh masyarakat. Pemanfaatan ekosistem
mangrove semakin tinggi seiring dengan pesatnya pembangunan di Kecamatan
Nipah Panjang. Masyarakat memanfaatkan kayu mangrove untuk keperluan kayu
bakar, bahan bangunan (untuk cerucuk), serta oleh nelayan sebagai tiang pancang
untuk jaring sebelum melaut. Tingginya pemanfaatan mangrove untuk cerucuk
terutama jenis Avicennia sp. disebabkan karena masyarakat setempat enggan
untuk mencari alternatif kayu jenis lain selain mangrove. Menurut mereka kayu
dari mangrove selain mudah didapatkan juga mempunyai kualitas yang baik.
Disisi lain aktivitas pengambilan kayu oleh masyarakat merupakan
matapencaharian sampingan bagi petani maupun nelayan. Kebanyakan pekerja
pencari kayu merupakan penduduk yang tinggal di sekitar ekosistem mangrove.
Penurunan kuantitas maupun kualitas mangrove berlangsung pada hampir seluruh
wilayah pesisir Kecamatan Nipah Panjang.
Salah satu cara untuk mengatasi degradasi hutan mangrove ini adalah
dengan membatasi pengambilan mangrove yang tidak melebihi kemampuan hutan
mangrove untuk melakukan pemulihan sendiri. Kemampuan pemulihan diri ini
sangat ditentukan oleh kecepatan pertumbuhan hutan mangrove itu sendiri.
Sebagai langkah awal untuk mengkaji kecepatan pertumbuhan hutan mangrove
perlu diketahui komposisi jenis, luas penutupan, kerapatan dan kondisi habitat
tempat tumbuhnya mangrove tersebut. Untuk mengetahui kecepatan penurunan
luas, perlu juga diketahui berapa besar tingkat pengambilan hutan mangrove oleh
masyarakat. Setelah diketahui kecepatan penambahan luas hutan mangrove, harus
20

dibuat peraturan yang mengizinkan pengambilan yang tidak melebihi kecepatan


penambahan luas dari hutan mangrove tersebut.

Ekosistem Mangrove
Kec. Nipah Panjang

Potensi

Pengambilan :
Cerucuk dan kayu bakar

Analisis Biofisik : Tingkat Pengambilan


Kerapatan, Frekuensi, oleh Masyarakat dan
Dominasi Jenis, dan Luas Kec.Penambahan Luas
Mangrove

Penambahan luas / Laju


Penurunan

Laju Penurunan
< Kec. Penambahan
+ _
luas

Kelestarian Mangrove Alternatif


Kec. Nipah Panjang Pengelolaan
Ekosistem Mangrove
Kec. Nipah Panjang

Gambar 1. Diagram alir pendekatan pengelolaan


ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah Panjang.
21

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan selama 2 (dua) bulan (Mei sampai Juni 2007) di
ekosistem mangrove Kecamatan Nipah Panjang Kabupaten Tanjung Jabung
Timur Jambi. Peta lokasi penelitian dan stasiun pengambilan contoh dapat dilihat
pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan stasiun pengambilan contoh

Metode Pengumpulan Data dan Penarikan Contoh


Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
dikumpulkan melalui pengambilan contoh, pengamatan di lapangan, serta
pengumpulan informasi dari responden. Informasi digali baik dari institusi
pemerintah, lembaga non pemerintah, maupun masyarakat yang berkaitan
langsung atau tidak langsung dengan pemanfaatan ekosistem mangrove di
Kecamatan Nipah Panjang.
Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah luas hutan
mangrove, jenis-jenis mangrove, kerapatan relatif jenis, frekuensi relatif jenis,
penutupan relatif jenis, suhu, pH dan salinitas perairan, jenis substrat, serta jumlah
pemanfaatan kayu mangrove sebagai cerucuk dan kayu bakar oleh masyarakat.
22

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan penelusuran berbagai pustaka


serta dari instansi terkait seperti; Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan Perikanan,
Bappeda, Kantor Bangdes, Kantor Statistik, Badan Pertanahan Nasional, dan
Balai Konservasi Sumberdaya Alam.
Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini mencakup data fisik
wilayah, sosial dan ekonomi, kebijakan pemeritah dan laju kecepatan tumbuh
mangrove. Data fisik wilayah meliputi; iklim, curah hujan, geologi tanah,
topografi, penggunaan lahan, luas pemukiman, dan luas areal yang digunakan
untuk peruntukan lain. Aspek sosial dan ekonomi meliputi; tingkat pendidikan,
matapencaharian penduduk, tingkat pemanfaatan ekosistem mangrove oleh
masyarakat, serta sarana dan prasarana.

Penarikan Contoh
Penarikan Contoh Vegetasi
Pengumpulan contoh untuk data vegetasi dilakukan di 3 lokasi yang terbagi
atas 7 stasiun yang berbentuk jalur atau transek yang diambil secara sengaja
sesuai dengan kondisi lapangan. Jumlah total plot contoh yang diambil dalam
penelitian ini adalah 40 plot contoh. Jalur I dan V terdiri dari 4 plot contoh, jalur
II terdiri dari 5 plot contoh, jalur III terdiri 8 plot contoh, jalur IV dan VI terdiri
dari 6 plot contoh, dan jalur VII terdiri dari 7 plot contoh. Penentuan jumlah plot
di setiap jalurnya didasarkan pada luas mangrove yang ada pada setiap jalur atau
transek. Penentuan contoh untuk data vegetasi ini digunakan metode garis
berpetak, pengukuran vegetasi dilakukan dengan tiga pola yaitu: pengambilan
untuk semai (pemudaan tingkat kecambah sampai setinggi < 1.5 m dan diameter <
2 cm) dilakukan pada petak 2 x 2 meter, pancang/anakan (pemudaan dengan
tinggi 1.5 m dan diameter < 10 cm) dilakukan pada petak 5 x 5 meter, dan
pohon (diameter 10 cm) dilakukan pada petak 10 x 10 meter.
Perhitungan dilakukan dengan cara menghitung dan mencatat jumlah
masing-masing spesies yang ada dalam setiap petak atau plot contoh serta
mengukur diameter dan tinggi pohon. Data vegetasi yang dicatat terdiri dari
jumlah pohon, pancang dan semai serta jenis pohon, data diameter pohon (untuk
tingkat pancang dan pohon), dan tinggi pohon (untuk tingkat semai). Adapun arah
pengamatan tegak lurus dari pinggir laut atau pantai ke arah darat (Gambar 3).
23

Pada setiap jalur transek dilakukan pengukuran parameter lingkungan (suhu,


salinitas dan pH). Pengukuran suhu dilakukan pada siang hari dengan
menggunakan Thermometer, pengukuran salinitas dilakukan pada saat surut
dengan menggunakan Refraktometer, dan pengukuran pH dilakukan dengan
menggunakan pH meter. Selain itu dilakukan pengamatan dan pencatatan tipe
substrat. Jenis-jenis fauna yang ditemukan di lokasi penelitian, baik teresterial
maupun akuatik dilakukan pencatatan.

p
a
n
t
a
i

Keterangan :
A : Petak pengukuran untuk semai (2 x2 m)
B : Petak pengukuran untuk pancang (5x5 m)
C : Petak pengukuran untuk pohon (10x10 m)

Gambar 3. Skema penempatan petak contoh.

Penarikan Contoh Jumlah Pengambilan Cerucuk dan Kayu Bakar


Penarikan contoh untuk data jumlah pengambilan cerucuk dan kayu bakar
oleh masyarakat ditentukan secara sengaja (purpossive sampling method).
Pengambilan contoh responden ini dilakukan di desa yang terletak di kawasan
pesisir Kecamatan Nipah Panjang meliputi; Desa Sungai Raya, Desa Nipah
Panjang, Desa Pemusiran dan Desa Simpang Jelita.
24

Adapun responden yang diamati adalah masyarakat yang memafaatkan


cerucuk dan kayu bakar yang berada di sekitar ekosistem mangrove. Jumlah
responden yang diamati untuk pemanfaatan cerucuk adalah 23 orang dari 90 orang
yang memanfaatkannya. Responden yang memanfaatkan kayu bakar adalah 83
orang dari 300 orang yang memanfaatkannya. Penentuan jumlah responden yang
diamati adalah 1/3 dari jumlah orang yang memanfaatkan mangrove tersebut.
Adapun informasi yang ditanyakan kepada responden diantaranya adalah jumlah
dan frekuensi pengambilan cerucuk dan kayu bakar.

Analisis Data
Data Luas Ekosistem Mangrove
Untuk menghitung luas mangrove yang ada di Kecamatan Nipah Panjang
digunakan Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2005 dan tahun 1989 dan diolah dengan
menggunakan sistem informasi geografis (SIG), dengan software yang dipakai
adalah ArcView 3.3. Analisis spasial ini dimaksudkan untuk memberikan
gambaran atau deskripsi spasial wilayah pesisir Kecamatan Nipah Panjang serta
melihat luas penyebaran mangrove yang tersisa.

Data Ekologi (Struktur Komunitas Mangrove)


Pendekatan ekologi dalam kajian pengelolaan ekosistem mangrove di
kawasan pesisir Nipah Panjang menggunakan beberapa parameter ekologi
penting, diantaranya:
a. Kerapatan Jenis (D)
Kerapatan jenis adalah jumlah individu jenis dalam suatu area yang diukur.
ni
D= ...................................................................................................(1)
A
Dimana: D = Kerapatan jenis (batang)
ni = Jumlah total individu dari jenis-i
A = Luas total pengambilan contoh (hektar)
b. Kerapatan Relatif Jenis (RD)
Kerapatan relatif jenis adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis-i (ni)
dan jumlah tegakan seluruh jenis (n).
25

D
RD = i x 100% ............................................................................(2)
n

Dimana: RD = Kerapatan relatif jenis (%)
Di = Jumlah tegakan jenis-i
n = Jumlah tegakan seluruh jenis
c. Frekuensi jenis (F)
Frekuensi jenis adalah proporsi plot contoh ditemukannya suatu jenis dalam
semua plot contoh.
pi
F= ...............................................................................................(3)
p
Dimana: F = Frekuensi jenis
pi = Jumlah plot contoh dimana ditemukan jenis-i
p = Jumlah semua plot contoh yang diamati
d. Frekuensi relatif Jenis (RF)
Frekuensi relatif jenis adalah perbandingan antara frekuensi jenis dan jumlah
frekuensi untuk seluruh jenis.
F
RF = i x 100% ............................................................................(4)
F

Dimana: RF = Frekuensi relatif jenis (%)
Fi = Frekuensi jenis-i
F = Jumlah frekuensi seluruh jenis
e. Penutupan Jenis (C)
Penutupan jenis adalah luas penutupan jenis dalam suatu area tertentu.

C=
BA .............................................................................................(5)
A
DBH 2
Dimana: BA = (dalam cm2)
4
C = Penutupan jenis
= 3,14
DBH = Diameter pohon dari jenis-i (cm). Diameter batang diukur
setinggi 1,3 m dari permukaan tanah
A = Luas area total pengambilan contoh (cm2)
26

f. Penutupan Relatif Jenis (RC)


Penutupan relatif jenis adalah perbandingan antara luas area penutupan jenis
dan luas area seluruh jenis.
C
RC = i x 100% ...........................................................................(6)
C

Dimana: RC = Penutupan relatif jenis (%)
Ci = Luas area penutupan jenis-i
C = Luas total seluruh jenis
g. Nilai Penting Jenis (IV)
Nilai penting jenis adalah jumlah nilai kerapatan relatif jenis, frekuensi relatif
jenis, dan penutupan relatif jenis.
IVi = RD + RF + RC.............................................................................(7)
Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 sampai 300. Nilai penting ini
memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis
tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove.

Data Pengambilan Cerucuk dan Kayu Bakar


Pendekatan yang digunakan untuk menghitung jumlah pengambilan cerucuk
dan kayu bakar adalah dengan menghitung jumlah pengambilan cerucuk dan kayu
bakar oleh masyarakat yang tinggal di sekitar ekosistem mangrove Kecamatan
Nipah Panjang. Adapun analisis yang digunakan dapat dilihat pada persamaan
berikut ini:
pci = fpci x jpci........................................................................................(8)
pci = pc1 + pc2 + pc3.........+ pc23...........................................................(9)

pci =
pc i
...........................................................................................(10)
n
Dimana: pci = Pengambilan cerucuk oleh responden ke-i
fpci = Frekuensi pengambilan cerucuk responden ke-i
Jpci = Jumlah pengambilan cerucuk responden ke-i
pci = Jumlah total pengambilan cerucuk
pci = Rata-rata pemanfaatan cerucuk
n = Jumlah responden
27

pki = fpki x jpki.....................................................................................(11)


pki = pk1 + pk2 + pk3.........+ pk90.......................................................(12)

pki =
pk i
....................(13)
n
Dimana: pki = Pengambilan kayu bakar oleh responden ke-i
fpki = Frekuensi pengambilan kayu bakar responden ke-i
jpki = Jumlah pengambilan kayu bakar responden ke-i
pki = Jumlah total pengambilan kayu bakar
pki = Rata-rata pemanfaatan kayu bakar
n = Jumlah responden

Laju Penurunan Luas


Laju penurunan luas hutan mangrove di Kecamatan Nipah Panjang adalah
pengurangan luas hutan mangrove per tahun akibat pengambilan cerucuk dan
kayu bakar. Laju penurunan luas ini dihitung berdasarkan rumus berikut ini:
Ac Ab
Th = + / L05 .............(14)
Kc Kb
Dimana: Th = Proporsi penurunan luas hutan mangrove per tahun (%)
Ac = Jumlah pengambilan cerucuk per tahun (batang)
Ab = Jumlah pengambilan kayu bakar per tahun (batang)
Kc = Kerapatan cerucuk
Kb = Kerapatan kayu bakar
L05 = Luas hutan mangrove tahun 2005
28

HASIL

Gambaran Umum Wilayah Kecamatan Nipah Panjang


Batas Administrasi Kecamatan Nipah Panjang
Kecamatan Nipah Panjang dengan luas 234 km2, secara administrasi
merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang
terdiri dari 7 desa dan 2 kelurahan (Desa Teluk Kijing, Desa Pemusiran, Desa
Nipah Panjang I, Desa Nipah Panjang II, Desa Simpang Jelita, Desa Simpang
Datuk, dan Desa Sungai Raya). Kecamatan Nipah Panjang berbatasan dengan:
 Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Berhala dan Laut Cina Selatan
 Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sadu.
 Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Muara Sabak.
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Rantau Rasau.

Topografi, Hidrologi dan Iklim


Kecamatan Nipah Panjang terletak di wilayah paling hilir dari aliran Sungai
Batanghari, sehingga kondisi topografi secara umum didominasi dataran rendah
dan rawa pasang surut dengan ketinggian sekitar 0-10 m di atas permukaan laut.
Wilayah Kecamatan Nipah panjang dilalui oleh dua sungai besar yaitu Sungai
Batanghari dan Sungai Pemusiran.
Keadaan suhu atau temperatur di wilayah pesisir Kecamatan Nipah Panjang
pada setiap bulannya relatif hampir sama, rata-rata berkisar 26,00C-28,00C. Suhu
terendah terjadi pada bulan Januari mencapai 21,90C dan suhu tertinggi terjadi
pada bulan April mencapai 32,00C dengan kelembaban udara berkisar antara 86-
95 %.

Aksesibilitas
Alat transportasi yang digunakan di Kecamatan Nipah Panjang adalah alat
transportasi laut dan darat. Jarak antara desa terjauh ke Ibukota Kota Kecamatan
sejauh 30 km dapat ditempuh dengan 1 jam perjalanan dengan menggunakan
kendaraan roda dua dan harus menyeberang Sungai Batanghari dengan waktu
15 menit dengan menggunakan kapal (pompong). Perjalanan menuju ibukota
kabupaten yang terletak di Muara Sabak diperlukan waktu 1,5 jam dengan
29

menggunakan speed boat. Sedangkan jarak tempuh menuju ibukota provinsi,


dapat ditempuh dengan menggunakan speed boat ke desa Suak Kandis dengan
waktu tempuh 1,5 jam dan dari Suak Kandis jarak tempuh ke ibukota provinsi
40 km memiliki waktu tempuh 1,5 jam perjalanan dengan menggunakan mini
bus.

Kondisi Ekonomi Masyarakat


Ciri utama pemukiman di daerah Kecamatan Nipah Panjang adalah
terletak sepanjang delta dan muara sungai. Hal ini berkaitan erat dengan
ketersediaan prasarana perhubungan pada saat pembentukan pemukiman, terbatas
hanya sungai. Dengan demikian perekonomian lokal sangat bergantung pada
keberadaan sungai yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah yang
lainnya. Pada saat sekarang dengan dibukanya prasarana perhubungan darat,
pemukiman tampak telah mulai berkembang di sepanjang jalan darat yang
menghubungkan desa-desa.
Matapencaharian sebagian besar masyarakat Kecamatan Nipah Panjang
adalah; sebagai petani, nelayan, pedagang dan PNS. Sebagian dari masyarakat
tersebut juga mempunyai pekerjaan sampingan seperti; jasa angkutan (ojek),
buruh pada jasa transportasi, nelayan dan pedagang musiman. Secara umum
kesempatan kerja di wilayah ini sangat minim, namun peluang untuk berusaha
cukup tinggi hal ini disebabkan karena daerah ini memiliki potensi sumberdaya
alam khususnya hasil laut yang berlimpah, namun demikian peluang berusaha
yang ada kurang bisa dimanfaatkan karena membutuhkan modal yang relatif
besar.
Pertanian merupakan salah satu kegiatan ekonomi masyarakat yang turut
menopang perekonomian di Kecamatan Nipah Panjang ini, usaha tani yang
umumnya dilakukan oleh masyarakat adalah bertani padi atau sawah pasang-
surut. Sedangkan dibidang perkebunan, masyarakat pada umumnya berkebun
Kelapa, Pinang, Karet, dan Kopi.

Kondisi Sosial Budaya Masyarakat


Mayoritas etnis yang mendiami Kecamatan Nipah Panjang adalah Etnis
Bugis, Banjar, Melayu dan Jawa. Etnis Bugis, Banjar dan Melayu umumnya
30

berprofesi sebagai nelayan, dan petani. Sedangkan Etnis Jawa banyak bergerak di
darat dan berusaha dibidang perkebunan, pertanian, dan perternakan. Etnis lain
seperti Cina juga terdapat Kecamatan Nipah Panjang ini, namun biasanya mereka
bergerak dibidang perdagangan, transportasi, dan jasa.
Pengaruh kebudayaan islam di wilayah pesisir Kecamatan Nipah Panjang
sangat dominan dalam tatanan kehidupan sehari-hari, baik dari Etnis Melayu,
Bugis, Banjar, dan Jawa. Mereka adalah penganut agama islam turun-temurun,
sehingga adat-istiadat dan kebiasaan mereka dipengaruhi oleh kebudayaan islam.
Pengaruh kebudayaan islam sangat terasa sekali pada wilayah Kecamatan Nipah
Panjang ini, hal ini terlihat dari fungsi dari mesjid, madrasah dan mushola
disamping digunakan sebagai keperluan ibadah juga digunakan untuk aktivitas
sosial seperti; kebudayaan, pendidikan, dan rapat desa.

