You are on page 1of 16

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana terjadi
keabnormalan dalam konsepsi plasenta yang disertai dengan perkembangan parsial atau
tidak ditemukan adanya pertumbuhan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami
perubahan berupa degenerasi hidropobik. Janin biasanya meninggal akan tetapi villus-villus
yang membesar dan edematus terus tumbuh. Gambaran yang diberikan adalah sebagai
segugus buah anggur. Jaringan trofoblast pada vilus berproliferasi dan mengeluarkan
hormon human chorionic gonadotrophin (HCG) dalam jumlah yang lebih besar daripada
kehamilan biasa (Sumapraja, 2011; Manuaba, 2007; Prawirohadjo, 2009).

B. Epidemiologi
Frekuensi mola hidatidosa umumnya di wanita Asia lebih tinggi (1 per 120 kehamilan)
daripada wanita di negara Barat (1 per 2.000 kehamilan). Di Indonesia, mola hidatidosa
dianggap sebagai penyakit yang penting dengan insiden yang tinggi (data RS di Indonesia, 1
per 40 persalinan), faktor risiko banyak, penyebaran merata serta sebagian besar data masih
berupa hospital based. Faktor risiko mola hidatidosa terdapat pada usia kurang dari 20 tahun
dan di atas 35 tahun, gizi buruk, riwayat obstetri, etnis dan genetik (Prawirohadjo, 2009).

C. Etiologi dan Faktor Resiko


Mola hidatidosa disebabkan oleh adanya produksi berlebihan jaringan yang
membentuk plasenta. Dalam keadaan kehamilan normal, plasenta berfungsi memberikan
nutrisi untuk janin. Namun pada kasus mola hidatidosa, jaringan berkembang menjadi suatu
masa yang abnormal sehingga tidak dapat berfungsi secara normal (Sebire, 2008).
Penyakit trofoblastik gestasional disebabkan oleh gangguan genetik dimana sebuah
spermatozoon memasuki ovum yang telah kehilangan nukleusnya atau dua sperma
memasuki ovum tersebut. Pada lebih dari 90 persen, mola komplit hanya ditemukan gen dari
ayah dan 10 persen mola bersifat heterozigot. Sebaliknya, mola parsial biasanya terdiri dari
kromosom triploid yang memberi kesan gangguan sperma sebagai penyebab (John, 2006).
Pembuluh darah primitif di dalam vilus tidak terbentuk dengan baik sehingga embrio
kekurangan nutrisi, mati, dan kemudian diabsorpsi, sedangkan trofoblas terus tumbuh dan
pada keadaan tertentu mengadakan invasi ke jaringan ibu. Peningkatan aktivitas
sinsitiotrofoblas menyebabkan peningkatan produksi hCG, tirotrofin korionik dan
progestron. Sekresi estrodiol menurun karena sintesis hormon ini memerlukan enzim dari
janin yang telah meninggal. Peningkatan kadar hCG dapat menginduksi perkembangan kista
teka-lutein di dalam ovarium (Mochtar, 2008)
Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui secara pasti, namun faktor penyebabnya
yang kini telah diakui adalah :
1. Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat
dikeluarkan.
2. Usia ibu yang terlalu muda (<20 tahun) atau tua (36-40 tahun) beresiko 50% terkena
penyakit ini.
3. Imunoselektif dari sel trofoblast
4. Keadaan sosioekonomi yang rendah
5. Paritas tinggi
6. Defisiensi vitamin A
7. Kekurangan protein
8. Infeksi virus dan factor kromosom yang belum jelas.

