You are on page 1of 29

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga pembuatan karya tulis berupa laporan kasus yang berjudul Diagnosa dan
Tatalaksana Appendisitis dapat tersusun dan terselesaikan tepat pada waktunya.

Terselesaikannya penyusunan laporan kasus ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak.
Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr Wahyuni
Dian Purwati, SpEM selaku pembimbing. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para
staf, perawat, dan teman-teman seperjuangan di RS Siloam Kebon Jeruk.

Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca maupun
bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Jakarta, September 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
BAB II LAPORAN KASUS 4
2.1 Identitas 4
2.2 Anamnesa 4
2.3 Pemeriksaan Fisik 5
2.4 Pemeriksaan Penunjang 6
2.5 Resume 9
2.6 Diagnosis 9
2.7 Penatalaksanaan 9
2.8 Prognosa 10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 11
3.1 Definisi appendisitis 11
3.2 Epidemiologi 11
3.3 Etiologi 12
3.4 Klasifikasi 14
3.5 Patofisiologi 15
3.6 Manifestasi klinis 18
3.7 Diagnosis appendicitis 20
3.8 Penatalaksanaan 25
BAB IV ANALISA KASUS 28
BAB V KESIMPULAN 29

2
BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan kasus gawat bedah abdomen yang tersering dan memerlukan tindakan
bedah segera untuk menghindari komplikasi yang serius. Apendisitis yang terlambat ditangani
akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderita. Untuk itu ketepatan diagnosa sangat
dibutuhkan dalam pengambilan keputusan tindakan. Ketepatan diagnosa tergantung dari
kemampuan dokter melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium. 1

Insiden Apendisitis akut di Indonesia dilaporkan menempati urutan tertinggi diantara


kasus-kasus gawat darurat, seperti halnya di negara barat. Walaupun demikian, diagnosa serta
keputusan bedah masih cukup sulit di tegakkan. Pada beberapa keadaan Apendisitis akut agak
sulit didiagnosis, misalnya pada fase awal dari gejala Apendisitis akut dan tandanya masih sangat
samar apalagi bila sudah diberikan terapi antibiotika. Dengan pemeriksaan yang cermat dan teliti
resiko kesalahan diagnosis sekitar 15-20%. Bahkan pada wanita kesalahan diagnosis ini
mencapai 45-50%. Hal ini dapat disadari mengingat wanita sering timbul gangguan organ lain
dengan gejala yang serupa dengan Apendisitis akut. 1

Mengingat masalah diatas maka perlu diketahui tanda, gejala, pemeriksaan laboratoium
sederhana mana yang berperan secara bermakna dalan mendiagnosis Apendisitis akut, serta
akurasi dan spesifitas modalitas diagnosa tersebut untuk memudahkan dokter dalam
mendiagnosa dan mengambil keputusan. 1,2

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. OGH
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 59 tahun
Tanggal Lahir : 26 Desember 1957
Alamat : Green garden blok N4
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 18-September-2017 pukul 22.20 ED
Ruang Rawat : 4204-03 / Sinai Kiri

2.2 ANAMNESA
Keluhan Utama nyeri perut kanan bawah

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri perut di daerah kanan bawah yang dialami
sejak 3 hari SMRS. Nyeri dirasakan di kanan bawah seperti ditusuk tusuk tanpa adanya
penjalaran. Keluhan baru pertama kali dirasakan oleh pasien. Pasien merasa mual dan
muntah 1x isi makanan sebelum ke rumah sakit. Dirumah pasien hanya mengonsumsi obat
maag namun belum ada perbaikan. Keluhan tidak disertai demam namun nafsu makan
berkurang dan badan terasa lemas. Pasien sudah berobat ke RS Grha Kedoya sebelumnya
namun hanya diberikan obat anti nyeri dan antibiotik. Buang air besar (+) 1 kali selama 3
hari terakhir, agak keras. Buang air kecil lancar, BAK nyeri (-), BAK warna agak
kemerahan seperti teh, BAK berpasir (-).

