You are on page 1of 7

ASPIRASI DOKTER BOYOLALI

"REFORMASI SISTEM KESEHATAN DAN SISTEM PENDIDIKAN KEDOKTERAN PRO


RAKYAT

Disampaikan pada Aksi Damai Dokter IDI Cab Boyolali 24 Oktober 2016dalam Rangka HUT IDI ke-
66 di Gedung DPRD Kabupaten Boyolali

Undang-undang Pendidikan Dokter (UU Dikdok) no 20 tahun 2O13 dimaksudkan sebagai


rujukan bagi semua pihak untuk menata sistem pendidikan kedokteran dan membangun
sistem pelayanan kesehatan di lndonesia bagi kemaslahatan masyarakat yang setinggi-
tingginya.
Pada kenyataannya UU Dikdok tersebut berpotensi merugikan masyarakat. Karena adanya
definisi tentang dokter pada Bab 1, pasal 1, ayat 9, sebagai berikut: "Dokter adalah dokter,
dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam
maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah".
Penyisipan istilah profesi baru yaitu "Dokter Layanan Primer (DLP)" tidak sejalan dengan
UU no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Bab 1, pasal 1, ayat 2yang berbunyi:
"Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis
lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri
yang diakui oleh Pemerintah Republik lndonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan."
lkatan Dokter lndonesia (lDl)cab Boyolali sepenuhnya mendukung rencana pemerintah untuk
memperkuat pelayanan primer, namun pembentukan profesi baru yang dipaksakan melalui
pendidikan formal, menurut pandangan lDl cab Boyolali, tidak saja tidak menyelesaikan akar
masalah dan boros tetapi juga mempunyai dampak negatif yag besar dan luas.
Pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP), telah membawa polemik yang berlarut-larut.
Berbagai pertemuan telah diupayakan, namun tetap tidak ada titik temu yang bisa diterima
oleh semua pihak. Bahkan di hari-hari terakhir ini, ranah media diramaikan oleh berita DLP,
seolah-olah lDl berhadapan diametrikal melawan Kementerian Kesehatan dan Kementerian
Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Bila situasi ini tidak segera diselesaikan, akan timbul
hal-hal lain yang lebih menyulitkan.
Risalah pendek ini adalah ASPIRASI DOKTER BOYOLALIyang dengan sepenuhnya
membawa semangat mencari titik temu yang terbaik bagi semua pihak, sehingga diharapkan
program Sistem Pelayanan Kesehatan Nasional yang begitu penting bagi masa depan bangsa
dan Negara ini dapat segera berjalan dengan baik, efektif dan efisien.

I. Mengapa penolakan pendidikan DLP tidak juga berhenti?

Beberapa faktor yang boleh jadi saling silang dalam polemik pengajuan-
penolakan DLP antara lain adalah belum ada kejelasan status DLP, kepentingan
kelompok yang saling tarik ulur, ketidakadilan yang dirasakan oleh para dokter,
keengganan untuk meninggalkan zona nyaman, dan ketidakjelasan arah
pengembangan karir, atau mungkin juga sedikit ketidakpercayaan korps dokter
pada penggagas dan lembaga penyelenggara pendidikan DLP. Selain itu, menurut
kami, masih banyak halyang lebih penting dan perlu diprioritaskan dalam
menyelesaikan masalah sistem pelayanan kesehatan yang ada

II. Sudut Pandang Dokter Boyolali

Pada dasarnya dokter adalah golongan knowledge based worker. Di mana dokter
dalam menjalankan pekerjaannya selalu berpegang pada data.

Dokter bukanlah sosok yang sulit untuk diajak bekerja sama. Dokter terbiasa
bekerja sistematik, berdasarkan bukti, sadar akan probabilitas dan kemungkinan
adanya odverse effect.

Dokter selalu memulai kerjanya dengan upaya menegakkan diagnosis yang tepat,
sebelum melangkah ke tindakan definitif. Sebab, kesalahan diagnosis bisa
berakibat fatal.

Pemerintah seharusnya juga melakukan hal yang sama di saat mengambil


keputusan besar, apalagi yang menyangkut perubahan fundamental, seperti
pendidikan DLP.

Sebelum membuat keputusan perlunya pendidikan DLP, pertanyaan di bawah ini


harus dijawab:

1. Apakah ada data valid yang membuktikan bahwa dokter umum saat ini tidak
mampu bekerja di layanan primer?

2. Apakah selama ini baik/tidaknya performa layanan primer di lndonesia pernah


diukur dengan seksama? Apa saja kriteria yang dipakai dan siapa yang mengukur?

3. Benarkah penyebab utama tidak optimalnya layanan primer adalah karena


faktor kurangnya kompetensi dokter umum? Apakah tidak ada faktor penyebab
lain?