D. Patogenesis
Menurut Sarwono (2010), patofisiologi dari kehamilan mola hidatidosa yaitu karena
tidak sempurnanya peredaran darah fetus yang terjadi pada sel telur patologik, yaitu : hasil
pembuahan dimana embrionya mati pada umur kehamilan 3 5 minggu dan karena
pembuluh darah villi tidak berfungsi maka terjadi penimbunan cairan di dalam jaringan
mesenkim villi (Sumapraja, 2011; Prawirohadjo,2009).
Analisis sitogenetik pada jaringan yang diperoleh dari kehamilan mola memberikan
beberapa petunjuk mengenai asal mula dari lesi ini. Kebanyakan mola hidatidosa adalah
mola komplit dan mempunyai 46 kariotipe XX. Penelitian khusus menunjukkan bahwa
kedua kromosom X itu diturunkan dari ayah. Secara genetik, sebagian besar mola hidatidosa
komplit berasal dari pembuahan pada suatu telur kosong (yakni, telur tanpa kromosom)
oleh satu sperma haploid (23 X), yang kemudian berduplikasi untuk memulihkan
komplemen kromosom diploid (46 XX). Hanya sejumlah kecil lesi adalah 46 XY (John,
2006; Mochtar, 1998, Cunningham,2012).
Pada mola yang tidak lengkap atau sebagian, kariotipe biasanya suatu triploid,
sering 69 XXY (80%). Kebanyakan lesi yang tersisa adalah 69 XXX atau 69 XYY. Kadang-
kadang terjadi pola mozaik. Lesi ini, berbeda dengan mola lengkap, sering disertai dengan
janin yang ada secara bersamaan. Janin itu biasanya triploid dan cacat (John, 2006;
Cunningham, 2012).

Gambar 2.1. Susunan sitogenetik dari mola hidatidosa. A. Sumber kromosom dari mola lengkap. B.
Sumber kromosom dari mola sebagian yang triploid (Hacker, 2010).

Ada beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan patogenesis dari penyakit
trofoblas (Sumapraja, 2011):
1. Teori missed abortion.
Teori ini menyatakan bahwa janin mati pada usia kehamilan 3-5 minggu (missed
abortion). Hal inilah yang menyebabkan gangguan peredaran darah sehingga terjadi
penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari villi dan akhirnya terbentuklah
gelembung-gelembung. Menurut Reynolds, kematian janin itu disebabkan karena
kekurangan gizi berupa asam folik dan histidine pada kehamilan hari ke 13 dan 21. Hal
ini menyebabkan terjadinya gangguan angiogenesis.
2. Teori neoplasma
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Park. Pada penyakit trofoblas, yang
abnormal adalah sel-sel trofoblas dimana fungsinya juga menjadi abnormal. Hal ini
menyebabkan terjadinya reabsorpsi cairan yang berlebihan kedalam villi sehingga
menimbulkan gelembung. Sehingga menyebabkan gangguan peredaran darah dan
kematian janin.
Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung-
gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, sehingga menyerupai buah
anggur, atau mata ikan. Karena itu disebut juga hamil anggur atau mata ikan. Ukuran
gelembung-gelembung ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1-2 cm. Secara
mikroskopik terlihat trias: (1) Proliferasi dari trofoblas; (2) Degenerasi hidropik dari
stroma villi dan kesembaban; (3) Hilangnya pembuluh darah dan stroma. Sel-sel
Langhans tampak seperti sel polidral dengan inti terang dan adanya sel sinsitial giantik
(syncytial giant cells). Pada kasus mola banyak dijumpai ovarium dengan kista lutein
ganda berdiameter 10 cm atau lebih (25-60%). Kista lutein akan berangsur-angsur
mengecil dan kemudian hilang setelah mola hidatidosa sembuh (Sumparja, 2011;
Hacker, 2010).

E. Klasifikasi
Mola hidatidosa dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu bila tidak disertai janin maka
disebut mola hidatidosa atau Complete mole, sedangkan bila disertai janin atau bagian dari
janin disebut mola parsialis atau Parsials mole (Sumapraja, 2005; Manuaba, 2007;
Cunningham, 2012).