Pola Pemilikan dan Penguasaan Lahan


Pada umumnya masyarakat yang bermukim di Kecamatan Nipah Panjang
adalah pemukiman model parit. Hal ini dikarenakan seluruh pemukiman yang ada
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Kelompok masyarakat yang ada ditandai
oleh adanya parit-parit, selain sebagai tanda keberadaan kelompok masyarakat,
parit ini juga berfungsi sebagai sarana mobilisasi masyarakat baik ke ladang, laut,
maupun ke pusat perekonomian lokal.
Munculnya kelompok di setiap parit tersebut akhirnya menimbulkan suatu
tatanan kelembagaan internal dalam kelompok tersebut. Setiap parit dipimpin oleh
seorang kepala parit yang berfungsi sebagai tokoh informal dan panutan bagi
masyarakatnya. Kepala parit adalah penentu kebijakan pada kelompoknya dan
sebagai penghubung masyarakat dengan aparat pemerintah. Wewenang kepala
parit ini menyangkut banyak hal, terutama berkaitan langsung dengan
permasalahan sosial masyarakat, termasuk dalam hal kepemilikan dan penguasaan
lahan oleh masyarakat. Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan penduduk
turut mempengaruhi pembukaan lahan baru yang terjadi di Kecamatan Nipah
Panjang ini, pemilikan lahan oleh masyarakat biasanya dilakukan dengan cara
membeli dari kepala parit atau anak cucu yang membuka kawasan hutan pertama
kali.
31

Pertanian dan Perkebunan


Pertanian merupakan aktivitas yang paling dominan di Kecamatan Nipah
Panjang terdiri dari; tanaman pangan dan palawija, sayuran dan buah-buahan.
Produksi tanaman bahan pangan yang menonjol peranannya di Kecamatan Nipah
Panjang meliputi; komoditi Padi (sawah pasang surut), Ubi jalar, Kacang hijau.
Luas lahan sawah yang terdapat di Kecamatan Nipah Panjang adalah 14.142 ha
dengan produksi 33.697 ton/tahun, produksi Ubi jalar 1.321 ton/tahun dengan luas
33 ha, Kacang hijau 39 ha dengan produksi 440 ton/tahun, Kacang tanah 7 ha
dengan produksi 120 ton/tahun (Tanjung Jabung Timur dalam Angka, 2006).
Luas areal perkebunan rakyat yang menonjol di Kecamatan Nipah Panjang
meliputi; perkebunan Kelapa (7.283 ha), Kelapa hibrida (1.800 ha), Pinang (99
ha), Kopi (87 ha), Coklat (85 ha), dan Karet (11 ha) (Tanjung Jabung Timur
dalam Angka, 2006).

Perikanan
Kecamatan Nipah Panjang memiliki potensi perikanan yang cukup
melimpah. Produksi perikanan Kecamatan Nipah Panjang saat ini diperkirakan
11.762 ton/tahun yang terdiri dari; perikanan laut 11.537 ton/tahun, perairan
umum 35 ton /tahun, tambak 185 ton/tahun, keramba 2 ton/tahun, dan kolam 3
ton/tahun (DKP Provinsi Jambi dan Tanjung Jabung Timur dalam Angka, 2006).

Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Nipah Panjang Saat Ini


Pengelolaan ekosistem mangrove lestari dan berkelanjutan merupakan suatu
strategi pengelolaan yang memberikan batasan terhadap laju pemanfaatan
ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang berda di dalamnya dengan tujuan
terwujudnya keberlanjutan pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya yang ada.
Namun demikian, batasan ini tidaklah bersifat mutlak tetapi dinamis bergantung
pada kondisi ekologi dan kondisi sosial masyarakat yang hidup di sekitar kawasan
sumberdaya tersebut. Dengan demikian, pengelolaan berkelanjutan adalah suatu
strategi pemanfaatan ekosistem alamiah dan perlindungan sumberdaya yang
berada di dalamnya. Sehingga kapasitas fungsional ekosistem ini dapat terjaga dan
memberikan manfaat bagi masyarakat.
32

Pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah Panjang pada saat ini


menjadi tanggung jawab Dinas Kehutanan Tanjung Jabung Timur dan Dinas
Kelautan dan Perikanan Tanjung Jabung Timur. Dinas Kehutanan bertanggung
jawab mengawasi ekosistem mangrove yang berada di dalam cagar alam.
Sedangkan pengelolaan di luar kawasan cagar alam menjadi tanggung jawab dan
wewenang Dinas Kelautan dan Perikanan Tanjung Jabung Timur Jambi.
Pengelolaan yang telah dilakukan oleh Dinas Kehutanan diantaranya adalah
melakukan rehalibitasi pada daerah yang mengalami kerusakan khususnya di
dalam wilayah cagar alam yang meliputi 3 pulau kecil (Pulau Waitambi, Pulau
Tengah, dan Pulau Mudo) serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat
tentang arti pentingnya menjaga ekosistem mangrove. Sedangkan bentuk
pengelolaan yang telah dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Tanjung
Jabung Timur adalah diantaranya merehalibitasi daerah yang telah mengalami
kerusakan yang sangat parah dibeberapa lokasi seperti di Desa Sungai Raya.
Namun permasalahannya adalah sering terjadinya tumpang tindih kegiatan
antara kedua instansi tersebut, sehingga kegiatan pengelolaan yang telah
dilaksanakan terkesan berulang-ulang. Untuk mengatasi hal tersebut maka
diperlukan suatu bentuk pengelolaan yang dapat mensinergikan kegiatan yang
direncanakan sehingga kegiatan tersebut dapat berjalan dengan efektif dan
efesien. Adapun yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah
melakukan koordinasi antara lembaga terkait dalam penetapan hak dan wewenang
terhadap hutan mangrove di Kecamatan Nipah Panjang ini. Upaya-upaya yang
dapat dilakukan dalam koordinasi antara lembaga tersebut adalah sebagai berikut:
(1) merumuskan hak dan wewenang masing-masing lembaga yang terlibat, (2)
menyusun program bersama dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan hutan
mangrove secara lestari, dan (3) menetapkan jadwal monitoring dan evaluasi
secara bersama. Sehingga dengan adanya upaya tersebut benturan dan tumpang
tindih kegiatan pengelolaan bisa diminimalkan.
Selain hal tersebut di atas hal yang terpenting yang perlu dilakukan dalam
menjaga kelestarian dan keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di
Kecamatan Nipah Panjang adalah melakukan pengawasan dan melaksanakan
penegakan hukum berupa sanksi bagi yang melanggarnya.
33

Kondisi Ekosistem Mangrove Kecamatan Nipah Panjang


Luas Ekosistem Mangrove Kecamatan Nipah Panjang
Berdasarkan hasil pengukuran potensi (luas) hutan mangrove yang
dilakukan dengan menggunakan citra Landsat 7 ETM+ tahun 2005 dengan
kombinasi warna RGB 453 diperoleh total luas hutan mangrove di Kecamatan
Nipah Panjang adalah 563 ha. Sedangkan citra Landsat 7 ETM+ tahun 1989
menunjukkan luas mangrove yang ada di Kecamatan Nipah Panjang 1447 ha
(Gambar 4).

Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove Kecamatan Nipah Panjang


Jenis vegetasi mangrove yang terdapat di Kecamatan Nipah Panjang dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis vegetasi mangrove yang terdapat di Kecamatan Nipah Panjang

No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili


1 Api-api Avicennia alba Avicenniaceae
2 Api-api Avicennia marina Avicenniaceae
3 Lengganai Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae
4 Bakau Rhizophora apiculata Rhizophoraceae
5 Pidada Sonneratia alba Soneratiaceae
6 Pidada Sonneratia caseolaris Soneratiaceae

Pada umumnya formasi jenis mangrove yang terdapat di Kecamatan Nipah


Panjang ini didominasi jenis-jenis dari famili Avicenniaceae dan Soneratiaceae.
Sedangkan jenis Rhizophoraceae juga terdapat di ekosistem mangrove ini, namun
keberadaannya tidak terlalu dominan. Data vegetasi pada setiap jalur pengamatan
dapat dilihat pada Lampiran 1.
34

Gambar 4. Peta penyebaran mangrove di Kecamatan Nipah Panjang tahun 1989 dan 2005

34
35

Kerapatan dan Kerapatan Relatif Jenis Mangrove


Kerapatan jenis mangrove tingkat pohon berkisar antara 5,00 - 187,50
batang/ha, tingkat pancang 7,50 -6 17,50 batang/ha, dan kerapatan jenis tingkat
semai berkisar antara 25,00 - 810,00 batang/ha.
Kerapatan relatif jenis mangrove untuk tingkat pohon berkisar antara 1,57 %
- 59,06 %, tingkat pancang 0,78 % - 64,16 %, dan kerapatan relatif jenis
mangrove tingkat semai berkisar 7,58 % - 78,79 % (Tabel 2).
Tabel 2. Kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenis mangrove pada setiap
tingkatan pohon, pancang, dan semai

Kerapatan (batang/ha) Kerapatan Relatif (%)


No Jenis
Pohon Pancang Semai Pohon Pancang Semai
1 Avicennia alba 32,50 82,50 25,00 10,24 8,57 7,58
2 Avicennia marina 187,50 617,50 810,00 59,06 64,16 78,79
3 Bruguiera gymnorrhiza 5,00 27,50 - 1,57 2,86 -
4 Rhizophora apiculata 10,00 25,00 - 3,15 2,60 -
5 Sonneratia alba 7,50 7,50 - 2,36 0,78 -
6 Sonneratia caseolaris 75,00 202,50 177,50 23,62 21,03 13,63
Jumlah 317,50 962,50 1012,50 100,00 100,00 100,00
*Perhitungan kerapatan dan kerapatan relatif dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 2 menunjukkan bahwa Avicennia marina memiliki kerapatan dan


kerapatan relatif tertinggi baik untuk tingkat pohon, pancang, maupun tingkat
semai. Sedangkan Sonneratia alba memiliki kerapatan dan kerapatan relatif
terendah baik untuk tingkat pohon, pancang, maupun semai.
Kerapatan relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur
pengamatan dapat dilihat pada Gambar 5:

100.00
90.00
80.00
70.00
Kerapatan Relatif

60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Jalur I Jalur II Jalur III Jalur IV Jalur V Jalur VI Jalur VII
Jalur Pengamatan

Avicennia alba Avicennia marina Bruguiera gymnorrhiza


Rhizophora apiculata Sonneratia alba Sonneratia caseolaris

Gambar 5. Kerapatan relatif jenis mangrove tingkat pohon


pada setiap jalur pengamatan
36

Gambar 5 menunjukkan bahwa jenis Avicennia marina memiliki kerapatan


dan kerapatan relatif tertinggi hampir di semua jalur pengamatan, kecuali pada
jalur V dan jalur VI kerapatan relatif tertingginya adalah Sonneratia caseolaris.

Frekuensi dan Frekuensi Relatif Jenis Mangrove


Frekuensi jenis tingkat pohon berkisar antara (0,05 - 0,60), tingkat pancang
(0,100,28), dan frekuensi tingkat semai berkisar antara (0,05 - 0,53).
Frekuensi relatif jenis untuk tingkat pohon berkisar antara 4,17 % - 50,00 %,
tingkat pancang 4,76 % - 47,62 %, dan frekuensi relatif jenis tingkat semai
berkisar antara 6,90 % - 72,41 % (Tabel 3).
Tabel 3. Frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis mangrove pada setiap tingkatan
pohon, pancang, dan semai

Frekuensi Relatif
Frekuensi
No Jenis (%)
Pohon Pancang Semai Pohon Pancang Semai
1 Avicennia alba 0,20 0,28 0,05 16,67 17,46 6,90
2 Avicennia marina 0,60 0,75 0,53 50,00 47,62 72,41
3 Bruguiera gymnorrhiza 0,05 0,10 - 4,17 6,35 -
4 Rhizophora apiculata 0,08 0,13 - 6,25 7,94 -
5 Sonneratia alba 0,05 0,08 - 4,17 4,76 -
6 Sonneratia caseolaris 0,23 0,25 0,15 18,75 15,87 20,69
Jumlah 1,20 1,58 0,73 100,00 100,00 100,00
*Perhitungan frekuensi dan frekuensi relatif dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 3 menunjukkan bahwa Avicennia marina memiliki frekuensi dan


frekuensi relatif tertinggi baik untuk tingkat pohon, pancang, maupun tingkat
semai. Sedangkan Sonneratia alba memiliki frekuensi dan frekuensi relatif
terendah baik untuk tingkat pohon, pancang, maupun semai.
Frekuensi relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur
pengamatan dapat dilihat pada Gambar 6.
37

100
90
80

Frekuensi Relatif
70
60
50
40
30
20
10
0
Jalur I Jalur II Jalur III Jalur IV Jalur V Jalur VI Jalur VII
Jalur Pengamatan

Avicennia alba Avicennia marina Bruguiera gymnorrhiza


Rhizophora apiculata Sonneratia alba Sonneratia caseolaris

Gambar 6. Frekuensi relatif jenis mangrove tingkat pohon


pada setiap jalur pengamatan
Gambar 6 menunjukkan bahwa jenis Avicennia marina memiliki frekuensi
relatif tertinggi hampir di semua jalur pengamatan, kecuali pada jalur V dan jalur
VI frekuensi relatif tertingginya adalah Sonneratia caseolaris.

Penutupan dan Penutupan Relatif Jenis Mangrove


Penutupan jenis mangrove tingkat pohon berkisar antara 0,000062 -
0,0003113 dan tingkat pancang penutupan berkisar antara 0,0000020 - 0,0001237.
Penutupan relatif jenis mangrove untuk tingkat pohon berkisar antara 1,09 % -
54,42 %, tingkat pancang penutupan relatifnya berkisar antara 0,97 % - 59,46 %
(Tabel 4).
Tabel 4. Penutupan jenis dan penutupan relatif jenis

Penutupan Relatif Jenis


Penutupan Jenis
No Jenis (%)
Pohon Pancang Pohon Pancang
1 Avicennia alba 0,0000368 0,0000239 6,43 11,49
2 Avicennia marina 0,0003113 0,0001237 54,42 59,46
3 Bruguiera gymnorrhiza 0,0000062 0,0000055 1,09 2,63
4 Rhizophora apiculata 0,0000096 0,0000056 1,67 2,67
5 Sonneratia alba 0,0000178 0,0000020 3,11 0,97
6 Sonneratia caseolaris 0,0001903 0,0000474 33,27 22,78
Jumlah 0,0005721 0,0002080 100,00 100,00
*Perhitungan penutupan dan penutupan relatif dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 4 menunjukkan bahwa Avicennia marina memiliki penutupan dan


penutupan relatif tertinggi baik untuk tingkat pohon, maupun pancang. Sedangkan
penutupan dan penutupan relatif terendah untuk tingkat pancang adalah
38

Sonneratia alba, dan penutupan dan penutupan relatif terendah untuk tingkat
pohon adalah Bruguiera gymnorrhiza.
Penutupan relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur
pengamatan dapat dilihat pada Gambar 7:
100.00
90.00
80.00
Penutupan Relatif 70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Jalur I Jalur II Jalur III Jalur IV Jalur V Jalur VI Jalur VII
Jalur Pengamatan

Avicennia alba Avicennia marina Bruguiera gymnorrhiza


Rhizophora apiculata Sonneratia alba Sonneratia caseolaris

Gambar 7. Penutupan relatif jenis mangrove tingkat pohon


pada setiap jalur pengamatan

Gambar 7 menunjukkan bahwa jenis Avicennia marina memiliki penutupan


relatif tertinggi hampir di semua jalur pengamatan, kecuali pada jalur V dan jalur
VI penutupan relatif tertingginya adalah Sonneratia caseolaris.

Indeks Nilai Penting


Berdasarkan perhitungan kerapatan relatif jenis, frekuensi relatif jenis, dan
penutupan relatif jenis maka diperoleh indeks nilai penting jenis pada setiap jenis
mangrove yang terdapat di lokasi penelitian seperti terlihat pada (Tabel 5).
Tabel 5. Indeks nilai penting komunitas mangrove

Nilai INP (%)


No Jenis
Pohon Pancang Semai
1 Avicennia alba 34,13 37,52 14,48
2 Avicennia marina 161,10 171,24 151,20
3 Bruguiera gymnorrhiza 9,01 11,84 -
4 Rhizophora apiculata 12,76 13,21 -
5 Sonneratia alba 10,23 6,50 -
6 Sonneratia caseolaris 72,76 59,69 34,32
Jumlah 300,00 300,00 300,00
*Perhitungan indeks nilai penting dapat dilihat pada Lampiran 5.
39

Tabel 5 menunjukkan bahwa Avicennia marina memiliki indeks nilai


penting tertinggi baik untuk tingkat pohon, pancang, maupun semai. Indeks nilai
penting terendah untuk tingkat pohon adalah Bruguiera gymnorrhiza, dan untuk
tingkat pancang adalah Sonneratia alba, untuk tingkat semai Bruguiera
gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, dan Sonneratia alba memiliki indeks nilai
penting terendah.
Indeks nilai penting komunitas mangrove tingkat pohon pada setiap jalur
pengamatan dapat dilihat pada Gambar 8:

300
270
240
210
180
INP

150
120
90
60
30
0
Jalur I Jalur II Jalur III Jalur IV Jalur V Jalur VI Jalur VII
Jalur Pengamatan

Avicennia alba Avicennia marina Bruguiera gymnorrhiza


Rhizophora apiculata Sonneratia alba Sonneratia caseolaris

Gambar 8. Indeks nilai penting komunitas mangrove tingkat pohon


pada setiap jalur pengamatan

Gambar 8 menunjukkan bahwa jenis Avicennia marina memiliki indeks


nilai penting tertinggi hampir di semua jalur pengamatan, kecuali pada jalur V dan
jalur VI indeks nilai penting tertingginya adalah Sonneratia caseolaris.

Jumlah Pengambilan Cerucuk dan Kayu Bakar


Pada saat ini pengambilan cerucuk berkisar antara 21.600 - 29.300
batang/tahun. Sedangkan pengambilan kayu bakar berkisar antara 29.000 - 33.900
batang/tahun. Dengan demikian pengambilan kayu dari hutan mangrove di
Kecamatan Nipah Panjang berkisar antara 50.600 - 63.200 batang/tahun
(Lampiran 6 dan 7).

Keanekaragaman Fauna
Fauna yang diamati dilokasi penelitian meliputi: fauna akuatik dan fauna
teresterial. Pada ekosistem mangrove Kecamatan Nipah Panjang dijumpai
40

beberapa jenis burung, Crustacea, dan ikan yang semuanya hidup berasosiasi
dengan ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove menyediakan makanan dan
tempat perlindungan atau habitat bagi fauana tersebut.
Berdasarkan pengamatan di lapangan fauna akuatik yang sering dijumpai
adalah Kepiting bakau (Scylla serrata). Sedangkan fauna teresterial yang seing
dijumpai adalah Tekukur (Streptopelia chinensis), dan Kera ekor panjang
(Macaca facicularis) namun dalam jumlah populasi yang sedikit. Jenis-jenis fauna
yang ditemukan di ekosistem mangrove Kecamatan Nipah Panjang dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6. Jenis-jenis fauna yang ditemukan di ekosistem mangrove Kecamatan
Nipah Panjang

Fauna Nama Daereh Nama Ilmiah


Belanak Mugil sp.
Akuatik Kepiting Bakau Scylla serrata
Kepiting Uca spp.
Bangau hitam Ciconia stormi
Biawak Veranus salvator
Burung kuntul Egyretta alba
Kadal Mabauya spp.
Teresterial Kera ekor panjang Macaca facicularis
Kodok Bufo spp.
Tekukur Streptopelia chinensis
Ular bakau Boiga dendrophila
Walet Callocalia esculenta

Melihat pentingnya potensi mangrove sebagai habitat bagi fauna yang


keberadaannya semakain menurun serta banyaknya ancaman yang dihadapi baik
tekanan terhadap habitat maupun adanya pemanfaatan oleh masyarakat, maka
pelestarian terhadap ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah Panjang perlu
mendapat perhatian serius dari pemerintah, swasta, LSM maupun masyarakat
yang berada di sekitar ekosistem mangrove tersebut.

Kondisi Fisik Ekosistem Mangrove


Suhu
Suhu udara di ekosistem mangrove Kecamatan Nipah Panjang adalah
29,0 C - 31,00C, suhu udara tertinggi yaitu 31,00C terdapat pada jalur III dan
0

terendah 29,00C terdapat pada jalur II. Sedangkan suhu air 28,50C - 32,50C. Suhu
41

air tertinggi yaitu 32,50C terdapat pada jalur II, dan suhu air terendah yaitu 28,50C
terdapat pada jalur IV. Suhu udara dan perairan ini diukur pada siang hari pada
jam 11.00 wib (Gambar 9).

32

31

30
Suhu
29

28

27

26
I II III IV V VI VII
Jalur Pengamatan

Udara Air

Gambar 9. Sebaran suhu pada setiap jalur pengamatan

Gambar 9 menunjukkan bahwa sebaran suhu udara dan suhu air di


ekosistem mangrove Kecamatan Nipah Panjang ini masih berada pada kisaran
suhu normal untuk pertumbuhan mangrove.

Salinitas
Salinitas perairan berkisar antara 16,0 - 30,0 . Salinitas tertinggi yaitu
30,0 terdapat pada jalur VII, dan salinitas terendah yaitu 16,0 terdapat pada
jalur V. Salinitas perairan diukur pada saat surut. Sebaran salinitas pada setiap
jalur pengamatan dapat dilihat pada (Gambar 10).