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya, hipertensi (-),
Diabetes Melitus (-), Asma (-), jantung (-), ginjal (-), Stroke (-), kanker (-), Kejang (-).

4
Riwayat sakit kuning sebelumnya disangkal. Alergi obat dan makanan (-), riwayat transfusi
(-).

Riwayat Penyakit Keluarga


Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), Asma (-), jantung (-), ginjal (-), Stroke (-),
kanker (-), Kejang (-), Hepatitis (-).

Riwayat penggunaan Obat


Pasien tidak dalam pengobatan suatu penyakit dan tidak ada obat obatan rutin
yang sedang diminum.

Riwayat Operasi
Pasien belum pernah menjalani operasi sebelumnya

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Umum
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : compos mentis
3. Tekanan darah : 136/70 mmHg
4. Nadi : 80 kali/menit
5. Pernafasan : 18 kali/menit
6. Suhu : 37,3 C
7. Status gizi : sedang

Status Generalis
1. Kepala : normocephal, rambut hitam, rambut mudah rontok (-), deformitas (-).
2. Mata: konjunctiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor, reflek cahaya (+)
3. Hidung : Bagian luar hidung tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam
perabaan baik, epistaksis (-)
4. Telinga : kedua meatus acusticus eksternus normal, pendengaran baik, nyeri tekan
processus mastoideus (-)
5. Leher : kelenjar getah bening di submandibula, leher, aksila, inguinal tidak teraba,
pembesaran kelenjar thyroid (-)
6. Dada : bentuk normal, retraksi (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-), spider nevi (-)
7. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

5
Palpasi : ictus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
Perkusi : batas jantun normal
Auskultasi : BJ I II reguler, murmur (-), gallop (-)
8. Paru:
Inspeksi : simetris kanan = kiri
Palpasi : stem fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru.
Auskultasi : vesikuler normal, ronki (-), wheezing (-)
9. Abdomen
Inspeksi: distensi(-), massa(-), sikatrik(-)
Auskultasi: peristaltik usus normal
Palpasi: Supel(+), nyeri tekan dititik Mc Burney(+), nyeri lepas tekan(+), defans
muskuler lokal di daerah Mc Burney(+), hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi: hipertimpani (+)
Pemeriksaan khusus intraperitoneal:
Rebound tenderness (+)
Rovsing sign (-)
Blumberg sign (-)
Psoas sign (+)
Obturator test (-)
10. Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium
2. EKG
3. CT-Scan Abdomen dengan kontras
4. Rontgen thoraks
Laboratorium 18/09/2017
TES HASIL UNIT RUJUKAN
HEMATOLOGI LENGKAP
Hemoglobin 11,7 g/dL 13,0 18,0
Jumlah leukosit 12.1 H 103 / L 4,0 10,0
Hitung Jenis
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 1 % 0-4
Batang 0H % 2-6
Segmen 73 H % 50-70
Limfosit 19 % 20-40
Monosit 7 % 2-8
Laju Endap Darah 40 mm 0-15
Jumlah Eritrosit 3,82 106 /L 4,5-6,2

6
Hematokrit 35 % 40-54
MCV 91 fL 81-96
MCH 31 pg 27-36
MCHC 34 g/L 31-37
RDW-CV 14,6 % 11,5-14,5
3
Jumlah Trombosit 285 10 /L 150-400

KOAGULASI
PT
Kontrol 11,0 Detik
Pasien 10,0 Detik 9,3 11,4
INR 0,91
APTT
Kontrol 31.7 Detik
Pasien 32.8 Detik 26,7 43,1
KIMIA DARAH
Glukosa sewaktu 104 mg/dL 60-180
Ureum Darah 13 mg/dL 10-50
Kreatinin Darah 0.80 mg/dL 0,70-1,30
Elektrolit
Natrium darah 141 mmol/L 135-145
Kalium darah 3,5 mmol/L 3,5-5,1
Klorida darah 108 mmol/L 97-111