Tabel 2.2. Perbandingan bentuk mola hidatidosa

Gambaran Mola Komplit Mola Parsial


Kariotipe 46,XX atau 46,XY Umumnya 69,XXX
atau 69,XXY (tripoid)
Patologi
Edema villus Difus Bervariasi,fokal
Proliferasi trofoblastik Bervariasi, ringan s/d berat Bervariasi, fokal,
ringan s/d sedang
Janin Tidak ada Sering dijumpai
Amnion, sel darah Tidak ada Sering dijumpai
merah janin
Gambaran klinis
Diagnosis Gestasi mola Missed abortion
Ukuran uterus 50% besar untuk masa Kecil untuk masa
kehamilan kehamilan
Kista teka-lutein 25-30% Jarang
Penyulit medis Sering jarang
Penyakit pascamola 20% <5-10%
Kadar hCG Tinggi Rendah tinggi

Gambar 1. Mola hidatidosa komplet (Hacker, 2010).

Gambar 2. Mola hidatidosa (Hacker, 2010).

F. Gejala Klinis
Tanda dan gejala kehamilan dini didapatkan pada mola hidatidosa. Kecurigaaan
biasanya terjadi pada minggu ke 14 - 16 dimana ukuran rahim lebih besar dari kehamilan
biasa, pembesaran rahim yang terkadang diikuti perdarahan, dan bercak berwarna merah
darah (Cuningham, 2012).
1. Terdapat tanda-tanda kehamilan. Mual dan muntah yang parah yang menyebabkan 10%
pasien masuk RS
2. Pembesaran rahim yang tidak sesuai dengan usia kehamilan (lebih besar)
3. Gejala gejala hipertitoidisme seperti intoleransi panas, gugup, penurunan BB yang tidak
dapat dijelaskan, tangan gemetar dan berkeringat, kulit lembab
4. Gejala gejala pre-eklampsi seperti pembengkakan pada kaki dan tungkai, peningkatan
tekanan darah, proteinuria (terdapat protein pada air seni)
Dan menurut Cuningham, 1995. Dalam stadium pertumbuhan mola yang dini
terdapat beberapa ciri khas yang membedakan dengan kehamilan normal, namun pada
stadium lanjut trimester pertama dan selama trimester kedua sering terlihat perubahan
sebagai berikut (Cunningham, 2012) :
1. Perdarahan
Perdarahan uterus merupakan gejala yang mencolok dan bervariasi mulai dari
spoting sampai perdarahan yang banyak. Perdarahan ini dapat dimulai sesaat sebelum
abortus atau yang lebih sering lagi timbul secara intermiten selama berminggu-minggu
atau setiap bulan. Sebagai akibat perdarahan tersebut gejala anemia ringan sering
dijumpai. Anemia defisiensi besi merupakan gejala yang sering dijumpai.
2. Ukuran uterus
Uterus tumbuh lebih besar dari usia kehamilan yang sebenarnya dan teraba lunak.
Saat palpasi tidak didapatkan balotement dan tidak teraba bagian janin.
3. Aktivitas janin
Meskipun uterus cukup membesar mencapai bagian atas sympisis, secara khas
tidak akan ditemukan aktivitas janin, sekalipun dilakukan test dengan alat yang sensitive
sekalipun. Kadang-kadang terdapat plasenta yang kembar pada kehamilan mola
hidatidosa komplit. Pada salah satu plasentanya sementara plasenta yang lainnya dan
janinnya sendiri terlihat normal. Demikian pula sangat jarang ditemukan perubahan mola
inkomplit yang luas pada plasenta dengan disertai dengan janin yang hidup.
4. Embolisasi
Trofoblas dengan jumlah yang bervariasi dengan atau tanpa stroma villus dapat
keluar dari dalam uterus dan masuk aliran darah vena. Jumlah tersebut dapat sedemikian
banyak sehingga menimbulkan gejala serta tanda emboli pulmoner akut bahkan
kematian. Keadaan fatal ini jarang terjadi. Meskipun jumlah trofoblas dengan atau tanpa
stroma villus yang menimbulkan embolisasi ke dalam paru-paru terlalu kecil untuk
menghasilkan penyumbatan pembuluh darah pulmoner namun lebih lanjut trofoblas ini
dapat menginfasi parenkin paru. Sehingga terjadi metastase yang terbukti lewat
pemeriksaan radiografi. Lesi tersebut dapat terdiri dari trofoblas saja (koriokarsinoma
metastasik) atau trofoblas dengan stroma villus (mola hidatidosa metastasik). Perjalanan
selanjutnya lesi tersebut bisa diramalkan dan sebagian terlihat menghilang spontan yang
dapat terjadi segera setelah evakuasi atau bahkan beberapa minggu atau bulan kemudian.
Sementara sebagian lainnya mengalami proliferasi dan menimbulkan kematian wanita
tersebut tidak mendapatkan pengobatan yang efektif.
5. Ekspulsi Spontan
Kadang-kadang gelembung-gelembung hidatidosa sudah keluar sebelum mola
tersebut keluar spontan atau dikosongkan dari dalam uterus lewat tindakan. Ekspulsi
spontan paling besar kemungkinannya pada kehamilan sekitar 16 minggu. Dan jarang
lebih dari 28 minggu (John, 2006).