30

25

20
Salinitas

15

10

0
I II III IV V VI VII
Jalur Pengamatan

Gambar 10. Sebaran salinitas pada setiap jalur pengamatan


42

Gambar 10 menunjukkan bahwa salinitas perairan di setiap jalur


pengamatan memiliki kisaran yang relatif sama, kecuali pada jalur V dan VI yang
memiliki salinitas yang lebih rendah. Rendahnya salinitas pada jalur V dan VI ini
disebabkan oleh adanya masukan air tawar dari sungai.

Derajat Keasaman (pH)


Kisaran pH air yang terdapat di ekosistem mangrove Nipah Panjang adalah
6,6 - 7,5. pH tertingi terdapat pada jalur VI dan pH terendah terdapat pada jalur IV
(Gambar 11).

5
pH

1
I II III IV V VI VII
Jalur Pengamatan

Gambar 11. Sebaran pH di setiap jalur pengamatan


Gambar 11 menunjukkan bahwa sebaran pH di ekosistem mangrove
Kecamatan Nipah Panjang ini masih berada pada kisaran suhu normal untuk
pertumbuhan mangrove.

Tanah
Jenis tanah yang umumnya terdapat di ekosistem mangrove Kecamatan
Nipah Panjang secara keseluruhan adalah lumpur berpasir dan pasir berlumpur.
43

PEMBAHASAN

Penurunan Luas Hutan Mangrove Kecamatan Nipah Panjang


Luas ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah Panjang berdasarkan hasil
citra Landsat 7 ETM+ tahun 1989 adalah 1447 ha, sedangkan berdasarkan citra
Landsat 7 ETM+ 2005 adalah 563 ha. Dari kedua luasan tersebut, berarti dalam
kurun waktu 16 tahun terjadi penurunan luasan 884 ha atau 3,8 % per tahun.
Petoech (1984) dalam Kadarusman dan Razak (2004), mencatat bahwa di teluk
Bintuni Papua terjadi penurunan luasan hutan mangrove dari luas 450.000 ha
menjadi 260.000 ha dalam kurun waktu 14 tahun atau luas mangrove bekurang
13.571 ha per tahun atau 3 % per tahun. Dari kedua data tersebut, dapat dikatakan
bahwa penurunan luas ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah Panjang lebih
besar dari penurunan luas mangrove di Teluk Bintuni, Papua. Besarnya tingkat
kerusakan mangrove di Kecamatan Nipah Panjang ini terlihat juga dari nilai
kerapatan mangrove tingkat pohon yang hanya 317,50 batang/ha. Menurut
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2004), kondisi ekosistem mangrove
dapat digolongkan kedalam 3 kriteria yaitu sangat padat dengan nilai kerapatan
>1.500 (baik), kepadatan sedang >1.000 - < 1.500 (rusak) dan kepadatan jarang
dengan nilai <1.000 (rusak berat). Dari jumlah individu di atas dapat dikatakan
bahwa ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah Panjang pada saat ini tergolong
rusak berat.
Berdasarkan jumlah pengambilan cerucuk dan kayu bakar pada kurun waktu
(2005 - 2007), diperoleh penurunan luas hutan mangrove pada kurun waktu
tersebut adalah 20 % (Lampiran 8). Dari data ini terlihat luas mangrove yang
hilang dalam kurun waktu dua tahun terakhir (2005 - 2007) lebih tinggi dari rata-
rata penurunan luas antara tahun 1989 - 2005. Tingginya penurunan luas
ekosistem mangrove pada tahun 2007 ini kumungkinan besar disebabkan oleh
meningkatnya pemanfaatan cerucuk dan kayu bakar oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan akibat bertambahnya jumlah penduduk dan
pesatnya pembangunan di wilayah pesisir Kecamatan Nipah Panjang ini.
Kebutuhan cerucuk dan kayu bakar ini berkisar antara 50.600 - 63.200
batang/tahun.
44

Menurut Bengen (2002), akibat pertumbuhan penduduk yang tinggi dan


pesatnya kegiatan pembangunan di wilayah pesisir untuk berbagai peruntukan
(pemukiman, perikanan, pelabuhan dll), tekanan ekologis pada ekosistem pesisir,
khususnya ekosistem hutan mangrove semakin meningkat.
Berdasarkan citra landsat 7 TM+ tahun 2005, luas ekosistem mangrove di
Kecamatan Nipah panjang adalah 563 ha, dengan meningkatnya pemanfaatan
cerucuk dan kayu bakar menyebabkan terjadinya penurunan luas mangrove
mencapai 226 ha dalam kurun waktu dua tahun, berarti luas mangrove yang
tersisa sekarang adalah 337 ha.
Laju penurunan luas hutan mangrove sebesar 20 % sangat mengancam
kelestarian ekosistem mangrove yang tersisa. Jika penurunan luas mangrove ini
dibiarkan tanpa adanya upaya pengelolaan, maka dapat dipastikan dalam beberapa
tahun ekosistem mangrove yang tersisa akan habis. Untuk itu diperlukan suatu
upaya pengelolaan agar ekosistem mangrove yang tersisa dapat dipulihkan dan
dilestarikan. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan ekosistem
di Kecamatan Nipah Panjang ini adalah dengan merehalibitasi kawasan yang telah
mengalami rusak berat serta membatasi pengambilan kayu di hutan tersebut.

Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove Kecamatan Nipah Panjang


Vegetasi mangrove yang terdapat di Kecamatan Nipah Panjang terdiri dari 3
(tiga) famili dan 6 (enam) jenis (Tabel 1). Sedikitnya famili dan jenis yang
ditemukan diantaranya disebabkan oleh banyaknya tekanan oleh masyarakat yang
tinggal di sekitar ekosistem mangrove yang memanfaatkan kayu mangrove
sebagai cerucuk dan kayu bakar.
Dengan keanekaragaman jenis sebesar 6 jenis mangrove tersebut, untuk
ukuran hutan mangrove, maka hutan mangrove di Kecamatan Nipah Panjang
tergolong miskin jenis jika dibandingkan dengan hutan mangrove yang ada di
Indonesia pada umumnya yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi.
Menurut Kusmana (2002), jenis mangrove yang tercatat mencapai 202 jenis yang
terdiri dari; 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis liana, 44 jenis sikas. Di
ekosistem mangrove Pulau Bali dan Pulau Lombok ditemukan 17 spesies vegetasi
utama, diantaranya; Rhizhophora apiculata, R. mucronata, Bruguiera
gymnorrhiza, B. cylindrica, dan Xylocarpus granatum (vegetasi utama), 13
45

spesies vegetasi pendukung antara lain; Aegiceras aureum, A. corniculatum dan A.


floridum, serta 19 spesies vegetasi mangrove asosiasi, misalnya; Acanthus sp.,
Baringtonia sp., Callophyllum sp., Calotropis sp., Cerbera sp., Clerodendron sp.
dan Derris sp. (Kitamura et al., 1997).
Jenis Avicennia marina merupakan jenis yang mendominasi ekosistem
mangrove di Kecamatan Nipah Panjang baik untuk tingkat ponon, pancang,
maupun tingkatan semai. Menurut Hamzah (2005), vegetasi yang menyusun hutan
mangrove di pantai timur Jambi tidak berbeda dengan vegetasi hutan mangrove
pada kawasan lainnya di Indonesia, adapun vegetasi mangrove yang dominan
yang terdapat pantai timur Jambi adalah Api-api (Avicennia), Pidada (Sonneratia),
serta Tumu dan Lengganai (Bruguiera). Di samping vegetasi-vegetasi dominan
tersebut, terdapat jenis lainnya yang tidak kalah pentingnya dalam komunitas
mangrove. Jenis-jenis tersebut antara lain; Buta-buta, Nyirih, Teruntum, dan
vegetasi bawah seperti Jeruju (Acanthus sp.), dan Tuba-tuba (Derris trifoliota).
Hal di atas memperkuat pendapat Kusmana et al. (2005), bahwa jenis-jenis
mangrove yang terdapat di Sumatera antara lain; Avicennia marina, A. officinalis,
A. alba, Bruguiera gymnorrhiza, B. parviflora, Excoecoria agallocha,
Rhizhophora apiculata, R. mucronata, dan Sonneratia alba.
Kerapatan relatif jenis tertinggi adalah jenis Avicennia marina baik untuk
tingkat pohon (59,06 %), pancang (64,16 %), dan semai (78,79 %) dengan
kerapatan 317,50 individu/ha, sedangkan kerapatan relatif terendah adalah jenis
Sonneratia alba. Bakosurtanal (2003), menyebutkan bahwa di Pulau Kangean
Madura, kerapatan relatif mangrove tertinggi adalah Rhizophora stylosa dengan
nilai 48,00 % untuk pohon dan 33,34 %, dan kerapatan relatif terendah adalah
jenis Xylocarpus granatum, Excoecoria agallocha, Pemphis acidula, dan
Lumnitzera dengan nilai kerapatan relatif masing-masing 3,45 % untuk tingkat
pohon dan 1,63 % untuk tingkat pancang, dengan kerapatan 2.400 individu/ha.
Dari kedua data tersebut dapat dikatakan bahwa ekosistem mangrove di
Kecamatan Nipah Panjang tergolong rusak berat, sedangkan kondisi ekosistem
mangrove di Pulau Kangean Madura masih dalam kondisi yang cukup baik.
Jika dilihat berdasarkan jalur pengamatan, Avicennia marina merupakan
jenis yang memiliki kerapatan relatif tertinggi kecuali pada jalur IV dan V yang
46

tertingginya adalah Sonneratia caseolaris. Tinggi kerapatan relatif Avicennia


marina ini disebabkan jenis ini mampu mentolerir kadar garam yang tinggi,
sedangkan tingginya kerapatan relatif Sonneratia caseolaris pada jalur IV dan V
disebabkan oleh jenis ini mampu beradaptasi dengan kadar garam yang rendah
(Gambar 5 dan 10).
Adaptasi terhadap kadar garam (salinitas) merupakan salah satu faktor
pembatas terhadap pertumbuhan ekosistem mangrove. Kisaran salinitas perairan
yang terdapat di ekosistem mangrove Kecamatan Nipah Panjang masih berada
dalam batas toleransi bagi kelangsungan hidup mangrove, sehingga tumbuhan
mangrove yang ada masih mampu beradaptasi dan mampu berkembang dengan
baik. Menurut Supriharyono (2000), mangrove dapat hidup dan tumbuh subur di
pesisir dengan kadar salinitas antara 10,0 - 30,0 , namun ada beberapa jenis
mangrove yang dapat tumbuh pada kondisi salinitas yang tinggi. Belum ada
ketetapan baku yang mengindikasikan salinitas maksimum air di daerah intertidal
(intertidal water salinity) dimana mangrove dapat bertahan hidup. Tetapi salinitas
optimal untuk daerah ini berkisar antara 28,0 - 34,0 .
Nilai frekuensi relatif tertinggi adalah jenis Avicennia marina baik untuk
tingkat pohon (50,00 %), pancang (47,62 %), maupun semai (72,41 %).
Sedangkan frekuensi relatif terendah adalah Sonneratia alba baik untuk tingkat
pohon (4,17 %), pancang (4,76 %), maupun semai. Hal ini memperkuat penelitian
Soesilo (2007), di ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Sumatera
Utara didominasi oleh jenis Avicennia, nilai frekuensi relatif tertinggi terdapat
pada jenis Avicennia marina dan Avicennia officinalis untuk semua tingkatan baik
pohon, pancang maupun semai. Nilai frekuensi relatif untuk kedua jenis ini secara
berurutan (71,70 %), (49,21 %), (64,52 %) dan (16,98 %), (22,22 %) dan (19,35
%). Sedangkan frekuensi relatif terendah terdapat pada jenis Soneratia alba untuk
tingkat pohon dan Rhizophora apiculata untuk tingkat pancang dan semai. Nilai
frekuensi relatif jenis Soneratia alba sebesar 1,89 %, sedangkan jenis Rhizophora
apiculata tingkat pancang 3,17 % dan tingkat semai 3,23 %. Dari kedua data
tersebut terlihat bahwa jenis Avicennia marina memiliki frekuensi tertinggi, hal
ini kemungkinan besar disebabkan oleh kondisi daerah yang sama, karena sama-
sama terletak di pantai timur pulau Sumatera yang memiliki suhu hampir sama.
47

Sesuai dengan pendapat Kusmana (1995), mangrove yang terdapat di Pantai


Timur Sumatera tumbuh pada suhu rata-rata bulanan dengan kisaran dari 26,30C,
pada bulan Desember sampai dengan 28,70C. Kemudian Hutching dan Saenger
(1987), mendapatkan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis
mangrove, yaitu Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18,0 - 27,00C,
Rhizophora stylosa, Ceriop sp., Exceocoria agallocha dan Lumnitzera racemosa
pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26,0 - 28,00C, suhu optimum
Bruguiera spp. 27,00C, Xylocarpus sp. berkisar antara 21,0 - 26,00C.
Hal ini dipertegas lagi oleh Aksornkoae (1993), kisaran suhu lingkungan
untuk hutan (ekosistem) mangrove yang alami berkisar antara 21,0 - 31,00C, suhu
air berada pada kisaran suhu 28,00C. Berdasarkan hasil penelitian, suhu
lingkungan dan suhu air pada masing-masing jalur masih berada dalam kisaran
suhu optimum untuk pertumbuhan mangrove (Gambar 9).
Supriharyono (2000), menambahkan bahwa selain salinitas, suhu air juga
merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan tumbuhan mangrove.
Suhu pembatas kehidupan mangrove adalah suhu yang rendah dan kisaran suhu
musiman. Suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 20,00C,
sedangkan kisaran musiman suhu tidak melebihi 5,00C.
Jika dilihat berdasarkan jalur pengamatan, Avicennia marina merupakan
jenis yang memiliki frekuensi relatif tertinggi pada setiap jalur kecuali pada jalur
IV dan V yang didominasi oleh Sonneratia caseolaris (Gambar 6).
Nilai penutupan relatif tertinggi adalah jenis Avicennia marina baik untuk
pohon (54,42 %), maupun tingkat pancang (59,46 %), sedang penutupan relatif
terendah terdapat pada jenis Sonneratia alba dengan nilai 3,11 % untuk tingkat
pohon, dan 0,97 % untuk tingkat pancang. Bokosurtanal (2003), menyebutkan
bahawa di Pulau Kangean Madura, menyebutkan bahwa penutupan relatif
tertinggi untuk tingkat pohon terdapat pada jenis Bruguiera gymnorrhiza 47,63 %,
dan untuk tingkat pancang penutupan relatif tertinggi terdapat pada jenis
Rhizophora stylosa (46,41%). Dari kedua data terlihat bahwa ekosistem mangrove
di Kecamatan Nipah Panjang didominasi oleh jenis Avicennia marina baik untuk
tingkat pohon maupun pancang, berbeda dengan ekosistem mangrove di Pulau
Kangean Madura yang pada umumnya didominasi oleh dua jenis spesies
48

mangrove yaitu Bruguiera gymnorrhiza dan Rhizophora stylosa yang memiliki


frekuensi relatif hampir sama.
Jika dilihat berdasarkan jalur pengamatan, Avicennia marina merupakan
jenis yang memiliki penutupan relatif tertinggi kecuali pada jalur IV dan V yang
tertingginya adalah Sonneratia caseolaris (Gambar 7). Tingginya penutupan
relatif Avicennia marina disebabkan jenis ini mampu mentolerir kadar garam
tinggi dan menyukai substrat lumpur berpasir, sedangkan jenis Sonneratia
caseolaris lebih menyukai substrat berlumpur, dari ketujuh jalur pengamatan
hampir semua jalur berada berhadapan langsung dengan laut kecuali jalur IV dan
V yang terletak di muara sungai Batanghari yang memiliki tingkat sedimentasi
yang tinggi, sehingga kandungan lumpur pada jalur ini sangat tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Santosa (1999), bahwa
jenis substrat di Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur Jambi secara umum
adalah lumpur berpasir, dengan komponen fraksi substrat terdiri lumpur 44 %, liat
24 %, pasir 32 %, sedangkan di daerah aliran Sungai Batanghari komponen fraksi
substratnya terdiri dari lumpur 64 %, liat 0 %, pasir 36 %. Menurut Aksornkoae
et al. (1978), karakteristik fisika dan kimia tanah berbeda pada setiap zonasi
mangrove. Karakteristik tanah mangrove berbeda dari jenis tanah di luar
ekosistem mangrove. Komposisi jenis, keanekaragaman (richness) dan distribusi
organisme mangrove juga tergantung dari karakteristik tanahnya.
Dari ketiga tingkatan, baik pohon, pancang, dan semai Avicennia marina
mempunyai indeks nilai penting yang tertinggi dengan nilai masing-masing secara
berurutan (161,10 %), (171,24 %), (151,20 %), sedangkan indeks nilai penting
terendah adalah Bruguiera gymnorrhiza untuk tingkat pohon (9,01 %), dan indeks
nilai penting terendah untuk tingkat pancang adalah Sonneratia alba (6,50 %).
Santoso (1998), menyebutkan bahwa ekosistem mangrove di desa Sruwet
Kecamatan Batu Ampar Kalimatan Barat didominasi oleh jenis Rhizophora
apiculata dengan indeks nilai penting 300 % untuk tingkat pohon, dan untuk
tingkat pancang indeks nilai penting tertinggi adalah Bruguiera gymnorrhiza 53
%, dan untuk tingkat semai INP tertingi adalah Bruguiera gymnorrhiza 96 %. Dari
kedua data di atas dapat dikatakan bahwa ekosistem mangrove yang ada di
Kecamatan Nipah Panjang jenis Avicennia marina mampu menyesuaikan diri
49

dengan lingkungannya, sedangkan di desa Sruwet Kecamatan Batu Ampar


Kalimatan Barat Bruguiera gymnorrhiza dan Rhizopohra apiculata mempunyai
peranan yang sama penting di dalam komunitasnya.
Jika dilihat berdasarkan jalur pengamatan Avicennia marina memiliki indeks
nilai penting tertinggi kecuali pada jalur IV dan V (Gambar 8), ini menunjukkan
bahwa jenis ini mempunyai peranan yang sangat penting terhadap komunitasnya.

Keanekaragaman Fauna
Tingginya penurunan luas dan tingkat kerusakan ekosistem mangrove di
Kecamatan Nipah Panjang ini berdampak negatif terhadap keberadaan fauna yang
terdapat di dalamnya. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan fauna yang
ditemukan hanya 11 jenis spesies. Pada hal menurut BKSDA Provinsi Jambi
(2004), di pantai timur jambi terdapat lebih dari 100 spesies fauna yang hidup di
ekosistem mangrove (Lampiran 9 dan 10).
Berkurangnya jenis fauna disebabkan oleh tekanan terhadap habitatnya oleh
masyarakat karena adanya pemanfaan cerucuk dan kayu bakar yang berlebihan.
Selain itu, berkurangnya jenis fauna ini juga disebabkan oleh adanya perburuan
oleh masyarakat. Keberadaan fauna teresterial seperti Kera ekor panjang sudah
mulai terancam, hal ini disebabkan oleh adanya perburuan oleh masyarakat untuk
dijual. Sedangkan untuk jenis reptilia kecil seperti Biawak dan Ular banyak diburu
masyarakat untuk diambil kulitnya.
Dengan keanekaragaman fauna yang dimiliki saat ini, menunjukkan bahwa
ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah Panjang ini memiliki keanekaragaman
fauna yang sangat kecil untuk ukuran ekosistem mangrove. Hal ini menandakan
bahwa fungsi ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah Panjang sebagai habitat
bagi fauna menjadi berkurang atau dengan kata lain mangrove yang ada di
Kecamatan Nipah Panjang ini mengalami kerusakan yang sangat serius karena
hilangnya fungsi sebagai tempat hidup bagi berbagai jenis satwa untuk berlindung
dan berkembang biak. Untuk itu diperlukan suatu bentuk pengelolaan yang dapat
menjaga kelestarian ekosistem mangrove dan fauna yang berada di dalamnya.
Adapun upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan perlindungan dan
pelarangan terhadap perburuan terhadap satwa-satwa yang dilindungi, serta
50

melaksanakan penegakkan hukum terhadap orang yang melanggar atau


memanfaatkan satwa-satwa yang dilindungi tersebut.