4. Apakah sudah pernah dievaluasi kendala utama pelaksanaan proses pendidikan


dokter yang ada di Fakultas Kedokteran saat ini? Bagaimana kurikulum, SDM,
infrastuktur, ataupun manajemen pendidikan-nya? Apakah selama ini sudah benar
kebijakan pemerintah di hulu tentang sistem pendidikan kedokteran yang
mengakibatkan masalah di hilirnya yaitu rendahnya jumlah kelulusan dan
tingginya jumlah retaker? Bukankah akan sangat lebih baik untuk memperbaiki
basis sistem pendidikan kedokteran daripada membuat program studi baru (DLP),
yang akan memperpanjang proses pendidikan kedokteran untuk menjawab
kebutuhan dokter di layanan primer?
5. Bila benar, apakah pendidikan Dokter Layanan Primer adalah solusi yang
terbaik, dalam arti, lebih ekonomis, lebih efektif dan lebih efisien? Apakah tidak
ada cara lain yang lebih bisa diterima tetapi lebih efektif, ekonomis dan tidak
membawa efek samping yang besar? Pernahkah dilakukan cost benefit analysis,
membandingkan dengan cara lain?

6. Apakah telah diperhitungkan adverse effect keberadaan DLP dalam konstelasi


layanan yang telah berjalan begitu lama? Bagaimana meminimalisir-nya?

7. Apakah Fakultas Kedokteran yang ditugasi menyelenggarakan pendidikan DLP


itu telah benar-benar siap untuk menyelenggarakan semua modul yang tertera
dengan optimal?

8. Apakah sertifikat DLP benar-benar akan menjamin masa depan dokter? Sudah
siapkah infrastruktur dan manajemen kelola bagi DLP dalam menjalankan
kompetensi di tempat praktiknya?

Perubahan besar di abad 21 menuntut pengambil kebijakan di setiap organisasi


menggunakan cara Evidence Based Decision Making dalam setiap mengambil
keputusan, yaitu cara pengambilan keputusan yang berpegang pada adanya bukti,
dengan melakukan riset sebelum keputusan diambil.

Cara ini, akan dapat menjaga agar keputusan yang diambil tepat terutama di saat-
saat situasi sulit. Setiap keputusan harus didasari oleh penilaian sistematik (critical
opproisoll terhadap bukti yang ada, sehingga keputusan yang dilahirkan dapat
dipertanggungjawabkan. Keputusan baru harus didasari oleh bukti baru. Tidak
boleh suatu keputusan dibuat hanya berdasarkan asumsi saja. Apalagi
keputusan besar yang menyangkut masa depan bangsa dan Negara.

Setelah membaca dengan seksama ikhtisar Pendidikan Dokter Layanan Primer


yang disusun oleh -Kelompok Kerja Percepatan Pendidikan Dokter Layanan
Primer yang dibentuk Kementerian Riset Teknologi & Pendidikan Tinggi dan
Kementerian Kesehatan-, terlihat jelas bahwa ikhtisar panjang itu dibuat hanya
berdasarkan asumsi, mengacu pada standar yang ditetapkan WONCA dan meniru
Negara-Negara lain yang terlebih dahulu melaksanakannya.

Kita ketahui, bahwa suatu nilai kebenaran tidak pernah absolut. Selalu
kontekstual, artinya terikat oleh ruang dan waktu. Hal yang dianggap benar di satu
tempat dan di suatu waktu, belum tentu menjadi kebenaran di tempat lain dan di
waktu berbeda.

Benarkah cara-cara yang dianggap benar di Inggris, Australia, New Zealand,


Hongkong, lreland, Canada, US, Nothern Europe, Central-Southern Europe
lmandatory) dapat menyelesaikan persoalan kesehatan di lndonesia? Jawabannya,
mungkin bisa atau mungkin juga tidak. Untuk itu diperlukan studi pendahuluan
untuk memastikan bahwa keputusan besar itu sesuai dengan kebutuhan lokal.

III. Benarkah kurangnya kompetensi dokter umum adalah determinant foctor


yang menyebabkan tidak optimalnya layanan primer?

Untuk memudahkan menjawab pertanyan di atas, kami berikan bantuan berupa


Rumus Muir Gray : P= (MxC)/ B
P : Performance
M : Motivation
C : Competency
B : Barrier

Catatan:
Kompetensi adalah tentang apa yang pernah dipelajari dan tentang kema m puan
seseora ng da la m melakukan tugasnya.
Performa adalah, tentang apa yang benar-benar dilakukan seseorang sehari
hariditempat kerja.

Dari rumus di atas, jelas bahwa performa seseorang tidak hanya tergantung dari
faktor kompetensinya saja. Tapi ada faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi
performa seseorang. Yaitu faktor motivasidan adanya hambatan dalam
menjalankan tugas.