CT Scan Abdomen 22/09/2017


Telah dilakukan pemeriksaan CT-scan abdomen dengan hasil sbb :
Hepar : bentuk dan ukuran baik, permukaan licin. Struktur ekoparenkim hepar
normal homogen. Parenkim hepar baik, tidak mencurigakan adanya lesi patologis.
Tak tampak pelebaran sistem bilier. Tak tampak efusi pleura kanan atau ascites
Kandung empedu : besar dan bentuk baik, dinding tidak menebal, tak tampak batu
atau SOL.
Pankreas : bentuk dan ukuran baik, ekhostruktur parenkim homogen, tak tampak
lesi fokal atau SOL.
Lien : bentuk baik, ukuran tidak membesar. Ekhostruktur parenkim homogen. Tak
tampak lesi patologis.
Ginjal kanan kiri : bentuk dan ukuran baik, differensiasi korteks dan medulla
jelas. Tebal parenkim baik. Sistem pelviokalises dan proksimal ureter kanan kiri
tidak melebar. Tak tampak batu atau SOL.
Kel adrenal kanan kiri baik
Kelenjar paraaortal dan parailiaka : tidak membesar

7
Lambung dan usus : lambung dan usus-usus halus tervisualisasi baik, mukosa
dinding usus halus tidak menebal, tidak mencurigakan adanya lesi patologis.
Tidak tampak ileus. Appendix tervisualisasi baik dengan caliber +/- 1,05-1,4 cm,
mukosa dinding appendix menebal, dinding bagian distal tidak terlihat jelas.
Tampak kesuraman periappendiceal fat dan cairan minimal di dekat appendix.
Multipel kelenjar getah bening di regio Mc Burney dengan diameter sebesar +/-
0,7 x 1,2 cm. Tidak terlihat appendicolith caecum sampai rectum tidak melebar,
tidak mencurigai adanya SOL.
Buli : bentuk dan ukuran baik, dinding tidak menebal

Kesan : Appendicitis akut dengan cairan minimal disekitarnya, kemungkinan perforasi


appendicitis belum dapat disingkirkan. Organ - organ intraabdomen lainnya yang
tervisualisasi masih dbn

Rontgen Thoraks PA 18/09/2017


Cor : ukuran normal, aorta tidak elongasi
Trakhea di tengah
Pulmo : corakan bronkovaskuler normal
Kesan : jantung dan paru saat ini dalam batas normal

2.5 RESUME
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut di daerah kanan bawah yang dialami sejak 3
hari SMRS. Nyeri seperti ditusuk-tusuk, penjalaran (-). Mual muntah (+), saat ini pasien tidak
nafsu makan. Demam (-). BAB dan BAK normal. Keluhan baru pertama kali dirasakan oleh
pasien. Riwayat penyakit dahulu disangkal. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tanda tanda
vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan supel(+), nyeri tekan dititik Mc
Burney(+), nyeri lepas tekan(+), defans muskuler lokal di daerah Mc Burney(+), psoas sign (+),
obturator sign (+), hepar dan lien tidak teraba.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah didapatkan kadar Leukosit meningkat. Dari
pemeriksaan rontgen thorax didapatkan corakan bronkovaskular normal. Dari hasil pemeriksaan
CT-scan abdomen dengan kontras ditemukan kesan appendicitis akut dengan cairan minimal
disekitarnya.

2.6 DIAGNOSIS

8
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan, makan pasien didiagnosa appendisitis akut tanpa perforasi. Berdasarkan skor,
dihasilkan skor 8, yang artinya positif appendisitis akut dan harus dilakukan appendiktomi.
Clinical Diagnostic Score
Characteristic Score In case
Symptom M = Migration of pain to the RLQ 1 0
A = Anorexia 1 1
N = Nausea and vomiting 1 1
Signs T = Tenderness in RLQ 2 2
R = Rebound tenderness 1 1
E = Elevated temperature (>37,5) 1 0
Lab. L = Leukocytosis 2 2
S = Shift of WBC to the left 1 1
Total 10 8

2.7 PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
IVFD Asering 500 cc / 8 jam
Inj Broadced 1x2 gram IV
Inj Pantopump 40 mg IV
Inj Ketrobat 30 mg IV
2. Operatif : laparoscopy appendiktomi

2.8 PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Functionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam

9
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Apendisitis

Appendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis atau yang di kenal
juga sebagai usus buntu. Diklasifikasikan sebagai suatu kasus medical emergency dan
merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui. Obstruksi lumen
merupakan penyebab utama appendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena
parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis.
Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50% ditemukan adanya faktor
obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%,
benda asing 4%, dan sebab lainnya 1%.3,4

10
Gambar 1. Inflamasi Appendiks

3.2 Epidemiologi Apendisitis

Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang,
tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun bermakna. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Apendisitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidens
tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada lelaki dan
perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens pada lelaki lebih
tinggi. Meskipun jarang, pernah dilaporkan kasus appendiks neonatal dan prenatal. Pasien
dengan usia yang lebih dari 60 tahun dilaporkan sebanyak 50% meninggal akibat apendisitis.5

3.3 Etiologi Apendisitis

Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks sehingga terjadi
kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendisitis akut dapat
disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus
diantaranya hiperplasia jaringan limfa, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang
menyumbat.6

Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks, diantaranya :

11
a. Faktor sumbatan

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)


yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia
jaringan limfoid submukosa,35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan
sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang
disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya : 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus
apendisitis akut gangrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut
dengan ruptur.

b. Faktor bakteri

Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis


akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk
dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks. Pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragilis dan E.coli, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%.

c. Faktor konstipasi dan pemakaian laksatif

Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya


sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora kolon
biasa sehingga mempermudah timbulnya apendisitis akut. Penggunaan laksatif
yang terus-menerus dan berlebihan memberikan efek merubah suasan flora usus
dan menyebabkan terjadinya hiperesi usus yang merupakan permulaan dari proses
inflamasi. Pemberian laksatif pada penderita apendisitis akan merangsang
peristaltik dan merupakan predisposisi terjadinya perforasi dan peritonitis.

d. Kecenderungan familiar

Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari


organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya

12
yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan
makanan dalam keluarga terutama denga diet rendah serat dapat memudahkan
terjadinya fekalith dan mengakibatkan obstruksi lumen.

e. Faktor ras dan diet

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan sehari-hari.


Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih
tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang,
kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke
pola makan tinggi serat. Justru negara berkembang, yang dulunya memiliki tinggi
serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko appendisitis yang
lebih tinggi.

3.4 Klasifikasi/tipe appendisitis

Ada beberapa jenis apendisitis yang memiliki perubahan yang berbeda berhubungan dengan
apendisitis, sehingga ada perbedaan gejala, pengobatan dan prognosis. Appendisitis
diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Appendisitis akut

a. Appendisitis akut sederhana ( Cataral Appendicitis)

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan
dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema,
dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah,
anoreksia, dan demam ringan. Pada appendisitis cataral terjadi leukositosis dan
appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.

13
b. Appendisitis akut purulent (Supurative Appendicitis)

Tekanan dalam lumen terus bertambah disertai edema menyebabkan


terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemik dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, heperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen.

Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di
titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.

c. Appendisitis akut gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna
ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Apada appendisitis akut gangrenosa
terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.

2. Appendisitis infiltrat

Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat dibatasi
oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan
massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.

3. Appendisitis abses

Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan,
lateral dari sekum, retrocaecal, sucaecal, dan pelvic.

4. Appendisitis perforasi

14
Adalah pecahnya appendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk kedalam
rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah
perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.

5. Appendisitis kronis

Merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses radang yang persisten
akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial
terhadap lumen. Diagnosis appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat
serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik
appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologi, dinding appendiks
menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrat sel
radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh
darah serosa tampak dilatasi.4,6

3.5 Patofisiologi Apendisitis

Sebagian besar appendiks disebabkan oleh sumbatan yang kemudian diikuti oleh infeksi.
Beberapa hal ini dpat menyebabkan sumbatan, yaitu hiperplasia jaringan limfoid, fekalith, benda
asing, striktur, kingking, perlengketan.