Pengambilan Cerucuk dan Kayu Bakar


Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data yang dilakukan selama
penelitian, diketahui bahwa tingginya tingkat pengambilan cerucuk (21.600 -
29.300 batang/tahun) dan kayu bakar (29.000 - 33.900 batang/tahun) yang
dilakukan oleh masyarakat di pesisir Kecamatan Nipah Panjang disebabkan oleh
beberapa alasan, diantaranya adalah untuk pembangunan perumahan (sebagai
pancang alas), meningkatnya pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir dan untuk
kebutuhan kayu bakar terutama oleh masyarakat yang memiliki ekonomi rendah.
Menurut Sumitro (1993), apabila kehidupan nelayan dalam keadaan terjepit
maka larinya kepada sumberdaya alam lainnya, yaitu mencari kayu bakar dan
mengambil kayu untuk bahan bangunan yang berasal dari hutan mangrove.
Peningkatan pembangunan yang terjadi di wilayah pesisir Kecamatan Nipah
Panjang berdampak pada meningkatnya populasi penduduk di wilayah ini,
sehingga keberadaan ekosistem mangrove di wilayah ini dimanfaatkan sebagai
bahan bagunan, terutama untuk tiang-tiang pancang bagi fondasi bangunan rumah
maupun infrastruktur lainnya. Pemanfaatan cerucuk sebagai bahan bangunan tidak
terlepas dari kondisi wilayah ini yang berada pada daerah yang merupakan lahan
rawa bergambut, sehingga pemanfaatan cerucuk sebagai bahan fondasi bangunan
menjadi lebih utama bagi masyarakat, selain itu harganya relatif lebih murah jika
dibandingkan dengan pembangunan fondasi dengan menggunakan bahan beton
yang lebih mahal.
Menurut Macnae (1968), masyarakat wilayah pesisir khususnya yang
berkaitan dengan hutan mangrove secara turun-temurun telah melaksanakan
berbagai pemanfaatan hutan mangrove sebagai sumber ekonominya, sehingga
dampak dari kerusakan tidak dapat dihindarkan kecuali dengan adanya
pengelolaan yang tepat.
Untuk mengatasi permasalahan pengambilan cerucuk ini, pemerintah harus
menanggapi secara serius guna menjaga kelestarian ekosistem mangrove yang ada
di Kecamatan Nipah Panjang. Adapun usaha yang dapat dilakukan diantaranya;
mendatangkan bahan alternatif lain sebagai pengganti kayu mangrove untuk bahan
51

bangunan dan sumber energi (kayu bakar). Bahan bangunan seperti batu bisa
menjadi pengganti kayu mangrove dan bisa didatangkan dari kabupaten yang
terdekat dengan daerah ini seperti dari kabupaten Muara Tebo atau Kabupaten
Batang merangin. Untuk mengatasi permasalahan kayu bakar pemerintah bisa
mensosialisasikan penggunaan arang dari tempurung kelapa yang banyak terdapat
disekitar wilayah ini, arang tempurung kelapa ini bisa diperoleh dari beberapa
kecamatan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur ini seperti; Kecamatan Sadu dan
Kecamatan Muara Sabak.

Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Nipah Panjang


Dalam pengelolaan, pertumbuhan merupakan tulang punggung ilmu
pengelolaan hutan mangrove, yang bertujuan untuk menghasilkan pemanfaatan
yang berkelanjutan dari ekosistem mangrove yang ada. Tanpa informasi tentang
pertumbuhan, suatu rencana pengelolaan hutan mangrove tidak lebih dari sekedar
petunjuk menghadapi pekerjaan-pekerjaan di lapangan, dan bukan suatu rencana
yang harus dilaksanakan untuk mencapai suatu pengelolaan.
Pertumbuhan yang dilihat adalah laju pemulihan dari ekosistem mangrove
secara alami. Hasil penelitian Khairuddin (2003), di Kabupaten Bengkalis
Provinsi Riau, menunjukkan pertambahan luas rata-rata hutan mangrove pada
periode 1992 - 2000 sebesar 5 % per tahun. Luas ekosistem mangrove yang di
Kecamatan Nipah Panjang saat ini adalah 337 ha dengan penurunan luas 20 %
per tahun. Berdasarkan kedua data di atas, dapat dikatakan bahwa laju degradasi
ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah Panjang lebih besar dari kemampuan
pulihnya. Untuk itu diperlukan suatu bentuk pengelolaan yang memperhatikan
kelestarian agar ekosistem mangrove yang tersisa dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan. Adapun alternatif pengelolaan yang perlu dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Mempertahankan ekosistem mangrove yang ada sekarang (337 ha) dengan
membatasi jumlah pemanfaatan cerucuk dan kayu bakar. Adapun jumlah
cerucuk yang boleh diambil adalah tidak boleh lebih dari 5.341 batang/tahun
dan jumlah kayu bakar yang boleh diambil adalah tidak lebih dari 16.209
batang/tahun (Lampiran 11).
52

2. Untuk mengembalikan kondisi mangrove seperti tahun 1987 (seluas 1447 ha),
maka yang perlu dilakukan adalah melakukan pelarangan pengambilan kayu
dari hutan mangrove, dan dibutuhkan waktu 66 tahun jika dibiarkan tumbuh
secara alami (Lampiran 12).
3. Untuk mengembalikan kondisi mangrove seluas 835 ha (pertengahan antara
337 ha dan 1447 ha), maka yang perlu dilakukan adalah melakukan
pelarangan pengambilan kayu dari hutan mangrove, dan dibutuhkan waktu
29 tahun jika dibiarkan tumbuh secara alami (Lampiran 13).
4. Penanaman kembali atau rehabilitasi kawasan ekosistem mangrove yang telah
rusak seperti di daerah tepi sungai dan daerah yang mengalami abrasi. Adapun
luas mangrove yang harus ditanam adalah 1110 ha.
Dalam pelaksanaanya, kegiatan rehabilitasi atau reboisasi hutan
mangrove ini, hendaknya pemerintah melibatkan unsur masyarakat.
Pendekatan botom-up perlu digalakkan dan bukan sebaliknya. Mengingat
dewasa ini masyarakat adalah sebagai ujung tombak dalam suatu
pembangunan di desa. Tugas pemerintah hanyalah memberikan pengarahan
secara umum dalam pelestarian mangrove.
Bila ditinjau dari luasnya hutan mangrove yang sudah hilang sejak tahun
1989 di ekosistem mangrove Kecamatan Nipah Panjang yaitu 1110 ha,
maka untuk mengembalikan kekondisi tahun 1989 jumlah mangrove yang
perlu ditanam adalah 3.700.000 batang atau 3.333 batang/ha dengan jarak
tanam 3 meter (Lampiran 14). Penanaman dilakukan pada lahan mangrove
yang telah kritis seperti di sepanjang pantai dan penanaman sebaiknya
menggunakan bibit lokal.
53

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kondisi ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah Panjang pada saat ini
mengalami kerusakan sebesar 20 % per tahun dengan luas hutan mangrove
yang tersisa 337 ha.
2. Laju penurunan luas hutan mangrove di Kecamatan Nipah Panjang pada tahun
2007 sebesar 20 % per tahun, lebih besar dari kemampuan penambahan luas
sebesar 5 % per tahun.
3. Tingginya pemanfaatan cerucuk dan kayu bakar merupakan salah satu faktor
penyebab penurunan luas ekosistem mangrove di Kecamatan Nipah Panjang
ini.
4. Pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamtan Nipah Panjang saat ini belum
optimal dan sering terjadinya benturan antara pemangku kepentingan. Untuk
itu diperlukan koordinasi antara lembaga tersebut agar benturan kepentingan
dapat dihindari.
5. Tingginya penurunan luas dan laju pemanfaatan ekosistem mangrove di
Kecamatan Nipah Panjang ini berdampak pada berkurangnya keanekaragaman
fauna yang terdapat di dalam ekosistem ini.

Saran
1. Perlu dilakukan rehabilitasi pada daerah yang mengalami kerusakan yang
sangat berat, dan jenis yang perlu direhabilitasi adalah Avicennia spp. karena
jenis ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai cerucuk. Kegiatan
rehabilitasi ini dapat dilakukan dengan melibatkan aparat pemerintah (Dinas
Kehutanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanjung Jabung
Timur), Lembaga Swadaya Masyarakat, dan masyarakat yang tinggal di sekitar
ekosistem mangrove kecamatan Nipah Panjang tersebut.
2. Perlu adanya pencarian sumber energi dan bahan bangunan alternatif sebagai
pengganti kayu mangrove.
3. Alternatif pengelolaan hutan mangrove yang dapat dilakukan di Kecamatan
Nipah panjang ini adalah sebagai berikut:
54

a) Membatasi pengambilan cerucuk dan kayu bakar. Pengambilan cerucuk


tidak boleh lebih dari 5.341 batang/tahun dan kayu bakar tidak boleh lebih
dari 16.209 batang/tahun.
b) Tanpa upaya rehabilitasi dan tanpa adanya pengambilan kayu dari hutan
mangrove tersebut, maka waktu yang dibutuhkan untuk penambahan luas
hutan mangrove seperti tahun 1987 adalah 66 tahun.
c) Untuk merehabilitasi hutan mangrove sehingga tercapai seperti luas tahun
1989 diperlukan penanaman mangrove 3.700.000 batang atau 3.333
batang/ha.
55

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah A. 1988. Conservation dan management of mangrove ecosystem in


Indonesia. Proceeding of mab/comar mice IV meeting: Asian and facific
regional workshop and international symposium on the conservation and
management of coral reef and mangrove ecosystem. 25 September - 3
October 1987. Volume I. Okinawa. Japan.

Aksornkoae S. 1993. Ecology and management of mangrove. The IUCN wetlands


programme. Bangkok.

Alikodra HS. 1995. Kebijakan pengelolaan hutan mangrove dilihat dari segi
lingkungan hidup. Di dalam: Seminar VI ekosistem mangrove.
Pekanbaru 15-18 September 1998.

Bakosurtanal. 2003. Sumberdaya mangrove Pulau Madura dan Kepulauan


Kangean Jawa Timur. Bakosurtanal. Bogor.

Bapedalda Jambi. 2003. Status lingkungan hidup daerah. Bapedalda. Jambi.

Barus B, Wiradisastra US. 1997. Sistem informasi geografis; Sarana manajemen


sumberdaya. Laboratorium pengindraan jauh dan kartografi. Jurusan
Tanah Fakulatas Kehutanan. IPB. Bogor.

Bengen DG. 1998. Ekosistem dan sumberdaya hutan mangrove. Di dalam:


Pelatihan singkat perlindungan lingkungan mangrove dan tambak.
PKSPL-IPB. Bogor.

_______. 2000. Teknik pengambilan contoh dan analisis data biofisik sumberdaya
pesisir. PKSPL-IPB. Bogor.

_______. 2001. Pedoman teknis, pengenalan dan pengelolaan ekosistem


mangrove. PKSPL-IPB. Bogor.

_______. 2002. Pengembangan konsep daya dukung dalam pengelolaan


lingkungan pulau-pulau kecil (Laporan Akhir). Kantor Meneg LH dan
FPIK IPB. Bogor.

_______. 2004. Sinopsis, ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut serta
prinsip pengelolaannya. PKSPL-IPB. Bogor.

BKSDA Jambi. 2004. Evaluasi cagar alam hutan bakau pantai timur Jambi.
BKSDA. Jambi.

BPS Tanjung Jabung Timur. 2006. Produksi pertanian Tanjung Jabung Timur
2006. BPS Jambi. Jambi.
56

BPS Tanjung Jabung Timur. 2006. Produksi perkebunan Tanjung Jabung Timur
2006 . BPS Jambi. Jambi.

BPS Tanjung Jabung Timur dan DKP Provinsi Jambi. 2006. Produksi perikanan
Tanjung Jabung Timur 2006 . BPS Jambi. Jambi.

Carter J. 1994. Konsep dasar konservasi laut dan relevansinya dengan Sumatera
bagian timur. Modul training (Terjemahan). Kajian lavalin internasional
inc dengan international development program of Australian university
and colages. PT. Husfarm Dian Konsultan.

Chambers MJG, Sobur AS. 1977. Problem in assessing the rates and processes of
coastal change in the province of south Sumatera. Center for natural
resource management and environment studies. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir dan lautan secara terpadu. Cet. III. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Dahuri R 1997. Metode penelitian dan analisis data sosial ekonomi masyarakat
pesisir. Makalah pengelolaan hutan mangrove lestari. PKSPL-IPB,
Bogor.

Dahuri R. 1998. The application of carring capacity concept for susteinable


coastal resources development in Indonesia. Jurnal PKSPL-IPB 1 : 13-
20. Bogor.

Gunarto. 2004. Konservasi mangrove sebagai pendukung sumberhayati perikanan


pantai. Jurnal Litbang Pertanian 1 : 15-21. Sulawesi Selatan.

Gunawan, I. 1998. Tipical geographic information system (GIS) applications for


coastal resources management in Indonesia. Jurnal PKSPL-IPB 1 : 1-12.
Bogor.

Hamzah. 2005. Studi keanekaragaman genetik dan pendugaan derajat perkawinan


silang berdasarkan analisis isozum serta pengujian prevenansi jenis
bakau (Rhizophora mucronata Lamk). [Distertasi]. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hilmi. 1998. Penentuan lebar optimal jalur hijau mangrove melalui pendekatan
sistem: Kasus di Hutan Muara Angke Jakarta. [Tesis]. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hutcings P, Saenger P. 1987. Ecology of mangrove. University of Queensland


Press. Brisbone.

Istomo. 1992. Tinjauan ekologi hutan mangrove dan pemanfaatannya di


Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
57

Kadarusman, Razak AD. 2004. Interkoneksitas pengelolaan mangrove sistem


wanamina berkelanjutan. Akademi Perikanan Sorong. Sekretariat
Jenderal. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.201 tahun 2004. Kriteria baku
dan pedoman penentuan kerusakan mangrove. Deputi MENLH Bidang
Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup. Jakarta.

Khairuddin T. 2003. Telaah dinamika pengelolaan kawasan mangrove di


Bengkalis Provinsi Riau. [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Khazali M. 2001. Potensi, peran dan pengelolaan mangrove. Di dalam: Seminar


dan lokakarya nasional pengelolaan dan pemanfaatan Pulau Nusa
Kambangan sebagai sisa-sisa hutan hujan dataran rendah berupa
ekosistem kepulauan di era otonomi daerah. Yogyakarta.

Kitamura S, Anwar CB, Chaniago A, Baba S. 1997. Handbook of mangrove in


Indonesia, Bali and Lombok. The development of sustainable mangrove
management project. Ministry of Forestry Indonesia and Japan
International Cooperation Agency. Jakarta.

Kusmana C. 1995. Habitat hutan mangrove dan biota. Laboratorium Ekologi


Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

_______. 1995. Metode survey vegetasi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian


Bogor. Bogor.

_______. 2002. Pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan dan berbasis


masyarakat. Di dalam: Lokakarya ekosistem mangrove. Jakarta.

Kusmana C, Sri W, Iwan H, Prijanto P, Cahyo W, Tatang T, Adi T, Yunasfi,


Hamzah. 2005. Teknik rehabilitasi mangrove. Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Liyanage S. 2004. Pilot project: Participatory management of seguwanthive


mangrove habitat in Puttlam District, Sri Lanka. Forest Departement
Sampathpaya, Sri Lanka. The IUCN wetlands programme. Bangkok.

Nikijuluw VPH. 1999. Analisis dan metode pengumpulan data ekonomi untuk
wilayah pesisir. Di dalam: Pelatihan bidang pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu. Angkatan IV. PKSPL IPB dan BAPEDAL. Bogor.

Noor, Rusila Y, Khazali M, Suryadiputra INN. 1999. Panduan pengenalan


mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor.
58

Nurwajedi. 1995. Pengunaan sistem informasi geografis untuk pengelolaan data


base wilayah pesisir. Di dalam: Pelatihan perencanaan dan pengelolaan
wilayah pesisir terpadu, Bogor 3 april 9 september. PPLH-IPB. Bogor.

Nyabakken, James W. 1992. Biologi laut: Suatu pendekatan ekologis. Gramedia


Pustaka Utama. Jakarta.

Macintosh DJ, Ashton EC, Havanon S. 2002. Mangrove rehabilitation and


intertidal biodiversity: A study in Ranong mangrove ecosystem,
Thailand. Estuarine, Coastal and Shelf Science 55 : 331-345. Published
by Elsevier Science Ltd.

Macnae. 1968. A general account of the flora and fauna of mangrove swamp and
forests on the Indo-West Pacific Region. Advances in marine biology 6 :
7 27.

Ruitenbeek P. 1992. Modeling economy-ecology linkages in mangrove:


Economic evidence for promoting conservation in Bintuni Bay,
Indonesia. Ecologocal Economics 10 : 233-247..

Saengar P, Heger EJ, Davie JDS. 1983. Global status of mangrove ecosistem.
IUCN. Bangkok.

Santosa KD. 1999. Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan


cagar alam kelompok hutan mangrove pantai timur Jambi. [Tesis].
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Santoso N. 1998. Pengelolaan hutan mangrove bersama masyarakat lokal;


Prosiding seminar VI ekositem mangrove. Pekanbaru, 1518 September
1998.

Soemodihardjo, Soerianegara. 1989. The status of mangrove forest in Indonesia.


Mangrove management its ecological and economic considerations,
Biotrop Spec. Publ. NO 37 : 73-114 SEAMEO-BIOTROP. Bogor.

Soesilo. 2007. Pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan


Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. [Tesis]. Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Subing HZ. 1994. Pengembangan wilayah pantai terpadu dalam rangka


pembangunan daerah; Prosiding seminar V ekositem mangrove. Jember,
3-6 Agustus 1994.

Sudarmadji. 2001. Rehabilitasi hutan mangrove dengan pendekatan


pemberdayaan masyarakat pesisir. Jurnal Ilmu Dasar 2 : 68-67.
Universitas Jember.

Sugiarto W, Ekayanto. 1996. Penghijauan pantai. Penebar Swadaya. Jakarta.


59

Sumitro. 1993. Aspek sosial ekonomi sumberdaya hutan bakau Indonesia. Di


dalam: Simposium nasional rehabilitasi dan konservasi kawasan
mangrove. INSTIPER. Yogyakarta.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah


tropis. Gramedia. Jakarta.

Tomlinson PB. 1986. The botany of mangrove. CV.Mas Agung. Jakarta.