Bila masalahnya ada di faktor motivasi, jelas pendidikan DLP bukan jawabannya.
Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa sebelum lahirnya keputusan
pendidikan DLP, studi pendahuluan perihal ketiga faktor di atas (M, C dan B)
harus dilakukan sebaik baiknya agar "diagnosis" nya jelas, sehingga upaya
perbaikan yang dilakukan betul-betul tepat sasaran.

Pada sidang di Mahkamah Konstitusi jelas disebutkan bahwa Pendidikan Dokter


Layanan Primer dilakukan semata-mata untuk meningkatkan kompetensi dokter
yang bekerja di layanan Primer.

IV. Hak Dokter Terhadap Imbalan Profesi yang layak dan pantas

Dengan predikat profesi luhur, dokter seakan telah kehilangan haknya untuk
bertanya tentang imbalan profesi yang sepantasnya dia dapatkan. Walaupun
imbalan itu semata-mata untuk menyambung kehidupan keluarga dan demi masa
depan anak-anak mereka.

Dalam iklan di satu klinik UNTAR di Tangerang yang buka pukul 08:00 - 21:00
tertulis, dicari dokter pengganti, dengan bayaran Rp 2.000,- ($Aus 0,2) per-pasien
untuk pasien BPJS. Sebagai catatan, biaya tukang parkir di Surabaya Rp 3.000,-
per kendaraan, tukang cukur di pos Hansip Rp 10.000,- hingga Rp 20.000,-,
tukang pijat Rp 60.000,- hingga Rp 100.000,- per jam.

Di Melbourne, biaya konsultasi GP sekali datang sebesar $Aus 110 (Rp


1.000.000,-) dan pasien hanya membayar dari kantongnya sendiri $Aus 20 (Rp
190.000,-), sisanya dibayar Medicare, BPJS nya Australia. Artinya, imbalan jasa
dokter lndonesia per pasien 1/550 kali dokter Australia. Untuk bisa membeli 1
(satu) Big Mac Hamburger, DLP di lndonesia harus melayani 19 pasien (harga
Big Mac di lndonesia Rp 38.630,-), sedangkan GP di Melbourne, honor melayani
1 (satu) pasien bisa untuk membeli 23 Big Mac Hamburger (harga Big Mac di
Melbourne $ Aus 4,81)

Jelas di sini ada ketidakpatutan yang luar biasa. Bagaimana dokter di negeri ini
harus merencanakan masa depannya dengan pendapatan seperti itu? Bagaimana
mungkin kita akan menuntut dedikasi dan motivasi tinggi pada seseorang yang
hidupnya relatif pas-pasan dan kurang merasa aman. Bisakah semangat dokter
praktik umum di negeri ini (dalam menjalankan tugas sebagai dokter layanan
primer) disamakan dengan semangat GP di Australia? Bisakah sistem yang
dianggap benar di Melbourne langsung diterapkan di lndonesia?

Di tengah himpitan kecemasan akan hidupnya, terbitlah Undangundang, dokter


praktik umum harus menempuh pendidikan 3 tahun untuk bisa memulai bekerja
sebagai dokter layanan primer.

Bisakah sang pengambil keputusan membayangkan suasana batin dokter di negeri


ini? Janganlah pemerintah terkesan menutup mata, tidak mau melihat hal ini
sebagai masalah besar yang harus segera diselesaikan terlebih dahulu.

Selain itu, pemerataan infrastruktur kesehatan perlu menjadi perhatian lebih jauh.
Dari 9.719 Puskesmas yang telah ada hingga Juni 20L4, masih terdapat daerah
yang belum terjangkau ataupun memiliki akses yang mudah ke Puskesmas sebagai
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang difasilitasi oleh pemerintah.
Sumber daya yang bekerja di setiap Puskesmas pun masih belum terpenuhi sesuai
standar jumlah penduduk yang ada, apalagi sarana yang dibutuhkan untuk
optimalnya pelayanan kesehatan pimer.

Untuk bekerja secara menetap di daerah terpencil dan amat terpencil dengan
pendapatan yang rendah, kurang leluasanya inovasi kerja karena terbatasnya
fasilitas pelayanan kesehatan, dan sulitnya pemenuhan kebutuhan hidup bagi
dokter di daerah tersebut, juga menyebabkan rendahnya motivasi untuk bekerja di
daerah tersebut.