Bila bagian proksimal appendiks tersumbat, terjadi sekresi mukus yang tertimbun dalam
lumen appendiks, sehingga tekanan intra luminer tinggi. Tekanan ini akan mengganggu aliran
limfe sehingga terjadi edema dan terdapat luka pada mukosa, stadium ini disebut Appendisitis
Akut Ringan. Tekanan yang meninggi, edema dan disertai inflamasi menyebabkan obstruksi
aliran vena sehingga menyebabkan trombosis yang memperberat iskemi dan edema. Pada lumen
appendiks juga terdapat bakteri, sehingga dalam keadaan tersebut suasana lumen appendiks
cocok buat bakteri untuk diapedesis dan invasi ke dinding dan membelah diri sehingga
menimbulkan infeksi dan menghasilkan pus. Stadium ini disebut Appendisitis Akut Purulenta.

Proses tersebut berlangsung terus sehingga pada suatu saat aliran darah arteri juga terganggu,
terutama bagian ante mesenterial yang mempunyai vaskularisasi minimal, sehingga terjadi infark
dan gangren, stadium ini disebut Appendisitis Gangrenosa. Pada stadium ini sudah terjadi
mikroperforasi, karena tekanan intraluminal yang tinggi ditambah adanya bakteri dan

15
mikroperforasi, mendorong pus serta produk infeksi mengalir ke rongga abdomen. Stadium ini
disebut Appendisitis Akut Perforasi, dimana menimbulkan peritonitis umum dan abses
sekunder. Tapi proses perjalanan appendisitis tidak mulus seperti tersebut di atas, karena ada
usaha tubuh untuk melokalisir tempat infeksi dengan cara Walling Off oleh omentum,
lengkung usus halus, caecum, colon, dan peritoneum sehingga terjadi gumpalan massa plekmon
yang melekat erat. Keadaan ini disebut Appendisitis Infiltrate.

Appendisitis infiltrate adalah suatu plekmon yang berupa massa yang membengkak dan
terdiri dari appendiks, usus, omentum, dan peritoneum dengan sedikit atau tanpa pengumpulan
pus. Usaha tubuh untuk melokalisir infeksi bisa sempurna atau tidak sempurna, baik karena
infeksi yang berjalan terlalu cepat atau kondisi penderita yang kurang baik, sehingga
appendikular infiltrate dibagi menjadi dua :

a. Appendikuler infiltrate mobile

b. Appendikuler infiltrate fixed

Perforasi mungkin masih terjadi pada walling off yang sempurna sehingga akan terbentuk
abses primer. Sedangkan pada walling off yang belum sempurna akan terbentuk abses sekunder
yang bisa menyebabkan peritonitis umum.

Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk
jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya dan menimbulkan
obstruksi. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada
suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi
akut. Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36 jam
setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukan abses setelah 2-3 hari.4,6

16
Gambar 2. Patofisiologi Appendisitis

Gambar 3. Patofisiologi Appendisitis

3.6 Manifestasi Klinis Apendisitis

a. Nyeri abdominal

17
Karena adanya kontraksi appendix, distensi dari lumen appendix ataupun karena
tarikan dinding appendx yang mengalami peradangan. Mula-mula nyeri dirasakan
samar-samar, tumpul dan hilang timbul yang merupakan nyeri viseral di daerah
epigastrium atau sekitar umbilicus karena appendix dan usus halus mempunyai
persarafan yang sama. Setelah beberapa jam (4-6 jam) nyeri berpindah dan menetap
di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Apabila terjadi inflamasi (>6 jam) akan
terjadi nyeri somatik setempat yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum
parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat
bila batuk ataupun berjalan kaki.

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat
dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika
meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut :

o
Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum
(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut kanan
atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernafas
dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.
psoas mayor yang menegang dari dorsal.

o
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).

o
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya.

b. Mual-muntah biasanya pada fase awal

Disebabkan karena rangsangan visceral akibat aktivasi nervus vagus. Timbul


beberapa jam sesudah rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Hampir 75% penderita
disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan
vomitus hanya sekali atau dua kali.