60

Lampiran 1. Data vegetasi pada setiap jalur pengamatan

Jalur I

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
I 1 Avicennia marina 39,2 12,48 I 1 Avicennia marina 15,5 4,94 I 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 33 10,51 2 Avicennia marina 20,3 6,46 2 Avicennia marina
3 Avicennia marina 50 15,92 3 Avicennia marina 28 8,92 3 Avicennia marina
4 Avicennia marina 58,2 18,54 4 Avicennia marina 27,4 8,73 4 Avicennia marina
5 Sonneratia alba 71,3 22,71 5 Avicennia marina 29,5 9,39 5 Avicennia marina
6 Avicennia marina 17,5 5,57 6 Avicennia marina
7 Avicennia marina 16,7 5,32 7 Avicennia marina
8 Avicennia marina 29 9,24 8 Avicennia marina
9 Avicennia marina 12,3 3,92 9 Avicennia marina
10 Avicennia marina 14,2 4,52 10 Avicennia marina
11 Avicennia marina
12 Avicennia marina
13 Avicennia marina
14 Avicennia marina
15 Avicennia marina

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
II 1 Avicennia marina 40,2 12,80 II 1 Avicennia marina 17,4 5,54 II 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 43 13,69 2 Avicennia marina 15,5 4,94 2 Avicennia marina
3 Avicennia marina 32,3 10,29 3 Avicennia marina 19,2 6,11 3 Avicennia marina
4 Avicennia alba 34,3 10,92 4 Avicennia marina 8 2,55 4 Avicennia marina
5 Avicennia alba 35,8 11,40 5 Avicennia marina 16,1 5,13 5 Avicennia marina
6 Rhizophora apiculata 32 10,19 6 Avicennia marina 14 4,46 6 Avicennia marina
7 Rhizophora apiculata 34,6 11,02 7 Avicennia marina 22 7,01 7 Avicennia marina
8 Avicennia marina 8,4 2,68 8 Avicennia marina
9 Avicennia marina 16,7 5,32

60
61

10 Avicennia alba 18,6 5,92


11 Avicennia alba 20,3 6,46
12 Avicennia alba 26,4 8,41
13 Avicennia marina 24,8 7,90
14 Avicennia marina 19 6,05
15 Avicennia marina 24 7,64

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
III 1 Sonneratia alba 32,4 10,32 III 1 Avicennia marina 20 6,37 III 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 40,2 12,80 2 Avicennia marina 19,4 6,18 2 Avicennia marina
3 Avicennia marina 46,4 14,78 3 Avicennia marina 18,3 5,83 3 Avicennia marina
4 Sonneratia alba 54,3 17,29 4 Avicennia marina 26 8,28 4 Avicennia marina
5 Avicennia marina 27,4 8,73 5 Avicennia marina
6 Avicennia alba 17,2 5,48 6 Avicennia marina
7 Avicennia alba 15 4,78 7 Avicennia marina
8 Avicennia alba 19,2 6,11 8 Avicennia marina
9 Avicennia marina 20,6 6,56 9 Avicennia marina
10 Avicennia marina 11,4 3,63 10 Avicennia marina
11 Avicennia marina 21,3 6,78 11 Avicennia marina
12 Avicennia marina 22,6 7,20 12 Avicennia alba
13 Avicennia alba
14 Avicennia alba
15 Avicennia alba
16 Avicennia alba
17 Avicennia alba
18 Avicennia alba

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Keliling Diameter Kategori Pancang (plot 5x5cm) Keliling Diameter Kategori Semai (plot 2x2cm)
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
IV IV 1 Avicennia marina 20,6 6,56 IV
2 Avicennia marina 13,2 4,20
3 Avicennia marina 15,1 4,81

61
62

4 Avicennia marina 14,6 4,65


5 Avicennia marina 26,3 8,38
6 Avicennia marina 11 3,50

Jalur II

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
I 1 Avicennia marina 40,4 12,87 I 1 Avicennia marina 18,3 5,83 I
2 Avicennia marina 32 10,19 2 Avicennia marina 17,6 5,61
3 Avicennia marina 48 15,29 3 Avicennia marina 15,4 4,90
4 Avicennia alba 61,4 19,55 4 Avicennia alba 12,4 3,95
5 Avicennia marina 72,3 23,03 5 Sonneratia alba 14,3 4,55
6 Avicennia marina 32 10,19

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
II 1 Avicennia marina 32 10,19 II 1 Avicennia marina 20,4 6,50 II 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 33 10,51 2 Avicennia marina 17,4 5,54 2 Avicennia marina
3 Avicennia marina 31,4 10,00 3 Avicennia marina 11,2 3,57 3 Avicennia marina
4 Avicennia marina 8 2,55 4 Avicennia marina
5 Avicennia marina 10,6 3,38 5 Avicennia marina
6 Avicennia marina 26,3 8,38 6 Avicennia marina
7 Avicennia alba 27 8,60 7 Avicennia marina
8 Avicennia alba 28,2 8,98 8 Avicennia marina
9 Avicennia marina 11,6 3,69 9 Avicennia marina
10 Avicennia marina 17,4 5,54 10 Avicennia marina
11 Avicennia marina 19,3 6,15 11 Avicennia marina
12 Avicennia marina 20,4 6,50 12 Avicennia marina
13 Avicennia alba 15,2 4,84 13 Avicennia marina
14 Avicennia marina 15,2 4,84 14 Avicennia marina
15 Avicennia marina 15,4 4,90 15 Avicennia marina
16 Avicennia marina 17,2 5,48 16 Avicennia marina

62
63

17 Avicennia marina 16,6 5,29


18 Avicennia marina 18,9 6,02
19 Avicennia marina 20,1 6,40
20 Avicennia alba 26,4 8,41
21 Avicennia alba 17,3 5,51
22 Avicennia alba 12,2 3,89
23 Avicennia marina 19 6,05
24 Rhizophora apiculata 10,6 3,38

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
III 1 Avicennia marina 56 17,83 III 1 Avicennia marina 16,2 5,16 III 1 Avicennia marina
2 Avicennia alba 34 10,83 2 Avicennia marina 6,5 2,07 2 Avicennia marina
3 Avicennia alba 36,2 11,53 3 Avicennia marina 6,4 2,04 3 Avicennia marina
4 Rhizophora apiculata 33,7 10,73 4 Avicennia marina 15,8 5,03 4 Avicennia marina
5 Avicennia marina 10,3 3,28 5 Avicennia marina
6 Avicennia marina 9 2,87 6 Avicennia marina
7 Avicennia marina 9,2 2,93 7 Avicennia marina
8 Avicennia marina 12 3,82 8 Avicennia marina
9 Avicennia marina 12,4 3,95 9 Avicennia marina
10 Avicennia marina 17 5,41 10 Avicennia marina
11 Avicennia marina 8,4 2,68 11 Avicennia marina
12 Avicennia marina 9 2,87 12 Avicennia marina
13 Rhizophora apiculata 26,3 8,38 13 Avicennia marina
14 Rhizophora apiculata 10,3 3,28 14 Avicennia marina

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
IV 1 Avicennia marina 46 14,65 IV 1 Avicennia marina 9,6 3,06 IV 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 71,4 22,74 2 Avicennia marina 9,4 2,99 2 Avicennia marina
3 Avicennia marina 59,4 18,92 3 Avicennia marina 18,1 5,76 3 Avicennia marina
4 Avicennia marina 8,6 2,74 4 Avicennia marina
5 Avicennia marina 11,4 3,63 5 Avicennia marina

63
64

6 Avicennia marina 21,3 6,78 6 Avicennia marina


7 Avicennia marina 18,4 5,86 7 Avicennia marina
8 Avicennia marina 17,6 5,61 8 Avicennia marina
9 Avicennia marina 12,2 3,89 9 Avicennia marina
10 Avicennia marina 11 3,50 10 Avicennia marina
11 Avicennia marina 14,3 4,55 11 Avicennia marina
12 Avicennia marina 14,7 4,68 12 Avicennia marina
13 Avicennia marina 18 5,73
14 Avicennia marina 19,2 6,11
15 Avicennia marina 22 7,01

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
V V 1 Avicennia marina 21,3 6,78 V 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 20 6,37 2 Avicennia marina
3 Avicennia marina 18 5,73 3 Avicennia marina
4 Avicennia marina 10,8 3,44 4 Avicennia marina
5 Avicennia marina 15,4 4,90 5 Avicennia marina
6 Avicennia marina 21,3 6,78 6 Avicennia marina
7 Avicennia marina 18,1 5,76 7 Avicennia marina
8 Avicennia marina 7,6 2,42 8 Avicennia marina
9 Avicennia marina 9,4 2,99 9 Avicennia marina
10 Avicennia marina 8 2,55 10 Avicennia marina
11 Avicennia marina 7,4 2,36 11 Avicennia marina
12 Avicennia marina 7 2,23 12 Avicennia marina
13 Avicennia marina 14 4,46 13 Avicennia marina
14 Avicennia marina 21,3 6,78 14 Avicennia marina
15 Rhizophora apiculata 14 4,46 15 Avicennia marina
16 Rhizophora apiculata 20,2 6,43 16 Avicennia marina
17 Avicennia marina 17,2 5,48 17 Avicennia marina
18 Avicennia marina 9 2,87 18 Avicennia marina
19 Rhizophora apiculata 18 5,73 19 Avicennia marina
20 Avicennia marina
21 Avicennia marina

64
65

22 Avicennia marina
23 Avicennia marina
24 Avicennia marina
25 Avicennia marina
26 Avicennia marina
27 Avicennia marina
28 Avicennia marina
29 Avicennia marina
30 Avicennia marina
31 Avicennia marina
32 Avicennia marina
33 Avicennia marina
34 Avicennia marina
35 Avicennia marina
36 Avicennia marina
37 Avicennia marina
38 Avicennia marina
39 Avicennia marina
40 Avicennia marina
41 Avicennia marina
42 Avicennia marina
43 Avicennia marina

Jalur III

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
I I 1 Avicennia marina 22,4 7,13 I
2 Avicennia alba 26,3 8,38
3 Avicennia marina 28,2 8,98

65
66

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Keliling Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
II 1 Avicennia marina 52 16,56 II 1 Avicennia alba 29,2 9,30 II 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 60,4 19,24 2 Avicennia marina 18,3 5,83 2 Avicennia marina
3 Avicennia marina 57,2 18,22 3 Avicennia alba 24,6 7,83 3 Avicennia marina
4 Avicennia marina 17,4 5,54 4 Avicennia marina
5 Avicennia marina 16,8 5,35 5 Avicennia marina
6 Avicennia alba 15 4,78 6 Avicennia marina
7 Avicennia alba 16,7 5,32 7 Avicennia marina
8 Avicennia marina 9,5 3,03 8 Avicennia marina
9 Avicennia marina 7,4 2,36 9 Avicennia marina
10 Avicennia marina 18 5,73 10 Avicennia marina
11 Avicennia marina 12 3,82 11 Avicennia marina
12 Avicennia marina 11,4 3,63 12 Avicennia marina
13 Avicennia marina 13,2 4,20 13 Avicennia marina
14 Avicennia alba 13,7 4,36 14 Avicennia marina
15 Avicennia marina 21,3 6,78 15 Avicennia marina
16 Avicennia marina 11,4 3,63 16 Avicennia marina
17 Avicennia marina 19 6,05 17 Avicennia marina
18 Avicennia marina 24,2 7,71

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
III 1 Avicennia marina 32 10,19 III 1 Sonneratia alba 26,4 8,41 III 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 32,4 10,32 2 Avicennia alba 17 5,41 2 Avicennia marina
3 Avicennia alba 31,7 10,10 3 Avicennia marina 11 3,50 3 Avicennia marina
4 Avicennia alba 40,2 12,80 4 Avicennia marina 23,4 7,45 4 Avicennia marina
5 Rhizophora apiculata 23 7,32 5 Avicennia marina
6 Rhizophora apiculata 11,2 3,57 6 Avicennia alba
7 Avicennia marina 7,6 2,42 7 Avicennia alba
8 Avicennia marina 9,2 2,93 8 Avicennia alba
9 Avicennia marina 8,9 2,83 9 Avicennia marina
10 Avicennia marina 9,4 2,99
11 Avicennia marina 21,2 6,75
12 Avicennia marina 24 7,64

66
67

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
IV IV 1 Avicennia marina 17 5,41 IV 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 9,6 3,06 2 Avicennia marina
3 Avicennia marina 16 5,10 3 Avicennia marina
4 Avicennia marina 14,3 4,55 4 Avicennia marina
5 Avicennia marina 10,8 3,44 5 Avicennia marina
6 Avicennia marina 14,6 4,65 6 Avicennia marina
7 Avicennia marina 6,7 2,13 7 Avicennia marina
8 Avicennia marina 6,5 2,07 8 Avicennia marina
9 Avicennia marina 6,4 2,04

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
V 1 Avicennia marina 36,6 11,66 V 1 Avicennia marina 7,6 2,42 V 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 32,9 10,48 2 Avicennia marina 6,3 2,01 2 Avicennia marina
3 Avicennia marina 37,8 12,04 3 Avicennia marina 7,2 2,29 3 Avicennia marina
4 Avicennia marina 50,4 16,05 4 Avicennia marina 19,2 6,11
5 Avicennia marina 41,2 13,12 5 Avicennia marina 14,6 4,65
6 Avicennia marina 35,6 11,34 6 Sonneratia alba 10,4 3,31
7 Avicennia marina 56 17,83
8 Avicennia marina 64,2 20,45
9 Avicennia marina 41,4 13,18
10 Avicennia marina 32,3 10,29
11 Avicennia marina 39 12,42

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
VI 1 Avicennia marina 71,2 22,68 VI 1 Avicennia marina 13 4,14 VI 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 70,5 22,45 2 Avicennia marina 6,7 2,13 2 Avicennia marina
3 Avicennia marina 15 4,78 3 Avicennia marina

67
68

4 Avicennia marina 7,6 2,42 4 Avicennia marina


5 Avicennia marina 9,8 3,12 5 Avicennia marina
6 Avicennia marina 14,3 4,55 6 Avicennia marina
7 Avicennia marina 21,4 6,82 7 Avicennia marina
8 Avicennia marina 15,2 4,84 8 Avicennia marina
9 Avicennia marina 13,6 4,33 9 Avicennia marina
10 Avicennia marina 12,2 3,89 10 Avicennia marina
11 Avicennia marina 11 3,50 11 Avicennia marina
12 Avicennia marina 17,4 5,54 12 Avicennia marina
13 Avicennia marina 12 3,82 13 Avicennia marina
14 Avicennia marina 10,5 3,34
15 Rhizophora apiculata 14,7 4,68
16 Rhizophora apiculata 9,4 2,99
17 Avicennia marina 18,3 5,83
18 Avicennia marina 9,4 2,99
19 Avicennia marina 10,3 3,28
20 Avicennia marina 11,2 3,57

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
VII VII 1 Avicennia marina 20,2 6,43 VII
2 Avicennia marina 18,6 5,92
3 Avicennia marina 17,5 5,57
4 Avicennia marina 12,3 3,92

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
VIII 1 Avicennia alba 40 12,74 VIII 1 Avicennia marina 11,6 3,69 VIII 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 34,1 10,86 2 Avicennia marina 20,2 6,43 2 Avicennia marina
3 Avicennia marina 14,3 4,55 3 Avicennia marina
4 Avicennia marina 18,4 5,86 4 Avicennia marina
5 Avicennia marina 19,2 6,11 5 Avicennia marina
6 Avicennia marina 21,2 6,75 6 Avicennia marina

68
69

7 Avicennia marina 11,4 3,63 7 Avicennia marina


8 Avicennia marina 12,7 4,04 8 Avicennia marina
9 Avicennia marina
10 Avicennia marina
11 Avicennia marina
12 Avicennia marina
13 Avicennia marina
14 Avicennia marina
15 Avicennia marina
16 Avicennia marina
17 Avicennia marina
18 Avicennia marina
19 Avicennia marina
20 Avicennia marina
21 Avicennia marina
22 Avicennia marina
23 Avicennia marina
24 Avicennia marina
25 Avicennia marina
26 Avicennia marina
27 Avicennia marina
28 Avicennia marina
29 Avicennia marina
30 Avicennia marina
31 Avicennia marina

69
70

Jalur IV

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
I 1 Sonneratia caseolaris 52,3 16,66 I 1 Sonneratia caseolaris 21,1 6,72 I
2 Sonneratia caseolaris 72,4 23,06 2 Sonneratia caseolaris 29 9,24
3 Sonneratia caseolaris 11,2 3,57
4 Sonneratia caseolaris 18,3 5,83
5 Sonneratia caseolaris 15,2 4,84
6 Sonneratia caseolaris 15,6 4,97
7 Sonneratia caseolaris 15,4 4,90
8 Sonneratia caseolaris 7,6 2,42
9 Sonneratia caseolaris 10,2 3,25
10 Sonneratia caseolaris 11,6 3,69
11 Sonneratia caseolaris 8,2 2,61

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
II 1 Sonneratia caseolaris 70,6 22,48 II 1 Sonneratia caseolaris 20,3 6,46 II 1 Sonneratia caseolaris
2 Sonneratia caseolaris 38,2 12,17 2 Sonneratia caseolaris 8,2 2,61 2 Sonneratia caseolaris
3 Sonneratia caseolaris 19,4 6,18 3 Sonneratia caseolaris
4 Sonneratia caseolaris 17,6 5,61 4 Sonneratia caseolaris
5 Sonneratia caseolaris 6,4 2,04 5 Sonneratia caseolaris
6 Bruguiera gymnorhiza 11,2 3,57 6 Sonneratia caseolaris
7 Bruguiera gymnorhiza 10,2 3,25 7 Sonneratia caseolaris
8 Bruguiera gymnorhiza 8,3 2,64 8 Sonneratia caseolaris
9 Sonneratia caseolaris 19,4 6,18 9 Sonneratia caseolaris
10 Sonneratia caseolaris 12,2 3,89 10 Sonneratia caseolaris
11 Sonneratia caseolaris 17,3 5,51 11 Sonneratia caseolaris
12 Sonneratia caseolaris 16,7 5,32 12 Sonneratia caseolaris
13 Sonneratia caseolaris 8,9 2,83 13 Sonneratia caseolaris
14 Sonneratia caseolaris 11,6 3,69 14 Sonneratia caseolaris
15 Sonneratia caseolaris 17,7 5,64
16 Sonneratia caseolaris 18,1 5,76

70
71

17 Sonneratia caseolaris 17,7 5,64


18 Sonneratia caseolaris 10,2 3,25

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Diameter Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
III 1 Sonneratia caseolaris 90,4 28,79 III 1 Sonneratia caseolaris 16,4 5,22 III 1 Sonneratia caseolaris
2 Sonneratia caseolaris 50,3 16,02 2 Sonneratia caseolaris 10,2 3,25 2 Sonneratia caseolaris
3 Sonneratia caseolaris 30,8 9,81 3 Sonneratia caseolaris 10,6 3,38 3 Sonneratia caseolaris
4 Sonneratia caseolaris 48,2 15,35 4 Sonneratia caseolaris
5 Sonneratia caseolaris 36 11,46 5 Sonneratia caseolaris
6 Sonneratia caseolaris 36,2 11,53 6 Sonneratia caseolaris
7 Sonneratia caseolaris 47 14,97
8 Sonneratia caseolaris 49,4 15,73

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
IV 1 Sonneratia caseolaris 44 14,01 IV 1 Sonneratia caseolaris 19 6,05 IV 1 Sonneratia caseolaris
2 Bruguiera gymnorhiza 42,2 13,44 2 Sonneratia caseolaris 7,6 2,42 2 Sonneratia caseolaris
3 Sonneratia caseolaris 9,2 2,93 3 Sonneratia caseolaris
4 Sonneratia caseolaris 6,4 2,04 4 Sonneratia caseolaris
5 Sonneratia caseolaris 8,4 2,68 5 Sonneratia caseolaris
6 Bruguiera gymnorhiza 9,6 3,06 6 Sonneratia caseolaris
7 Sonneratia caseolaris 20,3 6,46 7 Sonneratia caseolaris
8 Sonneratia caseolaris 24,7 7,87

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
V 1 Sonneratia caseolaris 41 13,06 V 1 Sonneratia caseolaris 18,6 5,92 V 1 Sonneratia caseolaris
2 Sonneratia caseolaris 45,2 14,39 2 Sonneratia caseolaris 20,3 6,46 2 Sonneratia caseolaris
3 Sonneratia caseolaris 36,3 11,56 3 Sonneratia caseolaris 24 7,64 3 Sonneratia caseolaris
4 Sonneratia caseolaris 71,2 22,68 4 Sonneratia caseolaris 19,4 6,18 4 Sonneratia caseolaris
5 Sonneratia caseolaris 80,6 25,67 5 Sonneratia caseolaris 26,3 8,38 5 Sonneratia caseolaris

71
72

6 Sonneratia caseolaris 90,3 28,76 6 Sonneratia caseolaris 17,4 5,54 6 Sonneratia caseolaris
7 Sonneratia caseolaris 44,3 14,11 7 Sonneratia caseolaris 9,3 2,96 7 Sonneratia caseolaris
8 Sonneratia caseolaris 10,6 3,38 8 Sonneratia caseolaris
9 Sonneratia caseolaris 6,4 2,04 9 Sonneratia caseolaris
10 Sonneratia caseolaris 9,6 3,06 10 Sonneratia caseolaris
11 Sonneratia caseolaris 12,3 3,92 11 Sonneratia caseolaris
12 Sonneratia caseolaris 13 4,14

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
VI 1 Sonneratia caseolaris 36,4 11,59 VI 1 Sonneratia caseolaris 21 6,69 VI
2 Sonneratia caseolaris 9,4 2,99
3 Sonneratia caseolaris 19,4 6,18

Jalur V

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
I 1 Sonneratia caseolaris 70,4 22,42 I 1 Sonneratia caseolaris 18,8 5,99 I
2 Sonneratia caseolaris 51,2 16,31 2 Sonneratia caseolaris 17,6 5,61
3 Sonneratia caseolaris 56,3 17,93 3 Sonneratia caseolaris 26,4 8,41
4 Bruguiera gymnorhiza 24,2 7,71
5 Bruguiera gymnorhiza 26,3 8,38
6 Sonneratia caseolaris 26,2 8,34
7 Sonneratia caseolaris 19,5 6,21

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
II 1 Sonneratia caseolaris 34,2 10,89 II 1 Sonneratia caseolaris 21,3 6,78 II 1 Sonneratia caseolaris
2 Sonneratia caseolaris 36,2 11,53 2 Sonneratia caseolaris 21,4 6,82 2 Sonneratia caseolaris
3 Sonneratia caseolaris 56 17,83 3 Sonneratia caseolaris 29,3 9,33 3 Sonneratia caseolaris