G. Diagnosis

1. Anamnesis
Tanda dan gejala kehamilan yang berlebihan, perdarahan pervaginam berulang
cenderung berwarna coklat dan kadang bergelembung seperti busa (Cunningham,
2012).
a) Perdarahan vaginal
Gejala klasik yang paling sering pada mola komplet adalah perdarahan
vaginal. Jaringan mola terpisah dari desidua sehingga menyebabkan
perdarahan. Uterus membesar (distensi) oleh karena jumlah darah yang
banyak dan cairan gelap yang dapat mengalir melalui vagina. Gejala ini
terdapat dalam 97% kasus.
b) Hiperemesis
Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang berat. Hal ini
merupakan akibat dari peningkatan secara tajam hormon -HCG.
c) Hipertiroid
Setidaknya 7% penderita memiliki gejala seperti takikardi, tremor dan
kulit yang hangat. Didapatkan pula adanya gejala preeklamsia yang terjadi
pada 27% kasus dengan karakteristik hipertensi ( TD > 140/90 mmHg),
protenuria (>300 mg.dl) dan edema dengan hiperefleksia.

2. Pemeriksaan Fisik (Cunningham, 2012)


a) Inspeksi
b) Palpasi :
(1) Uterus membesar tidak sesuai dengan tuanya kehamilan, teraba lembek
(2) Tidak teraba bagian-bagian janin dan ballotement dan gerakan janin.
c) Auskultasi : tidak terdengar bunyi denyut jantung janin
d) Pemeriksaan dalam :
(1) Memastikan besarnya uterus
(2) Uterus terasa lembek
(3) Terdapat perdarahan dalam kanalis servikalis

3. Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan kadar B-hCG
Pemeriksaan kadar B-hCG dengan nilai pemeriksaan berupa BetaHCG urin
> 100.000 mlU/ml dan beta HCG serum > 40.000 IU/ml. Berikut adalah gambar
kurva regresi hCG normal yang menjadi parameter dalam penatalaksanaan lanjutan
mola hidatidosa (Cunningham, 2012).
Gambar 2.3. Nilai rata-rata dari 95 % confidence limit yang menggambarkan kurva regresi
normal gonadotropin korionik subunit pasca mola (Cunningham, 2012).
b) Pemeriksaan kadar T3 /T4
B-hCG>300.000 mIU/ml mempengaruhi reseptor thyrotropin,
mengakibatkan aktifitas hormon-hormon tiroid (T3/T4) meningkat. Pasien akan
merasakan gejala-gejala hipertiroidisme berupa hipertensi, takikardia, tremor,
hiperhidrosis, gelisah, emosi labil, diare, muntah, dan nafsu makan meningkat tetapi
berat badan menuru. Mola hidatidosa dapat terjadi krisis hipertiroid tidak terkontrol
yang disertai hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular, toksemia, penurunan
kesadaran sampai delirium-koma (Cunningham, 2012).

4. Pemeriksaan Imaging
a) Ultrasonografi (Hacker, 2010; John, 2006) :
(1) Gambaran seperti sarang tawon tanpa disertai adanya janin
(2) Ditemukan gambaran snow storm atau gambaran seperti badai salju.
Gambar 3. USG Mola hidatidosa komplet tampak gambaran snowstorm (Hacker, 2010; John, 2006).