18
c. Nafsu makan menurun (anoreksia)

Timbul beberapa jam sesudah rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan
anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita appendisitis akut, bila hal in tidak
ada maka diagnosis appendisitis akut perlu dipertanyakan.

d. Obstipasi dan diare pada anak-anak.

Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri
dan beberapa penderita mengalami diare. Hal tersebut timbul biasanya pada letak
appendix pelvikal yang merangsang daerah rektum.

e. Demam

Demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5 0 38,50C tetapi bila suhu
lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.7

3.7 Diagnosis Apendisitis

Untuk menegakkan diagnosis pada apendisitis didasarkan atas anamnesis ditambah


dengan pemeriksaan laboratorium sarta pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala
appendisitis ditegakkan dengan anamnesis, ada 4 hal penting yaitu :

o
Nyeri mula mula di epigastrium ( nyeri visceral ) yang beberapa waktu
kemudian menjalar ke perut kanan bawah.
o
Muntah oleh karena nyeri visceral
o
Demam
o
Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak
sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah perut.
a. Pemeriksaan fisik

1) Inspeksi

Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang
perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran

19
spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.

2) Auskultasi

Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus paralitik karena
peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.

3) Palpasi

Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis


lokal yaitu:

o
Nyeri tekan (+) Mc. Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik Mc Burney
dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
o
Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat
dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara
tiba-tiba dilepaskan, setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan
dan dalam dititik Mc Burney.
o
Defens muskuler(+) karena rangsangan M.Rektus Abdominis
Defens muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada appendiks letak
retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang.
Pemeriksaan Rectal Toucher
Akan didapatkan nyeri pada jam 9-12. Pada apendisitis pelvika akan didapatkan
nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.

4) Perkusi : nyeri ketuk (+)

b. Pemeriksaan khusus/tanda khusus

Rovsing sign
Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah, karena tekanan
merangsang peristaltic dan udara usus, sehingga menggerakkan peritoneum
sekitar appendix yang meradang (somatic pain)
Blumberg sign

20
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah atau kolateral
dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan terasa nyeri pada kuadran
kanan bawah karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.
Psoas sign
Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Ada 2 cara memeriksa:
1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien
memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+) bila terasa nyeri perut
kanan bawah.
2. Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa, psoas
sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.
Obturator sign
Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan gerakan fleksi
dan endorotasi sendi panggul atau articulation coxae. Obturator sign (+) bila
terasa nyeri di perut kanan bawah.8

c. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan laboratorium

o
Pemeriksaan darah : pada laboratorium darah terdapat leukositosi ringan
( 10.000 18.000/mm3) yang didominasi >75% oleh sel Polimorfonuklear
(PMN), netrofil (shift to the left) dimana terjadi pada 90% pasien. Hal ini
biasanya terdapat pada pasien dengan akut appendisitis dan apendisitis tanpa
komplikasi. Sedangkan leukosit >18.000/ mm3 meningkatkan kemungkinan
terjadinya perforasi apendiks dengan atau tanpa abses.

o
Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit, dan bakteri dalam
urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis
banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala
klinis yang hampir sama dengan appendisitis.

o
Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosa appendisitis adalah
C- reaktif protein. CRP merupakan reaktan fase akut terhadap infeksi bakteria
yang dibentuk di hepar. Kadar serum mulai meningkat pada 6-12 jam setelah
inflamasi jaringan. Tetapi pada umumnya, pemeriksaan ini jarang digunakan

21
karena tidak spesifik. Spesifitasnya hanya mencapai 50-87% dan hasil dari
CRP tidak dapat membedakan tipe dari infeksi bakteri.9

2) Foto polos abdomen

Radiologi polos tidak spesifik, umunya tidak efektif untuk biaya, dan
dapat menyesatkan dalam stuasi tertentu. Dalam <5%, suatu fekalith buram
mungkin tidak terlihat di kuadran kanan bawah. Foto polos abdomen dapat
digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada appendisitis akut dapat
terlihat abnormal gas pattern dari usus, tapi hal ini tidak spesifik. Ditemukan
fekalith dapat mendukung diagnosis. Dapat ditemukan pula adanya local air fluid
level, peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah, perubahan
bayangan psoas line, dan free air (jarang) bila terjadi perforasi. Foto polos
umumnya tidak dianjurkan kecuali kondisi tertentu misalnya perforasi, obstruksi
usus, saluran kemih kalkulus. Walaupun demikian, foto polos abdomen bukanlah
sesuatu yang rutin atau harus dikerjakan dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri
abdomen yang akut.9