72
73

4 Sonneratia caseolaris 58,3 18,57 4 Sonneratia caseolaris 10,2 3,25 4 Sonneratia caseolaris
5 Sonneratia caseolaris 77 24,52 5 Sonneratia caseolaris 11,4 3,63 5 Sonneratia caseolaris
6 Bruguiera gymnorhiza 36,7 11,69 6 Bruguiera gymnorhiza 20,4 6,50 6 Sonneratia caseolaris
7 Bruguiera gymnorhiza 19,2 6,11 7 Sonneratia caseolaris
8 Bruguiera gymnorhiza 10,2 3,25 8 Sonneratia caseolaris
9 Bruguiera gymnorhiza 11,5 3,66 9 Sonneratia caseolaris
10 Bruguiera gymnorhiza 8,1 2,58 10 Sonneratia caseolaris
11 Sonneratia caseolaris 28 8,92 11 Sonneratia caseolaris
12 Sonneratia caseolaris 17,9 5,70

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
III III 1 Sonneratia caseolaris 18,2 5,80 III
2 Sonneratia caseolaris 17,4 5,54
3 Sonneratia caseolaris 11,2 3,57
4 Sonneratia caseolaris 12,6 4,01
5 Sonneratia caseolaris 15,3 4,87
6 Sonneratia caseolaris 25,7 8,18
7 Sonneratia caseolaris 15,5 4,94
8 Sonneratia caseolaris 13,3 4,24

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
IV 1 Sonneratia caseolaris 60,4 19,24 IV 1 Sonneratia caseolaris 13,6 4,33 IV 1 Sonneratia caseolaris
2 Sonneratia caseolaris 13,8 4,39 2 Sonneratia caseolaris
3 Sonneratia caseolaris 16,9 5,38 3 Sonneratia caseolaris
4 Sonneratia caseolaris 7,2 2,29 4 Sonneratia caseolaris
5 Sonneratia caseolaris 11,4 3,63 5 Sonneratia caseolaris
6 Sonneratia caseolaris 18,2 5,80 6 Sonneratia caseolaris
7 Sonneratia caseolaris 19,2 6,11 7 Sonneratia caseolaris
8 Sonneratia caseolaris 28 8,92 8 Sonneratia caseolaris
9 Sonneratia caseolaris 22,4 7,13 9 Sonneratia caseolaris
10 Sonneratia caseolaris 21,3 6,78 10 Sonneratia caseolaris

73
74

11 Sonneratia caseolaris
12 Sonneratia caseolaris
13 Sonneratia caseolaris
14 Sonneratia caseolaris
15 Sonneratia caseolaris
16 Sonneratia caseolaris
17 Sonneratia caseolaris
18 Sonneratia caseolaris
19 Sonneratia caseolaris
20 Sonneratia caseolaris
21 Sonneratia caseolaris
22 Sonneratia caseolaris

Jalur VI

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
I 1 Avicennia marina 46,4 14,78 I 1 Avicennia marina 10,4 3,31 I
2 Avicennia alba 33,8 10,76 2 Avicennia marina 10,6 3,38
3 Avicennia marina 33,9 10,80 3 Avicennia marina 11 3,50
4 Avicennia marina 42,6 13,57
5 Avicennia alba 32,2 10,25

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
II 1 Avicennia marina 32 10,19 II 1 Avicennia alba 26,3 8,38 II 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 36,7 11,69 2 Avicennia alba 18,2 5,80 2 Avicennia marina
3 Avicennia alba 11,4 3,63 3 Avicennia marina
4 Avicennia alba 15,2 4,84 4 Avicennia marina
5 Avicennia marina 11,2 3,57 5 Avicennia marina
6 Avicennia alba 17,2 5,48
7 Avicennia marina 12,3 3,92

74
75

8 Avicennia marina 19,1 6,08


9 Avicennia marina 22 7,01
10 Avicennia marina 23,4 7,45
11 Avicennia marina 19,4 6,18

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
III 1 Avicennia alba 34 10,83 III 1 Avicennia marina 11,4 3,63 III 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 33,8 10,76 2 Avicennia marina 10,3 3,28 2 Avicennia marina
3 Avicennia alba 33,6 10,70 3 Avicennia marina 6,4 2,04 3 Avicennia marina
4 Avicennia marina 62 19,75 4 Avicennia marina 7,8 2,48 4 Avicennia marina
5 Avicennia marina 41,6 13,25 5 Avicennia marina 9,4 2,99 5 Avicennia marina
6 Avicennia marina 34,3 10,92 6 Avicennia marina 21,2 6,75 6 Avicennia marina
7 Avicennia marina 36,4 11,59 7 Avicennia alba 11,2 3,57 7 Avicennia marina
8 Avicennia marina 53,2 16,94 8 Avicennia alba 11,6 3,69 8 Avicennia marina
9 Avicennia alba 21,4 6,82
10 Avicennia alba 27,2 8,66

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
IV 1 Avicennia marina 41 13,06 IV 1 Avicennia alba 17,4 5,54 IV 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 34,3 10,92 2 Avicennia alba 19,9 6,34 2 Avicennia marina
3 Avicennia marina 36,4 11,59 3 Avicennia marina 12,4 3,95 3 Avicennia marina
4 Avicennia marina 15,3 4,87 4 Avicennia marina
5 Avicennia marina 15 4,78 5 Avicennia marina
6 Avicennia marina 17 5,41 6 Avicennia marina
7 Avicennia marina 21 6,69

75
76

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Keliling Diameter Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
V 1 Avicennia marina 56,2 17,90 V 1 Avicennia marina 6,3 2,01 V
2 Avicennia marina 9,4 2,99
3 Avicennia marina 11,2 3,57
4 Avicennia marina 18,6 5,92

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
VI 1 Avicennia marina 30,2 9,62 VI 1 Avicennia marina 17,2 5,48 VI 1 Avicennia marina
2 Avicennia alba 31,7 10,10 2 Avicennia marina 21,2 6,75 2 Avicennia marina
3 Avicennia marina 10,2 3,25 3 Avicennia marina
4 Avicennia marina 19,4 6,18 4 Avicennia marina
5 Avicennia marina 12,5 3,98 5 Avicennia marina
6 Avicennia marina
7 Avicennia marina
8 Avicennia marina
9 Avicennia marina
10 Avicennia marina
11 Avicennia marina
12 Avicennia marina
13 Avicennia marina
14 Avicennia marina
15 Avicennia marina
16 Avicennia marina
17 Avicennia marina
18 Avicennia marina
19 Avicennia marina
20 Avicennia marina
21 Avicennia marina
22 Avicennia marina
23 Avicennia marina
24 Avicennia marina
25 Avicennia marina

76
77

26 Avicennia marina
27 Avicennia marina
28 Avicennia marina
29 Avicennia marina
30 Avicennia marina
31 Avicennia marina
32 Avicennia marina
33 Avicennia marina
34 Avicennia marina
35 Avicennia marina

Jalur VII

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
I 1 Avicennia marina 35,2 11,21 I 1 Avicennia marina 12,7 4,04 I
2 Avicennia marina 19,2 6,11

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
II 1 Avicennia marina 40,6 12,93 II 1 Avicennia marina 11,4 3,63 II 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 51,2 16,31 2 Avicennia marina 9,6 3,06 2 Avicennia marina
3 Avicennia marina 14,9 4,75 3 Avicennia marina
4 Avicennia marina 18,2 5,80 4 Avicennia marina
5 Avicennia marina 19 6,05 5 Avicennia marina
6 Avicennia marina 15,3 4,87 6 Avicennia marina
7 Avicennia marina
8 Avicennia marina
9 Avicennia marina
10 Avicennia marina
11 Avicennia marina
12 Avicennia marina
13 Avicennia marina

77
78

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
III 1 Avicennia marina 32,6 10,38 III 1 Avicennia marina 7 2,23 III 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 41,2 13,12 2 Avicennia marina 10,7 3,41 2 Avicennia marina
3 Avicennia marina 33,3 10,61 3 Avicennia marina 8 2,55 3 Avicennia marina
4 Avicennia marina 7,2 2,29 4 Avicennia marina
5 Avicennia marina 9,4 2,99 5 Avicennia marina
6 Avicennia marina 8,6 2,74 6 Avicennia marina
7 Avicennia marina 9,3 2,96 7 Avicennia marina
8 Avicennia marina 6,3 2,01 8 Avicennia marina
9 Avicennia marina 6,4 2,04 9 Avicennia marina
10 Avicennia marina 8,9 2,83 10 Avicennia marina
11 Avicennia marina 6,3 2,01 11 Avicennia marina
12 Avicennia marina 24,3 7,74
13 Avicennia marina 10,3 3,28
14 Avicennia marina 19,6 6,24

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
IV 1 Avicennia marina 38,7 12,32 IV 1 Avicennia marina 18,4 5,86 IV
2 Avicennia marina 41,4 13,18 2 Avicennia marina 11 3,50
3 Rhizophora apiculata 38,2 12,17 3 Avicennia marina 9,8 3,12
4 Avicennia marina 7,6 2,42
5 Avicennia marina 12,3 3,92
6 Avicennia marina 8,3 2,64
7 Avicennia marina 15,7 5,00

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
V 1 Avicennia marina 40 12,74 V 1 Avicennia marina 10,7 3,41 V
2 Avicennia marina 58 18,47 2 Avicennia marina 13,6 4,33
3 Avicennia marina 51,2 16,31 3 Avicennia marina 21,4 6,82

78
79

4 Avicennia marina 42,2 13,44 4 Avicennia marina 24 7,64


5 Avicennia marina 32 10,19 5 Avicennia marina 27 8,60
6 Avicennia marina 36,7 11,69 6 Avicennia marina 10,2 3,25
7 Avicennia marina 61,4 19,55 7 Avicennia marina 8,3 2,64
8 Avicennia marina 70,2 22,36
9 Avicennia marina 39 12,42

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
VI 1 Avicennia marina 61,2 19,49 VI 1 Avicennia marina 6,7 2,13 VI 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 34 10,83 2 Avicennia marina 6,8 2,17 2 Avicennia marina
3 Avicennia alba 6,3 2,01 3 Avicennia marina
4 Avicennia alba 7,6 2,42 4 Avicennia marina
5 Avicennia alba 11 3,50 5 Avicennia marina
6 Avicennia marina 12 3,82 6 Avicennia marina
7 Avicennia marina 14,6 4,65 7 Avicennia marina
8 Avicennia marina 14,1 4,49 8 Avicennia marina
9 Avicennia marina 17 5,41 9 Avicennia marina
10 Avicennia marina 21 6,69 10 Avicennia marina
11 Avicennia marina 10 3,18 11 Avicennia marina
12 Avicennia marina 9 2,87 12 Avicennia marina
13 Avicennia marina 8,7 2,77 13 Avicennia marina
14 Avicennia alba 21 6,69 14 Avicennia marina
15 Avicennia marina 7 2,23 15 Avicennia marina
16 Avicennia marina 10,3 3,28 16 Avicennia marina
17 Avicennia marina
18 Avicennia marina
19 Avicennia marina
20 Avicennia marina
21 Avicennia marina
22 Avicennia marina
23 Avicennia marina
24 Avicennia marina
25 Avicennia marina

79
80

Kategori Pohon (plot 10x10cm) Kategori Pancang (plot 5x5cm) Kategori Semai (plot 2x2cm)
Keliling Diameter Keliling Diameter
Plot No Jenis Plot No Jenis Plot No Jenis
VII VII 1 Avicennia marina 7,4 2,36 VII 1 Avicennia marina
2 Avicennia marina 10,6 3,38 2 Avicennia marina
3 Avicennia marina 6,7 2,13 3 Avicennia marina
4 Avicennia marina
5 Avicennia marina
6 Avicennia marina
7 Avicennia marina
8 Avicennia marina
9 Avicennia marina
10 Avicennia marina
11 Avicennia marina
12 Avicennia marina
13 Avicennia marina
14 Avicennia marina
15 Avicennia marina
16 Avicennia marina
17 Avicennia marina
18 Avicennia marina
19 Avicennia marina
20 Avicennia marina
21 Avicennia marina
22 Avicennia marina
23 Avicennia marina
24 Avicennia marina

80
81

Lampiran 2. Perhitungan kerapatan dan kerapatan relatif

Kerapatan dan kerapatan relatif tingkat pohon


No Jenis ni A (ha) Di RD (%)
1 Avicennia alba 13 0,4 32,50 10,24
2 Avicennia marina 75 0,4 187,50 59,06
3 Bruguiera gymnorhiza 2 0,4 5,0 1,57
4 Rhizophora apiculata 4 0,4 10,0 3,15
5 Sonneratia alba 3 0,4 7,50 2,36
6 Sonneratia caseolaris 30 0,4 75,00 23,62
Jumlah 317,50 100,00

Kerapatan dan kerapatan relatif tingkat pancang


No Jenis ni A (ha) Di RD (%)
1 Avicennia alba 33 0,4 82,50 8,57
2 Avicennia marina 247 0,4 617,50 64,16
3 Bruguiera gymnorhiza 11 0,4 27,50 2,86
4 Rhizophora apiculata 10 0,4 25,00 2,60
5 Sonneratia alba 3 0,4 7,5 0,78
6 Sonneratia caseolaris 81 0,4 202,50 21,03
Jumlah 962,50 100,00

Kerapatan dan kerapatan relatif tingkat semai


No Jenis ni A (ha) Di RD (%)
1 Avicennia alba 10 0,4 25 7,58
2 Avicennia marina 104 0,4 260 78,79
3 Sonneratia caseolaris 18 0,4 45 13,63
Jumlah 330 100,00

Keterangan:
ni = Jumlah total individu dari jenis-i (batang)
A = Luas total pengambilan contoh (hektar)
D = Kerapatan jenis (batang/hektar)
Di = Kerapatan jenis ke-i (batang/hektar)
RD = Kerapatan relatif jenis (%)

Untuk menghitung kerapatan (D) digunakan rumus:


n
D= i
A
Untuk Menghitung kerapatan relatif digunakan rumus:
D
RD = i x 100%
n

82

Lampiran 3. Perhitungan frekuensi dan frekuensi relatif

Frekuensi dan frekuensi relatif tingkat pohon


No Jenis pi p F RF (%)
1 Avicennia alba 8 40 0,20 16,67
2 Avicennia marina 24 40 0,60 50,00
3 Bruguiera gymnorhiza 2 40 0,05 4,17
4 Rhizophora apiculata 3 40 0,08 6,25
5 Sonneratia alba 2 40 0,05 4,17
6 Sonneratia caseolaris 9 40 0,23 18,75
Jumlah 48 1,20 100,00

Frekuensi dan frekuensi relatif tingkat pancang

No Jenis pi p F RF (%)
1 Avicennia alba 11 40 0,28 17,46
2 Avicennia marina 30 40 0,75 47,62
3 Bruguiera gymnorhiza 4 40 0,10 6,35
4 Rhizophora apiculata 5 40 0,13 7,94
5 Sonneratia alba 3 40 0,08 4,76
6 Sonneratia caseolaris 10 40 0,25 15,87
Jumlah 63 1,58 100,00

Frekuensi dan frekuensi relatif tingkat semai

No Jenis pi p F RF (%)
1 Avicennia alba 2 40 0,05 6,90
2 Avicennia marina 21 40 0,53 72,41
3 Sonneratia caseolaris 6 40 0,15 20,69
Jumlah 29 0,73 100,00

Keterangan:
pi = Jumlah plot contoh dimana ditemukan jenis-i
p = Jumlah semua plot contoh yang diamati
F = Frekuensi jenis
RF = Frekuensi relatif jenis ke-i (%)

Untuk Menghitung frekuensi digunakan rumus:


p
F= i
p

Untuk Menghitung frekuensi relatif digunakan rumus:


F
RF = i x 100%
F

83

Lampiran 4. Perhitungan penutupan dan penutupan relatif

Penutupan dan penutupan relatif tingkat pohon

No Jenis BA A C RC (%)
1 Avicennia alba 1472.69 4 x 10 -7 0.0000368 6.43
2 Avicennia marina 12453.71 4 x 10 -7 0.0003113 54.42
3 Bruguiera gymnorhiza 249.02 4 x 10 -7 0.0000062 1.09
4 Rhizophora apiculata 383.45 4 x 10 -7 0.0000096 1.67
5 Sonneratia alba 713.08 4 x 10 -7 0.0000178 3.11
6 Sonneratia caseolaris 7613.57 4 x 10 -7 0.0001903 33.27
Jumlah 0.0005721 100.00

BA tingkat pohon diperoleh berdasarkan perhitungan pada tabel di bawah


ini:

No Jenis Keliling Diameter BA BA


Avicennia alba
1 Avicennia alba 34.30 10.92 93.67 1472.69
2 Avicennia alba 35.80 11.40 102.04
3 Avicennia alba 61.40 19.55 300.16
4 Avicennia alba 34.00 10.83 92.04
5 Avicennia alba 36.20 11.53 104.33
6 Avicennia alba 31.70 10.10 80.01
7 Avicennia alba 40.20 12.80 128.67
8 Avicennia alba 40.00 12.74 127.39
9 Avicennia alba 33.80 10.76 90.96
10 Avicennia alba 33.90 10.80 91.50
11 Avicennia alba 34.00 10.83 92.04
12 Avicennia alba 33.60 10.70 89.89
13 Avicennia alba 31.70 10.10 80.01
1472.69
Avicennia marina
1 Avicennia marina 39.20 12.48 122.34 12453.71
2 Avicennia marina 33.00 10.51 86.70
3 Avicennia marina 50.00 15.92 199.04
4 Avicennia marina 58.20 18.54 269.68
5 Avicennia marina 40.20 12.80 128.67
6 Avicennia marina 43.00 13.69 147.21
7 Avicennia marina 31.30 9.97 78.00
8 Avicennia marina 40.20 12.80 128.67
9 Avicennia marina 46.40 14.78 171.41
10 Avicennia marina 40.40 12.87 129.95
11 Avicennia marina 32.00 10.19 81.53
12 Avicennia marina 48.00 15.29 183.44
13 Avicennia marina 72.30 23.03 416.19
14 Avicennia marina 32.00 10.19 81.53
15 Avicennia marina 32.00 10.19 81.53
16 Avicennia marina 33.00 10.51 86.70
17 Avicennia marina 31.40 10.00 78.50
18 Avicennia marina 56.00 17.83 249.68
19 Avicennia marina 46.00 14.65 168.47
84

20 Avicennia marina 71.40 22.74 405.89


21 Avicennia marina 59.40 18.92 280.92
22 Avicennia marina 52.00 16.56 215.29
23 Avicennia marina 60.40 19.24 290.46
24 Avicennia marina 57.20 18.22 260.50
25 Avicennia marina 32.00 10.19 81.53
26 Avicennia marina 32.40 10.32 83.58
27 Avicennia marina 36.60 11.66 106.65
28 Avicennia marina 32.90 10.48 86.18
29 Avicennia marina 37.80 12.04 113.76
30 Avicennia marina 50.40 16.05 202.24
31 Avicennia marina 41.20 13.12 135.15
32 Avicennia marina 35.60 11.34 100.90
33 Avicennia marina 56.00 17.83 249.68
34 Avicennia marina 64.20 20.45 328.16
35 Avicennia marina 41.40 13.18 136.46
36 Avicennia marina 32.30 10.29 83.06
37 Avicennia marina 39.00 12.42 121.10
38 Avicennia marina 71.20 22.68 403.62
39 Avicennia marina 70.50 22.45 395.72
40 Avicennia marina 34.10 10.86 92.58
41 Avicennia marina 35.20 11.21 98.65
42 Avicennia marina 40.60 12.93 131.24
43 Avicennia marina 51.20 16.31 208.71
44 Avicennia marina 32.60 10.38 84.61
45 Avicennia marina 41.20 13.12 135.15
46 Avicennia marina 33.30 10.61 88.29
47 Avicennia marina 38.70 12.32 119.24
48 Avicennia marina 41.40 13.18 136.46
49 Avicennia marina 40.00 12.74 127.39
50 Avicennia marina 58.00 18.47 267.83
51 Avicennia marina 51.20 16.31 208.71
52 Avicennia marina 42.20 13.44 141.79
53 Avicennia marina 31.00 9.87 76.51
54 Avicennia marina 36.70 11.69 107.24
55 Avicennia marina 61.40 19.55 300.16
56 Avicennia marina 70.20 22.36 392.36
57 Avicennia marina 39.00 12.42 121.10
58 Avicennia marina 61.20 19.49 298.20
59 Avicennia marina 34.00 10.83 92.04
60 Avicennia marina 46.40 14.78 171.41
61 Avicennia marina 33.90 10.80 91.50
62 Avicennia marina 42.60 13.57 144.49
63 Avicennia marina 34.00 10.83 92.04
64 Avicennia marina 36.70 11.69 107.24
65 Avicennia marina 33.80 10.76 90.96
66 Avicennia marina 62.00 19.75 306.05
67 Avicennia marina 41.60 13.25 137.78
68 Avicennia marina 34.30 10.92 93.67
69 Avicennia marina 36.40 11.59 105.49
70 Avicennia marina 53.20 16.94 225.34
71 Avicennia marina 41.00 13.06 133.84
85