Hal ini dibutuhkan kebijakan pemerintah yang mendukung peningkatan motivasi


dokter bekerja untuk pemerataan pelayanan kesehatan di lndonesia. lkatan Dokter
lndonesia (lDl) adalah satu-satunya organisasi profesi dokter di lndonesia, di mana
anggota-anggotanya adalah pelaku utama dari setiap program kesehatan di negeri.
Anggota-anggota lDl lah yang berinteraksi langsung dari hari ke hari dengan
masyarakat sejak lahirnya negeri ini. Sesuai dengan AD/ART IDl, salah satu
kewajiban lDl adalah melakukan advokasi, dengan memberi usulan yang
konstruktif pada pemerintah.

V. Aspirasi Dokter Boyolali

Setelah Dokter Boyolali bersama Pengurus lDl cabang Boyolali mengamati


dengan seksama perubahan yang menyangkut layanan kesehatan dan langsung
melibatkan dokter lndonesia, maka Dokter Boyolali bersama Pengurus lDl cabang
Boyolali menilai:

1. Pemerintah belum melihat masalah layanan primer secara holistik, akibatnya


lahir keputusan-keputusan yang fragmented, yang berpotensi mengundang
masalah baru.
2. Pemerintah belum menempatkan prioritas kerja berdasarkan fakta dan masalah
yang ada
3. Pendidikan DLP bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan kompetensi
dokter umum yang bekerja di layanan primer.
4. Pelaksanaan pendidikan DLP, belum memenuhi kriteria pendekatan ilmiah
yang obyektif.
5. Keputusan (besar) tanpa didahului riset lapangan yang seksama, sangat
berbahaya.

Atas dasar penilaian di atas, Dokter Boyolali bersama Pengurus lDl cabang
Boyolali mengusulkan dan menyampaikan ASPIRASI melalui para wakil kami di
DPRD Kabupaten Boyolali sebagai berikut:

1. Revisi Undang-undang no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran


karena bertentangan dengan Undang-undang no 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, dengan penyisipan Profesi Baru Dokter Layanan Primer. Undang-
undang adalah suatu dasar acuan dari berbagai kebijakan selanjutnya. Untuk
melindungi masyarakat, maka di dalamnya tidak diperkenankan terdapat hal yang
herpotensi menimbulkan kerugian masyarakat dan polemik yang berlarut-larut.

2. Pemerintah menghentikan kegiatan-kegiatan persiapan, sosialisasi, rekrutmen


dan langkah peresmian program studi DLP karena Pendidikan Formal DLP tidak
tepat bagi kondisi dan masalah kesehatan di Indonesia.

3. Systemotic review harus segera dilakukan dengan seksama pada seluruh sistem
kesehatan, sehingga peta permasalahannya segera dapat teridentifikasi. Dalam
melakukan systematic review, IDI seyogyanya dilibatkan, sebab hampir di semua
program kesehatan di lndonesia, dokter (anggota lDl) selalu terlibat.
4. Tetapkan prioritas penyelesaian masalah sesuai dengan peta hasil systemdtic
review.

5. Mencari solusi yang kreatif, efektif dan bijak, dalam arti membawa efek
samping terkecil untuk meningkatkan kualitas pelayanan melalui pelatihan
terstruktur sesuai keanekaragaman kebutuhan dokter di daerahnya masingmasing.

Sebelum sampai pada akhir risalah pendek yang merupakan ASPIRASI DOKTER
BOYOLALI ini, ijinkan kami mengingatkan bahwa semua pihak harus saling percaya
bahwa upaya ini dilakukan demi kepentingan bersama, benefit for all. Dengan kata lain,
upaya ini benar-benar bertujuan untuk membuat semua pihak tersenyum. Bukan demi
keuntungan beberapa pihak, tetapi membuat pihak lain menangis.

Begitu banyak problema yang sedang membelit negeri ini, juga di sektor kesehatan. Semua
yang kami perjuangkan ini semata-mata untuk kepentingan seluruh rakyat lndonesia. Jika
pendidikan dokter tidak berjalan dengan baik dan benar maka akan juga berdampak buruk
terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dokter Boyolali dan Pengurus lDl cabang
Boyolali meyakini, semua persoalan bisa diselesaikan hanya dengan kerja kolektif dari kita
semua. Kerja kolektif tidak akan bisa dibangun tanpa adanya kesadaran kolektif.

Besar harapan kami risalah pendek yang merupakan ASPIRASI DOKTER BOYOLALIini
dapat membawa kita pada kesadaran kolektif, sehingga ke depan kita bisa kerja bahu
membahu dalam membangun bangsa dan negeri ini.

Boyolali, 24 Oktober 2016


IDI CABANG BOYOLALI AKSI DAMAI DOKTER IDI CABANG BOYOLALI

Ketua Koordinator Lapangan

dr. SYAMSUDIN. M.Kes dr. Anton Christanto. M.Kes, Sp. THT-KL


NPA IDI. 1330.15341 NPA IDI. 1330. 113382

You might also like