3) USG

Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan diagnosis


appendisitis. Tekniknya tidak mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak invasif,
tidak membutuhkan kontras dan dapat digunakan pada pasien yang sedang hamil
karena tidak mengganggu paparan radiasi. Secara sonografi, appendiks
diidentifikasikan sebagai blind end, tanpa peristaltik usus. Kriteria sonografi
untuk mendiagnosis appendisitis akut adalah adanya noncompressible appendiks
sebesar 6 mm atau lebih pada diameter anteroposterior, adanya appendicolith,
interupsi pada kontinuitas lapisan submukosa, dan cairan atau massa
periappendiceal. Temuan perforasi appendisitis termasuk cairan pericecal
loculated, phlegmon (sebuah definisi penyakit lapisan struktur dinding appendiks)
atau abses, lemak pericecal menonjol, dan kehilangan keliling dari layer
submukosa.

22
False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii dan pada
pasien yang obese hasilnya bisa tidak akurat, divertikulum Meckel, divertikulitis
cecal, penyakit radang usus, penyakit radang panggul, dan endometriosis.
Sedangkan false (-) didapatkan pada appendiks.

4) Barium enema

Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui


anus. Barium enema merupakan kontra indikasi pada suspek appendisitis akut
sebab pada apendisitis akut ada kemungkinan sudah terjadi mikroperforasi
sehingga kontras dapat masuk ke intraabdomen menyebabkan penyebaran kuman
ke intraabdomen. Barium enema indikasi untuk apendisitis kronik. Apendikogram
dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4 serbuk halus yang diencerkan
dengan perbandingan 1 : 3 secara peroral dan diminum sebelum kurang lebih 8
10 jam untuk anak anak atau 10 12 jam untuk dewasa. Pemeriksaan ini
dikatakan positif bila menunjukkan appendiks yang non-filling dengan indentasi
dari caecum menunjukkan adanya appendisitis kronis. Hal ini menunjukkan
adanya inflamasi pericaecal. False negative (partial filling) didapatkan pada 10%
kasus. Barium enema ini sudah tidak lagi digunakan secara rutin dalam
mengevaluasi pasien yang dicurigai menderita appendisitis akut.

5) CT Scan

Sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses inflamasi


pada abdomen dan adanya gejala tidak khas untuk appendisitis. Appendiks normal
akan terlihat struktur tubular tipis pada kuadran kanan bawah yang dapat menjadi
opak dengan kontras. Appendicolith terlihat sebagai kalsifikasi homogenus
berbentuk cincin (halo sign), dan terlihat pada 25% populasi.7

d. Scoring Appendisitis

Skor Alvarado

Semua penderita dengan suspek appendisitis akut dibuat skor alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu : skor <6 dan skor >6. Selanjutnya

23
dilakukan apendiktomi, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan
apendiks dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu : radang akut dan
bukan radang akut.9

Keterangan Alvarado score :

Interpretasi dari Modified Alvarado Score :

14 sangat mungkin bukan appendisitis akut

57 sangat mungkin appendisitis akut

8 10 pasti appendisitis akut

Penanganan berdasarkan skor Alvarado :

14 : observasi

57 : antibiotik

8 10 : operasi dini

3.10 Penatalaksanaan Apendisitis

24
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan merupakan
satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan appendiktomi sambil memberikan antibiotik dapat
mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan
sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah. Pada apendisitis
akut, abses, dan perforasi diperlukan tindakan operasi apendiktomi cito.
Untuk pasien yang dicurigai Apendisitis :
Puasakan
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgesik tidak akan menyamarkan gejala saat
pemeriksaan fisik.
Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia produktif.
Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang membutuhkan
Laparotomi.
Terapi Non-Operatif
Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna untuk
appendisitis akut bagi mereka yang sulit mendapatkan intervensi operasi (misalnya untuk
pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memiliki resiko tinggi untuk dilakukan
operasi.
Rujuk ke dokter spesialis bedah.