72 Avicennia marina 34.30 10.92 93.67


73 Avicennia marina 36.40 11.59 105.49
74 Avicennia marina 56.20 17.90 251.47
75 Avicennia marina 36.30 11.56 104.91
12453.71
Bruguiera gymnorhiza
1 Bruguiera gymnorhiza 36.70 11.69 107.24 249.02
2 Bruguiera gymnorhiza 42.20 13.44 141.79
249.02
Rhizophora apiculata
1 Rhizophora apiculata 32.00 10.19 81.53 383.45
2 Rhizophora apiculata 34.60 11.02 95.32
3 Rhizophora apiculata 33.70 10.73 90.42
4 Rhizophora apiculata 38.20 12.17 116.18
383.45
Sonneratia alba
1 Sonneratia alba 71.30 22.71 404.75 713.08
2 Sonneratia alba 30.40 9.68 73.58
3 Sonneratia alba 54.30 17.29 234.75
713.08
Sonneratia caseolaris
1 Sonneratia caseolaris 70.40 22.42 394.60 7613.57
2 Sonneratia caseolaris 51.20 16.31 208.71
3 Sonneratia caseolaris 56.30 17.93 252.36
4 Sonneratia caseolaris 34.20 10.89 93.12
5 Sonneratia caseolaris 36.20 11.53 104.33
6 Sonneratia caseolaris 56.00 17.83 249.68
7 Sonneratia caseolaris 58.30 18.57 270.61
8 Sonneratia caseolaris 77.00 24.52 472.05
9 Sonneratia caseolaris 60.40 19.24 290.46
10 Sonneratia caseolaris 52.30 16.66 217.78
11 Sonneratia caseolaris 72.40 23.06 417.34
12 Sonneratia caseolaris 70.60 22.48 396.84
13 Sonneratia caseolaris 38.20 12.17 116.18
14 Sonneratia caseolaris 90.40 28.79 650.65
15 Sonneratia caseolaris 50.30 16.02 201.44
16 Sonneratia caseolaris 40.00 12.74 127.39
17 Sonneratia caseolaris 48.20 15.35 184.97
18 Sonneratia caseolaris 36.00 11.46 103.18
19 Sonneratia caseolaris 36.20 11.53 104.33
20 Sonneratia caseolaris 47.00 14.97 175.88
21 Sonneratia caseolaris 49.40 15.73 194.30
22 Sonneratia caseolaris 44.00 14.01 154.14
23 Sonneratia caseolaris 41.00 13.06 133.84
24 Sonneratia caseolaris 45.20 14.39 162.66
25 Sonneratia caseolaris 36.30 11.56 104.91
26 Sonneratia caseolaris 71.20 22.68 403.62
27 Sonneratia caseolaris 80.60 25.67 517.23
28 Sonneratia caseolaris 90.30 28.76 649.21
29 Sonneratia caseolaris 44.30 14.11 156.25
30 Sonneratia caseolaris 36.40 11.59 105.49
7613.57
86

Penutupan dan penutupan relatif tingkat pancang

No Jenis BA A C RC (%)
1 Avicennia alba 956.85 4 x 10 -7 0.0000239 11.49
2 Avicennia marina 4950.67 4 x 10 -7 0.0001237 59.46
3 Bruguiera gymnorhiza 219.31 4 x 10 -7 0.0000055 2.63
4 Rhizophora apiculata 222.70 4 x 10 -7 0.0000056 2.67
5 Sonneratia alba 80.38 4 x 10 -7 0.0000020 0.97
6 Sonneratia caseolaris 1897.79 4 x 10 -7 0.0000474 22.78
Jumlah 0.0002080 100.00

BA tingkat pancang diperoleh berdasarkan perhitungan pada tabel di


bawah ini:

No Jenis Keliling Diameter BA BA


Avicennia alba
1 Avicennia alba 18.60 5.92 27.54 956.85
2 Avicennia alba 20.30 6.46 32.81
3 Avicennia alba 26.40 8.41 55.49
4 Avicennia alba 17.20 5.48 23.55
5 Avicennia alba 15.00 4.78 17.91
6 Avicennia alba 19.20 6.11 29.35
7 Avicennia alba 27.00 8.60 58.04
8 Avicennia alba 28.20 8.98 63.32
9 Avicennia alba 15.20 4.84 18.39
10 Avicennia alba 26.40 8.41 55.49
11 Avicennia alba 17.30 5.51 23.83
12 Avicennia alba 12.20 3.89 11.85
13 Avicennia alba 26.30 8.38 55.07
14 Avicennia alba 24.60 7.83 48.18
15 Avicennia alba 15.00 4.78 17.91
16 Avicennia alba 16.70 5.32 22.20
17 Avicennia alba 13.70 4.36 14.94
18 Avicennia alba 17.00 5.41 23.01
19 Avicennia alba 6.30 2.01 3.16
20 Avicennia alba 7.60 2.42 4.60
21 Avicennia alba 11.00 3.50 9.63
22 Avicennia alba 21.00 6.69 35.11
23 Avicennia alba 26.30 8.38 55.07
24 Avicennia alba 18.20 5.80 26.37
25 Avicennia alba 11.40 3.63 10.35
26 Avicennia alba 15.20 4.84 18.39
27 Avicennia alba 17.20 5.48 23.55
28 Avicennia alba 11.20 3.57 9.99
29 Avicennia alba 11.60 3.69 10.71
30 Avicennia alba 21.40 6.82 36.46
31 Avicennia alba 27.20 8.66 58.90
32 Avicennia alba 17.40 5.54 24.11
33 Avicennia alba 19.90 6.34 31.53
956.85
87

Avicennia marina
1 Avicennia marina 15.50 4.94 19.13 4950.67
2 Avicennia marina 20.30 6.46 32.81
3 Avicennia marina 28.00 8.92 62.42
4 Avicennia marina 27.40 8.73 59.77
5 Avicennia marina 29.50 9.39 69.29
6 Avicennia marina 17.50 5.57 24.38
7 Avicennia marina 16.70 5.32 22.20
8 Avicennia marina 29.00 9.24 66.96
9 Avicennia marina 12.30 3.92 12.05
10 Avicennia marina 14.20 4.52 16.05
11 Avicennia marina 17.40 5.54 24.11
12 Avicennia marina 15.50 4.94 19.13
13 Avicennia marina 19.20 6.11 29.35
14 Avicennia marina 8.00 2.55 5.10
15 Avicennia marina 16.10 5.13 20.64
16 Avicennia marina 14.00 4.46 15.61
17 Avicennia marina 22.00 7.01 38.54
18 Avicennia marina 8.40 2.68 5.62
19 Avicennia marina 16.70 5.32 22.20
20 Avicennia marina 24.80 7.90 48.97
21 Avicennia marina 19.00 6.05 28.74
22 Avicennia marina 24.00 7.64 45.86
23 Avicennia marina 20.00 6.37 31.85
24 Avicennia marina 19.40 6.18 29.96
25 Avicennia marina 18.30 5.83 26.66
26 Avicennia marina 26.00 8.28 53.82
27 Avicennia marina 27.40 8.73 59.77
28 Avicennia marina 20.60 6.56 33.79
29 Avicennia marina 11.40 3.63 10.35
30 Avicennia marina 21.30 6.78 36.12
31 Avicennia marina 22.60 7.20 40.67
32 Avicennia marina 20.60 6.56 33.79
33 Avicennia marina 13.20 4.20 13.87
34 Avicennia marina 15.10 4.81 18.15
35 Avicennia marina 14.60 4.65 16.97
36 Avicennia marina 26.30 8.38 55.07
37 Avicennia marina 11.00 3.50 9.63
38 Avicennia marina 18.30 5.83 26.66
39 Avicennia marina 17.60 5.61 24.66
40 Avicennia marina 15.40 4.90 18.88
41 Avicennia marina 20.40 6.50 33.13
42 Avicennia marina 17.40 5.54 24.11
43 Avicennia marina 11.20 3.57 9.99
44 Avicennia marina 8.00 2.55 5.10
45 Avicennia marina 10.60 3.38 8.95
46 Avicennia marina 26.30 8.38 55.07
47 Avicennia marina 27.00 8.60 58.04
48 Avicennia marina 28.20 8.98 63.32
49 Avicennia marina 27.00 8.60 58.04
50 Avicennia marina 28.20 8.98 63.32
51 Avicennia marina 15.20 4.84 18.39
88

52 Avicennia marina 15.40 4.90 18.88


53 Avicennia marina 17.20 5.48 23.55
54 Avicennia marina 16.60 5.29 21.94
55 Avicennia marina 18.90 6.02 28.44
56 Avicennia marina 20.10 6.40 32.17
57 Avicennia marina 19.00 6.05 28.74
58 Avicennia marina 16.20 5.16 20.89
59 Avicennia marina 6.50 2.07 3.36
60 Avicennia marina 6.40 2.04 3.26
61 Avicennia marina 15.80 5.03 19.88
62 Avicennia marina 10.30 3.28 8.45
63 Avicennia marina 9.00 2.87 6.45
64 Avicennia marina 9.20 2.93 6.74
65 Avicennia marina 12.00 3.82 11.46
66 Avicennia marina 12.40 3.95 12.24
67 Avicennia marina 17.00 5.41 23.01
68 Avicennia marina 8.40 2.68 5.62
69 Avicennia marina 9.00 2.87 6.45
70 Avicennia marina 9.60 3.06 7.34
71 Avicennia marina 9.40 2.99 7.04
72 Avicennia marina 18.10 5.76 26.08
73 Avicennia marina 8.60 2.74 5.89
74 Avicennia marina 11.40 3.63 10.35
75 Avicennia marina 21.30 6.78 36.12
76 Avicennia marina 18.40 5.86 26.96
77 Avicennia marina 17.60 5.61 24.66
78 Avicennia marina 12.20 3.89 11.85
79 Avicennia marina 11.00 3.50 9.63
80 Avicennia marina 14.30 4.55 16.28
81 Avicennia marina 14.70 4.68 17.20
82 Avicennia marina 18.00 5.73 25.80
83 Avicennia marina 19.20 6.11 29.35
84 Avicennia marina 22.00 7.01 38.54
85 Avicennia marina 21.30 6.78 36.12
86 Avicennia marina 20.00 6.37 31.85
87 Avicennia marina 18.00 5.73 25.80
88 Avicennia marina 10.80 3.44 9.29
89 Avicennia marina 15.40 4.90 18.88
90 Avicennia marina 21.30 6.78 36.12
91 Avicennia marina 18.10 5.76 26.08
92 Avicennia marina 7.60 2.42 4.60
93 Avicennia marina 9.40 2.99 7.04
94 Avicennia marina 8.00 2.55 5.10
95 Avicennia marina 7.40 2.36 4.36
96 Avicennia marina 7.00 2.23 3.90
97 Avicennia marina 14.00 4.46 15.61
98 Avicennia marina 21.30 6.78 36.12
99 Avicennia marina 17.20 5.48 23.55
100 Avicennia marina 9.00 2.87 6.45
101 Avicennia marina 22.40 7.13 39.95
102 Avicennia marina 28.20 8.98 63.32
103 Avicennia marina 18.30 5.83 26.66
89

104 Avicennia marina 17.40 5.54 24.11


105 Avicennia marina 16.80 5.35 22.47
106 Avicennia marina 9.50 3.03 7.19
107 Avicennia marina 7.40 2.36 4.36
108 Avicennia marina 18.00 5.73 25.80
109 Avicennia marina 12.00 3.82 11.46
110 Avicennia marina 11.40 3.63 10.35
111 Avicennia marina 13.20 4.20 13.87
112 Avicennia marina 21.30 6.78 36.12
113 Avicennia marina 11.40 3.63 10.35
114 Avicennia marina 19.00 6.05 28.74
115 Avicennia marina 24.20 7.71 46.63
116 Avicennia marina 11.00 3.50 9.63
117 Avicennia marina 23.40 7.45 43.60
118 Avicennia marina 7.60 2.42 4.60
119 Avicennia marina 9.20 2.93 6.74
120 Avicennia marina 8.90 2.83 6.31
121 Avicennia marina 9.40 2.99 7.04
122 Avicennia marina 21.20 6.75 35.78
123 Avicennia marina 24.00 7.64 45.86
124 Avicennia marina 17.00 5.41 23.01
125 Avicennia marina 9.60 3.06 7.34
126 Avicennia marina 16.00 5.10 20.38
127 Avicennia marina 14.30 4.55 16.28
128 Avicennia marina 10.80 3.44 9.29
129 Avicennia marina 14.60 4.65 16.97
130 Avicennia marina 6.70 2.13 3.57
131 Avicennia marina 6.50 2.07 3.36
132 Avicennia marina 6.40 2.04 3.26
133 Avicennia marina 7.60 2.42 4.60
134 Avicennia marina 6.30 2.01 3.16
135 Avicennia marina 7.20 2.29 4.13
136 Avicennia marina 19.20 6.11 29.35
137 Avicennia marina 14.60 4.65 16.97
138 Avicennia marina 13.00 4.14 13.46
139 Avicennia marina 6.70 2.13 3.57
140 Avicennia marina 15.00 4.78 17.91
141 Avicennia marina 7.60 2.42 4.60
142 Avicennia marina 9.80 3.12 7.65
143 Avicennia marina 14.30 4.55 16.28
144 Avicennia marina 21.40 6.82 36.46
145 Avicennia marina 15.20 4.84 18.39
146 Avicennia marina 13.60 4.33 14.73
147 Avicennia marina 12.20 3.89 11.85
148 Avicennia marina 11.00 3.50 9.63
149 Avicennia marina 17.40 5.54 24.11
150 Avicennia marina 12.00 3.82 11.46
151 Avicennia marina 10.50 3.34 8.78
152 Avicennia marina 18.30 5.83 26.66
153 Avicennia marina 9.40 2.99 7.04
154 Avicennia marina 10.30 3.28 8.45
155 Avicennia marina 11.20 3.57 9.99
90

156 Avicennia marina 20.20 6.43 32.49


157 Avicennia marina 18.60 5.92 27.54
158 Avicennia marina 17.50 5.57 24.38
159 Avicennia marina 12.30 3.92 12.05
160 Avicennia marina 11.60 3.69 10.71
161 Avicennia marina 20.20 6.43 32.49
162 Avicennia marina 14.30 4.55 16.28
163 Avicennia marina 18.40 5.86 26.96
164 Avicennia marina 19.20 6.11 29.35
165 Avicennia marina 21.20 6.75 35.78
166 Avicennia marina 11.40 3.63 10.35
167 Avicennia marina 12.70 4.04 12.84
168 Avicennia marina 12.70 4.04 12.84
169 Avicennia marina 19.20 6.11 29.35
170 Avicennia marina 11.40 3.63 10.35
171 Avicennia marina 9.60 3.06 7.34
172 Avicennia marina 14.90 4.75 17.68
173 Avicennia marina 18.20 5.80 26.37
174 Avicennia marina 19.00 6.05 28.74
175 Avicennia marina 15.30 4.87 18.64
176 Avicennia marina 7.00 2.23 3.90
177 Avicennia marina 10.70 3.41 9.12
178 Avicennia marina 8.00 2.55 5.10
179 Avicennia marina 7.20 2.29 4.13
180 Avicennia marina 9.40 2.99 7.04
181 Avicennia marina 8.60 2.74 5.89
182 Avicennia marina 9.30 2.96 6.89
183 Avicennia marina 6.30 2.01 3.16
184 Avicennia marina 6.40 2.04 3.26
185 Avicennia marina 8.90 2.83 6.31
186 Avicennia marina 6.30 2.01 3.16
187 Avicennia marina 24.30 7.74 47.01
188 Avicennia marina 10.30 3.28 8.45
189 Avicennia marina 19.60 6.24 30.59
190 Avicennia marina 18.40 5.86 26.96
191 Avicennia marina 11.00 3.50 9.63
192 Avicennia marina 9.80 3.12 7.65
193 Avicennia marina 7.60 2.42 4.60
194 Avicennia marina 12.30 3.92 12.05
195 Avicennia marina 8.30 2.64 5.48
196 Avicennia marina 15.70 5.00 19.63
197 Avicennia marina 10.70 3.41 9.12
198 Avicennia marina 13.60 4.33 14.73
199 Avicennia marina 21.40 6.82 36.46
200 Avicennia marina 24.00 7.64 45.86
201 Avicennia marina 27.00 8.60 58.04
202 Avicennia marina 10.20 3.25 8.28
203 Avicennia marina 8.30 2.64 5.48
204 Avicennia marina 6.70 2.13 3.57
205 Avicennia marina 6.80 2.17 3.68
206 Avicennia marina 12.00 3.82 11.46
207 Avicennia marina 14.60 4.65 16.97
91

208 Avicennia marina 14.10 4.49 15.83


209 Avicennia marina 17.00 5.41 23.01
210 Avicennia marina 21.00 6.69 35.11
211 Avicennia marina 10.00 3.18 7.96
212 Avicennia marina 9.00 2.87 6.45
213 Avicennia marina 8.70 2.77 6.03
214 Avicennia marina 7.00 2.23 3.90
215 Avicennia marina 10.30 3.28 8.45
216 Avicennia marina 7.40 2.36 4.36
217 Avicennia marina 10.60 3.38 8.95
218 Avicennia marina 6.70 2.13 3.57
219 Avicennia marina 10.40 3.31 8.61
220 Avicennia marina 10.60 3.38 8.95
221 Avicennia marina 11.00 3.50 9.63
222 Avicennia marina 11.20 3.57 9.99
223 Avicennia marina 12.30 3.92 12.05
224 Avicennia marina 19.10 6.08 29.05
225 Avicennia marina 22.00 7.01 38.54
226 Avicennia marina 23.40 7.45 43.60
227 Avicennia marina 19.40 6.18 29.96
228 Avicennia marina 11.40 3.63 10.35
229 Avicennia marina 10.30 3.28 8.45
230 Avicennia marina 6.40 2.04 3.26
231 Avicennia marina 7.80 2.48 4.84
232 Avicennia marina 9.40 2.99 7.04
233 Avicennia marina 21.20 6.75 35.78
234 Avicennia marina 12.40 3.95 12.24
235 Avicennia marina 15.30 4.87 18.64
236 Avicennia marina 15.00 4.78 17.91
237 Avicennia marina 17.00 5.41 23.01
238 Avicennia marina 21.00 6.69 35.11
239 Avicennia marina 6.30 2.01 3.16
240 Avicennia marina 9.40 2.99 7.04
241 Avicennia marina 11.20 3.57 9.99
242 Avicennia marina 18.60 5.92 27.54
243 Avicennia marina 17.20 5.48 23.55
244 Avicennia marina 21.20 6.75 35.78
245 Avicennia marina 10.20 3.25 8.28
246 Avicennia marina 19.40 6.18 29.96
247 Avicennia marina 12.50 3.98 12.44
4950.67
Bruguiera gymnorhiza
1 Bruguiera gymnorhiza 24.20 7.71 46.63 219.31
2 Bruguiera gymnorhiza 26.30 8.38 55.07
3 Bruguiera gymnorhiza 20.40 6.50 33.13
4 Bruguiera gymnorhiza 19.20 6.11 29.35
5 Bruguiera gymnorhiza 10.20 3.25 8.28
6 Bruguiera gymnorhiza 11.50 3.66 10.53
7 Bruguiera gymnorhiza 8.10 2.58 5.22
8 Bruguiera gymnorhiza 11.20 3.57 9.99
9 Bruguiera gymnorhiza 10.20 3.25 8.28
10 Bruguiera gymnorhiza 8.30 2.64 5.48
92