Gambar 4. USG Mola hidatidosa inkomplet tampak gambaran swiss cheese (Hacker, 2010; John, 2006).

b) Plain foto abdomen-pelvis: tidak ditemukan tulang janin (Hacker, 2010; John,
2006).
c) Amniografi
Penggunaan bahan radiopak yang dimasukkan ke dalam uterus secara trans

abdominal akan memberikan gambaran radiografik khas pada kasus mola


hidatidosa kavum uteri ditembus dengan jarum untuk amniosentesis. Hipaque

sebanyak 20 ml disuntikkan segera dan 5-10 menit kemudian dibuat foto

anteroposterior. Pola sinar X seperti sarang tawon yang khas ditimbulkan oleh

bahan kontras yang mengelilingi gelombang-gelombang korion. Dengan semakin

banyaknya sarana USG yang tersedia teknik pemeriksaan amniografi ini sudah

jarang dipakai lagi. Bahan radiopaq yang dimasukan ke dalam uterus akan

memberikan gambaran seperti sarang tawon (Hacker, 2010; John, 2006).

5. Pemeriksaan Histopatologi
a) Mola lengkap (complete mole)
Pemeriksaan histopatologi tidak tampak jaringan janin (fetal tissue), namun

terlihat jelas proliferasi trofoblas yang berat (severe trophoblastic proliferation),

hydropic villi. Mola lengkap menunjukkan overexpression dari beberapa faktor

pertumbuhan (growth factors), termasuk c-myc, faktor pertumbuhan epidermal, dan

c-erb B-2. Hal itu tidak dijumpai pada plasenta normal (Hacker, 2010; John, 2006).

b) Mola parsial (partial mole)


Pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya jaringan janin (fetal tissue),

amnion, sel-sel darah merah janin, vili hidrofik, dan proliferasi trofoblas. Menurut

Prof. Dr. Djamhoer Martaadisoebrata, dr.SpOG(K), MSPH. (2005) gambaran khas

mola hidatidosa parsial memiliki empat gambaran khas (Hacker, 2010; John, 2006):

(1) Vili korialis dari berbagai ukuran dengan degenerasi hidropik, kavitasi, dan

hiperplasi trofoblas.

(2) Scalloping yang berlebihan dari vili.

(3) Inklusi stroma trofoblas yang menonjol.

(4) Ditemukan jaringan embrionik atau janin.


6. Pemeriksaan Lainnya
a) Uji sonde Hanifa
Sonde dimasukan pelan-pelan dan hati-hati ke dalam kanalis servikalis dan

cavum uteri . bila tidak ada tahanan sonde diputar setelah ditarik sedikit bila tetap

tidak ada tahanan maka kemungkinan adalah mola (Hacker, 2010; John, 2006).

H. Penatalaksanaan

1. Evakuasi
a) Operatif
(1) Bila mola sudah keluar spontan dilakukan kuretase atau kuretase isap.
(2) Bila kanalis servikalis belum terbuka dipasang laminaria dan 12 jam kemudian
dilakukan kuret.
Penatalaksanaan operatif berupa kuretase bertingkat setelah 7-10 hari setelah
kuretase pertama, dilakukan kuretase kedua untuk membersihkan sisa-sisa jaringan.
Histeriktomi total dilakukan pada mola resiko tinggi usia lebih dari 30 tahun,
Paritas 4 atau lebih, dan uterus yang sangat besar yaitu setinggi pusat atau lebih
b) Medikamentosa
Pemberian pengobatan dapat berupa antibiotik dan uterotonika.