Terapi Operatif
Antibiotika preoperatif (persiapan preoperatif)
Pemberian antibiotika preoperatif efektif untuk menurunkan terjadinya infeksi post
operasi.
Diberikan antibiotika spektrum luas dan juga untuk gram negatif dan anaerob.
Antibiotika preoperatif diberikan oleh ahli bedah.
Antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya digunakan
antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau Cefepime dan
Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang terlibat, termasuk
Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus viridans,
Klebsiella, dan Bacteroides.

25
Indikasi Appendiktomi :

Appendisitis akut
Appendisitis kronik
Periapendikular infiltrat dalam stadium tenang
Apendiks terbawa dalam operasi kandung kemih
Apendisitis perforata

26
BAB IV

KESIMPULAN

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks vermicularis, dan merupakan
penyebab akut abdomen yang paling sering terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Insiden pada
laki-laki dan perempuan umumnya seimbang, kecuali pada umur 20-30 tahun, didapatkan
insiden lebih tinggi pada laki-laki. Apendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen
appendiks sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik, nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.

Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling
penting dalam menegakkan diagnosis appendisitis. Gejala awal yang khas, yang merupakan
gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar
umbilikus atau periumbilikalis. Dalam pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda peritonitis lokal
pada titik Mcburney, dan rangsangan kontralateral; blumberg dan rovsing sign . Pemeriksaan lain
yang dapt mendukung diagnosa yaitu psoas sign, obturator sign, dan nyeri tekan pada rectal
toucher . Upaya mempertajam diagnosis sudah banyak dilakukan, antara lain dengan
menggunakan sarana diagnosis penunjang: laboratorium (darah, urin, CRP), foto polos
abdomen, pemeriksaan barium-enema, USG dan CT scan abdomen. Diagnosis juga dapat
dibantu dengan skoring alvarado, ohmann, dan skoring apendisitis pada anak.

Kita juga perlu menyingkirkan diagnosa banding, mencegah komplikasi dan mengenali
appendisitis pada keadaan khusus yaitu pada anak, usia lanjut, wanita hamil, dan pada pasien
dengan infeksi HIV.

Bila diagnosa klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah appendiktomi,dapat
dilakukan secara open surgery atau laparascopic appendictomy.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Shrestha, S. Anatomy of appendix and appendicitis. http://medchrome.com/basic-


science/anatomy/anatomy-appendix-appendicitis/. Accesed in Juni,23,2013.
2. Faiz,O, balckburn,S, Moffat,D. Anatomy At A Glance. Edisi Ketiga. England :
Oxford;2011. H 36.

3. urDocter. Anatomy and physiology of Appendix.


Http://healthycase.com/articles/surgery/19-anatomy-and-physiology-of-appendix.
Accessed in Juni,23,2013.

4. Kevin P. Lally, Charles S. Cox JR. Dan Richard J. Andrassy. Appendix on Chapter 47 in
Sabiston Textbook of Surgery 17ed ebook. New york: Saunders; 2004.h 1381-1400

5. Addiss,D G. The epidemiology of appendicitis and appendectomy in the United States.


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2239906. Accessed in Juni,23,2013.

6. Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews JB, Pallock RC.
2010. The Appendix on Chapter 30 in Schwartzs Principles of Surgery 9ed ebook. New
York: McGraw-Hills.

7. Annonymmous. Appendicits Type.


http://www.appendicitissymptoms.org.uk/appendicitis-types.htm. Accessed in
Juni,23,2013.

8. Old JL. Imaging for Suspected Appendicitis. Available at :


http://www.aafp.org/afp/2005/0101/p71.html#afp20050101p71-b15. Accessed in
Juni,23,2013.

9. Vanjak D. Analysis of Scores in Diagnosis of Acute Appendicitis in women. Available at :


www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10356580. Accessed in Juni,23,2013.

28
29

You might also like