11 Bruguiera gymnorhiza 9.60 3.06 7.34


219.31
Rhizophora apiculata
1 Rhizophora apiculata 10.60 3.38 8.95 222.70
2 Rhizophora apiculata 26.30 8.38 55.07
3 Rhizophora apiculata 10.30 3.28 8.45
4 Rhizophora apiculata 14.00 4.46 15.61
5 Rhizophora apiculata 20.20 6.43 32.49
6 Rhizophora apiculata 18.00 5.73 25.80
7 Rhizophora apiculata 23.00 7.32 42.12
8 Rhizophora apiculata 11.20 3.57 9.99
9 Rhizophora apiculata 14.70 4.68 17.20
10 Rhizophora apiculata 9.40 2.99 7.04
222.70
Sonneratia alba
1 Sonneratia alba 14.30 4.55 16.28 80.38
2 Sonneratia alba 26.40 8.41 55.49
3 Sonneratia alba 10.40 3.31 8.61
80.38
Sonneratia caseolaris
1 Sonneratia caseolaris 18.80 5.99 28.14 1897.79
2 Sonneratia caseolaris 17.60 5.61 24.66
3 Sonneratia caseolaris 26.40 8.41 55.49
4 Sonneratia caseolaris 26.20 8.34 54.65
5 Sonneratia caseolaris 19.50 6.21 30.27
6 Sonneratia caseolaris 21.30 6.78 36.12
7 Sonneratia caseolaris 21.40 6.82 36.46
8 Sonneratia caseolaris 29.30 9.33 68.35
9 Sonneratia caseolaris 10.20 3.25 8.28
10 Sonneratia caseolaris 11.40 3.63 10.35
11 Sonneratia caseolaris 28.00 8.92 62.42
12 Sonneratia caseolaris 17.90 5.70 25.51
13 Sonneratia caseolaris 18.20 5.80 26.37
14 Sonneratia caseolaris 17.40 5.54 24.11
15 Sonneratia caseolaris 11.20 3.57 9.99
16 Sonneratia caseolaris 12.60 4.01 12.64
17 Sonneratia caseolaris 15.30 4.87 18.64
18 Sonneratia caseolaris 25.70 8.18 52.59
19 Sonneratia caseolaris 15.50 4.94 19.13
20 Sonneratia caseolaris 13.30 4.24 14.08
21 Sonneratia caseolaris 13.60 4.33 14.73
22 Sonneratia caseolaris 13.80 4.39 15.16
23 Sonneratia caseolaris 16.90 5.38 22.74
24 Sonneratia caseolaris 7.20 2.29 4.13
25 Sonneratia caseolaris 11.40 3.63 10.35
26 Sonneratia caseolaris 18.20 5.80 26.37
27 Sonneratia caseolaris 19.20 6.11 29.35
28 Sonneratia caseolaris 28.00 8.92 62.42
29 Sonneratia caseolaris 22.40 7.13 39.95
30 Sonneratia caseolaris 21.30 6.78 36.12
31 Sonneratia caseolaris 21.10 6.72 35.45
32 Sonneratia caseolaris 29.00 9.24 66.96
93

33 Sonneratia caseolaris 11.20 3.57 9.99


34 Sonneratia caseolaris 18.30 5.83 26.66
35 Sonneratia caseolaris 15.20 4.84 18.39
36 Sonneratia caseolaris 15.60 4.97 19.38
37 Sonneratia caseolaris 15.40 4.90 18.88
38 Sonneratia caseolaris 7.60 2.42 4.60
39 Sonneratia caseolaris 10.20 3.25 8.28
40 Sonneratia caseolaris 11.60 3.69 10.71
41 Sonneratia caseolaris 8.20 2.61 5.35
42 Sonneratia caseolaris 20.30 6.46 32.81
43 Sonneratia caseolaris 8.20 2.61 5.35
44 Sonneratia caseolaris 19.40 6.18 29.96
45 Sonneratia caseolaris 17.60 5.61 24.66
46 Sonneratia caseolaris 6.40 2.04 3.26
47 Sonneratia caseolaris 19.40 6.18 29.96
48 Sonneratia caseolaris 12.20 3.89 11.85
49 Sonneratia caseolaris 17.30 5.51 23.83
50 Sonneratia caseolaris 16.70 5.32 22.20
51 Sonneratia caseolaris 8.90 2.83 6.31
52 Sonneratia caseolaris 11.60 3.69 10.71
53 Sonneratia caseolaris 17.70 5.64 24.94
54 Sonneratia caseolaris 18.10 5.76 26.08
55 Sonneratia caseolaris 17.70 5.64 24.94
56 Sonneratia caseolaris 10.20 3.25 8.28
57 Sonneratia caseolaris 16.40 5.22 21.41
58 Sonneratia caseolaris 10.20 3.25 8.28
59 Sonneratia caseolaris 10.60 3.38 8.95
60 Sonneratia caseolaris 19.00 6.05 28.74
61 Sonneratia caseolaris 7.60 2.42 4.60
62 Sonneratia caseolaris 9.20 2.93 6.74
63 Sonneratia caseolaris 6.40 2.04 3.26
64 Sonneratia caseolaris 8.40 2.68 5.62
65 Sonneratia caseolaris 20.30 6.46 32.81
66 Sonneratia caseolaris 24.70 7.87 48.57
67 Sonneratia caseolaris 18.60 5.92 27.54
68 Sonneratia caseolaris 20.30 6.46 32.81
69 Sonneratia caseolaris 24.00 7.64 45.86
70 Sonneratia caseolaris 19.40 6.18 29.96
71 Sonneratia caseolaris 26.30 8.38 55.07
72 Sonneratia caseolaris 17.40 5.54 24.11
73 Sonneratia caseolaris 9.30 2.96 6.89
74 Sonneratia caseolaris 10.60 3.38 8.95
75 Sonneratia caseolaris 6.40 2.04 3.26
76 Sonneratia caseolaris 9.60 3.06 7.34
77 Sonneratia caseolaris 12.30 3.92 12.05
78 Sonneratia caseolaris 13.00 4.14 13.46
79 Sonneratia caseolaris 21.00 6.69 35.11
80 Sonneratia caseolaris 9.40 2.99 7.04
81 Sonneratia caseolaris 19.40 6.18 29.96
1897.79
94

Lampiran 5. Perhitungan indeks nilai penting

Indeks nilai penting tingkat pohon


No Jenis RD RF RC INP (%)
1 Avicennia alba 10,24 16,47 6,43 34,13
2 Avicennia marina 59,06 50,00 54,42 161,10
3 Bruguiera gymnorhiza 1,57 4,17 9,01 9,01
4 Rhizophora apiculata 3,15 6,25 12,76 12,76
5 Sonneratia alba 2,36 4,17 10,23 10,23
6 Sonneratia caseolaris 23,62 18,75 32,37 72,76
Jumlah 100,00 100,00 100,00 300,00

Indeks nilai penting tingkat pancang

No Jenis RD RF RC INP (%)


1 Avicennia alba 8,57 17,46 11,49 37,52
2 Avicennia marina 64,16 47,62 59,46 171,24
3 Bruguiera gymnorhiza 2,86 6,35 2,63 11,84
4 Rhizophora apiculata 2,60 7,94 2,67 13,21
5 Sonneratia alba 0,78 4,76 0,97 6,50
6 Sonneratia caseolaris 21,03 15,87 22,78 59,69
Jumlah 100,00 100,00 100,00 300,00

Indeks nilai penting tingkat semai

No Jenis RD RF INP (%)


1 Avicennia alba 7,58 6,90 14,48
2 Avicennia marina 78,79 72,41 151,20
3 Sonneratia caseolaris 13,63 20,69 34,32
Jumlah 100,00 100,00 200,00
95

Lampiran 6. Jumlah pengambilan cerucuk

Responden Frekuensi Jumlah pengambilan/Frekuensi Jumlah pengambilan


(Tahun) (Batang) (Batang)
1 3 200 600
2 2 150 300
3 3 100 300
4 2 150 300
5 3 50 150
6 2 100 200
7 2 150 300
8 2 150 300
9 3 100 300
10 2 50 100
11 3 150 450
12 2 100 200
13 3 50 150
14 3 150 450
15 2 150 300
16 3 100 300
17 2 100 200
18 2 150 300
19 2 100 200
20 3 50 150
21 2 100 200
22 3 150 450
23 3 100 300
2650 6500

Rata-rata ( x ) 282,6
2
Ragam (S ) 13994,9

Jumlah orang yang mengambil cerucuk adalah: 90 orang/tahun. Jadi total


pengambilan cerucuk adalah: 282,6 x 90 = 25434,7 atau 25.435 batang/tahun.
Selang pengambilan cerucuk dengan tingkat kepercayaan 95 % dihitung sebagai
berikut:
96

Diketahui: N = 90 n = 23 x = 282,6 S2 = 13994,9



T = x .N = 282,6 (90) = 25435
Untuk tingkat kepercayaan 95 % nilai Z/2 = 1,96 (dibulatkan
menjadi 2).

(N )
2 N n
B = 2S = Z/2
2
S
T n N

1823,3 90 23
=2 (90)2
23 90

=2
8.100 x 608,5 x 0,74

= 2 3.647.349
= 2 (1909,8)
= 3918,6

NBB = T1 = T - B = 25434 3819,6
= 21614,4

NBA = T2 = T + B = 25434 + 3819,6
= 29253,6
Selang = 21614,4 29253,6

Jadi selang pengambilan cerucuk berkisar antara 21614,4 29253,6 batang,


dibulatkan menjadi 21.600 29.300 batang.
97

Lampiran 7. Jumlah pengambilan kayu bakar

Jumlah pengambilan Jumlah


Responden Frekuensi Jumlah pengambilan
/Frekuensi pengambilan
(Minggu) (Ikat) (Ikat) (Batang)
1 3 2 288 57,6
2 3 4 576 115,2
3 3 5 720 144
4 3 3 432 86,4
5 2 4 384 76,8
6 2 3 288 57,6
7 4 3 576 115,2
8 4 3 576 115,2
9 3 3 432 86,4
10 3 3 432 86,4
11 4 4 768 153,6
12 4 2 384 76,8
13 2 3 288 57,6
14 2 3 288 57,6
15 4 3 576 115,2
16 4 3 576 115,2
17 3 4 576 115,2
18 2 3 288 57,6
19 3 3 432 86,4
20 4 3 576 115,2
21 3 4 576 115,2
22 4 6 1152 230,4
23 3 3 432 86,4
24 4 4 768 153,6
25 2 4 384 76,8
26 3 4 576 115,2
27 5 4 960 192
28 3 3 432 86,4
29 2 5 480 96
30 4 3 576 115,2
31 3 2 288 57,6
32 4 5 960 192
33 3 4 576 115,2
34 3 5 720 144
35 4 5 960 192
36 3 6 864 172,8
37 2 6 576 115,2
38 3 4 576 115,2
39 3 4 576 115,2
40 3 3 432 86,4
41 4 3 576 115,2
42 2 3 288 57,6
43 4 2 384 76,8
44 4 4 768 153,6
45 4 4 768 153,6
46 2 4 384 76,8
47 3 5 720 144
98

48 3 4 576 115,2
49 5 5 1200 240
50 2 6 576 115,2
51 2 4 384 76,8
52 2 4 384 76,8
53 2 3 288 57,6
54 1 4 192 38,4
55 3 4 576 115,2
56 2 4 384 76,8
57 3 4 576 115,2
58 2 2 192 38,4
59 2 3 288 57,6
60 1 4 192 38,4
61 2 4 384 76,8
62 3 4 576 115,2
63 4 5 960 192
64 3 4 576 115,2
65 1 4 192 38,4
66 2 4 384 76,8
67 3 5 720 144
68 4 4 768 153,6
69 3 6 864 172,8
70 2 5 480 96
71 3 3 432 86,4
72 4 3 576 115,2
73 2 5 480 96
74 2 4 384 76,8
75 3 4 576 115,2
76 3 3 432 86,4
77 3 2 288 57,6
78 2 4 384 76,8
79 2 4 384 76,8
80 3 3 432 86,4
81 3 3 432 86,4
82 2 4 384 76,8
83 3 3 432 86,4
43536 8707,2
Rata-rata ( x ) 104,9
2
Ragam (S ) 1823,3
Keterangan: 4 ikat kayu bakar setara dengan 1 pohon mangrove.

Jumlah orang yang mengambil kayu bakar adalah: 300 orang/tahun. Jadi
total pengambilan kayu bakar adalah: 104,9 x 300 = 31.470 batang/tahun. Selang
pengambilan kayu bakar dengan tingkat kepercayaan 95 % dihitung sebagai
berikut:
99

Diketahui: N = 300 n = 83 x = 104,9 S2 = 1823,3



T = x .N = 300 (104,9) = 31.470
Untuk tingkat kepercayaan 95 % nilai Z/2 = 1,96 (dibulatkan
menjadi 2).

(N )
2 N n
B = 2S = Z/2
2
S
T n N

1823,3 300 83
=2 (300)2
83 300

=2 90.000 x 21,96 x 0,72

= 2 1.423.008
= 2 (1192,9)
= 2385,8

NBB = T1 = T - B = 31470 2385,8
= 29084,2

NBA = T2 = T + B = 31470 + 2385,8
= 33855,8
Selang = 29084,2 33855,8

Jadi selang pengambilan kayu bakar berkisar antara 29084,2-33855,8


batang, dibulatkan menjadi 29.000-33.900 batang.
100

Lampiran 8. Laju penurunan luas hutan mangrove Kecamatan Nipah Panjang

Ac Ab
Th = + / L05
Kc Kb
25435 31470
Th = + / 563
317 962
Th = 80,23 + 32,71 / 563
Th = 112,9 / 563
Th = 0,2
Th = 20 %
101

Lampiran 9. Jenis satwa liar yang sering dijumpai di pantai timur Jambi

Mamalia
No Nama Daerah Nama Latin
1 Kubung Cynocephalus variegatus
2 Siamang Sympalagus sindactylus
3 Musang Paradoxurus hermaproditus
4 Wau-wau Hylobates agilis
5 Kalong Pamvirus sp.
6 Kelelawar Myotis sp.
7 Kera ekor panjang Macaca fascicularis
8 Trenggiling Manis javanica
9 Bajing tanah Larsius insignis
10 Landak biasa Hystrix brachirua
11 Beruang madu Helarctos malayanus
12 Binturong Arctictis binturong
13 Kucing hutan Felis bengalensis
14 Kucing bakau Felis viverina
15 Macan dahan Neofelis nebulosa
16 Kancil Tragulus javanicus
17 Napu Tragulus navu
Reptil dan Amphibi
Nama Daerah Nama Latin
1 Buaya muara Crocodylus porosus
2 Buaya sinyulong Tomistoma schlegelii
3 Labi-labi Chitra indus
4 Tuntong Batagur baska
5 Ular sanca Phyton reticulatus
6 Kodok Buvo melanosticus
7 Ular air Natrix sp.
8 Ular laut Laticanda sp.
9 Ular bakau Boiga dendrophila
10 Biawak Varanus salvator
11 Kadal Mabouia multifasciata
12 Bunglon Calotes jubattus
13 Hap-hap Draco volans
Sumber: BKSDA Provinsi Jambi, 2004
102

Lampiran 10. Jenis burung di Kabupaten Tanjung Jabung Timur

No Nama Daerah Nama Latin


1 Elang bondol Haliastur indus
2 Bangau Tongtong Leptoptilos javanicus
4 Kokoan Laut Butorides striatus
5 Raja Udang Alcedo atthis
6 Tekukur Streptopelia chinensis
7 Bluwok Myteria cinerea
8 Alap-alap Falco sp.
9 Layang-layang asia Hirundo tahitica
10 Merba Pycnonotus plumosus
11 Walet sapi Collocalia esculenta
13 Prenjak sayap garis Prinia familiaris
14 Bubut Alang-alang Centropus bengalensis
15 Burung Gereja Passer montanus
17 Bangau Hitam Ciconia stormi
18 Bebek Hitam Sayap Putih Cairina scutulata
19 Kuau Argusianus argus
20 Enggang gading Rhynoplax vigil
21 Rangkong Papan Buceros bicornis
22 Geri kecil Aplonis minor
23 Gagak Corvus enca
25 Gagang Bayam Himantopus himantopus
26 Kuntul Cina Egretta eulophotus
27 Bangau Hitam Ciconia episcopus
28 Cangak laut Ardea sumatrana
29 Cangak Abu Ardea cinerea
30 Kokoan laut Rutorides straiatus
31 Kuntul Egretta spp.
32 Kuntul karang Egretta sacra
33 Kuntul Besar Ebretta alba
34 Kuntul Kecil Egretta garzetta
35 Bangau Bluwok Mycteria cinerea
36 Bangau tongtong Leptoptilos javanicus
37 Ibis cucuk besi Threskiomis melanocephalus
38 Itik alis putih Anas quatarola
39 Cerek besar Pluvialis squatarola
40 Cerek Pluvialis dominica
41 Cerek pasir Charadrius mongolus
42 Cerek pasir besar Charadrius leschenaultii
43 Gajahan Numenius spp.
44 Gajahan besar Numenius arguata
45 Gajahan pengala Numenius phaeopus
46 Gajahan timur Numenius madagascariensis
47 Biru laut ekor hitam Limosa limosa
48 Biru laut ekor blorok Limosa lapponica
49 Trinil kaki merah Tringa totanus
50 Trinil jawa Tringa stagnatilis
51 Trinil kaki hijau Tringa nebularia
52 Trinil semak Tringaglareola
103

Lanjutan lampiran 10.

No Nama Daerah Nama Latin


55 Trinil lumpur asia Limnodromus semipalmatu
56 Kedidi merah Calidris canutus
57 Kedidi leher merah Calidris ruficollis
58 Kedidi gol-gol Calidris ferruginea
59 Kedidi paruh lebar Limicola falcinellus
60 Elang bondol Haliatus indus
61 Elang laut perut putih Haliactus luccogester
62 Raja udang meninting Alcedo meninting
63 Raja udang erasia Alcedo athis
64 Cangak merah Ardea purpurea
66 Dara luat tengkuk hitam Sterna sumatrana
67 Kapinis laut Apus pasifus
69 Pecuk ular asia Anhinga melanogaster
70 Kowak malam kelabu Nycticorax nycticorax
71 Kowak melayu Gorsachius melanocapus
72 Kuntul kerbau Bubulcus ibis
73 Blekok sawah Ardeola speciosa
74 Bambangan kuning Ixabrycus sinensis
78 Perenjak sayap garis Prinia familiaris
80 Burung gerja Passer ont
81 Punai kecil Treron olax
83 Puyuh Turnix susciator
Sumber: BKSDA Provinsi Jambi, 2004
104

Lampiran 11. Kayu yang boleh diambil

Cerucuk yang boleh diambil.


Luas hutan mangrove tahun 2007 adalah 337 ha
Kerapatan cerucuk adalah 317 batang/ha
Jumlah cerucuk di hutan mangrove adalah 317 x 337 = 106.929 batang
Laju penambahan 5 %
Jadi banyak cerucuk yang boleh diambil adalah:
= 5 % x 106825
= 5.341 batang

Kayu bakar yang boleh diambil.


Luas hutan mangrove tahun 2007 adalah 337 ha
Kerapatan kayu bakar adalah 962 batang/ha
Jumlah kayu bakar di hutan mangrove adalah 962 x 337 = 324.194 batang
Laju penambahan 5 %
Jadi banyak kayu bakar yang boleh diambil adalah:
= 5 % x 324.194
= 16.209 batang
105

Lampiran 12. Waktu yang diperlukan untuk penambahan luas hutan seperti tahun
1989

Luas hutan mangrove tahun 1987 adalah 1447 ha


Luas hutan mangrove tahun 2007 adalah 337 ha
Laju penambahan 5 %
Jadi waktu yang diperlukan untuk penambahan luas hutan mangrove seperti
tahun 1989 adalah:
= (1447-337) / (5 % x 337 )
= (1110) / (16,85)
= 65,87
= 66 tahun
106

Lampiran 13. Waktu yang diperlukan untuk penambahan luas 835 ha


(pertengahan antara 337 ha dan 1447 ha)

Luas hutan mangrove antara tahun 1987 dan 1989 adalah 835 ha
Luas hutan mangrove tahun 2007 adalah 337 ha
Laju penambahan 5 %
Jadi waktu yang diperlukan untuk penambahan luas hutan mangrove
menjadi 835 ha adalah:
= (835-337) / (5 % x 337 )
= (498) / (16,85)
= 29,5
= 29 tahun
107

Lampiran 14. Jumlah mangrove yang harus ditanam

Luas hutan mangrove tahun 1989 adalah 1447 ha


Luas hutan mangrove tahun 2007 adalah 337 ha
Jadi luas hutan mangrove yang rusak adalah 337 ha
Maka jumlah mangrove yang harus ditanam adalah:
= Luas mangrove yang rusak/ jarak tanam
= 1110 ha/ 3 meter
= 111000000 m2/ 3 m
= 3.700.000 batang
Jadi jumlah hutan mangrove yang harus ditanam adalah 3.333 batang/ha

You might also like