2. Pengawasan Lanjutan
a) Ibu dianjurkan untuk tidak hamil dan dianjurkan memakai kontrasepsi oral pil.
b) Mematuhi jadwal periksa ulang selama 2-3 tahun :
(1) Setiap minggu pada Triwulan pertama
(2) Setiap 2 minggu pada Triwulan kedua
(3) Setiap bulan pada 6 bulan berikutnya
(4) Setiap 2 bulan pada tahun berikutnya, dan selanjutnya setiap 3 bulan.
c) Setiap pemeriksaan ulang perlu diperhatikan :
(1) Gejala Klinis : Keadaan umum dan perdarahan
(2) Pemeriksaan dalam :
(a) Keadaan Serviks
(b) Uterus bertambah kecil atau tidak
(3) Laboratorium
(4) Reaksi biologis dan imunologis :
(a) 1x seminggu sampai hasil negatif
(b) 1x2 minggu selama Triwulan selanjutnya
(c) 1x sebulan dalam 6 bulan selanjutnya
(d) 1x3 bulan selama tahun berikutnya
(e) Kalau hasil reaksi titer masih (+) maka harus dicurigai adanya keganasan
d) Sitostatika Profilaksis
Metoreksat 3x 5 mg selama 5 hari
Gambar 1. Skema tatalaksana mola hidatidosa

I. Prognosis
Di negara maju, kematian karena mola hidatidosa hampir tidak ada.. Mortalitas akibat
mola hidatidosa ini mulai berkurang oleh karena diagnosis yang lebih dini dan terapi yang
tepat. Di negara berkembang, kematian akibat mola masih cukup tinggi yaitu berkisar antara
2,2% dan 5,7%. Kematian pada mola hodatidosa biasanya disebabkan oleh karena
perdarahan, infeksi, eklamsia, payah jantung dan tirotoksikosis (Sumapraja, 2011;
Cunningham, 2012).
Lebih dari 80% kasus mola hidatidosa tidak berlanjut menjadi keganasan
trofoblastik gestasional, akan tetapi walaupun demikian tetap dilakukan pengawasan lanjut
yang ketat, karena hampir 20% dari pasien mola hidatidosa berkembang menjadi tumor
trofoblastik gestasional (Sumapraja, 2011; Cunningham, 2012).
Pada 10-15% kasus mola akan berkembang menjadi mola invasive, dimana akan
masuk kedalam dinding uterus lebih dalam lagi dan menimbulkan perdarahan dan
komplikasi yang lain yang mana pada akhirnya akan memperburuk prognosisnya. Pada 2-
3% kasus mola dapat berkembang menjadi korio karsinoma, suatu bentuk keganasan yang
cepat menyebar dan membesar (Cunningham, 2012).

J. Komplikasi
Perdarahan yang hebat sampai syok
Perdarahan berulang-ulang yang dapat menyebabkan anemia
Infeksi sekunder
Perforasi karena tindakan atau keganasan
DAFTAR PUSTAKA

Cunninngham. F.G. .2012. Mola Hidatidosa Penyakit Trofoblastik Gestasional Obstetri


Williams. Edisi 21. Vol 2. EGC: Jakarta.

Sumapraja S, Martaadisoebrata D. 2011. Penyakit Serta Kelainan Plasenta dan Selaput Janin,
dalam: Ilmu Kebidanan, Edisi ketiga, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo:
Jakarta

Hacker, N.F., Moore, J.G. 2010. Neoplasia Trofoblast Gestasi, dalam: Esensial Obstetri dan
Ginekologi, Edisi 2. Hipokrates : Jakarta

John T. 2006. Gestational Throphoblastic Disease. The American College of Obstetricians and
Gynecologists. Lippincott Williams & Wilkins. Diakses dari
http://www.utilis.net/Morning%20Topics/Gynecology/GTN.PDF , pada 25 September
2017.

Manuaba I.B.G.F, Manuaba, I.D.C. 2007. Penyakit Trofoblas, dalam: Pengantar Kuliah Obstetri.
EGC: Jakarta

Mochtar, R. 2008. Penyakit Trofoblast, dalam Sinopsis Obstetri, Jilid I, Edisi kedua. EGC:
Jakarta

Prawirohadjo S, Wiknjosastro H. 2009. Mola Hidatidosa. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina


Pustaka Sarwono Prawirohadjo: Jakarta

You might also like